Anda di halaman 1dari 3

TRADISI HARI THAIPUSAM SUKU TAMIL DI INDIA

Tak hanya di indonesia, di negara lain juga nyatanya memiliki tradisi menarik yang
patut diperhatikan. Salah satunya adalah suku hindu tamil di india yang juga punya
tradisi unik untuk mengenang dewa murugan, anak dari dewa siwa atas
kemenangannya melawan iblis jahat bernama surapadman.
Dikenal dengan nama thaipusman, tradisi ini merupakan festival hindu yang berkaitan
dengan iman, ketekunan, dan penebusan dosa. Dilakukan sebagai bentuk ucapan syukur
dan penghormatan masyarakat hindu tamil dari berbagai kasta dan budaya pada dewa
perang, serta dewa murugan.
Menurut kepercayaan hindu, dewa murugan menang dengan menggunakan senjata
pemberian ibunya, dewi parwati yang disebut vel. Vel adalah senjata perlambang
kelihaian, yang dijadikan objek penyembahan pada dewa murugan di kuil-kuil
pemujaannya.
Thaipusam berasal dari kata thai yang artinya bulan dan pusam yang berarti bintang.
Festival ini biasanya jatuh pada bulan purnama dan dirayakan di minggu terakhir
januari sampai awal februari, tergantung keselarasan yang terjadi antara bumi, bulan,
dan matahari. Perayaan ini bisa berlangsung selama tiga sampai empat hari.
Kegiatan ini mengkolaborasikan praktik keagamaan dan tindik pada tubuh. Para
pemuja biasanya akan berjalan berarakan dari satu kuil ke kuil lainnya dengan tubuh
yang tertusuk benda tajam, seperti jarum, besi, hingga kail pancing sebagai perlambang
pengorbanan dan penghormatan mereka.
Benda-benda tajam ini dikaitkan menembus kulit para pemuja yang berarak di bagian
dada, punggung, wajah, hingga mulut, untuk membopong berat beban kavadi.
Kavadi dalam festival ini terbagi menjadi empat jenis, yaitu idumban kavadi, kavadi
berisi ember yang diisi susu dan diikatkan pada sebuah batang yang akan diletakkan di
bahu.
Kemudian, mayil kavadi, hampir sama dengan idumban hanya saja dihiasi bulu burung
merak. Pal kavadi, ember besi berisi susu dan dibopong hanya menggunakan satu bahu
saja. Terakhir adalah pushpa kavadi, ember berisi susu yang diletakkan diatas kepala.
Hal ini dilakukan para pemujanya untuk meminta imbalan atas doa mereka, seperti
kesembuhan dari penyakit, penebusan dosa, atau agar permintaannya terkabul.
Partisipan dalam acara ini biasanya membawakan seserahan atau persembahan, seperti
bunga melati dan buah yang berwarna kuning atau jingga sambil menggunakan pakaian
cerah berwarna senada.
Kuning dan jingga dianggap sebagai warna yang mendominasi,sedangkan susu
dianggap sebagai lambang kesuburan. Para wanita akan mengenakan bunga melati di
rambutnya, dan anak-anak akan dibotaki dan dibawa berkeliling agar diberkati olah
para pemuja tersebut.
Sebelum melakukan festival ini, sebulan sebelumnya para pemuja yang akan membawa
kavadi harus menyucikan dirinya dengan berpuasa, berdoa, mendisiplinkan jasmani dan
rohani, tidak melakukan hubungan seksual, dan diet vegetarian.
Hal ini dipercaya akan membuat para pemuja menjadi kebal dan tidak merasakan rasa
sakit, ketika tubuhnya ditusuk dengan mata kail atau ditindik, dan tindikan tersebut
tidak akan meninggalkan bekas luka. Arak-arakan ini biasanya akan diiringi oleh
pemusik dan pemain drum.
Festival ini dirayakan bukan hanya di india, tetapi juga di malaysia dan singapura yang
memiliki banyak penduduk suku tamil. Malaysia menjadi negara terbesar yang
merayakan festival ini.
Festival thaipusam yang paling meriah di malaysia biasanya dilakukan di batu caves
dengan membawa kavadi berarakan menaiki 272 anak tangga. Yang menakjubkan dari
festival ini adalah tidak ada darah yang keluar dari tubuh para pemuja yang ditindik
dengan benda-benda tajam, dan bahkan tidak ada bekas luka yang tertinggal setelahnya.
TRADISI ADU BETIS – SULAWESI SELATAN

Indonesia memang terkenal dengan banyak suku dan budayanya. Tak heran, di
antaranya masih banyak memiliki tradisi yang di turunkan dari generasi ke generasi
leluhur nenek moyang. Salah satunya tradisi adu betis atau masyarakat setempat
menyebutnya mallanca.
Tradisi tersebut dilakukan di kecamatan moncongloe, kabupaten maros, sulawesi
selatan. Adu betis biasanya dilakukan sesudah panen besar yang terjadi dikawasan
tersebut. Hal tersebut dilakukan sebagai ungkapan ucapan syukur kepada tuhan yang
maha esa atas berkatnya yang terlah memberikan hasil panen yang berlimpah.
Pasalnya, sawah yang ada di moncongloe, cukup sulit melalukan panen bisa hanya
sekali dalam setahun. Maka tak heran ritual ini diikuti seiringnya musim panen tiba
yang jatuh pada bukan agustus. Masyarakat bone setempat juga mempercayai tradisi
yang mereka lakukan tersebut adalah sebagai rasa hormat terhadap jasa leluhur yang
telah menjaga kerajaan gowa pada jaman dahulu.
Seperti namanya hal ini dilakukan dengan cara menendang betis satu sama lain dan
membuktikan siapa lebih hebat dan kuat. Tradisi ini biasanya di lakukan di kawasan
makan gallarang monconloe, yaitu leluhur dari desa moncongloe, paman dari raja
gowa, sultan alauddin. 
Dalam tradisi adu betis tersebut tentunya memiliki aturan, dengan dibagi perkelompok
dan membentuk lingkaran besar kemudian saling beradu. Walau hal tersebut sebagai
ajang menunjukan siapa lebih kuat, namun tradisi ini bukanlah perlombaan. Hal
tersebut terdiri dari 2 kelompok dimana 2 orang untuk menendang, dan 2 lagi untuk
menahan dengan memasang kuda- kuda yang kuat agar tidak kalah oleh lawan.
Tendangan yang dilakukan pun dengan sekuat tenaga, maka tak heran setelah acara
selesai ada yang mengalami parah tulang. Namun, tal tersebut tidak menjadi
penghalang bagi masyarakat maros, tradisi ini tetap menjadi acara tahunan yang
dinanti.

Anda mungkin juga menyukai