Anda di halaman 1dari 25

KARYA TULIS ILMIAH

ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN DIAGNOSA

“POLIP HIDUNG”

OLEH :

RIRIN OPU

C1906026

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

PANRITA HUSADA BULUKUMBA

2020
LEMBAR PENGESAHAN

ASUHAN KEPERAWATAN TENTANG POLIP HIDUNG

DISUSUN

OLEH :

RIRIN OPU

C1906026

Telah disetujui dan disahkan oleh pembimbing pada tanggal:

Selayar 18 Mei 2020

(Hj. Sitti Nuraeni. K, S.Kep,Ns)


KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa , karena atas

berkat dan hidayahnya jualah sehingga saya dapat menyelesaikan tugas dan tanggung

jawab saya sebagai mahasiswa yang di amanahkan oleh dosen untuk menyelesaikan

tugas ini dengan judul “ ASUHAN KEPERAWATAN POLIP HIDUNG “ dalam

memenuhi syarat kuliah “KMB II “ .

Makalah ini saya susun dengan tujuan untuk menambah ilmu pengetahuan

dan mempermudah kita semua untuk memahami, khususnya mengenai “ ASUHAN

KEPERAWATAN POLIP HIDUNG ”

Harapan saya semoga apa yang saya tulis di dalam makalah ini dapat di
pahami , dan kritik dan saran oleh pembaca saya sangat harapkan . Semoga dapat
bermanfaat . Amin

Rabu, 18 Mei 2020

Ririn Opu
DAFTAR ISI

Kata Pengantar …………………………………………………………………… i


Daftar Isi ………………………………………………..………………………… ii
BAB I PENDAHULUAN
a. Latar Belakang …………………………………………………………… 5
b. Rumusan Masalah ………………………………………………….……. 6
c. Tujuan ……………………………………………………..……………... 6
d. Manfaat …………………………………………………..………….…… 7
BAB II TINJAUAN TEORI
a. Anatomi Fisiologi ……………………………………………..…………. 8
b. Defenisi …………………………………………………………..………. 9
c. Etiologi ……………………………………………..………….………..... 10
d. Klasifikasi Polip …………………………………………..……………… 10
e. Manifestasi Klinik ……………………………………………..…………. 11
f. Patofisiologi ……………………………………………..………….……. 11
g. Pemeriksaan Penunjang ……………………………………..……………. 12
h. Komplikasi …………………..……………………………………..……... 12
i. Penatalaksanaan ……………………………………..………….………… 13

BAB III ASUHAN KEPERAWATAN


a. Pengkajian ……………………………………………………………….... 13
b. Diagnosa Keperawatan .....................……………………………………… 14
c. Intervensi Keperawatan …………………………………………………… 14
d. Implementasi …………………………………………………..………….. 17
e. Evaluasi …………………………………………………..………….……. 19
BAB IV PENUTUP
a. Kesimpulan ………………………………………………………………. !
b. Saran ……………………………………………….…………………….. !
Daftar Pustaka ……………………………………………………………………. !!
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Polip hidung adalah penyakit inflamasi yang berat pada saluran nafas atas
dengan berbagai faktor predisposisi dan jalur patogenesis yang saling berkaitan
(Wardani 2011).
Prevalensi polip hidung sekitar 0,2-4,3%. Prevalensi meningkat seiring
dengan bertambahnya usia. Prevalensi polip hidung dari seluruh orang dewasa
Thailand sekitar 1-4%. Prevalensi polip hidung di Swedia sekitar 2,7% dengan
laki-laki lebih dominan 2,2:1. Di Finlandia, prevalensi polip hidung sekitar 4,3%.
Di Amerika Serikat dan Eropa, prevalensi polip 2,1-4,3%. Di RSUP H. Adam
Malik Medan selama Maret 2004 sampai
Februari 2005 kasus polip hidung sebanyak 26 orang terdiri dari 17 pria (65%)
dan 9 wanita (35%). Selama Januari sampai Desember 2010 didapatkan kasus
polip hidung sebanyak 43 orang terdiri dari 22 pria (51,2%) dan 21 perempuan
(48,8%) (Bachert 2011; Dewi 2011; Munir 2008; Fokkens, Lund and Mullol
2007; Storms, Yawn & Fromer 2007; Bachert, Watelet, Gevaert, Cauwenberge
2005; Akerlund, Melen, Holmberg, Bende 2003).
Lund (1995) melaporkan bahwa histopatologi polip khas dengan stroma yang
oedem, hiperplasia sel goblet dan infiltrasi sel-sel inflamasi. Fibroblas, sel-sel
epitel, dan sel-sel endotelial adalah sel-sel lain yang ikut membentuk polip.
Ferguson & Orlandi (2006) mengatakan bahwa Eosinofil memegang peranan
penting dalam patofisiologi polip hidung. Berdasarkan histopatologi, sekitar 85-
90% adalah polip eosinofilik, ditandai dengan hiperplasia sel goblet dan
penipisan membran basal dengan infiltrasi eosinofil yang dominan. Menurut
Hellquist, ada empat tipe histopatologi polip hidung, antara lain : Edematous,
Eosinophilic Polyp (Allergic Polyp), Chronic Inflammatory Polyp
(Fibroinflammatory Polyp), Chronic
Inflammatory Polyp (Fibroinflammatory Polyp) dan Polyp with Stromal
Atypia. Berbeda dengan Ferguson & Orlandi, Pearlman dkk (2010) melaporkan
bahwa di Asia, gambaran histopatologi polip hidung dominan neutrofilik.
Polip hidung merupakan manifestasi proses inflamasi. Pengobatan polip
hidung dengan kortikosteroid semprot hidung dan kortikosteroid oral jangka
pendek. Sejak Januari 2005, FDA hanya menerima kortikosteroid semprot hidung
sebagai terapi polip hidung Kortikosteroid semprot hidung atau sistemik bekerja
dengan mengurangi konsentrasi mediator inflamasi dan sel-sel inflamasi dengan
cara meng-inhibisi proliferasi sel dan menginduksi apoptosis. Efek anti inflamasi
ini tidak hanya berdampak pada selsel inflamasi seperti limfosit dan eosinofil
tetapi juga sel-sel epitel dan fibroblas. Efikasi klinis kortikosteroid sebagai anti
inflamasi dapat dilihat dari kemampuannya mengurangi infiltrasi eosinofil di
saluran nafas dengan cara mencegah peningkatan kemampuan hidup dan
mencegah aktifasi eosinofil. Kortikosteroid merupakan terapi konservatif pilihan
untuk polip baik sebagai terapi utama maupun untuk mencegah kekambuhan.
Tujuan penggunaan kortikosteroid adalah untuk mengurangi ukuran dan jumlah
polip, membuka jalan nafas melalui hidung, memperbaiki kemampuan
menghidu, mengurangi inflamasi, untuk mengurangi intensitas operasi, menunda
operasi atau bahkan menghilangkan polip sehingga tidak perlu dioperasi lagi.
Fokkens et al mendapati angka kekambuhan sekitar 5%-10% setelah operasi.
Dalziel et al mendapati angka kekambuhan sekitar 28% setelah bedah sinus
endoskopi fungsional dan sekitar 35% setelah polipektomi semprot hidung
((Bachert 2011; VLckova et al 2009; Newton & Ah-See 2008; Ferguson &
Orlandi 2006; Watanabe, Kanaizumi, Shirasaki, Himi 2004).
Kortikosteroid menginduksi proses apoptosis yang merupakan proses yang
penting dalam mengurangi jumlah sel-sel radang. Kortikosteroid semprot hidung
atau kortikosteroid sistemik bekerja dengan mengurangi konsentrasi mediator
radang dan sel-sel radang dengan cara menginhibisi proliferasi sel dan
menginduksi apoptosis. Efek anti inflamasi tidak hanya berdampak pada sel-sel
radang seperti limfosit, eosinofil, neutrofil dan sel plasma tetapi juga sel-sel
epitel dan fibroblas. Kortikosteroid menghambat pelepasan mediator vasoaktif
sehingga mengurangi vasodilatasi, ekstravasasi cairan dan deposit mediator.
Kortikosteroid mengurangi penguatan reaksi peradangan dengan
mengurangi pengikatan sel-sel radang dan juga menghambat proliferasi fibroblas
dan sintesa matrix protein ekstraseluler. Hal ini mengakibatkan berkurangnya
sitokin dan sel-sel radang. Kortikosteroid mengurangi pelepasan mediator seperti
histamine, prostanoid dan leukotrien sehingga jumlah sel-sel radang berkurang di
mukosa (Bachert,Watelet,Gevaert,Cauwenberge 2005; Yariktas et al 2005).
Kortikosteroid semprot hidung bersifat lipofilik sehingga dapat dengan mudah
memasuki sitoplasma sel target dan berikatan dengan reseptor glukokortikoid
yang banyak terdapat di mukosa saluran nafas. Sifat lipofilik berhubungan
dengan besarnya deposit kortikosteroid di jaringan jalan nafas, besarnya afinitas
ikatan, lamanya masa kerja dan rendahnya kadar obat bebas yang berpotensi
berikatan dengan reseptor kortikosteroid sistemik yang dapat menimbulkan efek
samping serta lambatnya pelepasan kortikosteroid dari jaringan jalan nafas.
Berkurangnya ukuran polip karena sekresi protein dan ekspresi gen inflamasi
pada fibroblast berkurang. Fluticasone furoate secara bermakna menghambat
translokasi NF-ĸB di fibroblas dan menekan aktifitas sitokin proinflamasi TNF-
α. Berbeda dengan metilprenisolon yang mengurangi inflamasi eosinofil dan
retensi albumin sehingga ukuran polip berkurang. (Sastre & Mosges 2012;
Valera et al 2011; Bachert et al 2000).
Dalam praktik sehari-hari peneliti masih merasa kurang jelas akan perbedaan
efek terapi fluticason furoate semprot hidung dan metilprednisone oral
terhadap polip hidung. Hal ini mendorong peneliti untuk melakukan penelitian
dengan judul “Perbandingan Efek Terapi Fluticasone Furoate Semprot Hidung
dan Metilprednisolon Oral pada Polip Hidung Dinilai dari Perubahan Jumlah Sel-
sel Radang dan Stadium Polip”. Pada penelitian ini peneliti tidak
mengikutsertakan polip stadium 3 karena menurut kelompok studi Rinologi
bahwa polip hidung stadium 3 di tatalaksana dengan operasi dengan
pemberian kortikosteroid oral dosis tinggi (dosis maksimum 60 mg perhari)
jangka pendek (9 hari) sebelum operasi.

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas,maka dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana anatomi fisiologi dari polip ?
2. Apa pengertian dari polip ?
3. Bagaimana etiologi dari polip ?
4. Bagaimana klasifikasi dari polip ?
5. Bagaimana manifestasi klinis dari polip ?
6. Bagaimana patofisiologi dari polip ?
7. Bagaimana pemeriksaan penunjang dari poilp ?
8. Bagaimana komplikasi dari polip ?
9. Bagaimana penatalaksanaan dari polip ?
C. Tujuan
Dari rumusan masalah diatas,maka dapat ditentukan tujuan sebagai berikut:
1. Agar mahasiswa kesehatan mengetahui anatomi fisiologi dari polip hidung.
2. Agar mahasiswa kesehatan mengetahui pengertian dari polip hidung.
3. Agar mahasiswa kesehatan mengetahui etiologi dari polip hidung.
4. Agar mahasiswa kesehatan mengetahui klasifikasi dari polip.
5. Agar mahasiswa kesehatan mengetahui manifestasi klinis dari polip.
6. Agar mahasiswa kesehatan mengetahui patofisiologi dari polip.
7. Agar mahasiswa kesehatan mengetahui pemeriksaan penunjang dari polip
hidung.
8. Agar mahasiswa kesehatan mengetahui komplikasi dari polip.
9. Agar mahasiswa kesehatan mengetahui penatalaksanaan dari polip.

D. Manfaat Penelitian
1. Memberikan masukan dalam tatalaksana polip hidung.
2. Bagi peneliti lain Sebagai data dasar untuk penelitian selanjutnya
BAB II
PEMBAHASAN

A. Anatomi Fisiologi
Menurut Drs.H.Syaifuddin hidung atau naso atau nasal merupakan saluran
udara yang pertama, mempunyai dua lubang (kavum nasi), dipisahkan oleh sekat
hidung (septum nasi). Di dalamnya terdapat bulu-bulu yang berguna untuk
menyaring udara, debu dan kotoran yang masuk ke dalam lubang hidung.
Bagian-bagian dari hidung adalah sebagai berikut:
1. Bagian luar dinding terdiri dari kulit.
2. Lapisan tengah terdiri dari otot-otot dan tulang rawan.
3. Lapisan dalam terdiri dari selaput lendir yang berlipat lipat yang dinamakan
karang hidung (konka nasalis), yang berjumlah 3 buah:
a. Konka nasalis inferior (karang hidung bagian bawah)
b. Konka nasalis media (karang hidung bagian tengah)
c. Konka nasalis superior (karang hidung bagian atas)
Di antara konka ini terdapat 3 buah lekukan meatus yaitu:
a. Meatus superior (lekukan bagian atas)
b. Meatus medialis (lekukan bagian tengah)
c. Meatus inferior (lekukan bagian bawah).
Meatus-meatus inilah yang dilewati oleh udara pernafasan ,sebelah dalam
terdapat lubang yang berhubungan tekak,lubang ini di sebut kaona.
Fungsi dari hindung yaitu sebagai berikut:
1. Bekerja sebagai saluran udara pernafasan.
2. Sebagai penyaring udara pernafasan yang dilakukan oleh bulu-bulu hidung.
3. Dapat menghangatkan udara pernafasan oleh mukosa.
4. Membunuh kuman yang masuk ,bersama udara pernafasan oleh leukosit
yang terdapat dalam selapu lendir (mukosa) atau hidung.
(Drs.H.Syaifuddin,2006)
B. Definisi
1. Definisi Hidung menurut Syaifuddin
Hidung adalah saluran udara yang pertama mempunyai dua lubang (kavum
nasi),dipisahkan oleh sekat hidung (septum nasi) (Syaifuddin,2006).
2. Definisi Polip menurut Subhan
Polip adalah masa lunak,berwarna putih atau keabu-abuan (Subhan,
S.Kep.,2003).
3. Definisi polip hidung Subhan
Polip adalah masa lunak,berwarna putih atau keabu-abuan (Subhan,
S.Kep.,2003).

C. Etiologi
Terjadi akibat reaksi hipertensitif atau reaksi alergi pada mukosa hidung.
Polip dapat timbul pada penderita laki-laki maupun perempuan, dari usia anak-
anak sampai usia lanjut. Bila ada polip pada anak di bawah usia 2 tahun, harus
disingkirkan kemungkinan meningokel atau meningoensefalokel. Dulu diduga
predisposisi timbulnya polip nasi ialah adanya rinitis alergi atau penyakit atopi,
tetapi makin banyak penelitian yang tidak mendukung teori ini dan para ahli
sampai saat ini menyatakan bahwa etiologi polip nasi masih belum diketahui
dengan pasti.
Polip disebabkan oleh reaksi alergi atau reaksi radang. Bentuknya
bertangkai, tidak mengandung pembuluh darah. Di hidung polip dapat tumbuh
banyak, apalagi bila asalnya dari sinus etmoid. Bila asalnya dari sinus maksila,
maka polip itu tumbuh hanya satu, dan berada di lubang hidung yang
menghadap  ke nasofaring (konka). Keadaan ini disebut polip konka. Polip konka
biasanya lebih besar dari polip hidung. Polip itu harus dikeluarkan, oleh karena
bila tidak, sebagai komplikasinya dapat terjadi sinusitis. Polip itu dapat tumbuh
banyak, sehingga kadang-kadang tampak hidung penderita membesar, dan
apabila penyebarannya tidak diobati setelah polip dikeluarkan, ia dapat tumbuh
kembali. Oleh karena itu janganlah bosan berobat, oleh karena seringkali
seseorang dioperasi untuk mengeluarkan polipnya berulang-ulang.

D. Klasifikasi Polip
Menurut Subhan Polip hidung terbagi menjadi 2 jenis yaitu:
1. Polip hidung tunggal adalah jumlah polipnya hanya satu, berasal dari sel-sel
permukaan dinding sinus tulang pipi.
2. Polip hidung multiple adalah jumlah polip lebih dari satu berasal dari
permukaan dinding rongga tulang hidung bagian atas (etmoid).

E. Manifestasi Klinis
Ketika baru terbentuk, sebuah polip tampak seperti air mata dan jika telah
matang, bentuknya menyerupai buah anggur yang berwarna keabu-abuan. Polip
hidung kecil biasanya dapat dideteksi sewaktu endoskopi hidung rutin. Jarang
menimbulkan masalah-masalah yang berarti. Namun, Polip Hidung yang lebih
besar biasanya menimbulkan gejala-gejala sebagai berikut:
1. Penyumbatan hidung
Karena indera perasa berhubungan dengan indera penciuman, maka penderita
juga bisa mengalami penurunan fungsi indera perasa dan penciuman
2. Rasa sakit dan tidak nyaman di bagian wajah atau kening
3. Hilangnya indera penciuman (hiposmia)
4. Bau busuk dari hidung
5. Menyebabkan penyumbatan drainase lendir dari sinus ke hidung.
Penyumbatan ini menyebabkan tertimbunnya lendir di dalam sinus. Lendir
yang terlalu lama berada di dalam sinus bisa mengalami infeksi dan akhirnya
terjadi sinusitis.
6. Hidung tersumbat Sumbatan ini menetap dan tidak hilang timbul. Semakin
lama keluhan dirasakan semakin berat. Pasien sering mengeluhkan terasa ada
massa di dalam hidung dan sukar membuang ingus
7. Penyumbatan telinga karena penyumbatan pembuluh yang menghubungkan
hidung ke telinga
8. Sering bersuara sengau dan bernafas melalui mulutnya
9. Snoring (ngorok), gangguan tidur dan penurunan kualitas hidup.
10. Polip sangat besar yang tak diobati mungkin dapat mengubah bentuk hidung

Bagi Penderita biasanya mengeluhkan hidung tersumbat, penurunan indra


penciuman, dan gangguan pernafasan. Akibatnya penderita bersuara sengau.
Polip biasanya tumbuh di daerah dimana selaput lendir membengkak akibat
penimbunan cairan, seperti daerah di sekitar lubang sinus pada rongga hidung.
Ketika baru terbentuk, sebuah polip tampak seperti air mata dan jika telah
matang, bentuknya menyerupai buah anggur yang berwarna keabu-abuan.

F. Patofisiologi
Polip berasal dari pembengkakan mukosa hidung yang terdiri atas cairan
interseluler dan kemudian terdorong ke dalam rongga hidung dan gaya
berat. Polip dapat timbul dari bagian mukosa hidung atau sinus paranasal dan
seringkali bilateral. Polip hidung paling sering berasal dari sinus maksila
(antrum) dapat keluar melalui ostium sinus maksilla dan masuk ke ronga hidung
dan membesar di koana dan nasopharing. Polip ini disebut polip koana.
Secara makroskopik polip terlihat sebagai massa yang lunak berwarna putih
atau keabu-abuan. Sedangkan secara mikroskopik tampak submukosa hipertropi
dan sembab. Sel tidak bertambah banyak dan terutama terdiri dari sel eosinofil,
limfosit dan sel plasma sedangkan letaknya berjauhan dipisahkan oleh cairan
interseluler. Pembuluh darah, syaraf dan kelenjar sangat sedikit dalam polip dan
dilapisi oleh epitel throrak berlapis semu.

G. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada polip adalah:
1. Endoskopi. Untuk melihat polip yang masih kecil dan belum keluar dari
kompleks osteomeatal. Memberikan gambaran yang baik dari polip,
khususnya polip berukuran kecil di meatus media. Polip stadium 1 dan 2
kadang-kadang tidak terlihat pada pemeriksaan rinoskopi anterior tetapi
tampak dengan pemeriksan naso-endoskopi. Pada kasus polip koanal juga
dapat dilihat tangkai polip yang berasal dari ostium asesorius sinus maksila.
Dengan naso-endoskopi dapat juga dilakukan biopsi pada layanan rawat jalan
tanpa harus ke meja operasi.
2. Foto polos rontgen & CT-scan. Untuk mendeteksi sinusitis. Foto polos sinus
paranasal (posisi water, AP, caldwell, dan lateral) dapat memperlihatkan
penebalan mukosa dan adanya batas udara dan cairan di dalam sinus, tetapi
pemeriksaan ini kurang bermanfaat pada pada kasus polip. Pemeriksaan CT
scan sangat bermanfaat untuk melihat dengan jelas keadaan di hidung dan
sinus paranasal apakah ada kelainan anatomi, polip, atau sumbatan pada
komplek osteomeatal. CT scan terutama diindikasikan pada kasus polip yang
gagal diterapi dengan medikamentosa.
3. Biopsi. Kita anjurkan jika terdapat massa unilateral pada pasien berusia
lanjut, menyerupai keganasan pada penampakan makroskopis dan ada
gambaran erosi tulang pada foto polos rontgen.

H. Komplikasi
Satu buah polip jarang menyebabkan komplikasi, tapi dalam ukuran besar
atau dalam jumlah banyak (polyposis) dapat mengarah pada akut atau infeksi
sinusitis kronis, mengorok dan bahkan sleep apnea – kondisi serius nafas dimana
akan stop dan start bernafas beberapa kali selama tidur. Dalam kondisi parah,
akan mengubah bentuk wajah dan penyebab penglihatan ganda/berbayang. 

I. Penatalaksanaan
1. Terapi Medis
Tujuan utama pengobatan adalah mengatasi polip dan menghindari
penyebab atau faktor pendorong polip. Ada 3 macam terapi polip hidung,
yaitu medikamentosa : kortikosteroid, antibiotik & anti alergi.
a. Terapi medikamentosa ditujukan pada polip yang masih kecil yaitu
pemberian kortikosteroid sistemik yang diberikan dalam jangka waktu
singkat, dapat juga diberiksan kortikosteroid hidung atau kombinasi
keduanya. Tujuan utama pengobatan adalah mengatasi polip dan
menghindari penyebab atau faktor pemicu terjadinya polip.
b. Untuk polip edematosa, dapat diberikan pengobatan kortikosteroid.
Berikan kortikosteroid pada polip yang masih kecil dan belum memasuki
rongga hidung. Caranya bisa sistemik, intranasal atau kombinasi
keduanya. Gunakan kortikosteroid sistemik dosis tinggi dan dalam jangka
waktu singkat. Berikan antibiotik jika ada tanda infeksi.
c. Antibiotik sebagai terapi kombinasi pada polip hidung bisa kita berikan
sebelum dan sesudah operasi. Berikan antibiotik bila ada tanda infeksi
dan untuk langkah profilaksis pasca operasi. Berikan anti alergi jika
pemicunya dianggap alergi.obat kortikosteroid berupa :
1) Oral, misalnya prednison 50 mg/hari atau deksametason selama 10
hari, kemudian dosis diturunkan perlahan – lahan (tappering off)
2) Suntikan intrapolip, misalnya triamsinolon asetonid atau prednisolon
0,5 cc, tiap 5 – 7 hari sekali, sampai polipnya hilang.
3) Obat semprot hidung yang mengandung kortikosteroid, merupakan
obat untuk rinitis alergi, sering digunakan bersama atau sebagai
lanjutan pengobatn kortikosteroid per oral. Efek sistemik obat ini
sangat kecil, sehingga lebih aman. Polip cenderung tumbuh kembali
jika penyebabnya (alergi maupun infeksi) tidak terkontrol. Pemakaian
obat semprot hidung yang mengandung corticosteroid bisa
memperlambat atau mencegah kekambuhan dan kadang bisa
memperkecil ukuran polip atau bahkan menghilangkan polip.
2. Operasi : polipektomi & etmoidektomi.
Untuk polip yang ukurannya sudah besar dan sifatnya berat maka
dilakukan pembedahan untuk memperbaiki drainase sinus dan membuang
bahan-bahan yang terinfeksi.
Pembedahan dilakukan jika :
a. Polip menghalangi saluran nafas
b. Polip menghalangi drainase dari sinus sehingga sering terjadi infeksi
sinus
c. Polip berhubungan dengan tumor
d. Pada anak – anak dengan multipel polip atau kronik rhinosinusitist yang
gagal  pengobatan maksimum dengan obat- obatan.

Untuk polip yang ukurannya sudah besar dilakukan ektraksi polip


(polipektomi) dengan menggunakan senar polip.
a. Polipektomi merupakan tindakan pengangkatan polip menggunakan senar
polip dengan bantuan anestesi lokal, untuk polip yang besar dan
menyebabkan kelainan pada hidung, memerlukan jenis operasi yang lebih
besar dan anestesi umum.  Kategori polip yang diangkat adalah polip
yang besar namun belum memadati rongga hidung. Polipektomi
sederhana cukup efektif untuk memperbaiki gejala pada hidung,
khususnya pada kasus polip yang tersembunyi atau polip yang sedikit.
Surgical micro debridement merupakan prosedur yang lebih aman dan
cepat, pemotongan jaringan lebih akurat dan mengurangi perdarahan
dengan visualisasi yang lebih baik.
b. Etmoidektomi atau bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF/FESS)
merupakan tindakan pengangkatan polip sekaligus operasi sinus,
merupakan teknik yang lebih baik yang tidak hanya membuang polip tapi
juga membuka celah di meatus media yang merupakan tempat asal polip
yang tersering sehingga akan membantu mengurangi angka kekambuhan.
Kriteria polip yang diangkat adalah polip yang sangat besar, berulang,
dan jelas terdapat kelainan di kompleks osteomeatal. Antibiotik sebagai
terapi kombinasi pada polip hidung bisa kita berikan sebelum dan
sesudah operasi.Berikan antibiotik bila ada tanda infeksi dan untuk
langkah profilaksis pasca operasi.

Bila faktor yang menyebabkan terjadinya polip tidak teratasi maka polip
hidung ini rawan untuk kambuh kembali demikian berulang ulang. Oleh
sebab itu sangat diharapkan kepatuhan pasien untuk menghindari hal hal
yang menyebabkan alergi yang bisa menjurus untuk terjadinya polip hidung.
Di samping harus menjalankan pengobatan, penderita penyakit ini juga
harus berpantangan menyantap makanan yang bisa menimbulkan alergi,
seperti udang, kepiting, dan tongkol. Selain itu juga harus menjauhi media
penyebab alergi, berupa debu, serbuk sari (polen), bulu binatang, asap rokok,
dan asap pabrik.
3. Terapi Keperawatan
a. Vocational Rehabilitation
Rehabilitasi yang dilakukan untuk memberikan pendidikan pasca operasi
karena akan ada bekas luka dalam hidung sehingga harus diajari cara
membuang ingus yang tidak membuat pasien kesakitan.
b. Social Rehabilitation
Rehabilitasi yang bertujuan untuk adaptasi awal terhadap perubahan
tubuh sebagai bukti dengan partisipasi dalam aktivitas perawatan diri dan
interaksi positif dengan orang lain bertujuan untuk tidak menarik diri dari
kontak social.

BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
1. Data demografi  
a. Nama                    
b. Umur                         
c. Jenis kelamin        
d. Status                   
e. Agama                 
f. Suku bangsa         
g. Pendidikan                       
h. Pekerjaan              
i. Alamat                 
2. Keluhan utama: sulit bernapas
3. Riwayat penyakit sekarang : klien merasaan buntu pada hidung dan nyeri
kronis pada hidung.
4. Riwatan penyakit dahulu: Klien memiliki riwayat penyakit sinusitis,
rhinitis alergi, serta riwayat penyakit THT. Klien pernah menderita penyakit
akut dan perdarahan hidung atau trauma. Selain itu, klien pernah menderita
sakit gigi geraham.
5. Riwayat penyakit keluarga: –
6.  Riwayat psikososial
7. Pemeriksaan fisik persistem 
a) B1 (breath): RR dapat meningkat atau menurun, terjadi perubahan
pola napas akibat adanya massa yang membuntu jalan napas, adanya
suara napas tambahan seperti ronchi akibat penumpukan secret, serta
terlihat adanya otot bantu napas saat inspirasi
b) B2 (blood): –
c) B3 (brain): adanya nyeri kronis akibat pembengkakan pada mukosa,
gangguan penghidu atau penciuman
d) B4 (bladder): terjadi penurunan intake cairan
e)  B5 (bowel): nafsu makan menurun, berat badan turun, klien terlihat
lemas
f) B6 (bone): –

B. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan persepsi sensori b/d gangguan penghiduan d/d distorsi sensori,

respon tidak sesuai, bersikap seolah mencium sesuatu

2. Nyeri Akut b/d agen pencedera fisiologis d/d tampak meringis, bersikap

protektif, gelisah

3. Bersihan jalan nafas tidak efektif b/d benda asing dalam jalan nafas d/d

obstruksi jalan nafas, batuk tidak efektif

4. Pola nafas tidak efektif b/d hambatan upaya napas d/d dispneu, pola nafas

abnormal

5. Ansietas b/d kurang terpapar informasi d/d merasa bingung, tampak

gelisah, tampak tegang, dan sulit tidur

C. INTERVENSI KEPERAWATAN
Dx Gangguan persepsi sensori b/d gangguan penghiduan d/d distorsi sensori,

respon tidak

sesuai, bersikap seolah mencium sesuatu

Meminimalisasi Rangsangan
Observasi

- Periksa status mental, status sensori, dan tingkat kenyamanan (mis. Nyeri
dan kelelahan)
Terapeutik
- Diskusikan tingkat toleransi terhadap beban sensori
- Batasi stimulus lingkungan
- Jadwalkan aktivitas harian dan jam istirahat
- Kombinasikan prosedur/tindakan dalam satu waktu, sesuai kebutuhan
Edukasi
- Ajarkan cara meminimalisasi stimulus
Kolaborasi
- Kolaborasi dalam meminimalkan prosedur/tindakan
- Kolaborasi pemberian obat yang mempengaruh persepsi stimulus

Dx Nyeri Akut b/d agen pencedera fisiologis d/d tampak meringis, bersikap
protektif, gelisah
Manejemen Nyeri
Observasi
1) Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekwensi,kualitas,kuantitas, dan
intensitas nyeri
2) Identifikasi skala nyeri
3) Identifikasi respon nyeri non verbal
4) Identifikasi factor yang memperberat dan memperingan nyeri
5) Identifikasi pengetahuan tentang nyeri
6) Identifikasi nyeri terhadap kwalitas hidup
7) Identifikasi terapi komplementer yang telah diberikan

Terapeutik

1) Berikan tekhnik non farmakologi untuk mengurangi rasa nyeri


2) Kontrol lingkungan yang memperberat nyeri
3) Fasilitas istirahat dan tidur
Edukasi
1) Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
2) Jelaskan strategi pereda nyeri
3) Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
4) Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat
5) Ajarkan tekhnik non farmakologi untuk mereda rasa nyeri
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu

Dx Bersihan jalan nafas tidak efektif b/d benda asing dalam jalan nafas d/d
obstruksi jalan nafas, batuk tidak efektif

Observasi

1) Identifikasi kemampuan batuk


2) Monitor adanya retensi sputum
3) Monitor tanda dan gejala infeksi saluran nafas
4) Monitor input dan output cairan
Terapeutik
1) Atur posisi semi fowler/fowler
2) Pasang perlak atau bengkok di pangkuan pasien
3) Buang secret pada tempat sputum
Edukasi
1) Jelaskan tujuan dan prosedur batuk efektif
2) Anjurkan Tarik nafas dalam melalui hidung selama 4detik, ditahan
selama 2detik, kemudian keluarkan dari mulut dengan bibir mencucu
(bulatkan) selama 8detik
3) Anjurkan mengulangi Tarik nafas dalam hingga 3 kali
4) Anjurkan batuk dengan kuat langsung tarik nafas dalam yang ke 3
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian mukolitik atau ekspektoran, jika perlu
Dx Pola nafas tidak efektif b/d hambatan upaya napas d/d dispneu, pola nafas

abnormal

Pemantauan Respirasi

Observasi

1) Monitor frekwensi, irama, kedalaman dan upaya nafas


2) Monitor pola nafas
3) Monitor kemampuan batuk efektif
4) Monitor adanya produksi sputum
5) Monitor adanya sumbatan jalan nafas
6) Palpasi kesimetrisan ekspansi paru
7) Auskultasi bunyi nafas
8) Monitor saturasi oksigeb
9) Monitor nilai AGD
10) Monitor hasil X-Ray Torax

Terapeutik
1) Atur interval pemantauan respirasi sesuai kondisi pasien
2) Dokumentasikan hasil pemantauan

Edukasi
1) Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
2) Informasikan hasil pemantauan,jika perlu

Dx Ansietas b/d kurang terpapar informasi d/d merasa bingung, tampak


gelisah, tampak tegang, dan sulit tidur
Reduksi Ansietas
Observasi

1) Identifikasi saat tingkat ansietas berubah (mis. Kondisi, waktu, stressor)


2) Identifikasi kemampuan mengambil keputusan
3) Monitor tanda-tanda ansietas (verbal dan nonverbal)

Terapeutik
1) Ciptakan suasana terapeutik untuk menumbuhkan kepercayaan
2) Temani pasien untuk mengurangi kecemasan
3) Pahami situasi yang membuat ansietas
4) Dengarkan dengan penuh perhatian
5) Gunakan pendekatan yang tenang dan meyakinkan
6) Tempatkan barang pribadi yang memberikan kenyamanan
7) Motivasi,mengidentifikasi situasi yang memicu kecemasan
8) Diskusikan perencanaan realistis tentang peristiwa yang akan dating

Edukasi
1) Jelaskan prosedur, termasuk sensasi yang mungkin dialami
2) Informasikan secara factual mengenai diagnosis, pengobatan, dan
prognosis
3) Anjurkan keluarga untuk selal bersama pasien
4) Anjurkan mengungkapkan perasaan dan persefsi
5) Latih kegiatan pengalihan untuk mengurangi ketegangan
6) Latih pengggunaan mekanisme pertahanan yang tepat
7) Latih tekhnik relaksasi

Kolaborasi
Kolaborasi pemberian obat ansietas, jika perlu
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Hidung adalah saluran udara yang pertama mempunyai dua lubang (kavum
nasi), dipisahkan oleh sekat hidung (septum nasi) ( Drs.H.Syaifuddin,2006).
Penatalaksanaan:polip yang masih kecil dapat diobati kortikosteroid baik
local maupun sistemik. Tapi,Pada pasien dengan polip yang cukup besar dan
persisten baru akan di lakukan tindakan operatif berupa pengangkatan polip
(polippectomy). Jadi, untuk penatalaksanaan pada pasien harus menyesuaikan
dengan situasi dan kondisi agar penangannya bisa tepat.

B. Saran
Saran dari kelompok kami sebaiknya untuk penanganan pada pasien dengan
polip hidung harus dilakukan secara tepat. Karena, penatalaksanaan tindakan
untuk setiap pasien yang menderita penyakit polip hidung berbeda-beda
tergantung dengan tingkat keparahan penyakit polipnya. polip yang masih kecil
dapat diobati kortikosteroid baik local maupun sistemik. Tapi, Pada pasien
dengan polip yang cukup besar dan persisten baru akan di lakukan tindakan
operatif berupa pengangkatan polip (polippectomy). Jadi, untuk penatalaksanaan
pada pasien harus menyesuaikan dengan situasi dan kondisi agar penangannya
bisa tepat.

DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar keperawtan medikal bedah, edisi 8 vol 3.
Jakarta: EGC

Carpenito, L.J. 2000. Diagnosa Keperawatan, Aplikasi pada Praktik Klinis, edisi


6. Jakarta: EGC
Corwin, EJ. 2009. Buku Saku Patofisiologi, 3 Edisi Revisi. Jakarta: EGC
Andrianto, Petrus. 1986 .Penyakit Telinga,Hidung Dan Tenggorokan. Jakarta: EGC.
Pracy R dkk. 1989. Pelajaran Singkat Telinga,Hidung Dan
Tenggorok.Jakarta:Gramedia.
Subhan. 2006. ASKEP: Pasien dengan Polip Hidung. Surabaya: UNAIR Press.
Syaifuddin. 2006. Anatomi Fisiologi Edisi 3. Jakarta: EGC.
Tambayong, Jan. 2001. Anatomi Fisiologi. Jakarta: EGC.
Tambayong, J. 2003. Patofisiologi untuk Keperawatan. EGC : Jakarta.
PPNI, 2017, Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia, Edisi I. Jakarta

PPNI, 2017, Standar Intervensi Keperawatan Indonesia, Edisi I. Jakarta

PPNI, 2017, Standar Luaran Keperawatan Indonesia, Edisi I. Jakarta

Anda mungkin juga menyukai