Anda di halaman 1dari 14

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN

LIMFADENOPATI COLLI DIRUANG MALEO

A. DEFINISI
Limfadenopati adalah ketidaknormalan kelenjar getah bening
dalam ukuran, konsistensi, ataupun jumlahnya. Pada daerah leher
(cervical), pembesaran kelenjar getah bening didefinisikan bila kelenjar
membesar lebih dari diameter satu centimeter.
Pembesaran kelenjar getah bening dapat dibedakan menjadi
limfadenopati lokalisata dan generalisata.

B. ETIOLOGI
1. Infeksi virus
Infeksi yang disebabkan oleh virus pada saluran pernapasan
bagian atas seperti Rinovirus, Parainfluenza Virus, influenza
Virus, Respiratory Syncytial Virus (RSV), Coronavirus, Adenovirus
ataupun Retrovirus.
Virus lainnya Ebstein Barr Virus (EBV), Cytomegalo Virus (CMV),
Rubela, Rubeola, Varicella-Zooster Virus, Herpes Simpleks Virus,
Coxsackievirus, dan Human Immunodeficiency Virus (HIV).
2. Infeksi bakteri
disebabkan Streptokokus beta hemolitikus Grup A atau
stafilokokus aureus.
3. Keganasan
Keganasan seperti leukemia, neuroblastoma, rhabdomyo-sarkoma
dan limfoma juga dapat menyebabkan limfadenopati. Diagnosis
defenitif suatu limfoma membutuhkan tindakan biopsi eksisi, oleh
karena itu diagnosis subtipe limfoma dengan menggunakan biopsi
aspirasi jarum halus masih merupakan kontroversi.
4. Obat-obatan
Obat-obatan dapat menyebabkan limfadenopati generalisata.
Limfadenopati dapat timbul setelah pemakaian obat-obatan
seperti fenitoin dan isoniazid. Obat-obatan lainnya seperti
allupurinol, atenolol, captopril, carbamazepine, cefalosporin,
emas, hidralazine, penicilin, pirimetamine, quinidine, sulfonamida,
sulindac).
5. Imunisasi
Imunisasi dilaporkan juga dapat menyebabkan limfadenopati di
daerah leher, seperti setelah imunisasi DPT, polio atau tifoid.
6. Penyakit sistemik lainnya
Penyakit lainnya yang salah satu gejalanya adalah limfadenopati
adalah penyakit Kawasaki, penyakit Kimura, penyakit Kikuchi,
penyakit Kolagen, penyakit Cat scratch, penyakit Castleman,
Sarcoidosis, Rhematoid arthritis dan Sisestemic lupus
erithematosus (SLE).

C. TANDA DAN GEJALA


1. Demam berkepanjangan dengan suhu lebih dari 38 oC.
2. Sering keringat malam.
3. Kehilangan berat badan lebih dari 10% dalam 6 bulan.
4. Timbul benjolan di bagian leher.

D. PATOFISIOLOGI
Sistem limfatik berperan pada reaksi peradangan sejajar dengan
sistem vaskular darah. Biasanya ada penembusan lambat cairan
interstisial kedalam saluran limfe jaringan, dan limfe yang terbentuk
dibawa kesentral dalam badan dan akhirnya bergabung kembali kedarah
vena. Bila daerah terkena radang, biasanya terjadi kenaikan yang
menyolok pada aliran limfe dari daerah itu. Telah diketahui bahwa dalam
perjalanan peradangan akut, lapisan pembatas pembuluh limfe yang
terkecil agak meregang, sama seperti yang terjadi pada venula, dengan
demikian memungkinkan lebih banyak bahan interstisial yang masuk
kedalam pembuluh limfe. Bagaimanapun juga, selama peradangan akut
tidak hanya aliran limfe yang bertambah, tetapi kandungan protein dan sel
dari cairan limfe juga bertambah dengan cara yang sama.
Sebaliknya, bertambahnya aliran bahan-bahan melalui pembuluh
limfe menguntungkan karena cenderung mengurangi pembengkakan
jaringan yang meradang dengan mengosongkan sebagian dari eksudat.
Sebaliknya, agen-agen yang dapat menimbulkan cedera dapat dibawa
oleh pembuluh limfe dari tempat peradangan primer ketempat yang jauh
dalam tubuh. Dengan cara ini, misalnya, agen-agen yang menular dapat
menyebar. Penyebaran sering dibatasi oleh penyaringan yang dilakukan
oleh kelenjar limfe regional yang dilalui oleh cairan limfe yang bergerak
menuju kedalam tubuh, tetapi agen atau bahan yang terbawa oleh cairan
limfe mungkin masih dapat melewati kelenjar dan akhirnya mencapai
aliran darah. (Price, 1995; 39 - 40).
Riwayat penyakit dan pemeriksaan fisis dapat menghasilkan
petunjuk tentang kemungkinan diagnosis ini dan evaluasi lebih lanjut
secara langsung ( misalnya hitung darah lengap, biakan darah, foto
rontgen, serologi, uji kulit). Jika adenopati sistemik tetap terjadi tanpa
penyebab yang jelas tanpa diketahui, biopsi kelenjar limfe dianjurkan.
(Harrison, 1999; 372). Biopsi sayatan: Sebagian kecil jaringan tumur
mame diamdil melalui operasi dengan anestesi umum jaringan tumor itu
dikeluarkan, lalu secepatnya dikirim kelaborat untuk diperriksa. Biasanya
biopsi ini dilakukan untuk pemastian diagnosis setelah operasi. ( Oswari,
2000; 240 ). Anestesi umum menyebabkan mati rasa karena obat ini
masuk kejaringan otak dengan tekanan setempat yang tinngi. ( Oswari,
2000; 34 ). Pada awal pembiusan ukuran pupil masih biasa, reflek pupil
masih kuat, pernafasan tidak teratur, nadi tidak teratur, sedangkan
tekanan darah tidak berubah, seperti biasa. (Oswari, 2000; 35.

E. PATHWAYS
Penembusan lambat cairan interstitial
kedalam saluran limfe jaringan

Radang limfe

Terjadi kenaikan aliran limfe menuju sentral dalam badan


pada daerah peradangan

bergabung kembali ke vena perubahan


dalam
kemampuan
pembekuan

darah
pembuluh vena yang terkecil agak meregang

bila terjadi
trauma
banyak cairan interstitial kandungan protein bertambah
masuk ke pembuluh limfe

Resti
kekurangan
volume cairan
menekan organ terjadi bengkak
pernapasan

dilakukan tindakan invasif


Nyeri akut
Pola nafas tidak
efektif

Resti infeksi
F. PENATALAKSAAN MEDIS DAN KEPERAWATAN
1. PENATALAKSAAN MEDIS
Pengobatan limfadenopati KGB leher didasarkan kepada
penyebabnya.
Banyak kasus dari pembesaran KGB leher sembuh dengan
sendirinya dan tidak
membutuhkan pengobatan apapun selain observasi.
Kegagalan untuk mengecil setelah 4-6 minggu dapat menjadi
indikasi
untuk dilaksanakan biopsi KGB. Biopsi dilakukan terutama bila
terdapat tanda
dan gejala yang mengarahkan kepada keganasan. KGB yang
menetap atau
bertambah besar walau dengan pengobatan yang adekuat
mengindikasikan
diagnosis yang belum tepat.
Antibiotik perlu diberikan apabila terjadi limfadenitis
supuratif yang biasa
disebabkan oleh Staphyilococcus. aureus dan Streptococcus
pyogenes (group A).
Pemberian antibiotik dalam 10-14 hari dan organisme ini akan
memberikan
respon positif dalam 72 jam. Kegagalan terapi menuntut untuk
dipertimbangkan
kembali diagnosis dan penanganannya.
Pembedahan mungkin diperlukan bila dijumpai adanya
abses dan evaluasi dengan menggunakan USG diperlukan untuk
menangani pasien ini.

2. PENATALAKSANAAN KEPERAWATAN
Tindakan keperawatan yang bisa dilakukan adalah:
a. Memonitor keadaan umum pasien, memonitor suhu tubuh
pasien
b. Menjaga kebersihan saat akan memegang pasien, agar
tidak menjadi infeksi
c. Dorong pemasukan cairan,diit tinggi protein
d. Mengevaluasi nyeri secara regular
e. Letakkan pasien pada posisi yang sesuai, tergantung pada
kekuatan pernafasan dan jenis pembedahan
f. Ukur dan catat pemasukan dan pengeluaran

G. FOKUS PENGKAJIAN
PENGKAJIAN FISIK
Secara umum malnutrisi atau pertumbuhan yang terhambat
mengarahkan kepada penyakit kronik seperti tuberkulosis, keganasan
atau gangguan system kekebalan tubuh.
Karakteristik dari KGB dan daerah sekitarnya harus diperhatikan.
KGB harus diukur untuk perbandingan berikutnya. Harus dicatat ada
tidaknya nyeri tekan, kemerahan, hangat pada perabaan, dapat bebas
digerakkan atau tidak dapat digerakkan, apakah ada fluktuasi, konsistensi
apakah keras atau kenyal.
1. Ukuran: normal bila diameter 0,5 cm dan lipat paha >1,5 cm
dikatakan abnormal.
2. Nyeri tekan: umumnya diakibatkan peradangan atau proses
perdarahan.
3. Konsistensi: keras seperti batu mengarahkan kepada keganasan,
padat seperti karet mengarahkan kepada limfoma; lunak
mengarahkan kepada proses infeksi; fluktuatif mengarahkan telah
terjadinya abses/pernanahan.
4. Penempelan/bergerombol: beberapa KGB yang menempel dan
bergerak bersamaan bila digerakkan. Dapat akibat tuberkulosis,
sarkoidosis atau keganasan.
Pembesaran KGB leher bagian posterior biasanya terdapat pada
infeksi rubella dan mononukleosis. Supraklavikula atau KGB leher bagian
belakang memiliki risiko keganasan lebih besar daripada pembesaran
KGB bagian anterior. Pembesaran KGB leher yang disertai daerah
lainnya juga sering disebabkan oleh infeksi virus. Keganasan, obat-
obatan, penyakit kolagen umumnya dikaitkan degnan pembesaran KGB
generalisata.
Pada pembesaran KGB oleh infeksi virus, umumnya bilateral
lunak dan dapat digerakkan. Bila ada infeksi oleh bakteri, kelenjar
biasanya nyeri pada penekanan, baik satu sisi atau dua sisi dan dapat
fluktuatif dan dapat digerakkan. Adanya kemerahan dan suhu lebih panas
dari sekitarnya mengarahkan infeksi bakteri dan adanya fluktuatif
menandakan terjadinya abses. Bila limfadenopati disebabkan keganasan
tanda-tanda peradangan tidak ada, KGB keras dan tidak dapat
digerakkan oleh karena terikat dengan jaringan di bawahnya.
Pada infeksi oleh mikobakterium, pembesaran kelenjar berjalan
berminggu-minggu sampai berbulan-bulan, walaupun dapat mendadak,
KGB menjadi fluktuatif dan kulit diatasnya menjadi tipis, dan dapat pecah
dan terbentuk jembatan-jembatan kulit di atasnya.
Adanya tenggorokan yang merah, bercak-bercak putih pada tonsil,
bintikbintik merah pada langit-langit mengarahkan infeksi oleh bakteri
streptokokus. Adanya selaput pada dinding tenggorok, tonsil, langit-langit
yang sulit dilepas dan bila dilepas berdarah, pembengkakan pada
jaringan lunak leher (bull neck) mengarahkan kepada infeksi oleh bakteri
difteri. Faringitis, ruam-ruam dan pembesaran limpa mengarahkan
kepada infeksi Epstein Barr Virus (EBV).
Adanya radang pada selaput mata dan bercak koplik
mengarahkan kepada campak. Adanya pucat, bintik-bintik perdarahan
(bintik merah yang tidak hilang dengan penekanan), memar yang tidak
jelas penyebabnya, dan pembesaran hati dan limpa mengarahkan
kepada leukemia. Demam panjang yang tidak berespon dengan obat
demam, kemerahan pada mata, peradangan pada tenggorok, strawberry
tongue, perubahan pada tangan dan kaki (bengkak, kemerahan pada
telapak tangan dan kaki) dan limfadenopati satu sisi (unilateral)
mengarahkan kepada penyakit Kawasaki.

H. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien limfadenopati
adalah:
1. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan prosedur
invasif
2. Nyeri akut berhubungan dengan gangguan pada kulit, jaringan
dan integritas.
3. Pola nafas tidak efetif berhubungan dengan neouromuscular,
ketidak seimbanganpersptual.
4. Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan berhubungan
dengan pengeluaran integritas pembuluh darah, perubahan dalam
kemampuan pembekuan darah

I. INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan prosedur
invasif
Tujuan: Mencapai penyembuhan tepat waktu,bebas drenase
purulen atau eritema dan tidak demam ( doengos, 1999; 796 –
797 )
Intervensi: 
a. Tingkatkan cuci tangan yang baik pada setaf dan pasien.
b. Gunakan aseptik atau kebersinan yang ketet sesuai indikasi untuk
menguatkan atau menganti balutan dan bila menangani
drain.insruksian pasien tidak untuk menyentuh atau menggaruk
insisi.
c. Kaji kulit atau warna insisi. Suhu dan integrits: perhatikan adanya
eritema /inflamasi kehilangan penyatuan luka.
d. Awasi suhu adanya menggigil
e. Dorong pemasukan cairan,diit tinggi protein dengan bentuk
makanan kasar.
f. Kolaborasi berikan antibiotik sesuai indikasi
Rasional :
a. Menurunkan resiko kontaminasi silang.
b. Mencegah kotaminasi dan resiko infeki luka,dimana dapat
memerlukan post prostese.
c. Memberikan informasi trenteng status proses penyembuhan dan
mewaspadakan staf terhadap dini infeksi.
d. Meskipun umumnya suhu meningkatpdad fase dini pasca operasi
dan/atua adanya menggigil biasanya mengindikasikan terjadinya
infeksi memerlukan inetrvensi untuk mencegah komplikasi lebih
serius.
e. Mempertahankan keseimbangan cairan dan nutrisi untuk
mendukung perfusi jaringan dan memberikan nutrisi yang perlu
untuk regenerasi selular dan penyembuhan jaringan.
f. Mungkin berguna secara profilaktik untuk mencegah infeksi.

2. Nyeri akut berhubungan dengan gangguan pada kulit, jaringan


dan integritas otot.
Tujuan: mengatakan bahwa rasa sakit telah terkontrol / hilang.
( doengos, 1999; 915 – 917 )
Intervensi :
a. Evaluasi rasa sakit secara regular (mis, setiap 2 jam x 12 ), catat
karakteristik, lokasi dan intensitas ( skala 0-10 ).
b. Kaji penyebab ketidaknyamanan yang mungkin selain dari
prosedur operasi.
c. Berikan informasi mengenai sifat ketidaknyamanan, sesui
kebutuhan.
d. Lakukan reposisi sesui petunjuk, misalnya semi - fowler; miring.
e. Dorong penggunaan teknik relaksasi, misalnya latihan napas
dalam, bimbingan imajinasi, visualisasi.
f. Berikan perwatan oral reguler.

Rasional:
a. Sediakan informasi mengenai kebutuhan / efektifitas intervensi.
Catatan: sakit kepala frontal dan / atau oksipital mungkin
berekembang dalam 24-72 jam yang mengikuti anestesi spinal,
mengharuskan posisi terlentang, peningkatan pemasukan cairan,
dan pemberitahuan ahli anestesi.
b. Ketidaknyamanan mungkin disebabkan / diperburuk dengan
penekanan pada kateter indwelling yang tidak tetap, selang NG,
jalur parenteral ( sakit kandung kemih, akumulasi cairan dan gas
gaster, dan infiltrasi cairan IV/ medikasi.
c. Pahami penyebab ketidaknyamanan ( misalnya sakit otot dari
pemberian suksinilkolin dapat bertahan sampai 48 jam pasca
operasi, sakit kepala sinus yang disosialisasikan dengan nitrus
oksida dan sakit tenggorok dan sediakan jaminan emosional.
Catatan: peristasia bagian-bagian tubuh dapat menyebabkan
cedera saraf. Gejala – gejala mungkin bertahan sampai berjam-
jam atau bahkan berbulan – bulan dan membutuhkan wevaluasi
tambahan. 
d. Mungkin mengurangi rasa sakit dan meningkatkan sirkulasi. Posisi
semi – Fowler dapat mengurangi tegangan otot abdominal dan oto
punggung artritis, sedangkan miring mengurangi tekanan dorsal
e. Lepaskan tegangan emosional dan otot; tingkatkan perasaan
kontrol yang mungkin dapat meningkatkan kemam puan koping
f. Mengurangi ketidaknyamanan yang di hubungkan dangan
membaran mukosa yang kering pada zat – zat anestesi, restriksi
oral.

3. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan neouromuskular,


ketidak imbangan persptual. 
Tujuan: Menetapkan pola nafas normal / efektif dan bebas dari
sianosis dan tanda – tanda hipoksai lain. ( doengos,
1999; 911 – 912 )
Intervensi:
a. Pertahankan jalan udara pasien dengan memiringkan kepala,
hipereksentensi rahang, aliran udara feringeal oral.
b. Obserefasi dan kedalamam pernafasan, pemakaian otot – otot
bantu pernafasan, perluasan rongga dada, retraksi atau
pernafasan cuping hidung, warna kulit dan aliran udara
c. Letakkan pasien pada posisi yang sesuai, tergantung pada
kekuatan pernafasan dan jenis pembedahan.
d. Observasi pengembalian fungsi otot terutama otot pernafas
e. Lakukan penghisapan lendir jika perlu.
f. Kaloborasi: berikan tambahan oksigen sesui kebutuhan.
Rasional:
a. Mencegah obstruksi jalan nafas
b. Dilakukan untuk memastikan efektivitas pernafasan
sehingga upaya memperbaikinya dapat segera dilakukan
c. Elevasi kepala dan posisi miring akan mencegah terjadinya
aspirasi dari muntah, posisi yang benar akan mendoromg
ventilasi pada lobus paru bagian bawah dan menurunkan
tekanan pada diafragma.
d. Setelah pemberian obat – obat relaksasi otot selama masa
intra operatif pengembalian fungsi otot pertama kali terjadi
pada difragma, otot – otot interkostal, dan laring yang akan
diikuti dengan relaksasi dengan relaksasi kelompok otot –
otot utma seperti leher, bahu, dan otot – otot abdominal,
selanjutnya diikuti oleh otot – otot berukuran sedang
seperti lidah, paring, otot – otot ekstensi dan fleksi dan
diakhiri oleh mata, mulut, wajah dan jari – jari
tangan. Obstruksi jalan nafas dapat terjadi karena danya
darah atau mukus dalam tenggorok atau trakea.
e. Dilakukan untuk meningkatkan atau memaksimalkan
pengambilan oksigen yang akan diikat oleh Hb yang
mengantikan tempat gas anestesi dan mendorng
pengeluaran gas tersebut melalui zat – zat inhalasi.

4. Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan berhubungan


dengan pengeluaran integritas pembuluh darah, perubahan dalam
kemampuan pembekuan darah.
Tujuan: Mendemonstrasikan keseimbangan cairan yang adekuat,
sebagaimana ditunjukkan dengan tanda – tanda vital
yang stabil, palpasi denyut nadi dengan kualitas yang
baik, turgor kulit normal, membran mukosa lembab, dan
pengeluaran urine yang sesui. ( doengos, 1999; 913 –
915)
Intervensi:
a. Ukur dan catat pemasukan dan pengeluaran ( termasuk
pengeluaran gastrointestinal ).
b. Kaji pengeluaran urinarus, terutama untuk tipe prosedur operasi
yang dilakukan.
c. Berikan bantuan pengukuran berkemih sesuai kebutuhan.
Misalnya privasi, posisi duduk, air yang mengalir dalam bak,
mengalirkan air hamgat diatas perineum.
d. Catat munculnya mual/muntah, riwayat pasien mabuk perjalanan.
e. Periksa pembalut, alat drein pada intrval reguler. Kaji luka untuk
terjadinya pembengkakan.
f. Kalaborasi: Berikan cairan pariental, pruduksi darah dean / atau
plasma ekspander sesuai petunjuk. Tingkatkan kecepatan IV jika
diperlukan.
Rasional:
a. Dokumentasi yang akurat akan membantu dalam
mengidentifikasi pengeluaran cairan/ kebutuhan
pemggantian dan pilihan – pilihan yang mempengaruhi
intervensi.
b. Mungkin akan terjadi penurunan ataupun penghilangan
setelah prosedur pada sistem genitourinarius dan / atau
struktur yang berdekatan.
c. Meningkatkan relaksasi otot perineal dan memudahkan
upaya pengosongan.
d. Wanita, pasien dengan obesitas, dan mereka yang
memiliki kecenderungan mabuk perjalanan penyakit
memiliki resiko mual/ muntah yang lebih tinggi pada masa
pasca operasi. Selain itu, semakin lama durasi anestesi,
semakin resiko untuk mual, catatan: Mual yang terjadi
selama 12 –24 jam pasca operasi umumnya dibangunkan
dengan anestesi( termasuk anestesi regional ),. Mual yang
bertahan lebih dari 3 hari pasca operasi mungkin
dihubungkan dengan pilihan narkotik untuk mengontrol
rasa sakit atau tr erap oabt – abatan lainnya.
e. Perdarahan yang berlebihan dapat mengacu kepada
hipovolemia / hemoragi. Pembengkakan lokal mungkin
mengindikasikan formasi hematoma/ perdarahan.
f. Gantikan kehilangan cairan yang telah didokumentasikan.
Catat waktu penggantian volume sirkulasi yang potensial
bagi penurunan komplikasi, misalnya ketidak seimbangan.
DAFTAR PUSTAKA

Lokananta, Irene, 2013,


www.scribd.com/doc/144560115/Limfadenopati-Colli, 20 oktober 2013,
06.45 WIB
Repository USU,
repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/16862/4/Chapter%20II.pdf, 20
oktober 2013, 06.30 WIB

Anda mungkin juga menyukai