KELOMPOK 1
Disusun Oleh :
1. Aslichah
2. Efi Khori’ah
3. Hanifah Ulya R
4. Khoirun Nikmah
5. Laili Dwi Nor
6. Pelangi Rismadanti
7. Puja Mutiara A
8. Santi Pratiwi
9. Shintia Kunmala S
10. Shizouka A
11. Titik Handayani S
Kelas : III.A
TAHUN 2018/2019
Website: http://www.stikesmuhkudus.ac.id
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Swt. Atas limpah ramat serta karunia-
Nya kami dapat menyelesaikan tugas makalah Mata Kuliah “Keperawatan Menjelang Ajal”
ini dengan lancar dan pada waktu yang telah ditentukan.
Dalam kesempatan ini tidak lupa kami ucapkan banyak trima kasih kepada bapak/ibu
Selaku dosen pembimbing dan kepada seluruh pihak yang telah membantu dalam
penyusunan makalah ini.
Dalam penulisan makalah ini tentunya tidak lepas dari kekurangan dan kelemahan
sehingga saran dan kritik diharapkan untuk menambah wawasan kami.
Akhir kata, kami ucapkan terima kasih dan mohon ma’af apabila ada kekurangan
atau kesalahan dalam mengerjakan tugas ini.
Penulis
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................. 2 .
DAFTAR ISI............................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN
Kesimpulan................................................................................................. 32
DAFTAR PUSTAKA................................................................................ 34
3
BAB I
PENDAHULUAN
Perkembangan dan kemajuan dunia kedokteran yang pesat belakangan ini, telah
membawa dunia kedokteran untuk berhadapan dengan beberapa masalah pelik. Antara
lain : transplantasi organ tubuh manusia, bayi tabung, inseminasi buatan, sterilisasi,
abortus provokatus (aborsi) dan euthanasia. Selain menyangkut bidang edokteran sendiri,
perkembangan dan kemajuan tersebut justru harus lebih banyak berhadapan dengan hak
asasi manusia, etika dan hukum.(Achadiat, 2007).
Meningkatnya jumlah pasien dengan penyakit yang belum dapat disembuhkan baik
pada dewasa dan anak seperti penyakit kanker, penyakit degeneratif, penyakit paru
obstruktif kronis, cystic fibrosis, stroke , Parkinson, gagal jantung/heart failure , penyakit
genetika dan penyakitinfeksi seperti HIV/AIDS yang memerlukan perawatan paliatif,
disamping kegiatan promotif , preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Namun saat ini,
pelayanan kesehatan di Indonesia belum menyentuh kebutuhan pasien dengan penyakit
yang sulit disembuhkan tersebut, terutama pada stadium lanjut dimana prioritas
pelayanan tidak hanya pada penyembuhan tetapi juga perawatan agar mencapai kualitas
hidup yang terbaik bagi pasien dan keluarganya.Pada stadium lanjut, pasien dengan
penyakit kronis tidak hanya mengalami berbagai masalah fisik seperti nyeri, sesak nafas,
penurunan berat badan, gangguan aktivitas tetapi juga mengalami gangguan psikososial
dan spiritual yang mempengaruhi kualitas hidup pasien dan keluarganya. Maka
4
kebutuhan pasien pada stadium lanjut suatu penyakit tidak hanya pemenuhan/pengobatan
gejala fisik, namun juga pentingnya dukungan terhadap kebutuhan psikologis, sosial dan
spiritual yang dilakukan dengan pendekatan interdisiplin yang dikenal sebagai perawatan
paliatif.
Perawatan paliatif adalah bentuk perawatan medis dan kenyamanan pasien yang
mengontrol intensitas penyakit atau memperlambat kemajuannya, apakah ada atau tidak
ada harapan untuk sembuh. Perawatan paliatif tidak bertujuan untuk menyediakan obat
dan juga tidak sebaliknya perkembangan penyakit. Perawatan paliatif merupakan bagian
penting dalam perawatan pasien yang terminal yang dapat dilakuakan secara sederhana
sering kali prioritas utama adalah kulitas hidup dan bukan kesembuhan dari penyakit
pasien. Pasien cenderung untuk memilih hidup singkat namun bahagia daripada hidup
yang panjang tapi dengan banyak keterbatasan. Mayoritas pasien yang berada dalam
stadium lanjut ketika terdiagnosis. Bagi pasien pilihan terapi yang realistis hanyalah
penghalang nyeri dan perawatan paliatif. Pendekatan perawatan paliatif yang efektif
dapat meningkatkan kulitas hidup pasien. (Rasjidi, 2010)
5
paliatif pada dasarnya adalah upaya untuk mempersiapkan awal kehidupan baru (akhirat)
yang berkualitas.
Tidak ada bedanya dengan perawatan kandungan yang dilakukan seorang calon ibu,
yang sejak awal kehamilannya rutin memeriksakan diri untuk memastikan kesehatannya
dan tumbuh kembang calon bayinya, agar dapat melewati proses kelahirandengan sehat
dan selamat, selanjutnya dalam kehidupan barunya sebagai manusia si bayi dapat
tumbuh menjadi manusia yang sehat dan berkualitas. Cara lain untuk melihat perawatan
paliatif adalah konsep "kematian yang baik," bebas dari rasa sakit dihindari dan
penderitaan bagi pasien dan keluarga pasien. Pada pandangan pertama,definisi ini
tampaknya memiliki sedikit hubungannya dengan perawatan akut disampaikandalam
pengaturan seperti gawat darurat Bahkan, sementara sampai dengan 60% dari pasien
meninggal di rumah di Amerika Serikat, dilaporkan sedikitnya 35% dari pasien ingin
mati dirumah. Akibatnya, banyak pasien yang sakit parah hadir untuk departemen
darurat. Mereka dapat melakukannya ketika kematian sudah dekat, untuk pengobatan
penyakit akut ditumpangkan pada penyakit yang ada mereka, atau untuk mengontrol
gejala, terutama rasa sakit. Masalah yang krusial dalam bidang Bioetika dan Biolaw
adalah menyangkut “kehidupan dan kematian”. Untuk hidup seseorang perlu makan dan
minum, kadang-kadang dalam keadaan sakit, seorang pasien tidak bisa makan sendiri,
sehingga harus diberikan nutrisi dan hidrasi melalui suatu slang (Sonde). Menurut
perhitungan secara umum seorang rata-rata bisa bertahan hidup selama 40 (empat puluh)
hari tanpa makan. Seorang yang gemuk malah bisa bertahan hidup lebih lama, karena
sel-sel lemak secara perlahan-perlahan akan hancur dan memberikan daya-tahannya.
Tanpa minum (cairan) seseorang akan meninggal lebih cepat. Dalam waktu 3 (tiga)
sampai 10 (sepuluh) hari tergantung pada kesehatan dan tenaganya.Dengan kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang medik, kehidupan seorang pasien bisa
diperpanjang dengan memberikan makan cairan melalui sonde dan pemberian bantuan
pernapasan melalui Ventilator. Seringkali para dokter ICU kini dihadapkan pada dilema
apakah pemberian bantuan kehidupan ini harus mulai diberikan atau tidak dan yang
sudah diberikan apa boleh dihentikan. Para dokter sudah dididik untuk menolong jiwa
pasien, namun kini harus memutuskan apakah mereka boleh "merelakan pasien itu
meninggal" (allowing the patient to die), mengingat satu dan lain hal sudah tidak
6
mungkin lagi untuk menolongnya. Jika tetap diusahakan, penderitaan pasien itu akan
diperpanjang dan kadang-kadang pasien sudah tidak tahan lagi penderitaannya. Memang
persoalannya bersifat kasuistis, sehingga suatu pedoman yang pasti dan baku tak
mungkin diberikan. Tergantung kepada hati- nurani sang dokter dan kepercayaan dan
agama yang dianutriya. Juga tergantung kepada hukum dari negara yang berlaku. (
Guwandi, 2000). Dua pengacara, David A. Wollin dan Joseph Avanzato telah
memberikan suatu contoh kasus dari Rhode Island yang menghebohkan. Kasusnya
sebagai berikut :Kasus Marcia Gray Amerika Serikat, di Rhode Island, telah
menggambarkan dilema yang dihadapi para dokter. Gray adalah seorang pasien Rhode
Island Medical Center dan sudah berada dalam keadaan vegetatif (persistent vegetative
state). Mengingat Gray tidak mempunyai harapan lagi untuk siuman kembali, maka
suaminya meminta agar pemberian makanan artifisial dihentikan saja agar Gray
direlakan untuk meninggal. Para dokter menolak permintaan ini dan mengatakan hal ini
tidak bisa mereka lakukan, karena bisa dituntut telah melakukan Euthanasia. Tindakan
itu tidak selaras dengan profesinya sebagai dokter dan bisa dituntut pidana atau perdata
karena menyebabkan kematian Gray.Perkara ini kemudian diajukan ke Pengadilan.
Pengadilan federal pada akhirnya memerintahkan agar pemberian nutrisi dan hidrasi
kepada Gray dihentikan. Walaupun Gray tidak bisa menyatakan kehendaknya,
pengadilan berpendapat bahwa ia mempunyai hak konstitusional untuk menolak
pemberian bantuan kehidupan, termasuk makanan dan minuman (nutrition and
hydration) dan hak ini adalah hak yang paling utama di atas kepentingan lainnya.
Walaupun kasus Gray telah merupakan suatu preseden penting di Rhode Island, tetapi ini
masih belum memecahkan persoalan dari berbagai situasi yang dihadapi para dokter
dalam memutuskan : apakah tidak memulai atau menghentikan pemberian bantuan
kehidupan. ( Guwandi, 2000). Euthanasia dapat menempatkan para dokter dalam posisi
serba sulit. Di satu pihak dokter harus menghormati hak-hak pasien (termasuk hak untuk
mati? ), namun dilain pihak faktor-faktor etika moral dan hukum yang juga harus ditaati.
Suka atau tidak, sengaja atau tidk, pada masa sekarang para dokter akan berhadapan
dengan kasus-kasus euthanasia atau mirip dengan itu. Sebagai perbandingan, 80 persen
para doter di merika Serikat setuju dengan euthanasia negatif dan akan melakukannya
bila memperoleh kesempatan. (Achadiat, 2007) Di Indonesia masalah euthanasia masih
7
belum mendapatkan tempat yang diakui secara yuridis dan mungkinkah dalam
perkembangan Hukum Positif Indonesia, euthanasia akan mendapatkan tempat yang
diakui secara yuridis. Kasus pengajuan permohonan euthanasia oleh suami Agian ke
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tahun 2004, tidak dikabulkan. Dan akhirnya korban
yang mengalami koma dan ganguan permanen pada otaknya sempat dimintakan untuk
dilakukan euthanasia, dan sebelum permohonan dikabulkan korban sembuh dari
komanya dan dinyataka nsehat oleh dokter.
Terakhir adalah pengajuan euthanasia oleh suami Siti Zulaeha ke pengadilan yang
sama pada tahun 2005.( www.hukumonline.com) Kajian dan telaah dari sudut medis,
etika moral maupun hukum oleh masing-masing pakar, akhirnya menyimpulkan adanya
beberapa bentuk pengakhiran kehidupan yang sangat mirip dengan euthanasia, tetapi
sebenarnya bukan euthnasia. Oleh Profesor Leenen kasus-kasus demikian ini disebut
sebagai Pseudo-Euthanasia dan secara hukum tidak dapat diterapkan sebagai euthnasia.
Dalam bahasa Indonesia, mungkin istilah yang tepat adalah Euthanasia-semu. Salah satu
bentuk Pseudo-Euthanasia adalah Penghentian perawatan/pengobatan/bantuan medik
yang diketahui tidak ada gunanya lagi (Guwandi, 2000) atau Achadiat, (2007)
Menghentikan atau tidak memulai memberikan bantuan kehidupan. (Withdrawing Or
Withholding Life-Support Treatment). Apabila hukum di Indonesia kelak mau
menjadikan persoalan euthanasia sebagai salah satu materi pembahasan, semoga tetap
diperhatikan dan dipertimbangkan sisi nilai-nilainya, baik sosial, etika, maupun moral.
Pro dan kontra euthanasia di Indonesia adalah, Pro : isu HAM, hak hidup, hak mati,
individual right; dalam keadaan khusus membunuh orang legal; dilihat dari Pancasila:
Perikemanusiaan, Keluarga pasien mendapat manfaat, Pengobatan paliatif mulai
berkembang; Di negara lain sudah diatur (Belanda); Memberikan rasa aman kepada para
tenaga medis. Kontra : budaya masyarakat; Agama, walau kehidupan semu tunggu
mu’jizat; Sleepery Slope. (Sutarno, 2012)
Yang penting kriteria medis harus selalu digunakan untuk menentukan apakah suatu
langkah pengobatan atau perawatan berguna atau tidak. Tentunya semua ini berdasarkan
pengetahuan, kemampuan, teknologi maupun pengalaman yang dimiliki oleh dokter
dalam perawatan paliatif. Dengan demikian seyogianya dokter tidak memulai atau
meneruskan suatu perawatan/pengobatan, jika secara medis telah diketahuai tidak dapat
8
diharapkan suatu hasil apapun, walau langkah ini akan mengakibatkan kematian pasien.
Penghentian perawatan seperti ini tidak dimaksudkan untuk mengakhiri/ memperpendek
hidup pasien, melainkan untuk menghindari dokter dan tim bertindak diluar
kompetensinya. Dapat pula dikataan bahwa langkah tersebut mencegah terjadinya
penganiayaan terhadap pasien, berdasarkan pasal 351 ayat 1 KUHP (Penganiayaan
diancam pidana ....... )
9
BAB II
PEMBAHASAN
Perawatan paliatif adalah perawatan yang dilakukan secara aktif pada penderita
yang sedang sekarat atau dalam fase terminal akibat penyakit yang dideritanya. Pasien
sudah tidak memiliki respon terhadap terapi kuratif yang disebabkan oleh keganasan
ginekologis. Perawatan ini mencakup penderita serta melibatkan keluarganya (Aziz,
Witjaksono, & Rasjidi, 2008).
Perawatan paliatif adalah pendekatan yang bertujuan meningkatkan kualitas
hidup pasien (dewasa dan anak-anak) dan keluarga dalam menghadapi
penyakit yangmengancam jiwa, dengan cara meringankan penderitaan rasa sakit
melalui identifikasi dini, pengkajian yang sempurna, dan penatalaksanaan nyeri serta
masalah lainnya baik fisik, psikologis, sosial atau spiritual. (World Health
Organization (WHO) 2016).
Perawatan paliatif adalah perawatan yang dilakukan pada pasien dengan
penyakit yang dapat membatasi hidup mereka atau penyakit terminal dimana penyakit
ini sudah tidak lagi merespon terhadap pengobatan yang dapat memperpanjang
hidup(Robert, 2003).Perawatan paliatif merupakan perawatan yang berfokus pada
pasien dan keluarga dalam mengoptimalkan kualitas hidup dengan mengantisipasi,
mencegah, dan menghilangkan penderitaan.Perawatan paliatif mencangkup seluruh
rangkaian penyakit
10
termasuk fisik, intelektual, emosional, sosial, dan kebutuhan spiritual serta untuk
memfasilitasi otonomi pasien, mengakses informasi, dan pilihan (National Consensus
Project for Quality Palliative Care, 2013).Pada perawatan paliatif ini, kematian tidak
dianggap sebagai sesuatu yang harus di hindari tetapi kematian merupakan suatu hal
yang harus dihadapi sebagai bagian dari siklus kehidupan normal setiap yang
bernyawa (Nurwijaya dkk, 2010).
11
Witjaksono, dan Rasjidi (2008) prisinsip pelayanan perawatan paliatif yaitu
menghilangkan nyeri dan mencegah timbulnya gejala serta keluhan fisik lainnya,
penanggulangan nyeri, menghargai kehidupan dan menganggap kematian sebagai proses
normal , tidak bertujuan mempercepat atau menghambat kematian, memberikan dukungan
psikologis, sosial dan spiritual, memberikan dukungan agar pasien dapat hidup seaktif
mungkin, memberikan dukungan kepada keluarga sampai masa dukacita, serta
menggunakan pendekatan tim untuk mengatasi kebutuhan pasien dan keluarganya.
Elemen dalam perawatan paliatif menurut National Consensus Project dalam Campbell
(2013), meliputi :
1. Populasi pasien. Dimana dalam populasi pasien ini mencangkup pasien dengan
semua usia, penyakit kronis atau penyakit yang mengancam kehidupan.
2. Perawatan yang berfokus pada pasien dan keluarga. Dimana pasien dan keluarga
merupakan bagian dari perawatan paliatif itu sendiri.
3. Waktu perawatan paliatif. Waktu dalam pemberian perawatan paliatif berlangsung
mulai sejak terdiagnosanya penyakit dan berlanjut hingga sembuh atau meninggal
sampai periode duka cita.
4. Perawatan komprehensif. Dimana perawatan ini bersifat multidimensi yang
bertujuan untuk menanggulangi gejala penderitaan yang termasuk dalam
aspek fisik, psikologis, sosial maupun keagamaan.
5. Tim interdisiplin. Tim ini termasuk profesional dari kedokteran, perawat,
farmasi, pekerja sosial, sukarelawan, koordinator pengurusan jenazah, pemuka
agama, psikolog, asisten perawat, ahli diet, sukarelawan terlatih.
6. Perhatian terhadap berkurangnya penderitaan : Tujuan perawatan paliatif
adalah mencegah dan mengurangi gejala penderitaan yang disebabkan oleh penyakit
maupun pengobatan.
7. Kemampuan berkomunikasi : Komunikasi efektif diperlukan dalam memberikan
informasi, mendengarkan aktif, menentukan tujuan, membantu membuat keputusan
medis dan komunikasi efektif terhadap individu yang membantu pasien dan
keluarga.
8. Kemampuan merawat pasien yang meninggal dan berduka
12
9. Perawatan yang berkesinambungan. Dimana seluru sistem pelayanan kesehatan
yang ada dapat menjamin koordinasi, komunikasi, serta kelanjutan perawatan
paliatif untuk mencegah krisis dan rujukan yang tidak diperukan.
10. Akses yang tepat. Dalam pemberian perawatan paliatif dimana timharus
bekerja pada akses yang tepat bagi seluruh cakupanusia, populasi, kategori
diagnosis, komunitas, tanpa memandang ras, etnik, jenis kelamin, serta kemampuan
instrumental pasien.
11. Hambatan pengaturan. Perawatan paliatif seharusnya mencakup pembuat
kebijakan, pelaksanaan undang-undang, dan pengaturan yang dapat mewujudkan
lingkungan klinis yang optimal.
12. Peningkatan kualitas. Dimana dalam peningkatan kualitas
membutuhkan evaluasi teratur dan sistemik dalam kebutuhan pasien.
13
membuat pasien takut sehingga menyebabkan kecemasan bagi pasien maupun
keluarga (Misgiyanto & Susilawati, 2014).
Durand dan Barlow (2006) mengatakan kecemasan adalah keadaan suasana hati
yang ditandai oleh afek negatif dan gejala-gejala ketegangan jasmaniah dimana
seseorang mengantisipasi kemungkinan datangnya bahaya atau kemalangan di masa
yang akan datang dengan perasaan khawatir.Menurut Carpenito (2000) kecemasan
merupakan keadaan individu atau kelompok saat mengalami perasaan yang sulit
(ketakutan) dan aktivasi sistem saraf otonom dalam berespon terhadap
ketidakjelasan atau ancaman tidak spesifik.
NANDA (2015) menyatakan bahwa kecemasan adalah perasaan tidak nyaman
atau kekhawatiran yang diseratai oleh respon otonom, perasaan takut yang
disebabkan olehantisipasi terhadap bahaya. Hal ini merupakan tanda waspada yang
member tanda individu akan adanya bahaya dan mampukah individu tersebut
mengatasinya.
3. Masalah Sosial
Masalah pada aspek sosial dapat terjadi karena adanya ketidak normalan
kondisi hubungan social pasien dengan orang yang ada disekitar pasien baik itu
keluarga maupun rekan kerja (Misgiyanto & Susilawati,
2014).
Isolasi sosial adalah suatu keadaan kesepian yang dialami oleh seseorang karena
orang lain menyatakan sikap yang negatif dan mengancam ( Twondsend, 1998 ).
Atau suatu keadaan dimana seseorang individu mengalami penurunan bahkan sama
sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain disekitarnya, pasien mungkin
merasa ditolak, tidak diterima, kesepian, dan tidak mampu membina hubungan
yang berarti dan tidak mampu membina hubungan yang berarti dengan orang lain
(Kelliat, 2006 ).
4. Masalah Spiritual
Menurut Carpenito (2006) salah satu masalah yang sering muncul pada pasien
paliatif adalah distress spiritual. Distres spiritual dapat terjadi karena diagnose
penyakit kronis, nyeri, gejala fisik, isolasi dalam menjalani pengobatan serta
ketidakmampuan pasien dalam melakukan ritual keagamaan yang mana biasanya
14
dapat dilakukan secara mandiri.
Distres spiritual adalah kerusakan kemampuan dalam mengalami dan
mengintegrasikan arti dan tujuan hidup seseorang dengan diri, orang lain, seni,
musik, literature, alam dan kekuatan yang lebih besr dari dirinya (Hamid,
2008).Definisi lain mengatakan bahwa distres spiritual adalah
gangguan dalam prinsip hidup yang meliputi seluruh kehidupan seseorang dan
diintegrasikan biologis dan psikososial (Keliat dkk, 2011).
15
c. Fungsi reproduksi, adalah fungsi untuk mempertahankan generasi dan
menjaga kelangsungan keluarga.
d. Fungsi ekonomi, adalah keluarga berfungsi untuk memenuhi kebutuhan
keluarga secara ekonomi dan merupakan tempat mengembangkan kemampuan
individu dalam meningkatkan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
e. Fungsi perawatan/pemeliharaankesehatan,adalah fungsi untuk mempertahankan
keadaan kesehatan anggota keluarga agar tetap memiliki produktivitas tinggi.
4. Definisi dukungan keluarga
Dukungan keluarga adalah sikap dan tindakan terhadap anggota keluarga
yang sakit dan keluarga memberikan bantuan kepada anggota keluarga lain baik
berupa barang, jasa, informasi, dan nasihat sehingga anggota keluarga merasa di
sayangi, di hormati dan dihargai (Friedman,2013). Sendangkan menurut
Helnilawati (2013) dukungan keluarga adalah dukungan yang didapatkan dari
keluarga ke anggota keluarga, yang dimana dukungan ini sangat bermanfaat bagi
anggota keluarga yang mendapatkan dukungan dan merasa diperhatikan, di hargai
dan di cintai oleh keluarganya.
Menurut Friedman (2013) sumber dukungan sosial keluarga internal adalah
sumber dukungan yang didapatkan dari suami atau istri, saudara kandung atau
dukungan dari anak.Serta dukungan sosial keluarga eksternal yaitu sahabat,
tetangga, kelompok sosial, dan keluarga besar (kakek, nenek, bibi atau paman).
5. Manfaat dukungan keluarga
Dukungan keluarga ini terjadi selama masa proses kehidupan dengan sifat
dan tipe dukungan yang bervariasi pada masing-masing tahap siklus kehidupan
keluarga, walapun demikian dalam semua tahapan siklus kehidupan keluarga,
dukungan keluarga dapat memungkinkan keluarga berfungsi secara penuh dan
dapat meningkatkan adaptasi keluarga dalam memenuhi kesehatan keluarga
(Friedman, 2013).
16
6. Jenis dukungan keluarga
Jenis dukungan keluarga ada empat yaitu (Harnilawati, 2013) dan Friedman
(2013) :
17
usia memiliki pemahaman dan respon terhadap perubahan kesehatan yang
berbeda-beda.
2) Spiritual, aspek spiritual dapat terlihat dari bagaimana seseorang itu
menjalani kehidupannya, mencakup nilai dan keyakinan, hubungan dengan
keluarga atau teman, dan kemampuan mencari harapan serta arti dalam
hidup.
3) Faktor emosional, factor ini juga dapat mempengaruhi keyakinan seseorang
terhadap adanya dukungan dan cara melaksanakannya. Seseorang yang
mengalami respon stress cenderung merasa khawatir bahwa penyakit
tersebut dapat mengancam kehidupannya. Seseorang yang secara
umum terlihat tenang mungkin mempunyai respon emosional yang kecil
selama ia sakit. Jadi seorang individu yang tidak mampu melakukan koping
secara emosional terhadap ancaman penyakitnya mungkin akan menyangkal
tentang penyakitnya.
b. Faktor eksternal
18
yang menimbulkan suatu kebutuhan serta kecintaan terhadap adanya Tuhan dan
permohonan maaf atas kesalahan yang pernah dibuat (Aziz, 2014 dalam
Sasmika,2016). Definisi lain menyebutkan bahwa spiritual adalah multidimensi yang
terdiri dari dimensi vertikal dan dimensi horizontal yang berarti dimensi vertikal
menunjukkan hubungan individu dengan Tuhan yang dapat menuntun dan
mempengaruhi individu dalam menjalani kehidupan sedangkan dimensi
horizontal merupakan hubungan individu dengan dirinya sendiri, orang lain, dan
lingkungannya (Rois, 2014 dalamSasmika, 2016). Spiritual adalah suatu hubungan
yang dimiliki individu yang tidak hanya kepada Tuhan saja melainkan kepada
individu lain dan lingkungan juga.Kebutuhan spiritual merupakan kebutuhan dasar
yang dibutuhkan oleh setiap orang atau manusia dalam mencari arti dan tujuan
hidup (Aziz, 2014 dalam Sasmika, 2016). Kebutuhan spiritual adalah suatu
kebutuhan untuk mempertahankan atau mengembalikan keyakinan dan memenuhi
kewajiban agama, serta kebutuhan untuk mendapatkan maaf atau pengampunan,
mencintai, serta menjalin hubungan penuh rasa percaya dengan Tuhan (Ummah,
2016).Kebutuhan spiritual merupakan kebutuhan untuk mencari arti tujuan, makna,
dan kualitas hidup, kebutuhan untuk mencintai, dan dicintai serta untuk memberikan
maaf (Potter dan Perry, 2007).
2. Karakteristik spiritual
Siregar (2015) menyatakan bahwa pemenuhan spiritual harus
berdasarkan 4 karakteristik spiritual itu sendiri.Ada beberapa karakteristik yang
dimiliki spiritual, adapaun karakteristik itu antara lain:
a. Hubungan dengan diri sendiri
Merupakan kekuatan dari dalam diri seseorang yang meliputi pengetahuan diri
yaitu siapa dirinya, apa yang dapat dilakukannya dan juga sikap yang
menyangkut kepercayaan pada diri sendiri, percaya pada kehidupan atau
masa depan, ketenangan pikiran, serta keselarasan dengan diri sendiri (Young
dan Koopsen, 2007). Kekuatan yang timbul dari diri seseorang membantunya
menyadari makna dan tujuan hidupnya, diantaranya memandang pengalaman
hidupnya sebagai pengalaman yang positif, kepuasan hidup, optimis terhadap
masa depan, dan tujuan hidup yang semakin jelas (Kozier, Erb, Blais &
19
Wilkinson, 1995).Kepercayaan (Faith). Menurut Fowler dan keen (1985)
kepercayaan bersifat universal, dimana merupakan penerimaan individu
terhadap kebenaran yang tidak dapat dibuktikan dengan pikiran yang
logis.Kepercayaan dapat memberikan arti hidup dan kekuatan bagi individu
ketika mengalami kesulitan atau stress.Mempunyai kepercayaan berarti
mempunyai komitmen terhadap sesuatu atau seseorang sehingga dapat
memahami kehidupan manusia dengan wawasan yang lebih luas.Harapan
(Hope). Harapan berhubungan dengan ketidakpastian dalam hidup dan
merupakan suatu proses interpersonal yang terbina melalui hubungan saling
percaya dengan orang lain, termasuk dengan Tuhan. Harapan sangat penting
bagi individu untuk mempertahankan hidup, tanpa harapan banyak orang
menjadi depresi dan lebih cenderung terkena penyakit.Makna atau arti dalam
hidup (Meaning of live). Perasaan mengetahui makna hidup, yang kadang
diidentikkan dengan perasaan dekat dengan Tuhan, merasakan hidup sebagai
suatu pengalaman yang positif seperti membicarakan tentang situasi yang nyata,
membuat hidup lebih terarah, penuh harapan tentang masa depan, merasa
mencintai dan dicintai oleh orang lain (Puchalski,2004).
20
c. Hubungan dengan alam
Pemenuhan kebutuhan spiritualitas meliputi hubungan individu
denganlingkungan. Pemenuhan spiritualitas tersebut melalui kedamaian
danlingkungan atau suasana yang tenang. Kedamaian merupakan
keadilan,empati, dan kesatuan. Kedamaian membuat individu menjadi tenang
dan dapatmeningkatkan status kesehatan (Kozier, et al, 1995). Harmoni
merupakan gambaran hubungan seseorang dengan alam yang meliputi
pengetahuan tentang tanaman, pohon, margasatwa, iklim dan berkomunikasi
dengan alam serta melindungi alam tersebut (Kozier dkk 1995). Kedamaian
(peace), kedamaian merupakan keadilan, rasa kasihan dan kesatuan. Dengan
kedamaian seseorang akan merasa lebih tenang dan dapat meningkatkan status
kesehatan (Puchalski, 2004).
d. Hubungan dengan Tuhan
Pemahaman tentang Tuhan dan hubungan manusia dengan Tuhan secara
tradisional dipahami dalam kerangka hidup keagamaan.Akan tetapi, dewasa
ini telah dikembangkan secara lebih luas dan tidak terbatas.Tuhan dipahami
sebagai daya yang menyatukan, prinsip hidup atau hakikat hidup. Kodrat
tuhan mungkin mngambil berbagai macam bentuk dan mempunyai makna yang
berbeda bagi satu orang dengan orang lain (Young dan Koopsen, 2009). Secara
umum melibatkan keyakinan dalam hubungan dengan sesuatu yang lebih tinggi,
berkuasa, memiliki kekuatan mencipta, dan bersifat ketuhanan, atau memiliki
energy yang tidak terbatas.
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi kebutuhan spiritual
Menurut Taylor dan Craven dan Hirnle dalam Ummah (2016) menyebutkan
faktor-faktor yang dapat mempengaruhi spiritual seseorang diantaranya:
a. Tahap perkembangan. Spiritual berubungan dengan kekuasaan non material,
seseorang harus memiliki beberapa kemampuan berfikir abstrak sebelum mulai
mengerti spiritual dan menggali suatu hubungan dengan Tuhan. Sistem
hubungan. Sistem pendukung individu seperti keluarga dan pihak yang
mempunyai peran penting di dalam hidup (Archiliandi,2016).
b. Peranan keluarga penting dalam perkembangan spiritual individu. Selain
21
keluarga perawat juga mempunyai peranan penting apabila individu tersebut
dirawat di rumah sakit khususnya dalam pemenuhan kebutuhan spiritual yang
meliputi thaharah dan shalat.
c. Latar belakang etnik dan budaya. Sikap, keyakinan, dan nilai dipengaruhi
oleh latar belakang etnik dan sosial budaya. Pada umumnya seseorang akan
mengikuti tradisi agama dan spiritual keluarga.
d. Pengalaman hidup sebelumnya. Pengalaman hidup yang positif ataupun
negatif dapat mempengaruhi spiritual seseorang, peristiwa dalam kehidupan
seseorang biasanya dianggap sebagai suatu cobaan yang diberikan Tuhan
kepada manusia untuk menguji keimanannya.
e. Krisis dan perubahan. Krisis dan perubahan dapat menguatkan seseorang.
Krisis sering dialami pada saat orang sedang menghadapi penyakit,
penderitaan, proses penuaan, kehilangan, dan bahkan kematian. Perubahan
dalam kehidupan dan krisis yang dihadapi tersebut merupakan pengalaman
spiritual yang bersifat fisik dan emosional.
f. Terpisah dari ikatan spiritual. Menderita sakit terutama yang bersifat akut,
sering kali membuat individu merasa terisolasi dan kehilangan kebebasan
pribadi dari sistem dukungan sosial. Akibatnya, kebiasaan hidup sehari-hari
juga berubah, diantaranya tidak dapat menghadiri acara resmi, mengikuti
kegiatan keagamaan atau tidak dapat berkumpul dengan keluarga atau teman
dekat yang bisa memberikan dukungan setiap saat bila diinginkan
22
2.5 KERANGKA TEORI PENELITIAN
Jenis
dukungan
keluarga:
Fisik 1. Dukungan
instrumental
2. Dukungan
Psikologi informasinal
Perawatan Paliatif 3. Dukungan
penilaian
Sosial 4.
Dukungan
emosional
Dukungan
Keluarga
23
Spiritual
Faktor yang
mempengaruhi Faktor internal:
dukungan 1. Tahap
keluarga: perkembangan
1. Faktor internal 2. Spiritual
Faktor eksternal
1. Keluarga
2. Sosioekonomi
3. latarbelakanng
24
Keterangan:
25
menyiratkan hal tersebut, "Dan belanjakanlah (hartamu) di jalan Allah, dan
janganlahkamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah,
karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik." (QS 2: 195),
dan dalam ayat lain disebutkan, "Janganlah engkau membunuh dirimu sendiri," (QS 4:
29), yang makna langsungnya adalah "Janganlah kamu saling berbunuhan." Dengan
demikian, seorang Muslim (dokter) yang membunuh seorang Muslim lainnya (pasien)
disetarakan dengan membunuh dirinya sendiri. Eutanasia dalam ajaran Islam disebut
qatl ar-rahmah atau taisir al-maut (eutanasia), yaitu suatu tindakan memudahkan
kematian seseorang dengan sengaja tanpa merasakan sakit, karena kasihsayang,
dengan tujuan meringankan penderitaan si sakit, baik dengan cara positif maupun
negatif. Pada konferensi pertama tentang kedokteran Islam di Kuwait tahun 1981,
dinyatakan bahwa tidak ada suatu alasan yang membenarkan dilakukannya eutanasia
ataupun pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing) dalam alasan apapun
juga.
Eutanasia Positif
26
Eutanasia Negatif
Sejak pertengahan abad ke-20, gereja Katolik telah berjuang untuk memberikan
pedoman sejelasmungkin mengenai penanganan terhadap mereka yang menderita sakit
tak tersembuhkan,sehubungan dengan ajaran moral gereja mengenai eutanasia dan
sistem penunjang hidup. PausPius XII, yang tak hanya menjadi saksi dan mengutuk
program-program egenetika dan eutanasia Nazi, melainkan juga menjadi saksi atas
dimulainya sistem-sistem modern penunjang hidup, adalah yang pertama menguraikan
secara jelas masalah moral ini dan menetapkan pedoman. Padatanggal 5 Mei tahun
1980 , kongregasi untuk ajaran iman telah menerbitkan Dekalarasi tentang eutanasia
("Declaratio de euthanasia") yang menguraikan pedoman ini lebih lanjut, khususnya
dengan semakin meningkatnya kompleksitas sistem-sistem penunjang hidup dan
gencarnya promosi eutanasia sebagai sarana yang sah untuk mengakhiri hidup. Paus
Yohanes Paulus II,yang prihatin dengan semakin meningkatnya praktek eutanasia,
dalam ensiklik Injil Kehidupan (Evangelium Vitae) nomor 64 yang memperingatkan
kita agar melawan "gejala yang paling mengkhawatirkan dari `budaya kematian'
27
dimana jumlah orang-orang lanjut usia dan lemah yang meningkat dianggap sebagai
beban yang mengganggu." Paus Yohanes Paulus II juga menegaskan bahwa eutanasia
merupakan tindakan belas kasihan yang keliru, belas kasihan yang semu: "Belas
kasihan yang sejati mendorong untuk ikut menanggung penderitaan sesama. Belas
kasihan itutidak membunuh orang, yang penderitaannya tidak dapat kita tanggung"
(Evangelium Vitae,nomor 66)
28
4. Dalam Ajaran Protestan
Gereja Protestan terdiri dari berbagai denominasi yang mana memiliki pendekatan
yang berbeda-beda dalam pandangannya terhadap eutanasia dan orang yang membantu
pelaksanaan eutanasia. Beberapa pandangan dari berbagai denominasi tersebut
misalnya :Gereja Methodis (United Methodist church) dalam buku ajarannya
menyatakan bahwa : "penggunaan teknologi kedokteran untuk memperpanjang
kehidupan pasien terminal membutuhkan suatu keputusan yang dapat dipertanggung
jawabkan tentang hingga kapankahperalatan penyokong kehidupan tersebut benar-
benar dapat mendukung kesempatan hidup pasien,dan kapankah batas akhir
kesempatan hidup tersebut". Gereja Lutheran di Amerika menggolongkan nutrisi
buatan dan hidrasi sebagai suatu perawatan medis yang bukan merupakan suatu
perawatan fundamental. Dalam kasus dimana perawatan medis tersebut menjadi sia-
sia dan memberatkan, maka secara tanggung jawab moral dapat dihentikan atau
dibatalkan dan membiarkan kematian terjadi.Seorang kristiani percaya bahwa mereka
berada dalam suatu posisi yang unik untuk melepaskan pemberian kehidupan dari
Tuhan karena mereka percaya bahwa kematian tubuh adalah merupakan suatu awal
perjalanan menuju ke kehidupan yang lebih baik. Lebih jauh lagi, pemimpin gereja
Katolik dan Protestan mengakui bahwa apabila tindakan mengakhiri kehidupan ini
dilegalisasi maka berarti suatu pemaaf untuk perbuatan dosa, juga dimasa depan
merupakan suatu racun bagi dunia perawatan kesehatan, memusnahkan harapan
mereka atas pengobatan.Sejak awalnya, cara pandang yang dilakukan kaum kristiani
dalam menanggapi masalah "bunuh diri" dan "pembunuhan berdasarkan belas kasihan
(mercy killing) adalah dari sudut "kekudusan kehidupan" sebagai suatu pemberian
Tuhan. Mengakhiri hidup dengan alasan apapun juga adalah bertentangan dengan
maksud dan tujuan pemberian tersebut.
Ajaran agama Buddha sangat menekankan kepada makna dari kehidupan dimana
penghindaran untuk melakukan pembunuhan makhluk hidup adalah merupakan salah
satu moral dalam ajaran Budha. Berdasarkan pada hal tersebut di atas maka nampak
jelas bahwa euthanasia adalah sesuatu perbuatan yang tidak dapat dibenarkan dalam
29
ajaran agama Budha. Selain daripada hal tersebut, ajaran Budha sangat menekankan
pada "welas asih" ("karuna") Mempercepat kematian seseorang secara tidak alamiah
adalah merupakan pelanggaran terhadap perintah utama ajaran Budha yang dengan
demikian dapat menjadi "karma" negatif kepada siapapun yang terlibat dalam
pengambilan keputusan guna memusnahkan kehidupan seseorang tersebut.
Konsepsi HAM dan demokrasi dapat dilacak secara teologis berupa relativitas
manusia dan kemutlakan Tuhan. Konsekuensinya, tidak ada manusia yang dianggap
menempati posisi lebih tinggi, karena hanya satu yang mutlak dan merupakan prima
30
facie, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Semua manusia memiliki potensi untuk mencapai
kebenaran, tetapi tidak mungkin kebenaran mutlak dimiliki oleh manusia, karena yang
benar secara mutlak hanya Tuhan. Maka semua pemikiran manusia juga harus dinilai
kebenarannya secara relatif. Pemikiran yang mengklaim sebagai benar secara mutlak,
dan yang lain berarti salah secara mutlak, adalah pemikiran yang bertentangan dengan
kemanusiaan dan ketuhanan. (Asshiddiqie, 2005)
Hak asasi manusia (HAM) selalu dikaitkan dengan hak hidup, hak damai, dan
sebagainya. Tapi tidak tercantum jelas adanya hak seseorang untuk mati. Mati
sepertinya justru dihubungkan dengan pelanggaran HAM, terbukti dari aspek hukum
euthanasia yang cenderung menyalahkan tenaga medis dalam pelaksanaan euthanasia.
Sebenarnya, dengan dianutnya hak untuk hidup layak dan sebagainya, secara tidak
langsung seharusnya terbersit adanya hak untuk mati, apabila dipakai untuk
menghindarkan diri dari segala ketidaknyamanan atau lebih jelas lagi dari segala
penderitaan yang hebat.
31
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Jika di Rhode Islands saja kebutuhan ini sudah dirasakan mendesak, apalagi di Indonesia
yang belum ada tanda-tanda ke arah pembuatan semacam pedoman tersebut. Pedoman
tersebut harus memuat garis-garis besar untuk melindungi hak-hak pasien untuk menentukan
apa yang dikehendaki terhadap dirinya sendiri, merelakan meninggal secara alami dan
memungkinkan para dokter dan tim perawatan paliatif, anggota keluarga dan wali
menghadapi problema besar ini untuk berani membuat keputusan tanpa khawatir akan
tuntutan hukum. Namun tentunya kita tidak bisa meniru saja apa yang sudah dilakukan di
belahan dunia Barat, tetapi harus diperhitungkan dengan kondisi etika, sosial, budayadan
melalui kajian keagamaa kita sendiri yang pasti akan berlainan dalam alam pikiran tertentu.
Masalah euthanasia yang didefinisikan sebagai kematian yang terjadi karena pertolongan
dokter atas permintaan sendiri atau keluarganya, atau tindakan dokter yang membiarkan saja
pasien yang sedang sakit tanpa menentu, dianggap pelanggaran terhadap hak untuk hidup
milik pasien. Tetapi dalam perkembangannya, di negara maju seperti Amerika Serikat,
diakui pula adanya ‘hak untuk mati’ walaupun tidak mutlak. Dalam keadaan tertentu,
euthanasia diperbolehkan untuk dilakukan di Amerika Serikat. Namun di Indonesia, masalah
euthanasia ini tetap dilarang. Oleh karenanya, dikatakan bahwa masalah HAM bukanlah
merupakan masalah yuridis semata-mata, tetapi juga bersangkutan dengan masalah nilai-
nilai etis dan moral yang ada di suatu masyarakat tertentu.
32
Etik merupakan kesadaran yang sistematis terhadap prilaku yang dapat dipertanggung
jawabkan, etik bicara tentang hal yang benar dan hal yang salah dan didalam etik terdapat
nilai-nilai moral yang merupakan dasar dari prilaku manusia (niat). Prinsip- prinsip moral
telah banyak diuraikan dalam teori termasuk didalamnya bagaimana nilai-nilai moral di
dalam profesi tenaga kesehatan. Penerapan nilai moral professional sangat penting dan
sesuatu yang tidak boleh ditawar lagi dan harus dilaksanakan.
Keputusan dilema etik perlu diambil dengan hati-hati dan saling memuaskan dan tidak
merugikan bagi pasien dan pengambil keputusan. Yang terpenting adalah rambu-rambu
etika, moral maupun hukum yang tegas tentang euthanasia, agar terdapat kejelasan.
Kemajuan ilmu teknologi masa kini dibidang kodokteran sudah saatnya diantisipasi sejak
dini dengan rumusan-rumusan etika, moral dan hukum yang berkaitan dengan euthanasia.
33
DAFTAR PUSTAKA
Asshiddiqie. Jimly, 2005, Demokrasi Dan Hak Asasi Manusia, Ketua Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia dan Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Achadiat. Chritiono M, 2007, Dinamika Etika & Hukum Kedokteran dalam Tantangan Zaman,
ECG, Jakarta
Guwandi, 2000, Bioethics & Biolaw, Faultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
Komalawati. D. Veronica, 1989, Hukum dan Etika dalam Praktek Dokter, Pustaka Harapan,
Jakarta
Kozier, 2000, Fundamentals of Nursing : concept theory and practices. Philadelphia. Addison
Wesley.
Mendri. Ni Ketut, 2009, Hubungan Pemberian Informasi Tindakan Invasif Oleh Perawat Dengan
Pemahaman Hak Pasien Rawat Inap Di IRNA I RSUP Dr. Sardjito, Tesis Tidak Dipublikasikan.
Pasca Sarjana UGM Yogyakarta
Perry & Potter, 1997, Fundamental Keperawaran, Buku Ajar Konsep, Proses dan Praktik, ( Alih
Bahasa : Yasmin Asih, dkk) Ed. 4, EGC, Jakarta.
Rasjidi. Imam, 2010, Perawatan Paliatif Suportif & Bebas Nyeri Pada Kanker, CV Sagung Seto,
Jakarta
Sutarno, Eutanasia Yang Tidak Disadari Di Rumah Sakit, disampaikan dalam Kongres
Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia di Yogyakarta 10 Juni 2012
Tejawinata. Sunaryadi, 2008, Perawatan Paliatif adalah Hak Asasi Setiap Manusia, disampiakan
pada seminar peringatan hari paliatif sedunia 26 Oktober 2008, Surabaya. (Kepala Pusat
Pengembangan Paliatif & Bebas Nyeri RSU Dr. Soetomo periode 1992-2006)
34
Sutrisno, Eutanasia, http://medicineforthesoul.multiply.com/journal/item
Http\\www.wikipedia.org/w iki/Palliative_care
Http://www.hukumonline.com/klinik/.../pengaturan-euthanasia-di-indonesia
35