Anda di halaman 1dari 36

Makalah Kelompok Rentan Saat Bencana

Di Susun Oleh

Kelompok 20

Nama Anggota Kelompok

Dirma Suryanti Olla

Herlina S. Aritonang

Yani

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN IMMANUEL BANDUNG
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas karunia, dan hikmatnya kami dapat
menyelesaikan makalah “Konsep Perawatan Kelompok Rentan Saat Bencana “Penulisan
makalah ini bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas yang diberikan dosen mata kuliah
Keperawatan Gawat darurat dan Bencana, tak lupa juga kami mengucapkan terima kasih
kepada pengajar mata kuliah tersebut atas bimbingan dan arahan dalam penulisan makalah
ini. Kami juga berterima kasih kepada teman-teman mahasiswa yang telah mendukung
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.

Kami berharap dengan membaca makalah ini dapat memberi manfaat bagi kita semua.
Semoga makalah ini dapat menambah wawasan kita. Makalah ini masih jauh dari kata
sempurna maka kami mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi perbaikan menuju
arah yang lebih baik.

Demikian makalah ini kami buat semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kami dan
yang membacanya sehingga menambah wawasan dan pengetahuan tentang mata kuliah ini.

Jakarta , 06 Juli 2022

Penyusun

Kelompo
k 20
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...........................................................................................................i

DAFTAR ISI.........................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................................1

A. Latar Belakang........................................................................................1
B. Rumusan Masalah...................................................................................1
C. Tujuan.....................................................................................................2
BAB II TINJAUAN TEORI.................................................................................................3

A. Identifikasi Kelompok Beresiko............................................................3


B. Faktor Resiko dan Pelindung pada Kelompok Rentan.........................10
C. Efek dari Bencana.................................................................................10
D. Tindakan Yang Sesuai Untuk Kelompok Berisiko...............................11
E. Sumber Daya Yang Tersedia Di Lingkungan Untuk Kebutuhan
Kelompok Beresiko...............................................................................16
F. Lingkungan Yang Sesuai Dengan Kebutuhan Kelompok Berisiko......17
G. Kegiatan Pemenuhan Kebutuhan Dasar Untuk Masyarakat.................18
H. Pelayanan kesehatan di pengungsian....................................................15
BAB III PEMBAHASAN KASUS......................................................................................37

BAB IV PENUTUP ............................................................................................................50

A. Simpulan.............................................................................................50
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................................52
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kelompok rentan dalam situasi bencana adalah individu atau kelompok yang
terdampak lebih berat diakibatkan adanya kekurangan dan kelemahan yang
dimilikinya yang pada saat bencana terjadi menjadi beresiko lebih besar meliputi bayi,
balita, dan anak-anak; ibu yang sedang mengandung / menyusui; penyandang cacat
(disabilitas); dan orang lanjut usia(UU No 24/2007,55: 2). Indonesia merupakan
negara yang sangat sering didera bencana alam, seperti gempa tektonik yang diikuti
gelombang tsunami, erupsi gunung merapi, tanah longsor, banjir, angin putting
beliung, dan bencana alam lainnya.
Akibat dari terjadinya bencana alam tersebut, telah menyisakan banyak
penderitaan bagi masyarakat di daerah yang terkena bencana bahkan masyarakat
lainnya. Berdasarkan rekapitulasi data kejadian bencana dari Direktorat Perlindungan
Sosial Korban Bencana Alam Kementerian Sosial RI pada bulan Januari sampai
dengan Februari 2010 tercatat jumlah korban bencana yang meninggal dunia/hilang
sebanyak 75 jiwa, sementara yang menderita karena kehilangan sanak saudara dan
harta benda tercatat sebanyak 22.162 Kepala Keluargadan 101.893 jiwa.Disisi lain
dalam situasi bencana, kelompok rentan menjadi kelompok yang terdampak lebih
besar dan berat karena kekurangan dan kelemahannya, seperti bayi, balita, dan anak-
anak; ibu yang sedang mengandung / menyusui; penyandang cacat (disabilitas); dan
orang lanjut usia.
Menurut Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, kelompok rentan
adalah semua orang yang mengalami hambatan atau keterbatasan dalam menikmati
standar kehidupan yang layak bagi kemanusiaan dan berlaku umum bagi suatu
masyarakat yang berperadaban (Universitas Bina Nusantara, 2012).

A. Rumusan masalah
Apa yang diketahui tentang konsep perawatan kelompok rentan saat bencana?

B. Tujuan
Untuk membantu mahasiswa keperawatan untuk menentukan kelompok rentan saat
bencana.
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Identifikasi Kelompok Beresiko


Kelompok rentan sering di sebut "kelompok dengan kebutuhan khusus", "kelompok
yang beresiko", "beresiko karena kondisi fisik, psikologis, atau kesehatan social"
setelah bencana. Banyak upaya yang telah dilakukan dalam persiapan menghadapi
bencana, namun jarang yang memperhatikan kebutuhan kelompok rentan, adapun
orang yang disebut sebagai kelompok rentan adalah :
1. Orang dengan kebutuhan khusus baik secara fisik ataupun psikologis
2. Wanita
3. Anak-anak
4. Orang tua
5. Orang dipenjara
6. SES (Social Economic Status) Minoritas dan orang yang mengalami kendala
bahasa.

Individu yang mengalami bencana bereaksi terhadap bencana sesuai dengan


caranya masing-masing dan antara satu individu dengan yang lainnya sangat berbeda.
Setiap bencana memiliki dampak demografik tertentu, budaya, dan riwayat kejadian
sebelumnya. Undang-undang No.24 tahun 2007 tentang penanggulangan bencana
mengartikan bencana sebagai suatu peristiwa luar biasa yang mengganggu dan
mengancam kehidupan dan penghidupan yang dapat disebabkan oleh alam ataupun
manusia, ataupun keduanya. Untuk menurunkan dampak yang ditimbulkan akibat
bencana, dibutuhkan berbagai dukungan termasuk keterlibatan perawat yang
merupakan petugas kesehatan yang jumlahnya terbanyak didunia dan salah satu
petugas kesehatan yang berada dilini terdepan saat bencana yang terjadi(Power
&daily,2010). Peran perawat dapat dimulai sejak tahap mitigasi (pencegahan),
tanggap darurat bencana dalam fase prehospital dan hospital, hingga tahap recovery.

Terdapat individu atau kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat yang lebih


rentan terhadap efek lanjut dari kejadian bencana yang memerlukan perhatian dan
penanganan khusus untuk mencegah kondisi yang lebih buruk pasca bencana.
Kelompok-kelompok ini diantaranya: anak-anak, perempuan terutama ibu hamil dan
meyusui, lansia, individu-individu yang menderita penyakit kronis dan
kecacatan.identifikasi dan pemetaan kelompok beresiko melalui pengumpulan
informasi dan data demografi akan mempermudah perencanaan tindakan kesiap
siagaan dalam menghadapi kejadian bencana dimasyarakat (Morro.1999, powers
&daily, 2010; world health organization (WHO) & International Council of
Nursing(ICN), 2009) :

1. Bayi dan anak-anak


Bayi dan anak-anak sering menjadi korban dalam semua tipe bencana karena
ketidakmampuan mereka melarikan diri dari daerah bahaya. Ketika Pakistan
diguncang gempa oktober 2005, sekitar 16.000 anak meninggal karena gedung
sekolah mereka runtuh. Tanah longsor yang terjadi diLeyte, Filipina, beberapa
tahun lalu mengubur lebih dari 200 anak sekolah yang tengah belajar didalam
kelas (Indriyani,2014). Diperkirakan sekitar 70% dari semua kematian akibat
bencana adalah anak-anak baik itu pada bencana alam maupun bencana yang
disebabkan oleh manusia (Power&Daily, 2010).
Selain menjadi korban, anak-anak juga rentan terpisah dari orang tua atau wali
mereka saat bencana terjadi. Diperkirakan sekitar 35.000 anak-anak Indonesia
kehilangan satu atau kedua orang tua mereka saat kejadian tsunami 2004.
Terdapat juga laporan adanya perdagangan anak(child-traffcking) yang dialami
oleh anak-anak yang kehilangan orang tua/wali (powers&daily,2010).
Pasca bencana, anak-anak beresiko mengalami masalah-masalah kesehatan jangka
pendek dan jangka panjang baik fisik dan psikologis karena malnutrisi, penyakit-
penyakit infeksi, kurangnya skill bertahan hidup dan komunikasi,
ketidakmampuan melindungi diri sendiri, kurangnya kekuatan fisik, imunitas dan
kemampuan koping. Kondisi tersebut dapat mengancam nyawa jika tidak
diidentifikasi dan ditangani dengan segera oleh petugas kesehatan (powes&daily
2010; Veenema,2007).
2. Perempuan
Diskriminasi terhadap perempuan dalam kondisi bencana telah menjadi isu
viral yang memerlukan perhatian dan penanganan khusus. Oleh karena itu,
intervensi-intervensi kemanusiaan dalam penanganan bencana yang
memperhatikan standar internasional perlindungan hak asasi manusia perlu
direncanakan dalam semua stase penanganan bencana. (Klynman,kouppari,&
mukhier,2007).
Studi kasus bencana alam yang dilakukan di Bangladesh mendapati bahwa
pola kematian akibat bencana dipengaruhi oleh relasi gender yang ada, meski
tidak selalu konsisten. Pola ini menempatkan perempuan, terlebih bagi yang
hamil, menyusui dan lansia lebih beresiko karena keterbatasan mobilitas secara
fisik dalam situasi darurat(Enarson,2000; Indiriyani,2014; Klynman et al,2007).
Laopran PBB pada tahun 2001 yang berjudul “Women Disaster Reduction and
Sustainable Development” menyebutkan bahwa perempuan menerima dampak
bencana yang lebih besar. Dari 120 ribu orang yang meninggal karena badai
siklon diBangladesh tahun 1991, korban dari kaum perempuan menempati jumlah
terbesar. Hal ini disebabkan karena norma kultural membatasi akses mereka
terhadap peringatan bahaya dan akses ketempat perlindungan (Fatimah,2009
dikutip dalam Indriyani,2014).
3. Lansia
Lansia merupakan salah saat kelompok yang rentan secara fisik, mental dan
ekonomik saat dan setelah bencana yang disebabkan karena penurunan
kemampuan mobilitas fisik dan atau karena mengalami masalah kesehatan kronis
(Klynman et al,2007). Di Amerika serikat, lebih dari 50% korban kematian akibat
dari badai Katrina adalah lansia dan diperkirakan sekitar 1.300 lansia yang hidup
mandiri sebelum kejadian badai tersebut harus dirawat dipanti jompo setelah
bencana alam itu terjadi (Powers & daily,2010).
Pasca bencana, kebutuhan lansia sering terabaikan dan mengalami
diskriminasi, contohnya dalam hal distribusi kebutuhan hidup dan finansial pasca
bencana. Hak-hak dan kebutuhan spesifik lansia kadang-kadang terlupakan yang
dapat memperparah masalah kesehatan dan kondisi depresi pada lansia tersebut
(Klynmman et al,2007).
4. Indvidu dengan keterbatan fisik (kecacatan) dan penyakit kronis
Menurut WHO, terdapat lebih dari 600 juta orang yang menderita kecacatan
diseluruh dunia atau mewakili sekitar 7-10% dari populasi global. 80%
diantaranya tinggal dinegara berkembang. Angka ini terus meningkat seiring
dengan peningkatan jumlah penduduk, angka harapan hidup dan kemajuan d
bidang kesehatan (Klynman et al, 2007).
Di Amerika serikat, setelah kejadian banjir di grand forks, north Dakota tahun
1997, barulah dibangun rumah perlindungan yang dapat diakses oleh korban
bencana yang menggunakan kursi roda. Pada saat terjadi bencana kebakaran di
California, tahun 2003, banyak individu-individu cacat pendengaran tidak
memahami level bahaya bencana tersebut karena kurangnya informasi yang bisa
mereka pahami (powers &daily,2010).
Orang cacat, karena keterbatasan fisik yang mereka alami beresiko sangat rentan
saat terjadi bencana,Namun mereka sering mengalami diskriminasi dimasyarakat
dan tidak dilibatkan pada semua level kesiap-siagaan, mitigasi dan intervensi dan
penanganan bencana (Klynman et.al, 2007).
5. Narapidana yang dipenjara
Karena status mereka sebagai tahanan, sehingga mereka sangat tergantung
dengan pemerintah sebagai pemegang otoritas. Narapidana tidak dapat melakukan
evakuasi sendiri, mencari pertolongan medis sendiri, ataupun mencari makanan
ataupun tempat penampungan sendiri. Lebih lanjut, dalam situasi bencana yang
sangat besar, kalau narapidana melakukan semuanya sendiri ada kemungkinan
penyerangan yang dilakukan oleh sesama anggota narapida ataupun penyerangan
kepada masyarakat.

Memahami secara utuh batasan tentang bencana dan fokus konseptual


penanggulangan bencana adalah manusia yang potensial sebagai korban, maka 2 hal
mendasar yang perlu menjadi fokus utama adalah mengenali kelompok rentan
(vulnerable group) dan meningkatkan kapasitas masyarakat sebagai subjek
penyelenggaraan penanggulangan bencana.

Kerentanan adalah keadaan atau sifat (perilaku) manusia atau masyarakat yang
menyebabkan ketidakmampuan menghadapi bahaya atau ancaman dari potensi
bencana untuk mencegah, menjinakkan, mencapai kesiapan, dan menanggapi bahaya
tertentu. Dalam undang-undang penanggulangan bencana pasal 55 dan penjelasan
pasal 26 ayat 1, disebutkan bahwa masyarakat rentan bencana adalah anggota
masyarakat yang membutuhkan bantuan karena keadaan yang disandangnya,
diantaranya bayi, balita, anak-anak, ibu hamil, ibu menyusui, penyandang cacat dan
lanjut usia. Kerentanan ini dapat menimbulkan beragam penyebab, mencakup:

1. Kerentanan fisik
Kerentanan yang dihadapi masyarakat dalam menghadapi ancaman bahaya
tertentu, misalnya kekuatan bangunan rumah bagi masyarakat yang tinggal
didaerah rawan gempa dan tanggul pengaman banjir bagi masyarakat didekat
bantaran sungai.
2. Kerentanan ekonomi
Kemampuan ekonomi individu atau masyarakat dalam pengalokasian sumber
daya untuk pencegahan dan mitigasi serta penanggulangan bencana. Pada
umumnya masyarakat miskin atau kurang mampu lebih rentan terhadap bahaya
karena tidak punya kemampuan finansial yang memadai untuk melakukan upaya
pencegahan atau mitigasi bencana.
3. Kerentanan sosial
Kondisi sosial masyarakat dilihat dari aspek pendidikan, pengetahuan tentang
ancaman bencana dan resiko bencana serta tingkat kesehatan yang rendah juga
berpotensi meningkatkan kerentanan.
4. Kerentanan perilaku atau lingkungan
Keadaan lingkungan sekitar masyarakat tinggal. Misalnya, masyarakat yang
tinggal dilereng bukit atau lereng pegunungan rentan terhadap ancaman bencana,
tanah longsor, sedangkan masyarakat yang tinggal didaerah sulit air akan rentang
terhadap bencana kekeringan.

A. Faktor Resiko dan Pelindung pada Kelompok Rentan


Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya mengenai faktor resiko seperti jenis
kelamin, SES, perpisahan dengan orang yang disayangi, diskriminasi dan prejudice
pada Negara baru (host country), usia, efek dari kejadian bencana, paparan (exposure)
ke bencana dan sejarah gangguan psikologi sebelumnya. Agama, keyakinan,
kepastian politik dan persiapan terhadap bencana merupakan faktor pelindung untuk
kelompok rentan.

B. Efek dari Bencana


Karakteristik yang mempengaruhi rasa trauma :
1. Rasa horror yang terjadi ketika melihat event/kejadian tersebut
2. Durasi dari bencana
3. Kejadian yang tidak diharapkan (kejadian yang tidak ada peringatannya
berdampak lebih besar pada kondisi psikologis seseorang).
4. Rasio dampak bencana, ancaman yang dilihat dari: rasio akibat bencana,
kehilangan yang diakibatkan oleh bencana pada level komunitas
5. Perubahan sosial kultur seperti kegiatan dalam keseharian, kontrol terhadap
kejadian, dukungan sosial setelah bencana

C. Tindakan Yang Sesuai Untuk Kelompok Berisiko


Untuk mengurangi dampak bencana pada individu dan kelompok-kelompok rentan
diatas, petugas-petugas yang terlibat dalam perencanaan dan penanganan bencana
perlu (Morrow, 199; Powers & Daily, 2010) :
1. Mempersiapkan peralatan- peralatan kesehatan sesuai dengan kebutuhan
kelompok-kelompok rentan tersebut contohnya : ventilator untuk anak, alat bantu
untuk individu yang cacat, alat-alat bantuan persalinan, dsb.
2. Melakukan pemetaan kelompok-kelompok rentan
3. Merencanakan intervensi-intervensi untuk mengatasi hambatan informasi dan
komunikasi.
4. Menyediakan transportasi dan rumah penampungan (shelter) yang dapat diakses.
5. Menyediakan pusat bencana yang dapat diakses.

Adapun tindakan-tindakan spesifik untuk kelompok-kelompok rentan tersebut akan


diuraikan pada pembahasan berikut :

1. Tindakan yang sesuai untuk kelompok berisiko pada bayi dan anak
a. Pra-bencana
1) Mensosialisasikan dan melibatkan anak-anak dalam stimulasi bencana
kebakaran atau gempa bumi
2) Mempersiapkan fasilitas kesehatan yang khusus untuk bayi dan anak pada
saat bencana
3) Perlunya diadakan pelatihan-pelatihan penanganan bencana bagi petugas
kesehatan khusus untuk menangani kelompok-kelompok berisiko,
contohnya Pediatric Disaster Life Support (PDLS).
b. Saat bencana
1) Mengintegrasikan pertimbangan pediatric dalam sistem triase standar yang
digunakan saat bencana.
2) Lakukan pertolongan kegawatdaruratan kepada bayi dan anak sesuai
dengan mempertimbangkan aspek tumbuh kembangnya, misalnya
menggunakan alat dan bahan khusus untuk anak dan tidak disamakan
dengan orang dewasa.
3) Selama proses evakuasi, transportasi, sheltring dan dalam pemberian
pelayanan fasilitas kesehatan, hindari memisahkan anak dari orang tua,
keluarga atau wali mereka.
c. Pasca bencana
1) Usahakan kegiatan rutin sehari-hari dapat dilakukan sesegera mungkin
contohnya : waktu makan dan personal hygine teratur, tidur, bermain dan
sekolah.
2) Monitor status nutrisi anak dengan pengukuran antropometri
3) Dukung dan berikan semangat kepada orang tua
4) Dukung ibu-ibu menyusui dengan dukungan nutrisi adekuat, cairan dan
emosional
5) Minta bantuan dari ahli kesehatan anak yang mungkin ada dilokasi
evakuasi sebagai voluntir untuk mencegah, mengidentifikasi, mengurangi
risiko kejadian depresi pada anak pasca bencana
6) Identifikasi anak yang kehilangan orang tua dan sediakan penjaga yang
terpercaya serta lingkungan yang aman untuk mereka
7) Berkonsultasi dengan pemerintah atau NGO yang bekerja dalam pelacakan
korban bencana sebagai usaha untuk mempertemukan anaka dengan orang
tua, keluarganya.
8) Libatkan agensi-agensi perlindungan anak.

2. Tindakan yang sesuai untuk kelompok berisiko pada ibu hamil dan menyusui
a. Pra-bencana
1) Melibatkan perempuan dalam penyusunan perencanaan penanganan
bencana (disaster plan)
2) Mengidentifikasi ibu hamil dan ibu menyusui sebagai kelompok rentan
3) Membuat disaster plans dirumah yang disosialisasikan kepada seluruh
anggota keluarga
4) Melibatkan petugas-petugas kesehatan reproduktif dalam mitigasi
bencana.

b. Saat bencana
1) Melakukan usaha/ bantuan penyelamatan yang tidak meningkatkan risiko
kerentanan ibu hamil dan ibu menyusui, misalnya : meminimalkan
guncangan pada saat melakukan mobilisasi dan transportasi karena dapat
meransang kontraksi pada ibu hamil, tidak memisahkan bayi dari ibunya
saat proses evakuasi.
2) Petugas bencana harus memiliki kapasitas untuk menolong korban ibu
hamil dan ibu menyusui.

c. Pasca bencana
1) Dukungan ibu-ibu menyusui dengan dukungan nutrisi adekuat, cairan dan
emosional
2) Melibatkan petugas-petugas kesehatan reproduktif dirumah penampungan
korban bencana untuk menyediakan jasa konseling dan pemeriksaan
kesehatan untuk ibu hamil dan menyusui.
3) Melibatkan petugas konseling untuk mencegah, mengidentifikasi,
mengurangi risiko kejadian depresi pasca bencana.

3. Tindakan yang sesuai untuk kelompok berisiko pada lansia


a. Pra- bencana
1) Libatkan lansia dalam pengambilan keputusan dan sosialisasi disaster plan
dirumah.
2) Mempertimbangkan kebutuhan lansia dalam perencanaan penanganan
bencana.
b. Saat bencana
1) Melakukan usaha/ bantuan penyelamatan yang tidak meningkatkan risiko
kerentanan lansia, misalnya meminimalkan guncangan/trauma pada saat
melakukan mobilisasi dan transportasi untuk menghindari trauma
sekunder.
2) Identifikasi lansia dengan babtuan/ kebutuhan khusus contohnya : kursi
roda, tongkat,dll.

c. Pasca Bencana
Program inter generasional untuk mendukungsosialisasi komunitas dengan
lansia dan mencegah isolasi social lansia, diantaranya :
1) Libatkan remaja dalam pusat perawatan lansia dan kegiatan-kegiatan
social bersama lansia untuk memfasilitasi empati dan interaksi orang muda
dan lansia (community awareness).
2) Libatkan lansia sebagai strory tellers dan animator dalam kegiatan bersama
anak-anak yang diorganisir oleh agensy perlindungan anak di posko
perlindungan korban bencana.
3) Menyediakan dukungan social melalui pengembangan jaringan social yang
sehat di lokasi penampungan korban bencana.
4) Sediakan kesempatan belajar untuk meningkatkan pengetahuan dan skill
lansia.
5) Ciptakan kesempatan untuk mendapatkan penghasilan secara mandiri.
6) Berikan konseling untuk meningkatkan semangat hidup dan kemandirian
lansia.

4. Tindakan yang sesuai untuk kelompok berisiko pada orang dengan kecacatan dan
penyakit kronik
a. Pra-bencana
1) Identifikasi kelompok rentan dari kelompok individu yang cacat dan
berpenyakit kronis
2) Sedangkan informasi bencana yang bisa diakses oleh orang-orang dengan
keterbatasan fisik seperti : tunarunggu, tuna netra, dll.
3) Perlunya diadakan pelatihan-pelatihan penanganan kegawatdaruratan
bencana bagi petugas kesehatan khusus untuk menangani korban dengan
kebutuhan khusus (cacat & penyakit kronis).
b. Saat bencana
1) Sediakan alat-alat emergensi dan evakuasi yang khusus untuk orang cacat
dan berpenyakit kronis (HIV/AIDS dan penyakit infeksi lainya) : alat bantu
berjalan untuk korban dengan kecacatan, alat-alah BHD sekali pakai,dll.
2) Tetap menjaga dan meningkatkan kewaspadaan universal untuk petugas
dalam melakukan tindakan kegawatdaruratan.
c. Pasca bencana
a) Sedapat mungkin, sedangkan fasilitas yang dapat mengembalikan
kemandirian individu dengan keterbatasan fisik di lokasi evakuasi
sementara contohnya : kursi roda, tongkat, dll.
b) Libatkan agensi-agensi yang berfokus pada perlindungan individu-individu
dengan keterbatasan fisik dan penyakit koronis.
c) Rawat korban dengan penyakit kronis sesuai dengan kebutuhannya.

D. Sumber Daya Yang Tersedia Di Lingkungan Untuk Kebutuhan Kelompok


Beresiko
Untuk mengurangi dampak yang lebih berat akibat bencana terhadap kelompok-
kelompok berisiko saat bencana baik itu dalam jangka pendek maupun jangka
panjang, maka petugas kesehatan yang terlibat dalam penanganan bencana perlu
mengidentifikasi sumber daya apa saja yang tersedia dilingkungan yang dapat
digunakan saat bencana terjadi diantaranya (Enarson,2000, Federal Emergency
Management Agency (FEMA),2010 ; Power & Daily,2010, Veenema , 2007) :

1. Terbentuknya desa siaga dan organisasi kemasyarakatan yang terus


mensosialisasikan kesiapan-kesiagaan terhadap bencana terutama untuk area yang
rentan terhadap kejadian bencana.
2. Kesiapan rumah sakit atau fasilitas kesehatan menerima korban bencana dari
kelompok berisiko baik itu dari segi fasilitas maupun ketenagaan, seperti : berapa
jumlah incubator untuk bayi baru lahir , tempat tidur untuk `bayi baru lahir,
tempat tidur untuk pasien anak,ventilator anak, fasilitas persainan , pasien anak,
ventilator anak, fasilitas persalinan, fasilitas perawatan pasien dengan penyakit
kronis, dsb.
3. Adanya simbol –simbol atau bahasa yang bisa dimengerti oleh individu-individu
dengan kecacatan tentang peringatan bencana, jalur evakuasi, lokasi pengungsian,
dll.
4. Adanya system support berupa konseling dari ahli-ahli voluntir yang khusus
menangani kelompok berisiko untuk mencegah dan mengidentifikasi dini kondisi
depresi pasca bencana pada kelompok tersebut sehingga intervensi yang sesuai
dapat diberikan untuk merawat mereka.
5. Adanya agensi-agensi baik itu dari pemerintah maupun non pemerintah (NGO)
yang membantu korban bencana terutama kelompok-kelompok berisiko seperti :
agensi perlindungan anak dan perempuan, agency pelacakan keluarga korban
bencana (tracking center), dll.
6. Adanya website atau homepage bencana dan publikasi penelitian yang berisi
informasi-informasi tentang bagaimana perencanaan kegawat daruratan dan
bencana pada kelompok-kelompok dengan kebutuhan khusus dan berisiko.

E. Lingkungan Yang Sesuai Dengan Kebutuhan Kelompok Berisiko


Setelah kejadian bencana adalah pentingnya sesegera mungkin untuk menciptakan
lingkungan yang kondusif yang memungkinkan kelompok bersiko untuk berfungsi
secara mandiri sebagaimana sebelum kejadian bencana, diantarannya (Enarson,2000,
Federal Emergency Management Agency (FEMA),2010 ; Power & Daily,2010,
Veenema , 2007) :
1. Menciptakan kondisi / lingkungan yang memungkinkan ibu menuyusui untuk
terus memberikan ASI kepada anaknya dengan cara memberikan dukungan moril,
menyediakan konsultasi laktasi dan pencegahan depresi.
2. Membantu anak kembali melakukan aktivitas-aktivitas regular sebagaimana
sebelum kejadian bencana seperti : penjaga kebersihan diri, belajar atau sekolah
dan bermain.
3. Melibatkan lansia dalam aktifitas-aktifitas social dan program lintas generasi
misalnya dengan remaja dan anak-anak untuk mengurangkan risiko isolasi social
dan depresi.
4. Menyediakan informasi dan lingkungan yang kondusif untuk individu dengan
keterbatasan fisik misalnya area evakuasi yang dapat diakses oleh mereka.
5. Adanya fasilitas-fasilitas perawatan untuk korban bencana dengan penyakit kronis
dan infeksi.

F. Kegiatan Pemenuhan Kebutuhan Dasar Untuk Masyarakat ( Bio,Psiko,


Social,Cultural, Dan Spritual)
1. Pemenuhan kebutuhan air bersih masyarakat saat bencana
Pada saat terjadi bencana banyak infrasktur yang rusak dengan demikian
kebutuhan air untuk kebutuhan minum dan lainya dibutuhkan segera. Perawat
tempat bencana harus bisa menilai dari air bersih layak dikonsumsi ( bersih,
bening, tidak bau, dan tidak berasa ) dan memetakan dan berkerja sama dengan
instansi terkait untuk pemenuhan kebutuhan tersebut karena jika kebutuhan air
tidak terpenuhi segera di khawtrikan resiko-resiko yang lainya akan muncul
seperti resiko penyebaran penyakit dan resiko dehidarsi pada korban bencana.
2. Pemenuhan kebutuhan toilet umum masyarakat saat bencana
Toilet umum dan sanitasinya yang lainya sangat diperlukan dan termasuk
kebutuhan pokok terutama untuk korban bencana yang ada didaerah pengusian
dimana satu lokasi pengungsian bisa dihuni oleh ratusan orang atau ribuan.
Kebutuhan toilet ini sangat diperlukan karena hal ini merupakan hal yang
mendasar bagi pengunsi kebersihan dan ketersedian yang cukup merupakan hal
yang utama.
3. Pemenuhan kebutuhan berobat
Perawat komunitas sebagai petugas kesehatan dilapangan harus bisa melakukan
pengobatan sederahana saat bencana.
Diawali oleh tindakan tiase yang memakai kode.
a. Merah : paling penting, prioritas utama, keadaan yang mengacam kehidupan
sebagian besar pasien mengalami hipoksia, syok, trauma dada, perdarahan
internal, trauma kepala dengan kehilangan kesadaran, luka bakar derajat I-II.
b. Kuning : penting, prioritas kedua prioritas kedua meliputi injury dengan efek
sistemik namun belum jatuh kekeadaan syok karena dalam keadaan ini
sebenrnya pasien masih dapat bertahan selama 30- 60 menit. Injury tersebut
antara lain fraktur tulang multipel, fraktur terbuka, cedera medulla spinalis,
laserasi, luka terbuka derajat II.
c. Hijau : prioritas ketiga yang termasuk kategori ini adalah fraktur tertutp, luka
bakar minot, minor laserasi, kontusio, abrasio, dan dislokasi.
d. Hitam : meninggal ini adalah korban bencana yang tidak dapat selamat dari
bencana, ditemukan sudah dalam keadaan meninggal.
4. Pemenuhan Kebutuhan Makanan Sehat Saat Bencana
Makanan sehat sangat diperlukan unuk peningkatan gizi supaya para korban
segera sebuh dan terbebas dari penyakit. Untuk itu perlu di buat dapur umum
adapun untuk dapur umum tersebut perlu memerhatikan :
a. Lokasi
Dalam menentukan lokasi dapur umum agar memperhatikan hal-hal sebagai
berikut :
1) Letakan dapur umum dekat dengan posko atau penampungan supaya mudah
dicapai atau dikunjungi oleh korban.
2) Hygenis lingkungan cukup memadai
3) Aman dari bencana
4) Dekat dengan transpotasi umum
5) Dekat dengan sumber air
b. Peindrustian
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pendistribusian makanan kepada korban
bencana antara lain :
1) Distribusiandilakukan dengan menggunakan kartu distribusi.
2) Lokasi atau tempat pendistribusian yang aman dan mudah dicapai oleh korban.
3) Waktu pendistribusian yang konsisten dan tepat waktu, misalnya dilakukan 2
kali sehari makan pagi/ siang dilaksanakan jam 10.00-12 wib, makan sore/
malam 16.00-17.00 wib.
4) Pengambilan jatah sebaiknya diambil oleh kepala keluarga atau perwakilan
sesuai dengan kartu distribusi yang salah
5) Pembagian makanan bisa menggunakan daun, piring, kertas atau sesuai dengan
pertimbangan aman, cepat, praktis dan sehat.
Nomor
Contoh Kartu :
Dapur :........................................................................................................

Nomor Kode
DU :.....................................................................................................

Nama Kepala
Keluarga :...........................................................................................

Jumlah
Jiwa :...............................................................................................................

Alamat/Lokasi/Pos :..........................................................................................
5. Pemenuhan Kebutuhan shelter saat Bencana
Setiap orang membutuhkan shelter tempat istirahat dan tidur agar
mempertahankan status, kesehatan pada tingkat yang optimal. Tidur dapat
memperbaiki berbagai sel dalam tubuh.

G. Pelayanan kesehatan di pengungsian


1. Pelayanan Kesehatan Dasar di Pengungsian
Pola pengungsian di Indonesia sangat beragam mengikuti jenis bencana, lama
pengungsian dan upaya persiapannya. Pengungsian pola sisipan yaitu pengungsi
menumpang di rumah sanak keluarga. Pengungsian yang terkonsentrasi di tempat-
tempat umum atau di barak-barak yang telah disiapkan. Pola lain pengungsian
yaitu di tenda-tenda darurat disamping kanan kiri rumah mereka yang rusak akibat
bencan. Apapun pola pengungsian yang ada akibat bencana tetap menimbulkan
masalah kesehatan. Masalah kesehatan berawal dari kurangnya air bersih yang
berakibat pada buruknya kebersihan diri dan sanitasi lingkungan yang
menyebabkan perkembangan beberapa penyakit menular.
Persediaan pangan yang tidak mencukupi juga memengaruhi pemenuhan
kebutuhan gizi seseorang serta akan memperberat proses terjadinya penurunan
daya tahan tubuh terhadap berbagai penyakit. Dalam pemberian pelayanan
kesehatan di pengungsian sering tidak memadai akibat dari tidak memadainya
fasilitas kesehatan, jumlah dan jenis obat serta alat kesehatan, terbatasnya tenaga
kesehatan. Kondisi ini makin memperburuk masalah kesehatan yang akan timbul.
Penanggulangan masalah kesehatan dipengungsian merupakan kegiatan yang
harus dilakukan secara menyeluruh dan terpadu serta terkoordinasi baik secara
lintasprogram maupun lintas-sektor. Dalam penanganan masalah kesehatan di
pengungsian diperlukan standar minimal yang sesuai dengan kondisi keadaan di
lapangan sebagai pegangan untuk merencanakan, memberikan bantuan dan
mengevaluasi apa yang telah dilakukan oleh instansi pemerintah maupun LSM
dan swasta lainnya. Pelayanan kesehatan dasar yang diperlukan pengungsi
meliputi:
a. Pelayanan pengobatan
Bila pola pengungsian terkonsentrasi di barak-barak atau tempat-tempat
umum.
b. Pelayanan imunisasi
Bagi pengungsi khususnya anak-anak, dilakukan vaksinasi campak
tanpa memandang status imunisasi sebelumnya.
c. Pelayanan kesehatan ibu dan anak
Kegiatan yang harus dilaksanakan adalah:
1) Kesehatan Ibu dan Anak (pelayanan kehamilan, persalinan, nifas dan
pasca-keguguran)
2) Keluarga berencana (KB)
3) Deteksi dini dan penanggulangan IMS dan HIV/AIDS
4) Kesehatan reproduksi remaja
d. Pelayanan gizi
Tujuannya meningkatkan status gizi bagi ibu hamil dan balita melalui
pemberian makanan optimal.
e. Pemberantasan penyakit menular dan pengendalian vector
Beberapa jenis penyakit yang sering timbul di pengungsian dan
memerlukan tindakan pencegahan karena berpotensi menjadi KLB
antara lain: campak, diare, cacar, malaria, varicella, ISPA, tetanus.

Apabila petugas kesehatan di pos kesehatan, maupun puskesmas


menemukan atau mencurigai kemungkinan adanya peningkatan kasus-
kasus tersangka penyakit yang ditularkan melalui makanan (foodborne
diasease) ataupun penyakit lain yang jumlahnya meningkat dalam kurun
waktu singkat, maka petugas yang bersangkutan harus melaporkan
keadaan tersebut secepat mungkin ke Puskesmas terdekat atau Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota.

2. Pengawasan dan pengendalian penyakit


Penyakit menular merupakan masalah yang perlu mendapat perhatian besar,
mengingat potensi munculnya KLB penyakit menular pada periode paska bencana
yang besar sebagai akibat banyaknya faktor risiko yang memungkinkan terjadinya
penularan bahkan KLB penyakit.
Upaya pemberantasan penyakit menular pada umumnya diselenggarakan
untuk mencegah KLB penyakit menular pada periode pascabencana. Selain itu,
upaya tersebut juga bertujuan untuk mengidentifikasi penyakit menular yang perlu
diwaspadai pada kejadian bencana dan pengungsian, melaksanakan langkah-
langkah upaya pemberantasan penyakit menular, dan melaksanakan upaya
pencegahan kejadian luar biasa (KLB) penyakit menular.
Per masalahan penyakit menular ini terutama disebabkan oleh:
1) Kerusakan lingkungan dan pencemaran.
2) Jumlah pengungsi yang banyak, menempati suatu ruangan yang sempit,
sehingga harus berdesakan.
3) Pada umumnya tempat penampungan pengungsi tidak memenuhi syarat
kesehatan.
4) Ketersediaan air bersih yang seringkali tidak mencukupi jumlah maupun
kualitasnya.
5) Diantara para pengungsi banyak ditemui orang-orang yang memiliki
risiko tinggi, seperti balita, ibu hamil, berusia lanjut.
6) Pengungsian berada pada daerah endemis penyakit menular, dekat
sumber pencemaran, dan lain-lain.Potensi munculnya penyakit menular
yang sangat erat kaitannya dengan faktor risiko, khususnya di lokasi
pengungsian dan masyarakat sekitar penampungan pengungsi, adalah:
a) Penyakit Campak
b) Penyakit Diare
c) Penyakit Pnemonia
d) Penyakit Malaria
e) Penyakit Menular Lain Spesifik Lokal
3. Pencegahan dan penanggulangan penyakit diare
Penyakit Diare merupakan penyakit menular yang sangat potensial terjadi di
daerah pengungsian maupun wilayah yang terkena bencana, yang biasanya
sangat terkait erat dengan kerusakan, keterbatasan penyediaan air bersih dan
sanitasi dan diperburuk oleh perilaku hidup bersih dan sehat yang masih
rendah.
Pencegahan penyakit diare dapat dilakukan sendiri oleh para pengungsi,
antara lain:
a Gunakan air bersih yang memenuhi syarat.
b Semua anggota keluarga buang air besar di jamban.
c Buang tinja bayidan anak kecil di jamban.
d Cucilah tangan dengan sabun sebelum makan, sebelum
menjamah/memasak makanan dan sesudah buang air besar.
e Berilah Air Susu Ibu (ASI) saja sampai bayi berusia 6 bulan.
f Berilah makanan pendamping ASI dengan benar setelah bayi berusia 6
bulan dan pemberian ASI diteruskan sampai bayi berusia 24 bulan.

4. Air bersih dan sanitasi


Seperti diketahui air merupakan kebutuhan utama bagi kehidupan, demikian
juga dengan masyarakat pengungsi harus dapat terjangkau oleh ketersediaan air
bersih yang memadai untuk memelihara kesehatannya. Bilamana air bersih dan
sarana sanitasi telah tersedia, perlu dilakukan upaya pengawasan dan perbaikan
kualitas air bersih dan sarana sanitasi.
Tujuan utama perbaikan dan pengawasan kualitas air adalah untuk mencegah
timbulnya risiko kesehatan akibat penggunaan air yang tidak memenuhi
persyaratan. Pada tahap awal kejadian bencana atau pengungsian ketersediaan air
bersih bagi pengungsi perlu mendapat perhatian, karena tanpa adanya air bersih
sangat berpengaruh terhadap kebersihan dan meningkatkan risiko terjadinya
penularan penyakit seperti diare, typhus, scabies dan penyakit lainnya.
Standar minimum kebutuhan air bersih :
Prioritas pada hari pertama/awal kejadian bencana atau pengungsian kebutuhan air
bersih yang harus disediakan bagi pengungsi adalah 5 liter/orang/hari. Jumlah ini
dimaksudkan hanya untuk memenuhi kebutuhan minimal, seperti masak, makan
dan minum.
Hari I pengungsian: 5 liter/org/hari
Pada hari kedua dan seterusnya harus segera diupayakan untuk meningkatkan
volume air sampai sekurang kurangnya 15–20 liter/orang/ hari. Volume
sebesar ini diperlukan untuk memenuhi kebutuhan minum, masak, mandi dan
mencuci. Bilamana hal ini tidak terpenuhi, sangat besar potensi risiko
terjadinya penularan penyakit, terutama penyakit penyakit berbasis
lingkungan.
Hari berikutnya: 20 liter/org/hari
Bagi fasilitas pelayanan kesehatan dalam rangka melayani korban bencana dan
pengungsian, volume air bersih yang perlu disediakan di Puskesmas atau rumah
sakit: 50 liter/org/hari.
Sumber air bersih dan pengolahannya :
Bila sumber air bersih yang digunakan untuk pengungsi berasal dari sumber air
permukaan (sungai, danau, laut, dan lain-lain), sumur gali, sumur bor, mata air
dan sebagainya, perlu segera dilakukan pengamanan terhadap sumber-sumber air
tersebut dari kemungkinan terjadinya pencemaran, misalnya dengan melakukan
pemagaran ataupun pemasangan papan pengumuman dan dilakukan perbaikan
kualitasnya.Bila sumber air diperoleh dari PDAM atau sumber lain yang cukup
jauh dengan tempat pengungsian, harus dilakukan pengangkutan dengan mobil
tangki air.Untuk pengolahan dapat menggunakan alat penyuling air (water
purifier/water treatment plant).
Tangki penampungan air bersih di tempat pengungsian :
Tempat penampungan air di lokasi pengungsi dapat berupa tangki air
yangdilengkapi dengan kran air. Untuk mencegah terjadinya antrian yang panjang
dari pengungsi yang akan mengambil air, perlu diperhatikan jarak tangki air dari
tenda pengungsi minimum 30 meter dan maksimum 500 meter. Untuk keperluan
penampungan air bagi kepentingan sehari hari keluarga pengungsi, sebaiknya
setiap keluarga pengungsi disediakan tempat penampungan air keluarga dalam
bentuk ember atau jerigen volume 20 liter.
Perbaikan dan pengawasan kualitas air bersih :
Pada situasi bencana dan pengungsian umumnya sulit memperoleh air bersih yang
sudah memenuhi persya-ratan, oleh karena itu apabila air yang tersedia tidak
memenuhi syarat, baik dari segi fisik maupun bakteriologis, perlu dilakukan.
Buang atau singkirkan bahan pencemar dan lakukan hal berikut :
a Lakukan penjernihan air secara cepat apabila tingkat kekeruhan air
yang ada cukup tinggi.
b Lakukan desinfeksi terhadap air yang ada dengan menggunakan bahan
bahan desinfektan untuk air
c Periksa kadar sisa klor bilamana air dikirim dari PDAM
d Lakukan pemeriksaan kualitas air secara berkala pada titik-titik
distribusi.

Sanitasi dan pengelolaan sampah :

Kegiatan yang dilakukan dalam upaya sanitasi pengelolaan sampah, antara


lain:

a Pengumpulan Sampah
1) Sampah yang dihasilkan harus ditampung pada tempat sampah
keluarga atau sekelompok keluarga
2) Disarankan menggunakan tempat sampah yang dapat ditutup dan
mudah dipindahkan/diangkat untuk menghindari lalat serta bau,
untuk itu dapat digunakan potongan drum atau kantung plastik
sampah ukuran 1 m x 0,6 m untuk 1 – 3 keluarga.
b Penempatan tempat sampah maksimum 15 meter dari tempat hunian
1) Sampah ditempat sampah tersebut maksimum 3(tiga) hari harus
sudah diangkut ke tempat
2) pembuangan akhir atau tempat pengumpulan sementara.
c Pengangkutan Sampah
Pengangkutan sampah dapat dilakukan dengan gerobak sampah atau
dengan truk pengangkut sampah untuk diangkut ke tempat pembuangan
akhir.
d Pembuangan Akhir Sampah
Pembuangan akhir sampah dapat dilakukan dengan beberapa cara,
seperti pembakaran, penimbunan dalam lubang galian atau parit dengan
ukuran dalam 2 meter lebar 1,5 meter dan panjang 1 meter untuk
keperluan 200 orang. Perlu diperhatikan bahwa lokasi pembuangan
akhir harus jauh dari tempat hunian dan jarak minimal dari sumber air
10 meter.
5. Penanganan gizi darurat
a. Penanganan gizi darurat pada bayi dan anak
Penanganan gizi darurat pada bayi dan anak pada umumnya ditujukan untuk
meningkatkan status gizi, kesehatan, dan kelangsungan hidup bayi dan anak
dalam keadaan darurat melalui pemberian makanan yang optimal. Sementara,
secara khusus, penanganan tersebut ditujukan untuk meningkatkan
pengetahuan petugas dalam pemberian makanan bayi dan anak baduta;
meningkatkan ketrampilan petugas dalam mengenali dan memecahkan
masalah pada pemberian makanan bayi dan baduta dalam keadaan darurat; dan
meningkatkan kemampuan petugas dalam mendukung terhadap pemberian
makanan yang baik dalam keadaan darurat.
b. Makanan pendamping ASI
Dalam keadaan darurat, bayi dan balita seharusnya mendapat MP-ASI untuk
mencegah kekurangan gizi. Untuk memperoleh MP-ASI yang baik yang
dibuat secara lokal, perlu diberi tambahan vitamin dan mineral pada makanan
waktu akan dihidangkan. Jenis-jenis MP-ASI dapat dilihat dari buku standar.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian makanan bayi dan anak
baduta yang dihadapi di lapangan, sebagai berikut:
1) Memahami perasaan ibu terhadap kondisi yang sedang dialami
2) Memberikan prioritas kepada ibu menyusui untuk mendapatkan distribusi
makanan tepat waktu
3) Anjurkan ibu agar tenang dan bangkitkan motivasi ibu untuk menyusui
bayinya
4) Anjurkan ibu agar mengonsumsi makanan bergizi seimbang yang cukup
jumlahnya
5) Memastikan ibu mendapat tambahan makanan dan cairan yang
mencukupi
c. Makanan ibu hamil dan menyusui
Ibu hamil dan menyusui memerlukan tambahan zat gizi. Ibu hamil perlu
penambahan energi 300 Kal dan Protein 17 gram, sedangkan ibu menyusui
perlu tambahan Energi 500 Kal dan Protein 17 gram. Suplementasi vitamin
dan mineral untuk ibu hamil adalah Fe 1 tablet setiap hari.
d. Makanan usia lanjut
Kebutuhan energi pada usia lanjut pada umumnya sudah menurun, tetapi
kebutuhan vitamin dan mineral tidak. Oleh karena itu diperlukan makanan
porsi kecil tetapi padat gizi. Dalam pemberian makanan pada orang tua harus
memperhatikan faktor psikologis dan fisiologis agar makanan yang disajikan
dapat dikonsumsi habis. Selain itu, makanan yang diberikan mudah dicerna
serta mengandung vitamin dan mineral cukup. Dalam situasi yang
memungkinkan usila dapat diberikan blended food berupa bubur atau biscuit.

BAB III
PEMBAHASAN KASUS

Kasus I

Posko bencana korban banjir sudah 3 hari di tenda pengungsian. Beberapa balita mengalami
diare dan sebagian lainnya bermain ceria namun tampak kotor penampilannya, khususnya
tangan dan kakinya.

Pembahasan :

Berdasarkan kasus tersebut kebutuhan yang diperlukan untuk pengungsi yaitu air bersih,
MCK, baju bersih, dan peralatan mandi. Sector yang terlibat untuk kasus tersebut yaitu posko
balai kesehatan, posko dapur , posko MCK dimana fungsinya untuk mengobati balita yang
menderita diare, dapur umum di butuh kan untuk monitor status nutrisi pada balita dan
kebutuhan toileting.

Dalam manajemen pasca bencana terdapat lima aspek yang harus diperhatikan yaitu kespro,
surveillance, penyakit menular, gizi dan obat, serta sanitasi. Pada aspek kespro perlu
diperhatikan juga pada balita karena akibat bencana dapat meningkatan resiko kesehatan
reproduksinya untuk itu perlu diperhatikan agar terhindar dari perburukan kesehatan.
Surveillance , Manajemen survailans perlu di perhatikan dalam menetukan tindakan yang di
butuhkan secara cepat bagi penderita sehingga terhindarkan dari KLB. Penyakit menular,
pasca bencana, anak-anak berisiko mengalami masalah-masalah kesehatan jangka pendek dan
jangka panjang baik fisik dan psikologis karena malnutrisi, penyakit-penyakit infeksi,
kurangnya skill bertahan hidup dan komunikasi, ketidakmampuan melindungi diri sendiri,
kurangnya kekuatan fisik, imunitas dan kemampuan koping. Kondisi tersebut dapat
mengancam nyawa jika tidak diidentifikasi dan ditangani dengan segera oleh petugas
kesehatan. usahakan kegiatan rutin sehari-hari dapat dilakukan sesegera mungkin contohnya:
waktu makan, dan personal hygiene teratur, tidur, bermain. Gizi dan obat , perhatikan dalam
pemberian nutrisi untuk meningkatkan status gizi balita pasca bencana agar kebutuhan nutrisi
terpenuhhi agar KLB dapat terhindari.manajemen obat-obatan diperhatikan agar ketersediaan
obat-obatan pada balita yang menderita diare dapat terpenuhi dan tidak kekurangan. Sanitasi ,
perhatikan manajemen untuk pembuatan MCK dan kebersihan lingkungan sekitar agar sarana
untuk memperbaiki personal hygine balita.

Dari ke lima aspek diatas sangat penting di perhatikan untuk mensosialisasikan dan
meningkatkan kesiap-siagaan terhadap bencana terutama untuk area yang rentan terhadap
kejadian bencana sehingga resiko atau dampak yang lebih berat akibat bencana terhadap
balita saat itu dapat terhindari.

Tindakan keperawatan spesifik untuk korban pasca bencana pada kasus tersebut yaitu:
1. Promotif , memberikan pendidikan kesehatan tentang penyakit yang diderita.
Alasan : Agar keluarga dapat memahami tentang penyakit tersebut dan memahami cara
menjaga kesehatan yang baik.
2. Preventif, mengajarkan dan membiasakan mencuci tangan.
Alasan : Agar keluarga dapat membiasakan cara mencuci tangan yang baik dan benar.
3. Kuratif, pengobatan yang diberikan kepada penderita penyakit tersebut.
Alasan : Supaya masalah yang dialami oleh penderita teratasi.
4. Rehabilitatif, pemulihan (melakukan terapi aktif bermain).
Alasan : Untuk mengurangi dampak psikologis balita akibat bencana tersebut.
5. Resosiatif,
Alasan : untuk mengembalikan individu, keluarga dan kelompok khusus di dalam
pergaulan masyarakat pasca bencana.

Aspek etik dan legal dari tindakan keperawatan yang dapat dilakukan pada situasi bencana
diantaranya Otonom ,Berbuat baik (Beneficience), Keadilan, Tidak merugikan , Kejujuran,
Menepati janji , Kerahasian , Akuntabilitas. Aspek pendukungnya yaitu banyaknya dukungan
dari pihak - pihak yang terkait terhadap penanggulangan bencana juga semangatnya para
korban untuk memulihkan kondisi maupun dari psikis, mental, dan spiritual. Sedangkan
faktor penghambatan dalam pelaksanaan tindakan keperawatan diantaranya Minimnya
petugas kesehatan maupun pihak - pihak yang terkait mengenai penanggulangan bencana,
kurang cepat dan tepatnya bantuan dari pihak pemerintah, kurangnya pelayanan pengobatan,
gizi, kesehatan jiwa, dan kesehatan reproduksi, dan sebagian individu kurang kooperatif
dalam upaya penanganan.

Dari hasil diskusi kelompok mengenai kasus tersebut banyak pendapat dari kelompok tetapi
kami dapat mengatasi nya dan menyamakan persepsi masing- masing.

Kasus II

Salah satu posko pengungsi banjir adalah kelompok usia lanjut. Beberapa di antaranya
cenderung terlantar dalam hal kebutuhan dasar seperti urusan toileting dan makan sehari-hari.

Pembahasan :

Pasca bencana, kebutuhan lansia sering terabaikan dan mengalami diskriminasi, contohnya
dalam hal distribusi kebutuhan hidup dan finansial pasca bencana. Diantaranya kebutuhan
toileting dan makanan sehari-hari. Kebutuhan toilet ini sangat diperlukan oleh para lansia
karena hal ini merupakan hal yang mendasar bagi para pengungsi. Pada lansia terjadinya
penurunan fungsi eliminasi, maka lansia lebih sering pergi ke toilet. Oleh karena itu
kebutuhan toileting sangat penting bagi lansia. Maka toilet ditempat bencana harus lebih
dekat dengan posko bencana untuk lebih memudahkan para pengungsi khususnya bagi lansia.
Toilet pada lansia juga harus mendukung pada kebutuhan yang diperlukan oleh lansia karena
lansia mengalami penurunan fungsi fisiologis, maka toilet harus dipasang pegangan, hindari
kelicinan atau jika tidak memungkinkan sebaiknya lansia ketika ingin ke kamar mandi jangan
dbiarkan sendiri untuk menghindari kejadian yang tidak diinginkan. Kebutuhan makanan
juga penting bagi lansia karena Kebutuhan energi pada usia lanjut pada umumnya sudah
menurun. Oleh karena itu diperlukan makanan porsi kecil tetapi padat gizi.Selain itu,
makanan yang diberikan pada lansia yaitu makanan yang mudah dicerna serta mengandung
vitamin dan mineral cukup. Dalam situasi yang memungkinkan usila dapat diberikan
blended food berupa bubur atau biskuit.

Sector yang terlibat adalah posko balai kesehatan seperti posko MCK agar kebutuhan
toileting pada lansia dapat terpenuhi dan posko dapur agar kebutuhan nutrisi pada lansia
dapat terpenuhi, dan pengobatan kesehatan khusus seperti psikologinya yang membuat lansia
merasa tenang dan nyaman.

Dalam manajemen pasca bencana terdapat lima aspek yang harus diperhatikan yaitu kespro,
surveillance, penyakit menular, gizi dan obat, serta sanitasi. Pada aspek kespro perlu
diperhatikan juga pada lansia karena akibat bencana dapat meningkatan resiko kesehatan
reproduksinya untuk itu perlu diperhatikan agar terhindar dari perburukan kesehatan
Survailance, Manajemen survalince perlu diperhatikan dalam menentukan tindakan yang
dibutuhkan secara cepat bagi penderita sehingga terhindar dari KLB.Surveilans penyakit dan
faktor risiko pada umumnya merupakan suatu upaya untuk menyediakan informasi kebutuhan
pelayanan kesehatan di lokasi bencana dan pengungsian sebagai bahan tindakan kesehatan
segera. Penyakit menular, Pasca bencana lansia mengalami masalah-masalah kesehatan
jangka pendek dan jangka panjang baik fisik maupun psikologinya, penyakit-penyakit
menular yang dapat terjadi pada saat banjir yaitu diare, demam berdarah, malaria.
Pelaksanaan pengendalian vektor yang perlu mendapatkan perhatian di lokasi pengungsi
adalah pengelolaan lingkungan, pengendalian dengan insektisida,serta pengawasan makanan
dan minuman. Pada pelaksanaan kegiatan surveilans bila menemukan kasus penyakit
menular, semua pihak termasuk LSM kemanusiaan di pengungsian harus melaporkan kepada
Puskesmas/Pos Yankes di bawah koordinasi Dinas Kesehatan Kabupaten sebagai
penanggung jawab pemantauan dan pengendalian. Gizi dan obat, Bila pola pengungsian
terkonsentrasi di barak-barak atau tempat-tempat umum, pelayanan pengobatan dilakukan di
lokasi pengungsian dengan membuat pos pengobatan. Pelayanan pengobatan dilakukan di
Puskesmas bila fasilitas kesehatan tersebut masih berfungsi dan pola pengungsiannya tersebar
berada di tenda-tenda kanan kiri rumah pengungsi. Untuk gizi pada lansia dibutuhkan
makanan porsi kecil tetapi padat gizi Selain itu, makanan yang diberikan mudah dicerna serta
mengandung vitamin dan mineral cukup. Sanitasi, pengungsi harus dapat terjangkau oleh
ketersediaan air bersih yang memadai untuk memelihara kesehatannya. Tujuan utama
perbaikan dan pengawasan kualitas air adalah untuk mencegah timbulnya risiko kesehatan
akibat penggunaan air yang tidak memenuhi persyaratan.Pada tahap awal kejadian bencana
atau pengungsian ketersediaan air bersih bagi pengungsi perlu mendapat perhatian, karena
tanpa adanya air bersih sangat berpengaruh terhadap kebersihan dan mening-katkan risiko
terjadinya penularan penyakit seperti diare, typhus, scabies dan penyakit lainnya. Pada situasi
bencana dan pengungsian umumnya sulit memperoleh air bersih yang sudah memenuhi
persyaratan, oleh karena itu apabila air yang tersedia tidak memenuhi syarat, baik dari segi
fisik maupun bakteriologis, perlu dilakukan penjernihan air secara cepat apabila tingkat
kekeruhan air yang ada cukup tinggi serta lakukan desinfeksi terhadap air yang ada dengan
menggunakan bahan desinfektan untuk air. Upaya dilakukan dalam sanitasi pengelolaan
sampah yaitu disarankan menggunakan tempat sampah yang dapat ditutup dan mudah
dipindahkan/diangkat untuk menghindari lalat serta bau dan Pengangkutan sampah dapat
dilakukan dengan gerobak sampah atau dengan truk pengangkut sampah untuk diangkut ke
tempat pembuangan akhir.

Dari ke lima aspek diatas sangat penting di perhatikan untuk mensosialisasikan dan
meningkatkan kesiap-siagaan terhadap bencana terutama untuk area yang rentan terhadap
kejadian bencana untuk lansia khususnya, sehingga resiko atau dampak yang lebih berat
akibat bencana terhadap lansia saat itu dapat terhindari.

Jenis tindakan keperawatan spesifik untuk korban pasca bencana pada kasus tersebut
diantaranya libatkan remaja dalam pusat perawatan lansia dan kegiatan-kegiatan social
bersama lansia untuk memfasilitasi empati dan interaksi orang muda dan lansia (community
awareness), Menyedikan dukungan social melalui pengembangan jaringan social yang sehat
di lokasi penampungan korban bencana,Sediakan kesempatan belajar untuk meningkatkan
pengetahuan dan skill lansia, Ciptakan kesempatan untuk mendapatkan penghasilan secara
mandiri dan Berikan konseling untuk meningkatkan semangat hidup dan kemandirian lansia.

Aspek etik dan legal dari tindakan keperawatan yaitu Otonom ,Berbuat baik (Beneficience),
Keadilan, Tidak merugikan , Kejujuran, Menepati janji , Kerahasian , Akuntabilitas.

Kasus III

Sebagian besar pengungsi korban banjir adalah remaja putri dan ibu hamil. Mereka
mengeluhkan tidak adanya stok pembalut dan minimnya sarana air bersihnya.

Pembahasan :
Berdasarkan kasus tersebut kebutuhan yang diperlukan untuk pengungsi yaitu Pembalut dan
sarana air bersih. Sector yang terlibat adalah posko balai kesehatan dengan melibatkan KIA
dimana fungsinya untuk melakukan pemeriksaan kehamilan pada ibu hamil, ataupun terkait
masalah reproduksi pada remaja wanita, serta posko MCK untuk kebutuhan toileting.

Dalam manajemen pasca bencana terdapat lima aspek yang harus diperhatikan yaitu kespro,
surveillance, penyakit menular, gizi dan obat, serta sanitasi. Pada aspek kespro perlu
diperhatikan Kesehatan reproduksi pada kasus ini khususnya pada remaja dan ibu hamil,
guna mencegah penyakit yang mungkin bisa terjadi dikarenakan bencana ini. Surveilance,
manajemen surveillance perlu diperhatikan dalam menentukan tindakan yang dibutuhkan
secara cepat bagi penderita sehingga terhindarkan dari KLB. Surveilance, manajemen
surveillance perlu diperhatikan dalam menentukan tindakan yang dibutuhkan secara cepat
bagi penderita sehingga terhindarkan dari KLB. Penyakit menular, penyakit-penyakit
menular yang dapat terjadi pada saat banjir yaitu diare, demam berdarah, malaria.
Pelaksanaan pengendalian vektor yang perlu mendapatkan perhatian di lokasi pengungsi
adalah pengelolaan lingkungan, pengendalian dengan insektisida,serta pengawasan makanan
dan minuman. Pada pelaksanaan kegiatan surveilans bila menemukan kasus penyakit
menular, semua pihak termasuk LSM kemanusiaan di pengungsian harus melaporkan kepada
Puskesmas/Pos Yankes di bawah koordinasi Dinas Kesehatan Kabupaten sebagai
penanggung jawab pemantauan dan pengendalian. Gizi dan obat, Bila pola pengungsian
terkonsentrasi di barak-barak atau tempat-tempat umum, pelayanan pengobatan dilakukan di
lokasi pengungsian dengan membuat pos pengobatan. Pelayanan pengobatan dilakukan di
Puskesmas bila fasilitas kesehatan tersebut masih berfungsi dan pola pengungsiannya tersebar
berada di tenda-tenda kanan kiri rumah pengungsi. Pemilihan bahan makanan disesuaikan
dengan ketersediaan bahan makanan. Untuk Ibu hamil memerlukan tambahan zat gizi. Ibu
hamil perlu penambahan energi 300 Kal dan Protein 17 gram. Suplementasi vitamin dan
mineral untuk ibu hamil adalah Fe 1 tablet setiap hari,selama 90 hari, kebutuhan akan 6
kalsium 950 mg setiap harinya, vitamin C 80mg. Pemberian vitamin dan mineral dilakukan
oleh petugas kesehatan. Makanan yang diperlukan, usahakan makan protein 2X sehari,
seperti telur, ayam, tahu, tempe, daging sapi, ikan dan kacang-kacangan. Jangan
menggunakan vetsin atau penyedap rasa buatan kedalam makanan. Sanitasi, Perhatikan
manajemen untuk pembuatan MCK dan kebersihan lingkungan sekitar agar dapat menjadi
sarana untuk memperbaiki personal hygine pada remaja dan ibu hamil.
Dari ke lima aspek diatas sangat penting di perhatikan untuk mensosialisasikan dan
meningkatkan kesiap-siagaan terhadap bencana terutama untuk area yang rentan terhadap
kejadian bencana untuk bayi khususnya, sehingga resiko atau dampak yang lebih berat akibat
bencana terhadap bayi saat itu dapat terhindari.

Tindakan keperawatan spesifik untuk korban pasca bencana pada kasus tersebut yaitu:
1. Promotif , memberikan pendidikan kesehatan tentang menjaga kesehatan reproduksi.
Alasan : Agar dapat memahami cara menjaga kesehatan yang baik.
2. Preventif, mengajarkan dan membiasakan diri untuk memperhatikan kebersihan diri
dengan membersihkan daerah reproduksi dengan air bersih
Alasannya : Agar dapat memperhatikan kebersihan diri guna mencegah perburukan
kesehatan
3. Kuratif : pengobatan yang akan diberikan melalui sector yang terkait
Alasannya: Bila mengetahui ada gangguan yang diderita pada remaja ataupun ibu hamil,
dapat langsung dikonsulkan oleh sector terkait di posko kesehatan untuk mendapatkan
tindakan lebih lanjut.
4. Rehabilitatif : pemulihan
Alasan : Untuk mengurangi dampak psikologis ibu hamil ataupun remaja akibat bencana
tersebut.
5. Resosiatif
alasan : untuk mengembalikan individu, keluarga dan kelompok khusus di dalam
pergaulan masyarakat pasca bencana.

Aspek etik dan legal dari tindakan keperawatan yaitu Otonom ,Berbuat baik (Beneficience),
Keadilan, Tidak merugikan , Kejujuran, Menepati janji , Kerahasian , Akuntabilitas. Aspek
pendukungnya yaitu banyaknya dukungan dari pihak - pihak yang terkait terhadap
penanggulangan bencana juga semangatnya para korban untuk memulihkan kondisi maupun
dari psikis, mental, dan spiritual. Sedangkan faktor penghambatan dalam pelaksanaan
tindakan keperawatan diantaranya Minimnya petugas kesehatan maupun pihak - pihak yang
terkait mengenai penanggulangan bencana, kurang cepat dan tepatnya bantuan dari pihak
pemerintah, kurangnya pelayanan pengobatan, gizi, kesehatan jiwa, dan kesehatan
reproduksi, dan sebagian individu kurang kooperatif dalam upaya penanganan.

Kasus IV
Dengan alasan asi sedikit beberapa ibu terpaksa memberikan susu formula pada bayi, dengan
kurang memperhatikan kebersihan alat makan dan minum, memasuki minggu ke 3 ada bayi
mengalami diare dan sebagian lainnya rewal dan mengeluh kalau malam susah tidur.

Pembahasan :

Kebutuhan yang diperlukan untuk pengungsi berdasarkan kasus tersbut adalah air bersih, alat
makan dan minum yang bersih, serta makanan untuk ibu menyusui.

Sector yang terlibat dalam kasus tersebut adalah sector dapur umum, posko kesehatan, MCK
dimana masing-masing fungsinya adalah untuk mengobati bayi yang menderita diare, dapur
umum di butuh kan untuk monitor status nutrisi pada balita dan MCK untuk kebutuhan
toileting.

Dalam manajemen pasca bencana terdapat lima aspek yang harus diperhatikan yaitu kespro,
surveillance, penyakit menular, gizi dan obat, serta sanitasi. Pada aspek kespro perlu
diperhatikan juga pada balita karena akibat bencana dapat meningkatan resiko kesehatan
reproduksinya untuk itu perlu diperhatikan agar terhindar dari perburukan kesehatan.
Surveilance, manajemen surveillance perlu diperhatikan dalam menentukan tindakan yang
dibutuhkan secara cepat bagi penderita sehingga terhindarkan dari KLB. Penyakit menular,
Pasca bencana, anak-anak berisiko mengalami masalah-masalah kesehatan jangka pendek
dan jangka panjang baik fisik dan psikologis karena malnutrisi, penyakit-penyakit infeksi,
kurangnya skill bertahan hidup dan komunikasi, ketidakmampuan melindungi diri sendiri,
kurangnya kekuatan fisik, imunitas dan kemampuan koping. Kondisi tersebut dapat
mengancam nyawa jika tidak diidentifikasi dan ditangani dengan segera oleh petugas
kesehatan. usahakan kegiatan rutin sehari-hari dapat dilakukan sesegera mungkin contohnya:
waktu makan, dan personal hygiene teratur, tidur, bermain. Gizi dan obat, Perhatikan dalam
pemberian nutrisi untuk meningkatkan status gizi balita pasca bencana agar kebutuhan nutrisi
terpenuhhi agar KLB dapat terhindari.manajemen obat-obatan diperhatikan agar ketersediaan
obat-obatan pada balita yang menderita diare dapat terpenuhi dan tidak kekurangan. Sanitasi,
Perhatikan manajemen untuk pembuatan MCK dan kebersihan lingkungan sekitar agar dapat
menjadi sarana untuk memperbaiki personal hygine bayi dan kebersihan dalam makanan
ataupun minumannya.

Dari ke lima aspek diatas sangat penting di perhatikan untuk mensosialisasikan dan
meningkatkan kesiap-siagaan terhadap bencana terutama untuk area yang rentan terhadap
kejadian bencana untuk bayi khususnya, sehingga resiko atau dampak yang lebih berat akibat
bencana terhadap bayi saat itu dapat terhindari.

Tindakan keperawatan spesifik untuk korban pasca bencana pada kasus tersebut yaitu:
1. Promotif , memberikan pendidikan kesehatan tentang penyakit yang diderita.
Alasan : Agar keluarga dapat memahami tentang penyakit tersebut dan memahami cara
menjaga kesehatan yang baik.
2. Preventif, mengajarkan dan membiasakan ibu untuk mencuci tangan sebelum dan sesudah
berkontak dengan bayi dan mencuci peralatan seperti botol susu yang akan digunakan.
Alasannya : Agar keluarga dapat memperhatikan kebersihan diri dan peralatan yang akan
digunakan
3. Kuratif : pengobatan yang akan diberikan kepada penderita penyakit tersebut seperti
pembuatan oralit untuk pencegahan diare yang lebih parah.
Alasannya: setelah kita mengetahui penyakit bayi yang diderita kita bisa mengobati bayi
tersebut agar diare yang diderita bayi tidak bertambah parah. Biasanya bayi yang
mengalami diare mengalami dehidrasi maka dari itu kita bisa mengobati dehidrasinya
terlebih dahulu.
4. Rehabilitatif : pemulihan (melakukan terapi aktif bermain).
Alasan : Untuk mengurangi dampak psikologis balita akibat bencana tersebut.
5. Resosiatif
alasan : untuk mengembalikan individu, keluarga dan kelompok khusus di dalam
pergaulan masyarakat pasca bencana.

Aspek etik dan legal dari tindakan keperawatan yaitu Otonom ,Berbuat baik (Beneficience),
Keadilan, Tidak merugikan , Kejujuran, Menepati janji , Kerahasian , Akuntabilitas. Aspek
pendukungnya yaitu banyaknya dukungan dari pihak - pihak yang terkait terhadap
penanggulangan bencana juga semangatnya para korban untuk memulihkan kondisi maupun
dari psikis, mental, dan spiritual. Sedangkan faktor penghambatan dalam pelaksanaan
tindakan keperawatan diantaranya Minimnya petugas kesehatan maupun pihak - pihak yang
terkait mengenai penanggulangan bencana, kurang cepat dan tepatnya bantuan dari pihak
pemerintah, kurangnya pelayanan pengobatan, gizi, kesehatan jiwa, dan kesehatan
reproduksi, dan sebagian individu kurang kooperatif dalam upaya penanganan.
BAB V

PENUTUP

Kelompok rentan dalam situasi bencana adalah individu atau kelompok yang terdampak
lebih berat diakibatkan adanya kekurangan dan kelemahan yang dimilikinya yang pada saat
bencana terjadi menjadi beresiko lebih besar meliputi bayi, balita, dan anak-anak; ibu yang
sedang mengandung / menyusui; penyandang cacat (disabilitas). Faktor Resiko dan
Pelindung pada Kelompok Rentan seperti yang telah dipaparkan sebelumnya mengenai faktor
resiko seperti jenis kelamin, SES, perpisahan dengan orang yang disayangi, diskriminasi dan
prejudice pada Negara baru (host country), usia, efek dari kejadian bencana, paparan
(exposure) ke bencana dan sejarah gangguan psikologi sebelumnya. Agama, keyakinan,
kepastian politik dan persiapan terhadap bencana merupakan faktor pelindung untuk
kelompok rentan. 
Efek dari Bencana, karakteristik yang mempengaruhi rasa trauma : rasa horror yang
terjadi ketika melihat even/kejadian tersebut, durasi dari bencana, kejadian yang tidak
diharapkan (kejadian yang tidak ada peringatannya berdampak lebih besar pada kondisi
psikologis seseorang), rasio dampak bencana, ancaman yang dilihat dari: rasio akibat
bencana, kehilangan yang diakibatkan oleh bencana pada level komunitas, perubahan sosial
kultur seperti kegiatan dalam keseharian, kontrol terhadap kejadian, dukungan sosial setelah
bencana,simbolism dari kejadian bencana (cara memaknai kejadian antara “kehendak Tuhan”
atau “manusia”), kemampuan memanage stress, akumulasi dari sebelum dan sesudah
bencana, seperti kepribadian seseorang ataupun kondisi emosi individu tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Enarson, E.2000. infocus programme on crisis Response and Reconstruction Working paper
1: Gender and natural disaster. Geneva: Recorvery and Reconstruction Departement.

Federal Emergency Management Agency (FEMA).2010. Developing and Maintaining


Emergency operations plans: compherensive preparedness guide (CPG): US Departement of
homeland Security.

Indriyani, S.2014. Basic Gender dalam Penanganan Bencana. Surabaya: Suara Merdeka.

Kemenkes.2011. Pedoman Penanggulangan Teknis Krisi Kesehatan Akibat Bencana. Standar


International

Klynman, Y., Kouppari, N., & mukhier, M., (Eds.).2007. World disasters report 2007: Focus
on discrimination. Geneva,Switzerland: international Federation of Red Cross and Red
Crescent societies.
Powers, R., & Daily, E., (Eds).2010. international disaster nursing. Cambridge, UK: The
world Association for Disaster and Emergency Medicine & Cambridge University Press.

Undang-undang No.24 tahun 2007 tentang penanggulangan bencana.

Veenema, T.G. 2007. Disaster nursing and emergency preparedness for chemical, biological
and radiological terrorism and other hazards (2 nd ed.). New York, NY: Springer Publishing
Company,LLC.

World Health Organization (WHO) & Internasional council of nursing (ICN).2009. ICN
Frame Work of disaster Nursing Competencies. Geneva, Switzerland :ICN.

Anda mungkin juga menyukai