Anda di halaman 1dari 24

KEPERAWATAN PALIATIF

TERMINAL ILLNES, MANAJEMEN NYERI, PERAWATAN KONTEMPORER


DAN TERAPI KOMPLEMENTER PADA PASIEN PALIATIF

Dosen : Nazaruddin.S.kep,.NS,.M.kep

DI SUSUN OLEH :

Nama : Irmawati Tohamba


Nim : P201701118
Kelas : J3 Keperawatan

PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI KESEHATAN MANDALA WALUYA

KENDARI

2020

i
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.......................................................................................i

DAFTAR ISI...................................................................................................ii

KATA PENGANTAR....................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN...............................................................................1

A. Latar Belakang......................................................................................1
B. Rumusan Masalah.................................................................................1
C. Tujuan ..................................................................................................1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PEMBAHASAN JURNAL............2

A. Konsep terminal illness (palliative care)..............................................2


1. Pengertian terminal illness..............................................................2
2. Adaptasi dengan terminal illness....................................................2
3. Masalah yang berkaitan dengan terminal illness............................4
B. Manajemen nyeri..................................................................................4
1. Pengertian Nyeri.............................................................................4
2. Manajemen Nyeri...........................................................................5
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi manajemen nyeri.....................7
4. Peran perawat dalam manajemen nyeri..........................................7
5. Pengukuran Nyeri...........................................................................8
C. Konsep umum perawatan kontemporer................................................11
1. Perkembangan perawatan paliatif...................................................11
D. Terapi komplementer pada pasien paliatif ...........................................13
1. Konsep terapi komplementer..........................................................13
2. Pembahasan jurnal terapi komplementer........................................14

BAB III PENUTUP.........................................................................................18

A. Kesimpulan ..........................................................................................18

ii
B. Saran.....................................................................................................18

DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................19

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan atas kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan hidayah-Nya
sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah sesuai dengan waktu yang telah diberikan,
dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan namun demikian penyusun
telah berusaha semaksimal mungkin agar hasil dari tulisan ini tidak menyimpang dari
ketentuan-ketentuan yang ada.

Atas dukungan dari berbagai pihak akhirnya penunyusun bisa menyelesaikan makalah
ini. Untuk itu, dalam kesempatan ini penyusun mengucapkan terima kasih kepada Dosen
yang mengajar mata kuliah Keperawatan Menjelang Ajal dan Paliatif yang memberikan
pengajaran dan arahan dalam penyusunan makalah ini, dan tidak lupa kepada teman-teman
semua yang telah ikut berpartisipasi membantu penyusun dalam upaya penyusunan makalah
ini.

Penulis menyadari bahwa Makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, karena tak ada
gading yang takretak, begitu pula dengan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh
karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun demi
kesempurnaan makalah ini, dan mudah-mudahan ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Kendari, 29 April 2020

Penulis

iii
iv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perawatan paliatif adalah sistem perawatan terpadu untuk meningkatkan
kualitas hidup, dengan meringkan nyeri, dan penderitaan lain, memberikan dukungan
spiritual dan psikososial mulai sejak diagnose ditegakan sampai akhir hayat dan
dukungan terhadap keluarga yang merasa kehilangan atau berduka. Kematian
merupakan konsekuensi paling buruk yang dialami seorang pasien dengan penyakit
terminal. Kondisi kritis menuju kematian menjadi tahapan kehidupan yang paling
menakutkan bagi setiap orang (Jenny. R & Cherley. F, 2018).
Pasien dengan penyakit terminal tidak dapat disembuhkan dengan perawatan
secara kuratif. Terapi kuratif dapat membantu mnegurangi tanda dan gejala yang
dirasakan. Kebutuhan pasien terminal adalah perawatan yang dapat membantu
mengurangi penderitaan dari proses penyakit secara fisik, sosial dan psikologi (Jenny.
R & Cherley. F, 2018)
Perawatan paliatif tidak hanya dibutuhkan oleh orang dewasa yang mengalami
penyakit terminal, karena saat ini tidak sedikit anak-anak yang mengalami kondisi
terminal karena mengidap penyakit yang mengancam nyawa maupun life-limiting
illness. Terdapat peningkatan jumlah anak di komunitas yang membutuhkan
perawatan paliatif, kematian pada anak merupakan hal yang jarang namun dapt
menjadi sesuatu hal yang tragis (Fanny Adistie, 2018).
B. Rumusan Masalah
1. Apa saja konsep terminal illness ?
2. Bagaimana cara memanajemen nyeri ?
3. Apa saja konsep umum perawatan kontemporer?
4. Apa saja terapi komplementer pada pasien paliatif ?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui konsep terminal ilnnes
2. Untuk mengetahui cara memanajemen nyeri
3. Untuk mengetahui konsep umum perawatan kontemporer
4. Untuk mengetahui terapi komplementer pada pasien paliatif

1
BAB II

TIJAUAN PUSTAKA DAN PEMBAHASAN JURNAL

A. Konsep terminal illness


1. Pengertian terminal illnes
Pasien terminal illness adalah pasien yang sedang menderita sakit dimana
tingkat sakitnya telah mencapai stadium lanjut sehingga pengobatan medis sudah
tidak mungkin dapat menyebuhkan lagi. Oleh karena itu, pasien terminal illness harus
mendapatkan perawatan paliatif yang bersifat meredakan gejala penyakit, namun
tidak lagi berfungsi untuk menyembuhkan (Cemy Nur Fitria, 2015).
Penyakit terminal merupakan penyakit progresif yaitu penyakit yang menuju
ke arah kematian. Contohnya seperti penyakit jantung dan kanker atau penyakit
terminal ini dapat dikatakan harapan untuk hidup tipis, tidak ada lagiobat-obatan, tim
medis sudah give up (menyerah) dan seperti yang di katakana di atas tadi penyakit
terminal ini mengarah pada kematian (Cemy Nur Fitria, 2015).
Pasien dengan penyakit terminal tidak dapat di sembuhkan dengan perawatan
secara kuratif. Terapi kuratif dapat membantu mengurangi tanda dan gejala yang di
rasakan. Kebutuhan pasien terminal adalah perawatan yang dapat membantu
mengurangi penderitaan dari proses penyakit secara fisik, sosial dan psikologi (Jenny
Rantung & Cherley Fanesa, 2018).
Perawatan paliatif diperlukan karena setiap orang berhak di rawat dan mati
secara bermartabat, menghilangkan nyeri : fisik, emosional, spiritual dan sosial adalah
hak asasi manusia, perawatan paliatif adalah kebutuhan mendesak seluruh dunia
untuk orang yang hidup dengan penyakit terminal lanjutan (Jenny. R & Cherley. F,
2018)
Jadi fungsi perawatan paliatif pada pasien terminal illness adalah
mengendalikan nyeri yang dirasakan serta keluhan-keluhan lainnya dan
meminimalisir masalah emosi, sosial dan spiritual. Penjelasan tersebut mengindikasi
bahwa pasien terminal illness adalah orang-orang sakit yang diagnosis dengan
penyakit berat yang tidak dapat disembuhkan lagi dimana prognosisnya adalah
kematian (Cemy Nur Fitria, 2015).
2. Adaptasi dengan terminal illness

2
Menurut Sarafino (2002) ada beberapa cara seseorang beradaptasi dengan
terminal illness yaitu :
a. Pada anak
Konsep kematian masih abstark dan tidak dimengerti dengan baik oleh
anak-anak. Sampai umur 5 tahun, anak masih berfikir bahwa kematian adalah
hidup di tempat lain dan orang dapat datang kembali. Mereka juga percaya
bahwa kematian bisa di hindari. Kematian adalah topic yang mudah bagi
orang dewasa untuk di diskusikan dan mereka biasanya menghindarkan
anaknya dari realita akan kematian dengan mengatakan bahwa orang mati
akan “pergi” atau “berada di surga” atau hanya tidur.
Pada anak yang mengalami terminal illness kesadaran merekan akan
muncul secara bertahap. Pertama, anak-anak akan menyadari bahwa mereka
sangat sakit tetapi akan sembuh. Kemudian mereka akan menyadari
penyakitnya tidak bertambah baik dan belajar mengenai kematian dari teman
seumurannya terutama orang yang memiliki penyakit mirip, lalu mereka
menyimpulkan bahwa mereka juga sekarat.
Selain itu dalam memberikan perawatan paliatif pada anak, perawat
mungkin akan mengalami kelelahan. Hal ini dikarenakan, perawat dihadapkan
setiap harinya dengan kompleksitass diagnosis, penatalaksanaan dan
perawatan pasien mereka, sehingga sulit untuk mengungkapkan secara verbal
pengalaman dan emosi mereka dengan cara yang dapat di mengerti oleh orang
non-medis. Maka dari itu perawat membutuhkan dukungan yang adekuat
untuk menghindari stress dan kelelahan.
b. Remaja atau dewasa muda
Walaupun remaja dan dewasa berpikir bahwa kematian pada usia
muda cukup tinggi, mereka memimpikan kematian yang tiba-tiba dan
kekerasan. Jika mereka mengalami terminal illness, mereka menyadari bahwa
kematian tidak terjadi semestinya dan merasa marah dengan
“ketidakberdayaan” dan “ketidakadilan” serta tidak adanya kesempatan untuk
mengembangkan kehidupannya.
Pada saat seperti ini, hubungan dengan ibunya akan menjadi lebih
dekat. Menderita terminal illness terutama pada pasien yang memiliki anak
akan membuat pasien merasa bersalah tidak dapat merawat anaknya dan

3
seolah-olah merasa bahagia melihat anaknya tumbuh. Karena kematian pada
saat itu terasa tidak semestinya, dewasa muda menjadi lebih marah dan
mengalami tekanan emosi ketika hidupnya diancam terminal illnes.
c. Dewasa madya atau dewasa tua
Pada dewasa tua mereka menyadari bahwa mereka mungkin akan mati
karena penyakit kronis. Mereka juga memiliki masa lalu yang lebih panjang
dibandingkan orang dewasa muda dan memberikan kesempatan pada mereka
untuk menerima lebih banyak. Orang-orang yang melihat masa lalunya dan
percaya bahwa mereka telah memenuhi hal-hal penting dan hidup dengan baik
tidak begitu kesulitan beradaptasi dengan terminal illness.
3. Masalah yang berkaitan dengan terminal illness
a. Masalah fisik, berkaitan dengan kondisi (penyakit terminalnya) : nyeri,
perubahan berbagai fungsi sistem tubuh, perubahan tampilan fisik.
b. Masalah psikologis (ketidakberdayaan) : kehilangan control, ketergantungan,
kehilangan diri dan harapan.
c. Masalah sosial, isolasi dan keterasingan, perpisahan.
d. Masalah spiritual.
e. Ketidaksesuaian anatara kebutuhan dan harapan dengan perlakuan yang
didapat.
B. Manajemen Nyeri
1. Pengertian Nyeri
Nyeri di definisikan sebagai salah suatu keadaan yang mempengaruhi
seseorang dan ekstensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya
(Muhamad Gumilang, 2019).
Menurut International Association for Study of Pain (IASP) nyeri adalah
sensori subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang di dapat terkait
dengan kerusakan jaringan actual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi
terjadinya kerusakan (Muhamad Gumilang, 2019).
Manajemen nyeri merupakan upaya menghilangkan atau menurunkan nyeri ke
level yang lebih diterima oleh pasien. Manajemen nyeri dapat di lakukan secara
farmakologis maupun nonfarmakologis. Manajemen nyeri farmakologis adalah
metode yang melibatkan penggunaan obat-obatan analgesik, dimana di bedakan
menjadi 2 jenis yaitu obat jenis opiod dan non opiod. Manajemen nyeri

4
nonfarmakologis adalah metode mengangani nyeri tanpa menggunakan obat-
obatan seperti massage, teknik relaksasi, teknik distraksi dan terapi musik
(Muhamad Gumilang, 2019).
2. Manajemen nyeri
Manajemen nyeri dalam intervensi keperawatan dari Nursing Intervention
Classification (NIC) merupakan usaha untuk mengurangi nyeri ke tingkat yang
dapat di terima pasien. Manajemen nyeri mengacu pada perawatan dan intervensi
yang tepat yang dikembangkan dari hasil penilaian nyeri. Manajemen nyeri
dikembangkan harus bekerja sama dengan pasien dan keluarga. Manajemen nyeri
memiliki 2 strategi yaitu :
a. Manajemen nyeri farmakologis
Manajemen nyeri farmakologis merupakan manajemen nyeri dimana
dalam terapinya menggunakan obat-obatan analgesic. Analgesic dapat di
bagi menjadi 2 yaitu opioid dan non-opioid :
1) Opioid
Opioid merupakan obat-obatan analgesic yang di gunakan dalam terapi
untuk nyeri sedang ke berat. Analgesic opioid juga memiliki efek
sedasi, dimana dapat mengurangi ansietas serta efek tertidur. Namun
penggunaan opioid memiliki beberapa efek samping samping
berbahaya. Efek samping yang paling umum yaitu mual dan muntah
sampai depresi pernapasan. Opioid dapat dibagi menjadi dua tipe yaitu
opioid lemah (kodein, oxikodon, hidrokodon) dan opioid kuat (morfin,
heroin, fentanil).
2) Non-opioid
Analgesic jenin non-opioid digunakan untuk mengatasi nyeri ringan
sampai nyeri sedang. Non-opioid merupakan obat analgesic yang tidak
bersifat narkotik. Obat-obatan non opioid seperti parasetamol
(acetaminofren), dan nonstreoid anti-infalmmatory drugs (NSAIDs).
b. Manajemen nyeri non farmkologis
Tipe manajemen ini sering diabaikan, namun bisa efektif untuk
mengurangi nyeri ketika digunakan sebagai terapi mandiri atau
dikombinasikan dengan terapi non-farmakologis lain ataupun farmakologi.
Adapun tindakan manajemen nyeri non-farmakologis yaitu :

5
1) Massage
Implus nyeri dapat di atur ataupun dihambat oleh mekanisme
pertahanan sistem saraf pusat. Massage menggunakan teknik stimulasi
pada bagian kutaneus. Massage dapat membuat pasien merasa lebih
nyaman karena merelaksasikan otot tegang.
2) Distraksi
McCaffery mendifinisikan distrasi secara sederhana memfokuskan
perhatian pada stimulus dari nyeri. Satu teknik distraksi yang sering
digunakan adalah latihan nafas dalam. Pasien diarahkan untuk fokus
pada pernfasan mereka dengan konstrasi pada inhalation dan
exhalation.
3) Therma and Mechanical stimulation
Terapi dingin menurunkan prostaglandin yang memperkuat sensitivitas
reseptor nyeri dengan manghambat proses inflamasi. Terapi hangat
efektif menurunkan nyeri dengan memicu reflek penghambat nyeri
melalui reseptor temperature.
4) Music therapy
Program terapi music diberikan kepada pasien sebagai teknik pengalih
perhatian untuk nyeri dan stress. Music terapi yang tidak berlirik dan
memiliki ritme yang mengalir pelan serta mirip bunyi nadi dengan
60-80 bpm (beat per minute) mengurangi nyeri dan gelisah pada
pendengar. Music terapi sangat ideal pada pasien dengan status rendah
energy, seperti pasien dengan ventilator mekanik, dimana tidak
memerlukan konsentrasi tinggi seperti terapi imajinasi.
5) Guided imagery
Imajinasi terbimbing merupakan intervensi dimana penderita
dibimbing untuk memikirkan susatu yang menenangkan. Teknik ini
dapat mengurangi rasa stress dan menciptakan perasaan tenang. Teknik
imajinasi terbimbing dapat dilakukan bersamaan dengan teknik
relaksasi nafas dalam untuk kondisi relaksasi.
6) Akupuntur
Akupuntur merupakan pengobatan yang sudah sejak lama digunakan
untuk mengobati nyeri. Jarum-jarum kecil yang dimasukan pada kulit

6
bertujuan menyentuh titik-titik tertentu, tergantung pada lokasi nyeri
yang dapat memblok transmisi nyeri ke otak.
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi manajemen nyeri
Pelaksanaan manajemen nyeri dipengaruhi oleh berbagai hal dan bersifat
kompleks, ataupun sistem penyedia tenaga kesehatan. pasien dapat mempengaruhi
pelaksanaan manajemen nyeri, seperti ketakutan akan kecanduan, efek samping
obat, dan terjadi toleran pada obat-obatan. Selain itu akibat pasien menganggap
bahwa nyeri merupakan hal pantas yang dia terima ataupun nyeri merupakan
bagian dari proses menua dan lain sebagainya (Nursalam, 2015).
Penyedia pelayanan kesehatan, khususnya pada perawat memiliki beberapa
faktor yang mempengaruhi pelaksanaan manajemen nyeri. Beberapa faktor
tersebut seperti kurangnya pengetahuan dan kemampuan dalam manajemen nyeri,
ketakutan akan kecanduan pada pasien, mempercayai bahwa pasien belajar hidup
dengan nyeri, takut akan efek samping, kurangnya waktu, serta tidak percaya pada
laporan subjektifitas nyeri pada pasien (Nursalam, 2015).
Pengetahuan merupakan faktor yang paling mempengaruhi pelaksanaan nyeri
pada tenaga medis. Pengetahuan manajemen nyeri pada perawat dapat di dapatkan
proses pendidikan formal di instansi pendidikan ataupun pelatihan-pelatihan
manajemen nyeri. Pengetahuan manajemen nyeri yang kurang dikalangan tenaga
medis khususnya perawat di ketahui penyebabnya karena kurangnya pendidikan
formal maupun pelatihan manajemen nyeri. Pengetahuan perawat yang kurang
tentang opioid juga menyebabkan perawat menjadi takut dan enggan memberikan
pengobatan analgesic tersebut karena efek samping dari obat anagesik.
Keengganan memberikan obat analgesic menyebabkan penanganan obat analgesic
pada pasien tidak adekuat (Nursalam, 2015).
4. Peran perawat dalam manajemen nyeri
Perawat memiliki kemapuan untuk mengetahui adanya nyeri pada pasien dari
hasil pengkajian seperti keluhan pasien, tanda umum atau respon fisiologi tubuh
pasien terhadap nyeri. Perawat juga harus mampu mengkaji riwayat nyeri pada
pasien, serta bagaimana pasien mengontrol nyeri di masa lalu, sehingga
mempunyai gambaran yang akurat pada nyeri yang terjadi saat itu. Selain itu,
dalam administrasi medikasi kepada pasien, dalam peran perawat diperlukan
memiliki pengetahuan dan skill yang khusus. Pertama mengetahui bahwa

7
medikasi yang di berikan dengan pasien sesuai dan benar. Pemberiannya perawat
tidak hanya sekedar memberikan, perawat harus mengetahui hal berikut seperti,
mengetahui kemampuan pasien dalam memakai medikasi secara mandiri,
memastikan pasien menerima medikasi sesuai waktunya dan memonitor efek dari
medikasi tersebut. Selain itu, pasien dan keluarga pasien diberikan edukasi
penggunaan medikasi dengan benar dan monitoring yang merupakan bagian dari
tugas perawat (Nursalam, 2015).
Peran perawat dalam penanganan nyeri menurut Doctherman dan Bulecheck
dalam buku Nursing Interventions Classification adalah mencari faktor penyebab
nyeri, riwayat nyeri dan riwayat tindakan penanganan nyeri pasien. Perawat juga
membantu member dukungan pada pasien dan keluarga, melakukan pemantauan
pada skala nyeri, memberikan informasi terkait nyeri kepada pasien,
mengeliminasi pemicu serta penyebab nyeri, mengkaji penggunaan obat analgesic
pasien, menyarankan pasien untuk beristirahat, mendiskusikan nyeri dengan
pasien, melakukan pendekatan secara multidisiplin, mendiskusikan strategi baru
dengan pasien, mengajarkan manajemen nyeri dan mengajarkan penggunaan
teknik non-farmakologis (Nursalam, 2015).
5. Pengukuran Nyeri
Ada beberapa cara untuk membantu mengetahui akibat nyeri
menggunakan skala assessment nyeri unidimensional (tunggal) atau
multidimensi.
a. Unidimensional :
a) Hanya mengukur intensitas nyeri
b) Cocok (appropriate) untuk nyeri akut
c) Skala yang biasa digunakan untuk evaluasi pemberian analgetik
d) Skala assessment nyeri ini dimensional ini meliputi :
1. Visual Analog Scale (VAS) Visual analog scale (VAS) adalah cara
yang paling banyak digunakan untuk menilai nyeri. Skala linier ini
menggambarkan secara visual gradasi tingkat nyeri yang mungkin
dialami seorang pasien. Rentang nyeri diwakili sebagai garis sepanjang
10 cm, dengan atau tanpa tanda pada tiap sentimeter.
Tanda pada kedua ujung garis ini dapat berupa angka atau pernyataan
deskriptif. Ujung yang satu mewakili tidak ada nyeri, sedangkan ujung

8
yang lain mewakili rasa nyeri terparah yang mungkin terjadi. Skala
dapat dibuat vertikal atau horizontal. VAS juga dapat diadaptasi
menjadi skala hilangnya/redarasa nyeri. Digunakan pada pasien anak
>8 tahun dan dewasa. Manfaat utama VAS adalah penggunaannya
sangat mudah dan sederhana. Namun, untuk periode pasca bedah, VAS
tidak banyak bermanfaat karena VAS memerlukan koordinasi visual
dan motorik seta kemampuan konsentrasi.

2. Verbal Rating Scale (VRS) Skala ini menggunakan angka-angka 0


sampai 10 untuk menggambarkan tingkat nyeri. Dua ujung ekstrem
juga digunakan pada skala ini, sama seperti pada VAS atau skala reda
nyeri. Skala numerik verbal ini lebih bermanfaat pada periode pasca
bedah, karena secara alami verbal atau kata-kata tidak terlalu
mengandalkan koordinasi visual dan motorik. Skala verbal
menggunakan kata-kata dan bukan garis atau angka untuk
menggambarkan tingkat nyeri. Skala yang digunakan dapat berupa
tidak ada nyeri, sedang, parah. Hilanga atau redanya nyeri dapat
dinyatakan sebagai sama sekali tidak hilang, sedikit berkurang, cukup
berkurang, baik/ nyeri hilang sama sekali. Karena skala ini membatasi
pilihan kata pasien, skala ini tidak dapat membedakan berbagai tipe
nyeri.

3. Numeric Rating Scale (NRS) Dianggap sederhana dan mudah


dimengerti, sensitif terhadap dosis, jenis kelamin, dan perbedaan etnis.
Lebih baik dari pada VAS terutama untuk menilai nyeri akut. Namun,
kekurangannya adalah keterbatasan pilihan kata untuk menggambarkan

9
rasa nyeri, tidak memungkinka nuntuk membedakan tingkat nyeri
dengan lebih teliti dan dianggap terdapat jarak yang sama antar kata
yang menggambarkan efek analgesik .

4. Wong Baker Pain Rating Scale Digunakan pada pasien dewasa dan
anak >3 tahun yang tidak dapat menggambarkan intensitas nyerinya
dengan angka.

b. Multidimensional :
a) Mengukur intensitas dan afektif (unpleasantness) nyeri
b) Diaplikasikan untuk nyeri kronis
c) Dapat dipakai untuk penilaian klinis
d) Skala multi dimensional ini meliputi :
1. McGill Pain Questionnaire (MPQ) Terdiri dari empat bagian: (1)
gambar nyeri, (2) indeks nyeri (PRI), (3) pertanyaan –pertanyaan
mengenai nyeri terdahulu dan lokasinya dan (4) indeks intensitas nyeri
yang dialami saat ini. Terdiri dari 78 kata sifat/ajektif, yang dibagi
kedalam 20 kelompok. Setiap set mengandung sekitar 6 kata yang
menggambarkan kualitas nyeri yang makin meningkat. Kelompok 1
sampai 10 menggambarkan kualitas sensorik nyeri (misalnya,
waktu/temporal, lokasi/spatial, suhu/thermal). Kelompok 11 sampai 15
menggambarkan kualitas efektif nyeri (misalnya stres,takut, sifat-sifat
otonom). Kelompok 16 menggambarkan dimensi evaluasi dan
kelompok 17 sampai 20 untuk keterangan lain-lain dan mencakup
kata-kata spesifik untuk kondisi tertentu. Penilaian menggunakan
angka diberikan untuk setiap kata sifat dan kemudian dengan

10
menjumlahkan semua angka berdasarkan pilihan kata pasien maka
akan diperoleh angka total.
2. The Brief Pain Inventory (BPI) Adalah kuesioner medis yang
digunakan untuk menilai nyeri. Awalnya digunakan untuk mengassess
nyeri kanker, namun sudah divalidasi juga untuk assessment nyeri
kronik.
3. Memorial Pain Assessment Card Merupakan instrumen yang cukup
valid untuk evaluasi efektivitas dan pengobatan nyeri kronis secara
subjektif.Terdiri atas 4 komponen penilaian tentang nyeri meliputi
intensitas nyeri, deskrip sinyeri, pengurangan nyeri dan mood.

4. Catatan harian nyeri (Paindiary) Adalah catatan tertulis atau lisan


mengenai pengalaman pasien dan perilakunya. Jenis laporan ini sangat
membantu untuk memantau variasi status penyakit seharihari dan
respons pasien terhadap terapi. Pasien mencatat intensitas nyerinya dan
kaitan dengan perilakunya, misalnya aktivitas harian, tidur, aktivitas
seksual, kapan menggunakan obat, makan, merawat rumah dan
aktivitas rekreasi lainnya. Penilaian nyeri pada pasien anak.
C. Konsep umum perawatan kontemporer
1. Perkembangan perawatan paliatif
a. Masa lalu
Gerakan hospis berkembang secara massif sekitar tahun 1960an,
dimana era pelayanan hospis modern dimulai. Seseorang yang menggagas
gerakan perubahan tersebut adalah Dae Cicely Saunders (yang selanjutnya
lebih dikenal dengan sebutan Dame). Dame mengkreasikan sebuah konsep
tentang caring, terutama untuk pasien yang dengan stadium akhir dan
menjelang ajal/kematian. Konsep tersebut merupakan sebuah cara pandangan
atau prespektif untuk melihat sebuah fenomena secara holistic, termasuk

11
pasien. Sehingga pasien tidak hanya dilihat sebagai individu yang memiliki
masalah fisik saja, tetapi melihat pasien sebagain mahluk yang kompelks.
Dame menyakini bahwa gejala fisik yang dialami pasien juga dapat
mempengaruhi psikologis, emotional, sosial dan spiritual pasien, maupun
sebaliknya (Yodang, 2018).
Sejak awal disaat Dame menggagas dan mendirikann rumah hospis,
Damet telah mengintegrasikan pendidikan dan penelitian dalam pelayanan
dirumah hospis. Rumah hospis yang pertama didirikan oleh Dame yaitu rumah
hospis yang terletak dikota London pada tahun 1967. Seiring dengan
perkembangan gerakan rumah hospis, pelayanan perawatan paliatif mulai
menekankan pada aspek “care” bukan pada aspek “cure” atau pengobatan.
Sehingga pada saat itu priotitas intervensi yang dilakukan adalah bagaiamana
pasien dapat mengontrol keluhannya, seperti nyeri. Pada tahun 1982, dokter
spesialis paliatif mulai diperkenalkan secara formal. Pada saat itu dokter
paliatif tidak hanya memberikan pelayanan pada pasien yang membutuhkan
perawatan paliatif, namun juga penilitian mengenai praktis klinis pada pasien
yang mendapatkan perawatan paliatif, dan melakukan pengajaran ataupun
pendidikan berkelanjutan dalam prespektif multi disiplin. Sekalipun konsep
hospis modern dan “perawatan paliatif” merupakan hal yang baru, namun
pelayanan yang diberikan di perawatan paliatif mampu memberikan
perubahan yang signifikan terhadap peningkatan kualitas hidup pasien,
mempersiapkan pasien meninggal dengan damai dan bermartabat, dan
memberikan dukungan kepada anggota keluarga setelah pasien meninggal
(Yodang, 2018).
Sejak awal pergerakan hospis modern dimana pada saat itu layanan
yang diberikan hanya berfokus pada pasien penderita kanker. Namun beberapa
praktisi lalu mengembangkan layanan pada pasien dengan penyakit tahap
lanjut seperti gagal jantung kongestif, penyakit paru obstruksi menahun,
stroke, motor neuron disease, gagal ginjal kronis dan lain sebagainnya
(Yodang, 2018).
b. Pada masa sekarang dan masa yang akan datang
Telah terjadi perubahan yang dinamis dalam penyediaan perawatan
paliatif terutama dinegara Inggris. Dimana departemen kesehatan

12
mengenalkan program dan paduan baru yang dikenal dengan sebutan “End of
Life Care Strategy” dan “the Gold Standards Framework”. Program dan
paduan tersebut menitik beratkan akan pentingnya menggunakan standar
pelayanan disaat memberikan pelayanan paliatif pada pasien dan keluarganya
terutama di saat kondisi pasien menjelang ajal/kematian. Lebih lanjut, pasien
diberi otonomi untuk memilih tempat selama menjalani proses perawatan
seperti rumah sendiri, rumah sakit, rumah perawtan, atau rumah hospis.
Sebagai petugas perawatan paliatif, memaksimalkan sisa waktu atau umur
pasien selama masa perawatan merupakan hal yang penting. Untuk
memaksimalkan hal tersebut, kordinasi dengan anggota tim, dan memberikan
pelayanan yang berkualitas menjadi hal yang sangat dibutuhkan (Yodang,
2018).
Saat ini telah banyak paduan atau guideline diterbitkan oleh lembaga
bereputasi yang memberikan penjelasan bagaiamana memberikan pelayanan
perawatan paliatif yang berkualitas baik secara umum maupun untuk
kelompok pasien dan penyakit tertentu seperti paduan perawatan paliatif untuk
pasien kanker paru di paduan tersebut, dijelaskan secara detail peran masing-
masing anggota tim interprofesional, komunikasi secara efektif pada pasien,
dan sesama anggota tim (Yodang, 2018).
Secara global, WHO (2014) melaporkan bahwa pendidikan dan
pengetahuan para petugas kesehatan masih sangat minim mengenai perawatan
pasien diarea paliatif. WHO memperkirakan sekitar 19 juta orang di dunia saat
ini membtuhkan pelayanan perawatan paiatif dimana 69% dari mareka adalah
pasien usia lanjut yaitu usia di atas 65 tahun. Sehingga hal ini menjadi
tantangan para petugas kesehatan terutama tenaga professional yang bekerja di
area paliatif untuk dapat memahami dengan baik cara memberikan pelyanan
yang berkualitas pada kelompok lanjut usia tersebut dengan mengacu pada
folosofi dan standar pelayanan perawatan pailatif (Yodang, 2018).
D. Terapi komplementer pada pasien paliatif
1. Konsep terapi komplementer
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), terapi adalah suatu usaha
untuk memulihkan kesehatan orang yang sedang sakit, pengobatan penyakit,
perawatan penyakit. Komplementer adalah bersifat menyempurnakan. Pengobatan

13
komplementer dilakukan dengan tujuan melengkapi pengobatan medis
konvensional dan bersisaf rasional yang tidak bertentangan dengan nilai dan
hukum kesehatan di Indonesia (Zulfa Rufaida dkk, 2018).
Standar praktek pengobatan komplementer telah di atur dalam peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Menurut WHO (World Health
Organization), pengobatan komplementer adalah pengobatan non-konvensional
yang bukan berasal dari Negara yang bersangkutan, sehingga untuk Indonesia
jamu misalnya, bukan termasuk pengobatan komplementer tetapi merupakan
pengobatan tradisional. Pengobatan tradisional yang dimaksud adalah pengobatan
yang sudah dari zaman dahulu digunakan dan diturunkan secara turun-temurun
pada suatu Negara. Terapi komplementer adalah sebuah kelompok dari macam-
macam sistem pengobatan dan perawatan kesehatan, praktik dan produk yang
secara umum tidak menjadi bagian dari pengobatan konvensional (Zulfa Rufaida
dkk, 2018).
Terapi komplementer dikenal dengan terapi tradisional yang digabungkan
dalam pengobatan modern. Komplementer adalah penggunaan terapi tradisional
ke dalam pengobatan modern. Terminologi ini di kenal sebagai terapi modalitas
atau aktivitas yang menambahkan pendekatan ortodoks dalam pekayanan
kesehatan. Terapi komplementer juga ada yang menyebutnya dengan pengobatan
holistik. Pendapat ini didasari oleh bentuk terapi yang mempengaruhi individu
secara menyeluruh yaittu seebuah keharmonisan individu untuk mengintegrasikan
pikiran, badan, dan jiwa dalam kesatuan fungsi (Zulfa Rufaida dkk, 2018).
2. Pembahasan jurnal terapi komplementer
a. Dalam jurnal “Complementary And Alternative Medicine in Hospice and
Palliative Care : A Systematic review” pada tahun 2018 melakukan tinjauan
sistematis uji coba terkontrol acak ini dimana hasil dari penilitian ini
menunjukan hasil dari :
a) penggunaan terapi akupresur dalam menilai kemanjuran akupresur versi
gelang dalam mengurangi mual dan muntah selama tiga hari. 11
pengukuran di catat setiap enam jam saat pasien mengenakan gelang, satu
pasien melaporkan pembengkakan ringan sebagai efek samping. Penelitian
dilakukan sebagai studi percontohan dan para peniliti menyarankan bahwa

14
akupresur dapat dianggap sebagai tambahan untuk pasien perawatan
paliatif dalam mengendalikan mual dan muntah.
b) Penggunaan terapi akupuntur dalam mengevaluasi efektifitas
electroacupuncture yang di pimpin perawatan paliatif untuk beberapa
gejala berdasarkan Edmonton Symptom Assessment Scale (ESAS). 12
titik akupuntur dipilih berdasarkan gejala spesifik dari setiap pasien.
Kelompok pendukung melibatkan pertemuan 20 hingga 30 menit dengan
perawat perawatan paliatif yang memberikan konseling, dukungan
emosional dan strategi koping. Akupuntur memperbaiki gejala segera
setelah setiap sesi, namun skor ESAS meningkat setelah enam minggu
masa tidak lanjut. Kekakuan kaki kanan dan sensasi “jatuh tertidur” adalah
satu-satunya efek samping yang dilaporkan. Akupuntur dapat di lakukan
sebagai pengobatan untuk pengurangan gejala dan efek langsung, namun
manfaat jangka panjangnya tidak pasti.
c) Penggunaan terapi pernapasan. Sebuah studi membangdingkan
kemanjuran satu banding tiga sesi intervensi pernapasan kompleks. 13
peserta melaporkan beban sesak napas yang berat, didefinisikan oleh
setidaknya skor 3 dari 10 Skala angka Numerik (NRS). Teknik pernapasan
termasuk pelatihan pernapasan, manajemen kecemasan dan relaksasi.
d) Terapi hipnoterapi, sebuah studi crossover membandingkan hipnoterapi
dengan perawatan standar pada tingkat nyeri. Peserta diajarkan self-
hypnosis untuk digunakan di antara sesi perawatan. Gejala dinilai
menggunakan alat MYOP versi 2 (MYOP2) pada awal, minggu ke 4 dan
minggu ke 8. Selain rasa sakit, efek pada kecemasan, insomnia, depresi,
sakit kepala, dan keninginan untuk berhenti merokok dinilai. Tidak ada
personilpenelitian yang mengkonfirmasikan penggunaan teknik yang tepat
atau kepatuhan pada self-hypnosis yang diberikan, memungkinkan untuk
pertanyaan tentang kualitas intervensi. Karena pasien memiliki banyak
gejala oleh karena itu, mengidentifikasi gejala spesifik yang
mempengaruhi hipnoterapi mungkin sulit.
b. Dalam jurnal “The effectiveness of aromatherapy, massage and reflexology
in people with palliative care needs : A systematic review” pada tahun 2019
melakukan penilitian perbandingan di mana menunjukkan hasil yaitu :

15
a) Aromaterapi. Hasil utama dari delapan percobaan pada aromaterapi diukur
dampak jangka pendek pada kecemasan dan nyeri. Di masing-masing dari
tiga lengan (aromaterapi, pijat atau tidak ada intervensi), tidak ada
perbedaan yang signifikan secara statistic dalam perubahan dari awal di
gejala kecemasan atau rasa sakit. Meskipun dalam satu studi, untuk dua
dari lima sub-skala (sosial dan dukungan) dari McGill Quality-of-Life
skala, ada perbedaan yang signifikan secara statistic lebih menyukai
aromaterapi di bandingkan yang lain. Tidak ada uji coba yang melaporkan
data lengkap. Kami menilai sangat rendahnya kualitas bukti bahwa
aromaterapi tidak memiliki dampak yang berbeda dalam jangka pendek di
bandingkan dengan pijat atau tidak ada intervensi pada kualitas hidup.
b) Pijat. Hasil utama 2 dari 12 uji coba pada pijatan diukur dampak jangka
pendek pada kecemasan, tidak ada efek yang berbeda diukur antara
kelompok uji coba. Tidak ada perubahan kecemasan yang signifikan
secara statistic antara awal dan tindak lanjut disemua kelompok percobaan
(pijat, aromaterapi, tanpa sentuhan dan perawatan biasa).
c) Pijat refleksi. Hasil utama dua dari enam percobaan reflexology dampak
jangka pendek diukur pada kecemasan. Kelompok pembanding hanya
menyentuh 35 dan yang lainnya adalah control perhatian. Ada perbedaan
signifikan yang mendukung mereka yang menerima pijat refleksi (RR
5.53, 95% CI 2,16, 14.15). di sisi lain, tidak adaperbedaan yang signifikan
antara kelompok uji coba (MD= 52,53, 95% CI = -10.18, 5.12). kami
menilai kualitasnya sangat rendah bukti tentang dampak refleksologi pada
kecemasan di jangka pendek.
c. Dalam jurnal “PENGARUH SELF-SELECTED INDIVIDUAL MUSIC
THERAPY (SeLIMuT) TERHADAP PERUBAHAN STATUS
HEMODINAMIK PASIEN KANKER PALIATIF DI RSUP Dr.
SARDJITO YOGYAKARTA” tahun 2019
Penilitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh SeLIMuT terhadap status
hemodinamik pasien kanker paliatif. Hasil penelitian secara statistic
menunjukkan bahwa ada pengaruh SeLIMuT terhadap status hemodinamik
pasien kanker paliatif. Pengaruh tersebut berupa penurunan rerata sistolik,
diastolic dan denyut nadi pada kelompok yang mendapat intervensi SeLIMuT,

16
sedangkan pada kelompok yang tidak diberi terapi pada sistolik cenderung
tidak ada perubahan atau tetap pada diastolic dan nadi justru terjadi
peningkatan. Hal ini berarti SeLIMuT memiliki pengaruh positif dalam
meningkatkan relaksasi pasien kanker paliatif.

17
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Pasien terminal illness adalah pasien yang sedang menderita sakit dimana
tingkat sakitnya telah mencapai stadium lanjut sehingga pengobatan medis sudah
tidak mungkin dapat menyebuhkan lagi. Oleh karena itu, pasien terminal illness harus
mendapatkan perawatan paliatif yang bersifat meredakan gejala penyakit, namun
tidak lagi Manajemen nyeri merupakan upaya menghilangkan atau menurunkan nyeri
ke level yang lebih diterima oleh pasien.
Manajemen nyeri dapat di lakukan secara farmakologis maupun
nonfarmakologis. Manajemen nyeri farmakologis adalah metode yang melibatkan
penggunaan obat-obatan analgesik, dimana di bedakan menjadi 2 jenis yaitu obat jenis
opiod dan non opiod. Manajemen nyeri nonfarmakologis adalah metode mengangani
nyeri tanpa menggunakan obat-obatan seperti massage, teknik relaksasi, teknik
distraksi dan terapi musik berfungsi untuk menyembuhkan.

B. Saran
Semoga dengan adanya makalah ini dapat menambah ilmu dan pengetahuan bagi
penulis dan pembaca.

18
DAFTAR PUSTAKA

Bridget Candy, Megan Armstrong, Kate Flemming, Nuriye Kupeli, Patrick Stone, Victoria
Vickerstaff & Susie Wilkinson, 2020, The effectiveness of aromatherapy, massage and
reflexology in people with palliative care needs: A systematic review, Vol 34(2) 179-194
2020.

Cemy Nur fitria, 2015, PALLIATIVE CARE PENDERITA PENYAKIT TERMINAL,Vol. 7 No.
1 Februari 2015.

Dedi Kurniawan, Sri Setyarini & Martina Sinta. K, 2019, PENGARUH SELF-SELECTED
INDIVIDUAL MUSIC THERAPY (SeLIMuT) TERHADAP PERUBAHAN STATUS
HEMODINAMIK PASIEN KANKER PALIATIFN DI RSUP Dr. SARDJITO YOGYAKARTA,
Vol. 5 No. 2Oktober 2019.

Fanny Adistie, Valentina Belinda. ML, Nenden Nur. AM, & Sri Hendrawati, 2018,
KEBUTUHAN PERAWAT DALAM MEMBERIKAN ASUHAN KEPERAWATAN PALIATIF
PADA ANAK : LITERATURE REVIEW, Vol. 3 No. 2 Tahun 2018.

Jenny Rantung & Cherley Fanesa. ML, 2018, STUDI FENOMELOGI PENGALAMAN
PERAWAT DALAM MEMBERIKAN ASUHAN KEPERAWATAN PALIATIF PADA PASIEN
DENGAN PENYAKIT TERMINAL DIRUANG ICU RUMAH SAKIT ADVENT BANDUNG,
Vol. 4 No. 2 Juli-Desember 2018.

Muhamad Gumilang, 2019, Gambaran Tingkat Pengetahuan Mahasiswa Profesi Ners


Universitas diponegoro tentang Manajemen Nyeri, Vol 2 No. 2 Desember 2019.

Nursalam. Manajemen Keperawatan : Aplikasi dalam Praktik Keperawatan Profesional


Edisi 5. Fifth. Jakarta : penerbit Salemba Medika, 2015.

Yodang, 2018, Buku ajar keperawatan paliatif berdasarkan kurikulum AIPNI 2015. Jakarta:
Trans Info Media

Yvette S. Zeng, Connie Wang, Kristina E. Ward, & Anne L. Hume, 2018, Complementary
and Alternative Medicine in Hospice and Palliative Care : A Systematic Review, August 01
2018.

Zulfa Rufaida, Sri Wardini Puji. L & Dyah Permatasari, 2018, TERAPI KOMPLEMENTER,
STIKes Majapahit Mojokerto.

19
20

Anda mungkin juga menyukai