Anda di halaman 1dari 56

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN KEGAWAT

DARURATAN KHUSUSAN : OBSTETRI, NEONATAL, PEDIATRI,


GERIATRI, PSIKIATRI

Fasilitator:
Hermayetty, S.Kp.M.Kes

Disusun oleh:
Eliesa Rachma Putri 131611133001
Yuliani Puji Lestari 131611133003
Chusnul Hotimah 131611133004
Ishomatul Faizah 131611133053
Soura Kristiani Tarigan 131611133059
Dessy Syahfitri Pohan 131611133060
Galang Tegar Indrawan 131611133106
Khilyatud Diniyah 131611133107

S1 PENDIDIKAN NERS
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga kelompok dapat menyelesaikan
makalah “ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN
KEGAWATDARURATAN KHUSUSAN : OBSTETRI, NEONATAL,
PEDIATRI, GERIATRI, PSIKIATRI” ini tepat waktu. Meskipun banyak
hambatan yang kami alami dalam proses pengerjaannya.

Atas dukungan moral dan material yang diberikan dalam penyusunan


makalah ini, maka penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. Hermayetty, S.Kp.M.Kes selaku dosen pembimbing mata kuliah


Keperawatan Gawat Darurat di Fakultas Keperawatan Universitas
Airlangga, yang memberikan bimbingan dan saran.
2. Kelompok SGD 2 kelas A2 program Studi S1 Pendidikan Ners Fakultas
Keperawatan universitas Airlangga, yang memberikan kontribusi baik
secara langsung maupun tidak langsung.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun dari rekan-rekan sangat kami
butuhkan dari penyempurnaan makalah ini.

Kami berharap agar makalah ini dapat menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi
kita semua. Semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan bagi pembaca.

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN DEPAN

KATA PENGANTAR.............................................................................................ii

DAFTAR ISI...........................................................................................................iii

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang.......................................................................................1


1.2 Rumusan Masalah..................................................................................3
1.3 Tujuan....................................................................................................3
1.4 Manfaat..................................................................................................4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kegawat Daruratan Pada Kasus Obstetri...............................................5


2.2 Kegawat Daruratan pada Kasus Neonatal............................................20
2.3 Kegawat Daruratan pada Kasus Pediatri..............................................28
2.4 Kegawat Daruratan pada Kasus Geriatri..............................................36
2.5 Kegawat Daruratan pada Kasus Psikiatri.............................................44

BAB 3 PENUTUP

3.1 Kesimpulan..........................................................................................51

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................52

iii
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kondisi gawat darurat adalah kondisi dimana terjadi gangguan integritas
fisiologis atau psikologis secara mendadak dan dapat mengancam keselamatan.
Kedaruratan medik dapat terjadi pada seseorang maupun pada sekelompok orang
pada setiap saat dan di mana saja. Keadaan ini membutuhkan pertolongan segera
berupa pertolongan pertama sampai pertolongan selanjutnya di rumah sakit.
Tindakan tersebut dimaksudkan untuk menyelamatkan jiwa, mencegah dan
membatasi cacat serta meringankan penderitaan penderita. Asuhan keperawatan
gawat darurat adalah rangkaian kegiatan praktek keperawatan gawat darurat yang
diberikan kepada klien oleh perawat yang berkompeten di ruang gawat darurat.
(Maryuani, 2009). Semua kondisi kegawatdaruratan dapat mengancam jiwa
seseorang di semua usia dan kondisi tubuh baik bayi, anak-anak hingga lansia
dengan berbagai kondisi seperti hamil dan gangguan mental (psikiatri).

Berdasarkan riset World Health Organization (WHO) pada tahun 2017,


Angka Kematian Ibu (AKI) di dunia masih tinggi dengan jumlah 289.000 jiwa.
Beberapa negara berkembang AKI yang cukup tinggi seperti di Asia Tenggara
sebanyak 16.000 jiwa, dan di negara-negara Asia Tenggara salah satunya di
Indonesia Sebanyak 190 per 100.000 kelahiran hidup, Vietnam sebanyak 49 per
100.000 kelahiran hidup, dan Malaysia sebanyak 29 per 100.000 kelahiran hidup
(WHO, 2017). Kejadian jatuh dan cedera pada lanjut usia adalah akibat dari
masalah utama kesehatan masyarakat yang sering membutuhkan perhatian medis.
Jatuh menyebabkan 20-30% dari luka ringan sampai luka parah, dan mendasari
penyebab 10-15% dari semua kunjungan gawat darurat. Berdasarkan data yang
dikumpulkan pada tahun 2001, didapatkan 30% pasien dengan depresi unipolar,
26% psikosis, 20% dengan penyalahgunaan zat, 14% bipolar, 4% gangguan
penyesuaian, 3% gangguan cemas, dan 2% dengan demensia. Sekitar 40 persen
dari semua pasien terlihat di ruang gawat darurat psikiatri memerlukan rawat inap.
Sebagian besar kunjungan terjadi selama jam malam, dan tidak ada perbedaan
antara hari, minggu, bulan, atau tahun. (Allen et al., 2002; Sadock and Sadock,

1
2010). Penelitian yang dilakukan oleh Rovin (2013), menemukan sebanyak
12.400 kasus anak dibawah umur 14 tahun dari tahun 2001 hingga 2009 yang
datang ke IGD karena tersedak. Temuan lain oleh Centers of Diases Control and
Provention menemukan sebanyak 34 anak dibawa ke IGD (instalasi gawat
darurat) setiap hari akibat tersedak. Sebanyak 57 anak meninggal setiap tahun
karena tidak mendapatkan pertolongan yang memadai saat tersedak (Hopkins,
2014).

Kejadian gawat darurat dapat terjadi karena banyak factor. Kasus


kegawatdaruratan yang sering terjadi pada anak di sekolah antara lain pingsan,
tersedak, demam, epistaksis, luka robek, dan muntah. (Nutriningsih, Ani.,
Ardiyani, Vita Maryah.2018). Tingginya AKI selama tahun 2010-2013
disebabkan oleh perdarahan saat bersalin, selain itu juga ada 4 penyebab utama
dari kematian ibu, janin, dan bayi baru lahir (BBL) yaitu dapat disebabkan oleh
adanya perdarahan saat bersalin, infeksi sepsis, hipertensi dan preeklampsia atau
eklampsia, dan persalinan macet atau distosia (Walyani & Purwoastuti, 2015).
Seseorang yang mengalami gangguan jiwa merupakan orang yang beresiko tinggi
untuk melakukan tindakan kekerasan baik pada diri sendiri, orang lain, maupun
lingkungannya. Kedaruratan psikiatri mencakup kondisi agitasi dan agresif, bunuh
diri, kondisi lepas zat atau intoksikasi zat, kekerasan dalam rumah tangga,
kekerasan terhadap anak dan lansia, serta pemerkosaan (Yusuf., Fitryasari, Rizky
PK., 2015). pada pasien kegawatdaruratan geriatric yang paling sering terjadi
meliputi bagian kardiovaskuler, pernafasan, neurologis, saluran cerna, saluran
kemih, endokrin dan metabolic serta kejadian trauma. Salah satu factor penyebab
kejadian kegawatdaruratan geriatric tinggi karena penurunan fisiologis yang
terjadi pada pasien lanjut usia.

Pentingnya penanganan yang cepat dan tepat dalam melakukan penanganan


kegawatdaruratan pada semua kondisi baik maternal, obstetric, pediatric, geriatric
maupun psikiatri. Penyusunan makalah ini diharapkan dapat menjadi tambahan
informasi dalam memberikan penanganan yang cepat dan tepat pada semua kasus
kegawatdaruratan khusus.

2
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan kegawatdaruratan?
2. Apa yang dimaksud dengan kegawatdaruratan obstetrik? dan
bagaimana epidemiologi, penyebab dan penanganan keperawatan
pada klien dengan kegawatdaruratan obstetri?
3. Apa yang dimaksud dengan kegawatdaruratan neonatal? dan
bagaimana epidemiologi, penyebab dan penanganan keperawatan
pada klien dengan kegawatdaruratan neonatal?
4. Apa yang dimaksud dengan kegawatdaruratan pediatrik? dan
bagaimana epidemiologi, penyebab dan penanganan keperawatan
pada klien dengan kegawatdaruratan pediatri?
5. Apa yang dimaksud dengan kegawat daruratan geriatrik? dan
bagaimana epidemiologi, penyebab dan penanganan keperawatan
pada klien dengan kegawatdaruratan geriatri?
6. Apa yang dimaksud dengan kegawatdaruratan psikiatrik? dan
bagaimana epidemiologi, penyebab dan penanganan keperawatan
pada klien dengan kegawatdaruratan psikiatri?

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Menjelaskan tentang asuhan keperawatan kegawatdaruratan khususan:
obstetrik, neonatal, pediatrik, geriatrik dan psikiatrik.
1.3.2 Tujuan khusus
1) Menjelaskan tentang epidemiologi, penyebab dan penanganan
keperawtaan pada klien dengan kegawatdaruratan obstetrik
2) Menjelaskan tentang epidemiologi, penyebab dan penanganan
keperawtaan pada klien dengan kegawatdaruratan neonatal
3) Menjelaskan tentang epidemiologi, penyebab dan penanganan
keperawtaan pada klien dengan kegawatdaruratan pediatrik
4) Menjelaskan tentang epidemiologi, penyebab dan penanganan
keperawtaan pada klien dengan kegawatdaruratan geriatrik

3
5) Menjelaskan tentang epidemiologi, penyebab dan penanganan
keperawtaan pada klien dengan kegawatdaruratan psikiatrik

1.4 Manfaat
1.4.1 Manfaat teoritis
Hasil penulisan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
pemikiran dan informasi dalam bidang keperawatan tentang asuhan
keperawatan pada kegawatdaruratan khususan: obstetrik, neonatal,
pediatrik, geriatrik dan psikiatrik.
1.4.2 Manfaat praktis
Adapun manfaat praktis dari makalah tentang asuhan keperawatan
pada kegawatdaruratan khususan: obstetrik, neonatal, pediatrik,
geriatrik dan psikiatrik ini sebagai berikut :
1) Bagi instansi akademik
Sebagai bahan masukan dalam kegiatan proses belajar mengajar
tentang asuhan keperawatan kegawatdaruratan khususan:
obstetrik, neonatal, pediatrik, geriatrik dan psikiatrik, yang dapat
digunakan acuan bagi praktek mahasiswa keperawatan.
2) Bagi penulis
Sebagai sarana dan alat dalam memperoleh pengetahuan dan
pengalaman khususnya dibidang keperawatan gawat darurat.

4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kegawat Daruratan Pada Kasus Obstetri


2.1.1 Epidemiologi
Kedaruratan obstetrik adalah kondisi kesehatan yang mengancam
jiwa yang terjadi dalam kehamilan atau selama dan sesudah persalinan dan
kelahiran. Terdapat sekian banyak penyakit dan gangguan dalam
kehamilan yang mengancam keselamatan ibu dan bayinya. Jenis-jenis
kedaruratan obstetri non-trauma yang sedang trend yakni :
1. Kehamilan ektopik, kehamilan ektopik terjadi pada 1 dari 50
kehamilan dan merupakan salah satu penyebab terbesar kematian ibu
pada triwulan pertama kehamilan. Minimnya deteksi dini dan
pengobatan setelah diketahui adanya kehamilan ektopik menjadi
penyumbang besarnya angka kematian ibu.
2. Aborsi, sekitar 10% pasien aborsi dapat menderita komplikasi segera
dan mengancam nyawa ibu. Dan kematian karena abortus mencapai
12,9%.
3. Hipertensi, terjadi pada 7% kehamilan. Kematian terkait dengan
kehamilan sebesar 24% dilaporkan sebagai akibat dari gangguan
hipertensi.
4. Perdarahan saat kehamilan, perdarahan merupakan penyebab kematian
tertinggi pada kegawatdaruratan obstetri, yaitu sebanyak 28%.
Sedangkan jenis-jenis kedaruratan obstetric trauma yakni :
1. Persalinan Prematur,
2. Ruptur uterin
3. Distorsia bahu
4. Cidera janin
5. Persalinan ceasar perimortem
Kematian ibu dan bayi yang terjadi di Indonesia, salah satunya
disebabkan oleh komplikasi umum yang dapat diatasi dengan akses cepat
terhadap pelayanan obstetrik dan neonatal emergensi yang berkualitas.

5
Kematian selama persalinan dan minggu pertama setelah melahirkan
diperkirakan menjadi penyebab dari 60% kematian ibu. Sekitar 25-50%
kematian neonatal terjadi dalam 24 jam pertama dan sekitar 75% dalam
minggu pertama. Kematian ibu terjadi karena tidak semua kehamilan
berakhir dengan persalinan yang berlangsung normal. Persalinan disertai
komplikasi sebesar 30,7%, di mana bila tidak ditangani dengan cepat dan
baik dapat meningkatkan kematian ibu. Kematian ibu banyak terjadi di
rumah, sedangkan kematian di fasilitas kesehatan hanya pada kasus
rujukan (Kemenkes RI, 2013).

2.1.2 Penyebab

2.1.2.1 Kehamilan Non-Trauma

a. Kehamilan Ektopik
Dua persen dari semua kehamilan di Amerika Serikat
adalah ektopik. Kehamilan ektopik terjadi ketika telur dibuahi
implan di luar rongga endometrium, biasanya di tuba falopi (95%
dari waktu). Situs implantasi yang kurang umum termasuk serviks
(<1%), dalam bekas luka sesar (<1%), dalam rongga peritoneum
(1%), atau dalam ovarium (3%). Jika janin terus tumbuh, tuba
falopi tak terhindarkan akan pecah. Gejala umumnya hadir di
sekitar minggu keenam kehamilan.
b. Aborsi
Istilah aborsi didefinisikan sebagai kematian atau
pengusiran janin (atau produk konsepsi) sebelum usia
kelangsungan hidup. Sekitar 15% hingga 20% dari semua
kehamilan diketahui berakhir dalam aborsi spontan. Komplikasi
utama adalah perdarahan dan infeksi. Kehilangan kehamilan pada
trimester pertama sebagian besar merupakan hasil dari kromosom
embrionik cacat. Kehilangan setelah trimester pertama lebih sering
dikaitkan dengan infeksi, gangguan endokrin ibu, atau kelainan
anatomi saluran reproduksi ibu.

6
c. Hipertensi Gestasional
Hipertensi gestasional adalah istilah global saat ini untuk
hipertensi yang menyulitkan kehamilan dan telah menggantikan
istilah hipertensi yang diinduksi kehamilan (PIH) . Setiap pasien
menyajikan dengan tanda dan gejala yang konsisten dengan
gangguan kehamilan hipertensi harus menerima berkonsultasi
dengan dokter kandungan secepatnya. Wanita itu dan janinnya
dapat berubah status dengan cepat dan perlu intensif manajemen
kebidanan.

Klasifikasi Gangguan Hipertensi Kehamilan


a. Hipertensi gestasional
• Baru timbulnya hipertensi, umumnya setelah minggu kedua puluh
kehamilan
• Hipertensi didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik (SBP) 140
mm Hg atau lebih besar atau tekanan darah diastolik (DBP) 90 mm
Hg atau lebih besar
b. Preeklampsia
• Hipertensi gestasional plus proteinuria gestasional pada wanita
yang sebelumnya normotensif
• Proteinuria gestasional didefinisikan sebagai proteinuria lebih
dari 300 mg pada spesimen acak atau 1+ atau lebih pada dipstick
• Dengan tidak adanya proteinuria, curigai preeklamsia jika ada
yang berikut ini:
• Sakit kepala
• Penglihatan kabur
• Sakit perut
• Nilai laboratorium abnormal, terutama trombositopenia,
peningkatan enzim hati, atau temuan awal koagulasi intravaskular
diseminata (DIC)
• Sindrom HELLP
• Varian preeklamsia berat

7
• Diagnosis berdasarkan adanya Hemolisis, Peningkatan enzim
hati, dan Trombosit Rendah
• Hemolisis didiagnosis dengan adanya smear perifer abnormal,
laktat dehidrogenase (LDH) lebih dari 600 unit / L, atau total
bilirubin 1,2 mg / dL atau lebih besar
• Enzim hati yang meningkat termasuk aspartat aminotransferase
(AST) dan alanine transaminase (ALT)
• Trombositopenia signifikan ketika jumlah trombosit kurang dari
100.000
c. Eklampsia
• Terjadinya kejang pada pasien tanpa etiologi yang
memungkinkan untuk kejang
• Beresiko morbiditas dan mortalitas tertinggi, terutama
pendarahan otak
d. Hipertensi Kronis
• Hipertensi yang ada dan dapat diamati sebelum kehamilan atau
didiagnosis sebelum usia kehamilan 20 minggu
• Preeklampsia atau eklampsia dapat ditumpangkan pada hipertensi
kronis

d. Perdaharahan saat Hamil


Placenta Previa
Placenta previa didefinisikan sebagai implantasi plasenta di
segmen uterus bagian bawah atau di atas os internal. Insiden
plasenta previa bervariasi dalam literatur. Plasenta previa
dikategorikan berdasarkan tingkat keterlibatan serviks internal. Os
serviks dapat sepenuhnya ditutupi oleh plasenta atau hanya
sebagian yang tertutup. Placenta previa dikaitkan dengan
perdarahan yang berpotensi mengancam jiwa dan kehilangan janin.

Abrasi Plasenta
Abrupsi plasenta (abruptio placentae) adalah penyebab utama

8
perdarahan obstetrik dan syok hipovolemik. Solusio plasenta
adalah penyebab paling umum kematian janin setelah trauma ibu.
Pecahnya pembuluh arteri kecil menyebabkan pemisahan plasenta
dari dinding uterus. Ini pada akhirnya menghambat pasokan
oksigen dan nutrisi untuk janin. Area pemisahan bisa kecil atau
besar. Jika pemisahan terjadi pada batas plasenta, akan terjadi
perdarahan vagina. Namun, area pemisahan menuju pusat plasenta
tertutup dan tidak menyebabkan kehilangan darah yang jelas.
Kematian ibu dan janin dapat terjadi sebagai akibat dari kondisi
ini.

2.1.2.2 Obstetric Trauma

a. Persalinan Prematur
Persalinan prematur (kontraksi teratur terjadi sebelum 37 minggu
kehamilan) menempatkan janin pada risiko kelahiran prematur
dan adalah komplikasi yang paling sering menyebabkan trauma.
b. Ruptur uterin
Ruptur uteri adalah cedera langka yang terjadi pada kurang
dari 1% pasien hamil dengan trauma besar. Rahim adalah otot
yang kuat dan lentur yang membutuhkan banyak kekuatan untuk
pecah. Kondisi ini dikaitkan dengan perlambatan mendadak atau
kompresi perut yang parah. Pecah lebih mungkin terjadi pada
wanita dengan jaringan parut uterus sebelumnya. Janin hampir
mati.
Ruptura uteri terjadi jika terdapat robekan dinding uterus
saat kehamilan atau persalinan. Kasus ini merupakan keadaan
emergensi obstetri yang mengancam nyawa ibu dan janin.
Ruptura uteri dapat bersifat komplit atau inkomplit. Disebut
ruptura uteri komplit apabila robekan yang menghubungkan
rongga amnion dan rongga peritoneum sehingga semua lapisan
dinding uterus terpisah. Sedangkan ruptur uteri inkomplit terjadi
jika rongga abdomen dan rongga uterus masih dibatasi oleh

9
peritoneum viserale. Bila terjadi ruptur uteri total maka biasanya
akan berakibat fatal bagi ibu dan janin.
c. Distorsia bahu
Distosia bahu adalah suatu keadaan gawat darurat yang
tidak dapat diprediksi dimana kepala janin sudah lahir tetapi bahu
terjepit dan tidak dapat dilahirkan.
Distosia bahu ialah kelahiran kepala janin dengan bahu
anterior tertahan diatas promontorium sakrum karena ia tidak bisa
lewat untuk masuk ke dalam panggul, atau bahu tersebut bisa
melewati promontorium, tetapi mendapat halangan dari tulang
sakrum. Lebih mudahnya distosia bahu adalah peristiwa dimana
tersangkutnya bahu janin dan tidak dapat dilahirkan setelah
kepala janin dilahirkan.
Diagnosa :
1) Kepala janin lahir tetapi bahu tetap terjepit kuat didalam vulva
2) Dagu mengalami retraksi dan menekan perineum
3) Traksi pada kepala gagal untuk melahirkan bahu yang terjepit
dibelakang symphisis pubis.

d. Cidera janin
Janin dapat mengalami cedera pada bagian tubuh mana pun
tetapi kemungkinan trauma terkait dengan ukuran relatif bagian
tersebut.
1. Karena kepala janin adalah daerah tubuh terbesar, tengkorak
fraktur dan penghinaan intrakranial merupakan persentase
signifikan dari cedera yang terlihat.
2. Hati janin yang besar juga berisiko
Evaluasi awal oleh dokter kandungan atau perinatologis
dan kontribusi pemantauan janin elektronik terus menerus untuk
hasil janin yang baik. Karena sebagian besar kematian janin
terjadi dalam beberapa jam cedera, pemantauan elektronik
diindikasikan untuk minimal 4 jam, bahkan setelah trauma minor.

10
e. Persalinan cesar perimortem
Dalam kejadian yang jarang dari penangkapan
kardiopulmoner ibu atau kematian segera, lakukan semua
intervensi penunjang hidup dasar dan lanjutan standar, termasuk
defibrilasi dan pemberian obat, dan pertimbangkan kelahiran sesar
yang muncul. Janin harus hidup dan memiliki usia kehamilan yang
layak (usia minimum 24 minggu).
• Operasi caesar yang dilakukan dalam 5 menit setelah kematian
ibu menawarkan peluang terbesar untuk melahirkan bayi yang
secara neurologis utuh.
• Satu-satunya penyimpangan dari perawatan standar melibatkan
pemindahan rahim ibu dari vena cava secara manual untuk
memfasilitasi perfusi.
• Dalam kasus yang jarang terjadi, upaya resusitasi ibu
ditingkatkan dengan pengangkatan janin.
• Pengiriman perimortem dapat terjadi di unit gawat darurat.
Namun, tim mampu melakukannya

2.1.3 Penanganan
2.1.3.1 Assesment
Penilaian utama pasien hamil dilakukan dengan cara dan urutan
yang sama seperti yang dilakukan oleh siapa pun pasien lain. Evaluasi
jalan napas, pernapasan, dan sirkulasi terjadi bersamaan dengan
intervensi ketika kondisi yang berpotensi mengancam jiwa
diidentifikasi. Yang penting, perubahan kehamilan dapat menutupi
respons fisiologis normal terhadap trauma, dan perubahan ini harus
dilakukan dipertimbangkan dengan hati-hati ketika mengelola pasien
yang hamil. Tabel 43-2 merangkum efek dari perubahan ini pada
pasien gravid trauma.

11
Jalan nafas dan pernapasan
a) Kapasitas residu fungsional menurun dan meningkat tuntutan
oksigen membuat pasien hamil rentan untuk hipoksia, terutama
selama intubasi endotrakeal
b) Suplementasi oksigen ibu adalah satu-satunya yang efektif cara
meningkatkan kadar oksigen janin. Janin normal PaO2 hanya 32
mm Hg, jadi sudah ada penurunan dari ini tingkat marginal buruk
ditoleransi oleh janin.
c) Setelah tulang belakang pasien dibersihkan, angkat kepala dari
tempat tidurnya untuk mengurangi kompresi diafragma oleh uterus
besar

Sirkulasi
a) Hipotensi ringan (tekanan darah sistolik <100 mmHg) dan
peningkatan detak jantung (> 100 denyut per menit) temuan yang
diharapkan selama kehamilan.

12
b) Tekanan vena sentral tidak terpengaruh oleh kehamilan (kecuali
selama pengiriman) dan karenanya berfungsi sebagai indikator
status volume ibu.
c) Peningkatan dramatis dalam volume sirkulasi (mulai pada minggu
kesepuluh kehamilan) memberikan signifikan penyangga ibu
terhadap syok tetapi menutupi darah bertahap kerugian 30%
hingga 35% (sekitar 1500 mL) atau kehilangan akut 10% hingga
15% .
d) Sebagai akibat shunting darah dari janin, plasenta, dan uterus,
tanda-tanda perdarahan pada wanita hamil pasien sering tidak ada
sampai defisit volume parah.
e) Pasien yang hamil membutuhkan penggantian cairan yang dini
dan kuat untuk menopang dirinya dan janinnya.
f) Membangun akses vaskular dengan dua atau lebih bor besar
(Ukuran 14 hingga 16) kateter intravena dan antisipasi transfusi
sel darah merah dini dan agresif menggunakan darah O-negatif
atau tipe spesifik — sampai unit crossmatched tersedia
g) Pada usia kehamilan 24 minggu, berat gabungan uterus, janin,
plasenta, dan cairan ketuban akan menekan vena cava inferior,
menghalangi aliran balik vena hati, ketika ibu ditempatkan dalam
posisi terlentang posisi. Fenomena ini dikenal sebagai vena caval
sindrom kompresi atau hipotensi terlentang kehamilan.
h) Intervensi sederhana untuk masalah ini adalah memiringkan ibu
ke sisi kirinya, menurunkan berat badan uterus dari vena cava.
i) Untuk pasien dengan imobilisasi tulang belakang, secara manual
Pindahkan rahim atau memiringkan papan 15 derajat ke kiri.

2.1.3.2 Secondary Assessment

Penilaian sekunder dari pasien trauma hamil melibatkan


pemeriksaan head to toe seperti biasa bersama evaluasi terperinci

13
dari perut dan panggul. Bagian ini akan membahas evaluasi dan
pertimbangan intervensi khusus untuk trauma hamil sabar.

2.1.3.3 Pengkajian Keperawatan terfokus (Masalah Obstetri)


Pengkajian keperawatan harus berfokus pada ventilasi dan
perfusi.

Ventilasi
Bunyi nafas
Edema paru terjadi dengan cepat pada pasien hamil yang
mengalami PRHD atau pada pasien yang menerima resusitasi
cairan. Ronki basah kasar atau halus dapat terauskultasi.

Perfusi
Tekanan darah dan nadi
Pembacaan tekanan darah sistolik tunggal 140 mmHg atau
lebih tinggi sebelum gestasi 20 minggu, menunjukkan risiko lebih
tinggi dibandingkan dengan risiko normal hipertensi akibat
kehamilan, preeclampsia, dan pelahiran premature. Td diastolic
90 mmHg atau lebih harus menjadi kriteria untuk diagnosis
hipertensi pada kehamilan. TD sistolik lebih tinggi dari 169
mmHg atau TD diastolic lebih tinggi dari 109 mmHg
dipertimbangkan darurat, dan hidralazin, labetolol, atau nifedipin
harus diberikan.
Kaji Denyut jantung janin (DJJ). Hemoragi dapat terjadi
dan tersembunyi pada kasus kehamilan ektopik, solusio plasenta,
atau rupture uterus. DJJ dapat menurun jika terjadi hipoksia janin,
seperti pada plasenta previa, solusio plasenta, rupture uterus dan
PRHD.

Rabas dan perdarahan vagina

14
Rabas mukoid, encer, atau bercamour darah berkaitan
dengan persalinan preterm. Keluarnya jaringan dianggap aborsi
spontan. Uji rabas untuk cairan amnion (berubah biru saat kontak
dengan kertas nitrazin) adanya cairan amnion menunjukkan
pecahnya ketuban dan peningkatan risiko terhadap infeksi
maternal dan perburukan janin. Cairan amnion terwarnai
meconium (hijau) dikaitkan dengan masalah janin.

Faktor Risiko (Masalah Obstetri)


1) Merokok meningkatkan kemungkinan persalinan premature,
solusio plasenta, dan plasenta previa
2) Usia adalah fakto risiko hemoragi pada trimester akhir
kehamilan. Wanita usia 35 tahun atau lebih berisiko terhadap
plasenta previa wanita kurang dari 20 tahun dan lebih dari 30
tahun berisiko terhadap solusio plasenta. Ruptur uteri umum
terjadi pada wanita lansia.
3) Faktor risiko untuk kehamilan ektopik, aborsi spontan, ruptur
uteri dan plasenta previa
4) Trauma uterus dikaitkan dengan plasenta previa, solusio
plasenta, dan ruptur uteri
5) Diabetes dikaitkan dengan plasenta previa dan PRHD
6) Konsumsi alkohol dan penggunaan kokain dikaitkan dengan
solusio plasenta dan plasenta previa
7) Hipertensi dikaitkan dengan solusio plasenta
8) Riwayat infertilitas dikaitkan dengan kehamilan ektopik
9) Riwayat perdarahan pada trimester pertama dikaitkan dengan
perkembangan lanjut baik solusio plasenta maupun plasenta
previa
10) Nuliparitas dan usia ibu muda adalah faktor risiko hipertensi
pada persalinan

15
11) Wanita Cina dan kaukasia mempunyai insiden lebih tinggi
mengalami sindrom hemolysis, peningkatan enzim, dan
thrombosis rendah (HELLP)

Intervensi Awal

1) Ubah posisi semua pasien hamil trimester kedua atau lebih,


miring ke kiri untuk memudahkan aliran balik vena. Bila
pasien berada diatas papan karena cedera traumatic,
elevasikan sisi kanan papan dengan baji
2) Bila pasien hamil dan hipertensi, antisipasi aktivitas kejang.
Beri bantalan pada pagar tempat tidur dan pertahankan tempat
tidur pada posisi rendah. Sediakan pengisap dan alat jalan
napas.
3) Bila ada, mulai pemantauan janin eksternal untuk pasien
hamil dengan perdarahan vagina
4) Atasi ketakutan dan kecemasan pasien hamil dengan
menjelaskan demua prosedur dan berikan dukungan dari
rohaniawan, keluarga, atau orang terdekat

Diagnosa Keperawatan Prioritas


1) Risiko kekuangan volume cairan berhubungan dengan
hemoragi
Intervensi :
- Mulai akses IV
- Berikan kristaloid IV dan komponen darah sesuai dengan
program
- Antisipasi intervensi pembedahan
2) Nyeri akut berhubungan dengan kontraksi uterus atau iritasi
peritoneal
Intervensi :
- Berikan analgesic sesuai dengan program
- Gunakan teknik imajinasi dan distraksi relaksasi

16
3) Ketakutan berhubungan dengan hasil kehamilan yang tidak
diketahui
Intervensi :
- Izinkan ibu mendengar DJJ
- Dorong partisipasi dalam uji maternal dan tindakan
dengan menjelaskan keuntungannya untuk janin
4) Duka cita adaptif berhubungan dengan kehilangan kehamilan
dan kemampuan reproduktif
Intervensi :
- Jelaskan pilihan tindakan dan kemungkinan akibatnya
- Pertahankan dasra pendukung sesuai yang
diidentifikasikan pasien
5) Risiko cidera berhubungan dengan infeksi karena kontaminasi
peritoneal atau bagian plasenta tertahan
Intervensi :
- Berikan antibiotic sesua program
- Antisaipasi dilatasi dan kuretase (D&C) atau pembedahan
- Pantau demam dan leukositosis

Intervensi Kolaboratif
1) Untuk pasien hamil dengan gangguan yang mengeluh
perdarahan vagina, berikan oksigen aliran tinggi dengan
menggunakan masker nonrebreather pada 10-15 L/menit sampai
hasil uji diagnostic diperoleh
2) Bila pemasangan IV belum dilakukan sebelumnya, lakukan
pemasangan jalur IV diameter besar untuk semua pasien yang
mengeluh perdarahan vagina
3) Siapkan pasien untuk pemeriksaan speculum. Ambil media
biakan, usap, dan wadah specimen untuk pemeriksaan hasil
konsepsi
Resusitasi pada kasus obstetric

17
Terjadinya henti jantung paru selama kehamilan jarang
terjadi. Manajemen yang berhasil dari pasien hamil membutuhkan
integrasi perubahan fisiologis selama kehamilan dan adaptasi bagi
mereka dari pedoman resusitasi standar. Hasil janin adalah kondisi
dan kesejahteraan ibu. Hubungan timbal balik antara kesejahteraan
janin dan ibu dapat menghadirkan dilema etika yang unik untuk
penyedia layanan kesehatan dan anggota keluarga.
Bantuan Hidup Dasar (Basic Live Support/BLS),
rekomendasi American Heart Association hanya mencakup
penyimpangan kecil dari prosedur biasa. Yang sangat penting
adalah fasilitasi pengembalian vena. Ini dilakukan dengan
melakukan kompresi dada sedikit di atas pusat sternum dan
perpindahan lateral yang berhubungan langsung dengan uterus
melalui manipulasi manual melalui penggunaan irisan di bawah
pinggul wanita. Manajemen jalan nafas mencakup penerapan
tekanan krikoid selama ventilasi tekanan positif untuk setiap wanita
hamil yang tidak sadar mengurangi risiko regurgitasi.
Adaptasi fisiologis menempatkan wanita pada risiko yang
lebih besar untuk komplikasi dari resusitasi kardiopulmoner, seperti
tulang rusuk dan tulang dada yang retak, sternum, hemothorax,
hemoperikardium, dan kerusakan organ internal. Organ khusus
yang menjadi perhatian termasuk uterus dan hati.
Intervensi farmakologis dan elektrikel, merupakan
terapeutik yang dilakukan karena ada pertimbangan kecil dalam
kasus kehamilan. Jalan napas harus diamankan dini dengan
preoksigenasi yang efektif dan tekanan krikoid kontinu. Edema
jalan nafas dan pembengkakan mungkin memerlukan penggunaan
endotrakeal tube yang lebih kecil daripada pada wanita tidak hamil.
Perhatian yang hati-hati untuk penempatan tabung konfirmasi dan
oksigenasi diperlukan karena tuntutan oksigen meningkat selama
kehamilan.

18
Bantuan Hidup Lanjut / Advanced Life Support/ ALS harus
diikuti untuk administrasi obat resusitasi. Namun, penggunaan
situs ekstremitas bawah atau vena femoralis biasa akses vena harus
dihindari karena potensi pengembalian vena yang berat.
Epinefrin dapat menurunkan perfusi uteroplasenta karena
sifat vasokonstriktifnya; Namun, manfaatnya lebih besar daripada
risiko administrasi. Vialcaine melintasi plasenta tetapi dalam tingkat
terapeutik tidak memiliki efek janin atau uteroplasenta yang
merugikan. Jika toksisitas ibu terjadi, jantung janin dan depresi
sistem saraf pusat dapat terjadi. Bradikardia janin dikaitkan dengan
pemberian bretylium dan pemantauan janin yang cermat dianjurkan.
Tidak ada kontraindikasi untuk penggunaan atropin pada
kehamilan. Administrasi natrium bikarbonat harus dilakukan
dengan hati-hati. Asidosis ibu meningkatkan reaktivitas adrenergik
uteroplasenta dan harus dihindari, meskipun alkalosis ibu dapat
mengganggu oksigen ke janin.
Terapi listrik seperti defibrilasi, pertukaran kardioversi, dan
pacing tidak dikontraindikasikan pada kehamilan. Evaluasi toleransi
janin terhadap kondisi ibu sangat penting selama perkembangan
kardiopulmoner karena penurunan perfusi uteroplasenta. Usia
kehamilan janin merupakan pertimbangan utama saat menentukan
tindakan. Sebelum kehamilan 24 minggu, upaya resusitasi
difokuskan terutama pada kehamilan, evaluasi meliputi respons ibu
dan janin terhadap upaya resusitasi. Muncul dilakukan untuk gawat
janin atau untuk ditangkap. Hipoksia janin mungkin terjadi pada
hasil maternal. Setelah minggu ke-24 operasi caesar dapat
meningkatkan status ibu, meskipun pertimbangan juga harus
diberikan pada stres yang dihasilkan oleh operasi caesar. Pada akhir
kehamilan, kelangsungan hidup dari interval waktu antara bayi
secara langsung adalah kematian ibu dan kelahiran bayi secara
proporsional. Kelangsungan hidup bayi adalah yang terbaik jika
persalinan terjadi dalam 5 menit setelah serangan jantung.

19
(gambar 1. Alur pemberian RJP pada kegawat daaruratan obstetri)

2.2 Kegawat Daruratan pada Kasus Neonatal


2.2.1 Epidemiologi
Dua pertiga kematian pada bayi di Indonesia terjadi pada masa neonatal
atau 28 hari pertama kehidupan. Pada tahun 2011 terdapat 29,24 per 1000
kelahiran hidup, menunjukkan angka yang menurun dari tahun
sebelumnya yang sebesar 29.99 per 1.000 kelahiran hidup, sedangkan

20
target MDGs tahun 2015, yaitu sebesar 23 per 1.000 Kelahiran Hidup
(Sulani, F., 2010). Ini menunjukkan belum tercapai tujuan MDGS dan
masih tinggi angka kematian bayi di Indonesia.
Penyebab kematian neonatal adalah gangguan atau kelainan pernafasan
35,9%, prematuritas 32,4%, sepsis 12%, hipotermi 6,3%, kelainan
darah/ikterus 5,6%, post matur 2,8% dan kelainan kongenital 1,4%
(Pritasari, K., 2010). Sedangkan di kabupaten Lumajang peningkatan
jumlah kematian neonatus ini pada tahun 2012 disebabkan oleh kegawatan
nafas neonatus yaitu 159 kasus asfiksia (68,24%), 26 kasus Meconial
Aspiration Syndrome(11,2%), 56 kasus Respiratory Distress
Syndrome(24,03%), BBLR dan neonatus prematur 146 kasus (62,7%),
sepsis 102 kasus (43,8%),16 kasus pneumonia (6,9%), 5 kasus apneu
prematuritas (2,2%) (RSD. Dr. Haryoto Lumajang, 2012).

2.2.2 Penyebab Kegawatdaruratan Neonatal


1. Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR)
2. Hipotermi
3. Hipoglikemia
4. Ikterus / Hiperbilirubinemia
5. Asfiksia
6. Sepsis
7. Respiratory Distres Syndrome (RDS)
8. Pneumonia

2.2.2 Penanganan
1. Resusitasi Jantung Paru
Langkah-langkah resusitasi :
A. Langkah awal
Pada saat bayi lahir harus dilakukan penilaian untuk menjawab pertanyaan
berikut
- Apakah kehamilan normal?
- Apakah nada baik?
- Bernafas atau menangis?

21
Jika semua pertanyaan dijawab YA, cukup dilakukan perawatan rutin, tetapi
jika pada penilaian didapatkan satu jawaban TIDAK, maka dilakukan
LANGKAH AWAL resusitasi, meliputi:
1. Berikan kehangatan dengan menempatkan bayi dibawah pemancar
panas.
2. Posisikan kepala bayi sedikit tengadah agar jalan napas terbuka (lihat
gambar), kemudian jika perlu bersihkan jalan napas dengan melakukan
pengisapan pada mulut hingga orofaring kemudian hidung.
3. Keringkan bayi dan rangsang taktil, kemudian reposisi kepala agar
sedikit tengadah.
- Langkah awal diselesaikan dalam waktu 60 detik.

22
(gambar 2. Alur RJP pada Kegawat Daruratan Neonatal)

Posisi kepala yang benar untuk membuka saluran napas


- Nilai bayi : usaha napas , warna kulit dan denyut jantung
- Jika ketuban tercampur mekonium, diperlukan tindakan tambahan dalam
membersihkan jalan napas. Setelah seluruh tubuh bayi lahir, lakukan
penilaian apakah bayi bugar atau tidak bugar. Tidak bugar ditandai dengan
depresi pernapasan dan atau tonus otot kurang baik dan atau frekuensi
jantung <100 kali/menit. Jika bayi bugar, tindakan bersihkan jalan napas
sama seperti diatas yaitu dengan pengisapan dari mulut, tetapi jika bayi
tidak bugar lakukan pengisapan dari mulut dan trakea terlebih dahulu saat
setelah lahir, kemudian lengkapi dengan LANGKAH AWAL.
- Kemudian, Cek Apnea atau gasping ?, HR < 100x/menit?
- Jika TIDAK, hanya sesak nafas atau sianosis persisten, maka lakukan
o Posisikan dan bersihkan jalan nafas
o Monitor SpO2
o Berikan O2 bila perlu
o Pertimbangkan CPAP
o Lanjutkan perawatan post resusitasi debriefing tim
- Jika IYA Apnea dan HR < 100x/menit, lakukan VTP

B. Ventilasi Tekanan Positif (VTP)


VTP dilakukan apabila pada penilaian pasca langkah awal didapatkan salah
satu keadaan berikut: Apnu, frekuensi jantung <100 kali/menit, tetap
sianosis sentral walaupun telah diberikan oksigen aliran bebas.
- Sebelum VTP diberikan pastikan posisi kepala dalam keadaan setengah
tengadah.
- Pilihlah ukuran sungkup. Ukuran 1 untuk bayi berat normal, ukuran 0
untuk bayi berat lahir rendah (BBLR).

23
- Sungkup harus menutupi hidung dan mulut, tidak menekan mata dan
tidak menggantung di dagu (lihat gambar).
- Tekan sungkup dengan jari tangan (lihat gambar). Jika terdengar udara
keluar dari sungkup, perbaiki perlekatan sungkup. Kebocoran yang
paling umum adalah antara hidung dan pipi (lihat gambar).
- VTP menggunakan balon_sungkup diberikan selama 30 detik dengan
kecepatan 40–60 kali/menit ~ 20-30 kali/30 detik.
- Pastikanlah bahwa dada bergerak naik turun tidak terlalu tinggi secara
simetris.
- Lakukan penilaian setelah VTP 30 detik (Lihat bagan 12)

Gambar Pemilihan sungkup

Benar Salah Salah Salah

Gambar resusitasi dengan balon yang mengembang sendiri memakai


sungkup bulat

Gambar perlekatan sungkup antara hidung dan pipi tidak baik


C. VTP + Kompresi dada
Apabila setelah tindakan VTP selama 30 detik, frekuensi jantung < 60 detik

24
maka lakukan kompresi dada yang terkoordinasi dengan ventilasi selama 30
detik dengan kecepatan 3 kompresi : 1 ventilasi selama 2 detik. Kompresi
dilakukan dengan dua ibu jari atau jari tengah_telunjuk/tengah_manis.
Lokasi kompresi ditentukan dengan menggerakkan jari sepanjang tepi iga
terbawah menyusur keatas sampai mendapatkan sifoid, letakkan ibu jari
atau jari-jari pada tulang dada sedikit diatas sifoid. Berikan topangan pada
bagian belakang bayi. Tekan sedalam 1/3 diameter anteroposterior dada.

D. Intubasi
Intubasi Endotrakea dilakukan pada keadaan berikut :
1. Ketuban tercampur mekonium dan bayi tidak bugar
2. Jika VTP dengan balon dan sungkup tidak efektif
3. Membantu koordinasi VTP dan kompresi dada
4. Pemberian epinefrin untuk stimulasi jantung
5. Indikasi lain : sangat prematur da hernia diafragmatika

E. Obat-obatan
Obat-obatan yang harus disediakan untuk resusitasi bayi baru lahir adalah
epinefrin dan cairan penambah volume plasma.
1. Epinefrin
Indikasi : Setelah pemberian VTP selama 30 detik dan pemberian secara
terkoordinasi VTP + kompresi dada selama 30 detik, frekuensi jantung tetap
< 60 kali/menit.
Cara pemberian dan dosis :
- Persiapan : 1 mL cairan 1 : 10000 (semprit yang lebih besar diperlukan
untuk pemberian melalui pipa endotrakea)
- Melalui vena umbilikalis (dianjurkan) : 0.1 - 0.3 mL/kgBB
- Melalui pipa endotrakea : 0.3 - 1.0 mL/kgBB
Kecepatan pemberian : secepat mungkin
2. Cairan penambah volume plasma
Indikasi : Apabila bayi pucat, terbukti ada kehilangan darah dan atau bayi
tidak memberikan respons yang memuaskan terhadap resusitasi.

25
Cairan yangdipakai:
- Garam normal (dianjurkan)
- Ringer laktat
- Darah O – negatif
Persiapan : dalam semprit besar (50mL)
Dosis : 10m L/kgBB
Jalur : vena umbilikalis
Kecepatan : 5-10 menit (hati-hati bayi kurang bulan)

F. Penghentian Resusitasi
- Jika sesudah 10 menit resusitasi yang benar, bayi tidak bernapas dan
tidak ada denyut jantung, pertimbangkan untuk menghentikan resusitasi.
- Orang tua perlu dilibatkan dalam pengambilan keputusan, jelaskan
keadaan bayi.
- Persilakan ibu memegang bayinya jika ia menginginkan.

2. Penanganan Tali Pusar


Berdasarkan AHA 2015, terdapat rekomendasi baru bahwa penundaan
pemotongan tali pusar selama lebih dari 30 detik merupakan hal yang
wajar, baik pada bayi normal maupun premature yang tidak memerlukan
resusitasi saat lahir. Namun hal ini tidak terbukti memadai untuk
merekomendasikan metode pemotongan tali pusar bagi bayi yang
memerlukan resusitasi saat lahir, dan saran terhadap penggunaan rutin
pengeringan tali pusar (di luar lingkungan penelitian) untuk bayi baru
lahir kurang dari 29 minggu sejak kehamilan, hingga diketahui manfaat
dan komplikasi lebih lanjut.
2015 (diperbarui) :
Penundaan pengekleman tali pusar setelah 30 detik disarankan untuk
bayi normal maupun premature yang tidak memerlukan resusitasi saat
lahir. Bukti yang ada tidak cukup untuk merekomendasikan metode
penjepitan tali pusar bayi yang memerlukan resusitasi saat lahir
2010 (lama) :

26
Terdapat peningkatan bukti dari keuntungan menunda pengeklaman tali
pusar minimal selama 1 menit pada bayi normal dan prematur yang
tidak memerlukan resusitasi. Tidak cukup bukti untuk mendukung atau
menyangkal rekomendasi untuk menunda pengekleman tali pusar pada
bayi yang memerlukan resusitasi
Alasannya :
Pada bayi yang tidak memerlukan resusitasi, pengekleman tali pusar
dikaitkan dengan sedikit pendarahan intraventrikuler, tekanan darah
tinggi dan volume darah, sedikit memerlukan transfusi darah setelah
lahir, serta sedikit mengalmi necrotizing enterocolitis. Satu-satunya
konsekuensi merugikan yang ditemukan adalah sedikit meningkatnya
tingkat bilirubin, terkait dengan kebutuhan lebih akan phototherapy

3. Penyedotan Saluran Nafas Bayi Lemah Yang Terbungkus Cairan


Amniotik Tercemar Mekonium
Jika bayi lahir dengan cairan amniotic tercemar meconium serta tonus
otot lemah dan sulit bernafas, maka bayi harus ditempatkan dalam
incubator dan PVP harus dilakukan, jika perlu. Intubasi rutin untuk
penyedotan trakea tidak lagidisarankan karena terdapat bukti yang tidak
memadai untuk melanjutkan rekomendasi ini. Perawatan dukungan yan
sesuai untuk mendukung ventilasi dan kadar oksigen harus dilakukan
sesuai yang diindikasikan pada masing-masing bayi. Kondisi ini dapat
mencakup intubasi dan penyedotan jika saluran udara terganggu.
2015 (diperbarui) :
Jika bayi baru lahir terbungkus cairan amniotic tercemar meconium
beserta buruk nya tonus otot dan upaya bernafas tidak memadai, tahapan
awal resusitasi harus diselesaikan dalam sinar radiasi penghangat. PPV
harus dilakukan jika bayi tidak bernafas atau detak jantung kurang dari
100/menit setelah langkah awal selesai. Intubasi rutin untuk penyedotan
trakea dalam konteks ini tidak disarankan, karena tidak ada cukup bukti
untuk melanjutkan perekomendasian praktik ini. Namun demikian, tim
tetap harus disertai pakar intubasi bayi baru lahir dalam ruangan

27
bersalin.
2010 (lama) :
Tidak ada cukup bukti untuk merekomendasikan perubahan pada praktik
saat ini dalam melaksanakan penyedotan endotrakea pada bayi yang
lemah dengan cairan amniotic tercemar meconium.
Alasannya :
Tinjauan terkait bukti menunjukkan bahwa resusitasi harus mengikuti
prinsip yang sama untuk bayi dengan noda cairan tercemar meconium
pada saat itu dengan cairan berwarna jernih; yaitu, jika tonus otot yang
buruk dan upaya bernafas tidak memadai muncul, tahap awal resusitasi
(menghangatkan dan menjaga suhu, dan memposisikan bayi,
membersihkan saluran udara sekresi jika diperlukan, pengeringan dan
penstimulasian bayi) harus diselesaikan di tempat tidur penghangat bayi.
PPV harus dilakukan jika bayi tidak bernafas atau detak jantung <
100/menit setelah langkah awal selesai. Ahli yang ditempatkan
memberikan manfaat yang lebih besar untuk menghindari bahaya
(misalnya, penundaan dalam penyediaan ventilasi kantong masker,
bahaya potensial terhadap prosedur) selama keuntungan perawatan
dukungan intubasi dan penyedotan trakea rutin tidak diketahui.
Perawatan dukungan yang sesuai untuk mendukung ventilasi dan kadar
oksigen harus dilakukan sesuai yang diindikasikan pada masing-masing
bayi. Kondsi ini dapat mencakup intubasi dan penyedotan jika saluran
udara terganggu.

2.3 Kegawat Daruratan pada Kasus Pediatri


2.3.1 Penyebab Kegawat Daruratan pada Kasus Pediatri
1. Kegawatdaruratan Pada Kasus Anak yang Terbakar atau Tersiram Air
Panas
Tujuh puluh persen dari mereka yang terbakar adalah anak-anak pra-
sekolah, usia yang paling umum adalah antara dan 2 tahun. Luka bakar
sebagian besar terjadi pada anak di bawah 4 tahun. Anak laki-laki lebih
cenderung menderita luka bakar dan luka bakar serius.

28
Kebanyakan luka bakar fatal terjadi pada kebakaran rumah dan
menghirup produk-produk pembakaran plus hipoksia adalah penyebab
kematian yang biasa. Jumlah kematian akibat luka bakar telah menurun
karena kombinasi faktor. Perpindahan dari api terbuka, dengan pelindung
yang lebih aman, alarm asap, dan persyaratan mudah terbakar yang lebih
ketat untuk pakaian malam semuanya dimainkan. Luka bakar non-fatal
sering melibatkan pakaian dan sering dikaitkan dengan cairan yang mudah
terbakar.
Luka bakar biasanya disebabkan oleh minuman panas, tetapi air mandi
dan minyak goreng tidak jarang. Ada hubungan kuat antara luka bakar
dengan anak-anak dan status sosial ekonomi rendah. Keluarga
menekankan kondisi perumahan yang buruk dan kepadatan penduduk yang
terlibat dalam hal ini.

2. Kegawatdaruratan Pada Kasus Anak dengan Cedera Listrik


Banyak cedera listrik kecil yang tidak memerlukan perawatan medis dan
misalnya. cedera semacam ini tidak diketahui. Hanya sebagian kecil dari
cedera listrik yang membutuhkan perhatian rumah sakit pada anak-anak.
Cidera listrik biasanya terjadi di rumah dan melibatkan arus dan tegangan
yang relatif rendah. Kematian akibat cedera listrik dari sumber eksternal
daya tinggi seperti kereta listrik adalah tinggi. Cedera lain dapat terjadi
selama acara; misalnya, anak mungkin jatuh atau terlempar dari
sumbernya. Seperti halnya semua cedera, diperlukan pendekatan
sistematis.

3. Kegawatdarurtan pada Kasus Anak Tenggelam


Menurut laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahunan, sekitar
450.000 orang meninggal setiap tahun akibat tenggelam di seluruh dunia.
Bagi anak-anak di bawah usia 15 tahun, tenggelam adalah penyebab utama
kematian karena kecelakaan di dunia. Kelompok usia dari 0 hingga 4
tahun memiliki tingkat kematian 18,9 per 100.000, kelompok usia yang
lebih tua hingga 15 tahun memiliki insiden 9,5 kematian per 100.000.

29
Korban laki-laki lebih mungkin meninggal karena tenggelam daripada
korban perempuan. Bayi paling sering mati di bak mandi, anak-anak yang
lebih tua mati di kolam renang pribadi, kolam taman dan saluran air
pedalaman lainnya. Diperkirakan hingga 80% insiden tenggelam dapat
dicegah. Strategi pencegahan seperti pagar kolam renang pribadi dan
memperkuat pentingnya pengawasan orang dewasa dapat mengurangi
jumlah ini.

2.3.2 Pengkajian Kegawat Daruratan Pediatri


1. Pada Kasus Anak yang Terbakar atau Tersiram Air Panas
a. Airway and Cervical Spine
Jalan napas dapat terganggu baik karena cedera inhalasi atau
kadang-kadang oleh luka bakar oral. Kehadiran cedera inhalasi
secara langsung berkaitan dengan kematian - sebuah studi
observasional yang dilakukan di AS menemukan bahwa ada tingkat
kematian 15% lebih tinggi di mana cedera inhalasi hadir.
Indikator cedera inhalasi ditunjukkan di bawah ini:
 Riwayat pajanan asap rokok di ruang terbatas
 Luka bakar di sekitar mulut dan nosel
 Sputum berkarbonasi
 Batuk
 Suara serak
 Suara lemah
 Stridor

Edema cepat yang mengikuti cedera termal di atas laring dapat


menyebabkan penyumbatan dalam dugaan kompromi jalan napas,
atau ditemukannya cedera. yang mungkin menjadi masalah dengan
jalan nafas pada tahap selanjutnya, harus mengarah pada
pertimbangan intubasi trakea segera. Prosedur ini meningkat dalam
kesulitan seiring edema berlanjut; Oleh karena itu penting untuk
melakukannya sesegera mungkin. Semua kecuali yang paling
berpengalaman harus mencari jam. Dengan demikian bahkan

30
diperkirakan akan menyebabkan bantuan ahli segera, kecuali apnea
memerlukan intervensi segera.
Jika ada kecurigaan cedera tulang belakang leher, atau jika
riwayatnya tidak dapat diperoleh, tindakan pencegahan yang tepat
harus diambil sampai cedera tersebut dikecualikan.
b. Breathing
Begitu jalan nafas telah diamankan, kecukupan pernapasan
harus dinilai. Tanda-tanda yang harus menimbulkan kecurigaan
ketidakcukupan termasuk tingkat abnormal, pergerakan dada
abnormal dan sianosis (tanda terlambat). Luka bakar sirkumferensial
ke dada atau perut (yang terakhir pada bayi) dapat menyebabkan
kesulitan bernapas dengan membatasi gerakan dada secara mekanis.
Semua anak yang menderita luka bakar harus diberi oksigen
aliran tinggi. Jika ada tanda-tanda masalah pernapasan, maka intubasi
dan ventilasi harus dimulai.
c. Circulation
Dalam beberapa jam pertama setelah cedera, tanda-tanda syok
hipovolemik jarang disebabkan oleh luka bakar. Oleh karena itu tanda-
tanda tersebut harus meningkatkan kecurigaan perdarahan dari tempat
lain dan Sumber harus dicari secara aktif. Akses intravena harus
dilakukan dengan dua kanula selama resusitasi, dan cairan dimulai.
Jika memungkinkan, jalur intravena harus dipasang di daerah yang
tidak terbakar, tetapi rute kulit yang terbakar dapat digunakan. Darah
harus diambil untuk hemoglobin, hematokrit, elektrolit dan dapat
digunakan jika perlu. Ingat bahwa rute intraoseus dapat digunakan.
Darah harus diambil untuk hemoglobin, hematokrit, elektrolit, dan
urea, glukosa darah dan pencocokan silang. Banyak penganalisa gas
darah menyediakan kadar karboksihemoglobin, yang mungkin
meningkat dan memerlukan perawatan khusus.
d. Disability
Tingkat kesadaran yang berkurang akibat burma mungkin
disebabkan oleh hipoksia (ingat bahwa ruang penuh asap mungkin

31
mengandung sedikit oksigen), keracunan karbon monoksida atau
hidrogen sianida, cedera kepala atau hipovolemia. Sangat penting
bahwa penilaian cepat dilakukan selama pengkajian primer, karena ini
memberikan dasar untuk pengamatan selanjutnya.
e. Exposure
Anak-anak yang terbakar kehilangan panas terutama dengan
cepat, dan harus disimpan dilingkungan yang hangat dan ditutupi
dengan selimut ketika tidak diperiksa.

2. Kegawatdaruratan Pada Kasus Anak dengan Cedera Listrik


a. Pengkajian Primer
Jalan nafas atas harus dibuka dan diamankan, terutama jika ini
dikompromikan oleh cedera wajah atau lainnya. Tulang belakang
leher harus diimobilisasi, terutama pada anak yang tidak sadar. Luka
lain harus dirawat dengan cara yang tepat dan terstruktur. Titik masuk
dan keluar dari arus harus dicari untuk menentukan jenis cedera
internal yang mungkin terjadi.
b. Pengkajian Sekunder
Cidera yang berhubungan adalah umum dalam sengatan listrik.
Hampir semua kemungkinan cedera dapat terjadi sebagai akibat jatuh
atau terlempar dari sumbernya. Luka bakar terutama disebabkan oleh
arus itu sendiri atau dengan membakar pakaian. Kontraksi tetanik otot
dapat menyebabkan fraktur, kemewahan atau robeknya otot. Masalah
terkait Luka bakar menyebabkan edema dan kehilangan cairan.
Myoglobinuria terjadi setelah kerusakan otot yang signifikan. Dalam
hal ini penting untuk mempertahankan produksi urin lebih dari 2 mL /
kg / jam dengan penggunaan diuretik yang meyakinkan seperti manitol
dan pemuatan cairan yang tepat. Alkaliasi urin dengan natrium
bikarbonat meningkatkan ekskresi mioglobin. Disritmia tertunda dan
elektrokardiogram awal abnormal (EKG). Anak-anak dengan EKG
normal setelah terpapar dapat terjadi dalam kasus yang jarang terjadi.
Faktor risiko termasuk tegangan sangat tinggi, tetani tidak berisiko dan

32
tidak memerlukan pemantauan jantung.
3. Kegawatdaruratan Pada Kasus Anak dengan Tenggelam
a. Pengkajian Primer Tenggelam dan Resusitasi
Prioritas pertama adalah memindahkan korban dari air secepat
mungkin, tanpa risiko untuk penyelamat, untuk memungkinkan
resusitasi kardiopulmoner (CPR) dan stabilisasi ABC tanpa
penundaan. Imobilisasi leher harus dilakukan segera setelah praktis
sampai cedera dikeluarkan, meskipun cedera tulang belakang leher
jarang terjadi kecuali setelah kecelakaan menyelam atau lalu lintas.
Penyelamatan korban dalam posisi vertikal dapat menyebabkan kolaps
kardiovaskular akibat pengumpulan vena. Namun, penyelamatan
horizontal atau imobilisasi tulang belakang leher dalam air tidak boleh
dibiarkan menunda penyelamatan.
Inisiasi dukungan kehidupan dasar dini dan efektif (BLS)
mengurangi angka kematian secara drastis dan merupakan faktor
paling penting untuk bertahan hidup. Napas penyelamatan harus
dimulai sedini mungkin bahkan dalam air dangkal jika hal ini dapat
dilakukan tanpa risiko bagi penyelamat. Ventilasi mulut ke hidung
mungkin lebih mudah dalam situasi ini. BLS kemudian berlanjut
sesuai dengan algoritma pediatri standar bahkan dalam hipotermia.
Kehadiran henti jantung bisa sulit didiagnosis karena denyut nadi sulit
dirasakan. Jika ragu, kompresi dada harus diberikan dan dilanjutkan.
Jika defibrillator eksternal otomatis (AED) digunakan, sangat penting
untuk mengeringkan dada terlebih dahulu sebelum menerapkan
elektroda.
Setelah episode perendaman, perut biasanya penuh dengan air
yang tertelan. Oleh karena itu risiko aspirasi meningkat, sehingga
perawatan harus diambil selama intubasi endotrakeal. Tabung oro
atau nasogastrik harus dimasukkan. Beri ventilasi pada anak untuk
mencapai SpO2 94-98% menggunakan oksigen tambahan dan PEEP
(tekanan ekspirasi akhir positif) sesuai kebutuhan.
Kerusakan pernafasan dapat tertunda selama 4-6 jam setelah

33
perendaman dan bahkan anak-anak yang awalnya tampak pulih harus
diamati setidaknya selama 8 jam. Perubahan rontgen dada dapat
terjadi bahkan lebih lambat. Program dukungan kehidupan lanjutan
sesuai dengan algoritma standar kecuali sedikit modifikasi dalam
kasus hipotermia.

34
(gambar 3a dan 3b. Alur RJP pada Kegawat Daruratan Pediatri)

b. Pengkajian Sekunder
Selama survei sekunder, anak harus diperiksa dengan hati-hati
dari ujung kepala sampai ujung kaki. Setiap cedera mungkin terjadi
selama insiden yang mendahului pencelupan, termasuk cedera tulang
belakang. Anak-anak yang lebih besar mungkin telah mengonsumsi
alkohol dan / atau obat-obatan.
Investigasi
• Pemeriksaan penunjang Glukosa darah

35
• Analisis gas darah (lebih disukai arteri) dan laktat darah
• Urea dan elektrolit
• Status koagulasi
• Kultur darah dan dahak
• EKG
• Sinar-X dada
• X-ray serviks tulang belakang lateral atau pemindaian
computed tomography (CT) scan

2.4 Kegawat Daruratan pada Kasus Geriatri


2.4.1 Epidemiologi
Orang dewasa yang lebih tua, khususnya yang berusia 75 tahun ke atas,
menjadi kelompok yang paling banyak menggunakan layanan gawat darurat
(ED) dibandingkan kelompok lain. Namun, seringkali pasien ini rentan
diperlakukan menggunakan pedoman yang diuji dalam populasi orang
dewasa umum dan ini dapat mengarah pada hasil klinis yang buruk. UGD
adalah sumber penerimaan rumah sakit terbesar pada orang dewasa yang
lebih tua. menurut Pusat Nasional untuk Statistik Kesehatan, sekitar 15%
dari semua kunjungan ke UGD berakhir pasien masuk rumah sakit.
Sebagian besar masuk rumah sakit melalui UGD dari hasil transisi yang
tidak memadai terkait dengan salah satu sebelumnya rawat inap atau
kunjungan ke UGD.
Jenis kegawat daruratan geriatri terbagi atas Primary Assessment : pain,
gangguan kognitif, urosepsis, dehidrasi; dan Secondary Assessment : reaksi
obat yang merugikan dan polifarmasi, risiko jatuh.

2.4.2 Primary Assessment


2.4.2.1 Pain
Asosiasi Internasional untuk Studi Nyeri mendefinisikan rasa sakit
sebagai “pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan
terkait dengan kerusakan jaringan aktual atau potensial. ” Akut Nyeri

36
memiliki onset cepat dengan durasi terbatas yang biasanya terkait untuk
patologi yang jelas. Rasa sakit kronis bertahan lama periode waktu dan
mungkin tidak terkait dengan proses penyakit.
Di antara penghuni komunitas yang lebih tua, lebih dari 50%
melaporkan hidup dengan rasa sakit sementara setidaknya 85%
penghuni panti jompo mengalami beberapa bentuk rasa sakit.
Prevalensi tinggi sakit kronis dan akut pada orang dewasa yang lebih
tua mengharuskan memadai penilaian nyeri di UGD. Manajemen nyeri
dipertimbangkan indikator kualitas dalam mengelola orang dewasa
yang lebih tua di UGD
a. History and Physical
1. Rujuk ke panduan penilaian nyeri
2. Minta pasien untuk memilih kata yang paling menggambarkan
atau rasa sakitnya. Deskriptor verbal lebih disukai pada lansia
3. Tentukan apakah ini merupakan nyeri akut atau nyeri kronis.
4. Lakukan skrining untuk depresi, kecemasan, atau status mental
jika dibutuhkan.
5. Dapatkan riwayat analgesik: bebas resep (OTC), obat alami atau
komplementer, resep.
6. Menentukan efektivitas nonfarmakologis pengobatan.
b. Penilaian Umum Cepat
1. Menilai perubahan tingkat kesadaran.
2. Menilai perubahan tanda vital yang mungkin atau tidak mungkin
terjadi hadir pada lansia.
3. Meningkatnya detak jantung dan pernapasan.
4. Penurunan tekanan darah, pucat, bradikardia, pusing, mual, dan
muntah dapat dikaitkan dengan sakit parah.
5. Nilai faktor-faktor yang memperburuk atau mengurangi rasa
sakit.
c. Intervensi Terapeutik
Intervensi nonfarmakologis memberikan manfaat dalam
meminimalkan kebutuhan atau dosis agen farmakologis dalam

37
mengelola rasa sakit secara efektif pada orang dewasa yang lebih
tua. Contohnya:
• Aplikasi panas atau dingin
• Gangguan (TV, musik, gambar yang dipandu)
• Reposisi untuk kenyamanan
• Teknik relaksasi
Panduan untuk intervensi farmakologis untuk nyeri pada lansia
termasuk yang berikut:
• Agen oral selalu merupakan rute yang dipilih.
• Hindari pemberian intramuskuler karena penurunan otot dan
jaringan lemak.
• Mulailah dengan nonopioid seperti asetaminofen atau obat
antiinflamasi nonsteroid (NSAID). Selalu mulai dengan dosis
rendah dan tingkatkan dosis perlahan, mengevaluasi efek.
• Kemajuan ke agen yang lebih kuat sesuai kebutuhan. Hindari
agen yang dianggap berpotensi tidak pantas untuk yang lebih
tua orang dewasa.
• Teknik epidural dan intratekal dapat diberikan aman pada
orang dewasa yang lebih tua oleh personil anestesi karena
dosis opioid yang lebih kecil diberikan dengan menggunakan
ini metode. Namun, obat-obatan ini kemungkinan tidak
seharusnya digunakan lansia yang dipulangkan ke rumah
karena risiko sedasi dan depresi pernapasan pada yang pertama
24 jam.
• Manajemen nyeri yang efektif biasanya dikaitkan dengan
jadwal pemberian obat penghilang rasa sakit sekitar jam
sebelum insiden nyeri terjadi versus "sesuai kebutuhan" dosis.
• Pantau orang lansia secara berkala untuk tanda-tanda sedasi,
depresi pernapasan, kebingungan, dan halusinasi.

38
2.4.2.2 Gangguan Jiwa
Delirium atau disalahartikan sebagai demensia atau depresi lebih
dari 30% dari waktu dan dikaitkan dengan peningkatan mortalitas
dan morbiditas yang signifikan. Selain itu, orang lansia dapat hadir
dengan psikosis terkait dengan gangguan kejiwaan yang sudah ada
sebelumnya.
 Delirium adalah gangguan akut dan berpotensi reversible
dalam kesadaran, perhatian, kognisi, dan persepsi yang
disebabkan oleh kondisi medis umum, suatu zat, atau
kombinasi faktor. Pasien paling tinggi risiko delirium
adalah mereka yang memiliki riwayat delirium sebelumnya
atau diagnosis demensia.
 Demensia adalah kelainan neurokognitif kronis hilangnya
kemampuan intelektual yang signifikan, seperti ingatan
gangguan, mengganggu sosial dan pekerjaan.
 Depresi adalah gangguan mood di mana perasaan
kesedihan, keputusasaan, dan kurangnya harga diri dan
berlangsung setidaknya 2 minggu.

39
 Psikosis adalah suatu kondisi pikiran di mana ada
kehilangan kenyataan yang dibuktikan dengan pemikiran
abnormal, halusinasi, atau delusi. Meskipun pasien dengan
delirium, demensia, dan depresi mungkin psikotik,
gangguan kejiwaan lainnya (mis., skizofrenia, bipolar
gangguan).

a. Intervensi Terapeutik
Intervensi terapeutik yang terkait dengan merawat lansia
memanifestasikan gangguan kejiwaan fokus pada memfasilitasi
hal berikut:
a) Lingkungan terapeutik yang memastikan ketenangan dan iklim
yang tidak mengancam
b) Lingkungan yang aman bagi pasien dan keluarga dan staf
c) Penatalaksanaan farmakologis hanya saat perilaku intervensi
gagal untuk mempromosikan keselamatan pasien dan staf

2.4.2.3 Urosepsis
Urosepsis adalah infeksi darah sistemik yang berkembang ketika
patogen infeksi saluran kemih (ISK) memasuki aliran darah dan
menyebar melalui tubuh. oleh karena itu manajemen yang dilakukan
berbeda dibandingkan dengan ISK tanpa komplikasi. Pada lansia,
kondisi ini menimbulkan angka kesakitan dan kematian hingga 40%.
Pada lansia, penurunan kewaspadaan atau kebingungan mungkin terjadi
tanda pertama dan satu-satunya yang terkait dengan ISK. ISK lebih dari
itu umum pada wanita dan pasien dengan kateter yang menetap,

40
khususnya mereka yang tinggal di fasilitas perawatan jangka panjang.
Namun, seiring bertambahnya usia pria, insiden ISK meningkat dan
mendekati bahwa wanita (20% hingga 50%) sebagai akibat dari
pembesaran prostat, prostatisme, dan debilitasi serta instrumentasi di
saluran kemih.
a. Prosedur Diagnostik
 Urinalisis: positif untuk sel darah merah, sel darah
putih, dan jumlah bakteri> 100.000 / mL.
 Kultur urin: Escherichia coli, Proteus, Enterobacter,
dan Klebsiella
 Dapatkan dua set kultur darah sebelum antibiotik
diberikan.
 Ultrasonografi dapat diindikasikan untuk menentukan
ukuran ginjal dan mengevaluasi kelenjar prostat.
 CT dan MRI dapat diindikasikan untuk
mengidentifikasi dugaan abses dan nekrosis.
b. Intervensi Terapeutik
 Mulai antibiotik di UGD dan lanjutkan selama 10
hingga 21 hari.
 Berikan cairan intravena untuk membentuk cairan dan
keseimbangan elektrolit.
 Pertahankan hasil urin 0,5 mL / kg per jam.
 Pertahankan tekanan darah sistolik lebih dari 90 mm
Hg dan berarti tekanan arteri lebih besar dari 65 mm
Hg dengan cairan intravena atau vasopresor.
 Jika kondisinya memburuk, itu harus diperlakukan
sebagai septik syok

2.4.2.4 Dehidrasi
Beberapa faktor itu menyebabkan pasien lansia mengalami
dehidrasi adalah usia yang lebih besar dari 85 tahun, polifarmasi,
stroke, demensia, penyakit ginjal, operasi, trauma, tinggal di fasilitas

41
Reaksi Obat yang Merugikan dan Polifarmasi
Reaksi pengobatan yang merugikan terjadi ketika obat-obatan
berinteraksi satu sama lain atau dengan sesuatu yang dicerna. Reaksi
pengobatan merugikan yang paling umum mendorong
kegawatdaruratan pada lansia terkait dengan warfarin (Coumadin) dan
insulin.
Lebih dari 400.000 obat OTC tersedia di Amerika Serikat dan
lansia adalah kelompok terbesar pengguna.Karena perubahan terkait
usia berkontribusi peningkatan risiko ginjal dan ginjal yang signifikan
toksisitas hati, agen OTC untuk pose manajemen nyeri risiko tertentu
untuk orang dewasa yang lebih tua.

Obat dalam daftar ini tidak umum digunakan dalam


Kegawatdaruratan, enam telah diidentifikasi sebagai sering diberikan di
UGD dan 7% pasien keluar dari UGD dengan resep baru untuk
kemungkinan tidak pantas obat. Tabel 53-11 menggambarkan
kemungkinan tidak pantas obat yang sering digunakan di UGD dan
saran untuk alternatif yang lebih baik.
Polifarmasi adalah penggunaan lebih banyak obat daripada
diindikasikan atau dijamin secara klinis. Semakin banyak obat seorang
pasien mengambil, semakin tinggi risiko untuk interaksi dengan obat
lain dalam perawatan rejimen. Insiden interaksi obat meningkat dari 6%

42
pada pasien yang menggunakan dua obat sehari sampai sekitar 50%
pada pasien yang menggunakan lima obat. Sebagian besar orang
dewasa yang lebih tua yang mencari pengobatan di UGD sedang
mengambil sejumlah besar obat-obatan. Karena itu, berolahraga hati-
hati dalam menghentikan, menyesuaikan dosis, atau menambahkan obat
untuk rejimen mereka. Berikut ini adalah pentingnya informasi yang
perlu diingat ketika orang dewasa yang lebih tua dirawat di UGD:
a. Gunakan kunjungan ini sebagai kesempatan untuk menghentikan
potensi obat obatan yang tidak pantas yang mungkin bertanggung jawab
keluhan utama pasien.
b. Pilih obat yang harus dihindari karena efek sampingnya profil
daripada indikasi yang disetujui.
c. Mendidik pasien dan keluarga tentang pentingnya patuh terhadap
rejimen baru karena risiko untuk gejala penarikan yang terkait dengan
penghentian keduanya atau mengurangi dosis obat-obatan tertentu
(opioid, benzodiazepin, alkohol, antidepresan, antipsikotik).
d. Mendidik pasien dan keluarga tentang konsultasi dengan apoteker
sebelum menambahkan obat OTC ke dalam rejimen pengobatan.

2.4.2.5 Risiko Jatuh


Falls adalah prediktor utama mortalitas dan morbiditas di antara
lansia. Mereka adalah penyebab utama cedera kematian, penyebab
utama kedelapan cedera, dan yang terbanyak penyebab umum rawat
inap di rumah sakit .Di antara kelompok ini, 1,8 juta kunjungan ke
UGD terjadi di Amerika Serikat setiap tahun untuk jatuh. Sepertiga
orang dewasa yang tinggal di komunitas dan 50% hingga 75% dari
penghuni panti jompo jatuh setiap tahun.22 Meskipun jatuh mungkin
bukan menjadi alasan langsung pasien di UGD, jatuh penyaringan
risiko harus diselesaikan untuk membantu mencegah lebih lanjut cedera
baik di UGD dan setelah keluar.
Mencegah Jatuh di Unit Gawat Darurat
 Identifikasi pasien yang berisiko jatuh pada saat masuk ke rumah
sakit, komunikasikan ini ke semua anggota staf, dan institute

43
tindakan pencegahan saat yang tepat.
 Waspadai faktor risiko lingkungan (basah, mengkilap, atau lantai
tidak rata).
 Sering atau terus-menerus memantau pasien dengan disfungsi
kognitif.
 Identifikasi dan perbaiki salah satu dari yang berikut:
 Peralatan yang rusak
 Area dengan pencahayaan atau cahaya yang buruk
 Kamar mandi tanpa bar
 Pasien dengan alas kaki yang tidak sesuai
 Gunakan rem di tempat tidur dan kursi roda.

Jika pasien berisiko saat keluar dari rumah sakit:


 Mendidik pasien dan keluarga tentang pencegahan jatuh
(instruksi, brosur, sumber daya berbasis web).
 Berikan rujukan sesuai kebutuhan (pekerja sosial, kasus manajer,
program berbasis komunitas).

2.5 Kegawat Daruratan pada Kasus Psikiatri


2.5.1 Epidemiologi
Laporan perkembangan situasi NAPZA dunia tahun 2014
menyatakan angka estimasi pengguna tahun 2012 adalah antara 162 juta
hingga 324 juta orang atau sekitar 3,5–7%. Estimasi pengguna NAPZA
tahun 2010 yang kisarannya 3,5–5,7% (UNODC, 2014).Prevalensi
penyalahguna NAPZA di Indonesia setiap tahun selalu meningkat. Pada
tahun 2011 prevalensinya sebesar 2,32%, tahun 2013 sebesar 2,56%,
dan tahun 2015 sebesar 2,80% (BNN RI, 2016b). Hasil penelitian yang
dilakukan oleh BNN yang bekerjasama dengan Puslitkes Universitas
Indonesia tahun 2011, penyalahgunaan NAPZA di Indonesia prevalensi
paling tinggi (2,2%) berada pada kelompok usia 10–59 tahun.
Kelompok usia 10–19 tahun merupakan kelompok usia pelajar.
Prevalensi penyalahguna NAPZA di Kota Surabaya sebesar 0,012%

44
sedangkan pelajar yang menyalahgunakan NAPZA di Kota Surabaya
sebesar 0,0064%. Berdasarkan penjangkauan yang telah dilakukan
terhadap 359 penyalahguna NAPZA dari berbagai kelompok usia
terdapat 189 pelajar yang terlibat penyalahgunaan NAPZA (BNN Kota
Surabaya, 2015). Jumlah pelajar penyalahguna NAPZA di Surabaya
selalu meningkat. Pada tahun 2013 terdapat 29 pelajar, tahun 2014
menjadi 37 pelajar, dan tahun 2015 meningkat menjadi 51 pelajar
(Polrestabes Surabaya, 2015).

2.5.2 Penyebab
Keadaan kegawatdaruratan psikiatri dapat terjadi pada seseorang
atau sekelompok selain itu keadaan ini dapat disebabkan karena
keterbatasan kapasitas orang yang bersangkutan dalam usia, intelegensi,
penyakit, atau emosi pasa saat itu.
Masalah kegawatdaruratan psikiatri juga dapat disebabkan oleh
akibat dari kondisi medik umum yang menampilkan gejala-gejala
psikiatri, atau sebagai akibat yang merugikan dari obat atau zat atau
intoksikasi maupun reaksi antar beberapa jenis obat.

2.5.3 Penanganan
2.5.3.1 Efek samping obat-obat psikiatrik
a. Reaksi Dystonic
Kadang-kadang pemilihan pengobatan untuk penanganan kondisi
kesehatan mental menimbulkan stress daripada mengurangi
penderitaan pasien. Sebagai contoh dari kondisi ini adalah
timbulnya efek samping ekstrapiramidal yang berat
(extrapyramidal symptoms /EPS) dari beberapa pengobatan-
pengobatan psikotropika utama. Gejala-gejala tersebut sering juga
disebut gejala-gejala dystonic. Sebagian besar pengobatan
antipsikotik dapat menimbulkan gejala- gejala tetapi lebih sering
dijumpai pada mereka yang menggunakan generasi pertama
antipsikotik seperti haloperidol, daripada dengan kelas terbaru

45
pengobatan antispikotik yang disebut antipsikotik atipikal; seperti
olanzapine atau quetiapine.
Tanda dan gejala
1) Dystonia (gangguan tonus otot), termasuk:
- Krisis oculogyric (deviasi pergerakan bola mata ke
segala arah)
- Blepharospasm (ketegangan otot- otot pergerakan mata)
- Krisis Buccolingual (ketegangan otot-otot wajan rahang,
dan faring)
- Opisthotonos (spasme otot-otot paravertebral, menekan
tulang belakang dan leher menjadi hiper-ekstensi)
- Torticollis (ketegangan memelintirkan leher ke satu arah)
leher, tulang-tulang
- Krisis tortipelvic (spasme yang kuat pada tulang belakan
dan otot pelvik yang menyebabkan postui tubuh yang
aneh)
- Akathisia (keinginan yang kuat untuk bergerak terus
menerus, ketidakmampuan untuk tetap duduk)
2) Perlu dicatat bahwa status mental dan tanda-tanda vital
biasanya tidak terpengaruh.
3) Ketika pasien tiba di unit emergency dengan tanda dan gejala
dibawah ini, penting untuk menanyakan riwayat pengobatan
4) Efek samping extrapyramidal sering disalahartikan
hipocalsemia, tetanus atau kejang
5) Reaksi-reaksi dystonic seringkali terjadi pada fase awal
penggunaan awal terapi obat psikotropika (dalam satu jam
pertama sampai dengan 5 hari).
6) Penampilan EPS dapat merangsang kecemasan dan bias
cukup menyebabkan pasien menolak semua resep pengobatan
yang diberikan di masa yang akan datang. Petugas emergensi
dapat menolong individu-individu ini untuk memahami
bahwa terapi obat antipsikotik membutuhan kesabaran dan

46
ketekunan untuk mendapatkan respon yang diharapkan dapat
memuaskan.

Intervensi terapeutik

1. Informasikan pada pasien bahwa gejala-gejala akan timbul


kembali dan akan teratasi dengan pengobatan (atau secara
spontan).
2. Berikan diphenhydramine atau obat antiparkinson seperti
benztropine mesylate atau trihexyphenidyl.
3. Propranolol digunakan untuk mengatasi akathisia.
4. Sediakan ruanagan yang tenang dengan mengurangi
stimulus sementara menanti obat antigonis untuk
memberikan efeknya.
5. Monitor pasien sampai gejala telah mereda.
b. Neuroleptic Malignant Syndrome
Neuroleptic Malignant Syndrome (NMS) yang berkembang secara
cepat, mengancam kehidupan berupa kekakuan otot, peningkatan
suhu, tremor yang terjadi karena penggunaan agen antipsikotik.
Kondisi ini membutuhkan manajemen medis yang segera. Onset
NMS dapat terjadi dalam hitungan hari atau bulan saat
digunakannya terapi atau pengobatan neuroleptik. Dalam
hitungan beberapa jam, seseorang dapat benar-benar
immobilisasi, tidak bisa menelan, berbicara atau bergerak.
Tanda dan gejala :
1. Hypothermia
2. Perubahan-perubahan status mental (sering pada gejala awal)
3. Kekakuan otot yang berat (sampai kaku seperti pipa)
4. Ketidakstabilan saraf autonom (takikardi, distress pernafasan,
hypoxia, tekanan darah yang stabil)
5. Banyak berkeringat
6. Leukositosis
7. Meningkatnya level kreatinin kinase (bias mengindikasikan
rhabdomyolysis)

47
8. Gagal ginjal

Intervensi terapeutik

1. Stop pemberian obat antipiskotik


2. Mulailah dengan pengukuran-pengukuran support kehidupan
seperti mengstabilkan tekanan darah, menormalisi suhu tubuh,
mengkoreksi hypoxia
3. Kurangi kekakuan otot dengan pemberian bromocriptine atau
dantrolene
4. Atur untuk perawatan pasien
c. Sindrom Serotonin
Sindoma serotonin adalah reaksi obat yang berpotensi fatal
yang berhubungan dengan adanya gejala NMS tetapi tanpa
melibatkan agen neuroleptik (antipsikotik). Hal ini terjadi karena
tingginya akumulasi level serotonin. Hal ini juga bisa terjadi
karena polypharmacy atau isu terkait metabolisme obat. Salah
satu kontributor terjadinya hal ini adalah penggunaan suplemen
herbal St John's; yang ketika dikombinasikan dengan resep
antidepresi selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI) jumlah
ini menyebabkan: "dosis ganda". Suplemen St. John's juga
berpotensi menimbulkan mania. Pasien sebaiknya ditanya
mengenai riwayat konsumsi suplemen herbal ini. Karena banyak
gejala-gejala sindrom serotonin ini sama dengan NMS, maka
menjadi penting untuk menetukan regimen pengobatan pasien
untuk membantu menegakkan diagnosis dengan benar.
Tanda dan Gejala :
1. Gelisah
2. Bingung
3. Tachycardia
4. Keringat banyak
5. Diare
6. Sakit kepala
7. Gemetar

48
8. Piloerection (goose bumps/berdirinya bulu halus pada kulit)
9. Hyperthermia
10. Kejang
11. Gangguan irama jantung
12. Kehilangan kesadaran

Intervensi Terapeutik

1. Hentikan semua pengobatan SSRIS dan yang lainnya dan


hubungi pembuat resep.
2. Lakukan pengukuran tanda vital sesuai indikasi.
3. Hidrasi cukup untuk mencegah rhabdomyolysis.
4. Jika tertelan atau overdosis, perhitungkan terjadi
dekontaminasi dengan bubuk arang

2.5.3.2 Kematian jantung secara mendadak


Penggunaan obat psikiatrik sering berhubungan dengan
kematian jantung secara tiba-tiba. Yang paling sering mengimplikasi
hal ini terjadi adalah pengobatan antipsikotik, khususnya atipikal
atau generasi kedua antipsikotik. Kematian jantung yang tiba-tiba
yang berhubungan dengan pengobatan antipsikotik sering dijumpai
khususnya pada pasien usia lanjut dengan demensia dan demensia
terkait psikosis. Antipsikotik atipikal diberi label peringatan hitam
pada boxnya; bagaimanapun, tipikal (generasi pertama) antipsikotik
juga memiliki risiko kematian jantung yang mendadak. Pada orang
dewasa lanjut penggunaan antipsikotik sebisa mungkin
dilarang/tidak diberikan sebagai pengobatan psikosis atau mania.
Seperti diketahui memanjangnya interval QTc adalah faktor
risiko terjadinya kematian jantung yang tiba-tiba dan pengobatan
antipsikotik memanjangkan interval QT Bahaya jantung adalah
ketergantungan dosis dan terus meningkat dalam kondisi adanya
kondisi gangguan jantung sebelumnya. Sebelum memulai pengobaan
antipsikotik, pasien sebaiknya betul-betul dievaluasi dengan seksama
untuk faktor-faktor yang berpotensi memiliki risiko ini.

49
Evaluasi sebelum tindakan seharusnya meliputi hal-hal sebagai
berikut:
 Riwayat medis, khususnya untuk penyakit jantung
(termasuk melambatnya konduksi) atasabnormalitas
metabolisme.
 Pengobatan saat ini, tingkatkan kewaspadaan pada
pengobatan yang dapat memperpanjang siklus jantung
(procainamide, amiodarone, amitriptyline).
 Lakukan pemeriksaan dasar electrocardiogram (ECG) dan
ECGS berkala bila pengobatan antipsikotik diteruskan.
 Pemerikasaan fisik dengan menekankan pada evaluasi
fungsi jantung dan neurologik
 Periksa tanda vital
 Glukosa darah puasa
 Panel lemak
 Panel metabolik dasar
 Fungsi ginjal dan hati

50
BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Kegawat daruratan kekhususan dapat terjadi pada pada semua kondisi baik
maternal, obstetric, pediatric, geriatric maupun psikiatri. Pada kedaruratan
obstetric, secara umum terdapat 4 penyebab utama kematian ibu, janin dan bayi
baru lahir,yaitu (1) perdarahan, (2) infeksi, sepsis (3) hipertensi, preeklampsia,
eklampsia (4) persalinan macet (distosia). Pada neonatal, terdapat banyak kondisi
yang menyebabkan kegawatdaruratan neonatus yaitu hipotermi, hipertermia,
hiperglikemia, tetanus neonatorum, penyakit penyakit pada ibu hamil dan
syndrom gawat nafas pada neonatus. Tiga penyebab utama kematian perinatal di
Indonesia adalah gangguan pernafasan atau respiratory disorders (35,9%),
prematuritas (32,4%) dan sepsis neonatorum (12%). Pada kegawat daruratan
pediatri, kematian dan cedera termasuk jatuh, tenggelam, cedera rekreasi,
pembunuhan, bunuh diri, dan luka bakar merupakan kasus yang sering terjadi.
Sebagian besar pasien anak mengalami trauma tumpul (sekitar 80%) sebagai
lawan dari luka tembus (sekitar 20%). Pada pasien kegawatdaruratan geriatric
yang paling sering terjadi meliputi bagian kardiovaskuler, pernafasan, neurologis,
saluran cerna, saluran kemih, endokrin dan metabolic serta kejadian trauma. Salah
satu factor penyebab kejadian kegawatdaruratan geriatric tinggi karena penurunan
fisiologis yang terjadi pada pasien lanjut usia. Factor penyebab kegawatdaruratan
psikiatri diantaranya adalah : Tindak kekerasan, Perubahan perilaku, Gangguan
penggunaan zat, Keterbatasan kapasitas inteligensi. Penanganan kegawat
daruratan kekhususan dapat dilakukan dengan pengkajian primer, pengkajian
sekunder, penegasan diagnosis dan intervensi sesuai dengan kasus yang dihadapi

51
DAFTAR PUSTAKA

Abdul, Bari et al. 2009. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal Dan
Neonatal. Jakarta : PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo
Belinda,et all.2018.Sheehy’s Manual of Emergency Care.Singapore:Elsevier

Chusnul Laili. 2012. “Asuhan Keperawatan Gerontik dengan Gangguan Kritis


atau Gawat Darurat”. Disitasi dari
https://www.scribd.com/doc/77993906/Asuhan-Keperawatan-Gerontik-
Dengan-Gangguan-Kritis-Atau-Gawat-Darurat (diakses pada 2 September
2019)

Emergency Nurses Association. (2013). Sheehy’s Manual Of Emergency Cae.


United States of America. Elsevier Inc. ISBN 978-0-323-07827-6

Fran, Mary Hazinski, et al. 2015. Fokus Utama Pembaruan Pedoman American
Heart Association 2015 Untuk Cpr Dan Ecc. hal 25-27

Ika, Didien Setyarini & Suprapti. 2016. Asuhan Kebidanan Kegawatdaruratan


Maternal dan Neonatal. Pusdik SDM Kesehatan. KEMENKES RI. Jakarta
Selatan

Kidd, S, Pamela, et. all. (2010). Pedoman Keperawatan Emergensi Edisi 2.


Jakarta. EGC.

Lumbanraja, N, Sarma. (2017). Kegawatdaruratan Obstetri. Medan. Perpustakaan


Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT). ISBN 979 458 xxx x

Maryuani, Anik & Yulianingsih, 2009, Asuhan Kegawatdaruratan, Jakarta :


Trans Info Media Medis.

Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2010, KEPMENKES RI tentang Pedoman


Pelayanan Kegawatdaruratan Psikiatrik. http://yankes.kemkes.go.id/read-
rsjrw-siap-menjadi-pelopor-tanggap-gawat-darurat-psikiatri-3325.html
diakses pada Rabu, 28 Agustus 2019, pukul 15.13 WIB.

Mirantri,Kusufi & Khairina, Kedaruratan Psikiatri : Fokus pada Intervensi


Psikososial.

52
Ni Luh Oka Puriayuni. Tth. “Kedaruratan Medik Pada Lanjut Usia”. Disitasi dari
https://karyatulisilmiah.com/kedaruratan-medik-pada-lanjut-usia/ (diakses
pada 2 September 2019)

Puriayuni,Ni Luh Oka, 2009, Kedaruratan Medik pada Lanjut Usia, Cibubur :
Sasana Tresna Werdha Yayasan Karya Bhakti RIA Pembangunan.

Praevilia M. Salendu. 2012. Sepsis Neonatorum Dan Pneumonia Pada Bayi


Aterm. Jurnal Biomedik (JBM). Volume 4. Nomor 3. hlm. S175-179

Prambudi, R. (2013). Neonatologi praktis: Prosedur tindakan neonates. Bandar


Lampung: Anugrah Utama Raharja.

Prambudi, R. (2013). Prosedur Tindakan Neonatus. Dalam: Suraatmaja,


S.(Editor). Neonatologi Praktis Cetakan Pertama (hal. 115). Anugrah
Utama Raharja, Bandar Lampung, Indonesia.

53

Anda mungkin juga menyukai