Anda di halaman 1dari 175

Mata Kulia: Keperawatan Gawat Darurat

Perawatan Untuk Populasi Rentan


Dosen Pengampuh: Ns. Pipin Yunus, M.Kep

DISUSUN OLEH
KELOMPOK 5
1. Alan Yusuf
2. Moh Iqbal R. Mohi
3. Fikria Polohi
4. Sri Devi Padang
5. Widya Fuji Astuti Sianu
6. Nurain Ismail

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH GORONTALO


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN
TAHUN AJARAN 2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunianya saya
dapat menyelesaikan tugas makalah mata kuliah keperawatan kritis tentang ” Perawatan
Untuk Populasi Rentan” Dalam mengerjakan tugas ini saya merasa masih banyak
kekurangan baik teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang dimiliki.
Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat saya harapkan demi penyempurnaan tugas
ini.
Dalam tugas ini saya ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada Ns. Pipin
Yunus, M.Kep selaku dosen mata kuliah ini yang telah memberikan tugas, dan petunjuk
kepada kami, serta terima kasih kepada narasumber terkait sehingga saya termotivasi dan
menyelesaikan tugas ini.
Semoga hasil dari tugas ini dapat bermanfaat dan menjadi sumbangan pemikiran bagi
pihak yang membutuhkan, khususnya bagi kami sehingga tujuan yang diharapkan dapat
tercapai, Amin.

Gorontalo, 23 Januari 2021

Kelompok 5

i
DAFTAR PUSTAKA

KATA PENGANTAR..........................................................................................................i

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.............................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah........................................................................................................2
1.3 Tujuan Masalah............................................................................................................2
BAB II TINJAUAN TEORI
2.1. Perawatan Populasi Rentan Pada Ibu Hamil..............................................................3
2.2 Perawatan Populasi Rentan Pada Anak-Anak............................................................4
2.3 Perawatan Populasi Rentan Pada Penyakit Kronis.....................................................5
2.4 Perawatan Populasi Rentan Pada Lansia....................................................................7
2.5 Perawatan Populasi Rentan Pada Disabilitas..............................................................9
2.6 Perawatan Populasi Rentan Pada Sakit Mental.........................................................10
BAB III PENUTUP
3. 1 Kesimpulan...............................................................................................................11
3.2 Saran..........................................................................................................................11
JURNAL
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Berbagai macam bencana telah menimbulkan korban dalam jumlah besar, Bnayak
korban yang selamat memderita sakit dan cacat. Rumah,tempat kerja, ternak, dan
peralatan menjadi rusak atau hancur. Korban juga mengalami dampak psikologis akibat
bencana, misalnya ketakutan, kecemasan akut, perasaan mati rasa secara emosional, dan
kesedihan yang mendalam bagi sebagian orang, dampat ini memudar dengan berjalannya
waktu. Tapi untuk banyak orang lain, bencana memberikan dampak psikologis jangka
panjang, baik yang terlihat jelas seperti depresi, psikosomatis (Keluhan fisik yang
mengakibatkan oleh masalah spisikis). Ataupun yang tidak langsung: konflik, hingga
penceraian.
Beberapa gejalah gangguan psikologis merupakan respons langsung terhadap
kejadian traumatik dari bencana. Namun gejala-gejala yang lain yang juga akan
menyusul, ini adalah dampak tidak langsung dan bersifat jangka panjang yang dapat
mengancam berbagai golongan terutamakelompok yang rentang yaitu anak-anak,
remaja, wanita dan lansia. Dalam banyak kasus, jika tidak ada intervensi yang dirancang
dengan baik, banyak korban bencana akan mengalami depresi parah, gangguan
kecemasan, gangguan stres pasca-trauma, dan gangguan emosi lainnya. Bahkan lebih
dari dampak fisik dari bencana, dampak psikologis dapat menyebabkan penderita lebih
panjang, mereka akan kehilangan semangat hidup, kemampuan social dan merusak nilai-
nilai luhur yang mereka miliki.
Menurut departemen hukum dan hak asasi manusia, kelompok rentan adalah semua
orang yang menghadapi hambatan atau keterbatasan dalam menikmati standar kehidupan
yang layak bagi manusia dan perilaku umum bagi suatu masyarakat yang berperadaban.
Jadi kelompok rentan dapat didefinisikan sebagai kelompok yang harus mendapatkan
perlindungan dari pemerintah karena kondisi sosial yang sedang mereka hadapi. Konteks
kerentanan merujuk kepada situasi rentan yang setiap saar dapat mempengaruhi atau
membawah perubahan besar penghidupan masyarakat.

1.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan dibahs dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana perawatan populasi rentan pada ibu hamil
2. Bagaimana perawatan populasi rentan pada anak-anak
3. Bagaimana perawatan populasi rentan pada penyakit kronis
4. Bagaimana perawatan populasi rentan pada lansia
5. Bagaimana perawatan populasi rentan pada disabilitas
6. Bagaimana perawatan populasi rentan pada sakit mental

1.3 Tujuan Masalah


Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka dapat diketahui tujuan dari pembuatan
makalah ini adalaha:
1. Untuk dapat mengetahui perawatan populasi rentan pada ibu hamil
2. Untuk dapat mengetahui perawatan populasi rentan pada anak-anak
3. Untuk dapat mengetahui perawatan populasi rentan pada penyakit kronis
4. Untuk dapat mengetahui perawatan populasi rentan pada lansia
5. Untuk dapat mengetahui perawatan populasi rentan pada disabilitas
6. Untuk dapat mengetahui perawatan populasi rentan pada sakit mental

2.
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1. Perawatan Populasi Rentan Pada Ibu Hamil

Populasi rentan didefinisikan sebagai kelompok sosial yang memiliki risiko atau
kelemahan yang relatif tinggi sehingga merugikan kesehatan (Flakerud dan Winslow,
1998; Stanhope dan Lancaster, 2004). Faktor resiko dibidang kesehatan merupakan
pendekatan di bidang epidemiologi yang terdiri dari triangel epidemiologic yakni agen,
host, dan lingkungan. Pada dasarnya populasi rentan merupakan suatu kelompok dari
populasi yang cenderung memiliki masalah perkembangan kesehatan sebagai akibat dari
paparan beberapa fakor resiko atau memiliki kemungkinan kesehatan lebih buruk
daripada kelompok yang lain (Stanhope dan Lancaster, 2004).
Kelompok rentan sering kali memiliki akmulassi dari beberapa atau kombinasi dari
faktor resiko (Nichols, Wright, dan Murphy, 1986; Stanhope dan Lancaster, 2004).
Salah satu kelompok yang dapat dikatakan sebagai kelompok rentan sehingga menjadi
konsen dari spesialis keperawatan komunitas tampak pada tabel 1.
Menurut Youth Risk Behavior Surveillance System (YRBSS) remaja rentan masalah
kesehatan karena berperilaku yang berisiko injury, rokok, alkohol dan obat-obatan,
perilaku seksual, perilaku diet yang tidak sehat, dan kurangnya aktifitas fisik (dalam
Hitchock, Schubert, & Thomas, 1999). Masalah yang sering dijumpai pada masa kasus
kesehatan remaja adalah perilaku seksual pranikah, karena dorongan untuk menyalurkan
hasrat seksualnya akibat perkembangan normal sesksualnya (Mutadin, 2002).
Santrock (2007) mendeskripsikan bahwa perkembangan primer seksualitas remaja
ditandai peristiwa menstruasi (menarche) dimana perempuan sudah siap untuk hamil,
sedangkan laki-laki ditandai dengan ejakulasi atau mimpi basah (Allender, Rector, &
Warner, 2010). Remaja yang tidak mampu beradaptasi perubahan tersebut akan
memungkinkan mengalami risiko terhadap masalah kesehatan (McMurray, 2003).
Remaja mengeksplorasi identitas seksual, peran gender, dan terlibat aktivitas seksual
dalam masa tumbuh kembangnya (Hitchcock, Schubert, & Thomas, 1999).

3.
2.2 Perawatan Populasi Rentan Pada Anak-Anak

Balita merupakan salah satu kelompok rentan yang harus paling diperhatikan.
Keberhasilan pengontrolan pada saat balita akan berdampak pada masa yang akan
datang. Masa pertumbuhan tercepat seorang anak adalah 1000 hari pertama kehidupan
(1000 HPK) (Afifa dkk, 2016). Setiap tiga menit di manapun di Indonesia, satu balita
meninggal dunia (UNICEF, 2012). Angka tersebut sangat mengejutkan. Berdasarkan
data Riskesdas 2010, sebanyak 50% balita di Indonesia tidak melakukan penimbangan
teratur di posyandu. Riset ini sekaligus menunjukkan kecenderungan semakin bertambah
umur seorang balita, maka tingkat kunjungan ke posyandu untuk melakukan
penimbangan rutin semakin menurun. Ketika anak berusia enam bulan, jumlah
kunjungan masih cukup tinggi yakni sekitar 68%, tetapi posyandu rata-rata ditinggalkan
saat usia anak tiga tahun ke atas. Hal ini cukup disayangkan, karena menurut penelitian
Anwar dkk (2010), aktivitas mengunjungi posyandu dapat memberi dampak positif bagi
status kesehatan balita. Kondisi ini salah satunya dipengaruhi oleh cara pandang
orangtua yang merasa anaknya tidak perlu lagi dibawa ke posyandu seiring dengan
pertambahan umur. Selain itu, minimnya kepercayaan para orang tua terhadap kinerja
kader posyandu juga berkorelasi positif terhadap jumlah kunjungan balita ke posyandu.
Masalah tidak berhenti dari jumlah partisipasi, balita juga memiliki masalah yang
cukup serius yaitu indeks masa tubuh (IMT) kurang dari angka normal yaitu 17.
Keadaan IMT tersebut tentu tidak hadir begitu saja. Masalah balita pendek
menggambarkan adanya masalah gizi kronis salah satunya dipengaruhi dari kondisi
ibu/calon ibu dan masa janin. Sebagian besar kematian anak di Indonesia saat ini terjadi
pada masa baru lahir (neonatal)

4.
2.3 Perawatan Populasi Rentan Pada Penyakit Kronis
prinsip penanggulangan kedaruratan bencana, persiapan bencana, penilaian
sistematis, tindakan-tindakan keperawatan selama fase bencana, perawatan psikososial
dan spiritual bagi korban bencana, perawatan bagi populasi rentan, aspek etik dan legal
pada bencana, perlindungan bagi petugas, pendekatan interdisiplin, pemulihan pasca
bencana, dan penerapan evidence based practice dalam keperawatan bencana. WHO
memperkirakan pada tahun 2020, penyakit kronis akan mencapai hampir tigaperempat
dari semua kematian di seluruh dunia. 71% kematian karena penyakit jantung iskemik
(IHD), 75% dari kematian akibat stroke, dan 70% dari kematian akibat diabetes akan
terjadi di negara berkembang. Jumlah penderita diabetes di negara berkembang akan
meningkat lebih dari 2,5 kali lipat, dari 84 juta pada tahun 1995 menjadi 228 juta pada
tahun 2025. Kerentanan kelompok dengan penyakit kronis dalam menghadapi bencana
disebabkan oleh gangguan pada kondisi kesehatan dan terputusnya perawatan kesehatan
rutin dengan fasilitas pelayanan kesehatan akibat terjadinya bencana sehingga membuat
kelompok dengan penyakit kronis menghadapi resiko paparan penyakit menular,
gangguan pernapasan, gangguan integritas kulit, eksaserbasi dan kematian yang lebih
tinggi dibandingkan dengan kelompok biasa pada umumnya saat menghadapi bencana
(Cherry & Trainer, 2008; Greenough et al, 2008; Pate, 2008; Smith & Macdonald, 2006
yang disitasi oleh Owens & Martsolf, 2014; Tomio & Sato, 2014). Bencana Badai
Katrina yang terjadi di New Orleans, Louisiana, Amerika Serikat pada tahun 2005
menjadi salah satu bencana alam dengan jumlah korban dengan penyakit kronis
terbanyak di dunia. Miller dan Arquilla (2008) menyampaikan hasil survei pengungsi
Badai Katrina, 41% pengungsi memiliki 1 kondisi kesehatan kronis, dan ketika jumlah
orang dewasa ( usia lebih 18 tahun) dikurangi, didapatkan hasil lebih dari seperempat
populasi yang tersisa, orang dewasa yang tinggal di New Orleans, Louisiana, dilaporkan
memiliki setidaknya satu penyakit kronis berikut: hipertensi (29%); asma (12%);
diabetes (9%); angina atau penyakit jantung koroner (4,6%); riwayat miokard infark
(3%); atau stroke (2%). Gempa bumi yang terjadi di Jepang tahun 2011, tepatnya di
wilayah Fukushima, Miyagi dan Iwate dengan kekuatan 9,0 skala richte, menyebabkan
7.197 jiwa tewas dan 10.905 resmi dinyatakan hilang. Sejumlah korban pada kejadian
gempa besar di Jepang tahun 2011 mengalami eksaserbasi dan kematian akibat penyakit
kronis, termasuk hipertensi, diabetes, kanker, dan penyakit pernapasan kronis (Tomio &
Sato, 2014).
5.
2.4 Perawatan Populasi Rentan Pada Lansia

Proses penuaan (aging process) dalam perjalanan hidup manusia merupakan suatu
hal yang wajar, dan akan dialami oleh semua orang yang dikaruniai umur panjang.
Menurut teori perkembangan manusia di mulai dari masa bayi, anak, remaja, dewasa, tua
dan akhirnya masuk pada fase usia lanjut dengan umur 60 tahun dan di atas 60 tahun.
Seiring berjalannya waktu, proses penuaan tersebut terjadi secara natural. Masa
penuaan inilah yang kemudian banyak terjadi penurunan- penurunan dilihat dari aspek
fisik dan psikologis. Kondisi yang sudah udzur sebagaimana digambarkan ayat di atas
akan menyebab kan penurunan yang menggerogoti lanjut usia. Kelemahan biologis
terlihat mempengaruhi keberadaan manusia usia lanjut. Penurunan pada fisik bisaanya
ditandai dengan bahu membungkuk dan tampak mengecil, perut membesar dan tampak
membuncit, pinggul tampak menggendor dan tampak lebih besar, garis pinggang
melebar, payudara pada wanita akan mengendor, hidung menjulur lemas, bentuk mulut
akan berubah karena hilangnya gigi, mata kelihatan pudar, dagu berlipat dua atau tiga,
kulit berkerut dan kering, rambut menipis dan menjadi putih.

Sedangkan secara psikologis, ciri-ciri penurunannya adalah kesepian, duka cita


(Breavement), depresi, gangguan cemas, parafrenia, dan sindroma diogenes. Banyaknya
penurunan-penurunan ini kemudian masyarakat menganggap lansia itu lemah dan
membebankan. Akhirnya tidak sedikit diantara mereka membawa bapak atau ibunya
yang lanjut usia ke panti jompo atau panti wredha, baik yang berada dibawah naungan
dinas sosial maupun swasta.
Ditegaskan pula dalam UU No 13 tahun 1998 pasal 5 ayat 1 bahwa lanjut usia
mempunyai hak yang sama dalam kehidupan bemasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Artinya disamping lanjut usia diberi hak untuk bermasyarakat, undang-undang tersebut
memberi penjelasan kepada masyarakat agar tidak lagi beranggapan bahwa lansia itu
membebankan, walaupun masih ada yang menitipkan para lansia ke balai pelayanan
karena dilihat dari faktor lain misal ekonomi yang begitu rendah.
Begitu pula menurut hasil observasi tertanggal 6 agustus 2015, lansia yang berada di
Balai Pelayanan Sosial (Bapelsos) Cepiring Kendal adalah mereka keluarga yang
terlantar. Terlantar di sini memiliki dua arti, yang pertama yaitu terlantar karena dijalan
dan yang kedua terlantar karena keluarga tidak mampu merawat lagi. Balai Pelayanan
Sosial Cepiring Kendal tetap membuka kepada siapa saja yang tidak mampu merawat
keluarganya yang sudah lanjut usia. Balai ini sebagai pelaksana teknis Dinas Sosial Jawa
Tengah, secara operasional menyelenggarakan pelayanan kesejahteraan sosial yang
bertanggungjawab membantu golongan lanjut usia yang tidak mampu agar dapat
menikmati hari tuanya.
Lansia yang berada di balai sangat beragam, kebanyakan dari mereka merasa sedih
dan kesepian, sedikit diantara mereka yang merasa senang dan bahagia karena jauh dari
keluarganya. Berbagai upaya kegiatan dilakukan oleh balai dalam rangka memberikan
aktifitas kepada para lansia agar tetap bersemangat dan termotivasi dalam menjalani
kehidupan. Termasuk bimbingan keagamaan yang dilakukan setiap hari Selasa dan
Kamis pukul 14.00 WIB, dan Kamis malam pukul 18.00 WIB. Materi setiap selasa dan
kamis yaitu bimbingan agama oleh instruktur dari Departemen Agama, dan instruktur
dari tokoh masyarakat, serta malam jum’at yaitu istighosah dari Modin daerah.

Tujuan dari pelaksanaan bimbingan agama tersebut adalah untuk memberi motivasi,
mengingatkan agar selalu tekun beribadah, dan mengingatkan agar selalu bertakwa
kepada Allah SWT. Pada umumnya balai pelayanan sosial membangun kemitraan
dengan pihak lain dalam upaya memenuhi serangkaian kegiatan pelayanan sosial
termasuk bimbingan penyuluhan Islam, baik itu dari penyuluh agama, Kementrian
Agama, Kyai atau Ustad, maupun perangkat desa ataupun Modin kelurahan. Hal ini
terjadi karena balai tidak memiliki tenaga yang kompeten dalam bidang bimbingan
penyuluhan Islam.

7.
2.5 Perawatan Populasi Rentan Pada Disabilitas
Disabilitas merupakan buah perjuangan dari usaha yang telah dilakukan semenjak
tahun 2006. Kebijakan PRB inklusif merupakan salah satu kebijakan yang diatur dalam
Perda Kabupaten Klaten Nomor 2 Tahun 2011 tentang Kesetaraan, Kemandirian dan
Kesejahteraan Difabel. Kebijakan ini juga diperjuangkan bersama kebijakan-kebijakan
lainnya seperti pendidikan inklusif dan pembangunan infrastruktur yang mudah diakses
oleh penyandang disabilitas. Walaupun perda tersebut sudah mengatur kebijakan untuk
penyandang disabilitas semenjak tahun 2011 namun BPBD Kabupaten Klaten baru
merespon kebijakan ini pada Tahun 2015. Klaten menjadi salah satu kabupaten yang
pertama membuat kebijakan PRB Inklusif bagi penyandang disabilitas. Alasan-alasan
dibalik Pemerintah Kabupaten Klaten dalam merespon kebijakan ini dapat diketahui
melalui agenda setting kebijakan. Menganalisis proses agenda setting kebijakan
dilakukan dengan melakukan pengamatan terhadap perjalanan sebuah isu sampai
akhirnya berada di tangan pemerintah. Agenda setting kebijakan merupakan tahapan
yang krusial karena menyangkut dengan pendefinisan problem, pembuatan daftar
proposal dan pemilihan kebijakan yang tepat.
Kubu pertama adalah kubu yang berpandangan bahwa disabilitas adalah sebuah
ketidakmampuan dalam menjalankan apapun. Kubu ini adalah kubu yang memiliki
pandangan bahwa penyandang disabilitas adalah manusia yang perlu dikasihani.
Pandangan kubu ini akan menghasilkan kebijakan charity based. Charity based akan
menghasilkan program-program yang isinya hanya untuk mengasihani saja seperti
program bantuan sosial, pemberian kursi roda, dan lain sebagainya. Pemberian
programprogram ini sebenarnya tidak salah, hanya saja program ini juga perlu diimbangi
dengan adanya kesadarah bahwa penyandang disabilitas dan non disabilitas adalah sama.
Aktor-aktor yang memiliki pandangan ini biasanya perlu mendapatkan disability
awarenes untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman tentang disabilitas. Kubu yang
kedua adalah kubu yang berpandangan bahwa disabilitas dan non disabilitas adalah
sama-sama manusia dan samasama memiliki kemampuan yang sama jika diberikan
fasilitas yang adil. Pandangan kubu ini akan menghasilkan kebijakan right on. Kebijakan
right on adalah kebijakan yang tepat dan adil karena memberikan fasilitas yang sama
berdasarkan asas keadilan. Contoh dari kebijakan yang dihasilkan pada kubu ini adalah
kebijakan untuk mendorong keterlibatan penyandang disabilitas dalam merencanakan
dokumendokumen dalam manajemen bencana serperti rencana operasional, rencana
kontigensi dan dokumen rencana penaggulangan bencana. Kebijakan yang dihasilkan
oleh kubu ini adalah kebijakan yang berlandasakan pada twin track approach, yang
mengusahakan adanya persamaan untuk memperoleh fasilitas apapun. dan mendorong
adanya keberdayaan penyandang disabilitas dalam semua aspek kehidupan. Kubu ini
dianggap menghasilkan kebijakan yang tepat karena kubu ini sudah memiliki disability
awareness.

2.6 Perawatan Populasi Rentan Pada Sakit Mental


Sebab-Sebab Gangguan Jiwa dan Cacat Mental 139 Menurut Sigmund Freud dalam
Santrock (1999) adanya gangguan tugas perkembangan pada masa anak terutama dalam
hal berhubungan dengan orang lain sering menyebabkan frustasi, konflik, dan perasaan
takut, respon orang tua yang mal adaptif pada anak akan meningkatkan stress, sedangkan
frustasi dan rasa tidak percaya yang berlangsung terus-menerus dapat menyebabkan
regresi dan withdral. Disamping hal tersebut di atas banyak faktor yang mendukung
timbulnya gangguan jiwa yang merupakan perpaduan dari beberapa aspek yang saling
mendukung yang meliputi Biologis, psikologis, sosial, lingkungan. Tidak seperti pada
penyakit jasmaniah, sebabsebab gangguan jiwa adalah kompleks. Pada seseorang dapat
terjadi penyebab satu atau beberapa faktor dan biasanya jarang berdiri sendiri.
Mengetahui sebab-sebab gangguan jiwa penting untuk mencegah dan mengobatinya.
Umumnya sebab-sebab gangguan jiwa menurut Santrock (1999) dibedakan atas
jasmaniah/biologic seperti halnya, keturunan, jasmaniah seperti kegemukan yang
cenderung menderita psikosa manik depresi dan dapat pula menjadi skizofernia,
tempramen karena orang yang terlalu peka/ sensitif, penyakit dan cedera tubuh. Selain
karena jasmaniah/biologic, gangguan jiwa dapat pula terjadi karena psikologik seperti
pengalaman frustasi, kegagalan dan keberhasilan yang dialami akan mewarnai sikap,
kebiasaan dan sifatnya dikemudian hari. Hidup seorang manusia dapat dibagi atas 7 masa
dan pada keadaan tertentu dapat mendukung terjadinya gangguan jiwa. Gangguan jiwa
dapat pula terjadi karena Sosio Kultural yaitu, kebudayaan secara teknis adalah ide atau
tingkah laku yang dapat dilihat maupun yang tidak terlihat. Faktor budaya bukan
merupakan penyebab langsung menimbulkan gangguan jiwa, biasanya terbatas
menentukan “warna” gejala-gejala. Di samping mempengaruhi pertumbuhan dan
perkembangan kepribadian seseorang misalnya melalui aturan-aturan kebiasaan yang
berlaku dalam kebudayaan tersebut. Pada keterbelakangan mental memiliki bermacam-
macam penyebab seperti karena keturunan atau gen dari orang tua, pola makan sang Ibu
pada masa kehamilan, pola hidup sang ibu ketika masa kehamilan dan umur ibu pada
masa kehamilan juga dapat menjadi penyebab anak terlahir dengan cacat mental. Walau
penyebab antara penyakit mental dan keterbelakangan mental berbeda akan tetapi
perlakuan masyarakat yang mereka terima kerap kali serupa. Macam-macam Gangguan
Jiwa dan Keterbelakangan Mental Terdapat macam-macam gangguan jiwa yang dimiliki
oleh beberapa penderita di dunia, menurut Rusdi (1998) adapaun macam-macam dari
gangguan jiwa, yaitu: “Gangguan jiwa organik dan simtomatik, skizofrenia, gangguan
skizotipal dan gangguan waham, gangguan suasana perasaan, gangguan neurotik,
gangguan somatoform, sindrom perilaku yang berhubungan dengan gangguan fisiologis
dan faktor fisik, Gangguan kepribadian dan perilaku masa dewasa, retardasi mental,
gangguan perkembangan psikologis, gangguan perilaku dan emosional dengan onset
masa kanak dan remaja (Rusdi, 1998)”.

10.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan makalah diatas kami dapat menyimpulkan bahwa perawatan populasi
rentan pada ibu hamil, anak-anak, penyakit kronis, lansia, disabilitas, sakit mental diatur
dalam UU No.24/2017, Pasal 55, Ayat 2 kelompok yang terdampak lebih berat
diakibatkan adanya kekurangan dan kelemahan yang dimilikinya yang pada saat
bencana terjadi menjadi resiko lebih besar, meliputi: ibu hamil, anak-anak, penyakit
kronis, lansia, disabilitas, sakit mental. Ibu yang sedang mengandung/menyusui;
penyandang cacat (disabilitas); dan orang lanjut usia.

3.2 Saran
Kami menyadari bahwa makalah diatas banyak sekali kesalahan dan jauh dari
kesempurnaan. Kami dapat memperbaiki makalah tersebut dengan berpedoman pada
banyak sumber yang dapat dipertanggung jawabkan. Maka dari itu kami mengharapkan
kritik dan saran mengenai pembahasan makalah diatas.
PROBLEM PSIKOSPIRITUAL LANSIA DAN SOLUSINYA DENGAN
BIMBINGAN PENYULUHAN ISLAM
(Studi Kasus Balai Pelayanan Sosial Cepiring Kendal)

Mei Fitriani

Penyuluh Agama Tetap Non PNS Kabupaten Pemalang Email:


meyfitrianie@gmail.com

Abstract

Elderly is the stage of human development that has decreased both physical and
psychological. Various causes of the decline in the elderly did not carry out a social
function in the community maximally. The decline in these conditions also affects the
elderly who turned psych spiritual problems with the theory that a person's spiritual will
increase when entering elderly age. Islamic Guidance and Counseling is one way that can
be given to treat variety problems of the elderly psych spiritual, such as loss of meaning in
life, easy emotion, and alienation with their selves. Hall of social services of Kendal
Cepiring is one of the center that provide guidance and counseling services for the elderly
fostered Islam. The service is able to deliver the elderly to find meaning in life, be diligent
in worship and control self-emotion.

Kondisi udzur sebagaimana digambarkan dalam Qur’an surat Ar-Rum ayat 54,
menyebutkan tentang penurunan yang menggerogoti lanjut usia. Penurunan tersebut terdiri
dari fisik dan psikis yang menyebabkan lansia tidak melaksanakan fungsi sosial didalam
masyarakat secara maksimal. Penurunan kondisi pada lansia tersebut juga berpengaruh
terhadap psikospiritual lansia yang berbalik dengan teori yang menyebutkan spiritual
seseorang akan meningkat saat memasuki usia lanjut. Balai pelayanan merupakan tempat
yang tepat bagi masyarakat dan lansia yang tidak mampu mengatasi masalah-masalah pada
lansia terutama spirtitual. Adanya penyuluh agama Islam di balai pelayanan diharapkan
mampu membimbing lansia secara maksimal yaitu sebagai motivator, stabilitator dan
direktif. Hal itu dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk kegiatan lansia di balai
pelayanan yaitu bimbingan keagamaan.
Keywords: Elderly, psych spiritual, guidance, counseling
A. Pendahuluan

Proses penuaan (aging process) dalam perjalanan hidup manusia merupakan suatu
hal yang wajar, dan akan dialami oleh semua orang yang dikaruniai umur panjang.
Menurut teori perkembangan manusia di mulai dari masa bayi, anak, remaja, dewasa, tua
dan akhirnya masuk pada fase usia lanjut dengan umur 60 tahun dan di atas 60 tahun.
Seiring berjalannya waktu, proses penuaan tersebut terjadi secara natural. Masa
penuaan inilah yang kemudian banyak terjadi penurunan- penurunan dilihat dari aspek
fisik dan psikologis. Penurunan pada lanjut usia (lansia) tercantum jelas dalam Al-Quran:

Artinya: “Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia
menjadikan kamu sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia
menjadikan kamu sesudah kuat itu lemah kembali dan beruban. Dan menciptakan
apa yang dikehendaki-Nya dan Dialah yang maha mengetahui lagi maha kuasa”

(Qs.Ar-Rum: 54)2

Kondisi yang sudah udzur sebagaimana digambarkan ayat di atas akan menyebab
kan penurunan yang menggerogoti lanjut usia. Kelemahan biologis terlihat
mempengaruhi keberadaan manusia usia lanjut. Penurunan pada fisik bisaanya ditandai
dengan bahu membungkuk dan tampak mengecil, perut membesar dan tampak
membuncit, pinggul tampak menggendor dan tampak lebih besar, garis pinggang
melebar, payudara pada wanita akan mengendor, hidung menjulur lemas, bentuk mulut
akan berubah karena hilangnya gigi, mata kelihatan pudar, dagu berlipat dua atau tiga,
kulit berkerut dan kering, rambut menipis dan menjadi putih.
Sedangkan secara psikologis, ciri-ciri penurunannya adalah kesepian, duka cita
(Breavement), depresi, gangguan cemas, parafrenia, dan sindroma diogenes. Banyaknya
penurunan-penurunan ini kemudian masyarakat menganggap lansia itu lemah dan
membebankan. Akhirnya tidak sedikit diantara mereka membawa bapak atau ibunya yang
lanjut usia ke panti jompo atau panti wredha, baik yang berada dibawah naungan dinas
sosial maupun swasta.
Ditegaskan pula dalam UU No 13 tahun 1998 pasal 5 ayat 1 bahwa lanjut usia
mempunyai hak yang sama dalam kehidupan bemasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Artinya disamping lanjut usia diberi hak untuk bermasyarakat, undang-undang tersebut
memberi penjelasan kepada masyarakat agar tidak lagi beranggapan bahwa lansia itu
membebankan, walaupun masih ada yang menitipkan para lansia ke balai pelayanan
karena dilihat dari faktor lain misal ekonomi yang begitu rendah.
Begitu pula menurut hasil observasi tertanggal 6 agustus 2015, lansia yang berada
di Balai Pelayanan Sosial (Bapelsos) Cepiring Kendal adalah mereka keluarga yang
terlantar. Terlantar di sini memiliki dua arti, yang pertama yaitu terlantar karena dijalan
dan yang kedua terlantar karena keluarga tidak mampu merawat lagi. Balai Pelayanan
Sosial Cepiring Kendal tetap membuka kepada siapa saja yang tidak mampu merawat
keluarganya yang sudah lanjut usia. Balai ini sebagai pelaksana teknis Dinas Sosial Jawa
Tengah, secara operasional menyelenggarakan pelayanan kesejahteraan sosial yang
bertanggungjawab membantu golongan lanjut usia yang tidak mampu agar dapat
menikmati hari tuanya.
Lansia yang berada di balai sangat beragam, kebanyakan dari mereka merasa sedih
dan kesepian, sedikit diantara mereka yang merasa senang dan bahagia karena jauh dari
keluarganya. Berbagai upaya kegiatan dilakukan oleh balai dalam rangka memberikan
aktifitas kepada para lansia agar tetap bersemangat dan termotivasi dalam menjalani
kehidupan. Termasuk bimbingan keagamaan yang dilakukan setiap hari Selasa dan
Kamis pukul 14.00 WIB, dan Kamis malam pukul 18.00 WIB. Materi setiap selasa dan
kamis yaitu bimbingan agama oleh instruktur dari Departemen Agama, dan instruktur
dari tokoh masyarakat, serta malam jum’at yaitu istighosah dari Modin daerah.
Tujuan dari pelaksanaan bimbingan agama tersebut adalah untuk memberi
motivasi, mengingatkan agar selalu tekun beribadah, dan mengingatkan agar selalu
bertakwa kepada Allah SWT. Pada umumnya balai pelayanan sosial membangun
kemitraan dengan pihak lain dalam Observasi tentang latar belakang para lansia di Balai
Pelayanan Sosial Cepiring Kendal tanggal 6 agustus 2015 Undang-Undang No 13 tahun
1998 Peraturan Gubernur No 53 tahun 2013 Observasi 6 agustus 2015 Wawancara
dengan bapak Nurudhin tanggal 13 agustus 2015

B. Problem Psikospiritual Lanjut Usia (Lansia)

1. Pengertian Problem Psikologi

Psikologi berasal dari kata “psyche” yang berarti jiwa dan “logos” yang berarti ilmu,
jiwa sering dihubungkan dengan masalah mistik atau kebatinan dan kerohaniaan, namun
para sarjana lebih suka menggunakan istilah psikologi. Makna “psyche” adalah jiwa
namun objek utama psikologi bukanlah jiwa, karena jiwa tidak dapat dipelajari secara
ilmiah. Objek psikologi adalah tingkah laku manusia atau gejala kejiwaan.
Kemudian dapat penulis pahami bahwa pengertian problem psikologi adalah suatu
persoalan perilaku, perbuatan atau proses-proses mental dan alam pikiran manusia yang
menuntut adanya suatu pemecahan karena keadaan yang tidak sesuai.
2. Pengertian problem spiritual

Spiritual adalah potensi yang ada dalam diri manusia yang berhubungan dengan aspek
ajaran agama dan keyakinannya. Pengertian luas mengenai spiritual mencakup
pengetahuan, pemahaman dan pengalaman agama seseorang. Pengertian yang dijelaskan
oleh BKKBN, spiritual adalah suatu keyakinan yang percaya kepada kekuatan yang maha
kuasa (Tuhan) diatas segala kemampuan manusia.
Menurut Webster, spiritual berasal dari kata “spiritus” yang artinya nafas dan kata
kerjanya “spirare” yang berarti untuk bernafas. Spiritualitas merupakan kebangkitan atau
pencerahan diri dalam mencapai tujuan dan makna hidup. Menurut Hasan, spiritualitas
merupakan bagian esensial dari keseluruhan kesehatan dan kesejahteraan seseorang
dalam pengertian yang lebih luas spirit dapat diartikan.
1. Kekuatan kosmis yang memberi kekuatan kepada manusia (yunani kuno)
2. Mahluk immaterial seperti peri, hantu dan sebagainya
3.Sifat kesadaran, kemauan, dan kepandaian dalam alam menyeluruh

4. Jiwa luhur dalam alam yang bersifat mengetahui semuanya, mempunyai akhlak tinggi,
menguasai keindahaan, (Ahyadi, 2001: 23).

5. Dalam agama mendekati kesadaran agama;

6. Hal yang terkandung minuman keras dan menyebabkan mabuk.


Hidayanti, Ema, Model Bimbingan Mental Spiritual. (Semarang: LP2M IAIN
Walisongo, 2014), hal 25

Direktorat Bina Ketahanan Keluarga Besar Lansia, 2012: 3

Hasan, Aliyah Purwakania, Psikologi Perkembangan Islami. Jakarta: PT Rajagrafindo


Persada, 2006), hal: 288 (Jalaludin, 2010:330)
Konsep spiritual memiliki arti yang berbeda dengan konsep religius. Banyak yang
tidak dapat membedakan kedua konsep tersebut karena menemui kesulitan dalam
memahami keduanya. Kedua hal tersebut memang sering digunakan secara bersamaan
dan saling berhubungan satu sama lain. Konsep religius bisaanya berkaitan dengan
pelaksanaan suatu kegiatan atau proses melakukan suatu tindakan. Konsep religius
merupakan suatu sistem penyatuan yang spesifik mengenai praktik yang berkaitan bentuk
ibadah tertentu.
Dengan demikian religi adalah proses pelaksanaan suatu kegiatan ibadah yang
berkaitan dengan keyakinan tertentu. Hal tersebut dilakukan dengan tujuan untuk
menunjukkan spiritualitas diri mereka. Sedangkan spiritual memiliki konsep yang lebih
umum mengenai keyakinan seseorang. Keyakinan dan kepercayaan akan Tuhan bisaanya
dikaitkan dengan istilah agama, konsep yang dipahami tentang spiritual dan religious
seseorang merupakan bagian dari spiritual, jika spiritual seseorang tinggi maka religus
seseorang cenderung lebih baik namun ketika religius seseorang tinggi belum berarti
spiritual seseorang tinggi dilihat dari beberapa tingkah laku yang sesuai dengan ajaran
agama. Menurut Danah Zohar dan Ian Marshall, spiritual merupakan bagian dari
kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional, mereka menyebutkan bahwa SQ
(Spiritual Quotion) tidak ada hubungannya dengan agama. Meskipun seseorang dapat
mengekspesikan SQ melalui agama
Di dunia ini, banyak agama yang dianut oleh masyarakat sebagai wujud
kepercayaan mereka terhadap keberadaan Tuhan. Tiap agama yang ada di dunia memiliki
karakteristik yang berbeda mengenai hal-hal yang berkaitan dengan kepercayaan dan
keyakinan sesuai dengan prinsip yang mereka pegang teguh. Keyakinan tersebut juga
mempengaruhi seseorang individu untuk menilai sesuatu yang ada sesuai dengan apa
yang diyakininya. Contoh, pandangan seorang Muslim mengenai suatu penyakit tentunya
berbeda dengan persepsi seorang Budha. Semua itu tergantung konsep spiritual yang
dipahami sesuai dengan keyakinan dan keimanan seorang individu.
Dimensi spiritual berupaya untuk mempertahankan keharmonisan atau keselarasan
dengan dunia luar, berjuang untuk menjawab atau mendapatkan kekuatan ketika sedang
menghadapi stress emosional,
Syamsu Yusuf, Mental hygiene perkembangan Kesehatan Mental dalam Kajian
Psikologi dan Agama, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2005), hal 248
penyakit fisik, atau kematian. Kekuatan timbul diluar kemampuan manusia. Spiritualitas
sebagai suatu yang multidimensi, yaitu dimensi eksistensial dan dimensi agama. Dimensi
eksistensial berfokus pada tujuan dan arti kehidupan, sedangkan dimensi agama lebih
berfokus pada hubungan seseorang dengan Tuhan Yang Maha Penguasa. Spiritualitas
juga bisa dilihat sebagai konsep dua dimensi yaitu dimensi vertikal dan horizontal.
Dimensi vertikal adalah hubungan dengan Tuhan Yang Maha Tinggi yang menuntun
kehidupan seseorang. Dimensi horizontal adalah hubungan seseorang dengan diri sendiri,
dengan orang lain dan dengan lingkungan
Berdasarkan penjelasan di atas, maka spiritual bisa dipahami sebagai potensi yang
ada dalam diri manusia berhubungan dengan aspek ajaran agama dan keyakinannya.
dengan demikian bisa dirumuskan pengertian problem spiritual adalah suatu
permasalahan yang berkaitan dengan potensi manusia tentang ajaran agama dan
keyakinannya.

3. Pengertian Lanjut usia

Lanjut usia adalah periode penutup rentang hidup seseorang, yaitu suatu periode
dimana seseorang telah beranjak jauh dari periode terdahulu (Hurlock, 1998: 380).
Tahap usia lanjut merupakan tahap terjadinya penuaan dan penurunan, yang lebih
jelas daripada tahap usia baya. Pada usia lanjut, terjadi penurunan kemampuan fisik
aktivitas menurun, sering mengalami gangguan kesehatan, dan mereka cenderung
kehilangan semangat. Penuaan merupakan perubahan kumulatif pada makhluk hidup,
termasuk tubuh, jaringan dan sel, yang mengalami penurunan kapasitas fungsional. Pada
manusia, penuaan dihubungkan dengan perubahan degenerative pada kulit, tulang,

jantung, pembuluh darah, paru-paru, saraf dan jaringan tubuh lainnya20


Adapun batasan umur lanjut Usia yang dijadikan patokan berbeda- beda, umumnya
berkisar 60-65 tahun. Beberapa pendapat para ahli tentang batasan usia bagi lanjut usia
yang pertama menurut WHO ada empat tahapan yaitu usia pertengahan (middle age)
antara 45-59 tahun, usia lanjut (elderly) antara 60-74 tahun, dan usia lanjut tua (old)

antara 75- 90 tahun, serta usia sangat tua (very old) di atas 90 tahun21
20 Hasan, Aliyah Purwakania, Psikologi Perkembangan Islami. Jakarta: PT
Rajagrafindo Persada, 2006, hal 117

21 Artinawati, Sri, Asuhan Keperawatan Gerontik. Bogor: Penerbit IN Media, 2014, hal

4
Sementara Smith dalam Hurlock (1998: 380), membagi lansia dalam tiga kategori
yaitu: orang tua muda yaitu yang berusia 65-74 tahun, orang tua-tua yaitu yang berusia

75-84 tahun, orang tua sangat tua yaitu lansia yang berusia 85 keatas. 22 Menurut Hurlock
lanjut usia ada dua tahapan yaitu early old age (usia 60-70 tahun), dan advanced old age
(usia >70 tahun).
Di Indonesia, batasan lanjut usia adalah 60 tahun ke atas. Hal ini dipertegas dalam
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang kesejahteraan lanjut usia pada Bab 1

Pasal 1 Ayat 2.23 Pada tanggal 29 Mei 1996 ditetapkanlah hari lanjut usia pada tanggal
29 yang diterbitkan oleh Departemen Sosial dalam rangka pencananganhari lanjut usia

nasional.24
Penjelasan tersebut di atas, dapat penulis pahami bahwa lanjut usia (lansia) adalah
seseorang yang telah memasuki sebuah usia dan ditandai pula dengan penurunan-
penurunan fisik dan psikis. Usia yang penulis jadikan patokan berdasarkan undang-
undang yaitu 60 tahun keatas.

4. Pengertian problem psikospiritual lansia.

Kesehatan manusia yang meliputi tiga elemen yaitu kesehatan fisik, mental dan

kesehatan rohani atau spiritual25 terdapat banyak kajian ilmiah menerangkan secara
mendalam tentang kesehatan fisik dan mental, namun kajian berkaitan dengan spiritual
masih kurang dilakukan.
Telah dijelaskan pengertian problem psikologis dan problem spiritual, berdasarkan
pengertian tersebut maka dapat diketahui bahwa pengertian problem psikospiritual
memiliki arti berbeda. Pada dasarnya problem psikologi adalah suatu persoalan perilaku,
perbuatan atau proses- proses mental dan alam pikiran diri atau orang yang berperilaku
yang dirasakan dan menuntut adanya suatu pemecahan masalah. Sedangkan problem
spiritual adalah suatu permasalahan yang berkaitan dengan potensi manusia tentang
ajaran agama dan keyakinannya.
Ketika dicermati, problem spiritual artinya kondisi seseorang ketika spiritualnya
sedang bermasalah atau terganggu. Jika sudah terganggu artinya perlu segera diberikan
upaya agar kembali normal. Istilah dalam psikologi dikatakan sebagai kesehatan mental.
Kesehatan mental membahas tentang upaya, metode dan prosedur melalui beberapa tahap
22 Santrock, Ohn W, Life Span Development, (Jakarta: Erlangga, 2011), hal 193

23 Artinawati, Sri, Asuhan Keperawatan Gerontik. Bogor: Penerbit IN Media, 2014, hal 6

24 Departemen Kesehatan,1999:2

25 http://www.who.inten/30 april 2016


diantaranya adalah relasi ketuhanan (spiritual), dimana seseorang secara terus menerus
membangun ritual dengan Tuhannya sehingga melahirkan perasaan-perasaan spiritual

dengan Tuhannya26. Ary Ginanjar juga memandang spiritual sebagai aspek penting yang
mampu memberi kesegaran rohani yang berarti dalam menumbuh kembangkan kesehatan
mental. Apabila dicermati penjelasan tersebut, pada dasarnya spiritual merupakan bagian

dari kejiwaan atau psikologi seseorang yang berkaitan dengan dimensi ketuhanan. 27
Adapula konsep psikospiritual Islam yang disandarkan kepada sarjana Islam awal

seperti Al-Imam Ghozali.28 Menurut Al-Ghazali manusia terdiri daripada tiga unsur
yaitu roh, akal dan nafsu. Al-Ghazali menjelaskan bahwa roh merupakan elemen spiritual
yang perlu sentiasa dijaga dan dibersihkan karena unsur tersebut sangat penting untuk
kesehatan. Selain itu, manusia juga merupakan individu yang rasional atau individu yang

mempunyai akal. Akal dalam konteks ini dikaitkan dengan juga dengan unsur spiritual.29
Elemen akal atau rasional dalam manusia merujuk kepada upaya untuk bertutur,
pemahaman, tanggungjawab, dan dapat melakukan pertimbangan dan penjelasan. Selain

roh, akal, dan nafsu menurut Al- Ghazali turut merujuk pada spiritual. 30 Dengan
demikian dapat penulis pahami bahwa problem psikopsiritual lansia adalah suatu gejala
kejiwaan yang berkaitan dengan dimensi ketuhanan dan merupakan ketidak idealan
mental yang terjadi pada lansia.

5. Indikator problem psikospiritual lansia

Setiap orang yang memasuki usia lanjut memiliki gangguan psikologis dan spiritual
dalam hidupnya. Hal itu wajar terjadi terutama bagi orang yang kurang siap menghadapi

perubahan hidup dan kehidupan. Indikator gangguan psikologis menurut BKKBN 31


sebagai berikut:

26 Rajab, Khairunnas, Religius Psikologi,(Yogyakarta: Aswajapressindo, 2011), hal 34

27 Agustian, Ary Ginanjar, Rahasia Sukses Membangkitkan ESQ Power; Sebuah


Inner Journey Melalui Ihsan, Jakarta: Arga 2004, hal 142
28 Hamid, Achir Yani, Bunga Rampai Asuhan Keperawatan Kesehatan Jiwa,
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2009, hal 12-15

29 Hamid, Achir Yani, Bunga Rampai Asuhan Keperawatan Kesehatan Jiwa,


Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2009, hal 12-15

30 Hamid, Achir Yani, Bunga Rampai Asuhan Keperawatan Kesehatan Jiwa,


Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2009, hal 12-15

31 (2012:5-6)
a. Kecemasan dan ketakutan.

Perasaan ketidakpastian dalam menghadapi masa depan yang berubah jauh dari
pola hidup bisaanya, banyak dialami oleh lansia. Hal itu muncul karena berbagai hal
seperti daya tahan tubuh dan fungsi organ tubuh yang menurun, kesibukan kerja dan
posisi jabatan yang hilang, kehidupan rumah tangga yang kurang harmonis dan
sebagainya ikut mempengaruhi kepribadian seseorang yang memasuki usia lansia.
Kekhawatiran sosial takut merasa tersingkir dari lingkungan apalagi ketika aktif suka
dihormati dan ditakuti orang (bawahan) karena sikapnya yang arogan, sombong dan
kurang komunikatif dengan oranglain. Rasa takut dan cemas ketika memasuki lansia
akan menambah potensi terserang penyakit fisik dan psikologis, kecuali orang yang
mampu menghadapi perubahan keadaan dengan pegangan sipiritual yang kuat dan
mantap. Setiap yang muda akan tua dan setiap yang hidup akan mati. Karena itu
persiapkan hidup dihari dan persiapkan diri menghadapi kematian dengan mendekatkan
diri kepada Yang Maha Pencipta (Tuhan).

b. Mudah tersinggung dan cenderung emosional.

Pertambahan umur dan perubahan fisik jasmani, langsung atau tidak langsung akan
mempengaruhi kemantapan emosional dan ketabahan spiritual seseorang. Lansia
umumnya memiliki kepribadian yang labil, mudah tersinggung, takut kesepian, turun
percaya diri, nostalgia dengan masa jaya (lampau) dan merasa pernah berjasa tetapi tidak
dihargai orang. Sikap dan emosi tersebut hanya bisa diatasi dengan melakukan
introspeksi diri dan mawas diri sekaligus mendekatkan diri kepada Tuhan. Dunia ini
adalah tempat hidup dan mengabdikan diri sebagai bekal hidup yang lebih abadi
diakherat. Upayanya yaitu dengan mengendalikan emosi dan berusaha melakukan
pendekatan diri kepada Tuhan, semoga segala amal perbuatan yang baik diterima dan
yang tidak baik diampuni-Nya sebelum kita menemui ajal.

c. Banyak bercerita, berkata dan kurang mau mendengar.


Salah satu sikap dan perilaku lansia umumnya suka bercerita panjang dan berulang
tentang kondisi masalalu yang sukses (nostalgia). Padahal indra utama yang berfungsi
ketika lahir adalah pendengaran. Karena itu, lansia perlu melatih diri menjadi pendengar
yang baik terhadap cerita dan pengalaman yang lebih muda, sehingga dapat memberikan
pandangan dan nasehat kepada yang lebih muda. Banyak berbicara dan
berkata-kata kemungkinan besar akan banyak melakukan kesalahan termasuk cerita yang
ditambah sehingga dapat menjadi fitnah (dosa).
Sedangkan menurut Hurlock32, beberapa masalah psikologi lansia antara lain:
a. Kesepian (loneliness), yang dialami oleh lansia pada saat meninggalnya pasangan hidup,
terutama bila dirinya saat itu mengalami penurunan status kesehatan seperti menderita
penyakit fisik berat, gangguan mobilitas atau gangguan sensorik terutama gangguan
pendengaran harus dibedakan antara kesepian dengan hidup sendiri. Banyak lansia hidup
sendiri tidak mengalami kesepian karena aktivitas sosialnya tinggi, lansia yang hidup
dilingkungan yang beraggota keluarga yang cukup banyak tetapi mengalami kesepian.
b. Duka cita (bereavement),dimana pada periode duka cita ini merupakan periode yang
sangat rawan bagi lansia. meninggalnya pasangan hidup, temen dekat, atau bahkan hewan
kesayangan bisa meruntuhkan ketahanan kejiwaan yang sudah rapuh dari seorang lansia,
yang selanjutnya memicu terjadinya gangguan fisik dan kesehatannya. Adanya perasaan
kosong kemudian diikuti dengan ingin menangis dan kemudian suatu periode depresi.
Depresi akibat duka cita biasanya bersifat self limiting.
c. Depresi, pada lansia stress lingkungan sering menimbulkan depresi dan puan beradaptasi
sudah menurun.
d. Gangguan cemas, terbagi dalam beberapa golongan yaitu fobia, gangguan panik,
gangguan cemas umum, gangguan stress setelah trauma dan gangguan obsesif-kompulsif.
Pada lansia gangguan cemas merupakan kelanjutan dari dewasa muda dan bisaanya
berhubungan dengan sekunder akibat penyakit medis, depresi, efek samping obat atau
gejala penghentian mendadak suatu obat.
e. Psikosis pada lansia, dimana terbagi dalam bentuk psikosis bisa terjadi pada lansia, baik
sebagai kelanjutan keadaan dari dewasa muda atau yang timbul pada lansia.
f. Parafrenia, merupakan suatu bentuk skizofrenia lanjut yang sering terdapat pada lansia
yang ditandai dengan waham (curiga) yang sering lansia merasa tetangganya mencuri
barang-barangnya atau tetangga berniat membunuhnya. Parfrenia bisaanya terjadi pada
lansia yang terisolasi atau diisolasiatau menarik diri dari kegiatan sosial.
g. Sindroma diagnose, merupakan suatu keadaan dimana lansia menunjukkan penampilan
perilaku yang sangat mengganggu. Rumah

32 Hurlock, Elizabeth B, Psikologi Perkembangan, Jakarta: Erlangga, 1980, hal:380


atau kamar yang kotor serta berbau karena lansia ini sering bermain- smain dengan urin
dan fesesnya. Lansia sering menumpuk barang- barangnya dengan tidak teratur. Kondisi
ini walaupun kamar sudah dibersihkan dan lansia dimandikan bersih namun dapat
berulang kembali.
Selanjutnya problem psikologi bisa diindikasikan dari kematangan kepribadian

seseorang. Secara umum Gordon W. Allport dalam Ahyadi33 mengemukakan beberapa


ciri kematangan kepribadian sebagai berikut:
a. Berkembangnya kebutuhan sosial psikologis, rohaniah dan arah minat yang menuju pada
pemuasan ideal dan nilai-nilai sosial. Dapat melibatkan diri pada bermacam-macam
aktivitas tanpa mementingkan diri sendiri.
b. Kemampuan mengadakan introspeksi, merefleksikan diri sendiri, memandang diri sendiri
secara objektif dan kemampuan untuk mendapatkan pemahaman tentang hidup dan
kehidupan.
c. Kepribadian yang matang harus memiliki pandangan hidup keagamaan, kematangan
kepribadian tanpa dilandasi agama akan menunjukkan kehidupan yang miskin, kurang
bermakna dan mudah goyah.
Berdasarkan pendapat di atas dapat penulis pahami bahwa lansia memiliki
kecenderungan yang telah melewati masa kematangan kepribadian dalam psikologisnya.
Dengan demikian indikator problem psikologi berdasarkan Gordon W. Allport yang
penulis rumuskan adalah sebagai berikut:
a. Tidak berkembangnya kebutuhan sosial psikologis, rohaniah dan arah minat yang menuju
pada pemuasan ideal dan nilai-nilai sosial. Tidak dapat melibatkan diri pada bermacam-
macam aktivitas dan lebih mementingkan diri sendiri.
b. Tidak memiliki kemampuan mengadakan introspeksi, merefleksikan diri sendiri, dan
memandang diri sendiri secara objektif serta tidak mampu untuk mendapatkan
pemahaman tentang hidup dan kehidupan.
c. Tidak memiliki pandangan hidup keagamaan, ketika kepribadian seseorang tidak
dilandasi agama maka akan menunjukkan kehidupan yang miskin, kurang bermakna dan
mudah goyah.
Indikator problem spiritual kemudian dirumuskan dengan melihat indikator

spiritual34 yaitu hubungan dengan diri sendiri, hubungan dengan alam (harmoni),
hubungan dengan orang lain (harmonis atau suportif), dan
33 (2001:38)

34 Hamid, Achir Yani, Bunga Rampai Asuhan Keperawatan Kesehatan Jiwa,


Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2009, hal 4
hubungan dengan ketuhanan. Keempat karakteristik tersebut dideskripsikan sebagai
berikut:
a. Hubungan dengan diri sendiri (kekuatan dalam atau self-reliance) meliputi pengetahuan
diri (siapa dirinya, apa yang dapat dilakukannya) dan sikap percaya pada diri sendiri,
percaya pada kehidupan/masa depan, ketenangan pikiran, harmoni atau keselarasan
dengan diri sendiri.
b. Hubungan dengan alam (harmoni) meliputi: mengetahui tentang tanaman, pohon,
margasatwa, iklim dan berkomunikasi dengan alam (bertanam, berjalan kaki),
mengabadikan dan melindungi alam.
c. Hubungan dengan orang lain (harmonis atau suportif) meliputi: berbagi waktu,
pengetahuan dan sumber secara timbal balik, mengasuh anak, orang tua dan orang sakit,
serta meyakini kehidupan dan kematian (mengunjungi, melayat dan lain-lain), dikatakan
tidak harmonis apabila: konflik dengan orang lain, resolusi yang menimbulkan
ketidakharmonisan dan friksi.
d. Hubungan dengan ketuhanan meliputi: sembahyang atau berdoa atau meditasi,
perlengkapan keagamaan, dan lain-lain. Kondisi spiritual yang berhubungan dengan
tuhan ini berkaitan dengan kesadaran beragama para lansia. Ada beberapa fokus penelitan
yang berkaitan dengan hubungan ketuhanan sebagai berikut: kebutuhan akan kepercayaan
dasar, kesadaran beragama yang senantiasa terus menerus diulang untuk membangkitkan
kesadaran bahwa hidup adalah ibadah, kebutuhan akan makna hidup, kebutuhan akan
komitmen peribadatan dan hubungannya dalam hidup keseharian, kebutuhan akan
pengisian keimanan dengan selalu secara teratur mengadakan hubungan dengan Tuhan.
Problem spiritual juga dapat berkaitan dengan masalah spiritual menurut North

American Nursing Diagnosis Association dapat disebut dengan distress spiritual35.


Distres spiritual adalah kerusakan kemampuan dalam mengalami dan mengintegrasikan
arti dan tujuan hidup seseorang dihubungkan dengan agama, orang lain, seni, musik,

literature, alam, atau kekuatan yang lebih besar dari dirinya. 36 Mengacu pada pendapat
ini, maka masalah spiritual seseorang berkaitan dengan terganggunya dimensi ketuhanan
dalam dirinya.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat dirumuskan bahwa indikator problem
spiritual bisa mengacu pada indikator-indikator distress
35 (Faizah, 2006:26)

36 (Faizah, 2006:26)
Mei Fitriani Problem Psikospiritual Lansia ...

spiritual. Indikator tersebut salah satunya dirumuskan oleh Nanda37 sebagai berikut:
1. Berhubungan dengan diri, berkaitan dengan arti dan tujuan hidup, kedamaian,
penerimaan, cinta, memaafkan diri, dan keberanian. Kemudian marah, rasa bersalah, dan
koping buruk. Hubungan dengan diri sendiri yang meliputi pengetahuan diri (siapa
dirinya, apa yang dapat dilakukannya) dan sikap percaya pada diri sendiri, percaya pada
kehidupan/masa depan, ketenangan pikiran, harmoni atau keselarasan dengan diri sendiri,
seharusnya dapat direalisasikan dengan kehidupan lansia yang berada di balai. Namun
hubungan dengan diri sendiri tersebut bertolak belakang dengan apa yang terjadi di
Bapelsos tersebut, mayoritas lansia memiliki masalah dengan dirinya, terutama
ketenangan pikiran di masa tuanya.
2. Berhubungan dengan orang lain, meliputi: menolak berinteraksi dengan pemimpin
agama, menolak berinteraksi dengan teman dan keluarga, mengungkapkan terpisah dari
sistem dukungan, merasa terasingkan.
3. Berhubungan dengan seni, musik, literatur dan alam, meliputi: tidak mampu
mengekspresikan kondisi kreatif (bernyanyi, mendengar/ menulis musik), tidak ada
ketertarikan kepada alam, dan tidak ada ketertarikan kepada bacaan agama.
4. Berhubungan dengan kekuatan yang melebihi dirinya, meliputi; tidak mampu ibadah,
tidak mampu berpartisipasi dalam aktifitas agama, merasa ditinggalkan atau marah
kepada Tuhan, tidak mampu untuk mengalami transenden, meminta untuk bertemu
pemimpin agama, perubahan mendadak dalam praktek keagamaan, tidak mampu
introspeksidan mengalami penderitaan tanpa harapan.
Selain itu, North American Nursing Diagnosis Association 38 juga menegaskan
faktor yang berhubungan dari diagnosa distress spiritual adalah; mengasingkan diri,
kesendirian atau pengasingan sosial, cemas, deprivasi/kurang sosiokultural, kematian dan
sekarat diri atau orang lain, nyeri, perubahan hidup, dan penyakit kronis diri atau orang
lain.
Berdasarkan pada item-item tersebut, maka dalam penulisan ini penulis

menggunakan indikator problem psikologi lansia yang telah dirumuskan oleh BKKBN39
yaitu:
a. Kecemasan dan ketakutan.
b. Mudah tersinggung dan cenderung emosional.
Mei Fitriani Problem Psikospiritual Lansia ...

37 (Faizah,2006:27)

38 (Faizah 2006)

39 (2012:5-6)
Mei Fitriani Problem Psikospiritual Lansia ...

c. Banyak bercerita, berkata dan kurang mau mendengar.


Sedangkan indikator lain tentang problem spiritual lansia mengacu pada indikator-

indikator distress spiritual40 yaitu:


a. Kurang dalam pengharapan, arti dan tujuan hidup, kedamaian, penerimaan, cinta,
memaafkan diri, dan keberanian.
b. Kemudian marah, memiliki rasa bersalah, dan koping buruk, menolak berinteraksi
dengan pemimpin agama, menolak berinteraksi dengan teman dan keluarga.
c. Merasa terasingkan, tidak mampu mengekspresikan kondisi kreatif (bernyanyi,
mendengar/ menulis musik).
d. Tidak ada ketertarikan kepada alam, dan tidak ada ketertarikan kepada bacaan agama,
tidak mampu ibadah, tidak mampu berpartisipasi dalam aktifitas agama, merasa
ditinggalkan atau marah kepada Tuhan.
e. Tidak mampu untuk mengalami transenden, meminta untuk bertemu pemimpin agama,
perubahan mendadak dalam praktek keagamaan, tidak mampu introspeksidan mengalami
penderitaan tanpa harapan.

C. Bimbingan Penyuluhan Islam

Bimbingan penyuluhan agama Islam atau disebut dengan kata lain bimbingan
keagamaan, merupakan proses pemberian bantuan terhadap individu agar individu dapat
mengatasi kesulitan yang dihadapi, membuat pilihan yang bijaksana dalam menyesuaikan
diri dan lingkungan, serta dapat membentuk pribadi yang mandiri. Agama merupakan
suatu ajaran yang datang dari Tuhan yang berfungsi sebagai pembimbing kehidupan

manusia agar mereka hidup bahagia dunia dan akhirat.41 Berikut beberapa definisi terkait
dengan bimbingan dan penyuluhan agama Islam antara lain:
1. Bimbingan ialah suatu proses pemberian bantuan yang terus menerus dan sistematis dari
pembimbing kepada yang dibimbing agar tercapai kemandirian dan perwujudan diri
dalam mencapai tingkat perkembangan optimal dan penyesuaian diri dengan

lingkungannya42
2. Bimbingan adalah bantuan atau pertolongan yang diberikan individu atau sekelompok
individu dalam menghindari atau mengatasi kesulitan-kesulitan dalam hidupnya agar

individu atau sekelompok individu itu dapat mencapai kesejahteraan hidupnya43


Mei Fitriani Problem Psikospiritual Lansia ...

40 (Faizah, 2006:26)

41 Muabrok, Achmad, Al irsyads an Nafsiy Konseling Agama Teori dan Kasus,


Jakarta: Bina Rena Pariwara, 2004, hal 4

42 (Surya, 1988: 12);

43 (Walgito, 1989:4);
Problem Psikospiritual Lansia ... Mei Fitriani

3. Bimbingan merupakan suatu proses yang berkesinambungan, bukan kegiatan yang


seketika atau kebetulan. Bimbingan merupakan serangkaian tahapan kegiatan yang

sistematis dan berencana yang terarah kepada pencapaian tujuan44


4. Bimbingan adalah suatu bantuan yang diberikan kepada individu atau sekelompok
individu dalam menemukan kemampuan-kemampuannya dan segi-segi kehidupan
masyarakat, agar demikian nantinya individu atau sekelompok individu lebih sukses

dalam melaksanakan rencana- rencana hidupnya45


5. Bimbingan berarti memberikan bantuan kepada seseorang atau sekelompok orang yang
bersifat psikis (kejiwaan) agar individu atau kelompok dapat menentukan berbagai
pilihan secara bijaksana dan dalam menentukan penyesuaian diri terhadap tuntutan-
tuntutan hidup. Beberapa tujuan bimbingan yang ingin dicapai antara lain; Membantu
individu dalam mencapai kebahagiaan pribadi, Membantu individu dalam mencapai
kehidupan yang efektif dan produktif dalam masyarakat, Membantu individu dalam
mencapai hidup bersama dengan individu yang lain, Membantu individu dalam mencapai

harmoni antara cita-cita dan kemampuan yang dimiliki46


6. Menurut Isep Zaenal Arifin penyuluhan adalah suatu proses pemberian bantuan baik
kepada individu ataupun kelompok dengan menggunakan metode-metode psikologis agar
individu atau kelompok dapat keluar dari masalah dengan kekuatan sendiri, baik secara

preventif, kuratif, korektif maupun development47


7. Penyuluhan menurut Arifin adalah hubungan timbal balik antara dua individu, dimana
yang seorang (penyuluh) berusaha membantu yang lain (klien) untuk mencapai
pengertian tentang dirinya sendiri dengan hubungannya dalam masalah yang dihadapi

pada saat itu dan mungkin pada waktu yang akan datang.48
Berdasarkan uraian tersebut maka dapat penulis pahami bahwa bimbingan dan
penyuluhan Islam adalah suatu proses pemberian bantuan yang terarah dan berkelanjutan
dengan cara memberikan informasi yang telah ditetapkan sebagai hukum agama Islam
yaitu Al-Quran dan sunnah

44 Yusuf, Syamsul, Mental Hygiene Perkembangan Kesehatan Mental dalam


Kajian Psikologi Agama, Bandung: Pustakan Bani Quraisy, 2005, hal 6
Problem Psikospiritual Lansia ... Mei Fitriani

45 Departemen Agama RI, Buku Panduan Pelaksanaan Tugas Penyuluh Agama


Utama, Jakarta: Departemen Agama, 2003 hal14

46 (Amin, 2010:38-39).

47 Arifin, Isep Zaenal, Bimbingan Penyuluhan Islam, Jakarta: PT Rajagrafindo


Persada, 2009, hal 50

48 (Walgito, 1989: 5)
Problem Psikospiritual Lansia ... Mei Fitriani

yang bertujuan memberikan motivasi untuk terus bersemangat menjalani kehidupan


hingga mencapai kesejahteraan di usia akhir.
Bimbingan dan penyuluhan Islam dimaksud adalah kegiatan yang dilakukan oleh
penyuluh agama atau pembimbing agama kepada seseorang yang mengalami problem
dalam hidupnya agar orang tersebut mampu mengatasinya masalah keagamaannya secara
mandiri. Tidak jauh berbeda dari pengertian tersebut yaitu pengertian bimbingan
konseling agama yang disampaikan oleh Mubarok yaitu merupakan bantuan yang
diberikan kepada seseorang atau kelompok orang yang sedang mengalami kesulitah lahir
dan batin dalam menjalankan tugas-tugas hidupnya dengan menggunakan pendekatan
agama, yakni dengan membangkitkan kekuatan getaran iman didalam dirinya untuk

mendorongnya mengatasi masalah yang dihadapi.49


Kemudian dapat dirumuskan bahwa bimbingan dan penyuluhan agama yang akan
diberikan kepada seseorang yang memiliki problem psikospiritual memiliki makna yang
sama dengan bimbingan konseling agama. Lebih merupakan kegiatan pemberian
bimbingan dan penerangan agama kepada masyarakat khususnya dalam artikelini adalah
lansia dengan tujuan adanya peningkatan keberagamaan secara total baik pengetahuan,
pemahaman dan pengalamannya.

D. Upaya Penanganan Atas Problem Psikospiritual Lansia

Manusia adalah mahluk unik yang utuh menyeluruh, yang terdiri atas aspek fisik,
psikologis, sosial, kultural dan spiritual. Tidak terpenuhinya kebutuhan manusia pada
salah satu diantara dimensi tersebut akan menyebabkan ketidaksejahteraan atau keadaan
tidak sehat. Kondisi tersebut dapat dipahami mengingat dimensi fisik, psikologis, sosial,
spiritual, dan kultural atau dimensi body, main dan spirit merupakan satu kesatuan yang
utuh. Tiap bagian dari individu tersebut tidaklah akan mencapai kesejahteraan tanpa
keseluruhan bagian tersebut.
Secara fitrahnya manusia adalah makhluk sosial yang memerlukan orang lain dalam
kehidupannya, tanpa sesamanya manusia tidak akan bisa hidup. Ketika terjadi masalah
dalam kehidupan maka salah satu cara agar masalah tersebut selesai adalah mencari
solusi, meskipun terkadang usaha untuk mengatasi masalah tidak maksimal.
Problem psikospiritual merupakan bagian dari hambatan dimensi menuju
kesejahteraan, terutama bagi lansia yang secara fisik, psikologis,
Problem Psikospiritual Lansia ... Mei Fitriani

49 Muabrok, Achmad, Al irsyads an Nafsiy Konseling Agama Teori dan Kasus,


Jakarta: Bina Rena Pariwara, 2004, hal 5
Problem Psikospiritual Lansia ... Mei Fitriani

dan spiritual mengalami banyak perubahan. Penurunan pada fisik bisaanya ditandai
dengan bahu membungkuk dan tampak mengecil, perut membesar dan tampak
membuncit, pinggul tampak menggendor dan tampak lebih besar, garis pinggang
melebar, payudara pada wanita akan mengendor, hidung menjulur lemas, bentuk mulut
akan berubah karena hilangnya gigi, mata kelihatan pudar, dagu berlipat dua atau tiga,

kulit berkerut dan kering, rambut menipis dan menjadi putih50


Sedangkan secara psikologis, ciri-ciri penurunannya adalah kesepian, duka cita

(Bereavement), depresi, gangguan cemas, parafrenia, dan sindroma diogenes51


Sedangkan dilihat dari aspek spiritual sebagaimana indikator yang disampaikan oleh Prof.
Achir Yani yaitu Hubungan dengan diri sendiri, hubungan dengan alam (harmoni),

hubungan dengan orang lain (harmonis atau suportif), hubungan dengan ketuhanan.52
Banyaknya penurunan-penurunan ini kemudian masyarakat menganggap lansia itu lemah

dan membebankan.53 Dari penjelasan tersebut jelas bahwa psikospiritual merupakan


salah satu aspek yang ada dalam kehidupan manusia yang menghambat menuju
kesejahteraan terutama lansia yang kondisinya semakin menurun dari berbagai aspek.
Terlebih aspek spiritual yang jika tidak dibarengi dengan kebisaaan yang baik di
berbagai aspek maka akan ikut menurun. Psikospiritual tersebut akan menjadi sebuah
masalah ketika tidak berjalan sebagaimana mestinya. Problem psikospiritual seseorang
yang disampaikan oleh NANDA terlihat dari sikap-sikap mengasingkan diri, kesendirian
atau pengasingan sosial, cemas, deprivasi/kurang sosiokultural, kematian dan sekarat diri

atau orang lain, nyeri, perubahan hidup, dan penyakit kronis diri atau orang lain.54
Dinamakan problem psikospiritual lansia adalah suatu gejala kejiwaan yang
berkaitan dengan dimensi ketuhanan dan merupakan ketidakidealan mental yang terjadi
pada lansia. Ketidakidealan haruslah segera ditangani, apalagi diusia yang semakin tua
dan berkemungkinan akan segera berakhir masa hidupnya, maka haruslah diberikan
bimbingan yang tepat dalam mengatasinya.
Lanjut usia adalah usia yang sangat rentan dalam segala aspek, terlebih aspek
spiritual dan sosial karena begitu terlihat kembali kemasa
Problem Psikospiritual Lansia ... Mei Fitriani

50 Hurlock, Elizabeth B, Psikologi Perkembangan, Jakarta: Erlangga, 1980, hal 388

51 Hurlock, Elizabeth B, Psikologi Perkembangan, Jakarta: Erlangga, 1980, hal 388

52 Hamid, Achir Yani, Bunga Rampai Asuhan Keperawatan Kesehatan Jiwa, Jakarta:

Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2009, hal 4

53 Jalaluddin, Psikologi Agama, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 1996, hal 97

54 (NANDA dalam Faizah, 2006: 27).


Mei Fitriani Problem Psikospiritual Lansia ...

kanak-kanaknya, semisal ketika diberikan bimbingan agama dengan metode ceramah,


maka metode tersebut harus dibuat semenarik mungkin agar lansia tidak mudah bosan.
Karena jika dilihat akibat dari metode yang salah digunakan dalam memberikan
bimbingan, lansia akan menjadi malas dan tidak mau mengikuti bimbingan agama lagi.
Melihat fenomena yang dihadapi oleh lansia, maka sangat diperlukan pendidikan
dan pengajaran tentang ajaran-ajaran agama Islam secara intensif yang kemudian
dipelajari, dihayati dan diamalkan oleh lansia dalam kehidupan sehari-hari. Dengan
adanya Pendidikan Agama Islam Non Formal, maka akan mengembalikan kesehatan jiwa

orang yang gelisah dan bisa menjadi benteng dalam menghadapi goncangan jiwa.55
Untuk mengatasi problem lansia tersebut bimbingan penyuluhan Islam dilakukan
untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman diri dan lingkungannya serta mampu
mengatasi berbagai permasalahan sehingga dapat mencapai kesejahteraan tersebut.
Semakin dekat seseorang kepada Tuhan dan semakin banyak ibadahnya, maka akan

semakin tentramlah jiwanya.56


Bimbingan dan penyuluhan Islam sendiri merupakan suatu upaya pemberian
bantuan kepada individu dalam hal ini adalah lansia atau sekelompok lansia dengan cara
memberikan informasi yang telah ditetapkan sebagai hukum Al-Quran dan sunnah yang
kemudian memberikan motivasi untuk terus bersemangat menjalani kehidupan hingga
kesejahteraan usia akhir tercapai.
Bimbingan merupakan salah satu bentuk pelayanan sosial yang diberikan dalam
upaya memenuhi kebutuhan Penerima Manfaat (PM). Pemberian bimbingan diberikan
sebagai pemenuhan kebutuhan lansia. Tidak hanya itu bimbingan tidak akan terlepas dari
penyuluhan yang artinya penerangan. Penerangan penulis artikan sebagai motivasi yang
berarti upaya pemberian semangat kepada lansia dalam menjalani kehidupan akhirnya.
Penekanan dalam arti penyuluhan, artinya ketika seorang pembimbing memberikan
bimbingan dia akan mampu memberikan semangat ataupun motivasi kepada PM dalam
menjalani kehidupan. Dari itu bimbingan dan pemberian penerangan atau penyuluhan
adalah salah satu cara memberikan solusi dalam membantu seseorang mencapai derajat
kesejahteraan.
Bimbingan penyuluhan dapat menjadi solusi dalam mengatasi problem
psikospiritual lansia. Ketika kita membicarakan tentang
Mei Fitriani Problem Psikospiritual Lansia ...

55 (Darajat, 1982 78-79).

56 (Darajat, 1982:79).
Mei Fitriani Problem Psikospiritual Lansia ...

bimbingan spiritual, maka ada berbagai macam yang dikaitkan dengan spiritual sesuai
dengan kebutuhan pula. Dalam pemberian pelayanan keagamaan, bimbingan spiritual
diarahkan untuk meningkatkan pemahaman dan pengetahuan mengenai agama.
Bimbingan diberikan dengan unsur pemenuhan kebutuhan spiritual lansia. Secara umum
ada 10 butir kebutuhan dasar spiritual sebagaimana yang disampaikan oleh Dadang

Hawari sebagai berikut57:


a. Kebutuhan akan kepercayaan dasar yang senantiasa diulang untuk membangkitkan
kesadaran bahwa hidup adalah ibadah
b. Kebutuhan akan makna hidup, tujuan hidup dalam membangun hubungan yang selaras
dengan Tuhan dan dengan alam sekitar
c. Kebutuhan akan komitmen peribadatan dan hubungannya dalam hidup keseharian.
Banyak pemeluk agama yang hanya melakukan ibadah sebatas ritual, maka mereka
kehilangan hikmah dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat
d. Kebutuhan akan pengisian keimanan. Dengan cara teratur mengadakan hubungan dengan
Tuhan
e. Kebutuhan akan bebas dari rasa bersalah dan berdosa yang merupakan beban mental bagi
seseorang
f. Kebutuhan akan penerimaan diri dan harga diri. Setiap orang tentunya ingin diterima dan
dihargai oleh lingkungan, tidak dilecehkan ataupun di pinggirkan
g. Kebutuhan akan rasa aman, dan terjamin atas keselamatan terhadap harapan masa depan.
h. Kebutuhan akan tercapainya derajat dan martabat yang semakin tinggi sebagai pribadi
yang utuh.
i. Kebutuhan akan terperiharanya interaksi dengan alam dan sesamanya. Setiap orang pasti
akan memerlukan interaksi dengan orang lain, demikian pula dengan lingkungan yaitu
menjaga kelestarian dan keamanan.
j. Kebutuhan akan kehidupan bermasyarakat yang syarat dengan nilai- nilai religious.
Berdasarkan uraian diatas, maka sesungguhnya pemenuhan kebutuhan spiritual
memerlukan hubungan interpersonal, oleh karenanya pembimbing adalah orang yang
tepat untuk memenuhi kebutuhan spiritual lansia. Pembimbing harus mempunyai
pegangan tentang keyakinan
Mei Fitriani Problem Psikospiritual Lansia ...

57 Hawari, Dadang, Al-Quran, Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa,


Yogyakarta: Dhana Bhakti Primayasa, 2000, hal 493-494
spiritual yang memenuhi kebutuhanya untuk mendapatkan arti dan tujuan hidup,

mencintai, dan berhubungan serta pengampunan58.


Manusia pada hakikatnya merupakan makhluk multi-dimensi yang berarti terdapat
beberapa dimensi dalam diri manusia. Istilah Homo Socius yang diungkapkan oleh
Aristoteles yang artinya manusia adalah makhluk sosial menunjukan bahwa manusia
memiliki dimensi sosial dalam dirinya. Akan tetapi dalam diri manusia tidak hanya
terdapat dimensi sosial saja, terdapat tiga dimensi lagi selain dimensi sosial yang
membentuk diri manusia, yaitu dimensi fisik, mental dan spiritual.
Dimensi fisik dalam diri manusia tidak perlu diragukan lagi, manusia memiliki
wujud yang nyata, dapat dilihat dan disentuh secara fisik. Dimensi sosial pada manusia
seperti yang telah dikatakan oleh Aristoteles, manusia membutuhkan orang lain, kita
dapat melihat pada kenyataan bahwa dimanapun manusia berada maka disitulah terdapat
sebuah komunitas, manusia tidak bisa hidup seorang diri seumur hidupnya. Dimensi
mental pada manusia bisa kita lihat pada kebiasaan manusia yang tidak pernah berhenti
belajar, belajar disini bukan dalam arti yang sempit seperti pelajaran sekolah ataupun
kuliah, akan tetapi dalam arti yang lebih luas yaitu manusia berkembang dengan belajar
dari pengalaman hidup dirinya sendiri maupun orang lain, belajar dari kesalahan hidup.
Dimensi yang terakhir yaitu dimensi spiritual, makna atau arti spiritual disini tidak
terbatas hanya pada keagamaan. Kalau kita lihat dari asal katanya, spiritual berasal dari
bahasa latin spiritus, yang berarti nafas atau roh, spiritual berarti yang ada hubungannya
dengan kerohanian atau kejiwaan. Sebagai manusia, kita tidak dapat melihat ataupun
menyentuh roh atau jiwa kita, jelas karena bukan merupakan dimensi fisik. Akan tetapi
kita tahu dan dapat merasakan keberadaannya, yaitu hati nurani, yang selama ini
dipercaya sebagai suara Tuhan, roh kudus atau ada juga yang mempercayainya sebagai
sumber kebenaran sejati.
Masing-masing dari ke-empat dimensi manusia diatas baik secara langsung maupun
tidak langsung dapat mempengaruhi kesehatan kita, oleh karena itu kita harus senantiasa
menjaga serta mengembangkan ke-empat dimensi tersebut. Sebagai contoh, kelalaian
menjaga dimensi fisik seperti tidak berolahraga secara rutin dan pola makan yang tidak
teratur dapat membuat kita terkena penyakit. kelalaian dalam dimensi mental, seperti
tidak pernah melatih otak kita untuk terus aktif dan berpikir akan memperlemah memori
atau daya ingat kita. Begitu juga dengan dimensi
58 (Faizah, 2006:11)
sosial dan spiritual yang secara tidak langsung memberikan pengaruh buruk pada
kesehatan.
Masing-masing dimensi memiliki bagian penting yang perlu kita perhatikan, yaitu
nutrisi, latihan, istirahat serta pantangan. Nutrisi merupakan bahan kebutuhan dasar dan
wajib bagi semua dimensi. Latihan juga merupakan kebutuhan yang sangat penting,
meskipun mempunyai cukup nutrisi akan tetapi kekurangan latihan, juga tidak akan
membuat dimensi-dimensi tersebut bertumbuh dan berkembang dengan baik. Istirahat
juga tidak kalah pentingnya, terlalu banyak latihan tetapi kurang istirahat juga tidak dapat
membuat dimensi kita bertumbuh dengan baik. Yang terakhir adalah pantangan yang
harus dihindari agar dimensi- dimensi tersebut dapat terhindar dari kerusakan.
Perencanaan upaya penanganan melibatkan semua pihak dalam memberikan asuhan
tanpa mengesampingkan keluarga. Empati dan kematangan jiwa sangat diperlukan dalam
memberikan penanganan, dan komunikasi harus tetap terbuka. Berikut beberapa upaya

penanganan yang digunakan dalam mengatasi problem psikospiritual59:


a. Dimensi Fisik
Dimensi Fisik meliputi pemeliharaan tubuh kita secara efektif. Dimensi fisik
memiliki nutrisi yang harus di penuhi antara lain dengan air, protein, vitamin, lemak,
karbohidrat, serta mineral. Latihannya dengan berolahraga, makan dan minum. Istirahat:
relaksasi. Pantangan: latihan yang terlalu berlebihan, makan secara berlebihan, alkohol,
rokok serta racun.
Memakan jenis makanan yang tepat, istirahat teratur, relaksasi yang memadai dan
berolahrara. Olaharaga adalah salah satu aktivitas berdampak besar namun kebanyakan
dari kita tidak melakukannya secara konsisten karena tidak mendesak. Dan karena kita
tidak melakukannya, cepat atau lambat kita akan mendapatkan diri kita berhadapan
dengan masalah dan krisis kesehatan yang muncul sebagai akibat wajar dari kelalaian
kita.
b. Dimensi mental
Dimensi mental: Nutrisi: pengetahuan, informasi, ide, dsb. Latihan: berpikir,
belajar, bertukar-pikiran, meng-analisa. Istirahat: tidur. Pantangan: pikiran negatif dan
malas.
59 Hamid, Achir Yani, Bunga Rampai Asuhan Keperawatan Kesehatan Jiwa,
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2009, hal:13
c. Dimensi Sosial
Dimensi sosial: Nutrisi: kasih sayang, perhatian, rasa percaya, ketulusan, dsb.
Latihan: komunikasi (mendengarkan, bercerita, dsb), kontak fisik (pelukan, sentuhan,
dsb). Istirahat: menyendiri atau keheningan. Pantangan: gosip, hawa nafsu, cemburu,
pengkhiatanan, melanggar janji, dsb.
d. Dimensi Spiritual
Dimensi spiritual adalah inti anda, pusat anda, tujuan hidup anda, komitmen anda.
Dimensi ini memanfaatkan sumber yang mengilhami dan mengangkat semangat anda dan
mengikat anda pada kebenaran tanpa batas mengenai semua nilai kemanusiaan.
Dimensi spiritual: Nutrisi: doa, kebijaksanaan, sabda Tuhan. Latihan: berdoa,
memaafkan, mempraktekan ritual, berharap, tertawa. Istirahat: bermeditasi. Pantangan:

balas dendam, kebencian, dosa, ateis.60


Penjelasan tersebut menguatkan bahwa ketika psikospiritual mengalami masalah
atau problem maka kebutuhan dasar spiritual dan dimensi pada tubuhnya tidak terpenuhi,
atau kesejahteraan tidak tercapai. Dengan demikian kondisi lansia yang menghadapi
problem psikospiritual haruslah diberikan upaya penanganannya baik berupa bimbingan
dan penyuluhan maupun upaya-upaya lainnya, guna tercapainya kebutuhan tersebut.

E. Penutup

Berdasarkan hasil analisis diatas tentang problem psikospiritual lansia, maka dapat
ditarik kesimpulan dari judul Problem Psikospiritual Lansia dan Solusinya dengan
Bimbingan Penyuluhan Islam di Balai Pelayananan Sosial Cepiring Kendal yaitu sebagai
berikut:
1. Problem psikologi lansia yang berada dibalai pelayanan sosial Cepiring Kendal yaitu
kecemasan dan ketakutan, cenderung emosional, banyak bercerita, kesepian, dukacita dan
depresi. Sedangkan problem spiritual yang dialami lansia yaitu kurang dalam
pengharapan, memiliki arti dan tujuan hidup yang kurang, menolak berinteraksi dengan
tokoh agama, tidak mampu beribadah, tidak mampu berpartisipasi dalam aktifitas agama.
2. Upaya penanganan dalam mengatasi problem psikospiritual lansia dengan perspektif
bimbingan penyuluhan Islam menunjukkan bahwa

http://www.kompasiana.com/antonijuneadi/keseimbangan-antarakeempat- dimensi-dalam-
diri-manusia: diunduh 26 juli 2016
pelaksanaan bimbingan penyuluhan Islam secara umum telah menjadi sesuai dengan
teori tujuan dan fungsi bimbingan penyuluhan Islam yaitu menjadi pendorong
(motivator) bagi lansia sehingga timbul semangat dalam menjalani hari akhir kehidupan,
menjadi penggerak untuk mencapai tujuan yaitu ketenangan di hari akhir, serta menjadi
pengarah bagi pelaksanaan program bimbingan. meskipun belum dikatakan maksimal
menurut penulis karena kendala-kendala dilihat dari unsur-unsur bimbingan.

3. Upaya penanganan yang di lihat dari dimensi fisik yaitu pelatihan rebana, dan
berolahraga. Dimensi mental dengan latihan membuat kerajinan, dimensi social dengan
latihan komunikasi (mendengarkan, bercerita, dsb), kontak fisik (pelukan, sentuhan, dsb).
Dimensi Spiritual adalah pusat tujuan hidup dan komitmen. Latihannya adalah berdoa,
memaafkan, mempraktekan ritual, berharap, tertawa. Istirahat: bermeditasi.
DAFTAR PUSTAKA

Agustian, Ary Ginanjar, Rahasia Sukses Membangkitkan ESQ Power; Sebuah Inner
Journey Melalui Ihsan, Jakarta: Arga 2004

Arifin, Isep Zaenal, Bimbingan Penyuluhan Islam, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2009

Artinawati, Sri, Asuhan Keperawatan Gerontik. Bogor: Penerbit IN Media, 2014

Departemen Agama RI, Buku Panduan Pelaksanaan Tugas Penyuluh Agama Utama,
Jakarta: Departemen Agama RI, 2003

Departemen Agama RI, Pedoman Pembentukan Kelompok Sasaran Penyuluh Agama Islam,
Jakarta: Departemen Agama RI, 2002

Hamid, Achir Yani, Bunga Rampai Asuhan Keperawatan Kesehatan Jiwa,

Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2009

Hasan, Aliyah Purwakania, Psikologi Perkembangan Islami. Jakarta: PT Rajagrafindo


Persada, 2006

Hawari, Dadang, Al-Quran, Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa,

Yogyakarta: Dhana Bhakti Primayasa, 2000.

Hawari, Dadang, Edisi Manajemen Stress, Cemas dan Depresi, Jakarta: Balai Penerbit
FKUI, 2006

Hidayanti, Ema, Dimensi Spiritual dalam Praktek Konseling bagi Penderita HIV/AIDS,
Semarang: LP2M IAIN Walisongo, 2012

Hidayanti, Ema, Model Bimbingan Mental Spiritual. Semarang: LP2M IAIN Walisongo,
2014

Hurlock, Elizabeth B, Psikologi Perkembangan, Jakarta: Erlangga, 1980 Jalaluddin,


Psikologi Agama, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 1996
Machasin, Religiusitas, Harapan Hidup dan Design Dakwah pada Lansia Binaan Majelis
Ta’lim di Kota Semarang, Penelitian Individual Semarang: LP2M IAIN Walisongo,
2013

Muabrok, Achmad, Al irsyads an Nafsiy Konseling Agama Teori dan Kasus,

Jakarta: Bina Rena Pariwara, 2004

Mujahidullah, Khalid, Keperawatan Gereatrik, Celeban Timur : Pustaka Pelajar, 2021


KERENTANAN KEHAMILAN REMAJA DAN KONSELING SEBAYA: TINJAUAN
TEORI

Sang Ayu Made Adyani1, Muflih Muflih2, & Endang Nurul Syafitri2
1
Pogram Studi S1 Ilmu Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan UPN Veteran Jakarta
2
Pogram Studi S1 Ilmu Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Respati
Yogyakarta

Abstrak

Remaja rentan mengalami masalah kesehatan karena berperilaku yang


berisiko, seperti perilaku seksual bebas. Dampak dari perilaku tersebut adalah
terjadinya kehamilan remaja. Remaja mungkin sulit untuk mengutarakan
masalah-masalah kesehatannya disebabkan kurangnya kosakata dan rasa
malu saat membahas tentang seksual. Perawat dapat mengantisipasi atau
mencegah kejadian kehamilan remaja dengan tiga tingkat pencegahan yakni
pencegahan primer, skunder dan tersier. Konseling pasangan remaja tentang
pilihan-pilihan yang bisa dilakukan mereka, merupakan pencegahan tersier.
Konseling sebaya merupakan sebuah program pelayanan dari konselor sebaya
yang efektif dalam memberikan informasi kesehatan dan membantu teman
lainnya untuk mengenali masalahnya, menyadari kebutuhan untuk mencari
pertolongan atas masalahnya. Konseling dengan konselor sebaya lebih disukai
daripada kepada orang yang lebih dewasa, karena teman sebaya dianggap
lebih mengerti permasalahannya dengan baik.

Kata Kunci: Kehamilan; Remaja; Konseling; Sebaya

Abstract
[Vulnerability Of Adolescent Pregnancy And Peer Counseling: Review Of
Theory]. Adolescents are prone to health problems because of risky behavior,
such as free sexual behavior. The impact of this behavior is the occurrence of
teenage pregnancy. Adolescents may find it difficult to express their health
problems due to a lack of vocabulary and shame when discussing sex. Nurses
can anticipate or prevent the incidence of teen pregnancy with three levels of
prevention, namely primary prevention, secondary and tertiary. Adolescent
partner counseling about the choices they can make is tertiary prevention. Peer
counseling is a service program of peer counselors who are effective in
providing health information and helping other friends to recognize the
problem, aware of the need to seek help for the problem. Counseling with peer
counselors is preferred over people who are more mature, because peers are
better understood the problem better.

Keywords: Pregnancy; Teenagers; Counseling; Peer

Article info: Sending on November 21, 2018; Revision December 29, 2018; Accepted
on January 29, 2019
1. Remaja Sebagai Populasi Rentan
Populasi rentan didefinisikan sebagai kelompok sosial yang memiliki risiko atau
kelemahan yang relatif tinggi sehingga merugikan kesehatan (Flakerud dan Winslow, 1998;
Stanhope dan Lancaster, 2004). Faktor resiko dibidang kesehatan merupakan pendekatan di
bidang epidemiologi yang terdiri dari triangel epidemiologic yakni agen, host, dan
lingkungan. Pada dasarnya populasi rentan merupakan suatu kelompok dari populasi yang
cenderung memiliki masalah perkembangan kesehatan sebagai akibat dari paparan beberapa
fakor resiko atau memiliki kemungkinan kesehatan lebih
buruk daripada kelompok yang lain (Stanhope dan Lancaster, 2004).
Kelompok rentan sering kali memiliki akmulassi dari beberapa atau kombinasi dari
faktor resiko (Nichols, Wright, dan Murphy, 1986; Stanhope dan Lancaster, 2004). Salah
satu kelompok yang dapat dikatakan sebagai kelompok rentan sehingga menjadi konsen
dari spesialis keperawatan komunitas tampak pada tabel 1.
Menurut Youth Risk Behavior Surveillance System (YRBSS) remaja rentan masalah
kesehatan karena berperilaku yang berisiko injury, rokok, alkohol dan obat-obatan,
perilaku seksual, perilaku
diet yang tidak sehat, dan kurangnya aktifitas fisik (dalam Hitchock, Schubert, & Thomas,
1999). Masalah yang sering dijumpai pada masa kasus kesehatan remaja adalah perilaku
seksual pranikah, karena dorongan untuk menyalurkan hasrat seksualnya akibat
perkembangan normal sesksualnya (Mutadin, 2002).

Tabel 1. Kelompok Rentan


No Kelompok Rentan

1 Kelompok miskin dan tunawisma


2 Kehamilan remaja
3 Pekerja imigran
4 Individu dengan gangguan mental parah
5 Penyalahgunaan obat
6 Korban kekerasan
7 Kelompok orang dengan gangguan komunikasi dan yang berisiko
Kelompok dengan HIV positive atau
8 memiliki virus Hepatitis B atau penyakit
menular seksual

Santrock (2007) mendeskripsikan bahwa perkembangan primer seksualitas remaja


ditandai peristiwa menstruasi (menarche) dimana perempuan sudah siap untuk hamil,
sedangkan laki-laki ditandai dengan ejakulasi atau mimpi basah (Allender, Rector, &
Warner, 2010). Remaja yang tidak mampu beradaptasi perubahan tersebut akan
memungkinkan mengalami risiko terhadap masalah kesehatan (McMurray, 2003). Remaja
mengeksplorasi identitas seksual, peran gender, dan terlibat aktivitas seksual dalam masa
tumbuh kembangnya (Hitchcock, Schubert, & Thomas, 1999).

2. Kehamilan Remaja
Remaja merupakan tahapan tumbuh kembang anak pada rentang usia 13 sampai 20
tahun (DeLaune & Ladner, 2011). Masa perkembangan ini merupakan masa transisi dari
tahap perkembangan anak ke tahap perkembangan dewasa. Perubahan spikologis dan fisik
terjadi sangat cepat pada tahap ini. Seperti perkembangan karasteristik seks primer dan
skunder. Pada remaja laki-laki akan terjadi perubahan pada suara, perkembangan genetalia,
mimpi basah, dan pertumbuhan rambut di sekitar wajah, genetalia dan ketiak. Pada remaja
putri akan terjadi perkembangan yang berupa pertumbuhan payudara, tumbuh rambut pada
daerah sekitar genetalia, dan ketiak, dan akan mengalami menstruasi.
Setiap tahun, 800.000 hingga 900.000 remaja mengalami kehamilan dan hanya
setengahnya yang dilanjutkan dengan memiliki bayi. Jumlah kelahiran pada anak usia
remaja meningkat menjadi 12% di Amerika Serikat (American College of Obstetricians and
Gynecolobists, 2000; Stanhope dan Lancaster, 2004). Secara pasti tinggi angka kehamilan
remaja di Indonesia tidak ada kejelasan, namun diyakini jumlah kehamilan pada remaja
juga cukup tinggi di Negara

Indonesia. Hal ini terjadi karena salah satu faktornya adalah pernikahan di usia dini.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2010, telah terjadi 47,79% perempuan
menikah pada usia di bawah 16 tahun di daerah pedesaan dan sebesar 21,75% di daerah
perkotaan. Remaja juga masih tabu apabila menikah pada usia dini atau terjadi kehamilan
yang tidak diinginkan. Angka kehamilan remaja akan terus tinggi karena remaja baik
perempuan mamupun laki- laki yang mengetahui akan terjadi kehamilan saat melakukan
hubungan seksual walaupun sekali hanya 63% (SDKI, 2007; BKKBN, 2010). Menurut
survei Komnas Perlindungan Anak pada tahun 2008 di Indoneisa telah terjadi perilaku
seksual pada remaja seperti 93,7% remaja SMP dan SMA pernah ciuman, meraba alat
kelamin dan seks melalui mulut, 62,7% remaja SMP tidak perawan, dan 21,2% remaja
pernah melakukan aborsi (BKKBN, 2010).
Jumlah remaja yang mengalami kehamilan diklasifikasikan pada rentang usia kurang
dari 15 tahun, 15-17 tahun, dan lebih dari 18 tahun (Stanhope dan Lancaster, 2004).
Kehamilan pada remaja akan meningkat seiring dengan meningkatnya usia mereka,
sehingga ditemukan angka kehamilan tertinggi pada rerata usia 19 tahun. Faktor yang
mempengaruhi remaja pada usia tersebut untuk melakukan hubungan seksual adalah 1)
teman sebaya yaitu mempunyai pacar, 2) mempunyai teman yang setuju dengan hubungan
seks pranikah, 3) mempunyai teman yang mempengaruhi atau mendorong untuk
melakukan seks pranikah (Analisa Lanjut SKRRI, 2003; BKKBN, 2010)
Remaja memiliki pengalaman yang masih terbatas dalam perawatan kesehatannya.
Remaja cenderung mencari informasi yang berkenaan dengan masalah kemungkinan hamil
atau cara untuk mengontrol kelahiran. Masalah seperti ini perlu bantuan sistem pelayanan
kesehatan yang kompleks dan perlu pendekatan yang khusus baik saat diskusi/wawancara
dan perlu jaminan kerahasiaan identitas. Pada saat wawancara akan selalu dimulai dengan
keluhan utama, sehingga pada saat ini remaja perlu didengar dan diperhatikan dengan
seksama. Selama wawancara, perawat harus dapat menyediakan gambaran awal konseling
dan menekankan kebutuhan-kebutuhan untuk mencapai kesehatan yang baik serta
menetapkan pola promosi kesehatan sebelum hamil. Seperti mendiskusikan masalah resiko
kesehatan saat menjadi ibu dan perkembangan bayi.
Perawat sangat perlu memperhatikan apa yang remaja utarakan. Pengetahuan remaja
tentang sistem kesehatan dan peranannya akan mendukung perawat dalam meningkatkan
topik yang didiskusikan seperti faktor-faktor lingkungan di sekitar remaja yang mendukung
terjadinya perilaku kenakalan remaja (misalnya; penggunaan obat terlarang, kekerasan
rumah tangga, alkohol atau pacaran yang tidak sehat). Tekanan teman sebaya bukan
merupakan fenomena yang baru. Remaja akan cenderung
menjadi aktif seksual jika teman-temannya merupakan seksual aktif (Stanhope dan
Lancaster, 2004). Faktor lain yang mempengaruhi kehamilan pada remaja diantaranya
pernah mengalami kekerasan seksual, struktur keluarga, dan pengaruh dari orang tua.
Pengalaman kekerasan seksual akan mempengaruhi kemauan penerimaan remaja terhadap
bayinya. Penolakan terhadap bayiny bisa menjadi pemicu kejadian aborsi. Struktur keluarga
dengan orang tua tunggal menjadi sebab kehamilan tertinggi daripada remaja di keluarga
dengan dua orang tua. Orang tua dengan harapan ekstrem dan kelalaian dalam mengontrol
remaja menjadi faktor terjadinya kehamilan remaja.
Remaja mungkin sulit untuk mengutarakan masalah-masalah kesehatannya
disebabkan kurangnya kosakata dan rasa malu saat membahas tentang seksual. Hal ini
akibat dari lemahnya pemahaman dan kurangnya informasi kesehatan yang didapatkan.
Perawat perlu menekankan potensi yang akan terjadi dengan kurangnya pengetahuan dan
rasa malu ini, sehingga perlu perawat untuk memberikan kesempatan kepada remaja untuk
mengungkapkan dengan bahasa yang dimilikinya. Diskusi masalah kesehatan reproduksi
dengan remaja dapat dilakukan dengan atau tanpa sepengetahuan orang tua karena remaja
memiliki hak privasi dan masih kemungkinan besar untuk tabu dan malu pada orang tua.
Keluarga juga memiliki peran dalam melakukan perencanaan kesehatan reproduksi
terhadap anggota keluarga remajanya. Perencanaan keluarga dapat merujuk pada Healthy
People 2010. Pedoman kesehatan reproduksi remaja, Healthy People 2010 memiliki tujuan
untuk meningkatkan proporsi remaja yang tidak diijinkan untuk melakukan sexual
intercourse sebesar 88% pada remaja usia 15 tahun, 75% pada remaja usia 17 tahun keatas.
Sasaran perencanaan keluarga yang telah ditentukan oleh Healthy People 2010 pada tabel 2
(Stanhope dan Lancaster, 2004).
Tabel 2. Sasaran Perencanaan keluarga
No Sasaran

1 Mengurangi kehamilan diantara remaja


2 Meningkatkan proporsi remaja yang tidak melakukan
sexual intercourse sebelum umur 15 tahun

3 Meningkatkan proporsi remaja yang tidak melakukan


sexual intercourse

Meningkatkan proporsi aktif seksual remaja tidak menikah


di rentang usia 15 – 17 tahun yang menggunakan
4 kontrasepsi (efektif mencegah kehamilan dan melindungi
dari penyebaran penyakit)
Meningkatkan proporsi remaja yang
menerima instruksi formal (sebelum usia
18 tahun) berupa issue kesehatan
5 reproduksi, termasuk metode
pengontrolan kelahiran, sek yang sehat
untuk mencegah HIV, pencegahan
penyakit
menular seksual, dan cara menahan nafsu seksual.
3. Konseling
Peran keperawatan untuk mengantisipasi atau mencegah kejadian kehamilan remaja
dengan tiga tingkat pencegahan yakni pencegahan primer, skunder dan tersier. Pada
pencegahan primer dapat melakukan dengan mengajarkan remaja tentang praktik seksual
yang dapat mencegah kehamilan sebelum waktunya. Pada pencegahan skunder perawat
perlu menyediakan pelayanan deteksi dini kehamilan remaja. Adapun pencegahan tersier,
perawat menyediakan konseling pasangan remaja tentang pilihan-pilihan yang bisa
dilakukan mereka, seperti mendapatkan bayi, aborsi, dan adopsi.
Pada saat dilakukan tes kehamilan dengan hasil negatif, perawat perlu
mempertimbangkan untuk melakukan konseling pencegahan kehamilan, seperti seks yang
aman dan penggunaan alat kontrasepsi. Pada remaja dengan tes kehamilan posistif, perlu
dilajutkan dengan pemeriksaan negatif dan konseling kehamilan. Tujuan pemeriksaan fisik
adalah melihat usia kehamilan dan kemungkinan
adanya penyakit infeksi seksual. Konseling kehamilan meliputi; informasi adopsi, aborsi,
and membesarkan anak (Stanhope dan Lancaster, 2004). Panduan untuk konseling adopsi
menurut Brandsen CK (1991) yang telah dimodifikasi oleh Stanhope dan Lancaster,
(2004) terlihat pada tabel 3.
Perawat dapat mengidentifikasi resiko kehamilan remaja sejak di pelayanan
kesehatan rumah. Kunjungan yang dilakukan perawat ke rumah lebih ditekankan pada
identifikasi/pengkajian fasilitas-fasilitas yang dapat disediakan di rumah untuk manajemen
kebutuhan kehamilannya dan lingkungan yang mendukung untuk kelahiran anaknya.
Kunjungan rumah oleh perawat selama masa kehamilan remaja lebih ditekankan pada
komplikasi antepartum diantaranya; penambahan berat badan, nutrisi yang adekuat, dan
medikasi prenatal.
Perawat dapat menfasilitasi koping dan keluarga resolusi pada tahap keluarga ini
dengan pedoman keluarga sebagai klien, dan mengkaji
masing-masing peran dan kekuatan anggota. Sebuah keluarga modern yang seimbang adalah
yang mampu memandu atau memberikan bantuan tugas perawatan kehamilan remaja bukan
menggantikan perannya (Whitman dkk, 2001; Stanhope dan Lancaster, 2004).
Perawatan kesehatan pada kehamilan remaja perlu dukungan dari berbagai pihak.
Pihak-pihak yang dapat dijadikan sebagai support system
diantaranya; tenaga kesehatan profesional, pekerja sosial, tokoh agama, pendidik, pebisnis,
legislator, dan kelompok lainnya. Perawat memiliki peran penting untuk mengkoordinasi
dan mengorganisasikan pengkajian komunitas, mengkampanyekan kesadaran
masayarakat, dan program-program interdisiplin lainnya.
Tabel 3. Panduan Umum Konseling
No Panduan

Mengkaji pemikiran dan perasaan tentang adopsi. Jangan menentukan


1

opini pada keputusan untuk menjadi orang tua dini


Perlu untuk mengetahui peraturan atau hukum di wilayahnya,
2

sumber daya lokal, dan macam-macam pelayanan adopsi


Memilih bahasa yang sensitif, seperti:
a. Hindari mengatakan “berikan saja anaknya” atau “letakkan saja
untuk diadopsi”. Lebih tepat menggunakan kalimat “lepaskan
anaknya untuk adopsi”, “tempatkan untuk adopsi’ atau “buat
perencanaan adopsi”.
b. Hindari mengatakan “anak tidak diinginkan” atau “kehamilan
3

tidak diinginkan”. Kalimat yang lebih tepat adalah


“kehamilan tidak terencana”.
c. Hindari mengatakan “Orang tua alamiah/asli” atau “anak
alamiah/asli” karena proses adopsi akan terlihat tidak alamiah.
Gunakan kata “orang tua biologis” atau “orang tua adopsi” yang
lebih tepat.
Mengkaji kesiapan adopsi, mulai dari tingkat pengetahuan,
4

perasaan, dan kekuatiran mengenai proses adopsi.


Mengkaji hubungan antara remaja hamil dengan pasangannya dan diskusikan
5

realitanya.
Bila memungkinkan, buat diskusi dengan remaja hamil yang lain
6

tentang pilihan mereka untuk membesarkan anak atau melepaskan


anak untuk adopsi.
Remaja dapat dukungan untuk menulis surat kepada bayinya. Surat ini dapat
7

disimpan dan
dibuka saat diambil diadopsi oleh keluarga lain.
4. Konseling Sebaya
Cohen, Gottlien, dan Underwood (2000, dalam Pender, Murdaugh, & Parson, 2002)
menyatakan bahwa dukungan kelompok sebaya cenderung lebih memberikan pengertian,
empati, dan saling membantu remaja yang memiliki masalah. Namun teman sebaya harus
memiliki ketrampilan dalam komunikasi diantaranya mampu mendengarkan secara aktif
dalam memecahkan masalah. Oleh karena itu, remaja lebih sering mendiskusikan
permasalahnya dengan teman sebaya daripada dengan orang tua atau lainnya. Strategi yang
dapat membangun budaya teman sebaya yang positif adalah dengan mengembangkan
konseling teman sebaya pada kelompok remaja.
Konseling sebaya dibentuk bersamaan dengan konsep peer support pada tahun 1939
yang bertujuan membantu para alkoholik (Carter, 2005). Konseling sebaya dianggap
mampu membantu remaja yang kecanduan alkohol. Pada perkembangannya, konseling
sebaya meluas kepada isu lain pada remaja yakni seksual pranikah.Morrow, et al (1999)
mendeskripsikan konseling sebayasebagai upaya yang digunakan untuk berbagai macam
tujuan termasuk tujuan sosial dan dukungan informasi bagi individu di berbagai dunia.
Konseling sebaya adalah sebuah program pelayanan dari konselor sebaya yang
berguna dan
efektif dengan memanfaatkan kemampuan remaja untuk mengembangkan pelayanan
konseling di sekolah maupun masyarakat. Varenhorst (1976, dalam Hunainah, 2004)
menyatakan bahwa konseling sebaya adalah upaya intervensi yang mempengaruhi
perubahan sikap dan perilaku yang efektif untuk membantu remaja dalam menyelesaikan
masalahnya. Carr (1981, dalam Hunainah, 2004) menyatakan konseling sebaya merupakan
cara bagi para remaja belajar memperhatikan dan membantu yang lain, serta
menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Konseling sebaya dilakukan oleh konselor sebaya atu disebut dengan peer conselor.
Kementerian Kesehatan RI (2010) menyatakan bahwa konselor sebaya adalah remaja yang
dapat memberikan informasi kesehatan dan membantu teman lainnya untuk mengenali
masalahnya, menyadari kebutuhan untuk mencari pertolongan atas masalahnya. Konselor
sebaya dibimbing oleh konselor ahli atau pengelola program kesehatan remaja di
Puskesmas atau fasilitas kesehatan lainnya atau didampingi oleh guru, ketua atau
pemimpin kelompok remaja.
Tugas utama konselor sebaya adalah pendampin untuk menemukan sedini mungkin
masalah kesehatan yang dialami oleh teman sebayanya, menjadi pendengar yang baik,
membantu menyelesaikan masalah kesehatan dengan
kemampuan, memberikan informasi/pengetahuan yang benar tentang kesehatan remaja; dan
merujuk klien sebaya ke ahli jika masalah yang dialami klien sebaya di luar kemampuan
konselor sebaya untuk
membantu (Kementrian Kesehatan RI, 2010). Menurut Depkes RI (2008) konselor
menjalankan enam tahapan Tabel 4.
Tabel 4. Tahapan Konselor Sebaya
No Tahapan

Greet (Berikan Salam): Konselor bersikap ramah dan memberikan


salam kepada klien yang datang, memperkenalkan diri apabila belum
1
kenal satu sama lain, sehingga membuat klien merasa diterima
dengan
baik dan merasa lebih rileks.
Ask (Tanyakan): Konselor aktif menggali inti permasalahan yang
2
dialami klien. Konselor harus mempunyai
kemampuan mendengar secara aktif.
Tell (Ungkapkan informasi): Konselor memberikan informasi yang
3
ingin diketahui oleh klien agar memahami
permasalahan yang dihadapi, sehingga dapat
membuat alternatif solusi atas masalahnya
sendiri.
4
Help (Bantu klien): Konselor membantu klien
untuk mendiskusikan berbagai alternatif yang
menjadi solusi penyelesaian masalah.
Explaining (Jelaskan): Konselor mampu menjelaskan tindakan yang
5
harus dilakukan terkait dengan keputusan yang
telah diambil klien beserta risikonya.
Return (Undang untuk kunjungan ulang): Saat klien membutuhkan
6
konsultasi lebih lanjut, maka undang klien untuk melakukan
kunjungan ulang.
Hasil penelitian Hunainah (2004) menunjukkan bahwa konseling sebaya cukup efektif
mengembangkan sikap positif remaja terhadap perilaku seksual. Konseling sebaya efektif
untuk membangun adaptasi sosial dan konsep diri remaja sekolah setelah intervensi selama
enam kali pertemuan (Dailami, 2011). Ainie (2009) menemukan bahwa konseling sebaya
memberikan efek positif untuk membentuk konsep diri remaja sekolah setelah diintervensi
oleh konselor sebaya selama 10 minggu dengan waktu konseling satu jam/minggu.
Perkembangan remaja yang berisiko terhadap perilaku seks bebas dimungkinkan
terjadinya kehamilan. Upaya pencegahan yang dapat dilakukan untuk mengurangi kejadian
kehamilan remaja diantaranya adalah konseling sebaya. Konseling yang dilakukan oleh
konselor sebaya didapatkan cukup efektif untuk membentuk dan membangun pola pikir
yang positif. Alasan remaja lebih suka mencari bantuan kepada teman sebaya daripada
kepada orang yang lebih dewasa, karena teman sebaya dianggap lebih mengerti
permasalahannya dengan baik.

5. Daftar Pustaka
Aihie, O. N. (2009). Effects of Peer Group Counselling and Sex on the Self Concept of
Secondary School Adolescent : Implications for Counselling. Edo Journal of
Counselling, 2(22).
Allender, J.A., Rector, C., & Warner, K. D. (2010).
Community Health Nursing : Promoting and
Protecting The Public’s Health. 7th Ed. Philadelphia : Lipincott Williams & Wilkins.

Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. (2010). Penyiapan Kehidupan


Berkeluarga bagi Remaja; Ditijau dari Aspek 8 Fungsi Keluarga: Kesehatan,
Ekonomi, Psikologi, Pendidikan, Agama & Sosial. Jakarta: Direktorat Remaja dan
Perlindungan Hak-hak Reproduksi.

Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. (2010). Usia Perkawianan & Hak-hak
Reproduksi Bagi Remaja Indonesia. Jakarta: Direktorat Remaja dan Perlindungan
Hak-hak Reproduksi.

BKKBN. (2010b). Penyiapan kehidupan berkeluarga bagi remaja; ditijau dari aspek 8
fungsi keluarga: kesehatan, ekonomi, psikologi, pendidikan, agama & sosial. Jakarta:
Direktorat Remaja dan Perlindungan Hak-hak Reproduksi.

Carter, T.D. (2005). Peer Counseling : Roles, Function, Boundaries. ILRU Program.

Dailami, A. (2011). The Analysis of the Effectiveness of Peer Counseling on Social


Adaptability and Self Concept of Male Grade One High School Student in Dezful,
Iran. American Journal of Scientific research, pp.25-29

DeLaune, Sue C. & Ladner, Patricia K. (2011) Fundamental of Nursing: Standarts and
Practice. 4th ed. New York: Delmar.

Depkes RI. (2008). Pedoman Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja. Jakarta : Depkes RI.
Hitchcock, J., Schubert, P., Thomas, S. (1999). Community Health Nursing: Caring in
Action. NewYork: Delmar Publishers.

Hunainah. (2004). Teori dan Implementasi Model Konseling Sebaya. Jakarta : Rizky Press.

Kementrian Kesehatan RI. (2010). Pedoman Teknik Konseling Kesehatan Remaja Bagi
Konselor Sebaya. Jakarta : Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat.

McMurray, A. (2003). Community Health and Wellness : A Sociological Approach.


Toronto : Mosby.

Morrow, et al. (1999). Efficacy of Home-Based Peer Counselling to Promote Exclusive


Breastfeeding : A Randomised Controlled Trial. Proquest Biology Journals. Pg.1226.

Pender, N. J., Murdaugh, C. L., Parsons, M. A. (2002). Health Promotion in Nursing


Practice. New Jersey : Pearson Education, Inc.
Riskesdas. (2007). Riset kesehatan dasar 2010. Jakarta: Badan Penelitian Dan
Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI.

Santrock, J. W. (2007). Remaja, Edisi 11. Alih bahasa : Benedictine Widyasinta. Jakarta :
Erlangga.
Stanhope, M. & Lancaster, J. (2004). Community health nursing : Promoting health of
agregates, families and individuals, 6 th ed. St.Louis : Mosby, inc.
Upaya Peningkatan Status Kesehatan Kelompok Rentan dengan Pendekatan
Pembelajaran dan Pemberdayaan Masyarakat

Cahyo Wulandari1*, Dwi Wahyu Setiyarini2, Khulatul Bariroh2, Laraswati3, M. Fa’iq

Azhari4, Rezza Abdurrahman Ibnu Aziz5

Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, JL. Flora, Bulaksumur, Karang Malang,
Caturtunggal, Depok, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta 55281.

Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada, Jl. Farmako, Senolowo, Sekip Utara,
Depok, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta 55281. Fakultas Farmasi, Universitas
Gadjah Mada, Jalan Sekip Utara, Senolowo, Sinduadi, Mlati, Sleman, Daerah Istimewa
Yogyakarta 55281. Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Gadjah Mada, Jl.Denta 1,
Sekip Utara,Yogyakarta 55281. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Universitas Gadjah Mada, Sekip Utara Bulaksumur, Kotak Pos 21, Senolowo, Sinduadi,
Mlati, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta 55281.

*cahyowulandari.cw@gmail.com Kata Kunci: kelompok rentan; pemberdayaan


masyarakat; peningkatan status kesehatan.
Abstrak Kelompok rentan adalah suatu kelompok yang idealnya diperhatikan oleh
pemerintah dan berbagai pihak. Hal ini tercantum dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang
kelompok rentan. Penerapan undang-undang tersebut sangat penting dilakukan oleh semua
pihak termasuk akademisi. Artikel ini menjelaskan tentang program pengabdian
masyarakat khususnya pada kesehatan kelompok rentan di kegiatan KKN-PPM (Kuliah
Kerja Nyata-Pengabdian Pemberdayaan Masyakat) tahun 2017 di Desa Kebonrejo,
Kecamatan Banjarejo, Blora. Metode yang digunakan adalah sensus, wawancara,
pendekatan yang observatif dan studi dokumentasi. Analisis yang dilakukan berfokus pada
hal pengolahan data angka yang diinterpretasikan dengan fenomena kesehatan pada
masyarakat desa tersebut. Analisis tersebut menghasilkan penyelesaian masalah berupa
konsultasi, pendidikan dan pelatihan dalam bidang kesehatan. Beberapa program yang tim
lakukan adalah sensus kesehatan, pelatihan kader kesehatan, pendampingan posyandu,
penyuluhan swamedikasi dan pemeriksaan kesehatan lanjut usia. Dengan metode
penyelesaian masalah tersebut diharapkan dapat turut membantu menyelesaikan masalah
kesehatan kelompok rentan di Desa Kebonrejo. Selain hal itu, artikel ini juga menjelaskan
pentingnya ada kader atau kelompok masyarakat yang terjun langsung dalam bidang
kesehatan dan mengevaluasi kegiatan kelompok tersebut.

AbstractVulnerable group is a group that ideally noticed by the government and other
people. This statement listed by UU No. 39 tahun 1999 about vulnerable group. The
implementation of that regulation is very important done by all people include academic.
This article describes the programs of community service especially on vulnerable
group’s health in KKN-PPM (Kuliah Kerja Nyata- Pengabdian Pemberdayaan
Masyakat) year 2017 in Kebonrejo Village, Banjarejo, Blora. The method use census,
interview, observation and documentary study. The analysis focused on analyzing
numeric data which is interpreted with health phenomena in that village. The analysis
give problem solving in the form of consultation, education and health training. Some of
the programs that team did were health census, health cadre training, posyandu
guidance, swamedikasi education and elderly health examination. With that method, we
expect to solve the health problems of vulnerable groups in Kebonrejo village. In
addition, this article also explains the importance of existing cadres or community group
who are directly involved in health and evaluating the group activity.

Keywords: community empowerment; health status improvement; vulnerable group.


1. PENDAHULUAN

Desa Kebonrejo merupakan salah satu desa di Kabupaten Blora dari jumlah total desa
sebanyak 271 desa. Desa Kebonrejo terdiri dari tiga dusun yakni Dusun Pruntusan, Dusun
Kebonrejo dan Dusun Nglempung. Desa Kebonrejo memiliki kondisi fisik dan sumber
daya alam yang mendukung kegiatan di bidang pertanian dan peternakan. Kelompok
rentan yang dijelaskan pada UU No. 39 tahun 1999, yaitu orang lanjut usia, anak-anak,
fakir miskin, wanita hamil dan penyandang cacat. Undang-undang tersebut menyatakan
bahwa setiap orang yang termasuk dalam kelompok masyarakat yang rentan berhak
memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya
(Hoesin, 2004). Populasi kelompok rentan di Indonesia cukup tinggi, tetapi tidak
beriringan dengan banyaknya peraturan perundang-undangan tentang kelompok rentan
yang implementasinya sangat beragam.

Balita, ibu hamil, dan lansia (lanjut usia) adalah 3 kelompok rentan yang banyak terdapat
di masyarakat. Balita merupakan salah satu kelompok rentan yang harus paling
diperhatikan. Keberhasilan pengontrolan pada saat balita akan berdampak pada masa yang
akan datang. Masa pertumbuhan tercepat seorang anak adalah 1000 hari pertama
kehidupan (1000 HPK) (Afifa dkk, 2016). Setiap tiga menit di manapun di Indonesia, satu
balita meninggal dunia (UNICEF, 2012). Angka tersebut sangat mengejutkan.
Berdasarkan data Riskesdas 2010, sebanyak 50% balita di Indonesia tidak melakukan
penimbangan teratur di posyandu. Riset ini sekaligus menunjukkan kecenderungan
semakin bertambah umur seorang balita, maka tingkat kunjungan ke posyandu untuk
melakukan penimbangan rutin semakin menurun. Ketika anak berusia enam bulan, jumlah
kunjungan masih cukup tinggi yakni sekitar 68%, tetapi posyandu rata-rata ditinggalkan
saat usia anak tiga tahun ke atas. Hal ini cukup disayangkan, karena menurut penelitian
Anwar dkk (2010), aktivitas mengunjungi posyandu dapat memberi dampak positif bagi
status kesehatan balita. Kondisi ini salah satunya dipengaruhi oleh cara pandang orangtua
yang merasa anaknya tidak perlu lagi dibawa ke posyandu seiring dengan pertambahan
umur. Selain itu, minimnya kepercayaan para orang tua terhadap kinerja kader posyandu
juga berkorelasi positif terhadap jumlah kunjungan balita ke posyandu.

Masalah tidak berhenti dari jumlah partisipasi, balita juga memiliki masalah yang cukup
serius yaitu indeks masa tubuh (IMT) kurang dari angka normal yaitu 17. Keadaan IMT
tersebut tentu tidak hadir begitu saja. Masalah balita pendek menggambarkan adanya
masalah gizi kronis salah satunya dipengaruhi dari kondisi ibu/calon ibu dan masa janin.
Sebagian besar kematian anak di Indonesia saat ini terjadi pada masa baru lahir (neonatal).
Oleh karena itu, ibu hamil adalah salah satu kelompok rentan yang harus diperhatikan.
Selain ibu hamil, kelompok lansia merupakan kelompok yang juga patut diperhatikan
kesehatannya. Lansia dikategorikan sebagai kelompok rentan karena biasanya kelompok
lansia lebih mudah terserang beberapa jenis penyakit. Penuaan sel dalam tubuh lansia
menyebabkan penurunan daya tahan tubuh sehingga mudah diserang virus dan bakteri
penyakit. Merujuk peningkatan status kesehatan kelompok rentan, tim Kuliah Kerja Nyata
Pengabdian Pembelajaran Masyarakat Universitas Gadjah Mada (KKN-PPM UGM) JTG-
19 tahun 2017 melakukan beberapa program. Informasi dan data yang dibutuhkan dalam
program diambil dari hasil analisis sensus potensi Desa Kebonrejo pada tahun 2016 dan
2017. Selain itu, sumber lain seperti data posyandu dan wawancara dengan kader
kesehatan juga menjadi pertimbangan dalam pelaksanaan program. Adapun informasi
yang didapatkan kemudian didiskusikan oleh tim untuk pengambilan keputusan terkait
program.
Beberapa program yang sudah dilakukan untuk mencoba menangani permasalahan
pada kelompok rentan adalah program KKN sebelumnya yang lebih fokus pada posyandu
dan kader. Program posyandu dari desa juga berfokus pada balita. Penggunaan Dana Desa
(DD) tahun anggaran 2017 wajib dialokasikan untuk pemberikan makan tambahan untuk
balita dan anak sekolah, serta perawatan kesehatan ibu hamil dan menyusui. Ketentuan
tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.22 tahun 2016 tentang Penetapan
Prioritas Penggunaan Dana Desa (DD) tahun 2017 dalam hal kegiatan prioritas bidang
pemberdayaan masyarakat desa.
Kegiatan ini dilaksanakan di Desa Kebonrejo, Kecamatan Banjarejo, Kabupaten
Blora. Eksekusi utama kegiatan dilaksanakan mulai tanggal 10 Juni 2017 hingga 4
Agustus 2017 selama 8 minggu efektif. Sementara monitoring berjalan hingga November
2017 dengan waktu yang fleksibel menyesuaikan kebutuhan. Tujuan dari kegiatan ini
adalah untuk meningkatkan kesehatan kelompok rentan dengan meningkatkan kesadaran
tentang kesehatan pada masyarakat pada umumnya dan kelompok rentan pada khususnya,
menggali data-data terkait kelompok rentan lewat sensus kesehatan, meningkatkan fungsi
posyandu, serta memeriksa kesehatan lansia.
2. MASALAH

Desa Kebonrejo memiliki potensi yang sangat besar pada bidang pertanian dan
peternakan. Berdasarkan data BPS 2013, Kabupaten Blora memiliki populasi ternak sapi
terbanyak di Jawa Tengah yang sebagian berada di Desa Kebonrejo. Mayoritas
masyarakat bermatapencaharian sebagai peternak dan petani. Dibalik potensi yang besar,
tersembunyi pula beberapa masalah di dalamnya. Pengelolaan ternak di desa masih
menggunakan metode tradisional sehingga manajemen pemeliharan kesehatannya belum
memadai baik bagi ternak maupun manusianya. Hal ini tercermin dari penempatan
kandang ternak terutama sapi masih tidak berbatas jelas dengan hunian manusia, seperti
penempatan sapi atau kandang sapi yang terlalu dekat dengan dapur, kamar mandi, dan
bahkan tempat tidur.
Permasalahan yang ada di desa ini juga terkait dengan sumber daya manusianya.
Hal ini terkait dengan kelompok rentan yang terdiri dari balita, lansia, dan ibu hamil.
Populasi balita di Desa Kebonrejo terdapat sekitar 7% dari populasi total penduduk.
Populasi lansia di Desa Kebonrejo sekitar 17% dari total penduduk. Dengan demikian,
hampir seperempat dari populasi masyarakat Desa Kebonrejo adalah kelompok rentan.
Hal ini membawa permasalahan tersendiri terutama status kesehatan masyarakat Desa
Kebonrejo. Pada umumnya, lansia Desa Kebonrejo menderita berbagai macam penyakit,
baik menular maupun tidak menular. Sel-sel pada tubuh lansia mengalami penuaan
sehingga mudah untuk terserang virus, bakteri, ataupun lainnya. Lansia membutuhkan
perhatian khusus berupa pengontrolan kesehatan secara berkala baik fisik maupun psikis.
Pemerintah desa dapat memanfaatkan bantuan dari kader kesehatan untuk melakukan
pengontrolan kesehatan tersebut.

Tidak semua balita di Desa Kebonrejo melakukan kunjungan Posyandu setiap bulannya.
Tingkat kesadaran orangtua untuk mengontrol tumbuh kembang anak masih rendah.
Berdasarkan data dari posyandu, jumlah balita yang berkunjung ke Posyandu kurang dari
50% populasi balita Desa Kebonrejo. Bidan desa dan kader kesehatan diharapkan dapat
memberikan pendidikan kesehatan dan mengajak orangtua beserta balitanya untuk ke
berkunjung ke Posyandu secara berkala. Pemerintah desa juga dapat memperbaiki sistem
Posyandu yang telah ada sehingga dapat memaksimalkan fungsinya. Balita dengan IMT
<17 (Indeks Masa Tubuh kurang dari 17) menandakan bahwa balita tersebut memiliki
angka kecukupan gizi yang kurang baik. Angka kecukupan gizi dapat memengaruhi
tumbuh kembang serta kecerdasan balita sehingga apabila angka kecukupan gizi baik,
maka dapat mendukung proses tumbuh kembangnya. Balita dengan IMT <17
membutuhkan perhatian khusus terkait dengan makanan yang dikonsumsi, baik jenis
makanannya maupun gizi yang dikandungnya. Pemerintah desa dapat bekerjasama
dengan kader kesehatan untuk melakukan pemberian makanan tambahan serta
pemantauan berat badan secara berkala.

Kesehatan ibu hamil juga perlu diperhatikan karena kesehatan dan kecukupan gizi
diperlukan untuk menunjang tumbuh kembang janin. Untuk menghasilkan bangsa yang
sehat dan cerdas, dimulai dari janin yang sehat serta balita yang kuat. Oleh karena itu,
pemerintah beserta tenaga kesehatan yang ada berkewajiban memberikan edukasi serta
pendampingan terhadap ibu hamil terkait dengan kesehatannya. Pelayanan kesehatan
yang minim juga menjadi persoalan. Hanya terdapat 1 bidan desa yang mengampu
kesehatan sekitar 2300-an jiwa di Desa Kebonrejo. Apabila warga mengalami gangguan
kesehatan biasanya warga memeriksakan dirinya ke bidan desa. Meskipun terdapat
fasilitas kesehatan tingkat pertama yaitu puskesmas, masyarakat desa banyak yang
enggan memeriksakan diri ke puskesmas dengan alasan tidak cocok, serta tidak sedikit
yang beralih untuk memeriksakan diri ke dokter swasta. Dengan berbagai permasalahan
yang ada, tim berupaya untuk menjadi sebuah solusi dengan melakukan kegiatan-
kegiatan pembelajaran dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan guna
meningkatkan status kesehatan kelompok rentan di Desa Kebonrejo.

3. METODE
Pada kegiatan ini, tim menggunakan beberapa jenis metode untuk menyelesaikan masalah,
yaitu sensus kesehatan, pelatihan, konsultasi, dan pendidikan masyarakat. Pada awal
kegiatan, tim turun langsung ke dalam masyarakat untuk melihat kondisi dan masalah
yang ada. Sensus dilakukan dengan cara membagi tim menjadi kelompok kecil untuk
mengunjungi rumah warga satu per satu dan melakukan wawancara. Prioritas dari sensus
ini adalah untuk mendapatkan informasi kesehatan masyarakat, terutama kelompok rentan.
Hasil dari sensus ini dipergunakan sebagai data pendukung program selanjutnya dan
menjadi bahan pertimbangan pemerintah desa untuk menentukan kebijakan terkait dengan
kesehatan masyarakatnya.
Selanjutnya adalah pelatihan kader kesehatan yang merupakan program untuk
meningkatkan pengetahuan serta keterampilan para kader. Program ini bertujuan agar
peran kader kesehatan dalam meningkatkan status kesehatan masyarakat dapat optimal.
Dalam hal ini, peran kader tidak hanya berfokus pada kesehatan pribadi ataupun keluarga,
akan tetapi bisa berpengaruh terhadap masyarakat luas, serta tugas dan fungsinya dapat
dilaksanakan secara maksimal. Setelah dilaksanakannya pelatihan untuk kader kesehatan
Desa Kebonrejo Kabupaten Blora, diharapkan para kader dapat berkerja dan berperan
dalam pelayanan dan pembangunan kesehatan masyarakat sehinga dapat meningkatkan
kualitas hidup masyarakat, terutama kelompok rentan.

Metode berikutnya adalah konsultasi. Konsultasi merupakan program yang digunakan


untuk kegiatan-kegiatan yang di dalamnya persoalan diselesaikan melalui sinergisme
dengan Perguruan Tinggi. Dalam hal ini, permasalahan yang didapatkan melalui sensus
kesehatan berusaha dipecahkan melalui ilmu yang telah didapatkan di perguruan tinggi,
melalui program pendampingan posyandu dan pemeriksaan kesehatan. Pendampingan
posyandu dilakukan dengan tujuan agar program posyandu Desa Kebonrejo Kabupaten
Blora dapat terlaksana secara efektif dan efisien, dan tidak terfokus pada balita saja,
namun juga ibu hamil dan lansia. Pemeriksaan kesehatan disini dilakukan dengan
mengecek kesehatan masyarakat Desa Kebonrejo secara umum. Metode terakhir adalah
pendidikan masyarakat. Sebagian masyarakat masih menggunakan pengobatan atau terapi
yang tidak sesuai dengan evidence based medis. Terkadang juga mempercayai mitos-mitos
yang berkembang di masyarakat. Hal ini dapat berbahaya bagi kesehatan masyarakat itu
sendiri. Selain itu, obat-obat yang mudah dibeli masyarakat seperti di warung perlu
pengetahuan untuk penggunaan yang tepat dan mencegah penyalahgunaan. Dari masalah
tersebut perlu dilakukan penyuluhan swamedikasi kepada kelompok rentan di Desa
Kebonrejo. Swamedikasi adalah upaya masyarakat melakukan pengobatan sendiri secara
tepat untuk penyakit ringan tanpa berobat ke dokter. Materi disampaikan oleh mahasiswa
menggunakan power point dan diskusi interaktif dengan masyarakat. Pendidikan
kesehatan ini dilakukan bersamaan
dengan acara warga sehingga cakupan warga yang datang cukup luas.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil dan pembahasan penelitian didapatkan dengan metode sensus kesehatan, pelatihan,
konsultasi, dan pendidikan masyarakat.
Pemberdayaan Berbasis Sensus Kesehatan
Sensus kesehatan dilaksanakan satu kali di awal kegiatan KKN pada bulan Juni 2017
untuk mengetahui jumlah dan masalah yang ada pada kelompok rentan. Data yang telah
terkumpul kemudian diolah menggunakan analisis data eksploratif (Ade, 2011).
Berdasarkan hasil sensus kesehatan, Desa Kebonrejo, Kecamatan Banjarejo, Blora
memiliki 164 balita, 12 ibu hamil dan 390 lansia (Gambar 1). Jika dibandingkan dengan
populasi keseluruhan, 24,7% dari warga adalah kelompok rentan pada tiga (3) kategori
tersebut. Masing-masing dusun memiliki jumlah kelompok rentan yang berbeda namun
secara garis besar Dusun Kebonrejo memiliki jumlah kelompok rentan yang paling
banyak. Salah satu faktornya karena wilayah yang paling luas. Berikut diagram populasi
kelompok rentan.

Sumber: Data primer diolah (2017)

Gambar 1. Diagram jumlah populasi kelompok rentan

Cakupan yang dimiliki posyandu menjadi penting untuk terus memantau


pertumbuhan dan perkembangan balita. Berdasarkan hasil sensus hanya 80 dari 164 balita
Kebonrejo yang datang ke posyandu pada Juni 2017. Angka tersebut sangat rendah karena
kurang dari setengah total populasi balita yang datang ke posyandu. Lebih
memprihatinkannya lagi, dari 80 balita yang datang ke posyandu, 71 balita memiliki
indeks masa tubuh (IMT) di bawah 17 (Gambar 2).

175
Sumber: Data primer diolah (2017)

Gambar 2. Diagram persebaran balita dengan IMT < 17 di Desa Kebonrejo

Indeks masa tubuh (IMT) digunakan untuk mengukur status gizi seseorang, apakah
tergolong kurus, normal atau berlebih. IMT <17 pada balita berarti balita tersebut
mengalami kekurangan gizi. Potensi tinggi badan seorang anak sangat bergantung pada
kecukupan gizi yang didapat selama masa ini. Status gizi balita pendek (stunting) di
Indonesia belum menunjukan perbaikan tiap tahunnya yaitu 36,8% pada 2007, 35,6%
pada 2010 dan 37,2% pada 2013 (Pusat Data dan Informasi Kemenkes RI,
2016).

Dari hasil analisis data, 4 dari 12 ibu hamil yang ada di Desa Kebonrejo
merupakan ibu dengan kehamilan berisiko ditinjau dari umur, lingkar lengan atas dan
kurang energi kronis (KEK) yang dilihat dari IMT. Rendahnya awareness terhadap hal ini
juga menjadi masalah tersendiri karena ibu hamil dan keluarga di sana cenderung kurang
peduli terhadap kehamilannya.
Berdasarkan sensus yang dilakukan pada bulan Juni 2017, didapatkan jumlah
lansia Desa Kebonrejo yaitu 390 jiwa dengan data sebaran jenis penyakit (Gambar 3).
176
Sumber: Data primer diolah (2017)

Gambar 3. Presentase persebaran penyakit pada lansia Desa Kebonrejo

Lansia Desa Kebonrejo terbanyak mengeluhkan linu-linu sejumlah 40% (135 jiwa). Linu
merupakan tanda dan gejala suatu penyakit, sehingga membutuhkan pemeriksaan lebih
lanjut untuk mendiagnosis jenis penyakitnya. Hipertensi menempati peringkat kedua
setelah linu. Sejumlah 15% (51 jiwa) memiliki tekanan darah di atas angka normal.
Penyakit tidak menular selanjutnya yaitu stroke sejumlah 13% (43 jiwa).

Pembelajaran Melalui Pelatihan Kader Kesehatan

Kader kesehatan memiliki peran penting dalam menyokong kesehatan masyarakat Desa
Kebonrejo. Idealnya, seorang kader kesehatan memiliki pengetahuan tentang kesehatan
lebih dalam dibandingkan masyakarat secara umum. Selain pengetahuan, kesadaran dan
motivasi untuk menjaga kesehatan yang dimiliki seorang kader kesehatan seharusnya tidak
sebatas menjaga kesehatan diri sendiri, akan tetapi juga berkontribusi positif dalam
menjaga kesehatan masyarakat lingkungan sekitar dalam bentuk promotif dan
177
preventif. Ketiga hal ini akan sangat berpengaruh terhadap keaktifan para kader menjaga
kesehatan masyarakat (Wijaya dkk, 2013).
Kondisi ideal ini masih belum ditemui dalam diri kader kesehatan Desa Kebonrejo.
Kader Kesehatan disini difungsikan hanya sebagai penyelenggara posyandu, belum pada
tahap selanjutnya yaitu mulai mempromosikan kesehatan kepada masyarakat umum dan
juga fungsi lainnya seperti konselor sebaya dan pembinaan remaja. Pelaksanaan posyandu
pun dirasa kurang memenuhi standar dimana banyak ditemukan cara pengukuran
antropometri bayi dan balita yang kurang akurat, tidak teratur dan banyak fasilitas alat
kesehatan yang masih belum dapat digunakan dengan baik. Kondisi kader kesehatan
Dusun Pruntusan yang masih baru juga butuh untuk dilatih. Oleh karena itu, pelatihan
kader kesehatan perlu untuk diadakan.
Mengacu pada target dan luaran pelatihan kader kesehatan oleh WHO (1995) dan
pada penelitian Negara dkk (2016), pelatihan kader kesehatan dilaksanakan sebanyak 2
kali, yaitu pada tanggal 10-11 Juli 2017 dan 27 Juli 2017. Serta pelatihan susulan pada 31
Juli 2017. Pada pelaksanaan pertama, pelatihan diisi langsung oleh dosen PSIK FK UGM,
dengan materi pelaksanaan posyandu yang baik, nutrisi anak dan pengenalan dan cara
pemakaian alat kesehatan. Setelah pelatihan kader kesehatan yang pertama ini, tim secara
langsung melakukan tindak lanjut dengan cara ikut menerjunkan kader kesehatan pada
program pendampingan posyandu terutama saat pemberian makanan tambahan dan FGD
(Forum Group Discussion) dengan ibu balita. Pelatihan kader kesehatan yang kedua dan
pelatihan susulan dimaksimalkan untuk pelatihan alat kesehatan. Hal ini bertujuan agar
kader yang ada dapat memanfaatkan fasilitas yang telah ada di masing-masing posyandu.
Setelah pelatihan kader kesehatan yang kedua ini,

178
segera dilakukan follow up dengan cara ikut menerjunkan kader kesehatan pada saat
program pemeriksaan kesehatan.
Tantangan yang tim hadapi adalah komunikasi dan koordinasi. Terjadinya
perubahan timeline membuat hari pelatihan pertama cukup kacau dimana mahasiswa KKN
sedang melakukan program lain di tempat yang sama. Hal ini bisa diantisipasi dengan
memindah tempat pelaksanaan dari Balai Desa Kebonrejo ke SD Kebonrejo 2.

Pemberdayaan Pendampingan Posyandu

Posyandu merupakan salah satu bentuk Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat


(UKBM) yang dikelola oleh, dari, untuk, dan bersama masyarakat, guna memberdayakan
masyarakat dan memberikan kemudahan kepada masyarakat dalam memperoleh
pelayanan kesehatan dasar (Kemenkes, 2012). Desa Kebonrejo, Banjarejo, Blora memiliki
empat Posyandu yang tersebar di tiga dusun, yaitu Dusun Pruntusan, Kebonrejo, dan
Nglempung. Sesuai dengan standar Posyandu, pelaksanaan ke-empat Posyandu tersebut
dibantu oleh kader kesehatan (memberdayakan masyarakat). Posyandu tersebut
dilaksanakan setiap bulan sekali yang didampingi oleh bidan desa.
Posyandu Dusun Pruntusan diselenggarakan di Balai Desa yang dibantu oleh lima
kader kesehatan. Kader tersebut membantu dalam penimbangan berat badan balita,
pengukuran tinggi badan balita, serta melakukan pendokumentasian. Sedangkan Posyandu
Dusun Kebonrejo diselenggarakan di dua tempat dengan hari yang berbeda.
Penyelenggaraan dua kali Posyandu dikarenakan wilayah Dusun Kebonrejo yang luas,
apabila diselenggarakan hanya di satu tempat maka kurang efektif. Meskipun
penyelenggaraan dua kali, Dusun Kebonrejo memiliki kader kesehatan yang paling
sedikit, hal ini menjadi salah satu penyebab kurang efektifnya kegiatan Posyandu.

179
Dusun Nglempung memiliki lima kader kesehatan yang membantu pelaksanaan kegiatan
Posyandu.
Pendampingan Posyandu oleh tim dilakukan dua kali yaitu pada bulan Juni dan
Juli 2017. Tim mendampingi selama proses pelaksanaan serta melakukan evaluasi
terhadap jalannya Posyandu. Tim melakukan demonstrasi kepada kader kesehatan terkait
dengan pelaksanaan Posyandu sistem lima meja. Kegiatan pendampingan Posyandu
lainnya yaitu edukasi kelompok sebaya atau peer education. Kegiatan ini mengacu pada
penelitian yang dilakukan oleh Aisah dkk (2010) yang dapat mengubah perilaku
masyarakat menjadi lebih sehat. Kegiatan tersebut merupakan upaya untuk mencegah dan
mengurangi gangguan secara langsung (intervensi gizi spesifik) dan upaya untuk
mencegah dan mengurangi gangguan secara tidak langsung (intervensi gizi sensitif).
Sasaran kegiatan peer education meliputi balita, lansia, dan ibu hamil. Pada kelompok
balita, tim mengadakan kegiatan pemberian makanan tambahan kepada balita dengan
IMT<17. Pemberian makanan tambahan ini diselingi dengan penyuluhan berbentuk forum
group discussion.
Hasil program tersebut tentunya tidak bisa dilihat secara langsung. Penambahan
berat badan pada bulan selanjutnya terlihat meningkat pada sebagian besar balita. Namun
perlu terus dikontrol pada bulan-bulan selanjutnya. Hasil yang bisa dilihat langsung adalah
adanya partisipasi lebih dari ibu balita dan kader kesehatan. Karena dari program ini,
kader kesehatan dituntut untuk bisa menyediakan makanan yang baik bagi balita,
memimpin diskusi dan memantik partisipasi ibu. Program peer education ini bisa
dilanjutkan dengan partisipasi kader dan ibu balita serta tentunya adanya dukungan
pemerintah Blora untuk melakukan kontrol alokasi dana desa untuk makanan tambahan
Balita. Penggunaan Dana Desa (DD) tahun anggaran 2017 wajib mengalokasikan dana
untuk memberikan makan tambahan untuk Balita, anak sekolah dan perawatan kesehatan
ibu hamil dan menyusui. Ketentuan tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP)
No.22 tahun 2016 tentang Penetapan Prioritas Penggunaan Dana Desa (DD) tahun 2017
dalam hal kegiatan prioritas bidang pemberdayaan masyarakat desa.
Intervensi gizi spesifik tidak akan berjalan baik tanpa intervensi gizi sensitif.
Intervensi gizi spesifik seperti peer education hanya berkontribusi 30%, sedangkan 70%
nya merupakan kontribusi intervensi gizi sensitif yang melibatkan berbagai sektor seperti
ketahanan pangan, ketersediaan air bersih dan sanitasi, penanggulangan kemiskinan,
pendidikan, sosial, dan sebagainya. Pemerintah kabupaten Blora khususnya memiliki
peran yang sangat penting bagi tercapainya 70% kontribusi gizi sensitif yaitu lewat
beberapa pihak contohnya Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan dan Dinas Sosial. Langkah
strategis yang bisa diambil adalah dengan penurunan Dana Desa yang sesuai dan dengan
dana Bantuan Operasional Kesehatan untuk pemberian makanan tambahan pemulihan bagi
balita gizi kurang lewat Dinas Kesehatan Blora ke Ditjen Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan
anak Kementrian Kesehatan RI.
Dampak buruk yang dapat ditimbulkan oleh masalah gizi pada periode balita,
dalam jangka pendek adalah terganggunya perkembangan otak, kecerdasan, gangguan
pertumbuhan fisik, dan gangguan metabolisme dalam tubuh. Sedangkan dalam jangka
panjang akibat buruk yang dapat ditimbulkan adalah menurunnya kemampuan kognitif
dan prestasi belajar, menurunnya kekebalan tubuh sehingga mudah sakit, dan risiko tinggi
untuk munculnya penyakit diabetes, kegemukan, penyakit jantung dan pembuluh darah,
kanker, stroke, dan disabilitas pada usia tua, serta kualitas kerja yang tidak kompetitif
yang berakibat pada rendahnya produktivitas ekonomi.
Pelaksanaan peer education pada kelompok lansia berupa pemeriksaan kesehatan
yang meliputi pengecekan kadar asam urat, dan kolesterol, serta konseling kesehatan.
Menurut World Health Organization (WHO), lansia merupakan seseorang yang telah
memasuki usia 60 tahun ke atas. Fungsi organ tubuh manusia akan menurun sebanyak satu
persen setiap tahunnya setelah usia 30 tahun, oleh karena itu perlu dilakukan pemantauan
kesehatan secara rutin. Proses menua setiap individu dan setiap organ tubuh berbeda, hal
ini dipengaruhi oleh gaya hidup, lingkungan dan penyakit degenerative. Proses menua dan
perubahan fisiologis pada lansia mengakibatkan beberapa kemunduran dan kelemahan,
serta implikasi klinik berupa penyakit kronik dan infeksi. Beberapa kondisi lansia yang
mengalami penurunan fungsi seperti berkurangnya fungsi paru, menurunnya sistem imun,
serta meningkatnya resiko penurunan fungsi sendi dan tulang (pengeroposan). Penyuluhan
kesehatan yang dilakukan oleh tim berupa pengetahuan tentang pola hidup sehat yang
bertujuan untuk membantu mengontrol penyakit serta mencegah timbulnya berbagai
penyakit. Selain itu, lansia dianjurkan untuk berolahraga secara teratur untuk
meningkatkan dan mempertahankan kebugaran dan kesehatan.
Program peer education juga diselenggarakan pada kelompok ibu hamil. Dalam
pelaksanaannya, tim bekerjasama dengan bidan desa menyelenggarakan kelas ibu hamil.
Kelas ibu hamil ini diikuti oleh seluruh ibu hamil di Desa Kebonrejo, dan diselenggarakan
di Balai Desa pada tanggal 14 Juli 2017. Kelas ibu hamil ini berisi penyampaian materi
serta diskusi terkait dengan pola hidup sehat ibu hamil serta tanda bahayanya.

Pemberdayaan Melalui Penyuluhan Swamedikasi

182
Penyuluhan kesehatan merupakan salah satu program yang tidak bisa lepas dari kegiatan
pengabdian masyarakat. Penyuluhan kesehatan merupakan salah satu upaya promotif
untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Penyuluhan kesehatan yang juga
dilakukan di Desa Kebonrejo adalah penyuluhan swamedikasi. Swamedikasi atau
pengobatan sendiri adalah usaha seseorang untuk mengobati sendiri penyakitnya tanpa ke
dokter terlebih dahulu. Menurut data Riskesdas pada tahun 2010, sekitar 55,8%
masyarakat Indonesia melakukan pengobatan sendiri jika mengalami sakit. Namun,
banyak sekali masyarakat yang melakukan pengobatan sendiri cenderung sembarangan
menggunakan obat karena ketidaktahuan atau ketidakpedulian terhadap kesehatan diri.
Dalam hal ini, penyuluhan swamedikasi dilaksanakan di desa karena melihat data yang
menunjukkan banyak masyarakat yang melakukan pengobatan sendiri untuk meringankan
gejala yang dirasakan dan kecenderungan masyarakat yang jarang memeriksakan
kesehatannya ke dokter.
Penyuluhan ini dilakukan bersama dengan program keluarga harapan (PKH) Desa
Kebonrejo pada tanggal 23 Juli 2017 di Balai Desa. Penyuluhan ini dihadiri oleh 116
orang. Peserta mendapatkan materi berupa materi pengobatan sendiri, pengenalan jenis-
jenis obat-obatan, dan cara mendapatkan, menggunakan, menyimpan, serta membuang
obat-obatan dengan baik. Materi disampaikan oleh mahasiswa KKN dan sumber materi
berasal dari Fakultas Farmasi UGM. Hal mendasar yang menjadi kekurangan program ini
adalah bentuk follow up dari program tersebut karena tidak ada lembaga yang menjadi
wadah untuk melanjutkan program.

Pemberdayaan Berbasis Pemeriksaan Kesehatan Lansia

Sebagian besar warga terutama lansia tidak rutin untuk memeriksakan kesehataannya. Dari
data sensus kesehatan yang dilakukan, terdapat 13% dari total jumlah warga yang

183
menderita stroke. Warga yang menderita stroke sangat jarang dimonitoring keadaan
kesehatannya. Dari kunjungan yang dilakukan, terdapat penderita stroke yang sudah tidak
diperiksakan keadaanya selama 3 tahun. Terdapat sekitar 15% warga yang menderita
hipertensi dan juga tidak memeriksaan penyakitnya kecuali jika mengalami kekambuhan.
Apabila warga mengalami gangguan kesehatan biasanya mereka memeriksakan dirinya ke
bidan desa. Hanya terdapat 1 bidan desa yang mengampu kesehatan sekitar 2300-an jiwa
di desa Kebonrejo. Hal ini sungguh miris. Meskipun ada fasilitas kesehatan tingkat
pertama yaitu puskesmas, masyarakat desa banyak yang tidak memeriksakan diri ke
puskesmas dengan alasan tidak cocok, dan tidak sedikit yang beralih untuk memeriksakan
diri ke dokter swasta.
Untuk mengetahui keadaan kesehatan warga terutama lansia, program pemeriksaan
kesehatan dilaksanakan. Pemeriksaan kesehatan meliputi pemeriksaan tekanan darah, gula
darah, dan asam urat, serta dilakukan konseling kesehatan kepada masyarakat desa.
Pemeriksaan kesehatan dilakukan sebanyak 2 kali di tempat yang berbeda. Pertama
dilakukan di Dusun Nglempung di rumah kepala dusun untuk warga dusun Nglempung
pada tanggal 28 Juli 2017. Sekitar 70 orang warga datang untuk memeriksakan diri.
Sebagian besar adalah para lansia. Kedua, dilakukan di Balai Desa untuk warga Dusun
Pruntusan dan Keboan pada tanggal 1 Agustus 2017.
Total warga desa yang melakukan pemeriksaan kesehatan mencapai ±150 orang.
Namun apabila dilihat kembali, program pemeriksaan kesehatan ini belum dapat
menjangkau kalangan lansia secara penuh. Hal ini dapat dilihat banyak lansia yang
membutuhkan pelayanan, tetapi tidak dapat menempuh jarak hingga ke lokasi
pemeriksaan.

184
Keterbatasan fasilitas dan buruknya koordinasi dengan instansi terkait menjadi
kendala tersendiri bagi program ini. Permohonan bantuan obat-obatan tidak dapat
dilakukan, padahal mayoritas masyarakat Desa Kebonrejo masih drugs-oriented, selalu
terpaku dan bergantung pada obat. Oleh karena itu membutuhkan edukasi terkait untuk
meluruskan pola pikir warga. Hal ini dapat dilakukan dengan komunikasi yang baik
dengan warga, sehingga warga dapat mengerti dan menerima sebuah paradigma kesehatan
yang baru, yaitu preventif dan promotif kesehatan.

5. KESIMPULAN DAN SARAN

Tim mencoba untuk menyelesaikan masalah dan tantangan kesehatan kelompok lansia
melalui upaya peningkatan kesehatan dengan program-program untuk kelompok rentan
berupa sensus kesehatan, pelatihan kader kesehatan, pendampingan posyandu, penyuluhan
swamedikasi dan pemeriksaan kesehatan lansia. Seluruh program yang direncanakan dapat
berjalan secara lancar. Antusiasme dari masyarakat terhadap program kesehatan cukup
baik.
Beberapa saran yang dapat menjadi perhatian baik kepada pemerintah desa
maupun tim pengabdian masyarakat selanjutnya yaitu untuk memberikan perhatian khusus
terhadap kelompok rentan dengan memanfaatkan kader kesehatan. Selain itu, perlu
dilakukan pelatihan lanjutan yang disertai dengan pendampingan dari tenaga medis
profesional. Penambahan dan perawatan sarana prasarana bagi kader kesehatan dan
kegiatannya juga diperlukan untuk menunjang optimalisasi fungsi kader kesehatan di desa.
Peningkatan status kesehatan masyarakat akan dapat benar-benar terwujud jika usaha-
usaha yang telah diinisiasi oleh tim KKN dilanjutkan secara bekesinambungan baik oleh
masyarakat maupun pemerintah desa dan daerah.

185
DAFTAR PUSTAKA

Ade Setiawan. (2011). Analisis Data Eksploratif. Diakses dari


http://www.smartstat.info/blog/statistika/analisis-data-eksploratif/ diakses pada 5
Oktober 2011.
Afifa, Ireska T., Sambo, Catharine M., Medise, Bernie E. (2016). Pentingnya Memantau
Pertumbuhan dan Perkembangan Anak (Bagian 1). Diakses dari
http://www.idai.or.id/artikel/seputar-kesehatan-anak/pentingnya-memantau-
pertumbuhan-dan-perkembangan-anak-bagian-1.

Aisah, S, Sahar, J, Hastono, S.P. (2010). Pengaruh Edukasi Kelompok Sebaya terhadap
Perubahan Perilaku Pencegahan Anemia Gizi Besi pada Wanita Usia Subur di Kota
Semarang [Prosiding]. Seminar Nasional Unimus, Semarang, 119-127

Anwar, F, Khomsan, A, Sukandar, D, Riyadi, H, Mudjajanto, E.S. (2010). High


Participation in The Posyandu Nutrition Program Improved Children Nutritional
Status, Nutrition Research and Practice 4(3), 208-214.
Ditjen Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak Kemenkes RI. (2011). Panduan
Penyelenggaraan Pemberian Makanan Tambahan Pemulihan Bagi Balita Gizi
Kurang (Bantuan Operasional Kesehatan). Jakarta: Kemenkes RI.

Hoesin, Iskandar. (2004). Perlindungan terhadap Kelompok Rentan (Wanita, Anak,


Minoritas, Suku Terasing, dll) dalam Perspektif Hak Asasi Manusia [Materi].
Seminar Pembangunan Hukum Nasional ke VIII Tahun 2003, Denpasar, Bali, 14 - 18
Juli 2003.

Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertingal, dan Transmigrasi RI. (2016).

Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertingal, dan Transmigrasi RI


186
Jurnal Ilmiah Keperawatan Indonesia●
Vol 1, No 1, 2017 ISSN: 2580-3077

nomor 22 tahun 2016 tentang Penetapan Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun
2017. Jakarta.

Negara, I.G.N.M, Gandamayu, I.B.M, Kamaryati, N.P. (2016). Ipteks Bagi Masyarakat
(IbM) Kelompok Kader Posyandu Lanjut Usia (Lansia) di Desa Pererenan
[Prosiding]. Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat
2016: Inovasi IPTEKS Perguruan Tinggi untuk Meningkatkan Kesejahteraan
Masyarakat, Denpasar: 85-90.

Pusat data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI. (2016). Situasi Balita Pendek.
Riskesdas.(2010). Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Kemenkes RI.
United Nation of Children’s Fund. (2012). Ringkasan Kajian Kesehatan. Diakses dari

https://www.unicef.org/indonesia/id/A5_B_Ringkasan_Kajian_Kesehatan_REV.pdf.

Wijaya, I.M.K, Murti, B, Suriyasa, P. (2013). Hubungan Pengetahuan, Sikap dan Motivasi
Kader Kesehatan dengan Aktivitasnya dalam Pengendalian Kasus Tuberkulosis di
Kabupaten Buleleng. Jurnal Magister Kedokteran Keluarga 1(1), 38-48.
World Health Organization. Alih bahasa oleh Heru, A. (1995). Kader Kesehatan
Masyarakat. Jakarta: EGC

47
Jurnal Ilmiah Keperawatan Indonesia●
Vol 1, No 1, 2017 ISSN: 2580-3077

KESIAPSIAGAAN KELUARGA DENGAN PENYAKIT KRONIS


MENGHADAPI BENCANA GUNUNG BERAPI DI DESA
SIDOREJO KECAMATAN KEMALANG KLATEN

Istianna Nurhidayati1, Ema


Ratna 2 1, 2 STIKES
Muhammadiyah Klaten

Jl. Ir.Soekarno Km 1 Buntalan Klaten


Tengah Klaten

Email: istiannanurhidayati@gmail.com

Diterima:31 Maret 2017 Disetujui:2 Mei 2017

Abstrak

Latar belakang: Gangguan kondisi kesehatan dan terputusnya perawatan


kesehatan rutin dengan fasilitas pelayanan kesehatan akibat terjadinya bencana
menjadikan kelompok dengan penyakit kronis menghadapi resiko paparan
penyakit menular, gangguan pernapasan, integritas kulit, eksaserbasi dan
kematian yang lebih tinggi dibandingkan kelompok biasa pada umumnya. Hal
tersebut membuat penderita penyakit kronis rentan terkena dampak bencana
yang lebih berat saat bencana terjadi. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui
kesiapsiagaan keluarga dengan penyakit kronis pada kejadian bencana

Metode: Penelitian ini dilakukan secara korelasional dengan desain penelitian


cross- sectional. Populasi penelitian ini adalah keluarga dengan penyakit kronis
di Desa Sidorejo Kecamatan Kemalang Klaten yang tercatat di Puskesmas
Kemalang. Jumlah sampel penelitian sebanyak 35 sampel diambil dengan tehnik
total sampling. Instrument yang digunakan adalah kuesioner. analisa data
menggunakan uji Chi- square dan Kendall-Tau 48
Jurnal Ilmiah Keperawatan Indonesia●
Vol 1, No 1, 2017 ISSN: 2580-3077

Hasil: Keluarga dengan penyakit kronis yang memiliki kesiapsiagaan kategori


kurang siap sebanyak 51,4% dan siap sebanyak 48,6%. Berdasarkan uji Chi-
square tidak terdapat hubungan antara tipe keluarga dengan kesiapsiagaan
keluarga dengan penyakit kronis sedangkan berdasarkan uji Kendall-Tau
terdapat hubungan antara pendapatan dengan kesiapsiagaan keluarga (p value
<0,05) dan tidak terdapat hubungan antara APGAR keluarga serta tingkat
pendidikan dengan kesiapsiagaan keluarga dengan kesiapsiagaan bencana (p
value >0,05)

Kesimpulan: Keluarga dengan penyakit kronis di Desa Sidorejo Kecamatan


Kemalang Klaten memiliki kesiapsiagaan dalam kategori kurang siap

Kata Kunci: Keluarga dengan penyakit kronis, kesiapsiagaan, bencana gunung

Rujukan artikel penelitian:

Nurhidayati, I. & Ratna, E. (2017). Kesiapsiagaan Keluarga dengan Penyakit Kronis Meghadapi Bencana
Gunung Berapi di Desa SidorejoKecamatan Kemalang Klaten. Jurnal Ilmiah Keperawatan Indonesia. Vol. 1
berapi
(1): 47-52.

49
Jurnal Ilmiah Keperawatan Indonesia●
Vol 1, No 1, 2017 ISSN: 2580-3077

Abstract

Background: Disruption of health conditions and discontinueing routine health


care with health care facilities as a result of the disaster to make the group with
chronic diseases face the risk of exposure to infectious diseases, respiratory
disorders, skin integrity, exacerbations and mortality is higher than an ordinary
group. It makes people vulnerable to chronic disease affected more severe when
a disaster occurs. The aim of this study was to determine the preparedness of
families with chronic disease in the event of disaster

Metode: This research used correlational with cross-sectional study design. The
study population was family with a chronic illness in the village Sidorejo
Kemalang District of Klaten. Number of samples 35 samples are taken with total
sampling technique. The instrument used was a questionnaire. Data analysis
using Chi-square and Kendall-Tau

Results: Families with chronic diseases who have preparedness category as


much as 51.4% less prepared and ready as much as 48.6%. Based on Chi-square
test type of family was no correlattion to family preparedness with chronic
diseases while Kendall-Tau test based on the relationship between income with
family preparedness with p value <0.05 and there was no correlation between
Apgar family as well as level of education and family preparedness with disaster
preparedness with p value> 0.05.

Conclusion: Families with chronic diseases in the village Sidorejo Kemalang


District of Klaten have preparedness in the category of ready

Keywords: Families with chronic diseases, preparedness, Volcano disaster

PENDAHULUAN

Palang Merah Internasional (2016) menggambarkan bencana sebagai


suatu kejadian yang luar biasa, tidak terduga dan terjadi tiba-tiba. Bencana dapat 50
Jurnal Ilmiah Keperawatan Indonesia●
Vol 1, No 1, 2017 ISSN: 2580-3077

terjadi karena pengaruh dari perbuatan manusia dan atau kekuatan alam. Bencana
akibat pengaruh manusia antara lain kecelakaan lalulintas, kecelakaan kerja,
pelepasan bahan berbahaya dan runtuhnya bangunan. Sedangkan bencana akibat
kekuatan alam/bencana alam yaitu badai tropis, suhu panas dan dingin yang
ekstrim, angina, banjir, gempa bumi, tanah longsor dan letusan gunung berapi.
Bencana alam dapat menyebabkan hilangnya nyawa, cedera atau dampak
kesehatan lainnya, kerusakan properti, kehilangan mata pencaharian dan layanan
kesehatan, gangguan social dan ekonomi atau kerusakan lingkungan.

51
Jurnal Ilmiah Keperawatan Indonesia●
Vol 1, No 1, 2017 ISSN: 2580-3077

Organisasi Kesehatan dunia (WHO,2016) menyebutkan kelompok rentan


saat terjadi bencana antara lain anak-anak, perempuan hamil, lanjut usia, orang
dengan malnutrisi dan orang yang memiliki penyakit ataupun gangguan imunitas.
WHO memperkirakan pada tahun 2020, penyakit kronis akan mencapai hampir
tiga- perempat dari semua kematian di seluruh dunia. 71% kematian karena
penyakit jantung iskemik (IHD), 75% dari kematian akibat stroke, dan 70% dari
kematian akibat diabetes akan terjadi di negara berkembang. Jumlah penderita
diabetes di negara berkembang akan meningkat lebih dari 2,5 kali lipat, dari 84
juta pada tahun 1995 menjadi 228 juta pada tahun 2025. Kerentanan kelompok
dengan penyakit kronis dalam menghadapi bencana disebabkan oleh gangguan
pada kondisi kesehatan dan terputusnya perawatan kesehatan rutin dengan
fasilitas pelayanan kesehatan akibat terjadinya bencana sehingga membuat
kelompok dengan penyakit kronis menghadapi resiko paparan penyakit menular,
gangguan pernapasan, gangguan integritas kulit, eksaserbasi dan kematian yang
lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok biasa pada umumnya saat
menghadapi bencana (Cherry & Trainer, 2008; Greenough et al, 2008; Pate,
2008; Smith & Macdonald, 2006 yang disitasi oleh Owens & Martsolf, 2014;
Tomio & Sato, 2014).
Bencana Badai Katrina yang terjadi di New Orleans, Louisiana, Amerika
Serikat pada tahun 2005 menjadi salah satu bencana alam dengan jumlah korban
dengan penyakit kronis terbanyak di dunia. Miller dan Arquilla (2008)
menyampaikan hasil survei pengungsi Badai Katrina, 41% pengungsi memiliki 1
kondisi kesehatan kronis, dan ketika jumlah orang dewasa ( usia lebih 18 tahun)
dikurangi, didapatkan hasil lebih dari seperempat populasi yang tersisa, orang
dewasa yang tinggal di New Orleans, Louisiana, dilaporkan memiliki setidaknya
satu penyakit kronis berikut: hipertensi (29%); asma (12%); diabetes (9%);
angina atau penyakit jantung koroner (4,6%); riwayat miokard infark (3%); atau
stroke (2%). Gempa bumi yang terjadi di Jepang tahun 2011, tepatnya di wilayah
Fukushima, Miyagi dan Iwate dengan kekuatan 9,0 skala richte, menyebabkan
7.197 jiwa tewas dan 10.905 resmi dinyatakan hilang. Sejumlah korban pada
kejadian gempa besar di Jepang tahun 2011 mengalami eksaserbasi dan kematian
akibat penyakit kronis,
52
Jurnal Ilmiah Keperawatan Indonesia●
Vol 1, No 1, 2017 ISSN: 2580-3077

termasuk hipertensi, diabetes, kanker, dan penyakit pernapasan kronis (Tomio &
Sato, 2014). Bencana tidak hanya melanda Jepang. Negara di Asia lain memiliki
resiko bencana dengan intensitas kejadian yang cukup sering. Negara tersebut:
Indonesia, Bangladesh, Iran, Pakistan, Philiphina, India, China, Sri Lanka,
Myanmar dan Afghanistan juga mengalaminya (Natural Disaster Risk Index
oleh Maplecroft
,2010).

Maplecroft (2010) mencatat Indonesia menjadi negara peringkat dua di


Asia setelah Bangladesh dan sebelum Iran sebagai negara dengan resiko bencana
yang ekstrim terbanyak. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (2015)
mencatat selama 5 tahun terakhir, 2010-2014 kejadian bencana di Indonesia
mencapai 1.907 kejadian, terdiri dari 1.124 bencana alam, 626 bencana non alam
dan 157 bencana sosial. Indonesia yang terletak di pertemuan 3 lempeng tektonik
aktif, yaitu lempeng Indo-Australia, lempeng Euro-Asia dan lempeng Pasifik
serta berada pada Cincin Api Pasifik sehingga memiliki 400 gunung api yang
130 diantaranya masih aktif dan dapat mengalami erupsi kapan saja membuat
Indonesia menjadi daerah yang rawan bencana alam seperti gunung meletus,
gempa bumi, tsunami, banjir dan tanah longsor (Rencana Nasional
Penanggulangan Bencana/ Renas PB, 2010) ;Priyono, 2014). Dari sekian banyak
bencana yang mungkin timbul akibat letak geografis Indonesia, bencana gunung
meletus menjadi salah satu bencana alam yang paling mengancam keselamatan
masyarakat gunung berapi aktif di Indonesia mengalami peningkatan aktifitas
dan erupsi pada 10 tahun terakhir. Sutopo memaparkan berdasarkan data Badan
Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB, 2014) kejadian bencana letusan
gunung berapi di Indonesia, antara lain letusan Gunung Merapi (26 Oktober
2010), Gunung Sinabung (13 September 2013), Gunung Kelud (13 Februari
2014), Gunung
Sangeangapi (30 Maret 2014) Gunung Slamet (13 september 2014) dan Gunung

Gamalama (18 Desember 2014).

Kabupaten Klaten menjadi salah satu kabupaten di Jawa Tengah yang


paling terdampak saat Gunung Merapi mengalami erupsi. Berdasarkan catatan
53
BNPB tahun 2010 Kabupaten Klaten memiliki jumlah pengungsi mencapai
Jurnal Ilmiah Keperawatan Indonesia●
Vol 1, No 1, 2017 ISSN: 2580-3077

4.321 jiwa dengan korban yang menjalani rawat inap sebanyak 30 orang dan
keseluruhan korban

54
Jurnal Ilmiah Keperawatan Indonesia●
Vol 1, No 1, 2017 ISSN: 2580-3077

meninggal sebanyak 36 jiwa akibat letusan Gunung Merapi 2010. Berdasarkan


data Kementrian Kesehatan Republik Indonesia menjelaskan lima dampak
letusan Gunung Merapi bagi kesehatan antara lain: luka bakar dengan berbagai
derajat keparahannya, cedera dan penyakit langsung akibat batu, kerikil, larva
dan lain-lain. dampak dari abu gunung merapi yaitu berbagai jenis gas seperti
Sulfur Dioksida (SO2), gas Hidrogen Sulfida (H2S), Nitrogen Dioksida (NO2),
serta debu dalam bentuk partikel debu, kecelakaan lalu lintas akibat jalan
berdebu licin, jatuh karena panik, serta makanan yang terkontaminasi dan
perburukan penyakit yang sudah lama diderita pasien/pengungsi. Di lingkup
Jateng Kabupaten Klaten memiliki kecamatan Kemalang sebagai kecamatan
yang paling besar terkena dampak dari bencana Gunung Merapi 2010. Tercatat 3
desa di Kecamatan Kemalang masuk dalam KRB berdasarkan luas daerah yang
terkena awan panas letusan Merapi 2010 yaitu Desa Sidorejo dan Desa Balerante
yang masuk dalam KRB II dan Desa Tegalmulyo yang masuk dalam KRB I
karena berada paling dekat atau kurang dari 10-15 Km dari puncak Merapi
sekaligus kawasan yang paling terdampak bencana letusan Gunung Merapi 2010.
Desa Sidorejo menjadi salah satu desa di Kecamatan Kemalang yang paling
terdampak bencana Gunung Merapi dengan 18 dusun dan jumlah penduduk
beresiko terpapar sebanyak 4144 jiwa (Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten
Klaten, 2016).
Puskesmas Kemalang mencatat, Hipertensi menduduki peringkat pertama
daftar 10 besar penyakit pengungsi bencana Gunung Merapi 2010. Kemudian
berdasarkan dokumentasi petugas kesehatan Desa Sidorejo tercatat terdapat 51
warga yang menderita penyakit kronis. Hipertensi merupakan penyakit kronis
terbanyak yang diderita oleh warga. Tercatat 28 orang mengidap hipertensi,
kemudian 7 orang warga menderita ashma, sedangkan Diabetes Melitus dan
Arthritis Reumatoid berada diurutan ketiga dengan masing-masing 4 warga yang
menderita penyakit tersebut. Penyakit kronis yang diderita oleh warga Sidorejo
lainnya yaitu Gagal Ginjal Kronis, hipertiroidisme, vertigo, migraine stroke,
gangguan pada jantung dan gastritis kronis. Hasil wawancara dengan warga yang
menderita penyakit kronis dan petugas kesehatan setempat didapatkan data, saat
bencana Gunung Merapi terjadi, terdapat
55
Jurnal Ilmiah Keperawatan Indonesia●
Vol 1, No 1, 2017 ISSN: 2580-3077

peningkatan kekambuhan penyakit ashma dan hipertensi. Warga yang menderita


Ashma mengalami kekambuhan karena terjadinya hujan abu vulkanik, udara
dingin dan ruangan pengungsian yang penuh sesak karena banyaknya jumlah
pengungsi, sedangkan penyebab meningkatnya kekambuhan hipertensi
merupakan akibat dampak langsung ataupun tidak langsung dari kekhawatiran
pengungsi merapi terkait dampak yang akan mereka hadapi akibat bencana
Gunung Merapi seperti bagaimana mencukupi kebutuhan anggota keluarga
selama bencana terjadi sedangkan aktifitas perekonomian tengah berhenti,
keselamatan anggota keluarga yang belum dapat terevakuasi, harta benda dan
ternak yang ditinggalkan, perbaikan bangunan rumah yang rusak dan lain-lain.
Wawancara dengan petugas kantor Kelurahan Sidorejo didapatkan data
bahwa sebagian warga Desa Sidorejo telah memiliki tabungan siaga bencana,
yaitu tabungan yang dikumpulkan secara berkala dan yang hanya boleh diambil
atau digunakan saat terjadi bencana untuk membantu memenuhi kebutuhan
keluarga selama kejadian bencana. Bentuk upaya lain yang dilakukan untuk
meminimalkan dampak bencana bagi warga adalah dengan diadakannya latihan
simulasi bencana yang dilakukan secara rutin di balai Desa Sidorejo dan warga
mengikuti kegiatan yang diselenggarakan berkat kerjasama lembaga-lembaga
seperti PMI dan BPBD dengan Tim Siaga Desa (TSD), Tanggap Siaga Bencana
(Tagana), Pasag Merapi, Forum Klaster Lereng Merapi (FKLM) dan Organisasi
Rakyat (ORA) Merapi dengan antusias (Prihandoko, 2014). Hal tersebut
dibenarkan dengan pernyataan petugas kantor Kelurahan Sidorejo yang
menyampaikan bahwa Sidorejo telah mendapatkan pelatihan mengenai
menejemen bencana yang dilaksanakan oleh berbagai pihak seperti dari Badan
Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), Palang Merah Indonesia (PMI),
partai-partai politik dan lain-lain. Letak desa yang masuk dalam KRB II Merapi,
jumlah penderita penyakit kronis di Desa Sidorejo dan dampak yang dirasakan
akibat bencana Merapi bagi penderita penyakit kronis di Desa Sidorejo menjadi
alasan untuk perlunya meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat Desa Sidorejo
khususnya keluarga dengan anggota keluarga yang menderita penyakit

56
Jurnal Ilmiah Keperawatan Indonesia●
Vol 1, No 1, 2017 ISSN: 2580-3077

kronis perlu mendapatkan perhatian khusus agar dampak yang ditimbulkan


terhadap kelompk rentan jika bencana terjadi dapat ditekan seminimal mungkin.
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui kesiapsiagaan keluarga yang
memiliki anggota keluarga dengan penyakit kronis, selain itu untuk mengetahui
hubungan karakteristik keluarga dengan kesiapsiagaan keluarga menghadapi
bencana gunung berapi.

BAHAN DAN METODE

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan


kuantitatif untuk mengetahui hubungan antar variabel yang diamati. Penelitian
menggunakan pendekatan deskriptif yang menggambarkan kesiapsiagaan
keluarga dengan penyakit kronis yang tinggal di Desa Sidorejo dalam
menghadapi bencana letusan gunung Merapi. Populasi dalam penelitian ini
adalah 51 keluarga dengan penyakit kronis di Desa Sidorejo. Sampel dalam
penelitian ini adalah ini adalah 35 keluarga dengan penyakit kronis di Desa
Sidorejo. Teknik pengumpulan menggunakan metode survey dan wawancara
dengan memberikan kuesioner kepada 35 responden kepala keluarga di 4 dukuh
yaitu dukuh Karang, Dadapan, Petung dan Semunu. Daftar pertanyaan un tuk
mengukur kesiapsiagaan bencana keluarga mengacu pada indikator
kesiapsiagaan bencana LIPI-UNESCO 2006 yang telah dimodifikasi dengan
pedoman kesiapsiagaan bencana bagi penderita penyakit kronis yang dibuat oleh
Departemen Kesehatan Masyarakat dari Kentucky, Amerika Serikat. Responden
diberikan 65 butir pertanyaan kuesioner. Analisis dengan menggunakan metode
analisis Chi Square dan Kendall-Tau

HASIL DAN BAHASAN

Hasil penelitian ini dijabarkan dan dibahas berdasarkan literatur yang ada
dalam kebencanaan. Hasil dan bahasan meliputi karakteristik keluarga,
kesiapsiagaan keluarga dengan penyakit kronik berdasarkan parameter
57
kesiapsiagaan, Kesiapsiagaan keluarga dengan penyakit kronik di Desa Sidorejo,
Jurnal Ilmiah Keperawatan Indonesia●
Vol 1, No 1, 2017 ISSN: 2580-3077

serta analisis korelasi karakteristik keluarga dengan kesiaapsiagaan menghadapi


bencana gunung berapi di Desa Sidorejo Kecamatan Kemalang.
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden /Keluarga dengan penyakit kronikdi
Desa Sidorejo Tahun 2016 (n=35)

Karakteristik F (%)
Responden
Tipe keluarga
Keluarga besar (extended 17 48.6
family)
Keluarga inti (nuclear family) 18 51.4
APGAR Keluarga
Tidak ada disfungsi 19 54.3
Ada disfungsi 16 45.7
Pendapatan KK
Diatas UMR 17 48.6
Dibawah UMR 18 51.4
Tingkat Pendidikan KK
Menengah 14 40.0
Dasar 21 60.0
Total 35 100.0

Hasil penelitian menunjukan sebagian besar keluarga dengan penyakit


kronis merupakan tipe keluarga nuclear family (51,4%) lebih besar dibandingkan
dengan tipe extended family (48,6%). Jumlah anggota keluarga akan
mempengaruhi banyaknya persiapan yang harus dilakukan untuk menghadapi
bencana. semakin banyak jumlah anggota keluarga yang dimiliki akan
berpengaruh dalam pada koordinasi keluarga pada proses evakuasi/peyelamatan
diri. Semakin banyak jumlah anggota keluarga artinya semakin banyak yang
harus diselamatkan sehingga diperlukan koordinasi antar anggota keluarga yang
lebih baik. Menurut Djafri (2013) kemampuan koordinasi dan perencanaan yang
baik antar keluarga akan meningkatkan kesiapsiagaan keluarga dalam
mengahadapi bencana.
Hasil penelitian menunjukan sebagian besar kepala keluarga dengan
penyakit kronis memiliki APGAR dimana menunjukan bahwa tidak terdapat
disfungsi pada keluarga (54,3%) lebih besar dibandingkan dengan responden
yang memiliki disfungsi keluarga (45,7%). Hasil APGAR menggambarkan
bahwa sebagian besar anggota keluarga yang menderita penyakit kronis memiliki 58
kedekatan yang baik dengan anggota keluarga yang lain. Kedekatan antar
Jurnal Ilmiah Keperawatan Indonesia●
Vol 1, No 1, 2017 ISSN: 2580-3077

keluarga diharapkan akan

59
Jurnal Ilmiah Keperawatan Indonesia●
Vol 1, No 1, 2017 ISSN: 2580-3077

mempengaruhi setiap anggota keluarga dalam hal dukungan dan kepedulian saat
melakukan persiapan peralatan yang diperlukan sebelum, saat dan setelah
bencana terjadi (Susilawati, 2013).
Hasil penelitian menunjukan sebagian besar responden dengan penyakit
kronis memiliki pendapatan dibawah UMR (51,4%) lebih besar dibandingkan
dengan responden dengan penghasilan lebih dari UMR (48,6%). Rohman dan
Suroso (2013) menjelaskan bahwa jumlah pendapatan keluarga mendukung
keluarga untuk mempersiapkan item-item yang diperlukan untuk persiapan
menghadapi bencana seperti cadangan makanan dan minuman, obat-obatan,
asuransi, tabungan dan lain- lain yang membuat keluarga lebih siap menghadapi
dampak yang timbul dari bencana. semakin tinggi pendapatan keluarga akan
mempengaruhi tingkat kesiapsiagaan keluarga.
Hasil penelitian menunjukan sebagian besar keluarga dengan penyakit
kronis memiliki tingkat pendidikan dasar (60%) lebih besar dibandingkan dengan
keluarga dengan tingkat pendidikan menengah (40%). Seseorang memperoleh
pengetahuan semakin banyak dengan menempuh jenjang pendidikan yang lebih
tinggi. Semakin banyak pengetahuan yang diperoleh khususnya pengetahuan
tentang kebencanaan diharapkan dapat meningkatkan kesiapsiagaan seseorang
(Rohman & Suroso, 2013). Hasil penelitian Djafri (2013) menunjukan terdapat
hubungan antara tingkat pendidikan dan kesiapsiagaan menghadapi bencana. hal
tersebut tidak sejalan dengan penelitian Linuwih (2015) yang menunjukan tidak
terdapat hubungan antara tingkat pendidikan dengan kesiapsiagaan menghadapi
bencana.

60
Jurnal Ilmiah Keperawatan Indonesia●
Vol 1, No 1, 2017 ISSN: 2580-3077

Tabel 2. Distribusi Frekuensi Parameter Kesiapsiagaan


Keluarga dengan penyakit kronik di Desa
Sidorejo Tahun 2016 (n=35)
Variab F %
el
Pengetahuan dan Sikap
Siap 17 48.6
Kurang Siap 18 51.4
Kebijakan Keluarga
Siap 16 45.7
Kurang Siap 19 54.3
Rencana Tanggap Darurat
Siap 17 48.6
Kurang Siap 18 51.4
Sistem Peringatan Bencana
Siap 3 8.6
Kurang Siap 32 91.4
Sumberdaya
Siap 11 31.4
Kurang Siap 24 68.6
Total 35 100.
0

Hasil penelitian tabel 2 menunjukan prosentase keluarga dalam


melaksanakan kesiapsiagaan di Desa Sidorejo tertinggi adalah keluarga yang
tidak siap dalam mengenal sistem peringatan bencana (91,4%). Hasil analisis
peneliti keluarga tidak siap dalam mengenal sistem peringatan bencana
disebabkan kurangnya frekuensi pelatihan manajemen bencana yang dilakukan
oleh pihak pemerintahan setempat. Dari hasil wawancara dengan warga
setempat, didapatkan data bahwa responden yang tinggal dekat dengan puncak
merapi menyampaikan terdapat pihak relawan ataupun pemerintah yang
memberikan peringatan melalui pengeras suara masjid jika bencana akan terjadi,
sedangkan responden yang tinggal lebih jauh dari puncak merapi menyampaikan
tidak ada pengumuman atau pemberitahuan bahwa bencana akan terjadi dan
61
mereka baru menyelamatkan diri setelah mengetahui Gunung Merapi sudah
Jurnal Ilmiah Keperawatan Indonesia●
Vol 1, No 1, 2017 ISSN: 2580-3077

meletus.
Hasil penelitian menunjukan prosentase keluarga dalam melaksanakan
kesiapsiagaan di Desa Sidorejo terendah adalah keluarga yang siap dalam
mengenal sistem peringatan bencana (8,6%). Hasil analisis peneliti rendahnya
keluarga dalam

62
Jurnal Ilmiah Keperawatan Indonesia●
Vol 1, No 1, 2017 ISSN: 2580-3077

memahami sistem peringatan bencana disebabkan tidak menyeluruhnya pelatihan


terkait kebencanaan yang diberikan kepada warga desa Sidorejo. Bersadarkan
hasil wawancara didapatkan bahwa pelatihan kebencanaan tidak diberikan secara
menyeluruh kepada setiap warga melainkan diberikan hanya kepada tim relawan
desa dan warga yang tinggal di kawasan terdekat dengan puncak merapi. Hal
tersebut mengakibatkan banyak keluarga yang tidak siap dalam memperkirakan
atau membaca tanda awal terjadinya bencana sehingga terlambat untuk
mempersiapakan diri ketika bencana terjadi.
Paramesti (2011) memaparkan masyarakat memerlukan pelatihan
kebencanaan dan sumber informasi mengenai peringatan bencana baik sumber
tradisional maupun tehnologi untuk dapat mengenali bahwa bencana akan
terjadi. Warning System merupakan salah satu elemen utama mitigasi bencana,
sehingga mitigasi bencana dapat menjadi salah satu sarana masyarakat di
kawasan rawan bencana untuk dapat lebih menambah wawasan tentang sistem
peringatan bencana (FEMA, 2000). Tanpa adanya kedua hal diatas penduduk di
kawasan rawan bencana akan menghadapi resiko dan dampak akibat bencana
yang lebih besar

Tabel 3. Distribusi Frekuensi Kesiapsiagaan Keluarga


dengan penyakit kronik di Desa Sidorejo
Tahun 2016 (n=35)
Kesiap siagaan keluarga f %
dengan penyakit Kronik
Siap 20 57.1
Kurang siap 15 42.9
Total 35 100

Tabel 3 menunjukkan sebagian besar responden memiliki kesiapsiagaan


dalam kategori siap (57,1%). Analisis peneliti, berdasarkan parameter
kesiapsiagaan keluarga, parameter pengetahuan dan sikap serta rencana tanggap
darurat merupakan pertanyaan dengan jawaban benar tertinggi. Pengetahuan dan
rencana tanggap darurat yang baik berpengaruh terhadap koordinasi keluarga 63

dalam hal mempersiapkan kebutuhan yang diperlukan serta pada saat upaya
Jurnal Ilmiah Keperawatan Indonesia●
Vol 1, No 1, 2017 ISSN: 2580-3077

penyelamatan sehingga dapat mendukung keluarga untuk meningkatkan


kesiapsiagaannya.

64
Jurnal Ilmiah Keperawatan Indonesia●
Vol 1, No 1, 2017 ISSN: 2580-3077

Hasil penelitian ini sejalan dengan Djafri (2013) yang menyatakan


kemampuan koordinasi dan perencanaan yang baik antar keluarga akan
meningkatkan kesiapsiagaan keluarga dalam menghadapi bencana.

Tabel 4. Hubungan Tipe keluarga dengan Kesiapsiagaan Keluarga


dengan penyakit kronik di Desa Sidorejo Tahun 2016 (n=35)

Kesiapsiagaan Total
p

Tipe Siap Kurang siap


Keluarg f % f % f %
a
Extende 8 47.1 9 52.9 17 100.
0.24
d 0
1
Nuclear 12 66.7 6 33. 18 100.
0
Jumlah 20 57.1 15 42.9 35 100.
0

Tabel 4 menunjukan proporsi tipe keluarga responden terbanyak adalah


tipe keluarga inti (nuclear family) sebanyak (51,4%) dan merupakan tipe
keluarga yang memiliki tingkat kesiapsiagaan siap lebih banyak (66,7%). Hasil
uji statistik Chi- square menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara
tipe keluarga dengan kesiapsiagaan keluarga dalam menghadapi bencana.
Analisi peneliti, dilihat dari jawaban responden, sebagian besar memiliki
kesiapsiagaan yang tinggi pada parameter pengetahuan dan sikap serta rencana
tanggap darurat, yang menunjukkan bahwa responden dan keluarga telah
memahami kerentanan bencana yang dapat terjadi di lingkungan dan bagaimana
harus bersikap/bertindak ketika bencana tiba-tiba terjadi. Pengetahuan
kebencanaan yang baik akan mempengaruhi keluarga dalam hal pembagian tugas
65
dan bagaimana keluarga berkoordinasi dengan baik sehingga keluarga yang
Jurnal Ilmiah Keperawatan Indonesia●
Vol 1, No 1, 2017 ISSN: 2580-3077

tinggal di kawasan rawan bencana dapat lebih mempersiapkan diri untuk


menghadapi rangkaian peristiwa yang akan timbul akibat bencana. Pendapat ini
didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Djafri (2013) yang menyatakan
bahwa kemampuan koordinasi dan perencanaan yang baik antar keluarga akan
meningkatkan kesiapsiagaan keluarga dalam menghadapi bencana.

66
Tabel 5. Hubungan Karakteristik Keluarga yang memiliki anggota
penyakit kronik dengan kesiap siagaan menghadapi bencana Di Desa
Sidorejo Tahun 2016 (n=35)

Kesiapsiagaan Total

Karakteristik Keluarga

Siap Kurang Siap


p
f % f % f %
APGAR
Tidak ada disfungsi 11 57.9 8 42.1 19 100.0 0.922
ada disfungi 9 56.3 7 43.8 16 100.0

Pendapatan
Diatas UMR 11 91.7 1 8.3 22 100.0 0.000
Dibawah UMR 9 39.1 14 60.9 13 100.0

Tingkat Pendidikan
Menengah 7 50 7 50 14 100.0 0.486
Dasar 13 61.9 8 38.1 21 100.0
Total 20 57.1 15 42.9 35 100.0
Tabel 5 menunjukan bahwa proporsi keluarga dengan APGAR terbanyak adalah
keluarga yang tidak terdapat adanya disfungsi keluarga (54,3%). Keluarga yang tidak
memiliki disfungsi merupakan keluarga dengan kesiapsiagaan kategori siap yang
terbanyak (57,9%). Hasil uji statistik Kendall-Tau menunjukan tidak ada hubungan
antara APGAR keluarga dengan kesiapsiagaan keluarga dengan penyakit kronis dalam
menghadapi bencana.

Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Susilawati (2013) yang
menyatakan kepedulian dan dukungan anggota keluarga akan mempengaruhi keluarga
saat melakukan persiapan dan peralatan yang diperlukan sebelum, saat dan setelah
bencana terjadi. Hasil analisis peneliti, responden telah memiliki pengetahuan dan
rencana tanggap darurat yang baik dilihat dari prosentase kesiapsiagaan kategori siap
pada kedua parameter tersebut. Responden memahami tentang resiko bencana yang
mereka hadapi di daerahnya dan tindakan yang harus dilakukan ketika bencana terjadi,
seperti lokasi titik kumpul yang aman, alat komunikasi dan kontak yang dapat
dihubungi untuk meminta pertolongan saat bencana terjadi, anggota keluarga yang
menjadi prioritas untuk diselamatkan dan lain-lain. Sehingga anggota keluarga dapat
segera melakukan upaya penyelamatan diri baik untuk dirinya sendiri ataupun anggota
keluarganya yang lain. Sehingga dengan pengetahuan dan rencana tanggap darurat
yang siap, kedekatan/skor
APGAR tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kesiapsiagaan keluarga
dengan penyakit kronis dalam menghadapi bencana.

Tabel 5 menunjukkan proporsi pendapatan keluarga hubungannya dengan


kesiapsiagaan keluarga dengan penyakit kronis terbanyak adalah keluarga dengan
pendapatan dibawah UMR (51,4%) lebih besar dibandingkan dengan keluarga dengan
pendapatan di atas UMR (48,6%). Keluarga yang memiliki kesiapsiagaan dalam
kategori siap terbanyak yaitu pada keluarga dengan pendapatan diatas UMR (91,7%).
Hasil uji statistik Kendall-Tau menunjukan adanya hubungan antara pendapatan
keluarga dengan kesiapsiagan keluarga dalam menghadapi bencana. Hasil tersebut
sejalan dengan hasil penelitian Rohman dan Suroso (2013) yang menyatakan terdapat
hubungan antara pendapatan dengan kesiapsiagaan. Jumlah pendapatan keluarga
mendukung keluarga untuk mempersiapkan item-item yang diperlukan untuk
persiapan menghadapi bencana seperti cadangan makanan dan minuman, obat-obatan,
asuransi, tabungan dan lain-lain yang membuat keluarga lebih siap menghadapi
dampak yang timbul dari bencana.

Hasil analisis peneliti, keluarga dengan penyakit kronis yang berpendapatan


diatas UMR memiliki kesiapsiagaan siap lebih tinggi karena dengan pendapatan yang
dimiliki keluarga dapat melengkapi keperluan yang dibutuhkan oleh anggota keluarga
selama berada di pengungian. Kemudian sebagian besar responden telah mengikuti
program tabungan siaga bencana yang diselenggarakan oleh kerjasama ibu-ibu PKK
dan pemerintah desa yang pada waktu yang telah ditertentukan setiap keluarga yang
mengikuti program tersebut menabung sesuai dengan kemampuan masing-masing
untuk dimasukan ke dalam tabungan. Kemudian tabungan dapat diambil pada saat
terjadi bencana ataupun keadaan darurat lain. Selain itu setiap responden mengatakan
telah mengikutsertakan anggota keluarganya terutama yang memiliki penyakit kronis
dalam asuransi kesehatan yang diselenggarakan oleh pemerintah sehingga jika suatu
waktu keluarga sakit atau pada keadaan darurat medis, keluarga dapat menggunakan
fasilitas asuransi tersebut.

Tabel 5 menunjukan proporsi tingkat pendidikan terkait kesiapsiagaan


terbanyak adalah keluarga dengan tingkat pendidikan dasar (60%) dan proporsi

48
keluarga dengan kategori siap terbanyak adalah keluarga dengan tingkat pendidikan
dasar (61,9%). Hasil uji statistik Kendall-Tau menunjukan tidak ada hubungan antara
tingkat pendidikan dengan kesiapsiagaan keluarga dengan penyakit kronis.

Penelitian ini didukung dengan hasil penelitian dari Linuwih (2015) dan Sagala
dkk (2014) yang menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan antara tingkat
pendidikan dan kesiapsiagaan bencana. Hasil analisi peneliti untuk memiliki
pengetahuan yang baik tentang kesiapsigaan bencana, responden tidak harus selalu
didapatkan dengan menempuh jalur pendidikan formal melainkan dari pembelajaran
informal seperti mengikuti seminar/pelatihan terkait kebencanaan. Selain itu
bertempat tinggal dalam waktu yang cukup lama di kawasan rawan bencana dan
intensitas terjadinya bencana yang sering dihadapi membuat warga sekitar memahami
kondisi kerentanan yang mereka hadapi. Pendapat diatas didukung oleh pendapat dari
Haryanto (2012) yang disitasi oleh Novita (2015) memaparkan bahwa dengan dasar
pengamatan sehari-hari dan pengalaman mengalami bencana itu sendiri membuat
masyarakat di kawasan rawan bencana belajar tentang sifat/karakteristik kerentanan
bencana yang ada di lingkungan mereka akan membuat kesiapsiagaan warga daam
menghadapi bencana meningkatkan.

SIMPULAN DAN SARAN

Tipe keluarga, APGAR keluarga dan tingkat pendidikan tidak berhubungan


dengan kesiapsiagaan keluarga dengan penyakit kronis. Terdapat hubungan antara
pendapatan dengan kesiapsiagaan keluarga dengan penyakit kronis. Keluarga dengan
penyakit kronis memiliki kesiapsiagaan dalam kategori siap.

49
RUJUKAN

Aldrich dan Benson. 2008. Disaster Preparedness and the Chronic Disease
Needs of Vulnerable Older Adults (jurnal). Centers for Disease Control and
Prevention (CDC). Tersedia dalam:
http://198.246.124.22/pcd/issues/2008/jan/pdf/07_0135.pdf [Diakses pada 11
Maret 2016 pukul 10:41]

Alia. 2014. BNPB: 1.525 Bencana Terjadi di Indonesia Selama 2014. Jakarta.

Viva Media Baru. Tersedia dalam:


http://nasional.news.viva.co.id/news/read/573877-bnpb--1-525-bencana-
terjadi-di-indonesia-selama-2014 [Diakses pada 18 Februari 2016 pukul
10:50]

Anonim. 2013. The Devastating Impact of Natural Disasters. Child Fund


International 2013. Tersedia dalam:
https://www.childfund.org/Content/NewsDetail/2147489272/ [diakses pada
11 Mei 2016 jam 06.20]

Anonim. 2015. Kecamatan Kemalang dalam Angka Tahun 2014. Klaten.


Badan Pusat Statistik Kabupaten Klaten. Tersedia dalam:
http://klatenkab.bps.go.id/index.php/publikasi/112 [Diakses pada 16
Februari 2016 pukul 10:53]

Anonim. 2010. Dampak Kesehatan Akibat Letusan Gunung Merapi. Jakarta.

Kementrian Luar Negeri Republik Indonesia. Tersedia dalam:


http://www.kemlu.go.id/id/berita/informasi-penting/Pages/Dampak-
Kesehatan- Akibat-Letusan-Gunung-Merapi.aspx [Diakses pada 18 Februari
2016 pukul 13:10]

Anonim. 2014. Dampak Letusan Gunung Berapi terhadap Kesehatan. Jakarta.

50
Tempo.co. tersedia dalam
https://www.tempo.co/read/news/2014/02/19/140555511/dampak-
letusan- gunung-berapi-terhadap-kesehatan [Diakses pada 23 Februari
2016 pukul 13:25]

Anonim. 2015. Perkembangan Krisis Kesehatan Akibat Erupsi Gunung Sinabung.

Jakarta. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Tersedia dalam:


http://www.penanggulangankrisis.depkes.go.id/perkembangan-krisis-
kesehatan-akibat-erupsi-gunung-sinabung [Diakses pada 18 Februari
2016
pukul 13:18]

Badan Nasional Penanggulangan Bencana Republik Indonesia.2010. Definisi


dan Jenis Bencana.Tersedia dalam : http://www.bnpb.go.id/pengetahuan-
bencana/definisi-dan-jenis-bencana [diakses pada 11 Mei 2016 jam 06.09]

Badan Nasional Penanggulangan Bencana Republik Indonesia. 2015.


Kerangka Kerja Sendai Untuk Pengurangan Risiko Bencana 2015-2030.
Republik Indonesia [diakses pada 11 Mei 2016 jam 07.10]

51
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.2006. Rencana Aksi
Nasional Pengurangan Resiko Bencana 2006-2009.Tersedia dalam :
http://www.bappenas.go.id/files/5113/5022/6066/versi-bahasa-

indonesia 20081122175120 826 0.pdf .[Diakses pada 19 Februari 2016


jam 10.11]

Badan pusat Statistik Klaten.2016. Kecamatan Kemalang dalam angka


Kemalang in Figure. BPS Kabupaten Klaten.

Centre for Research on the Epidemiology of Disaster. 2014. World Disaster


Report 2014. Amerika Serikat. International Federation of Red Cross.
Tersedia dalam: http://www.ifrc.org/world-disasters-report-2014/data .
[Diakses pada 25 Februari 2016 jam 10.30]

Djafri dan Nofrianti. 2013. Hubungan Tingkat Kesadaran dan Karakteristik


Keluarga dengan Kesiapsiagaan dalam Menghadapi Gempa dan Tsunami
di Kota Padang di Tahun 2013. Padang. FKM Universitas Andalas.
Tersedia dalam: http://repo.unand.ac.id/327/ [diakses pada 4 Juni 2016
pukul 14:53].

International Frederation of Red Cross and Red Crescent Societies. What is a


Disaster ? .Tersedia dalam: http://www.ifrc.org/en/what-we-do/disaster-
management/about-disasters/what-is-a-disaster/ [ diakses pada 16 April
2016 jam 15.20]

Irwan dan Nurul. 2010. Waspadai Lima Dampak Kesehatan Akibat Letusan
Gunung Merapi. Jakarta. Detikcom. Tersedia dalam:
http://news.detik.com/berita/1486531/waspadai-5-dampak-kesehatan-
akibat- letusan-gunung-merapi .[Diakses pada 25 Februari 2016 jam
10.20]

51
LIPI - UNESCO/ISDR.2006. Kajian Kesiapsiagaan Masyarakat
dalam Mengantisipasi Bencana Gempa Bumi dan Tsunami.

Maplecroft. 2010. Natural Disaster Risk Index. Tersedia dalam:


http://www.preventionweb.net/files/14169_NaturalDisasters2010.pdf
[Diakses pada 19 Februari 2016 jam 10.11 ]

Mediastianto. 2015. Statistik Kejadian Bencana Tahun 2014. Jakarta.


Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Tersedia dalam:
http://www.penanggulangankrisis.depkes.go.id/statistik-kejadian-bencana-
tahun-2014 [Diakses pada 21 Februari 2016 pukul 11:30]

Miller dan Arquilla. 2008. Chronic Diseases and Natural Hazards: Impact of
Disasters on Diabetic, Renal, and Cardiac Patients (jurnal). New York. The
State University of New York Downstate Medical Center, Brooklyn, New
York USA. Tersedia dalam:
http://journals.cambridge.org/abstract_S1049023X00005835 [Diakses pada
18 Februari 2016 pukul 10:53]

52
Owens dan Martsolf. 2014. Chronic Illness and Disasters: Development of a
Theoretical Framework (Jurnal). Ohio. Ashland University, Ashland
Ohio, USA. Tersedia dalam: https://www.dovepress.com/emergency-and-
disaster- preparedness-for-chronically-ill-patients-a-rev-peer-reviewed-
article-OAEM [Diakses pada 11 Maret 2016 pukul 11:19]

Rohman dan Suroso. 2013. Hubungan Antara Umur, Pendidikan, Pendapatan,


dan Pengalaman Bencana dengan Kesiapsiagaan Tingkat Rumah Tangga
(Studi Kasus: Banjir Kali Lamong Kabupaten Gresik). Bandung. Intitut
Teknologi Bandung. Tersedia dalam: http://sappk.itb.ac.id/jpwk2/wp-
content/uploads/2013/11/V1N1-Hubungan-Antara-Umur-Pendidikan-
Pendapatan-dan-Pengalaman-Bencana-dengan-Kesiapsiagaan-Tingkat-
Rumah- Tangga1.pdf [diakses pada 13 April 2016 pukul 11:30]

Rohman M. 2013. Evaluasi Kesiapsiagaan Masyarakat Terhadap Bencana


Gunung Merapi Di Desa Sidorejo, Kecamatan Kemalang, Kabupaten
Klaten, Jawa Tengah. Surakarta. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Muhammadiyah Surakarta. Tersedia dalam:
http://eprints.ums.ac.id/26535/19/NASKAH_PUBLIKASI.pdf [Diakses
pada 26 Februari 2016 pukul 17:58].

Susilo. 2013. Analis Kesiapsiagaan Masyarakat terhadap Bencana Gunung


Merapi di Desa Dompol, Kecamatan Kemalang, Kabupaten Klaten
(Skripsi). Surakarta. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas
Muhammadiyah Surakarta. Tersedia dalam: http://eprints.ums.ac.id/27996/
[Diakses pada 26 Februari 2016 pukul 17:30].

Tomio dan Sato. 2014. Emergency and disaster preparedness for chronically
ill patients: a review of recommendations. Tokyo. The University of
Tokyo, Tokyo, Japan. Tersedia dalam: [diakses pada 19 februari 2016
pukul 10:54].

Jurnal Administrasi Publik (JAP), Vol. 3, No. 12, Hal. 2033-2039 | 2033
Wahyu. 2011. Perubahan Interaksi Sosial Pada Lansia Dengan Penyakit
Kronis Di Panti Werdha Abadi/Dharma Asih Binja. Medan. Universitas
Sumatra Utara. Tersedia dalam:
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/24196 [diakses pada 13 April
2016 pukul 12:20].

World Health Organiation (WHO). 2016. Noncommunicable Disease. WHO


International. Tersedia dalam:
www.who.int/topics/noncommunicable_diseases/en/ [Diakses pada 11
Maret 2016 pukul 10:35].

Yusuf. 2015. Gambaran Kualitas Hidup Lansia Yang Mengalami Penyakit


Kronis Di Puskesmas Dulalowo Kecamatan Kota Tengah Kota Gorontalo.
Gorontalo. Universitas Negeri Gorontalo. Tersedia dalam:
http://kim.ung.ac.id/index.php/KIMFIKK/article/download/11293/11166
[diakses pada 11 Mei 2016 jam 07.18]

Jurnal Administrasi Publik (JAP), Vol. 3, No. 12, Hal. 2033-2039 | 2034
DISABILITAS DAN BENCANA
(Studi tentang Agenda Setting Kebijakan Pengurangan Risiko Bencana
Inklusif Bagi Penyandang Disabilitas di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah,
Indonesia)

Anang Dwi Santoso, Irwan Noor, Mochamad Chazienul Ulum

Jurusan Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas


Brawijaya, Malang
E-mail: anang.d.santoso@gmail.com

Abstract: Disability and Disaster (Study About Policy Agenda Setting of Disability Inclusive
Disaster Risk Reduction in Kabupaten Klaten, Central Java, Indonesia). The Background of
the research is problem which experienced by pepole with disabilities in accesing disaster
management after 5.9 SR earthquake in Klaten Distric. The problem approved by BPBD
Klaten then makes policy about disability inclusive disaster risk reduction. Reasons behind
wilingness of BPBD Klaten can describe by agenda setting theory. The result show that
problem stream began when the problems compete with the others to get government priorities
and problem stream is end when DPRD of Klaten District willing to make policy alternatives
to solve this problem. The policy alternatives represent that policy stream is began. The result
of this process is policy of disability inclusive disaster risk reduction with two based, it consist
of ‘right on’ policy and ‘charity based’ policy. Both of them will be select on the political
stream process. The result of political stream process is ‘right on’ policy of disability
inclusive disaster risk reduction.

Keywords: disability, inclusive, disaster risk reduction, agenda setting

Abstrak: Disabilitas dan Bencana (Studi tentang Agenda Setting Kebijakan


Pengurangan Risiko Bencana Inklusif Bagi Penyandang Disabilitas di
Kabupaten Klaten). Penelitian ini dilatarbelakangi oleh permasalahan yang

Jurnal Administrasi Publik (JAP), Vol. 3, No. 12, Hal. 2033-2039 | 2035
dihadapi oleh penyandang disabilitas pasca gempa 5.9 SR di Kabupaten Klaten.
Permasalahan ini diterima oleh BPBD Kabupaten Klaten yang kemudian membuat
kebijakan pengurangan risiko bencana inklusif bagi penyandang disabilitas. Alasan
dibalik kemauan BPBD Klaten dapat dijelaskan menggunakan teori agenda setting.
Hasil penelitian menunjukkan problem stream dimulai dengan bersaingnya
permasalahan ini dengan permasalahan lainnya untuk mendapatkan prioritas
pemerintah dan diakhiri dengan kesedian DPRD Kabupaten Klaten untuk
merekomendasikan kebijakan-kebijakan untuk mengatasi permasalahan penyadang
disabilitas dalam manajemen bencana. Munculnya alternatif-alternatif kebijakan
menjadi penanda mulainya policy stream. Hasil akhir dari policy stream adalah
kebijakan pengurangan risiko bencana inklusif yang berbasis right on dan charity
based. Kedua kebijakan tersebut kemudian masuk ke dalam political stream untuk
memilih kebijakan yang tepat. Kebijakan yang dianggap tepat oleh aktor-aktor yang
terlibat adalah kebijakan pengurangan risiko bencana inklusif yang berbasis right on.

Kata kunci: disabilitas, inklusif, pengurangan risiko bencana, agenda setting

Jurnal Administrasi Publik (JAP), Vol. 3, No. 12, Hal. 2033-2039 | 2036
Pendahuluan
Terdapat beberapa permasalahan yang dihadapi oleh penyandang disabilitas ketika
bertemu dengan bencana. Permasalahan tersebut terjadi pada setiap tahapan manajemen
bencana. Permasalahan tersebut antara lain: (1) belum maksimalnya program persiapan
bencana yang sensitif penyandang disabilitas, (2) partisipasi penyandang disabilitas masih
minim dalam pendidikan pegurangan risiko bencana (PRB),
(3) aksesbilitas penyandang disabilitas terhadap materi ajar/belajar PRB, (4) penyandang
disabilitas tidak bisa sepenuhnya bertindak cepat dalam penyelamatan diri, (5) kurangnya
pendataan spesifik tentang identitas dan kondisi penyandang disabilitas, dan (6)
kurangnya

Jurnal Administrasi Publik (JAP), Vol. 3, No. 12, Hal. 2033-2039 | 2037
fasilitas dan layanan yang aksesibel di pengungsian (Konsorsium Hak Difabel (2012, h.23-
27).
Penyandang disabilitas bertemu dengan tantangan yang unik dalam setiap tahapan
manajemen bencana, hal yang terlihat adalah gangguan fisik saja namun yang sebenarnya
terjadi adalah gangguan fisik, sosial, dan ekonomi, hal tersebut diungkapkan oleh Raja dan
Narasiman (2013, h.15). Gangguan sosial terjadi ketika lingkungan sosial dari penyandang
disabilitas tidak bisa mengakomodasi keberadaanya dan gangguan ekonomi adalah
permasalahan kemiskinan yang seringkali sudah melekat pada dirinya.

Jurnal Administrasi Publik (JAP), Vol. 3, No. 12, Hal. 2033-2039 | 2038
Permasalahan tersebut harus segera mendapatkan penyelesaian karena Indonesia telah
meratifikiasi Convention on the Right of Person With Dsability (CRPD) melalui Undang-
Undang 19 Tahun 2011. Ratifikasi ini kemudian mengharuskan adanya pengakuan hak-hak
penyandang disabilitas dalam setiap sektor salah satunya adalah manajemen bencana.
Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang penyelenggaraan penanggulangan
bencana menempatkan penyandang disabilitas sebagai salah satu kelompok rentan.
Partisipasi kelompok rentan sangat diperlukan untuk membangun kapasitasnya dalam
menghadapi bencana, pernyataan tersebut diungkapkan oleh Newport dan Jawahar (2003,
h.33).
Beberapa komitmen tersebut kemudian memunculkan adanya tunturan PRB inklusif
bagi penyandang disabilitas. Andriani (2014, h.1) PRB inklusif bagi penyandang disabilitas
dirancang khusus untuk meningkatkan partisipasi penyandang disabilitas, yang seringkai
menerima dampak bencana tidak sesuai dengan kapasitasnya dan kepentingaya serng
diabaikan.
Pada 2 April 2014 Kabupaten Klaten mengadakan kegiatan hearing untuk
mengakomodasi kepentigan penyandang disabilitas dalam manajemen bencana. Kegiatan
ini merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan PRB inklusif bagi penyandang
disabilitas di Kabupaten Klaten. Hearing tersebut dilaksanakan antara BPBD Kabupaten
Klaten dengan perwaku]ilan Disabled Person Organization (DPO). DPO tersebut antara
lain: Persatuan Penyandang Cacat Klaten (PPCK), Ikatan Tuna Netra Muslim Indonesia
(ITNMI) Klaten, Persatuan Tuna Netra Indonesia (Pertuni) Klatenm dan Spinal Cord Injury
(SCI) Klaten. Hasil dalam pertemuan ini adalah kepentingan penyandang disabilitas dalam
mengakses manajemen bencana akan diakomodasi dalam dokumen-dokumen perencanaan
penanggulangan bencana.
Kabupaten Klaten merupakan salah satu kabupaten yang cukup rentan terhadap
bencana. Berdasarkan Dokumen Rencana Penanggulangan Bencana Kabupaten Klaten
Tahun 2014 Klaten setiap kecamatan di Kabupaten Klaten memiliki potensi bencana yang
mengakibatkan penduduk disabilitas dan non-disabilitas mengalami kerugian setiap
tahunnya. Bencana yang hampir terjadi setiap tahun adalah banjir, cuaca ekstrem (puting
beliung), kekeringan dan tanah longsor. Selain itu terdapat pula bencana gempa bumi yang
terjadi pada Tahun 2006 serta Erupsi Gunung Merapi yang terjadi Tahun 2010.
Setiap kecamatan di Kabupaten Klaten memiliki potensi bencana masing-masing.

Jurnal Administrasi Publik (JAP), Vol. 3, No. 12, Hal. 2033-2039 | 2039
Jumlah penyandang disabilitas di Kabupaten Klaten adalah 11.116 yang tersebar di seluruh
Kecamatan di Kabupaten Klaten sehingga dapat dipastikan bahwa permasalahn yang
dialami penyandang disabilitas dalam menghadapi bencana terjadi di setiap wilayah. Hal
tersebut menjadi salah satu alasan munculnya kebijakan PRB inklusif di Kabupaten Klaten.
Upaya memperjuangkan kebijakan PRB inklusif bukanlah upaya yang singkat. Upaya
ini bermula setelah Gempa 27 Mei 2006 yang menyebabkan meningkatnya jumlah
penyandang disabilitas di Kabupaten Klaten. Hal tersebut kemudian menghasilkan
Peraturan Daerah Kabupaten Klaten Nomor 2 Tahun 2011 tentang Kesetaraan,
Kemandirian, dan Kesejahteraan Difabel. Peraturan tersebut berisi tentang pengakuan hak
antara penyandang disabilitas dan non disabilitas di semua sektor, salah satunya adalah
manajemen bencana.
Berdasarkan hal tersebut peneliti tertarik untuk melihat kemauan pemerintah
Kabupaten Klaten dalam menyelenggarkan kebijakan PRB inklusif dari sudut pandang
Agenda Setting Kebijakan. Isu aksesbilitas penyandang disabilitas dalam manajemen
bencana telah berhasil bersaing dengan isu-isu lain sehingga menjadi proiritas pemerintah.
Peneltian ini akan menggambarkan agenda setting kebijakan PRB inklusif melalui
problem stream, policy stream, dan political stream.

Tinjauan Pustaka
1. Agenda Setting Kebijakan
Kingdon (1984, h.3) mendefinisikan agenda setting sebagai “a list of subjects or
problems to which government officials and people outside of government closely
associated with those officials, are playing some serious attention to at any given time”.
Berdasarkan pendapat Kingdon tersebut dapat disimpulkan bahwa agenda setting
merupakan subuah daftar subyek-subyek atau permasalahan- permasalahan yang dibawa
oleh pemerintah atau orang diluar pemerintah (yang dekat dengan pemerintah yang
mengasosiasikan isunya untuk diagkat pemerintah) dimana isu tersebut mendapatkan
perhatian yang serius dalam waktu tertentu. Kingon (1984) kemudian menetapkan tiga
aliran untuk mempermudah menggambarkan agenda setting.

a. Problem Stream
Agar sebuah isu dianggap sebagai permasalahan maka permasalahan ini harus
dirasakan oleh banyak orang teori tersebut diungkapkan oleh Kingdon (1984, h.119).

Jurnal Administrasi Publik (JAP), Vol. 3, No. 12, Hal. 2033-2039 | 2040
Aliran permasalahan adalah hal-hal yang membuat

Jurnal Administrasi Publik (JAP), Vol. 3, No. 12, Hal. 2033-2039 | 2041
pemerintah tertarik untuk menanggapi sebuah isu. Permasalahan inilah yang akan
berkompetisi satu sama lain untuk dijadikan agenda pemerintah. Permasalahan yang
diperhatikan sajalah yang akan di masukkan di dalam agenda pemerintah.
b. Pollicy Stream
Kingdon (1984, h.51) menggambarkan aliran ini seperti “primeval soup”. Kingdon
menganalogikan ide-ide atau solusi-solusi dari permasalahan mengambang saling bertemu
dan bergabung. Kemudian di dalam sup tersebut terdapat makanan-makanan yang
berenang. Makanan inilah yang kemudian disebut dengan policy entrepreneurs. Kingdon
(1984, h.188) mengungkapkan Policy entrepreneurs merupakan orang atau sekelompok
orang yang mau menginvestasikan berbagai jenis sumberdaya dengan harapan kelak
mendapatkan imbalan berupa kebijakan yang sesuai dengan kepentingan mereka.
c. Political Stream
Keberadaan faktor politik juag mempengaruhi agenda setting terutama pada isu yang
berkembang. Beberapa kondisi yang dapat memberikan pengaruh adalah adanya perubahan
mood nasional, hasil pemilu, distribusi ideologi dalam lembaga perwakilan, serta peran dari
berbagai kelompok kepentingan yang berhasil atau gagal mengarahkan permintaan
kelompok kepentingan terhadap pemerintah pernyataan tersebut diungkapkan oleh Kingdon
(1984, h.19).
2. Pengurangan Risiko Bencana Inklusif bagi Penyandang Disabilitas
PRB Inklusif merupakan PRB yang dirancang secara khusus untuk meningkatkan
partisipasi dan melindungi hak kelompok rentan bencana. Kelompok rentan bencana
tersebut adalah penyandang disabilitas, lansia, ibu hamil, perempuan, dan anak-anak, hal
tersebut diungkapkan oleh, Andriani (2014, h.1). Latar belakang adanya PRB inklusif bagi
penyandang disabilitas dikarenakan penyandang disabilitas yang menerima dampak
bencana tidak sesuai dengan kapasitasnya. Kepentingannya sering diabaikan dan tidak
terpenuhinya hak asasi manusia.
Permasalahan penyandang disabilitas dalam mengakses manajemen bencana antara
lain: (1) Kurang adanya program persipan bencana yang sensitif bagi penyandang
disabilitas; (2) Kurangnya aksesabilitas informasi dan materi ajar/belajar terkait dengan
PRB. Informasi yang tersedia kurang dapat diakses oleh penyandang disabilitas dengan
kriteria tertentu seperti, tuna netra, gangguan intelektual, dan tuna rungu; (3) dalam
tindakan penyelamatan ketika terjadi bencana, lingkungan terdekat penyandang

Jurnal Administrasi Publik (JAP), Vol. 3, No. 12, Hal. 2033-2039 | 2042
disabilitas kurang cepat dan tepat dalam membantu evakuasi; dan (4) Kurangnya pendataan
yang spesifik mengenai identitas dan kondisi penyandang disabilitas hal tersebut
diungkapkan dalam Konsorsium Nasional untuk Hak Difabel (2012, h.23-27).
Menurut Andriani (2014, h.7-11) kegiatan dalam PRB Inklusif bagi penyandang
disabilitas antara lain:
a. Situasi Sebelum Bencana
Kegiatan yang seharusnya dilaksanakan pada situasi sebelum bencana antara lain: (1)
Koordinasi dan diskusi dengan komuitas/organiasi penyandang disabilitas
terkait risiko bencana dan membuat persiapan apabila teradi bencana; (2) Membuat
pemetaan kebutuhan panyandang disabilitas ada saat bencana alam; dan (3) Melatih
penyandang disabilitas dan kerabat terdekat tentang kegiatan PRB.
b. Situasi Saat Bencana
Kegiatan yang dilakukan pada situasi saat bencana antara lain: (1) Melakukan
evakuasi bagi penyandang disabilitas untuk menjauh dari lokasi bencana; (2)
Mengevakuasi penyandang disabilitas yang ditinggal oleh keluarganya saat terjadi
bencana; (3) Menampung di pengungsian;
(4) Membawa korban ke rumah sakit; (5) Melakukan pendataan dan penilaian; (6)
Memberikan konseling; dan (7) Memberikan terapi.
c. Early Recovery
Early recovery dalam PRB inklusif bagi penyandang disabilitas antara lain: (1)
Melibatkan diri secara aktif dalam posko pemberian layanan dalam bencana dan (2)
Pemberian pelatihan penyelamatan diri bagi penyandang disabilitas.
d. Rehabilitasi dan Rekonstruksi
Kegiatan dalam rehabilitasi dan rekonstruksi antara lain: (1) Melaksanakan penilaian
kebutuhan untuk rehabilitasi dan rekonsiliasi dalam bidang ekonomi dan sarana prasarana;
(2) Konseling bagi penyandang disabilitas untuk meminimalisir trauma; (3) Asistensi
activity daily living serta sosialisasi kepada masyarakat; dan (4) Asistensi pemberdayaan
ekonomi.
3. Pemikiran Ulang Tentang Disabilitas
Entah dari mana istilah penyandang disabilitas pertama kali muncul, yang jelas
kemunculan istilah ini kemudian seolah-olah membawa kesepakatan bahwa penyandang
disabilitas dianggap sebagai kelompok yang rentan, lemah dan tidak berdaya. Pandangan
inilah yang kemudian banyak disepakati oleh masyarakat. Istilah ini ternyata memiliki

Jurnal Administrasi Publik (JAP), Vol. 3, No. 12, Hal. 2033-2039 | 2043
peranan yang sangat penting dalam mengonstruksi

Jurnal Administrasi Publik (JAP), Vol. 3, No. 12, Hal. 2033-2039 | 2044
pemahaman, pernyataan tersebut diungkapkan oleh, Syafi’ie (2014, h.3). Konstruksi ini
kemudian membawa persepsi dan perilaku yang berbeda-beda. Istilah yang sering
digunakan antara lain, penyandang cacat, penyandang disabilitas, dan difabel. Dalam
realitanya penyandang disabilitas adalah sama dengan non disabilitas apabila diberikan
fasilitas yang adil.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat membangi tipe
disabilitas menjadi tiga kelompok (a) disabilitas fisik; (b) disabilitas mental; dan (c)
disabilitas fisik dan mental. Disabilitas disebabkan karena terjadi gangguan tertentu pada
bagian peralatan, saraf, struktur tulang sendi, otot serta metabolisme tubuh yang tidak
memiliki fungsi sebagai mestinya. Terdapat beberapa penyebab terjadinya disabilitas.
Disabilitas bisa dikarenakan faktor keturunan penyakit ataupun kecelakaan, kelalaian
manusia dan bencana alam.

Pembahasan
Kebijakan PRB inklusif bagi penyandang disabilitas merupakan buah perjuangan dari
usaha yang telah dilakukan semenjak tahun 2006. Kebijakan PRB inklusif merupakan salah
satu kebijakan yang diatur dalam Perda Kabupaten Klaten Nomor 2 Tahun 2011 tentang
Kesetaraan, Kemandirian dan Kesejahteraan Difabel. Kebijakan ini juga diperjuangkan
bersama kebijakan-kebijakan lainnya seperti pendidikan inklusif dan pembangunan
infrastruktur yang mudah diakses oleh penyandang disabilitas.
Walaupun perda tersebut sudah mengatur kebijakan untuk penyandang disabilitas
semenjak tahun 2011 namun BPBD Kabupaten Klaten baru merespon kebijakan ini pada
Tahun 2015. Klaten menjadi salah satu kabupaten yang pertama membuat kebijakan PRB
Inklusif bagi penyandang disabilitas.
Alasan-alasan dibalik Pemerintah Kabupaten Klaten dalam merespon kebijakan ini
dapat diketahui melalui agenda setting kebijakan. Menganalisis proses agenda setting
kebijakan dilakukan dengan melakukan pengamatan terhadap perjalanan sebuah isu sampai
akhirnya berada di tangan pemerintah. Agenda setting kebijakan merupakan tahapan yang
krusial karena menyangkut dengan pendefinisan problem, pembuatan daftar proposal dan
pemilihan kebijakan yang tepat.
1. Problem Stream
Isu merupakan embrio awal bagi munculnya permasalahan publik, masalah publik ini
apabila menarik bagi pemerintah akan dijadikan sebagai agenda kebijakan, hal tersebut

Jurnal Administrasi Publik (JAP), Vol. 3, No. 12, Hal. 2033-2039 | 2045
diungkapkan Winarno (2007, h.79). Isu yang

Jurnal Administrasi Publik (JAP), Vol. 3, No. 12, Hal. 2033-2039 | 2046
diutarakan oleh pemicu isu adalah isu tentang pelanggaran hak asasi manusia yang selama
ini memang banyak terjadi di Kabupaten Klaten. Embrio awal dari kebijakan PRB inklusif
bagi penyandang disabilitas adalah pelanggaran hak asasi manusia dalam manajemen
bencana sehingga pemicu isu menuntut adanya kebijakan yang mampu melindungi hak-hak
penyandang disabilitas dalam manajemen bencana.
Isu aksesbilitas penyandang disabilitas dalam mengakses manajemen bencana muncul
setelah Gempa Tektonik sebesar 5,9 SR yang melanda Kabupaten Klaten pada 27 Mei
2006. Proses agenda setting dimulai dari tertangkapnya isu oleh triggering device.
Triggering device dalam kebijakan ini adalah ASB Indonesia. Sebagai NGO yang memang
bergerak dalam hal ini, ASB Indonesia kemudian melakukan proses penyadaran terhadap
apa yang sebenarnya dirasa oleh penyandang disabilitas melalui focus group discussion
dan capacity building tentang pengurangan risiko bencana inklusif bagi penyandang
disabilitas.
Kegiatan ini juga merupakan metode perluasan isu yang dilaksanakan oleh ASB
Indonesia. Isu ini kemudian ditangkap pula oleh pemerintah dengan perantara ASB
Indonesia. Peran ASB Indonesia hanya sebatas perantara karena proses advokasi
diserahkan sepenuhnya kepada DPO. Kegiatan ini ternyata juga ditangkap oleh media
massa kemudian diberitakan. Pemberitaan inilah yang kemudian meluas ke publik. Publik
kemudian merasa simpati terhadap permasalahan ini.
Perjalanan penyampaian isu-isu tersebut di atas, untuk sampai pada agenda
pendefinisian permasalahan bukanlah hal yang bersifat linier. Selain upaya formal
(aboveground movement) terdapat pula upaya-upaya gerakan bawah tanah (underground
movement) yang dilakukan oleh DPO dalam memicu rasa empati DPRD Kabupaten Klaten
terhadap isu ini. Kedua upaya tersebut baik abovebround ataupun underground movement
berjalan beriringan dan saling melengkapi satu sama lain.
Tahapan setelah isu-isu diterima oleh pembuat kebijakan adalah pendefinisian
masalah. Penerimaan isu mengindikasikan ketertarikan pembuat kebijakan untuk membuat
isu tersebut berkurang bahkan selesai melalui serangkaian kebijakan. Secara formal maslah
dapat diartikan sebagai suatu kondisi atau situasi atau kondisi yang dihadapi oleh seseorang
atau kelompok yang menimbulkan kebutuhan atau ketidakpuasan pada sebagian orang
menginginkan pertolongan atau perbaikan, hal tersebut diungkapakan oleh Winarno (2007,
h.70). Mengacu pada definisi tersebut masalah

Jurnal Administrasi Publik (JAP), Vol. 3, No. 12, Hal. 2033-2039 | 2047
yang dialami penyandang disabilitas sehingga menghasilkan kebijakan PRB inklusif adalah
masalah ketidakpuasan terhadap serangkaian mekanisme manajemen bencana yang tidak
mudah diakses oleh penyandang disabilitas.
Permasalahan yang dialami penyandang disabilitas dalam manajemen bencana di
Kabupaten Klaten adalah sebagai berikut:
a. Kepastian data statistik penyandang disabilitas di Kabupaten Klaten
b. Belum adanya mekanisme penilaian kerentanan berdasarkan jenis disabilitas di
Kabupaten Klaten
c. Proses perencanaan manajemen bencana yang belum melibatkan penyandang disabilitas
d. Belum adanya pengembangan kapasitas bagi penyandang disabilitas dalam manajemen
bencana
e. Proses evakuasi yang tidak sesuai dengan prosedur
f. Aksesibilitas TPA dan TPS
g. Konseling untuk mengurangi trauma terhadap bencana
h. Penilaian kerugian ekonomi akibat bencana alam
i. Asistensi pemberdayaan ekonomi dan activity daily living
j. Koordinasi dan komunikasi antar SKPD
2. Policy Stream
Proses policy stream menurut Kingdon (1984, h.195) dimulai ketika masalah yang
berasal dari problem stream akan dicoba untuk diselesaikan melalui kebijakan. Sesuai
dengan definisi tersebut policy stream dalam kebijakan PRB inklusif akan menggambarkan
serangkaian pertentangan dan tarik ulur kepentingan dari masing- masing aktor untuk
memperjuangkan jawaban atas permasalahan penyandang disabilitas dalam mengakses
manajemen bencana. Hal tersebut terjadi karena masing- masing aktor juga memiliki
jawaban atas masalah tersebut.
Semakin banyak aktor yang terlibat maka akan semakin banyak wacana kebijakan yang
muncul. Aktor-aktor yang merekomendasikan kebijakan akan merekomendasikan pula
sumber pendanaan. Inilah yang kemudian disebut dengan policy entrepreneurs. Hasil dalam
proses ini adalah daftar proposal kebijakan. Daftar proposal tersebut kemudian akan dipilih
beberapa atau salah satu dalam political stream.
Primeval soup seperti yang diungkapkan Kingdon (1984, h.51) juga terjadi dalam
proses policy stream dalam Kebijakan PRB Inklusif. Primeval soup merupakan pertemuan
antara ide- ide yang saling mengambang kemudian bergabung. Kebijakan-kebijakan yang di

Jurnal Administrasi Publik (JAP), Vol. 3, No. 12, Hal. 2033-2039 | 2048
perjuangkan oleh masing-masing aktor kemudian diseleksi melalui beberapa kriteria.
Kriteria tersebut adalah: (a) mudah dipahami, (b) kompatibel dengan nilai-nilai dominan di
masyarakat, dan (c) mampu mengantisipasi permasalahan dimasa depan.
Kesepakatan kebijakan tersebut tercapai dengan upaya yang tidaklah mudah. Sebelum
sampai pada pada tahap ini terdapat dua kubu dalam mendefinisikan kebijakan yang tepat
bagi penyandang disabilitas untuk mengakses manajemen bencana yang aksesibel. Kedua
kubu tersebur sebenarnya telah bersepakat bahwasannya permasalahan ini memang
memerlukan sebuah kebijakan untuk menanganinya. Perbedaanya adalah pada sudut
pandang untuk memberikan kebijakan apa yang tepat untuk penyandang disabilitas.
a) Perbedaan Pendapat tentang Kebijakan yang Tepat Bagi Penyandang Disabilitas
Kubu pertama adalah kubu yang berpandangan bahwa disabilitas adalah sebuah
ketidakmampuan dalam menjalankan apapun. Kubu ini adalah kubu yang memiliki
pandangan bahwa penyandang disabilitas adalah manusia yang perlu dikasihani.
Pandangan kubu ini akan menghasilkan kebijakan charity based. Charity based akan
menghasilkan program-program yang isinya hanya untuk mengasihani saja seperti program
bantuan sosial, pemberian kursi roda, dan lain sebagainya. Pemberian program- program
ini sebenarnya tidak salah, hanya saja program ini juga perlu diimbangi dengan adanya
kesadarah bahwa penyandang disabilitas dan non disabilitas adalah sama. Aktor-aktor yang
memiliki pandangan ini biasanya perlu mendapatkan disability awarenes untuk
meningkatkan kesadaran dan pemahaman tentang disabilitas.
Kubu yang kedua adalah kubu yang berpandangan bahwa disabilitas dan non
disabilitas adalah sama-sama manusia dan sama- sama memiliki kemampuan yang sama
jika diberikan fasilitas yang adil. Pandangan kubu ini akan menghasilkan kebijakan right
on. Kebijakan right on adalah kebijakan yang tepat dan adil karena memberikan fasilitas
yang sama berdasarkan asas keadilan. Contoh dari kebijakan yang dihasilkan pada kubu ini
adalah kebijakan untuk mendorong keterlibatan penyandang disabilitas dalam
merencanakan dokumen- dokumen dalam manajemen bencana serperti rencana
operasional, rencana kontigensi dan dokumen rencana penaggulangan bencana. Kebijakan
yang dihasilkan oleh kubu ini adalah kebijakan yang berlandasakan pada twin track
approach, yang mengusahakan adanya persamaan untuk memperoleh fasilitas apapun

Jurnal Administrasi Publik (JAP), Vol. 3, No. 12, Hal. 2033-2039 | 2049
dan mendorong adanya keberdayaan penyandang disabilitas dalam semua aspek kehidupan.
Kubu ini dianggap menghasilkan kebijakan yang tepat karena kubu ini sudah memiliki
disability awareness.
Hasil dalam policy stream adalah daftar- daftar proposal. Daftar-daftar proposal yang
ada dalam proses ini adalah proposal dari kebijakan yang berpandangan charity based dan
daftar proposal dari kelompok yang berpandangan charity based. Proposal yang yang akan
dipilih dan dirasa tepat dalam proses agenda setting kebijakan PRB inklusif akan ditentukan
dalam political stream.
b) Policy Entrepreneurs
Kingdon (1984, h.188) menyebutkan bahwa terdapat pula policy entrepreneurs yang
merupakan kelompok-kelompok yang akan membiayai kebijakan ini.Policy entrepreneurs
dalam kebijakan ini adalah Pemerintah Kabupaten Klaten. Program-program tersebut di
atas kemudian dianggarkan dalam APBD Tahun 2015 dan kemungkinan akan diteruskan
pula pada Tahun 2016. Alasan Pemerintah Kabupaten Klaten bersedia membiayai kebijakan
ini adalah karena kebijakan ini memang tanggung jawab dari pemerintah sehingga memang
harus benar- benar di laksanakan agar masalah yang berhubungan dengan kebijakan ini
dapat diselesaikan.
Program-program yang dilaksanakan oleh LSM dan NGO sama-sama bertujuan untuk
menciptakan pengurangan risiko bencana yang inklusif bagi penyandang disabilitas.
Program- program yang diselenggarakan oleh NGO juga memiliki policy entrepreneurs.
Sumber pendanaan LSM dan NGO tersebut berasal dari lembaga donor Internasional
seperti AusID, The Asia Foundation, dan lain sebagainya. Lembaga donor internasional
tersebut memiliki berbagai macam kepentingan dalam program ini.
c) Underground dan Aboveground Movement
dalam Policy Streams

Abovement movement terjadi dalam proses sidang penetuan bahwa kebijakan yang tepat
adalah kebijakan yang berprinsip right on. Perjalanan menuju perolehan kebijakan ini
tidaklah berlangsung linier karena kelompok- kelompok yang berpandangan right on perlu
meyakinkan kelompok-kelompok yang berpandangan charity based. Maka dari itu
terjadilah proses underground movement untuk meyakinkan kelompok yang belum
berpandangan right on.

Jurnal Administrasi Publik (JAP), Vol. 3, No. 12, Hal. 2033-2039 | 2050
Lobbying juga dilakukan oleh kubu yang berpandangan right on kepada kubu yang
berpandang charity based. Proses lobbying juga disisipkan materi tentang disability
awareness

Jurnal Administrasi Publik (JAP), Vol. 3, No. 12, Hal. 2033-2039 | 2051
agar kelompok-kelompok yang belum memiliki disability awareness memiliki kesamaan
persepsi dalam memandang disabilitas. Kesamaan persepsi inilah yang menjadi tujuan
akhir dari proses lobbying yang dilakukan.
Underground movement juga terjadi dalam proses stabilisasi “kebijakan yang tepat”
agar wacana untuk membuat kebijakan tersebut tetap ada dalam agenda sidang. DPO
kemudian melakukan berbagai macam desakan baik kepada anggota DPRD ataupun
kepada anggota Partai Politik. Desakan tersebut dilaksanakan agar kebijakan yang
diinginkan oleh DPO tidak keluar dari jalurnya.
3. Political Stream
Daftar-daftar proposal kemudian akan masuk kedalam political stream hal tersebut di
ungkapkan oleh, Kingdon 1984, h.152). Proses political stream merupakan proses
pemilihan alternatif kebijakan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan. Kingdon
(1984:174) mendefinisikan coupling adalah pertemuan antara
permasalahan dan solusi yang tepat, coupling terjadi ketika bergabunya antara aliran
permasalahan, kebijakan, dan politik.
Coupling dalam kebijakan ini terjadi pada saat aliran politik. Pertemuan antara
permasalahan penyandang disabilitas dalam mengakses manajemen bencana yang sesuai
dengan kebutuhannya dengan kebijakan PRB inklusif terjadi ketika proses aliran politik.
Dalam aliran kebijakan aktor-aktor mendefiniskan beberapa jawaban untuk mengatasi
permasalahan tersebut, sehingga munculah dua kebijakan alternatif, yaitu kebijakan yang
berpandangan right on dan kebijakan yang berpandangan charity based. Menyamakan
persepsi aktor-aktor untuk mencapai kebijakan yang berpandangan right on diperlukan
upaya yang tidak mudah. Setidaknya harus dilaksanakan penjelasan tentang disability
awareness kepada kelompok yang berpandangan charity based sehingga kelompok
tersebut memiliki disability awarensess dan mengerti apa sebenarnya masalah dan jawaban
atas masalah yang tepat dalam kasus ini. Hasil akhir dari perundingan ini adalah
bertemunya masalah tersebut dengan kebijakan PRB inklusif bagi penyandang disabilitas
sehingga terjadilah coupling. Dengan disepakatinya kebijakan PRB inklusif sesuai dengan
pandangan kelompok yang berpandangan right on maka terbukalah jendela kebijakan. Hal
tersebut sesuai dengan pernyataan Kingdon (1984, h.193) Jendela kebijakan akan terbuka
apabila solusi yang disukai oleh kelompok kepentingan telah ditemukan.

Jurnal Administrasi Publik (JAP), Vol. 3, No. 12, Hal. 2033-2039 | 2052
Kesimpulan
a. Problem stream dimulai dengan bersaingnya permasalahan ini dengan permasalahan
lainnya untuk mendapatkan prioritas pemerintah dan diakhiri dengan kesedian DPRD
Kabupaten Klaten untuk merekomendasikan kebijakan-kebijakan untuk mengatasi
permasalahan penyadang disabilitas dalam manajemen bencana.
b. Munculnya alternatif-alternatif kebijakan menjadi penanda mulainya policy stream.

Jurnal Administrasi Publik (JAP), Vol. 3, No. 12, Hal. 2033-2039 | 2053
Hasil akhir dari policy stream adalah kebijakan pengurangan risiko bencana inklusif
yang berbasis right on dan charity based.

c. Kedua kebijakan tersebut kemudian masuk kedalam political stream untuk memilih
kebijakan yang tepat. Kebijakan yang dianggap tepat oleh aktor-aktor yang terlibat
adalah kebijakan pengurangan risiko bencana inklusif yang berbasis right on.

Jurnal Administrasi Publik (JAP), Vol. 3, No. 12, Hal. 2033-2039 | 2054
Daftar Pustaka

Andriani, Nurul Saadah. (andriani@asbindonesia.org) 13 Oct 2014. Re: Request of Paper


and/or Power Point for Seminar Peringatan Bulan Pengurangan Risiko
Bencana. Email to anang.d.santoso@gmail.com

ASB Indonesia. (2014) Partisipasi Penyandang Disabilitas Dalam Diskusi RPBD


[Internet], 18 November 2014 Avaliable from <www.asbiindonesia.org> [Accessed
18 November 2014]

BPS Klaten. 2013. Klaten dalam Angka. Klaten, BPS

Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi. (2013) Penyandang Disabilitas Kabupaten
Klaten.

Klaten, Dinsosnakertrans
Handicap International. (2005) A Basis Guide TO Disability and Disaster Risk
Reduction. Makati City, Handicap International

Kingdon, John W. (1984) Agendas, Alternatives, and Public Policies. Boston, Little
Brown Konsorsium Nasional Hak untuk Difabel. (2012) Membangun kebijakan publik
pro penyandang

disabilitas. Jakarta, tidak diterbitkan

Newport, Feyanth K., Godfrey G.P. Jawahar. (2000). Community participation and public
awareness in disaster mitigation. Disaster Prevention and Management, 12(1).
January, pp 33-36
Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Klaten Nomor 2 Tahun 2011 tentang
Kesetaraan, Kemandirian dan Kesejahteraan Difabel Klaten, Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Kabupaten Klaten

Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan


Penanggulangan Bencana ( Jakarta, Badan Penanggulangan Bencana Nasional
Raja Deepti Samant dan Nirmita Narasimhan. (2013) Incusive disaster and emergency
management for person with disabilities a review of need, challengesm effective
policies, and practices. Bangkok, The Centre for Internet and Society

Syafi’ie, Muhammad. (2014) Kompleksitas Persoalan Difabel Berhadapan Dengan


Hukum.

Yogyakarta, SIGAB
Undang-Undang Nomor 19 tahun 2011 tentang pengesahan Convention on The
Rights of Persons With Disabilites Jakarta, Kementrian Sosial Republik Indonesia
PEMAHAMAN MASYARAKAT MENGENAI GANGGUAN JIWA DAN
KETERBELAKANGAN MENTAL

Nadira Lubis, Hetty Krisnani, Muhammad Fedryansyah.

nadiralubis23@gmail.com

ABSTRAK

Pemahaman masyarakat mengenai gangguan jiwa dan keterbelakangan mental


sangat minim. Minimnya pengetahuan masyarakat mengenai gangguan jiwa dan
keterbelakangan mental menyebabkan penderita kerap kali mendapatkan perilaku yang
tidak menyenangkan dari masyarakat bahkan dari keluarga penderita sendiri. Salah satunya
di negara Indonesia, perlakuan yang di dapatkan oleh penderita gangguan jiwa dan
keterbelakangan seperti diskriminasi, mereka terisolasi, dikucilkan bahkan hingga
dipasung, padahal penderita gangguan jiwa dan cacat mental adalah warga negara
Indonesia yang berhak mendapatkan hak-hak mereka sebagai warga negara Indonesia dan
sebagai seorang manusia yang dapat mengembangkan diri dan mengasah potensi-potensi
yang dimilikinya. Penyakit gangguan jiwa dan keterbelakangan mental memiliki
pemahaman yang berbeda akan tetapi penderita sering kali mendapatkan perlakuan yang
serupa dari masyarakat maupun keluarga penderita. Gangguan jiwa merupakan suatu
penyakit yang dapat menyerang seseorang kapan saja dan dimana saja dan penyakit ini
dapat disembuhkan dengan mendapatkan penanganan yang tepat, sedangkan cacat mental
bukanlah suatu penyakit akan tetapi cacat mental merupakan suatu keadaan yang telah
dialami seseorang dari semenjak dikandungan, akan tetapi bukan berarti mereka tidak
dapat mengembangkan diri sebagai manusia, penanganan sejak dini dan dengan tepat juga
diperlukan oleh penderita cacat mental. Maka dari itu, peran dari masyarakat sangat
dibutuhkan guna untuk membantu penderita dalam bekreasi hingga dapat mengembangkan
potensi-potensi yang dimilikinya dengan cara mengetahui bagaimana harus bersikap
kepada mereka dengan tidak memandang penderita sebelah mata. Peran dari seorang
pekerja sosial dalam hal ini dapat membantu masyarakat dan keluarga penderita gangguan
jiwa atau cacat mental sebagai educator, motivator dan sebagai konselor.
Kata Kunci : Gangguan Jiwa, Keterbelakangan Mental, Cacat Mental, Pekerja Sosial
PENDAHULUAN
Gangguan jiwa menurut Depkes RI (2000) adalah suatu perubahan pada fungsi jiwa
yang menyebabkan adanya gangguan pada fungsi jiwa, yang menimbulkan penderitaan
pada individu dan atau hambatan dalam melaksanakan peran sosial. Terdapat bermacam-
macam gangguan jiwa dengan penderita yang kerap kali dikucilkan, mendapat perlakuan
diskriminasi, di isolasi bahkan hingga di pasung. Padahal perlakuan-perlakuan tersebut
tidak akan membantu penderita sama sekali bahkan dapat menjadi lebih
parah. Sedangkan manusia dengan keterbelakangan mental yang berbeda dengan penyakit
mental atau yang sering disebut dengan gangguan jiwa juga kerap kali mendapatkan
perlakuan yang serupa.
Masalah gangguan jiwa yang menyebabkan menurunnya kesehatan mental ini
ternyata terjadi hampir di seluruh negara di dunia. WHO (World Health Organization)
yaitu suatu badan dunia PBB yang menangani masalah kesehatan dunia, memandang serius
masalah kesehatan mental dengan
menjadikan isu global WHO. WHO mengangkat beberapa jenis gangguan jiwa seperti
Schizoprenia, Alzheimer, epilepsi, keterbelakangan mental dan ketergantungan
alkohol sebagai isu yang perlu mendapatkan perhatian lebih serius lagi. Dari hasil Riset
Kesehatan Dasar (Riskesda) Indonesia 2007 menunjukkan bahwa:

“Penderita gangguan jiwa berat (psikosis) di Indonesia adalah 0.46 persen atau sejuta
orang. Dari total populasi risiko 1,093,150 hanya 3.5 persen atau 38,260 yang baru
terlayani di rumah sakit jiwa, rumah sakit umum, atau pusat kesehatan masyarakat
dengan fasilitas memadai. Hal ini menunjukan tidak semua penderita mendapatkan
hak- hak mereka sebagai seorang manusia dan warga negara di Indonesia. Penderita
gangguan kejiwaan atau mental masih dianggap sebagai hal yang memalukan atau
sebuah aib bagi keluarga atau kerabat yang salah satu anggota keluarga mengalami
gangguan kesehatan mental atau kejiwaan. Masyarakat Indonesia beranggapan bahwa
gangguan kesehatan mental atau kejiwaan tidak dapat disembuhkan sehingga bagi
penderitanya layak dikucilkan”.

Penderita gangguan jiwa dan keterbelakangan mental sangatlah berbeda. Gangguan


jiwa disebabkan karena banyak hal salah satunya yang banyak terjadi di Indonesia karena
pengalaman kehidupan yang di alami penderita sehingga mengganggu pikiran serta jiwa
mereka, sedangkan pada penyandang keterbelakngan mental disebabkan karena
rendahnya IQ yang membuat sikap dan perilaku mereka berbeda dengan manusia normal
lainnya. Penderita gangguan jiwa dan keterbelakangan mental adalah warga negara
Indonesia dan memiliki hak-hak sama seperti warga negara Indonesia
lainnya. Wartawan Majalah Time, Andrea Star Reese, pernah sempat mengunjungi
Indonesia dan menemukan orang di daerah pelosok Indonesia lebih memilih memasung
anggota keluarganya yang mengidap penyakit mental seperti Skizofrenia ketimbang
membawanya ke rumah sakit. Kendala umum bagi masyarakat Indonesia sehingga memilih
memasung anggota keluarganya karena masalah akses ke perawatan; biaya pengobatan
mahal dan kurangnya penyebarluasan informasi dasar.
Penderita gangguan kejiwaan atau mental masih dianggap sebagai hal yang
memalukan atau sebuah aib bagi keluarga atau kerabat yang salah satu anggota keluarga
mengalami gangguan kesehatan mental atau kejiwaan. Masyarakat Indonesia beranggapan
bahwa gangguan kesehatan mental atau kejiwaan tidak dapat disembuhkan sehingga bagi
penderitanya layak dikucilkan. Minimnya pengetahuan tentang gangguan kesehatan mental
atau kejiwaan, membuat masyarakat Indonesia memberikan penilaian bahwa penderita
gangguan kesehatan mental atau kejiawaan berbeda dengan para penderita sakit fisik yang
dapat disembuhkan maupun sulit disembuhkan. Sehingga labelling penderita gangguan
kesehatan mental atau kejiwaan adalah ‘orang aneh’.
Dengan memberikan pengetahuan mengenai kesehatan mental atau kejiwaan
(termasuk psikososial) kepada masyarakat maka secara bertahap stigma ‘orang aneh yang
harus dikucilkan’ akan sedikit demi sedikit berkurang, dan bagi keluarga yang anggotanya
memiliki gangguan kesehatan mental atau kejiwaan akan langsung memberikan
pengobatan di tempat yang sesuai, selain itu dengan terbukanya pikiran masyarakat maka
secara berkala profesi pekerja sosial dalam bidang medis khususnya akan ikut terangkat.

PEMBAHASAN
Sebab-Sebab Gangguan Jiwa dan Cacat Mental
Menurut Sigmund Freud dalam Santrock (1999) adanya gangguan tugas
perkembangan pada masa anak terutama dalam hal berhubungan dengan orang lain sering
menyebabkan frustasi, konflik, dan perasaan takut, respon orang tua yang mal adaptif pada
anak akan meningkatkan stress, sedangkan frustasi dan rasa tidak percaya yang berlangsung
terus-menerus dapat menyebabkan regresi dan withdral. Disamping hal tersebut di atas
banyak faktor yang mendukung timbulnya gangguan jiwa yang merupakan perpaduan dari
beberapa aspek yang saling mendukung yang meliputi Biologis, psikologis, sosial,
lingkungan. Tidak seperti pada penyakit jasmaniah, sebab- sebab gangguan jiwa adalah
kompleks.
Pada seseorang dapat terjadi penyebab satu atau beberapa faktor dan biasanya jarang
berdiri sendiri. Mengetahui sebab-sebab gangguan jiwa penting untuk mencegah dan
mengobatinya. Umumnya sebab-sebab gangguan jiwa menurut Santrock (1999) dibedakan
atas jasmaniah/biologic seperti halnya, keturunan, jasmaniah seperti kegemukan yang
cenderung menderita psikosa manik depresi dan dapat pula menjadi skizofernia, tempramen
karena orang yang terlalu peka/ sensitif, penyakit dan cedera tubuh.
Selain karena jasmaniah/biologic, gangguan jiwa dapat pula terjadi karena
psikologik seperti pengalaman frustasi, kegagalan dan keberhasilan yang dialami akan
mewarnai sikap, kebiasaan dan sifatnya dikemudian hari. Hidup seorang manusia dapat
dibagi atas 7 masa dan pada keadaan tertentu dapat mendukung terjadinya gangguan jiwa.
Gangguan jiwa dapat pula terjadi karena Sosio Kultural yaitu, kebudayaan secara
teknis adalah ide atau tingkah laku yang dapat dilihat maupun yang tidak terlihat. Faktor
budaya bukan merupakan penyebab langsung menimbulkan gangguan jiwa, biasanya
terbatas menentukan “warna” gejala-gejala. Di
samping mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan kepribadian seseorang misalnya
melalui aturan-aturan kebiasaan yang berlaku dalam kebudayaan tersebut.
Pada keterbelakangan mental memiliki bermacam-macam penyebab seperti karena
keturunan atau gen dari orang tua, pola makan sang Ibu pada masa kehamilan, pola hidup
sang ibu ketika masa kehamilan dan umur ibu pada masa kehamilan juga dapat menjadi
penyebab anak terlahir dengan cacat mental. Walau penyebab antara penyakit mental dan
keterbelakangan mental berbeda akan tetapi perlakuan masyarakat yang mereka terima
kerap kali serupa.

Macam-macam Gangguan Jiwa dan Keterbelakangan Mental

Terdapat macam-macam gangguan jiwa yang dimiliki oleh beberapa penderita di


dunia, menurut Rusdi (1998) adapaun macam-macam dari gangguan jiwa, yaitu:

“Gangguan jiwa organik dan simtomatik, skizofrenia, gangguan skizotipal dan


gangguan waham, gangguan suasana perasaan, gangguan neurotik, gangguan
somatoform, sindrom perilaku yang berhubungan dengan gangguan fisiologis dan
faktor fisik, Gangguan kepribadian dan perilaku masa dewasa, retardasi mental,
gangguan perkembangan psikologis, gangguan perilaku dan emosional dengan
onset masa kanak dan remaja (Rusdi, 1998)”.

Walau Retardasi mental termasuk dalam macam-macam dari gangguan jiwa, akan
tetapi pada kenyataannya mereka yang memiliki keterbelakangan mental memiliki
perbedaan dari mereka yang memiliki gangguan jiwa. Keterbelakangan mental atau cacat
mental bukanlah suatu penyakit sehingga keadaan tersebut tidak dapat dicegah, sedangkan
gangguan jiwa
seperti skizofrenia, gangguan skizotipal dan gangguan waham, gangguan suasana perasaan,
dsb, dapat disembuhkan melalui pengobatan medis. Macam-macam gangguan jiwa juga
memiliki penyebab yang berbeda, mereka yang memiliki gangguan jiwa dapat disembuhkan
dengan penanganan yang tepat.

Macam-Macam Keterbelakangan Mental Pada keterbelakangan mental atau


cacat mental (Mental Retardation) sendiri memiliki macam-macam jenis.
Pengelompokan pada umumnya berdasarkan pada taraf intelegensinya, yang terdiri dari
terbelakang ringan, sedang dan berat. Pengelompokan seperti ini sebenarnya bersifat
artificial karena ketiga kelompok di atas tidak dibatasi oleh garis demargasi yang tajam.
Gradasi dari satu level ke level berikutnya bersifat kontinyu. Kemampuan inteligensi anak
cacat mental kebanyakan diukur dengan tes Stanford Binet dan Skala Weschler (WISC),
yaitu, Cacat mental ringan disebut juga debil. Kelompok ini memiliki IQ antara 68-52
menurut Binet, sedangkan menurut Skala Weschler (WISC) memiliki IQ 69-55. Mereka
masih dapat belajar membaca, menulis, dan berhitung sederhana. Namun pada umumnya
anak cacat mental ringan tidak mampu melakukan penyesuaian social secara independen
dan anak ini tidak mengalami gangguan fisik. Mereka secara fisik tampak seperti anak
normal pada umumnya. Oleh karena itu agak sukar membedakan secara fisik antara anak
cacat mental dengan anak normal.
Anak cacat mental sedang disebut juga imbesil. Kelompok ini memiliki IQ 51-36
berdasarkan skala Binet sedangkan menurut Skala Wsechler memiliki IQ 54-
40. Anak cacat mental sedang masih memperoleh kecakapan komunikasi selama masa anak
usia dini. Walaupun agak lambat. Anak dapat mengurus atau merawat diri sendiri dengan
pelatihan yang intensif. Mereka dapat memperoleh manfaat latihan kecakapan sosial
dan
pekerjaan namun tidak dapat menguasai kemampuan akademik seperti; membaca, menulis,
dan berhitung. Akan tetapi mereka masih dapat bepergian di lingkungan yang sudah
dikenalnya.
Kelompok anak cacat mental berat disebut juga idiot. Kelompok ini dapat
dibedakan lagi antara anak cacat mental berat dan sangat berat. Cacat mental berat (severe)
memiliki IQ antara 32-20menurut skala Binet dan antara 39-25 menurut Skala Wechsler
(WISC) Anak cacat mental sangat berat (profound) memiliki IQ dibawah 19 menurut Skala
Binet dan IQ dibawah 24 menurut skala Wechsler (WISC). Anak cacat mental berat
memerlukan bantuan perawatan secara total dalam hal berpakaian, mandi, makan, dll.
Hampir semua anak cacat mental berat dan sangat berat menyandang cacat ganda.
Umpamanya sebagai tambahan cacat mental tersebut si anak lumpuh (karena cacat otak) ,
tuli atau cacat lainnya.

Fenomena Di Indonesia
Gangguan jiwa dapat mengenai setiap orang, tanpa mengenal umur, ras, agama,
maupun status sosial-ekonomi. Gangguan jiwa bukan disebabkan oleh kelemahan pribadi.
Di masyarakat banyak beredar kepercayaan atau mitos yang salah mengenai gangguan
jiwa, ada yang percaya bahwa gangguan jiwa disebabkan oleh gangguan roh jahat, ada
yang menuduh bahwa itu akibat guna-guna, karena kutukan atau hukuman atas dosanya.
Kepercayaan yang salah ini hanya akan merugikan penderita dan keluarganya karena
pengidap gangguan jiwa tidak mendapat pengobatan secara cepat dan tepat.
Orang dengan keterbelakangan mental atau cacat mental berbeda penanganan
dengan mereka yang mederita sakit mental. Cacat mental bukanlah suatu penyakit, mereka
adalah suatu keadaan yang tidak dapat dicegah. Akan tetapi mereka dapat belajar sehingga
mampu untuk menjalankan hidup. Pembelajaran yang mereka dapat perlu dilakukan secara
terus-menerus dan berkelanjutan. Orang dengan gangguan jiwa dan keterbelakangan mental
kerap kali mendapatka perlakuan yang sama dan dianggap sebagi sebuah musibah atau
bencana. Hal ini terjadi dikarenakan kurangnya pemahaman dari masyarakat sendiri
mengenai gangguan jiwa dan cacat mental.
Di zaman ponsel pintar seperti sekarang, realitanya masih banyak masyarakat
Indonesia yang masih awam tentang gangguan jiwa dan cacat mental. Masih lebih banyak
orang yang mengabaikan pentingnya menimbang, mengupayakan dan mempertahankan
kesehatan jiwa dan mental dibandingkan dengan kesehatan fisik. Sebagian anggota
masyarakat baru akan memperhatikan masalah kesehatan jiwa dan mental, hanya disaat
mereka dihadapkan pada gangguan kesehatan mental dan jiwa.
Kurangnya kesadaran dan pengetahuan masyarakat tentang orang dengan penyakit
mental dan keterbelakangan mental menimbulkan perlakuan dan sikap yang salah terhadap
orang yang memiliki penyakit mental dan keterbelakangan mental. Persepsi masyarakat
terhadap kesehatan mental berbeda di setiap kebudayaan. Dalam suatu budaya tertentu,
orang-orang secara sukarela mencari bantuan dari para profesional untuk menangani
gangguan jiwanya. Sebaliknya dalam kebudayaan yang lain, gangguan jiwa cenderung
diabaikan sehingga penanganan akan menjadi jelek, atau di sisi lain masyarakat kurang
antusias dalam mendapatkan bantuan untuk mengatasi gangguan jiwanya. Bahkan
gangguan jiwa dianggap memalukan atau membawa aib bagi keluarga. Hal kedua inilah
yang biasanya terjadi dikalangan masyarakat saat ini (http://health.kompas.com/).
Pengetahuan mengenai penyakit mental dan keterbelakangan mental harus kita
pahami, karena apabila kita acuh terhadap informasi dan pengetahuan ini mereka tidak
dapat berkembang karena
kurangnya motivasi akan menghambat perkembangan mereka dan menimbulkan
ketergantungan. Pemasungan, diskriminasi dan isolasi terjadi disebabkan kurangnya
pengetahuan dan informasi tentang apa itu penyakit mental dan keterbelakangan mental?.
Di negara Indonesia terutama adalah negara yang masih ditemukan kasus pemasungan
terhadap anak dengan penyakit mental atau cacat mental yang di lakukan oleh keluarga
mereka sendiri dengan diperlakukan seperti bukan seorang manusia.
Model kesehatan di dunia barat memandang gangguan jiwa sebagai suatu hal yang
harus disembuhkan. Sehingga pelayanan kesehatan jiwa cenderung berorientasi hanya pada
gangguan jiwa yang menimpa orang tersebut dan sering mengabaikan aspek-aspek yang
berkaitan dengan kehidupan dan kesejahteraan kliennya. Maka dari itu, di dunia barat
mereka yang mengidap penyakit mental memiliki penanganan khusus tanpa mengisolasi
penderita atau bahkan hingga memasung seperti yang banyak terjadi di daerah-daerah yang
terdapat di Indonesia. Berbeda dengan negara barat, masyarakat Indonesia masih belum
terlalu peduli terhadap penanganan dan perawatan penderita penyakit mental dan
keterbelakangan mental seperti di beberapa daerah di Indonesia (Sumber: rsjlawang.com).
Beberapa kasus di Indonesia terutama di daerah-daerah terpencil kerap kali
ditemukan kasus pemasungan atau kurungan terhadap mereka yang menderita penyakit
mental atau keterbelakangan mental. Mereka mendapatkan perlakuan yang tidak
menyenangkan karena perilaku mereka dianggap aib atau mengganggu ketenangan
masyarakat setempat sehingga hak asasi manusia mereka direnggut karena pemasungan
atau kurungan tersebut. Pemasungan dan kurungan merupakan salah satu tindakan yang
melanggar hak asasi manusia, walau bagaimanapun mereka memiliki hak untuk dapat
hidup dengan layak seperti layaknya
orang normal. Perilaku tidak menyenangkan ini seperti yang telah disebutkan terjadi karena
minimnya pengetahuan dan informasi bagaimana cara berkomunikasi terhadap penderita
penyakit mental dan keterbelakangan mental.
Pemicu dan faktor resiko sakit jiwa bisa disebabkan karena stressor yang berlebihan
dan tidak bisa ditangani dengan baik, contoh mudahnya adalah tertimpa musibah, mengidap
penyakit maupun faktor sosial lainnya. Pemerintah juga membantu untuk pengobatan dan
perawatan penderita gangguan sakit jiwa ini. Kementerian Kesehatan mendorong
pemerintah daerah untuk meningkatkan fasilitas kesehatan jiwa. Rumah sakit jiwa di
Indonesia yang dimiliki pemerintah hanya 33 buah. Sedangkan rumah sakit jiwa atau
klinik-klinik penderita gangguan jiwa yang dikelola swasta berjumlah sekitar 40-an. Jumlah
ini dirasa masih sangat kurang karena penderita gangguan jiwa di Indonesia masih cukup
banyak. Ada sedikit perbedaan antara sakit jiwa dan gangguan jiwa. Bila gangguan jiwa
adalah gangguan pikiran, perasaan atau tingkah laku sehingga menimbulkan penderitaan
dan terganggunya fungsi kehidupan sehari-hari. Sedangkan sakit jiwa lebih dominan dan
menjurus pada gangguan jiwa berat yang memerlukan pengobatan dan perawatan khusus
pula.

Pentingnya Significant Others

Kelemahan yang dimiliki anak- anak penyandang cacat mental dan penyakit mental
menyebabkan mereka membutuhkan bantuan yang lebih banyak dan intensif dari orang-
orang sekitar dalam menjalani kehidupannya. Masalah utama bagi perkembangan anak
penyandang cacat mental adalah ketidakmampuan mereka dalam mempelajari situasi yang
terjadi di sekitar mereka. Oleh karena itu, Seseorang dengan gangguan mental dengan
segera membutuhkan perawatan atau kontrol, seseorang tersebut haruslah di bawa ke
tempat yang aman. Orang harus diperiksa oleh dokter dan diwawancarai
oleh seorang praktisi kesehatan mental disetujui (sebelumnya seorang pekerja sosialah
yang disetujui terlebih dahulu). Di masing-masing level dari pemasungan, isolasi dan
diskriminasi memiliki isu perkembangan koresponden yang merefleksikan fungsi sosial.
Bagian selanjutnya yang mendiskusikan tantangan yang dihadapi oleh individu-individu
pada berbagai macam level yang menekankan orang dengan disabilitas mental. Oleh
karena itu, keadaan lingkungan sosial haruslah mendukung perkembangan pada orang
pengidap penyakit mental dan keterbelakangan mental. Lingkungan sosial sangat berperan
terhadap aktifitas sehari-hari yang di jalani oleh penderita, melalui lingkungan sosial
mereka dapat hidup selayaknya orang normal.
Pentingnya pendidikan yang baik untuk anak penyakit mental dan anak dengan
keterbelakangan mental, karena perkembangan pada mereka memerlukan perhatian yang
khusus. Walau anak dengan keterbelakangan mental memiliki IQ di bawah rata-rata, akan
tetapi buka berarti mereka tidak memiliki potensi dalam
dirinya. karena anak penderita down syndrome juga dapat mengukir prestasi yang
dapat meraih penghargaan dari kejuaraan-kejuaraan salah satunya adalah
Stephanie Handojo (21) yang telah tampil sebagai peraih emas cabang renang di World
Special Olympics di Athena, Yunani, pada
Juli 2011 (Republika, 2012:04). Sama
halnya dengan pengidap keterbelakangan
mental, penderita penyakit mental pun memiliki potensi-potenti yang dapat
dikembangkan apabila didukung oleh keluarga, masyarakat
atau lingkungan sosial mereka. Penderita gangguan
jiwatidak mungkin mampu mengatasi masalah kejiwaanya sendiri. Individu
tersebut membutuhkan peran orang lain di sekitarnya, khususnya keluarganya. Peran
keluarga dalam kesembuhan dan kekambuhan penderita gangguan jiwa sangat penting,
karena keluargalah orang yang paling dekat dengan penderita
gangguan jiwa.Pencegahan kekambuhan atau mempertahankan penderita gangguan jiwa di
lingkungan keluarga dapat terlaksana dengan persiapan pulang yang adekuat serta
mobilisasi fasilitas pelayanan kesehatan yang ada di masyarakat khususnya peran serta
keluarga.
Tersedianya berbagai macam treatment dan terapi seharusnya dapat menjadi solusi
atau jawaban bagi masyarakat yang mempertanyakan dan meragukan akan kesembuhan
bagi para penderita gangguan kesehatan mental atau kejiwaan. Banyak terapi pada zaman
sekarang yang banyak di lakukan untuk menyembuhkan orang dengan penyakit mental
untuk orang dengan keterbelakangan mental pendidikan menjadi kunci utama mereka untuk
berkembang dan menggali potensinya.
Pengetahuan dan informasi mengenai penyakit mental dan keterbelakangan mental
harus diketahui oleh seluruh masyarakat Indonesia agar tidak kembali lagi terjadi perilaku-
perilaku yang melanggar hak asasi manusia pada penderita. Mulai dari penyebab mereka
menderita gangguan jiwa atau keterbelakangan mental,cara berkomunikasi dengan
mereka hingga mengetahui perawatan yang tepat untuk mereka agar dapat sembuh atau
dapat mengembangkan potensi yang dimilikinya.

PENUTUP
Manusia dengan Gangguan mental dan keterbelakangan mental bukanlah suatu
kutukan dan hal yang menakutkan akan tetapi, perilaku dan tindakan mereka kerap kali
melanggar nilai dan norma yang berlaku di masyarakat sehingga mereka tidak jarang
mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan hingga melanggar hak asasi manusia. Di
Indonesia sendiri banyak kasus ditemukan yang memprihatinkan seperti kasus pemasungan
dan pengurungan terhadap mereka yang menderita gangguan mental atau cacat mental.
Mereka dengan penderita gangguan mental dan keterbelakangan mental adalah
manusia yang berhak mendapatkan hak untuk hidup dengan layak seperti manusia normal
pada umumnya. Pendidikan, perawatan, sosialisasi dengan lingkungan sekitar juga berhak
mereka dapatkan sebagai seorang manusia, akan tetapi karena minimnya pengetahuan dan
informasi pada masyarakan mengenai penyakit mental dan keterbelakangan mentalah yang
merenggut hak-hak asasi mereka sebagai manusia dan warga negara Indonesia.
Maka dari itu, pengetahuan dan informasi mengenai penyakit mental dan
keterbelakangan mental sangat penting di ketahui dan di pahami oleh seluruh masyarakat
khususnya masyarakat Indonesia. Perhatian yang khusus dan perawatan terhadap mereka
dapat membuat mereka mampu mengembangkan potensi-potensi yang mereka miliki
bahkan tidak jarang diantara mereka yang dapat berprestasi hingga membanggakan
keluarga, masyarakat dan bangsa Indonesia.
Dengan bertambahnya pengetahuan dan informasi mengenai penderita penyakit
mental dan gangguan mental diharapkan dapat menambahkan rasa kepedulian masyarakat
Indonesia terhadap hak-hak mereka sebagai penderita. Motivasi adalah keadaan psikologis
yang merangsang dan memberi arah terhadap aktivitas manusia. Dialah kekuatan yang
menggerakkan dan mendorong aktivitas seseorang. Motivasi menjadi salah satu kunci
sebagai alat penyembuhan terhadap mereka yang menderita gangguan jiwa.

DAFTAR RUJUKAN
Wibhawa,Budhi,dkk. 2010. Dasar-dasar Pekerjaan Sosial. Bandung. Widya Padjadjaran
Koplan, Tony. 2009. Children and Adolescent with Mental Helath Problems. The Royal
College of Psychiatrists: London. Maslim, Rusdi. 1998. Buku Saku Diagnosis Gangguan
Jiwa. Jakarta
Semrud-Clikeman, Margaret. 2007. Social Competence in Children. Springer
Science+Business Media, LCC: USA.
Prinz, Ronald J. (1991). “Advances in Behavioral Assessment of Children and Families”.
Volume 5. London: Jessica Kingsley Publishers.
Hendriani, Wiwin, dkk. (2006). “Penerimaan Keluarga terhadap Individu yang Mengalami
Keterbelakangan Mental”. INSAN Vol. 8 No.2 Agustus 2006.
Republika. 2012. Penderita Down Syndrome Mengukir Prestasi.
Undang-Undang Republik Indonesia Tentang Kesehatan Jiwa No.3 Tahun 1996
www.terapicalistung.com. Anak Keterbelakangan Mental. Diunduh Pada Tanggal 16
September 2014.
Pukul: 07.44 WIB.
Faperta.ugm.ac.id. Kesehatan Jiwa.
Diunduh Pada Tanggal 22 Oktober 2014. Pukul: 20.46 WIB.
Psikologi.ug.ac.id. Aksi Hari Kesehatan Jiwa Sedunia. Diunduh Pada Tanggal 30 Oktober
2014 Pukul17.05 WIB.
http://health.kompas.com. Gangguan Jiwa Masih Diabaikan. Diunduh Pada Tanggal 13
Desember 2014 Pukul
17.14 WIB
rsjlawang.com. Pengaruh Kebudayaan Terhadap Pemahaman dan Pelayanan Masyarakat.
Diunduh Pada Tanggal 13 Desember 2014 Pukul 16.50 WIB

Anda mungkin juga menyukai