Anda di halaman 1dari 15

TUGAS KEPERAWATAN BENCANA

PERAWATAN UNTUK POPULASI RENTAN

Disusun Oleh Kelompok 4 :


1. Amalia Wijayanti (1807005)
2. Dian Kusuma W. (1807007)
3. Nikita Nur B. (1807019)
4. Nur Azizatul M. (1807020)
5. Rahmana Ulya (1807026)
6. Selvy Irfoni K. (1807028)

Dosen Pembimbing :
Endang Supriyanti, S.Kep, Ns, M.Kep

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


UNIVERSITAS WIDYA HUSADA SEMARANG
TAHUN AJARAN 2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah senantiasa memberikan berkat
rahmat dan hidayahnya kepada kita semua. Sehingga kita dapat menyelesaikan tugas
makalah dengan judul “Perawatan Untuk Populasi Rentan” pada mata kuliah Keperawatan
Bencana.
Dalam membuat dan menyelesaikan makalah ini, kami telah berusaha untuk mencapai hasil
yang maksimal, tetapi dengan keterbatasan wawasan, pengetahuan, pengalaman, dan
kemampuan yang kami miliki, kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan.
Terselesainya makalah ini, tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, kami mengucapkan
banyak terimakasih. Apabila banyak kesalahan dan kekurangan dalam penulisan dan
keterbatasan materi kami mohon maaf sebesar-besarnya. Semoga makalah ini berguna dan
bermanfaat bagi pembaca.

Semarang, 20 September 2021

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berbagai bencana telah menimbulkan korban dalam jumlah yang besar. Banyak
korban yang selamat menderita sakit dan cacat. Rumah, tempat kerja, ternak, dan peralatan
menjadi rusak atau hancur. Korban juga mengalami dampak psikologis akibat bencana,
misalnya; ketakutan, kecemasan akut, perasaan mati rasa secara emosional, dan kesedihan
yang mendalam. Bagi sebagian orang, dampak ini memudar dengan berjalannya waktu. Tapi
untuk banyak orang lain, bencana memberikan dampak psikologis jangka panjang baik yang
terlihat jelas misalnya depresi, psikosomatis (keluhan fisik yang diakibatkan oleh masalah
psikis) ataupun yang tidak langsung, seperti ; konflik, hingga perceraian.
Beberapa gejala gangguan psikologis merupakan respons langsung terhadap
kejadian traumatik dari bencana. Namun gejala-gejala yang lain juga akan menyusul,
ini adalah dampak tidak langsung dan bersifat jangka panjang yang dapat mengancam
berbagai golongan terutama kelompok yang rentan yaitu lansia, wanita hamil, anak-anak,
orang dengan penyakit kronis, disabilitas, dan sakit mental.
Dalam banyak kasus, jika tidak ada intervensi yang dirancang dengan baik, banyak
korban bencana akan mengalami depresi parah, gangguan kecemasan, gangguan stress pasca
trauma, dan gangguan emosi lainnya. Bahkan lebih dari dampak fisik dari bencana, dampak
psikologis dapat menyebabkan penderitaan lebih panjang, mereka akan kehilangan semangat
hidup, kemampuan sosial dan merusak nilai-nilai luhur yang mereka miliki.
Menurut Departeman Hukum dan Hak Asasi Manusia, kelompok rentan adalah
semua orang yang menghadapi hambatan atau keterbatasan dalam menikmati standar
kehidupan yang layak bagi kemanusiaan dan berlaku umum bagi suatu masyarakat yang
berperadaban. Jadi, kelompok rentan dapat didefinisikan sebagai kelompok yang harus
mendapatkan perlindungan dari pemerintah karena kondisi sosial yang sedang mereka
hadapi. Konteks kerentanan merujuk kepada situasi rentan yang setiap saat dapat
mempengaruhi atau membawa perubahan besar dalam penghidupan masyarakat. Setiap
orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan
perlindungan lebih berkenan dengan kekhususannya. Kelompok masyarakat yang rentan
adalah lansia, wanita hamil, anak-anak, orang dengan penyakit kronis, disabilitas, dan sakit
mental.
Dalam konteks ini, kita akan membicarakan lebih rinci mengenai perawatan
kelompok rentan pra, saat dan pasca terjadinya bencana dalam makalah kami yang berjudul
“Perawatan Untuk Populasi Rentan”.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan pupulasi rentan lansia, wanita hamil, anak-anak, orang
dengan penyakit kronis, disabilitas, dan sakit mental?
2. Perawatan untuk populasi rentan?
3. Pemenuhan kebutuhan jangka panjang pada populasi rentan?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan pupulasi rentan lansia, wanita hamil, anak-
anak, orang dengan penyakit kronis, disabilitas, dan sakit mental
2. Untuk mengetahui perawatan pada populasi rentan
3. Untuk mengetahui pemenuhan kebutuhan jangka panjang pada populasi rentan

D. Manfaat
Manfaat Penulisan makalah ini, untuk membantu para pembaca baik itu masyarakat maupun
tenaga kesehatan agar lebih memahami perawatan pada kelompok rentan karena hal tersebut
sangat penting dalam kehidupan sehari- hari dalam mitigasi bencana.
BAB 2
TINJAUAN TEORI
A. Populasi Rentan
Menurut UU No 24/2007, pasal 55, ayat 2 Kelompok rentan dalam situasi
bencana adalah individu atau kelompok yang terdampak lebih berat diakibatkan
adanya kekurangan dan kelemahan yang dimilikinya yang pada saat bencana terjadi
menjadi beresiko lebih besar, meliputi: bayi, balita, dan anak-anak, ibu yang sedang
mengandung atau menyusui, penyandang cacat (disabilitas), dan orang lanjut usia.
Populasi rentan didefinisikan sebagai kelompok sosial yang memiliki risiko
atau kelemahan yang relatif tinggi sehingga merugikan kesehatan (Flakerud dan
Winslow, 1998; Stanhope dan Lancaster, 2004). Faktor resiko dibidang kesehatan
merupakan pendekatan di bidang epidemiologi yang terdiri dari triangel
epidemiologic yakni agen, host, dan lingkungan. Pada dasarnya populasi rentan
merupakan suatu kelompok dari populasi yang cenderung memiliki masalah
perkembangan kesehatan sebagai akibat dari paparan beberapa fakor resiko atau
memiliki kemungkinan kesehatan lebih buruk daripada kelompok yang lain
(Stanhope dan Lancaster, 2004).

B. Populasi Rentan Lansia


Merupakan salah satu kelompok yang rentan secara fisik, mental, dan
ekonomi saat dan setelah bencana yang disebabkan karena penurunan kemampuan
mobilitas fisik atau mengalami masalah kesehatan kronis (Klynman et al., 2007). Di
Amerika Serikat, lebih dari 50% korban kematian akibat dari badai Katrina adalah
lansia dan diperkirakan sekitar 1300 lansia yang hidup mandiri sebelum kejadian
badai tersebut harus dirawat di pantai jompo setelah bencana alam itu terjadi (Powers
& Daily, 2010).
Pasca bencana, kebutuhan lansia sering terabaikan dan mengalami
diskriminasi, contohnya dalam hal distribusi kebutuhan hidup dan finansial pasca
bencana. Hak-hak dan kebutuhan spesifik lansia kadang-kadang terlupakan yang
dapat memperparah masalah kesehatan dan kondisi depresi pada lansia tersebut
(Klynman et al., 2007).
Tindakan yang sesuai untuk kelompok pada lansia :
a. Pra bencana
1) Libatkan lansia dalam pengambilan keputusan dan sosialisasi disaster plan
di rumah
2) Mempertimbangkan kebutuhan lansia dalam perencanaan penanganan
bencana
b. Menurut Ida Farida (2013) keperawatan lansia saat bencana adalah
1) Tempat aman
Yang diprioritaskan pada saat terjadi bencana adalah memindahkan lansia
ke tempat yang aman. Lansia sulit memperoleh informasi karena penurunan
daya pendengaran dan penurunan komunikasi dengan luar
2) Rasa setia
Lansia memiliki rasa setia yang dalam pada tanah dan rumah sendiri, maka
tindakan untuk mengungsi pun berkecenderungan terlambat dibandingkan
dengan generasi yang lain
3) Penyelamatan darurat
(Triage, treatment, and transportation) dengan cepat. Fungsi indera orang
lansia yang mengalami perubahan fisik berdasarkan proses menua, maka
skala rangsangan luar untuk memunculkan respon pun mengalami
peningkatan sensitivitas sehingga mudah terkena mati rasa
c. Pasca Bencana
1) Program inter-generasional untuk mendukung sosialisasi komunitas dengan
lansia dan mencegah isolasi sosial lansia, diantaranya:
a) Libatkan remaja dalam pusat perawatan lansia dan kegiatan- kegiatan
sosial bersama lansia untuk memfasilitasi empati dan interaksi orang
muda dan lansia (community awareness)
b) Libatkan lansia sebagai sebagai  storytellers dan animator dalam
kegiatan bersama anak-anak yang diorganisir oleh agency
2) perlindungan anak di posko perlindunga korban bencana
3) Menyediakan dukungan sosial melalui pengembangan jaringan sosial yang
sehat di lokasi penampungan korban bencana
4) Sediakan kesempatan belajar untuk meningkatkan pengetahuan dan skill
lansia
5) Ciptakan kesempatan untuk mendapatkan penghasilan secara mandiri
6) Berikan konseling untuk meningkatkan semangat hidup dan kemandirian
lansia.
d. Menurut Ida Farida (2013) keperawatan bencana pada lansia setelah bencana
adalah
1) Lingkungan dan adaptasi
2) Manajemen penyakit dan pencegahan penyakit sekunder
3) Orang lanjut usia dan perawatan pada kehidupan di rumah sendiri
4) Lansia yang sudah kembali ke rumahnya
5) Mental Care

C. Populasi Rentan Wanita Hamil


Dalam memberikan pelayanan keperawatan pada berbagai macam kondisi
kita harus cepat dan bertindak tepat di tempat bencana, petugas harus ingat bahwa
dalam merawat ibu hamil adalah sama halnya dengan menolong janinnya sehingga
meningkatkan kondisi fisik dan mental wanita hamil dapat melindungi dua
kehidupan, ibu hamil dan janinnya. Perubahan fisiologis pada ibu hamil, seperti
peningkatan sirkulasi darah, peningkatan kebutuhan oksigen, dan lain-lain sehingga
lebih rentan saat bencana dan setelah bencana (Farida, Ida. 2013).
Menurut Ida Farida (2013) hal-hal yang perlu diperhatikan dalam
penanggulangan ibu hamil :
1) Meningkatkan kebutuhan oksigen
Penyebab kematian janin adalah kematian ibu. Tubuh ibu hamil yang mengalami
keadaan bahaya secara fisik berfungsi untuk membantu menyelamatkan
nyawanya sendiri dari pada nyawa si janin dengan mengurangi volume
perdarahan pada uterus
2) Persiapan melahirkan yang aman
Dalam situasi bencana, petugas harus mendapatkan informasi yang jelas dan
terpercaya dalam menentukan tempat melahirkan adalah keamanannya. Hal yang
perlu dipersiapkan adalah air bersih, alat-alat yang bersih dan steril dan obat-
obatan, yang perlu diperhatikan adalah evakuasi ibu ke tempat perawatan
selanjutnya yang lebih memadai.
a. Pra bencana
1) Melibatkan perempuan dalam penyusunan perencanaan penanganan
bencana
2) Mengidentifikasi ibu hamil dan ibu menyusui sebagai kelompok rentan
3) Membuat disaster plans dirumah yang disosialisasikan kepada seluruh
anggota keluarga
4) Melibatkan petugas-petugas kesehatan reproduktif dalam mitigasi bencana
b. Saat bencana
1) Melakukan usaha/bantuan penyelamatan yang tidak meningkatkan risiko
kerentanan bumil dan busui, misalnya: meminimalkan guncangan pada saat
melakukan mobilisasi dan transportasi karena dapat merangsang kontraksi
pada ibu hamil, tidak memisahkan bayi dan ibunya saat proses evakuasi
2) Petugas bencana harus memiliki kapasitas untuk menolong korban bumil
dan busui
c. Pasca bencana
1) Dukung ibu-ibu menyusui dengan dukungan nutrisi adekuat, cairan dan
emosional
2) Melibatkan petugas-petugas kesehatan reproduktif di rumah penampungan
korban bencana untuk menyediakan jasa konseling dan pemeriksaan
kesehatan untuk ibu hamil dan menyusui
3) Melibatkan petugas-petugas konseling untuk mencegah, mengidentifikasi,
mengurangi risiko kejadian depesi pasca bencana
D. Populasi Rentan Anak-Anak
Bayi dan anak-anak sering menjadi korban dalam semua tipe bencana karena
ketidakmampuan mereka melarikan diri dari daerah bahaya. Ketika Pakistan
diguncang gempa Oktober 2005, sekitar 16.000 anak meninggal karena gedung
sekolah mereka runtuh. Tanah longsor yang terjadi di Leyte, Filipina, beberapa tahun
lalu mengubur lebih dari 200 anak sekolah yang tengah belajar di dalam kelas
(Indriyani 2014). Diperkirakan sekitar 70% dari semua kematian akibat bencana
adalah anak-anak baik itu pada bencana alam maupun bencana yang disebabkan oleh
manusia (Powers & Daily, 2010).
Selain menjadi korban, anak-anak juga rentan terpisah dari orang tua atau
wali mereka saat bencana terjadi. Diperkirakan sekitar 35.000 anak-anak Indonesia
kehilangan satu atau dua orang tua mereka saat kejadian tsunami 2004. Terdapat juga
laporan adanya perdagangan anak (Child-Trafficking) yang dialami oleh anak-anak
yang kehilangan orang tua/wali (Powers & Daily, 2010). Tindakan yang sesuai untuk
kelompok berisiko pada bayi dan anak :
a. Pra bencana
1) Mensosialisasikan dan melibatkan anak-anak dalam latihan kesiagsiagaan
bencana misalnya dalam simulasi bencana kebakaran atau gempa bumi
2) Mempersiapkan fasilitas kesehatan yang khusus untuk bayi dan anak pada
saat bencana
3) Perlunya diadakan pelatihan-pelatihan penanganan bencana bagi petugas
kesehatan khusus untuk menangani kelompok-kelompok berisiko
b. Saat bencana
1) Mengintegrasikan pertimbangan pediatric dalam sistem triase standar yang
digunakan saat bencana
2) Lakukan pertolongan kegawatdaruratan kepada bayi dan anak sesuai dengan
tingkat kegawatan dan kebutuhannya dengan mempertimbangkan aspek
tumbuh kembangnya, misalnya menggunakan alat dan bahan khusus untuk
anak dan tidak disamakan dengan orang dewasa
3) Selama proses evakuasi, transportasi, sheltering dan dalam pemberian
pelayanan fasilitas kesehatan, hindari memisahkan anak dari orang tua,
keluarga atau wali mereka
c. Pasca bencana
1) Usahakan kegiatan rutin sehari-hari dapat dilakukan sesegera mungkin
contohnya waktu makan dan personal hygiene teratur, tidur, bermain dan
sekolah
2) Monitor status nutrisi anak dengan pengukuran antropometri
3) Dukung dan berikan semangat kepada orang tua
4) Dukung ibu-ibu menyusui dengan dukungan adekuat, cairan dan emosional
5) Minta bantuan dari ahli kesehatan anak yang mungkin ada di lokasi evakuasi
sebagai voluntir untuk mencegah, mengidentifikasi, mengurangi resiko
kejadian depresi pada anak pasca bencana.
6) Identifikasi anak yang kehilangan orang tua dan sediakan penjaga yang
terpercaya serta lingkunganyang aman untuk mereka

E. Populasi Rentan Orang Dengan Penyakit Kronis


Menurut Ida Farida (2013) dampak bencana pada penyakit kronis akan
memberi pegaruh besar pada kehidupan dan lingkungan bagi orang-orang dengan
penyakit kronik. Terutama dalam situasi yang terpaksa hidup di tempat pengungsian
dalam waktu yang lama atau terpaksa memulai kehidupan yang jauh berbeda dengan
pra-bencana, sangat sulit mengatur dan memanajemen penyakit seperti sebelum
bencana. Walaupun sudah berhasil selamat dari bencana dan tidak terluka sekalipun
manajemen penyakit kronis mengalami kesulitan, sehingga kemungkinan besar
penyakit tersebut kambuh dan menjadi lebih parah lagi ketika hidup di pengungsian
atau ketika memulai kehidupan sehari-hari lagi.
Berdasarkan perubahan struktur penyakit itu sendiri, timbulnya penyakit
kronis disebabkan oleh perubahan gaya hidup sehari-hari. Bagi orang-orang yang
memiliki resiko penyakit kronis, perubahan kehidupan yang disebabkan oleh
bencana akan menjadi pemicu meningkatnya penyakit kronis seperti diabetes
mellitus dan gangguan pernapasan.
a. Menurut Ida Farida (2013) keperawatan pada fase pra bencana bagi korban
dengan penyakit kronik
1) Mempersiapkan catatan self-care mereka sendiri, terutama nama pasien,
alamat ketika darurat, rumah sakit, dan dokter yang merawat.
2) Membantu pasien membiasakan diit untuk mencatat mengenai isi dari obat
yang diminum, pengobatan diet, dan data olahraga
3) Memberikan pendidikan bagi pasien dan keluarganya mengenai
penanganan bencana sejak masa normal
b. Menurut Ida Farida (2013) keperawatan pada penyakit kronis saat bencana
adalah
1) Pada fase akut bencana ini, bisa dikatakan bahwa suatu hal yang paling
penting adalah berkeliling antara orang-orang untuk menemukan masalah
kesehatan mereka dengan cepat dan mencegah penyakit mereka memburuk.
2) Perawat harus mengetahui latar belakang dan riwayat pengobatan dari
orang-orang yang berada di tempat dengan mendengarkan secara seksama
dan memahami penyakit mereka yang sedang dalam proses pengobatan,
sebagai contoh diabetes dan gangguan pernapasan.
3) Pada fase akut yang dimulai sejak sesaat terjadinya bencana, diperkirakan
munculnya gejala khas, seperti gejala gangguan jantung, ginjal, dan
psikologis yang memburuk karena kurang kontrol kandungan gula di darah
bagi pasien diabetes, pasien penyakit gangguan pernapasan yang tidak bisa
membawa keluar peralatan tabung oksigen dari rumah.
4) Penting juga perawat memberikan dukungan kepada pasien untuk
memastikan apakah mereka diperiksa dokter dan minum obat dengan
teratur. Karena banyak obat-obatan komersial akan didistribusikan ke
tempat pengungsian, maka muncullah resiko bagi pasien penyakit kronis
yang mengkonsumsi beberapa obat tersebut tanpa memperhatikan
kecocokan kombinasi antara obat tersebut dan obat yang diberikan di rumah
sakit.
c. Pasca bencana
1) Sedapat mungkin, sediakan fasilitas yang dapat mengembalikan
kemandirian individu dengan keterbatasan fisik di lokasi evakuasi
sementara. Contohnya: kursi roda, tongkat, dll
2) Libatkan agensi-agensi yang berfokus pada perlindungan individu- individu
dengan keterbatasan fisik dan penyakit kronis
3) Rawat korban dengan penyakit kronis sesuai dengan kebutuhannya
d. Keperawatan bagi pasien diabetes:
1) Mengkonfirmasi apakan pasien yang bersangkutan harus minum obat untuk
menurunkan kandungan gula darah (contoh: insulin, dll) atau tidak, dan
identifikasi obat apa yang dimiliki pasien tersebut.
2) Mengkonfirmasi apakah pasein memiliki penyakit luka fisik atau infeksi,
dan jika ada, perlu pengamatan dan perawatan pada gejala infeksi (untuk
mencegah komplikasi kedua dari penyakit diabetes)
3) Memahami situasi manajemen diri (self-management) melalui kartu
penyakit diabetes (catatan pribadi)
4) Memberikan instruksi tertentu mengenai konsumsi obat, makanan yang
tepat, dan memberikan pedoman mengenai manajemen makanan
5) Mengatur olahraga dan relaksasi yang tepat
e. Keperawatan bagi pasien gangguan pernapasan kronis:
1) Konfirmasikan volume oksigen yang tepat dan mendukung untuk
pemakaian tabung oksigen untuk berjalan yang dimilikinya dengan aman
2) Menghindari narcosis CO2 dengan menaikkan konsentrasi oksigen karena
takut peningkatan dyspnea
3) Mengatur pemasokan tabung oksigen (ventilator) dan transportasi jika
pasien tersebut tidak bisa membawa sendiri
4) Membantu untuk manajemen obat dan olahraga yang tepat
5) Mencocokkan lingkungan yang tepat (contoh: suhu udara panas/dingin, dan
debu)

F. Populasi Rentan Disabilitas


Penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik
dan/atau mental yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan
baginya untuk melakukan kegiatan secara selayaknya, yang terdiri dari:
penyandang disabilitas fisik, penyandang disabilitas mental serta
penyandang disabilitas fisik dan mental (Peraturan Daerah Provinsi Lampung Nomor
10 Tahun 2013 tentang Pelayanan dan Pemenuhan Hak- Hak Penyandang
Disabilitas).
Penyandang disabilitas rentan dalam situasi bencana akibat adanya hambatan
dan kebutuhan yang dialaminya, seperti dari aspek fisik, intelektual, mental, dan
sensorik. Beragamnya hambatan yang dimiliki menyebabkan penyandang disabilitas
sering mengalami kesulitan untuk mengakses dan menggunakan sumber daya yang
pada umunya tersedia dalam penanggulangan bencana (Wulandari, 2017).
Menurut Ida Farida (2013) keperawatan bencana pada penyandang cacat yakni:
1) Bantuan evakuasi
Saat terjadi bencana, penyandang cacat membutuhkan waktu yang lama untuk
mengevakuasi diri sehingga supaya tidak terlambat dalam mengambil keputusan
untuk melakukan evakuasi, maka informasi persiapan evakuasi dan lain-lain
perlu diberitahukan kepada penyandang cacat dan penolong evakuasi
2) Informasi
Dalam penyampaian informasi digunakan bermacam-macam alat disesuaikan
dengan ciri-ciri penyandang cacat , misalnya internet (email, sms, dll) dan siaran
televisi untuk tuna rungu; handphone yang dapat membaca pesan masuk untuk
tuna netra; HP yag dilengkapi dengan alat handsfree untuk tuna daksa dan
sebagainya.
Pertolongan pada penyandang cacat
1) Tuna daksa
Adalah kebanyakan orang yang jalannya tidak stabil dan mudah jatuh, serta
orang yang memiliki keterbatasan dalam perpindahan atau pemakai kursi roda
yang jalannya tidak rata dan menaiki tangga. Ada yang menganggap kursi roda
seperti satu bagian dari tubuh sehingga cara mendorongnya harus mengecek
keinginan si pemakai kursi roda dan keluarga
2) Tuna netra
Dengan mengingat bahwa tuna netra mudah merasa takut karena menyadari
suasana aneh di sekitarnya, maka perlu diberitahukan tentang kondisi sekitar
rumah dan tempat aman untuk lari dan bantuan untuk pindah di tempat yang
tidak familiar. Pada waktu menolong mereka untuk pindah, peganglah siku dan
pundak, atau genggamlah secara lembut pergelangannya karena berkaitan
dengan tinggi badan mereka serta berjalanlah setengah langkah di depannya.
3) Tuna rungu
Beritahukan dengan senter ketika berkunjung ke rumahnya karena tidak dapat
menerima informasi suara. Sebagai metode komunikasi, ada bahasa tulis, bahasa
isyarat, bahasa membaca gerakan mulut lawan bicara, dll tetapi belum tentu
semuanya dapat menggunakan bahasa isyarat
4) Gangguan intelektual
Atau perkembangannya sulit dipahami oleh orang pada umunya karena kurang
mampu untuk bertanya dan mengungkapkan pendapatnya sendiri dan seringkali
mudah menjadi panik. Pada saat mereka mengulangi ucapan dan pertanyaan
yang sama dengan lawan bicara, hal itu menandakan bahwa mereka belum
mengerti sehingga gunakan kata-kata sederhana yang mudah dimengerti (Farida,
Ida. 2013).
Menurut Ida Farida (2013) keperawatan bencana pada penyandang cacat:
1) Kebutuhan rumah tangga
Air minum, susu bayi, sanitasi, air bersih, dan sabun untuk MCK (mandi, cuci,
kakus), alat-alat untuk memasak, pakaian, selimut, dan tempat tidur, pemukiman
sementara dan kebutuhan budaya dan adat
2) Kebutuhan kesehatan
Kebutuhan kesehatan umum, seperti; perlengkapan medis (obat-obatan, perban,
dll), tenaga medis, pos kesehatan dan perawatan kejiwaan
3) Tempat ibadah sementara
4) Keamanan wilayah
5) Kebutuhan air
6) Kebutuhan sarana dan prasarana
Kebutuhan saranan dan prasarana yang mendesak seperti air bersih, MCK untuk
umum, jalan ke lokasi bencana, alat komunikasi dalam masyarakat dan pihak
luar, penerangan/listrik, sekolah sementara, alat angkut/transport, gudang
penyimpanan persediaan, tempat pemukiman sementara, pos kesehatan alat dan
bahan-bahan.

G. Populasi Rentan Sakit Mental


Sakit Mental atau Gangguan jiwa menurut Depkes RI (2010) adalah suatu
perubahan pada fungsi jiwa yang menyebabkan adanya gangguan pada fungsi jiwa
yang menimbulkan penderitaan pada individu dan hambatan dalam melaksanakan
peran sosial.
Sedangkan menurut (Maramis, 2010), gangguan jiwa adalah gangguan alam:
cara berpikir (cognitive), kemauan (volition), emosi (affective), tindakan
(psychomotor). Dimana para pengidap gangguan jwa merupakan penyandang
disabilitas atau cacat mental.
Seperti halnya manusia pada umumnya, ketika terjadi suatu bencana akan timbul
beberapa kejadian atau situasi baik psikologis maupun mental yang dialami oleh
korban, termasuk juga penyandang cacat mental seperti kepanikan yang luar biasa.
Tindakan yang sesuai untuk kelompok beresiko pada populasi sakit mental adalah :
1) Melakukan evakuasi bagi populasi sakit mental untuk menjauh dari lokasi
bencana
2) Mengevakuasi penyandang gangguan mental yang ditinggal oleh keluarganya
saat terjadi bencana
3) Menampung di pengungsian
4) Membawa korban ke rumah sakit
5) Melakukan pendataan dan penilaian
6) Memberikan konseling
7) Memberikan terapi
BAB 3
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kelompok rentan adalah semua orang yang menghadapi hambatan atau keterbatasan
dalam menikmati standar kehidupan yang layak bagi kemanusiaan dan berlaku umum
bagi suatu masyarakat yang berperadaban. Jadi, kelompok rentan dapat didefinisikan
sebagai kelompok yang harus mendapatkan perlindungan dari pemerintah karena kondisi
sosial yang sedang mereka hadapi. Kelompok masyarakat yang rentan adalah lansia,
wanita hamil, anak-anak, orang dengan penyakit kronis, disabilitas, dan sakit mental.
Untuk mengurangi dampak bencana pada individu dari kelompok-kelompok rentan
diatas, petugas-petugas yang terlibat dalam perencanaan dan penanganan bencana perlu
mempersiapkan peralatan-peralatan kesehatan sesuai dengan kebutuhan kelompok-
kelompok rentan tersebut. Contohnya; ventilitator untuk anak, alat bantu untuk individu
yang cacat, alat-alat bantuan persalinan, dll, melakukan pemetaan kelompok-kelompok
rentan, merencanakan intervensi-intervensi untuk mengatasi hambatan informasi dan
komunikasi, menyediakan transportasi dan rumah penampungan yang dapat diakses,
menyediakan pusat bencana yang dapat diakses.

B. Saran
Dalam penulisan makalah ini, penulis menyarankan kepada para pembaca agar
memahami secara mendalam materi yang telah dipaparkan dalam makalah ini, karena
dalam kehidupan sehari-hari hal tersebut sangat bermanfaat untuk meningkatkan taraf
hidup kelompok rentan.
DAFTAR PUSTAKA

Veenema, T.G. 2007. Disaster Nursing and Emergency Preparedness for Chemical, Biological,
and Radiological Terorism and Other Hazards (2nd ed.). New York, NY: Springer
Publishing Company, LLC.

Iskandar Husein, Perlindungan Terhadap Kelompok Rentan (Wanita, Anak, Minoritas, Suku
Terasing, dll) Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia, Makalah Disajikan dalam
Seminar Pembangunan Hukum Nasional ke VIII Tahun 2003, Denpasar, Bali, 14 - 18
Juli 2003
Farida, Ida. 2013. Manajemen Penanggulangan Bencana Kegiatan Belajar II: Keperawatan
Bencana pada Anak. Jakarta: Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya
Manusia, Pusat Pendidikan dan Pelatihan Tenaga Kesehatan.
Farida, Ida. 2013. Manajemen Penanggulangan Bencana Kegiatan Belajar V: Keperawatan
Bencana pada Penyandang Cacat. Jakarta: Badan Pengembangan dan Pemberdayaan
Sumber Daya Manusia, Pusat Pendidikan dan Pelatihan Tenaga Kesehatan.

Anda mungkin juga menyukai