Anda di halaman 1dari 28

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Usia Lanjut

2.1.1 Definisi usia lanjut

Sebagian besar negara-negara maju telah menerima usia kronologis 65 tahun sebagai

definisi dari lanjut usia. Tetapi hingga saat ini, belum ada standar kriteria numerik yang

disepakati oleh PBB mengenai definisi usia lanjut (WHO, 2015).

Penduduk usia lanjut (lansia) didefinisikan oleh Undang-Undang No 13 Tahun 1998

sebagai penduduk yang berusia 60 tahun ke atas. Lanjut usia bukan suatu penyakit, namun

merupakan tahap lanjut dari suatu proses kehidupan yang ditandai dengan penurunan

kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan stress lingkungan. Lansia adalah keadaan yang

ditandai oleh kegagalan seseorang untuk mempertahankan keseimbangan terhadap kondisi

stress fisiologis. Kegagalan ini berkaitan dengan penurunan daya kemampuan untuk hidup

serta peningkatan kepekaan secara individual (Efendy dan Makhfudli, 2009).

Pertumbuhan penduduk lansia diprediksi akan mengalami peningkatan yang pesat,

terutama di negara-negara berkembang. Indonesia sebagai salah satu negara berkembang juga

akan mengalami ledakan jumlah penduduk lansia. Indonesia termasuk negara berstruktur tua,

dimana persentase penduduk lansia tahun 2008, 2009, dan 2012 cukup besar, yaitu telah

mencapai di atas 7% dari keseluruhan penduduk. Persentase ini bahkan diperkirakan oleh

PBB akan terus mengalami peningkatan tiap tahunnya dan akan mencapai angka 28,68% di

tahun 2050 (Kemenkes, 2013).

2.1.2 Batasan usia lanjut

Menurut pendapat berbagai ahli dalam Efendy dan Makhfudli (2009) batasan-batasan

yang mencakup batasan umur lansia adalah sebagai berikut: menurut Undang-Undang Nomor
13 Tahun 1998 dalam Bab 1 Pasal 1 ayat 2 yang berbunyi lanjut usia adalah seseorang yang

mencapai usia 60 (enam puluh) tahun ke atas. Menurut Dra. Jos Masdani (Psikolog UI)

terdapat empat fase yaitu: pertama, fase investus, ialah lansia berusia 25-40 tahun; kedua,

fase virilities, 40-55 tahun; ketiga, fase presenium, ialah 55-65 tahun; keempat, fase senium,

ialah 65 hingga tutup usia. Menurut Prof. Dr. Koesoemato Setyonegoro, masa lanjut usia

(geriatric age) adalah usia lebih dari 65 tahun atau 70 tahun. Masa lanjut usia (geriatric age)

itu sendiri dibagi menjadi tiga batasan umur, yaitu: young old (70-75 tahun), old (75-80

tahun), dan very old (> 80 tahun).

Sedangkan WHO (2015) membagi usia lanjut menjadi empat kriteria berikut: usia

pertengahan (middle age) ialah kelompok usia 45-59 tahun, lanjut usia (elderly) ialah 60-74

tahun, lanjut usia tua (old) ialah 75-90 tahun, usia sangat tua (very old) ialah diatas 90 tahun.

Selain itu, Perserikatan Bangsa-Bangsa menyepakati bahwa batasan usia lanjut adalah 60

tahun ke atas (WHO, 2015).

Maka dapat disimpulkan bahwa lanjut usia adalah mereka, baik pria maupun wanita,

yang berusia lebih dari 60 tahun, dikategorikan menjadi: lanjut usia (elderly) ialah 60-74

tahun, lanjut usia tua (old) ialah 75-90 tahun, usia sangat tua (very old) ialah diatas 90 tahun.

2.2 Proses Menua

Menua atau menjadi tua adalah suatu keadaan yang terjadi di dalam kehidupan

manusia. Menjadi tua merupakan proses alamiah, yang berarti seseorang telah melalui tiga

tahap kehidupannya yaitu anak, dewasa, dan tua. Tiga tahap ini berbeda, baik secara biologis

maupun psikologis (Nugroho, 2008). WHO dan Undang-Undang No 13 Tahun 1998 tentang

kesejahteraan lanjut usia pada Bab 1 Pasal 1 Ayat 2 menyebutkan bahwa umur 60 tahun

adalah usia permulaan tua, baik pria maupun wanita.

Menurut Nugroho (2008), salah satu teori yang menjadi landasan tentang proses

menua pada lansia adalah Teori Sosiologis yang terdiri dari teori interaksi sosial, teori
aktivitas/kegiatan, teori kepribadian berlanjut, serta teori pembebasan/penarikan diri. Teori

interaksi sosial menjelaskan mengapa lansia bertindak pada suatu situasi tertentu, yaitu atas

dasar hal-hal yang dihargai masyarakat. Pokok-pokok social exchange theory antara lain:

masyarakat terdiri atas aktor sosial yang berupaya mencapai tujuannya masing-masing.

Dalam upaya tersebut, terjadi interaksi sosial yang memerlukan biaya dan waktu dan untuk

mencapai tujuan yang hendak dicapai, seorang aktor mengeluarkan biaya.

Teori aktivitas/kegiatan menyatakan bahwa lanjut usia yang sukses adalah mereka

yang aktif dan banyak ikut serta dalam kegiatan sosial. Dalam hal ini lansia akan merasakan

kepuasan bila dapat melakukan aktivitas dan mempertahankan aktivitas tersebut selama

mungkin.

Teori kepribadian berlanjut (continuity theory) merupakan gabungan teori yang

disebutkan sebelumnya. Teori ini mengemukakan adanya kesinambungan dalam siklus

kehidupan lanjut usia, sehingga perubahan yang terjadi pada seorang lanjut usia sangat

dipengaruhi oleh tipe personalitas yang dimilikinya. Dengan demikian, pengalaman hidup

seseorang pada suatu saat, gaya hidup, perilaku, dan harapan seeorang merupakan

gambarannya kelak pada saat ia lanjut usia.

Teori pembebasan/penarikan diri (disengagement theory) merupakan teori yang

pertama diajukan oleh Cumming dan Henry. Teori ini menyatakan bahwa dengan bertambah

lanjutnya usia, apalagi ditambah dengan adanya kemiskinan, lanjut usia secara berangsur-

angsur mulai melepaskan diri dari kehidupan sosialnya atau menarik diri dari pergaulan

sekitarnya. Kedaan ini mengakibatkan interaksi sosial lanjut usia menurun, baik secara

kualitas maupun kuantitas sehingga sering lanjut usia mengalami kehilangan ganda (triple

loss), yaitu : kehilangan peran (loss of role), hambatan kontak sosial (restriction of contact

and relationship), dan berkurangnya komitmen (reduced commitment to social mores and

values).
Pokok-pokok disengagement theory yaitu: pada pria, kehilangan peran hidup utama

terjadi pada masa pensiun. Sedangkan pada wanita, terjadi pada masa peran dala keluarga

berkurang, misalnya saat anak menginjak dewasa dan meninggalkan rumah untuk belajar dan

menikah. Lanjut usia dan masyarakat menarik manfaat dari hal ini karena lanjut usia dapat

merasakan tekanan sosial berkurang, sedangkan kaum muda memperoleh kesempatan kerja

yang lebih baik. Ada tiga aspek utama dalam teori ini yang perlu diperhatikan yaitu proses

menarik diri terjadi sepanjang hidup, proses tersebut tidak dapat dhindari., dan hal ini

diterima lanjut usia dan masyarakat.

Banyak faktor yang memengaruhi proses menua (menjadi tua), antara lain

herediter/genetik, nutrisi/makanan, status kesehatan, pengalaman hidup, lingkungan, dan

stress (Nugroho, 2008). Jadi, proses menua/menjadi lanjut usia bukanlah suatu penyakit,

tetapi merupakan proses yang berangsur-angsur mengakibatkan perubahan yang kumulatif,

merupakan proses menurunnya daya tahan tubuh dalam mengahadapi rangsangan dari dalam

dan luar tubuh yang berakhir dengan kematian (WHO, 2015; Kemenkes, 2013).

2.3 Perubahan yang terjadi pada lansia

2.3.1 Perubahan fisik

Seluruh sistem biologis pada lansia mengalami penurunan fungsi, meliputi perubahan

pada sistem persarafan, sistem penglihatan, sistem pendengaran, sistem kardiovaskuler,

sistem respirasi, sistem pengaturan temperatur tubuh, sistem gastrointestinal, sistem

genitourinaria, sistem endokrin dan sistem musculoskeletal. Selain itu, fungsi tubuh pun

mengalami perubahan, seperti berkurangnya waktu tidur dan kekuatan otot (Besdine, 2013).

2.3.2 Perubahan mental

Perubahan mental ini dipengaruhi oleh faktor perubahan fisik, khususnya organ

perasa, kesehatan umum, tingkat pendidikan, keturunan dan lingkungan. Perubahan mental
ini meliputi perubahan pada memori dan kecerdasan intelektual (Nugroho, 2008). Pada

memori, kenangan jangka panjang (berjam-jam sampai berhari-hari yang lalu mencakup

beberapa perubahan), kenangan jangka pendek (0-10 menit, kenangan buruk). Sedangkan

pada kecerdasan intelektual, terjadi hal-hal seperti berkurangnya penampilan, persepsi dan

keterampilan psikomotor, serta IQ tidak berubah dengan informasi matematika dan perkataan

verbal.

2.3.3 Perubahan psikososial

Fritch (2015) mengungkapkan beberapa dampak psikologi dan sosial terhadap

penuaan, di antaranya adanya perubahan seluruh kehidupan, ketakutan akan masa depan,

memori dan pembelajaran, kehilangan rasa percaya diri, kesedihan dan kehilangan, serta

diskriminasi.

Menurut Nugroho (2008) ada beberapa masalah psikososial yang dapat terjadi pada

lansia yaitu adanya pensiun yang menyebabkan lansia kehilangan finansial status, teman, dan

kegiatan. Selain itu, lansia cenderung merasakan atau sadar akan kematian. Adanya penyakit

kronis yang dialami lansia dan ketidakmampuan lansia dalam melakukan kegiatan pun

termasuk dalam perubahan psikososial. Perubahan dalam cara hidup, termasuk perubahan

dalam konsep diri juga dialami oleh lansia. Masalah atau perubahan psikososial yang sering

dialami lansia pun adanya perasaan kesepian pada masa tuanya, seperti yang dinyatakan oleh

penelitian Abramson dan Silverstein (2006) pada lanjut usia berusia 65 tahun ke atas yang

menunjukkan 33% diantaranya merasakan kesepian sebagai masalah yang serius bagi

mereka.

Sehingga, dapat disimpulkan bahwa perubahan psikososial yang terjadi seiring

betambahnya usia, adalah adanya perubahan persepsi seseorang terhadap individu lain akibat

kemunduran-kemunduran yang mereka alami. Hal ini dapat menyebabkan seorang lansia
membatasi kegiatan sosialnya dengan orang lain sehingga mereka merasa kesepian (Fritch,

2015).

2.3.4 Perubahan sosial

Lansia mengalami perubahan dalam peranan mereka. Ada beberapa peranan tertentu

yang mungkin masih bisa dilanjutkan atau berkembang. Perubahan peran dapat menimbulkan

masalah apabila peranan tidak seimbang. Menurut Golden et al (2009), pengunduran diri

(retirement) atau kehilangan fungsi utama di rumah, terutama ketika hal tersebut tidak

direncanakan atau diinginkan, berhubungan dengan kelesuan, involusi (degenerasi progresif),

dan depresi.

Retirement berhubungan dengan pengurangan pendapatan personal sebesar sepertiga

sampai setengahnya. Perubahan peran akan berdampak langsung pada penghargaan diri.

Retirement juga akan menyebabkan perubahan gaya hidup pada pasangannya dan

menyebabkan beberapa adaptasi dalam hubungan mereka. Dalam Hoyer & Roodin (2003)

disebutkan bahwa sekitar 15% lansia mengalami kesulitan-kesulitan besar dalam

penyeseuaian diri terhadap retirement.

Hal-hal di atas menyebabkan lansia menjadi lebih rentan untuk mengalami masalah

kesehatan mental. Gangguan yang sering terjadi meliputi loneliness, depresi, kecemasan,

alkoholisme, dan gangguan dalam penyesuaian terhadap kehilangan atau disabilitas

fungsional (Hoyer & Roodin, 2003).

Selain itu, hubungan pribadi antara lansia dan keluarga merupakan unsur penting bagi

kehidupan lansia. Perubahan tersebut dipengaruhi oleh ikatan emosional antara anak dan

orang tua yang telah lanjut usia. Bila ikatan ini renggang maka akan menimbulkan masalah

bagi lansia (Hawkley & Cacioppo, 2008).


2.4 Permasalahan yang terjadi pada lansia

Terjadinya perubahan normal pada fisik lansia yang dipengaruhi oleh factor kejiwaan

sosial, ekonomi dan medik. Perubahan tersebut akan terlihat dalam jaringan dan organ tubuh

seperti kulit menjadi kering dan keriput, rambut beruban dan rontok, penglihatan menurun

sebagian atau menyeluruh, pendengaran berkurang, indar perasa menurun, daya penciuman

berkurang, tinggi badan menyusut karena proses osteoporosisyang berakibat badan menjadi

bungkuk, dinding pembuluh darah menebal sehingga tekanan darah tinggi, otot jantung

bekerja tidak efisien, adanya penurunan organ reproduksi terutama pada wanita, otak

menyusut dan reaksi menjadi lambat terutama pada pria, serta seksualitas tidak terlalu

menurun.

Menurut Martono (dalam Darmojo, 2009), beberapa masalah psikologis lansia antara

lain: kesepian (loneliness), yang dialami oleh lansia pada saat tidak mempunyai pasangan,

bisa karena ditinggalkan akibat kematian/bercerai, atau karena tidak menikah. Kondisi ini

terjadi terutama bila dirinya saat itu mengalami penurunan status kesehatan seperti menderita

penyakit fisik berat, gangguan mobilitas atau gangguan sensorik terutama gangguan

pendengaran, dapat juga terjadi pada lansia yang hidup di lingkungan yang beranggota

keluarga yang cukup banyak tetapi mengalami kesepian.

Lebih lanjut dibahas masalah lain yang dialami lansia adalah duka cita (bereavement),

pada periode duka cita ini merupakan periode yang sangat rawan bagi lansia. Meninggalnya

pasangan hidup, teman dekat, atau bahkan hewan kesayangan bisa meruntuhkan ketahanan

kejiwaan yang sudah rapuh dari seorang lansia, yang selanjutnya memicu terjadinya

gangguan fisik dan kesehatannya. Adanya perasaan kosong kemudian diikuti dengan rasa

kesepian, ingin menangis, dan kemudian suatu periode depresi. Depresi akibat duka cita

biasanya bersifat self limiting.


Masalah lain yang terjadi adalah depresi. Persoalan hidup yang mendera lansia seperti

kemiskinan, usia, stress yang berkepanjangan, penyakit fisik yang tidak kunjung sembuh,

perceraian atau kematian pasangan, keturunan yang tidak bias meawatnya dan sebagainya

dapat menyebabkan terjadinya depresi. Gejala depresi pada usia lanjut sedikit berbeda dengan

dewasa muda, dimana pada usia lanjut terdapat gejala somatic. Pada usia lanjut rentan untuk

terjadi episode depresi berat dengan ciri melankolik, harga diri rendah, penyalahan diri

sendiri, dan ide bunuh diri. Penyebab terjadinya depresi merupakan gabungan antara faktor-

faktor psikologik, sosial, dan biologik.

Gangguan cemas pada lansia, terbagi dalam beberapa golongan yaitu fobia, gangguan

panik, gangguan cemas umum, gangguan stress setelah trauma dan gangguan obstetif-

kompulsif. Pada lansia, gangguan cemas merupakan kelanjutan dari dewasa muda dan

biasanya berhubungan dengan sekunder akibat penyakit medis, depresi, efek samping obat

atau gejala penghentian mendadak suatu obat.

Psikosis pada lansia, dimana terbagi dalam bentuk psikosis. Biasa terjadi pada lansia,

baik sebagai kelanjutan dari dewasa muda, atau yang timbul pada lansia. Parafrenia,

merupakan suatu bentuk skizofrenia lanjut yang sering terdapat pada lansia yang ditandai

dengan waham curiga seperti misalnya lansia tersebut merasa tetangganya mencuri barang-

barangnya atau berniat membunuhnya. Parafrenia biasanya terjadi pada lansia yang terisolasi

atau diisolasi atau menarik diri dari kegiatan sosial.

Selain itu, terjadi juga sindroma diagnosa, merupakan suatu keadaan dimana lansia

menunjukkan penampilan perilaku yang sangat mengganggu. Rumah atau kamar yang kotor

serta berbau karena lansia ini sering bermain-main dengan urin dan fesesnya. Lansia sering

menumpuk barang-barangnya dengan tidak teratur.


2.5 Kajian Panti Werdha

2.5.1. Definisi dan Pengertian Panti Wherdha

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti panti adalah rumah atau tempat

kediaman. Dan arti dari panti werdha adalah rumah tempat memelihara dan merawat

orang jompo. Arti kata jomposendiri menurut Kamus Besat Bahasa Indonesia adalah

tua sekali dan sudah lemah fisiknya;tua renta; uzur. Pengertian panti werdha menurut

Departemen Sosial RI adalah suatu tempat untuk menampung lansiadan jompo

terlantar dengan memberikan pelayanan sehingga mereka merasa aman, tentram

sengan tiada perasaan gelisah maupun khawatir dalam menghadapi usia tua. Secara

umum panti werdha memiliki fungsi sebagai berikut:

1) Pusat pelayanan kesejahteraan lanjut usia (dalam memenuhi kebutuhan pokok

lansia).

2) Menyediakan suatu wadah berupa kompleks bangunan dan memberikan

kesempatan pula bagi lansia melakukan aktivitas aktivitas social rekreasi

3) Bertujuan membuat lansia dapat menjalani proses penuaannya dengan sehat dan

mandiri.

Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2008, yaitu Peraturan gubernur

daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 44 Tahun 2008, panti werdha memiliki fungsi

sebagai berikut:

1) Pusat pelayanan pendampingan dan perlindungan bagi lanjut usia.

2) Pusat informasi tentang kesejahteraan sosial lanjut

3) Pusat pengembangan ilmu pengetahuan tentang usia lanjut.


2.5.2. Sejarah Panti Werdha di Indonesia

Panti werdha di Indonesia pertama kali didirikan oleh pemerintah dengan nama

Sasana Trena Werdha yang berarti tempat untuk mencintai dan mengasihi orang tua.

Pendirian panti ini bertujuan untuk menangani masalah yang dihadapi para lansia

dalam kehidupan sehari-hari. Pemerintah menjalankan panti werdha tersebut sebagai

suatu sarana pelayanan esejahteraan social terhadap kaum lansia yang terlantar. Panti

ini membantu kaum lanjut usia untuk mempertahankan kepribadiannya, memberikan

jaminan kehidupan secara wajar, baik secara fisik maupun psikologis. Selain itu para

lansia juga mendapatkan jaminan untuk ikut menikmati hasil pembangunan tanpa

merasa tertekan, terhina, dan mendapatkan perhatian dari pemerintah dan masyarakat.

Dari pembangunan tersebut, panti werdaha di Indonesia tyerus bertambah jumlahnya

dan berkembang sesuai denmgan kebutuhan para lansia.

2.5.3 Tujuan Panti Werdha

Adapun diadakannya panti werdha bagi lansia yang terlantar antara lain :

1) memberikan tempat tinggalbagi para lansia terlantar

2) memenuhi kebutuhan fisik dan psikologis bagi para lansia terlantar

3) meningkatkan harga diri dan menyalurkan hobby yang mungkin tidak dapat mereka

lakukan sebelumnya.

4) Meningktkan hubungan sosialisasi antar sesame lansia

2.5.4 Standarisasi Panti Werdha

Sebelum dilakukan pembahasan tentang standar pelayanan panti, ada baiknya

kita uraian dulu tentang standarisasi panti yang telah dituangkan dalam Lampiran

Keputusan Menteri Sosial RI. Nomor : 50/HUK/2004 tentang Standardisasi Panti Sosial

dan Pedoman Akreditasi.Panti Sosial, sebagai landasan untuk menetapkan standar

pelayanan panti.
Standard panti sosial adalah ketentuan yang memuat kondisi dan kinerja tertentu

bagi penyelenggaraan sebuah panti sosial dan atau lembaga pelayanan sosial lainnya

yang sejenis. Adapun yang dimaksud dengan panti sosial adalah lembaga pelayanan

kesejahteraan sosial yang memiliki tugas dan fungsi untuk meningkatkan kualitas SDM

dan memberdayakan para penyandang masalah kesejahteraan sosial ke arah kehidupan

normatif secara fisik, mental, maupun sosial.

Ada dua macam standar panti sosial, yaitu standar umum dan standar khusus.

Standar umum adalah ketentuan yang memuat kondisi dan kinerja tertentu yang perlu

dibenahi bagi penyelenggaraan sebuah panti sosial jenis apapun. Sedangkan standar

khusus adalah ketentuan yang memuat hal-hal tertentu yang perlu dibenahi bagi

penyelenggaraan sebuah panti sosial dan/atau lembaga pelayanan sosial lainnya yang

sejenis sesuai dengan karakteristik panti sosial.

Standar umum panti sebagaimana dimaksud adalah :

1) Kelembagaan, meliputi :

Legalitas Organisasi. Mencakup bukti legalitas dari instansi yang berwenang dalam

rangka memperoleh perlindungan dan pembinaan profesionalnya.

Visi dan Misi. Memiliki landasan yang berpijak pada visi dan misi;

Organisasi dan Tata Kerja. Memiliki struktur organisasi dan tata kerja dalam rangka

penyelenggaraan kegiatan.

2) Sumber Daya Manusia, mencakup 2 aspek :

a. Aspek penyelenggara panti, terdiri 3 unsur :

Unsur Pimpinan, yaitu kepala panti dan kepala-kepala unit yang ada dibawahnya.
Unsur Operasional, meliputi pekerja sosial, instruktur, pembimbing rohani, dan

pejabat fungsional lainnya. Unsur Penunjang, meliputi pembina asrama, pengasuh,

juru masak, petugas kebersihan, satpam, dan sopir.

b. Pengembangan personil panti

Panti Sosial perlu memiliki program pengembangan SDM bagi personil panti.

3) Sarana Prasarana, mencakup :

Pelayanan Teknis. Mencakup peralatan asesmen, bimbingan sosial, ketrampilan

fisik dan mental. Perkantoran. Memiliki ruang kantor, ruang rapat, ruang tamu, kamar

mandi, WC, peralatan kantor seperti : alat komunikasi, alat transportasi dan tempat

penyimpanan dokumen.nUmum. Memiliki ruang makan, ruang tidur, mandi dan cuci,

kerapihan diri, belajar, kesehatan dan peralatannya (serta ruang perlengkapan).

4) Pembiayaan

Memiliki anggaran yang berasal dari sumber tetap maupun tidak tetap.

5) Pelayanan Sosial Dasar

Memiliki pelayanan sosial dasar untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari klien,

meliputi : makan, tempat tinggal, pakaian, pendidikan, dan kesehatan.

6) Monitoring dan Evaluasi, meliputi :

Monev Proses, yakni penilaian terhadap proses pelayanan yang diberikan

kepada klien. Monev Hasil, yakni monitoring dan evaluasi terhadap klien, untuk

melihat tingkat pencapaian dan keberhasilan klien setelah memperoleh proses

pelayanan.

2.5.4 Prinsip-prinsip Perancangan Panti Werdha

Dalam artikel pynos dan Regnier (1991) tertulis tentang 12 macam prin sip yang

diterapkan pada lingkungan dalam fasilitas lansia untuk membantu dalam kegiatan-kegiatan
lansia. Keduabelas prinsip tersebut ikelompokan dalam aspek fisiologis dan psikologis, yaitu

sebagai berikut:

1) Aspek Fisiologis

a. Keselamatan dan keamanan, yaitu penyediaan lingkungan yang memastikan setiap

penggunanya tidak mengalami bahaya yang tidak diinginkan. Lansia memiliki

permaslahan fisik dan panca indera seperti gangguan penglihatan, kesulitan mengatur

keseimbangan, kekuatan kaki berkurang, dan radang persendian yang dapat

mengakibatkan lansia lebih mudah jatuh atau cedera. Penurunan kadar kalsium di

tulang, seiring dengan proses penuaan, juga dapat meningkatkan resiko lansia

mengalami patah tulang. Permasalahan fisik ini menyebabkan tingginya kejadian

kecelakaan pada lansia.

b) signage/orientation/wayfindings, keberadaan penunjuk arah di lingkungan dapat

mengurangi kebingungan dan memudahkan menemukan fasilitas yang tersedia. Perasaan

tersesat merupakan hal yang menakutkan dan membingungkan bagi lansia yang lebih

lanjut dapat mengurangi kepercayaan dan penghargaan diri lansia. Lansia yang

mengalami kehilangan memori (pikun) lebih mudah mengalami kehilangan arah pada

gedung dengan rancangan ruangan-ruangan yang serupa (homogen) dan tidak memiliki

petunjuk arah.

Adanya petunjuk arah pada area koridor dapat mempermudah lansia lupa akan jalan

pulang. Jika lansia sering tersesat maka mereka akan sering mengalami depresi dan akan

berpengaruh terhadap kesehatan mereka.

c. asesibilitas dan fungsi, tata letak dan aksesibilitas merupakan syarat mendasar untuk

lingkungan yang fungsional. Aksesibilitas adalah kendala untuk memperoleh dan

menggunakan sarana, prasarana dan fasilitas bagi lanjut usia untuk memperlancar

mobilitas lanjut usia. Adanya handrail pada koridor dan area yang lain dapat membantu
lansia dalam berjalan dan beraktivitas layaknya mereka dapat melakukan segala hal tanpa

bantuan. Sedangkan ramp dapat mempermudah aksesibilitas bagi para lansia yang

menggunakan kursi roda.

d. Adaptabilitas yaitu kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan, ingkungan

harus dirancang sesuai dengan pemakainya, termasuk yang menggunakan kursi roda

maupun tongkat penyangga. Kamar mandi dan dapur merupakan ruangan dimana

aktivitas banyak dilakukan dan keamanan harus menjadi pertimbangan utama.

2) Aspek Psikologis

a. Privasi yaitu kese,patan bagi lansia untuk mendapatkan ruang/tempat mengasingkan

diri dari orang lain atau pengamatan orang lain sehingga bebas dari gangguan yang

tak dikenal. Auditory pripacy merupakan poin penting yang harus diperhatika.

b. Interaksi sosial yaitu kesempatan untuk melakukan interaksi dan bertukar pikiran

dengan lingkungan sekitar (soaial). Salah satu alas an penting untuk melakukan

pengelompokan berdasarkan unsur lansia di panti werdha adalah untuk mendorong

adanya pertukaran informasi, aktivitas rekreasi, berdiskusi dan meningkatkan

pertemanan. Interaksi social mengurangi terjadinya depresi pada lansia dengan

memberikan lansia kesempatan untuk berbagi masalah, pengalaman hidup dan

kehidupan sehari-hari mereka.

c. Kemandirian yaitu esempatan yang diberikan untuk melakukan aktivitasnya sendiri

tanpa atau sedikit bantuan dari tenaga kerja panti werdha, emandirian dapat

menimbulkan kepuasan tersendiri pada lansia karena lansia dapat melakukan

aktivitas-aktivitas yang dilakukannya sehari-hari tanpa bergantung dengan orang lain

d. Dorongan/tantangan yaitu memberi lingkungan yang mendorong lansia untuk

beraktivitas didapat dari warna, keanekaragaman ruang, pola-pola visual dan kontras.
e. Aspek panca indera. Kemudian fisik dalam hal penglihatan, pendengaran, penciuman

yang harus diperhitungkan di dalam lingkungan. Indera pencuman, peraba,

penglihatan, pendengaran bertambah tuanya seseorang. Rangsangan indera

menyangkut aroma dari dapur atau taman, warna dan penataan dan tekstur dari

beberapa bahan. Rancangan dengan memperlihatkan stimuls pancaindera dapat

digunakan untuk membuat rancangan yang lebih merangsang atau menarik.

f. Ketidak-asingan/keakraban, lingkungan yang aman dan nyaman secara tidak langsung

dapat memberikan perasaan akrab pada lansia terhadap lingkungannya. Tinggal dalam

lingkungan rumah yang baru adalah pengalaman yang membingungkan untuk sebagian

lansia. Menciptakan keakraban dengan para lansia melalui lingkungan baru dapat

mengurangi kebingungan karena perubahan yang ada.

g. Estetik/penampilan yaitu suatu rancangan lingungan yang tampak menarik.

Keseluruhan dari pengalaman lingkungan mengirimkan suatu pesan simbolik atau

persepsi tertentu pada pengunjung, teman dan keluarga tentang kehidupan dan kondisi

lansia sehari-hari.

h. Personalisasi yaitu menciptakan kesempatan untuk lingkungan yang pribadi dan

menandai sebagai miliki seorang individu.

2.2.5 Standar pelayanan panti

Standar khusus panti seperti yang tertuang pada keputusan Menteri Sosial RI.

Nomor : 50/HUK/2004 tersebut, merupakan bentuk-bentuk pelayanan yang akan

diberikan oleh panti. Untuk itu perlu ditetapkan Standar Pelayanan Minimal (SPM)

untuk masing-masing bentuk pelayanan tersebut.

Standar Pelayanan Minimal (SPM) standar kualitas/mutu untuk menjembatanii

terwujudnya pelayanan sosial yng diberikan yang layak secara keilmuan bagi kelayan.

Kata minimal merujuk pada kewajiban tanggung jawab serta tindakan-tindakan posisif
yang setidaktidaknya harus dilampai/dijalankan, bukan diterjemahkan sebagai

kelonggaran negatif yang membolehkan pelayanan dengan apa adanya atau sekedarnya.

SPM sebagai dasar menuju pada Pelayanan Prima kemudian pada Pelayanan

Berkualitas.

Standar Pelayanan Panti, disusun dan ditetapkan oleh para stakeholder panti yang

bersangkutan secara bersama-sama dan menjadi pedoman operasinal pelayanan panti.

Stantar pelayanan tersebut sekurang-kurang membuat hal-hal sebagaimana yang ada

pada Standar Khusus Panti Sosial, berupa kegiatan pelayanan yang terdiri dari tahapan

sebagai berikut (disesuaikan jenis pelayanan sosial masing-masing panti ) :

1) Tahap Pendekatan Awal.

Tahap pendekatan yang merupakan tahap persispan ini meliputi : Sosialisasi

program, Penjaringan/penjangkauan calon klien, Seleksi calon klien, Penerimaan dan

registrasi, dan Konferensi kasus (case conference ). Untuk ini dilakukan beberapa

kegiatan sebagai berikut :

a. Penjemputan (untuk yang perlu dilakukan penjelmputan) atau penerimaan (bagi

kelayan yang datang sendiri) oleh Peksos sebagai upaya menciptakan kontak

awal/pendahuluan denga kelayan (pengenalan untuk pendekatan diri dua pihak)

b. Pemeriksaan dokumen kelayan oleh petugas Peksos/panti.

c. Menetapkan persyaratan kelayan yang akan memperoleh pelayanan panti

d. Seleksi/pemeriksaan awal calon kelayan (kesehatan, motivasi, kesesuaian masalah

dengan pelayanan panti, dll). Dan biayanya ditetapkan menjadi tanggung jawab

siapa ?

e. Penetapan kelayan terpilih dari seleksi kelayan yang dilakukan;


2) Tahap Pengungkapan dan Pemahaman Masalah (Assesment),

Assesment yang termasuk tahap persiapan, dilakukan untuk mendapatkan data dan

informasi mengenai latar belakang permasalahan kelayan, juga yang terkait dengan

bakat, minat, potensi-potensi diri yang dimilikinya, kemampuan, harapan dan cita-

cita kedepannya yang dapat digunakan untuk mendukung upaya pemecahan masalah

serta upaya-upaya untuk mengembangkan kemampuan kelayan.

Kegiatan Assesment tersebut meliputi :

a. Analisa kondisi kelayan, keluarga kelayan, dan lingkungan sosial/ masyarakat

kelayan.

b. Karakteristik masalah, sebab dan implikasi masalah yang dihadapi kelayan

c. Kapasitas mengatasi masalah dan sumber daya

d. Konferensi kasus

Misalnya, kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan seperti : Mendalami seberapa

jauh/luas permasalahan yang dihadapi kelayan; Mengidentifikasi seluruh potensi

kelayan, baik kelemahan maupun kemampuan yang dimiliki dan lingkungannya.

Merencanakan penentuan program pelayanan sesuai hasil indentifikasi permasalahan

yang dihadapi kelayan. Assesment dilakukan dengan wawancara dan observasi terhadap

kelayanan, keluarga kelayan, dan lingkungan kelayan. Hasil yang diharapkan adalah

untuk mendapatkan data dan informasi yang terkait dengan bakat, minat, potensi-

potensi diri yang dimilikinya, kemampuan, harapan dan cita-cita kedepannya.

Tahapan assesment dianggap cukup kalau, apabila : telah dapat ditetapkan

klasifikasi permasalahan yang dihadapi kelayan ; telah dapat dirumuskan rencana

pelayanan dan rehabilitasi dengan dukungan data yang jelas ; dan tersedia bukti fisik

adminsitrasi dari semua kegiatan assesment yang telah dilakukan.


3. Tahap Perencanaan Pelayanan.

Pada tahap perencanaan pelayanan terhadap kelayan dari panti yang bersangkutan

adalah yang meliputi : Penetapan tujuan pelayanan dari panti ; Penetapan jenis

pelayanan panti ; dan Sumber daya yang akan digunakan. ( sesuai dengan masing-

masing jenis pelayanan sosial yang dilakukan oleh panti ).

4. Tahap Pelaksanaan Pelayanan di Panti.

Tahap ini merupakan kegiatan lanjutan dari ditetapkannya kelayan untuk menerima

pelayanan di panti, yang pelaksanaannya dititik beratkan pada profesi pekerjaan

sosial dan didukung oleh pelatih atau instruktur dari profesi lain untuk menunjang

proses rehabilitasi kelayan.

Tahap pelaksanaan pelayanan kelayan di dalam panti , dibagi dalam dua bagian,

yaitu Pelayanan Sosial dan Pelayanan Rehabilitasi.

a. Pelayanan Sosial, yang diberikan di dalam panti dimaksudkan agar kebutuhan

fisiologis kelayan tercukupi, sehingga dapat mengikuti semua program pemulihan

yang telah ditetapkan oleh panti. Pelayanan sosial yang diberikan meliputi :

(1) Pelayanan Pangan, SPM yang terkait dengan pelayanan pangan ini adalah makan

diberikan 3 kali dalam satu hari, panti menetapkan daftar menu dan mengenatuhi

ahli gizi / atau dokter untuk jangka waktu setiap 1 minggu atau 10 hari yang akan

dijadikan acuan bagi petugas masak; Menu disusun dengan memperhatikan

aspek, gizi, kesehatan dan kebersihan. Misalnya dibuat Tabel Kebutuhan Sehat

Untuk Menu makanan Kelayan setiap hari per kelayan/orang : Waktu Jenis menu

Ukuran Kadar kalori(terdiri Pagi, Siang, Sore ) Nasi Lauk, Sayur, minum/Susu,

dll ) gram kaloriJumlah kalori


(2) Pelayanan Papan, SPM yang terkait dengan pelayanan tempat tinggal kelayan

yang ada dipanti berupa apa (asrama, dll), untuk setiap kamar berapa orang,

fasilitas kamar meliputi apa saja (lemari, meja kursi, tempat tidur lengkap dengan

kasur,bantal, selimut, sprei, sarung bantal, ventilasi udara cukup, lampu

penerangan dll.)

(3) Pelayanan Kesehatan, SPM yang terkait pelayanan kesehatan meliputi pelayanan

kesehatan yang diberikan kepada kelayan selama di panti baik untuk pemeriksaan

rutin (berapa kali dalam satu bulan) maupun perawatan bila kelayan sakit ringan

atau sakit berat )

(4) Pelayanan Kebutuhan Hidup Sehat, SPM yang terkait pelayanan ini berupa

standar hygiene yang diberikan panti berupa kebutuhan hidup sehat di panti yang

meliptui : persediaan air bersih (untuk mandi, dan minum) ; tersedianya MCK

yang terjaga kebersihannya ; tersedianya sarana kesehatan (P3K); Saluran

pembuangan yang baik, sirkulasi udara yang sehat, kegiatan olah raga yang

teratur, dll.

b. Pelayanan Rehabilitasi.

Pelayanan ini dimaksudkan sebagaimana yang ditetapkan tujuan pelayanan panti

(dalam perencanaan pelayanan) yaitu antara lain untuk membentuk dan merubah

perilaku phisik dan psichys (fisik dan mental) dan perilaku sosial kelayan (Sesuai

dengan permasalahan kelayan ). Kemudian dalam SPMnya ditetap mengenai waktu

pelayanan (berapa hari/minggu/bulan atau tahun). Disusun jadwal kegiatan

(bimbingan) yang diberikan kepada kepalayan, misalnya dengan membuat daftar

layanan sebagai berikut : (No. Pukul / Jam Uraian Kegiatan/Bimbingan Keterangan )


Disusn pula SPM bentuk-bentuk kegiatan/bimbingan yang diberikan kepada

kelayan, yang meliputi : Bimbingan Individu ; Bimbingan Kelompok ; Bimbingan

Sosial ; Penyiapan Lingkungan Sosial ; Bimbingan Mental Spiritual/Psikososial;

Bimbingan Pelatihan Ketrampilan ; Bimbingan Fisik Kesehatan; Bimbingan

Pendidikan.

SPM untuk Bimbingan fisik Kesehatan, kelayan diberikan bimbingan berupa :

kegiatan olah raga ; kebersihan lingkungan, dan SKJ ( tentukan frekuensi kegiatannya,

setiap hari / setiap hari apa dan jam berapa). SPM untuk Bimbingan Mental Spiritual

ditetapkan balam bentuk : mental keagamaan sesuai dengan keyakinannya ; harus

menjalankan ibadah agama sesuai dengan keyakinannya. Bagi yang beragama Islam ada

kegiatan pengajian setiap ( kapan), sholat dilakukan secara berjamaah, dll.

5. Tahap Pasca Pelayanan, terdiri dari :

a. Penghentian Pelayanan. Dilakukan setelah klien selesai mengikuti proses

pelayanan dan telah mencapai hasil pelayanan sesuai dengan rencana yang telah

ditentukan.

b. Rujukan. Dilaksanakan apabila klien membutuhkan pelayanan lain yang tidak

tersedia dalam panti.

c. Pemulangan dan Penyaluran. Dilaksanakan setelah klien dinyatakan berhenti atau

selesai mengikuti proses pelayanan.

d. Pembinaan Lanjut. Kegiatan memonitor/memantau klien sesudah mereka bekerja

atau kembali ke keluarga.

e. Terminasi, dilaksanakan sehubungan dengan kondisi kelayan yang sudah mampu

memenuhi kebutuhan sosialnya dan terlepas dari masalah yang pernah dihadapi.
Bentuk-bentuk pelayanan pasca pelayanan dipanti, ditetapkan SPM nya sebagai

pedoman petugas.

Misalnya:

SPM untuk Penghentian Pelayanan ini, kelayan yang sudah selesai mendapatkan

pelayanan, apabila kondisi dan mental kelayan dipandang sudah cukup dapat

bersosialisasi baik dilingkungan keluarga, kerja/sekolah dan masyarakat.

SPM untuk Rujukan, ditetapkan prosedure rujukan yang akan dilakukan dan

bagaiamana hak dan kewajiban masing-masing pihak (panti dan kelayan/keluarganya)

SPM untuk Pemulangan dan penyaluran, ditetapkan bagaimana prosedurenya

kepulangannya ; kemudian kepulangannya apakah diantar atau keluarga kelayan

dihubungan agar menjemput kelayan, dll. (semua itu disesuaikan dengan pelayanan

yang disediakan oleh panti ). Dan diberikan akses kebidang pekerjaan sesuai dengan

ketrampilan yang dimiliki/diterima dari panti.

SPM untuk Pembinaan Lanjut, ditetapkan yang terkait dengan pembinaan lanjut yang

bertujuan untuk memperkuat stabilitas perubahan dan peranan kelayan dalam

melaksanakan fungsi sosialnya. (misalnya : untuk jangka waktu 1-2 bulan setelah

pulang dari panti, petugas masih melakukan bimbingan lanjutan ; Melakukan monitor

dan evaluasi mantan kelayan panti dalam mengembangkan hasil rehabilitasi dari panti ;

membantu mendapatkan akses ke program-program ekonomi produktif, dll.

SPM untuk Terminasi, ditetapkan hal-hal yang terkait dengan persyaratan kondisi

kelayan yang sudah dapat dilakukan terminasi, seperti : Telah mampu menyelesaikan

masalahnya secara mandiri ; telah dapat menyesuaikan diri dengan nilai-nilai serta

norma-norma sosial yang berlaku dilingkungan masyarakat.


Untuk melengkapi Standar Pelayanan (Minimal) dibuat juga Standar Anggaran

Pelayanan Panti, mulai dari Tahap persiapan sampai Tahap Terminasi. Hal ini penting

untuk mengukur kinerja pelayanan dengan unsur-unurnya input (penganggaran) output

(hasilnya), outcome (manfaat) dan Benefit (dampak) dari pelayanan panti yang

diselenggrakan. Karena itu perlu ditetapkan indikator pelayanan panti yang dilihat dari

Aspek kelayan, dengan ciri-ciri (indikasi keberhasilan) dan dari Aspek Lingkungan

masyarakat dengan ciri-ciri (indikasi keberhasilan), misalnya pada aspek kelayan,

dengan ciri-ciri : sudah tidak tidak dijalanan lagi (untuk anak jalanan) tidak

menggelandang/mengemis (untuk gelandangan/pengemis) sudah tidak minum minuman

keras/berhenti dari bnarkoba ; ciri-ciri lain, Sudah mempunyai kemauan dan

kemampuan untuk memotivasi diri dan menolak untuk melakukan yang membuat

permasalahan seperti sebelumnya ; Telah memiliki kemampuan dan ketrampilan untuk

mendayagukan dan meningkatkan sumber-sumber pelayanan sosiaol sebagai salah satu

bentuk pertisipasi mereka untuk dapat membantu dirinya sendiri, keluarga, atau

kelompoknya. Dll.

Dari aspek masyarakat, indikasinya seperti : dapat menerima kembali kelayan dan

memberi kesempatan untuk meningkatkan harkat dan martabatnya sebagaimana

masyarakat lainnya ; membentuk daya tangkal sumber-sumber permasalahan yang

menimbulkan masalah seperti yang yang pernah dialami oleh kelayan ; memberi

kesempatan/melibatkan kelayan dalam kegiatan-kegiatan kemasyarakatan, dll.

2.6 Konsep Manajemen Panti

2.6.1. Dasar-dasar Manajemen

Manajemen panti memang memerlukan pendekatan khusus karena memiliki

karakteristik yang unik, karena kita mengelola suatu obyek manusia penyandang
masalah. Karena itu pendekatan teori majajemen saja tidak cukup, harus pula

dilengkapi tentang pengetahuan kesejahteraan social.

Panti sebagai suatu lembaga (institusi/organisasi) sebetulnya mirip suatu

makhluk hidup. Mengapa? Karena ia adalah kumpulan manusia. Manusia yang bersatu

untuk mencapai tujuan. Oleh karena itu kita tidak bisa memandang panti sebagai benda

mati yang bisa diperlakukan seenaknya. Diperlukan suatu perawatan khusus agar tetap

hidup dan berkembang.

Berangkat dari pemikiran itu, prinsip-prinsip manajemen pengelolaan panti

sesungguhnya adalah manajemen orang-orang didalamnya. SDM merupakan faktor

paling penting dalam keberlangsungan hidup panti. Manusia adalah pendiri,

perancang, pekerja, pengamat, pengkritik, pemutus suatu organisasi panti. Tanpa

mereka tidak ada artinya panti tersebut. Oleh karena itu konsep manajemen

pengelolaan panti haruslah berpusat pada manusia.

Setidaknya ada tiga hal yang merupakan prinsip pokok dalam manajemen, yakni

planning, actuating, dan controlling. Prinsip-prinsip pokok ini harus dilakukan dengan

melibatkan organ-organ dalam panti.

1) Planning

Planning/perencanaan adalah hal utama yang harus dilakukan dalam

manajemen. Perencanaan yang baik adalah perencanaan yang "begin from the end".

Kita tetapkan tujuan bersama yang ingin dicapai.

Tujuan adalah pelita yang menunjukkan jalan bahkan di kegelapan malam.

Tetapkan visi dan misi panti. Yang penting adalah penetapan tujuan, visi, dan misi

panti ini harus dilakukan bersama-sama oleh pengurus panti. Minimal tidak dilakukan

sendirian, agar semua pelaku yang terlibat dalam mengelola panti memiliki sikap,

pemahaman, dan motivasi yang sama dalam mewujudkan tujuan, visi dan misi panti.
Jangan ragu dalam menetapkan tujuan, visi, dan misi. Seorang yang bermimpi

besar dan telah berusaha keras untuk mewujudkannya namun tidak bisa sepenuhnya

terwujud, masih lebih baik daripada orang yang bermimpi kecil dan hanya bisa

mewujudkan sebagian saja.

2) Actuating

Actuating/pelaksanaan adalah roh dari organisasi panti. Omong kosong saja jika

perencanaan tidak diikuti dengan aksi yang sesuai. Implementasi adalah sama

pentingnya dengan perencanaan. Tanpa pelaksanaan yang baik rencana akan hancur

berantakan tanpa sempat mencapai tujuan.

Oleh karena itu perlu adanya pendelegasian dan pembagian tugas yang tepat

untuk merealisasi rencana besar tersebut. Untuk menunjuk orang yang tepat di tempat

yang tepat perlu adanya komunikasi terus menerus diantara para peneglola panti.

Dengan adanya komunikasi, kompetensi seseorang akan dapat diketahui. Selain itu

komunikasi sangat penting dilakukan antara planner (perencana) dan actuator

(pelaksana).

3) Controlling.

Controlling/pengawasan adalah kunci dalam manajemen. Walaupun

pendelegasian adalah hal yang mutlak dalam organisasi, tetapi pendelegasian bukanlah

berarti menyerahkan segala urusan tanpa kendali.

Seorang yang buta niscaya akan dapat berjalan dengan normal jika diberitahu

jalan yang harus dilewatinya. Begitupun orang-orang dalam panti, seburuk-buruknya

sistem manajemen jika ada kontrol dan umpan balik yang rutin dilakukan maka

hasilnya masih dapat diterima.


Selain yang tiga hal diatas, beberapa teori tentang fungsi manajemen banyak

dikemukakan seperti : Hendry Fayol, fungsi manajemen meliputi : Planing,

Organizing, commanding, coocordinating dan Controling. Menurut GR. Terry :

Planning, Organizing, Actuating, dan Controling.

Sedang Menurut H. Koontz dan O' Donel : Planning, Organizing, staffing,

directing, controlling. Namun, unsure pokok dari manajemen ada tiga tadi, planning,

actuating dan contrioling.

Ada suatu hal yang perlu diingat bahwa haruslah ada sistem reward and

punishment dalam manajemen pengelolaan panti. Orang yang berprestasi patut diberi

penghargaan dan sebaliknya orang yang melakukan kesalahan sebaiknya diingatkan

untuk tidak mengulangi kesalahannya. Ini penting sebab, selain hal tersebut sebagai

tindak lanjut dari pengawasan/control, sistem ini akan memacu orang-orang dalam

panti untuk mengeluarkan kemampuan terbaiknya karena merasa dihargai. Hargai

prestasi sekecil apapun dan jangan biarkan kesalahan sekecil apapun. Segala sesuatu

yang besar dimulai dari yang kecil.

Tetapi ada hal yang penting namun seringkali terlewatkan oleh banyak manajer.

Yakni pentingnya menyentuh kebutuhan akan kepuasan hati (emosi) manusia.

Kerelaan hati yang terekspesi dalam cinta akan pekerjaanya, merupakan daya yang

besar bagi keberlangsungan mengelola panti, ini seringkali dilupakan dalam

manajemen organisasi pada umunya.

Ada dua hal yang bisa membuat orang total dalam suatu hal, yakni adanya factor

cinta dan factor keuntungan. Orang bilang cinta itu buta. Maka jika orang telah

merasakan cinta terhadap pekerjaannya dia akan buta atau melupakan kelelahan,

kesusahan, penderitaan yang dirasakan dan akan mencurahkan segenap waktunya

untuk hal yang dicintainya.


Jangan ragu-ragu bagi seorang manajer untuk melakukan pendekatan personal

dengan orang-orang dalam organisasi seperti menjenguk jika ada yang sakit,

menanyakan kabar, memberi hadiah, melontarkan pujian, dan sebagainya. Perhatikan

kebutuhannya dan berempatilah terhadap kesusahannya.

Hal-hal ini mungkin kedengarannya remeh tetapi sebenarnya ini solusi yang jitu

bagi manajemen pengelolaan panti, yang memang bergerak dibidang kesejahteraan

social, yang memerlukan rasa empathi yang kuat.

Raca cinta terhadap panti, akan menjadi perekat yang sangat kuat bagi keutuhan

organisasi/panti. Manajemen pengelolaan panti yang efektif akan menghasilkan

kenerja anggota yang baik begitu juga dengan tujuan organisasi akan terrealisaikan

dengan baik pula. Adapun indicator kinerja adalah ukuran kuantitatif yang

menggambarkan tingkat pencapaian suatu sasaran atau tujaun yang telah itetapkan

dengan memperhatikan indicator masuk (Input), Keluar (Output), hasil ( outcomes),

manfaat ( benefit), dan dampak (infacts).

2.6.2. Manajemen Unit

1) Man

Dalam manajemen, factor manusia adalah yang paling menentukan. Manusia yang

membuat tujuan dan manusia pula yang melakukan proses kegiatan untuk mencapai

tujuan yang telah ditentukan. Tanpa manusia, tidak aka nada proses kerja titik pusat

dari manajemen adalah manusia. Setiap kegiatan yang dilakukan sangat bergantung

pada orang yang melakukannya.

2) Money

Money merupakan satu unsur yang tidak dapat diabaikan. Uang merupakan alat

ukur dan alat pengukur nilai besar kecilnya hasil kegiatan dapat diukur dari jumlah

uang yang ada di sebuah perusahaan (panti). Oleh karena itu uang merupakan alat
yang penting untuk mencapai tujuan karena segala sesuatu harus diperhitungkan

secara rasional. Hal ini berhubungan dengan uang yang harus disediaan untuk

membiayai gaji tenaga kerja, alatalat yang dibutuhkan dan harus dibeli serta

beberapa hasil yang akan dicapai dari suatu organisasi.

3) Methode

Dalam pelaksanaan kerja diperlukan metode-metode kerja. Suatu tatacara kerja

yang baik akan memperlancar jalannya pekerjaan. Sebuah metode dapat dinyatakan

sebagai penetapan cara pelaksanaan kerja suatu tugas dengan memberikan berbagai

pertimbangan kepada sasaran, fasilitas-fasilitas yang tersedia dan penggunaan waktu

serta uang dan kegiatan usaha. Perlu diingat meskipun metode baik, sedangkan

orang yang melaksanakannya tidak mengerti atau tidak mempunyai pengalaman

maka hasilnya tidak akan memuaskan. Dengan demikian, peranan utama dalam

manajemen tetap manusianya sendiri.

4) Material

Terdiri dari bahan setengah jadi dan bahan jadi. Dalam dunia usaha untuk mencapai

hasil yang lebih baik, selain manusia yang ahli dalam bidangnya juga harus

menggunakan bahan/materi-materi sebagai salah satu sarana. Sebab materi dan

manusia tidak dapat dipisahkan, tanpa materi tidak akan tercapai hasil yang

dikehendaki.

5) Marketing

Memasarkan produk sudah barang tentu sangat penting sebab bila barang yang

diproduksi tidak laku, maka proses kerja tidak akan berlangsung. Oleh sebab itu,

penguasaan pasar dalam arti menyebarkan hasil produksi merupakan factor

menentukan dalam perusahaan. Agar pasar dapat dikuasai maka kualitas dan harga
barang harus sesuai dengan selera konsumen dan daya beli (kemampuan)

konsumen.

Anda mungkin juga menyukai