Anda di halaman 1dari 19

TERAPI MODALITAS PADA KEPERAWATAN GERONTIK

DISUSUN OLEH:

AHMAD BURHANUDIN (1814201115)

ALMIRA SURIANTI (1814201100)

BINA ALFIA (1814201097)

FITRI APRIANA (1814201101)


NITA NURMIATI (1814201116)

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN FAKULTAS ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH TANGERANG 2019
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Keprihatinan yang sungguh-sungguh masih ada yang menyangkut kekurangan dan
keterbatasan sarana pelayanan kesehatan mental pada usila (Birren dan Renner, 1979 ; Gatz,
Smyer dan Lawton, 1980 ; Knight, 1978 – 1979 ; Smyer dan Gatz, 1979 ; Sparcino, 1978 –
1979 ; Storandt, Siegler, dan Elias, 1978).
Barangkali pelayanan-pelayanan yang telah ada secara implicit didasarkan pada model
yang menekankan pada penurunan yang irreversible pada usila. Sebuah model yang hingga
kini masih mendominasi riset dan praktek gerontology (Birren dan Sloakne, 1980 ;
Kastenbaum, 1978 ; Storandt et al, 1978). Selain itu berdasarkan tinjauan bukti-bukti oleh
Garfield (1978) dan Smith serta Glass (1977) usia seorang tidak muncul sebagai predictor
pada keberhasilan psikotherapy. Meskipun Luborsky, Chandler, Auerbach, Cohen dan
Bachrach (1971 : 151) sebagai contoh, menyimpulkan bahwa klien usila cenderung memiliki
prognose yang agak jelek. Tinjauan studi tidak secara jelas menyatakan bahwa sample-
sampel usila dan banyak keterbatasan kontrol yang menghambat efek therapy.
Mengapa ada kekurangan minat pada perawatan usila ?. Hal ini diakibatnya karena:
1. Perbedaan perasaan dan sikap dari pemberi therapy
2. Kekurangan pengalaman profesional dan kontak personal dengan usila. (contoh :
kematian, konflik keluarga, cemas pada ketuaan). Beberapa orang (catatan Butler 1963
dan Butler dan Lewis 1981) professional mempunyai sifat “agitasi” terhadap perawatan
usila, sehingga sering mengakibatkan professional tersebut menghindari pemberian
pelayanan perawatan atau memperburuk kualitas pelayanan tersebut. Faktor lain dari
perawatan substandard bagi klien usila saat ini kita kenal dengan “countertransference”
(Blum dan Tallmer, 1977). Hayslip dan Kooken (1982 : 183) menyatakan
Countertransferenceini mencegah sifat konselor yang memandang klien seutuhnya :
penurunan fisik, nyeri, penurunan intelegensi, gangguan penurunan hubungan dengan
orang lain dan rigitditas. Davis dan Kopfer (1977) dan Ford dan Sbordone (1980)
menegaskan bahwa keadaan sifat negatif diatas mempengaruhi pengobatan, penegaan
diagnosa yang tidak tepat dan ketidakharmonisan hubungan antara klien usila dan dokter.
Keadaan-keadaan tersebut dapat terjadi jika dokternya lebih muda atau memiliki
keterbatasan kemampuan untuk berhubungan dengan orang usila.
3. Faktor lain yang bertanggung jawab terhadap kurangnya pengetahuan pada bidang ini
adalah sikap klien dalam menerima bantuan professional. Rasa curiga dan sikap acuh
serta tidak percaya adalah faktor-faktor yang membuat klien harus mencoba dirinya
sendiri daripada ditolong oleh orang lain.

Meskipun ada perbedaan pendapat mengenai cara melatih dan pendayagunaan petugas
atau perawat namun tampak jelas bahwa usila dimasa yang akan dating (yang menuntut
pelayanan therapeutic yang melebihi kebutuhan usila disaat ini) akan membutuhkan
pelayanan yang sesuai dan staf yang terlatih, untuk mencapai tingkat yang maksimal antara
kualitas dan kuantitas dari pelayanan therapeutic professional pada usila. Biaya untuk
perawatan emosional(pasien rawat jalan) tetap merupakan masalah untuk sebagaian orang
yang tidak mempunyai asuransi untuk therapy tersebut.
Dasar dari kegiatan tersebut adalah sesuai dengan hasil survey saat ini bahwa anatara 6
% - 16 % dari usila membutuhkan pelayanan  konseling, tetapi pelayanan yang ditawarkan
berlawanan dengan keinginan dari usila tersebut (Hayslip dan Kooken 1982 : 285). Tingkat
sensitivitas seseorang berbeda begitu juga pengakuan terhadap kesehatan mental/penyakit
mental lebih baik di klarifikasikan antara kesehatan fisik, stress/dukungan dalam lingkungan
dan pengalaman hidup dari usila juga diperlukan akan mempertinggi kesadaran kelompok
usila saat ini dan yang akan datang serta berguna untuk pelayanan kesehatan mental (Hayslip
dan Kooken 1982 : 285)
Karena pendefinisian keperawatan yang sempit maka tinjauan saat ini menimbulkan kesan
adanya variasi dari beberapa bentuk dengan tujuan masing-masing seperti yang diungkapkan
oleh Levy, Derogatis dan Gatz (1980) yang memandang therapy (atau lebih tepatnya
intervensi) sebagai pemfokusan pada individu dan lingkungan, untuk memfasilitasi
penyesuaian antara  keduanya. Bentuk model yang sama telah dikembangkan oleh
Gottesman, Quarterman dan Cohn (1973) dan dibicarakan secara lebih spesifik berikut ini.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS

1. Pengertian
Terapi modalitas merupakan metode pemberian terapi yang menggunakan kemampuan
fisik atau elektrik. Terapi modalitas bertujuan untuk membantu proses penyembuhan dan
mengurangi keluhan yang dialami oleh klien. (Lundry & Jenes, 2009 dalam Setyoadi &
Kushariyadi, 2011).

Terapi modalitas adalah suatu kegiatan dalam memberikan askep baik di institusi maupun


di masyarakat yg bermanfaat dan berdampak terapeutik. Terapi modalitas adalah suatu
sarana penyembuhan yang diterapkan pada dengan tanpa disadari dapat menimbulkan
respons tubuh berupa energi sehingga mendapatkan efek penyembuhan (Starkey, 2004).
Terapi modalitas yang diterapkan pada, yaitu: manajemen nyeri, perawatan gangren,
perawatan luka baru, perawatan luka kronis, latihan peregangan, range of motion, dan
terapi hiperbarik.

Terapi modalitas adalah terapi utama dalam keperawatan jiwa. Terapi ini di berikan
dalam upaya mengubah perilaku pasien dari perilaku maladaptif menjadi perilaku adaptif.
Terapi modalitas mendasarkan potensi yang dimiliki pasien (modal-modality) sebagai
titik tolak terapi atau penyembuhannya. Tapi terapi ini bisa dipakai untuk terapi
Keperawatan Komunitas.

2. Jenis-jenis terapi modalitas


Ada beberapa jenis terapi modalitas, antara lain:
1. Terapi Individual
Terapi individual adalah penanganan klien gangguan jiwa dengan pendekatan
hubungan individual antara seorang terapi dengan seorang klien. Suatu hubungan
yang terstruktur yang terjalin antara perawat dan klien untuk mengubah perilaku
klien. Hubungan yang dijalin adalah hubungan yang disengaja dengan tujuan
terapi, dilakukan dengan tahapan sistematis (terstruktur) sehingga melalui
hubungan ini terjadi perubahan tingkah laku klien sesuai dengan tujuan yang
ditetapkan di awal hubungan.

Hubungan terstruktur dalam terapi individual bertujuan agar klien mampu


menyelesaikan konflik yang dialaminya. Selain itu klien juga diharapkan mampu
meredakan penderitaan (distress) emosional, serta mengembangkan cara yang
sesuai dalam memenuhi kebutuhan dasarnya.

Tahapan hubungan dalam terapi individual meliputi:


a. Tahapan orientasi.
b. Tahapan kerja.
c. Tahapan terminasi.
Tahapan orientasi dilaksanakan ketika perawat memulai interaksi dengan klien.
Yang pertama harus dilakukan dalam tahapan ini adalah membina hubungan
saling percaya dengan klien. Hubungan saling percaya sangat penting untuk
mengawali hubungan agar klien bersedia mengekspresikan segala masalah yang
dihadapi dan mau bekerja sama untuk mengatasi masalah tersebut sepanjang
berhubungan dengan perawat. Setelah klien mempercayai perawat, tahapan
selanjutnya adalah klien bersama perawat mendiskusikan apa yang menjadi latar
belakang munculnya masalah pada klien, apa konflik yang terjadi, juga
penderitaan yang klien hadapi. Tahapan orientasi diakhiri dengan kesepakatan
antara perawat dan klien untuk menentukan tujuan yang hendak dicapai dalam
hubungan perawat-klien dan bagaimana kegiatan yang akan dilaksanakan untuk
mencapai tujuan tersebut.

Perawat melakukan intervensi keperawatan setelah klien mempercayai perawat


sebagai terapis. Ini dilakukan di fase kerja, di mana klien melakukan eksplorasi
diri. Klien mengungkapkan apa yang dialaminya. Untuk itu perawat tidak hanya
memperhatikan konteks cerita klien akan tetapi harus memperhatikan juga
bagaimana perasaan klien saat menceritakan masalahnya. Dalam fase ini klien
dibantu untuk dapat mengembangkan pemahaman tentang siapa dirinya, apa
yang terjadi dengan dirinya, serta didorong untuk berani mengambil risiko
berubah perilaku dari perilaku maladaptive menjadi perilaku adaptif.

Setelah kedua pihak (klien dan perawat) menyepakati bahwa masalah yang
mengawali terjalinnya hubungan terapeutik telah mereda dan lebih terkendali
maka perawat dapat melakukan terminasi dengan klien. Pertimbangan lain untuk
melakukan terminasi adalah apabila klien telah merasa lebih baik, terjadi
peningkatan fungsi diri, social dan pekerjaan, serta yang lebih penting adalah
tujuan terapi telah tercapai.

2. Terapi Lingkungan
Terapi lingkungan adalah bentuk terapi yaitu menata lingkungan agar terjadi
perubahan perilaku pada klien dari perilaku maladaptive menjadi perilaku
adaptif. Perawat menggunakan semua lingkungan rumah sakit dalam arti
terapeutik. Bentuknya adalah memberi kesempatan klien untuk tumbuh dan
berubah perilaku dengan memfokuskan pada nilai terapeutik dalam aktivitas dan
interaksi.

Dalam terapi lingkungan perawat harus memberikan kesempatan, dukungan,


pengertian agar klien dapat berkembang menjadi pribadi yang bertanggung
jawab. Klien juga dipaparkan pada peraturan-peraturan yang harus ditaati,
harapan lingkungan, tekanan peer, dan belajar bagaimana berinteraksi dengan
orang lain. Perawat juga mendorong komunikasi dan pembuatan keputusan,
meningkatkan harga diri, belajar keterampilan dan perilaku yang baru.

Bahwa lingkungan rumah sakit adalah lingkungan sementara di mana klien akan
kembali ke rumah, maka tujuan dari terapi lingkungan ini adalah memampukan
klien dapat hidup di luar lembaga yang diciptakan melalui belajar kompetensi
yang diperlukan untuk beralih dari lingkungan rumah sakit ke lingkungan rumah
tinggalnya.
3. Terapi Biologis
Penerapan terapi biologis atau terapi somatic didasarkan pada model medical di
mana gangguan jiwa dipandang sebagai penyakit. Ini berbeda dengan model
konsep yang lain yang memandang bahwa gangguan jiwa murni adalah gangguan
pada jiwa semata, tidak mempertimbangkan adanya kelaianan patofisiologis.
Tekanan model medical adalah pengkajian spesifik dan pengelompokkasn gejala
dalam sindroma spesifik. Perilaku abnormal dipercaya akibat adanya perubahan
biokimiawi tertentu.

Ada beberapa jenis terapi somatic gangguan jiwa meliputi: pemberian obat
(medikasi psikofarmaka), intervensi nutrisi,electro convulsive therapy (ECT),
foto terapi, dan bedah otak. Beberapa terapi yang sampai sekarang tetap
diterapkan dalam pelayanan kesehatan jiwa meliputi medikasi psikoaktif dan
ECT.

4. Terapi Kognitif
Terapi kognitif adalah strategi memodifikasi keyakinan dan sikap yang
mempengaruhi perasaan dan perilaku klien. Proses yang diterapkan adalah
membantu mempertimbangkan stressor dan kemudian dilanjutkan dengan
mengidentifikasi pola berfikir dan keyakinan yang tidak akurat tentang stressor
tersebut. Gangguan perilaku terjadi akibat klien mengalami pola keyakinan dan
berfikir yang tidak akurat. Untuk itu salah satu memodifikasi perilaku adalah
dengan mengubah pola berfikir dan keyakinan tersebut. Fokus auhan adalah
membantu klien untuk reevaluasi ide, nilai yang diyakini, harapan-harapan, dan
kemudian dilanjutkan dengan menyusun perubahan kognitif.

Ada tiga tujuan terapi kognitif meliputi:


a. Mengembangkan pola berfikir yang rasional. Mengubah pola berfikir tak
rasional yang sering mengakibatkan gangguan perilaku menjadi pola
berfikir rasional berdasarkan fakta dan informasi yang actual.
a. Membiasakan diri selalu menggunakan pengetesan realita dalam menanggapi setiap
stimulus sehingga terhindar dari distorsi pikiran.
b. Membentuk perilaku dengan pesan internal. Perilaku dimodifikasi dengan terlebih dahulu
mengubah pola berfikir.

Bentuk intervensi dalam terapi kognitif meliputi mengajarkan untuk mensubstitusi


pikiran klien, belajar penyelesaian masalah dan memodifikasi percakapan diri negatif.

5. Terapi Keluarga
Terapi keluarga adalah terapi yang diberikan kepada seluruh anggota keluarga
sebagai unit penanganan (treatment unit). Tujuan terapi keluarga adalah agar
keluarga mampu melaksanakan fungsinya. Untuk itu sasaran utama terapi jenis
ini adalah keluarga yang mengalami disfungsi; tidak bisa melaksanakan fungsi-
fungsi yang dituntut oleh anggotanya.

Dalam terapi keluarga semua masalah keluarga yang dirasakan diidentifikasi dan
kontribusi dari masing-masing anggota keluarga terhadap munculnya masalah
tersebut digali. Dengan demikian terleih dahulu masing-masing anggota keluarga
mawas diri; apa masalah yang terjadi di keluarga, apa kontribusi masing-masing
terhadap timbulnya masalah, untuk kemudian mencari solusi untuk
mempertahankan keutuhan keluarga dan meningkatkan atau mengembalikan
fungsi keluarga seperti yang seharusnya.

Proses terapi keluarga meliputi tiga tahapan yaitu fase 1 (perjanjian), fase 2
(kerja), fase 3 (terminasi). Di fase pertama perawat dan klien mengembangkan
hubungan saling percaya, isu-isu keluarga diidentifikasi, dan tujuan terapi
ditetapkan bersama. Kegiatan di fase kedua atau fase kerja adalah keluarga
dengan dibantu oleh perawat sebagai terapis berusaha mengubah pola interaksi di
antara anggota keluarga, meningkatkan kompetensi masing-masing individual
anggota keluarga, eksplorasi batasan-batasan dalam keluarga, peraturan-
peraturan yang selama ini ada. Terapi keluarga diakhiri di fase terminasi di mana
keluarga akan melihat lagi proses yang selama ini dijalani untuk mencapai tujuan
terapi, dan cara-cara mengatasi isu yang timbul. Keluarga juga diharapkan dapat
mempertahankan perawatan yang berkesinambungan.

6. Terapi Kelompok

Terapi kelompok adalah bentuk terapi kepada klien yang dibentuk dalam
kelompok, suatu pendekatan perubahan perilaku melalui media kelompok. Dalam
terapi kelompok perawat berinteraksi dengan sekelompok klien secara teratur.
Tujuannya adalah meningkatkan kesadaran diri klien, meningkatkan hubungan
interpersonal, dan mengubah perilaku maladaptive. Tahapannya meliputi: tahap
permulaan, fase kerja, diakhiri tahap terminasi.

Terapi kelompok dimulai fase permulaan atau sering juga disebut sebagai fase
orientasi. Dalam fase ini klien diorientasikan kepada apa yang diperlukan dalam
interaksi, kegiatan yang akan dilaksanakan, dan untuk apa aktivitas tersebut
dilaksanakan. Peran terapis dalam fase ini adalah sebagai model peran dengan
cara mengusulkan struktur kelompok, meredakan ansietas yang biasa terjadi di
awal pembentukan kelompok, dan memfasilitasi interaksi di antara anggota
kelompok. Fase permulaan dilanjutkan dengan fase kerja.

Di fase kerja terapi membantu klien untuk mengeksplorasi isu dengan berfokus
pada keadaan here and now. Dukungan diberikan agar masing-masing anggota
kelompok melakukan kegiatan yang disepakati di fase permulaan untuk mencapai
tujuan terapi. Fase kerja adalah inti dari terapi kelompok di mana klien bersama
kelompoknya melakukan kegiatan untuk mencapai target perubahan perilaku
dengan saling mendukung di antara satu sama lain anggota kelompok. Setelah
target tercapai sesuai tujuan yang telah ditetapkan maka diakhiri dengan fase
terminasi.
Fase terminasi dilaksanakan jika kelompok telah difasilitasi dan dilibatkan dalam
hubungan interpersonal antar anggota. Peran perawat adalah mendorong anggota
kelompok untuk saling memberi umpan balik, dukungan, serta bertoleransi
terhadap setiap perbedaan yang ada. Akhir dari terapi kelompok adalah
mendorong agar anggota kelompok berani dan mampu menyelesaikan masalah
yang mungkin terjadi di masa mendatang.

7. Terapi Prilaku

Anggapan dasar dari terapi perilaku adalah kenyataan bahwa perilaku timbul
akibat proses pembelajaran. Perilaku sehat oleh karenanya dapat dipelajari dan
disubstitusi dari perilaku yang tidak sehat. Teknik dasar yang digunakan dalam
terapi jenis ini adalah:
a. Role model
b. Kondisioning operan
c. Desensitisasi sistematis
d. Pengendalian diri
e. Terapi aversi atau releks kondisi
Teknik role model adalah strategi mengubah perilaku dengan memberi contoh
perilaku adaptif untuk ditiru klien. Dengan melihat contoh klien mampelajari
melalui praktek dan meniru perilaku tersebut. Teknik ini biasanya dikombinasikan
dengan teknik kondisioning operan dan desensitisasi.

Kondisioning operan disebut juga penguatan positif di mana terapis memberi


penghargaan kepada klien terhadap perilaku yang positif yang telah ditampilkan
oleh klien. Dengan penghargaan dan umpan balik positif yang didapat maka
perilaku tersebut akan dipertahankan atau ditingkatkan oleh klien. Misalnya
seorang klien begitu bangun tidur langsung ke kamar mandi untuk mandi, perawat
memberikan pujian terhadap perilaku tersebut. Besok pagi klien akan mengulang
perilaku segera mandi setelah bangun tidur karena mendapat umpan balik berupa
pujian dari perawat. Pujian dalam hal ini adalah reward atau penghargaan bagi
perilaku positif klien berupa segera mandi setelah bangun.
Terapi perilaku yang cocok untuk klien fobia adalah teknik desensitisasi
sistematis yaitu teknik mengatasi kecemasan terhadap sesuatu stimulus atau
kondisi dengan secara bertahap memperkenalkan/memaparkan pada stimulus atau
situasi yang menimbulkan kecemasan tersebut secara bertahap dalam keadaan
klien sedang relaks. Makin lama intensitas pemaparan stimulus makin meningkat
seiring dengan toleransi klien terhadap stimulus tersebut. Hasil akhirnya adalah
klien akan berhasil mengatasi ketakutan atau kecemasannya akan stimulus
tersebut.

Untuk mengatasi perilaku dorongan perilaku maladaptive klien dapat dilatih


dengan teknik pengendalian diri. Bentuk latihannya adalah berlatih mengubah
kata-kata negatif menjadi kata-kata positif. Apabila ini berhasil maka klien sudah
memiliki kemampuan untuk mengendalikan perilaku yang lain sehingga
menghasilkan terjadinya penurunan tingkat distress klien tersebut.

Mengubah perilaku dapat juga dilakukan dengan memberi penguatan negatif.


Caranya adalah dengan memberi pengalaman ketidaknyamanan untuk merusak
perilaku yang maladaptive. Bentuk ketidaknyamanan ini dapat berupa
menghilangkan stimulus positif sebagai “punishment” terhadap perilaku
maladaptive tersebut. Dengan ini klien akan belajar untuk tidak mengulangi
perilaku demi menghindari konsekuensi negatif yang akan diterima akibat
perilaku negatif tersebut.

8. Terapi Bermain
Terapi bermain diterapkan karena ada anggapan dasar bahwa anak-anak akan dapat
berkomunikasi dengan baik melalui permainan dari pada dengan ekspresi verbal. Dengan
bermain perawat dapat mengkaji tingkat perkembangan, status emosional anak, hipotesa
diagnostiknya, serta melakukan intervensi untuk mengatasi masalah anak tersebut.

Prinsip terapi bermain meliputi membina hubungan yang hangat dengan anak,
merefleksikan perasaan anak yang terpancar melalui permainan, mempercayai bahwa
anak dapat menyelesaikan masalahnya, dan kemudian menginterpretasikan perilaku anak
tersebut.

Terapi bermain diindikasikan untuk anak yang mengalami depresi, anak yang mengalami
ansietas, atau sebagai korban penganiayaan (abuse). Bahkan juga terpai bermain ini
dianjurkan untuk klien dewasa yang mengalami stress pasca trauma, gangguan identitas
disosiatif dan klien yang mengalami penganiayaan.

C. Terapi Modalitas di Masyarakat

Disini penulis mengambil salah satu terapi modalitas yang biasanya diterapkan disuatu
masyarakat yaitu menggunakan terapi Senam Kaki Diabetes Melitus.

Senam Kaki Diabetes Melitus


Senam adalah serangkaian gerak nada yang teratur, terarah, serta terencana yang dilakukan
secara sendiri atau berkelompok dengan maksud meningkatkan kemampuan fungsional raga
(Adenia, 2010). Senam kaki diabetes melitus adalah kegiatan atau latihan yang dilakukan oleh
masyarakat yang menderita diabetes melitus untuk mencegah terjadinya luka dan membantu
memperlancar peredaran darah bagian kaki. (Setyoadi & Kushariyadi, 2011).

Manfaat Senam Kaki Diabetes Melitus


Menurut Setyoadi & Kushariyadi, 2011. Senam kaki bermanfaat untuk:
a. Memperbaiki sirkulasi darah, memperkuat otot-otot kecil kaki, dan mencegah terjadinya
kelainan bentuk kaki,
b. Meningkatkan kekuatan otot betis, otot paha,
c. Mengatasi keterbatasan pergerakan sendi.

Indikasi Senam Kaki Diabetes Melitus


a. Diberikan pada semua penderita diabetes melitus (DM tipe I maupun tipe II)
b. Sebaiknya diberikan sejak seseorang didiagnosa menderita diabetes melitus sebagai
tindakan pencegahaan dini.

Kontraindikasi Senam Kaki Diabetes Melitus


a. Penderita yang mengalami perubahan fungsi fisiologis seperti dispnea dan nyeri dada.
b. Penderita yang mengalami depresi, khawatir dan cemas.

Teknik Senam Kaki Diabetes Melitus


Persiapan
Persiapan Alat dan Lingkungan:
Kertas koran dua lembar,
1. Kursi (jika tindakan dilakukan dalam posisi duduk),
2. Sarung tangan,
3. Lingkungan yang nyaman dan jaga privasi penderita.

Persiapan klien: lakukan kontrak topik, waktu, tempat dan tujuan dilaksanakan senam kaki
diabetes melitus.
Prosedur
1. Perawat mencuci tangan,
2. Jika dilakukan dalam posisi duduk maka posisikan klien duduk tegak di
atas bangku dengan kaki menyentuk lantai,
3. Dengan meletakkan tumit dilantai, jari-jari kedua kaki diluruskan ke atas
lalu dibengkokkan kembali ke bawah seperti cakar ayam sebanyak 10
kali.
4. Dengan meletakkan tumit salah satu kaki di lantai, angkat telapak kaki
ke atas. Pada kaki lainnya, jari-jari kaki diletakkan di lantai dengan tumit
kaki diangkatkan ke atas. Cara ini dilakukan bersaman pada kaki kiri
dan kanan secara bergantian dan diulangi sebanyak 10 kali,
5. Tumit diletakkan di lantai. Bagian ujung kaki di angkat ke atas dan buat
gerakan memutas dengan pergerakan pada pergelangan kaki sebanyak
10 kaki,
6. Jari-jari kaki diletakkan dilantai. Tumit diangkat dan buat gerakan
memutar dengan pergerakan pada pergelangan kaki sebanyak 10 kali,
7. Angkat salah satu lutut kaki, dan luruskan. Gerakan jari-jari ke depan
turunkan kembali secara bergantian ke kiri dan ke kanan. Di ulangi
sebanyak 10 kali,
8. Luruskan salah satu kaki di atas lantai kemuadian angkat kaki tersebut
dan gerakkan ujung kaki ke arah wajah lalu turunkan kembali kelantai,
9. Angkat kedua kaki lalu luruskan. Ulangi langkah ke-8, namun gunakan
kedua kaki secara bersamaan. Ulangi sebanyak 10 kali,
10. Angkat kedua kaki dan luruskan, pertahankan posisi tersebut. Gerakan
pergelangan kaki ke depan dan ke belakang,
11. Luruskan salah satu kaki dan angkat, putar kaki pada pergelangan kaki,
tuliskan pada udara dengan kaki dari angka 0 hingga 10 lakukan secara
bergantian,
12. Letakkan sehelai koran dilantai. Bentuklah koran tersebut menjadi
seperti bola dengan kedua kaki. Kemudian, buka bola itu menjadi
lembaran seperti semula menggunakan kegua kaki. Cara ini dilakukan
hanya sekalai saja.
13. Lalu sobek koran menjadi dua bagian, pisahkan kedua bagian koran,
14. Sebagian koran disobek menjadi kecil dengan kedua kaki,
15. Pindahkan kumpulan sobekan tersebut dengan kedua kaku lalu letakkan
sobekan koran pada bagian kertas yang utuh,
16. Bungkus semuanya dengan kedua kaki menjadi bentuk bola.

Kriteria Evaluasi
1. Penderita dapat menyebutkan kembali pengertin senam kaki,
2. Penderita dapat memeragakan sendiri teknik senam kaki secara mandiri.
BAB III
TINJAUAN KASUS

A.      Kasus
Perawat komunitas sedang melakukan tugas program kesehatan di desa-desa dan
ditemukan di desa Z pada keluarga Tn. X dengan usia 34 tahun memiliki satu orang istri dan dua
orang anak laki-laki dan perempuan, mereka tinggal dalam satu rumah . Dari hasil pengkajian
perawat komunitas Tn X memiliki riwayat penyakit Diabetes Melitus sejak usianya 21 tahun,
beliau pernah di rawat di rumah sakit Y dengan diagnosa Hiperglikemia. Saat itu kadar gula
darah puasa Tn X mencapai 220 mg/dl, beliau dirawat selama seminggu di RS. Setelah beliau
diperbolehkan pulang Tn X dianjurkan oleh Perawat di RS untuk rutin mengontrol ulang KGD
nya 2 minggu sekali. Tn X bekerja sebagai petani, dan sering menggunakan sepatu.

B.       Peran Perawat


Peran perawat komunitas ada beberapa macam yaitu : (1) Sebagai Pelayanan
Keperawatan, (2) Sebagai Pendidik, (3) Sebagai Pengamat Kesehatan, (4) Koordinator
Pelayanan Kesehatan, (5) Sebagai Pembaharu, (6) Pengorganisasian Pelayanan Kesehatan, (7)
Panutan, (8) Tempat bertanya/fasilitator, (9) Pengelola. Dalam makalah ini dilihat dari kasus
diatas, Peran seorang perawat komunitas yang paling utama diterapkan yaitu perawat sebagai
Aducation.

C.      Intervensi
1.         Ajarkan Tn X untuk melakukan senam kaki diabetik.
2.         Anjurkan tidak menggunakan sepatu yang terlalu ketat.
3.         Anjurkan untuk sering mengontrol KGD nya.
 
D.      Prosedur Kerja dan kesiapan perawat
Persiapan Alat dan Lingkungan:
1.         Kertas koran dua lembar,
2.         Kursi (jika tindakan dilakukan dalam posisi duduk),
3.         Sarung tangan,
4.         Lingkungan yang nyaman dan jaga privasi penderita.

Sebelum melakukan prosedur senam kaki tersebut, perawat harus mealui aspek sebagai
berikut: lakukan kontrak topik, waktu, tempat dan tujuan dilaksanakan senam kaki diabetes
melitus.

Prosedur
a. Perawat mencuci tangan,
b. Menganjurkan pasien untuk duduk tegak di atas bangku dengan kaki menyentuk
lantai,
c. Memperagakan kepada pasien meletakkan tumit dilantai, jari-jari kedua kaki
diluruskan ke atas lalu dibengkokkan kembali ke bawah seperti cakar ayam sebanyak
10 kali.
d. Memperagakan kepada pasien meletakkan tumit salah satu kaki di lantai, angkat
telapak kaki ke atas. Pada kaki lainnya, jari-jari kaki diletakkan di lantai dengan tumit
kaki diangkatkan ke atas. Cara ini dilakukan bersaman pada kaki kiri dan kanan secara
bergantian dan diulangi sebanyak 10 kali,
e. Memperagakan kepada pasien meletakkan tumitnya di lantai. Bagian ujung kaki di
angkat ke atas dan buat gerakan memutas dengan pergerakan pada pergelangan kaki
sebanyak 10 kaki,
f. Jari-jari kaki diletakkan dilantai. Tumit diangkat dan buat gerakan memutar dengan
pergerakan pada pergelangan kaki sebanyak 10 kali,
g. Angkat salah satu lutut kaki, dan luruskan. Gerakan jari-jari ke depan turunkan
kembali secara bergantian ke kiri dan ke kanan. Di ulangi sebanyak 10 kali,
h. Luruskan salah satu kaki di atas lantai kemuadian angkat kaki tersebut dan gerakkan
ujung kaki ke arah wajah lalu turunkan kembali kelantai,
i. Angkat kedua kaki lalu luruskan. Ulangi langkah ke-8, namun gunakan kedua kaki
secara bersamaan. Ulangi sebanyak 10 kali,
j. Angkat kedua kaki dan luruskan, pertahankan posisi tersebut. Gerakan pergelangan
kaki ke depan dan ke belakang,
k. Luruskan salah satu kaki dan angkat, putar kaki pada pergelangan kaki, tuliskan pada
udara dengan kaki dari angka 0 hingga 10 lakukan secara bergantian,
l. Letakkan sehelai koran dilantai. Bentuklah koran tersebut menjadi seperti bola dengan
kedua kaki. Kemudian, buka bola itu menjadi lembaran seperti semula menggunakan
kegua kaki. Cara ini dilakukan hanya sekalai saja.
m. Lalu sobek koran menjadi dua bagian, pisahkan kedua bagian koran,
n. Sebagian koran disobek menjadi kecil dengan kedua kaki,
o. Pindahkan kumpulan sobekan tersebut dengan kedua kaku lalu letakkan sobekan
koran pada bagian kertas yang utuh,
p. Bungkus semuanya dengan kedua kaki menjadi bentuk bola.

Kriteria Evaluasi
1.         Tn X dapat menyebutkan kembali pengertin senam kaki,
2.         Tn X dapat memeragakan sendiri teknik senam kaki secara mandiri.
BAB IV
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Terapi modalitas merupakan metode pemberian terapi yang menggunakan kemampuan
fisik atau elektrik. Terapi modalitas bertujuan untuk membantu proses penyembuhan dan
mengurangi keluhan yang dialami oleh klien. (Lundry & Jenes, 2009 dalam Setyoadi &
Kushariyadi, 2011).

Jenis terapi modalitas (Terapi Individual, Terapi Lingkungan, Terapi Biologis, Terapi
Kognitif, Terapi Kelurga, Terapi Kelompok, Terapi Prilaku dan Terapi bermain)

B.       Saran
Dalam penulisan makalah ini penulis menyarankan bahwa terapi modalitas itu penting
karena bisa membantu proses penyembuhan dan mengurangi keluhan yang dialami oleh klien,
selain itu juga menjadi suatu Pencegahan saat penderita telah didiagnosa awal tentang
penyakitnya.
DAFTAR PUSTAKA

Flora R, Hikayati, Purwanto. 2014. Jurnal dengan Judul: Pelatihan senam kaki pada penderita
diabetes Mellitus dalam upaya pencegahan Komplikasi diabetes pada kaki (diabetes foot).
Universitas Sriwijaya, Fakultas Kedokteran. (dikutip pada tanggal 25 Desember 2014)

http://nursing-community.blogspot.com/2013/06/kelompok-9-terapi-medik-dan-terapi.html

http://www.academia.edu/7835924/Senam_Kaki (dikutip pada tanggal 26 Desember 2014)

Pramesti, DE. 2013. Jurnal dengan Judul: Perbedaan Pengetahuan Tentang Perawatan Kaki Pada
Penderita Diabetes Mellitus Sebelum Dan Sesudah Dilakukan Pendidikan Kesehatan Di Desa
Kedunggading Kecamatan Ringinarum Kabupaten Kendal. Program Studi Ilmu Keperawatan
STIKES Ngudi Waluyo Ungaran. (dikutip pada tanggal 25 Desember 2014)

Setyodi & Kushariyadi. 2011. Terapi Modalitas Keperawatan Pada Klien Psikogeriatrik. Jakarta:
Salemba Medika

Anda mungkin juga menyukai