Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

KEPERAWATAN BENCANA PADA KELOMPOK RENTAN IBU


HAMIL DAN BAYI, LANSIA, ANAK, DISABILITAS
Untuk memenuhi tugas
Mata Kuliah : Keperawatan Bencana
Dosen Pembimbing : Soni Hendra, S.Kep, Ns, M.Kep

Disusun Oleh
Kelompok II
Chandra Winda
Yurmila Ria
Falensia Fitri
Muli Adis
Villya Doralita Eva
Mu’min Tiodor
Heri Kurniawan Arif Hidayatma
Neni Septiani

STIKES HANGTUAH TANJUNGPINANG


S1 KEPERAWATAN NON REGULER
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allat SWT, yang telah memberikan

rahmat dan hidayahnya-Nya, kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan makalah

Keperawatan Bencana “Keperawatan Bencana pada Kelompok Rentan : Ibu hamil

dan bayi, Lansia, Anak, Disabibilitas’’.

Makalah ini dibuat sebagai salah satu persyaratan untuk menyelesaikan tugas

keperawatan bencana dan menyelesaikan pendidikan di Stikes Hang Tuah

Tanjungpinang. Pembuatan makalah ini tak lepas dari bimbingan dan bantuan dari

semua pihak, untuk itu pada kesempatan ini penulis ini mengucapkan terimakasih

pada:

1. Soni Hendra, M.Kep Sebagai pembimbing mata kuliah keperawatan bencana

2. Rekan-rekan seperjuangan Angkatan XIII Sarjanan Keperawatan Program

Non regular Stikes Hangtuah Tanjungpinang yang telah memberikan

dorongan, bantuan dan kerja sama dalam penyusuan penulisan.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penyusunan makalah ini masih jauh

dari kata sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan saran ataupun kritikan

yang membangun demi kesempurnaan makalah ini kedepannya. Sehingga, dapat

bermanfaat untuk menambah wawasan dan ilmu pengetahuan.

Tanjungpinang, 13 Okteber 2020

Kelompok 2
BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang


Berbagai bencana telah menimbulkan korban dalam jumlah yang besar.
Banyak korban yang selamat menderita sakit dan cacat. Rumah, tempat kerja,
ternak, dan peralatan menjadi  rusak atau hancur. Korban juga mengalami
dampak psikologis akibat bencana, misalnya - ketakutan, kecemasan akut,
perasaan mati rasa secara emosional, dan kesedihan yang mendalam. Bagi
sebagian orang, dampak ini memudar dengan berjalannya waktu. Tapi untuk
banyak orang lain, bencana memberikan dampak psikologis  jangka panjang,
baik yang terlihat jelas misalnya depresi , psikosomatis  (keluhan fisik yang
diakibatkan oleh masalah psikis) ataupun yang tidak langsung  : konflik, hingga
perceraian.
Beberapa gejala gangguan psikologis merupakan respons langsung
terhadap kejadian traumatik dari bencana. Namun gejala-gejala yang lain  juga
akan  menyusul, ini adalah dampak tidak langsung dan bersifat jangka panjang
yang dapat mengancam berbagai golongan terutama kelompok yang rentan yaitu
anak-anak, remaja, wanita dan lansia.
Dalam banyak kasus, jika tidak ada intervensi yang dirancang dengan
baik, banyak korban bencana akan mengalami depresi parah, gangguan
kecemasan, gangguan stress pasca-trauma, dan gangguan emosi lainnya. Bahkan
lebih dari dampak fisik dari  bencana, dampak psikologis dapat menyebabkan
penderitaan lebih panjang, mereka akan kehilangan semangat hidup, kemampuan
social dan merusak nilai-nilai luhur yang mereka miliki.
Menurut Departeman Hukum dan Hak Asasi Manusia, kelompok rentan
adalah semua orang yang menghadapi hambatan atau keterbatasan dalam
menikmati standar kehidupan yang layak bagi kemanusiaan dan berlaku umum
bagi suatu masyarakat yang berperadaban. Jadi kelompok rentan dapat
didefinisikan sebagai kelompok yang harus mendapatkan perlindungan dari
pemerintah karena kondisi sosial yang sedang mereka hadapi. Konteks
kerentanan merujuk kepada situasi rentan yang setiap saat dapat mempengaruhi
atau membawa perubahan besar dalam penghidupan masyarakat. Setiap orang
yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan
dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya. Kelompok masyarakat
yang rentan adalah orang lanjut usia, anak-anak, perempuan, dan penyandang
cacat. Dalam konteks ini, kita akan membicarakan lebih rinci mengenai
perawatan kelompok rentan pra, saat dan pasca terjadinya bencana dalam
makalah kami yang berjudul ‘Keperawatan Bencana pada Kelompok
Rentan : Ibu hamil dan Bayi, Lansia, Anak, Disabilitas’.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan kelompok rentan?
2. Bagaimanakah mengidentifikasi masalah pada kelompok rentan?
3. Apa sajakah tindakan yang sesuai dengan kelompok rentan?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan kelompok rentan
2. Untuk mengetahui cara mengidentifikasi masalah pada kelompok rentan
3. Untuk mengetahui tindakan yang sesuai dengan kelompok rentan

D. Manfaat
Manfaat penulisan makalah ini, untuk membantu para pembaca baik itu
masyarakat maupun tenaga kesehatan agar lebih memahami perawatan pada
kelompok rentan karena hal tersebut sangat penting dalam kehidupan sehari-hari
sebagai dan dalam mitigasi bencana.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Kelompok Rentan


Menurut UU No 24/2007, pasal 55, ayat 2 Kelompok rentan dalam situasi
bencana adalah individu atau kelompok yang terdampak lebih berat diakibatkan
adanya kekurangan dan kelemahan yang dimilikinya yang pada saat bencana
terjadi menjadi beresiko lebih besar, meliputi: bayi, balita, dan anak-anak; ibu
yang sedang mengandung / menyusui; penyandang cacat (disabilitas); dan orang
lanjut usia
Pada dasarnya pengertian mengenai kelompok rentan tidak dijelaskan
secara rinci. Hanya saja dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 pasal 5 ayat 3
dijelaskan bahwa setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan
berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan
kekhususannya. Kelompok masyarakat yang rentan adalah orang lanjut usia,
anak-anak, fakir miskin, wanita hamil, dan penyandang cacat. Sedangkan
menurut Human Rights Reference yang dikutip oleh Iskandar Husein disebutkan
bahwa yang tergolong ke dalam
Kelompok Rentan adalah:
1) Refugees (pengungsi)
2) Internally Displaced Persons (IDPs) adalah orang-orang yang terlantar/
pengungsi
3) National Minorities (kelompok minoritas)
4) Migrant Workers (pekerja migrant)
5) Indigenous Peoples (orang pribumi/ penduduk asli dari tempat
pemukimannya)
6) Children (anak)
7) Women (Perempuan)
Menurut Departeman Hukum dan Hak Asasi Manusia, kelompok rentan
adalah semua orang yang menghadapi hambatan atau keterbatasan dalam
menikmati standar kehidupan yang layak bagi kemanusiaan dan berlaku umum
bagi suatu masyarakat yang berperadaban. Jadi kelompok rentan dapat
didefinisikan sebagai kelompok yang harus mendapatkan perlindungan dari
pemerintah karena kondisi sosial yang sedang mereka hadapi.

Kamus Besar Bahasa Indonesia merumuskan pengertian rentan sebagai :


(1) mudah terkena penyakit dan,
(2) peka, mudah merasa.
Kelompok yang lemah ini lazimnya tidak sanggup menolong diri sendiri,
sehingga memerlukan bantuan orang lain. Selain itu, kelompok rentan juga
diartikan sebagai kelompok yang mudah dipengaruhi. Pengertian kedua
merupakan konsekuensi logis dari pengertian yang pertama, karena sebagai
kelompok lemah sehingga mudah dipengaruhi.

B. Identifikasi Kelompok Beresiko


Undang-undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
mengartikan bencana sebagai suatu peristiwa luar biasa yang mengganggu dan
mengancam kehidupan dan penghidupan yang dapat disebabkan oleh alam
ataupun manusia, ataupun keduanya. Untuk menurunkan dampak yang
ditimbulkan akibat bencana, dibutuhkan dukungan berbagai pihak termasuk
keterlibatan perawat yang merupakan petugas kesehatan yang jumlahnya
terbanyak di dunia dan salah satu petugas kesehatan yang berada di lini terdepan
saat bencana terjadi (Powers & Daily, 2010) Peran perawat dapat dimulai sejak
tahap mitigasi (pencegahan), tanggap darurat bencana dalam fase prehospital dan
hospital, hingga tahap recovery.
Terdapat individu atau kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat
yang lebih rentan terhadap efek lanjut dari kejadian bencana yang memerlukan
perhatian dan penanganan khusus untuk mencegah kondisi yang lebih buruk
pasca bencana. Kelompok-kelompok ini diantaranya: anak-anak, perempuan,
terutama ibu hamil dan menyusui, lansia, individu-individu yang menderita
penyakit kronis dan kecacatan. Identifikasi dan pemetaan kelompok beresiko
melalui pengumpulan informasi dan data demografi akan mempermudah
perencanaan tindakan kesiap-siagaan dalam menghadapi kejadian bencana di
masyarakat (Morrow, 1999; Powers & Daily, 2010; World Health Organization
(WHO) & International Council of Nursing (ICN), 2009).
1. Bayi dan Anak-anak
Bayi dan anak-anak sering menjadi korban dalam semua tipe bencana
karena ketidakmampuan mereka melarikan diri dari daerah bahaya. Ketika
Pakistan diguncang gempa Oktober 2005, sekitar 16.000 anak meninggal
karena gedung sekolah mereka runtuh. Tanah longsor yang erjadi di Leyte,
Filipina, beberapa tahun lalu mengubur lebih dari 200 anak sekolah yang
tengah belajar di dalam kelas (Indriyani 2014). Diperkirakan sekitar 70%
dari semua kematian akibat bencana adalah anak-anak baik itu pada bencana
alam maupun bencana yang disebabkan oleh manusia (Powers & Daily,
2010).
Selain menjadi korban, anak-anak juga rentan terpisah dari orang tua
atau wali mereka saat bencana terjadi. Diperkirakan sekitar 35.000 anak-
anak Indonesia kehilangan satu atau dua orang tua mereka saat kejadian
tsunami 2004. Terdapat juga laporan adanya perdagangan anak (Child-
Trafficking) yang dialami oleh anak-anak yang kehilangan orang tua/wali
(Powers & Daily, 2010)
Pasca bencana, anak-anak berisiko mengalami masalah-masalah
kesehatan jangka pendek dan jangka panjang baik fisik dan psikologis
karena malnutrisi, penyakit-penyakit infeksi, kurangnya skill bertahan hidup
dan komunikasi, ketidakmampuan melindungi diri sendiri, kurangnya
kekuatan fisik, imunitas dan kemampuan koping. Kondisi tersebut dapat
mengancam nyawa jika tidak diidentifikasi dan ditangani dengan segera oleh
petugas kesehatan (Powers & Daily, 2010; Veenema, 2007).
2. Perempuan
Diskriminasi terhadap perempuan dalam kondisi bencana telah menjadi
isu vital yang memerlukan perhatian dan penanganan khusus. Oleh karena
itu, intervensi-intervensi kemanusiaan dalam penanganan bencana yang
memperhatikan standar internasional perlindungan hak asasi manusia perlu
direncanakan dalam semua stase penanganan bencana (Klynman, Kouppari,
& Mukhier, 2007).
Studi kasus bencana alam yang dilakukan di Bangladesh mendapati
bahwa pola kematian akibat bencana dipengaruhi oleh relasi gender yang
ada, meski tidak terlalu konsisten. Pola ini menempatkan perempuan,
terlebih lagi yang hamil, menyusui, dan lansia lebih berisiko karena
keterbatasan mobilitas secara fisik dalam situasi darurat (Enarson, 2000;
Indriyani, 2014; Klynman et al, 2007).
Laporan PBB pada tahun 2001 yang berjudul "Women, Disaster
Reduction, and Sustainable Development" menyebutkan bahwa perempuan
menerima dampak bencana yang lebih berat. Dari 120 ribu orang yang
meninggal karena badai siklon di Bangladesh tahun 1991, korban dari kaum
perempuan menempati jumlah terbesar. Hal ini disebabkan karena norma
kultural membatasi akses mereka terhadap peringatan bahaya dan akses ke
tempat perlindungan (Fatimah, 2009 dikutip dalam Indriyani, 2014).
3. Lansia
Merupakan salah satu kelompok yang rentan secara fisik, mental, dan
ekonomik saat dan setelah bencana yang disebabkan karena penurunan
kemampuan mobilitas fisik dan/atau karena mengalami masalah kesehatan
kronis (Klynman et al., 2007). Di Amerika Serikat, lebih dari 50% korban
kematian akibat dari badai Katrina adalah lansia dan diperkirakan sekitar
1300 lansia yang hidup mandiri sebelum kejadian badai tersebut harus
dirawat di pantai jompo setelah bencana alam itu terjadi (Powers & Daily,
2010).
Pasca bencana, kebutuhan lansia sering terabaikan dan mengalami
diskriminasi, contohnya dalam hal distribusi kebutuhan hidup dan finansial
pasca bencana. Hak-hak dan kebutuhan spesifik lansia kadang-kadang
terlupakan yang dapat memperparah masalah kesehatan dan kondisi depresi
pada lansia tersebut (Klynman et al., 2007).
4. Individu dengan keterbatasan fisik (kecacatan) dan penyakit kronis
Menurut WHO, terdapat lebih dari 600 juta orang yang menderita
kecacatan di seluruh dunia atau mewakili sekitar 7-10% dari populasi global.
80% diantaranya tinggal di negara berkembang. Angka ini terus meningkat
seiring dengan peningkatan jumlah penduduk, angka harapan hidup dan
kemajuan di bidang kesehatan (Klynman et al., 2007).
Di Amerika Serikat, setelah kejadian banjir di Grand Forks, North
Dakota pada tahun 1997, barulah dibangun rumah perlindungan yang dapat
diakses oleh korban bencana yang menggunakan kursi roda. Pada saat terjadi
bencana kebakaran di California, tahun 2003, banyak individu-individu cacat
pendengaran tidak memahani level bahaya bencana tersebut karena
kurangnya informasi yang mereka fahami (Powers & Daily, 2010).
Orang cacat, karena keterbatasan fisik yang mereka alami berisiko
sangat rentan saat terjadi bencana, namun mereka sering mengalami
diskriminasi di masyarakat dan tidak dilibatkan pada semua level
kesiapsiagaan, mitigasi, dan intervensi penanganan bencana (Klynman et al.,
2007).

C. Tindakan Yang Sesuai Untuk Kelompok Rentan


Untuk mengurangi dampak bencana pada individu dari kelompok-kelompok
rentan diatas, petugas-petugas yang terlibat dalam perencanaan dan penanganan
bencana perlu (Morrow, 1999 & Daily, 2010)
a. Mempersiapkan peralatan-peralatan kesehatan sesuai dengan kebutuhan
kelompok-keompok rentan tersebut, contohnya ventilisator untuk anak, alat
bantu untuk individu yang cacat, alat-alat bantuan persalinan, dll.
b. Melakukan pemetaan kelompok-kelompok rentan
c. Merencanakan intervensi-intervensi untuk mengatasi hambatan informasi
dan komunikasi
d. Menyediakan transportasi dan rumah penampungan yang dapat diakses
e. Menyediakan pusat bencana yang dapat diakses
Adapun tindakan-tindakan spesifik untuk kelompok rentan akan diuraikan pada
pembahasan berikut (Enarson, 2000; Federal Emergency Management Agency
(FEMA), 2010; Klynman et al., 2007; Powers & Daily, 2010; Veenema 2007):

1. Tindakan yang sesuai untuk kelompok berisiko pada bayi dan anak
Pra bencana
a. Mensosialisasikan dan melibatkan anak-anak dalam latihan kesiagsiagaan
bencana misalnya dalam simulasi bencana kebakaran atau gempa bumi
b. Mempersiapkan fasilitas kesehatan yang khusus untuk bayi dan anak pada
saat bencana
c. Perlunya diadakan pelatihan-pelatihan penanganan bencana bagi petugas
kesehatan khusus untuk menangani kelompok-kelompok berisiko
Saat bencana
a. Mengintegrasikan pertimbanan pediatric dalam sistem triase standar yang
digunakan saat bencana
b. Lakukan pertolongan kegawatdaruratan kepada bayi dan anak sesuai
dengan tingkat kegawatan dan kebutuhannya dengan mempertimbangkan
aspek tumbuh kembangnya, misalnya menggunakan alat dan bahan khusus
untuk anak dan tidak disamakan dengan orang dewasa
c. Selama proses evakuasi, transportasi, sheltering dan dalam pemberian
pelayanan fasilitas kesehatan, hindari memisahkan anak dari orang tua,
keluarga atau wali mereka
Pasca bencana
a. Usahakan kegiatan rutin sehari-hari dapat dilakukan sesegera mungkin
contohnya waktu makan dan personal hygiene teratur, tidur, bermain dan
sekolah
b. Monitor status nutrisi anak dengan pengukuran antropometri
c. Dukung dan berikan semangat kepada orang tua
d. Dukung ibu-ibu menyusui dengan dukungan adekuat, cairan dan
emosional
e. Minta bantuan dari ahli kesehatan anak yang mungkin ada di lokasi
evakuasi sebagai voluntir untuk mencegah, mengidentifikasi,mengurangi
resiko kejadian depresi pada anak pasca bencana.
f. Identifikasi anak yang kehilangan orang tua dan sediakan penjaga yang
terpercaya serta lingkunganyang aman untuk mereka

2. Tindakan yang sesuai untuk kelompok beriiko pada ibu hamil dan
menyusui
Dalam memberikan pelayanan keperawatan pada berbagai macam
kondisi kita harus cepat dan bertindak tepat di tempat bencana, petugas harus
ingat bahwa dalam merawat ibu hamil adalah sama halnya dengan menolong
janinnya sehingga meningkatkab kondisi fisik dan mental wanita hamil dapat
melindungi dua kehidupan, ibu hamil dan janinnya.
Perubahan fisiologis pada ibu hamil, seperti peningkatan sirkulasi
darah, peningkatan kebutuhan oksigen, dan lain-lain sehingga lebih rentan
saat bencana dan setelah bencana (Farida, Ida. 2013).
Menurut Ida Farida (2013) hal-hal yang perlu diperhatikan dalam
penanggulangan ibu hamil
a. Meningkatkan kebutuhan oksigen
Penyebab kematian janin adalah kematian ibu. Tubuh ibu hamil yang
mengalami keadaan bahaya secara fisik berfungsi untuk membantu
menyelamatkan nyawanya sendiri daripada nyawa si janin dengan
mengurangi volume perdarahan pada uterus.
b. Persiapan melahirkan yang aman
Dalam situasi bencana, petugas harus mendapatkan informasi yang jelas
dan terpercaya dalam menentukan tempat melahirkan adalah keamanannya.
Hal yang perlu dipersiapkan adalah air bersih, alat-alat yang bersih dan
steril dan obat-obatan, yang perlu diperhatikan adalah evakuasi ibu ke
tempat perawatan selanjutnya yang lebih memadai.
Pra bencana
a. Melibatkan perempuan dalam penyusunan perencanaan penanganan
bencana
b. Mengidentifikasi ibu hamil dan ibu menyusui sebagai kelompok rentan
c. Membuat disaster plans dirumah yang disosialisasikan kepada seluruh
anggota keluarga
d. Melibatkan petugas-petugas kesehatan reproduktif dalam mitigasi bencana

Saat bencana
a. Melakukan usaha/bantuan penyelamatan yang tidak meningkatkan risiko
kerentanan bumil dan busui, misalnya:
1) Meminimalkan guncangan pada saat melakukan mobilisasi dan
transportasi karena dapat merangsang kontraksi pada ibu hamil
2) Tidak memisahkan bayi dan ibunya saat proses evakuasi
b. Petugas bencana harus memiliki kapasitas untuk menolong korban bumil
dan busui
Pasca bencana
a. Dukung ibu-ibu menyusui dengan dukungan nutrisi adekuat, cairan dan
emosional
b. Melibatkan petugas-petugas kesehatan reproduktif di rumah penampungan
korban bencana untuk menyediakan jasa konseling dan pemeriksaan
kesehatan untuk ibu hamil dan menyusui.
c. Melibatkan petugaspetugas konseling untuk mencegah, mengidentifikasi,
mengurangi risiko kejadian depesi pasca bencana
3. Tindakan yang sesuai untuk kelompok berisiko pada lansia
Pra bencana
a. Libatkan lansia dalam pengambilan keputusan dan sosialisasi disaster
plan di rumah
b. Mempertimbangkan kebutuhan lansia dalam perencanaan penanganan
bencana.
Menurut Ida Farida (2013) Keperawatan bencana pada lansia sebelum
bencana yakni
1) Memfasilitasi rekonstruksi komunitas
Sejak sebelum bencana dilaksanakan kegiatan penyelamatan antara
penduduk dengan cepat dan akurat, dan distribusi barang bantuan
setelah itu pun berjalan secara sistematis. Sebagai hasilnya, dilaporkan
bahwa orang lansia dan penyandang cacat yang disebut kelompok
rentan pada bencana tidak pernah diabaikan, sehingga mereka bisa
hidup di pengungsian dengan tenang.
2) Menyiapkan pemanfaatan tempat pengungsian
Diperlukan upaya untuk penyusun perencanaan pelaksanaan pelatihan
praktek dan pelatihan keperawatan supaya pemanfaatan yang realistis
dan bermanfaat akan tercapai. (Farida, Ida. 2013)
Saat bencana
a. Melakukan usaha/bantuan penyelamatan yang tidka meningkatkan risiko
kerentanan lansia, misalnya meminimalkan guncangan/trauma pada saat
melakukan mobilisasi dan transportasi untuk menghindari trauma
sekunder
b. Identifikasi lansia dengan bantuan/kebutuhan khusus contohnya kursi
roda, tongkat, dll.
Menurut Ida Farida (2013) keperawatan lansia saat bencana adalah
1) Tempat aman
Yang diprioritaskan pada saat terjadi encana adalah memindahkan
orang lansia ke tempat yang aman. Orang lansia sulit memperoleh
informasi karena penuruman daya pendengaran dan penurunan
komunikasi dengan luar
2) Rasa setia
Selain itu, karena mereka memiliki rasa setia yang dalam pada tanah
dan ruma sendiri, maka tindakan untuk mengungsi pun
berkecenderungan terlambat dibandingkan dengan generasi yang lain.
3) Penyelamatan darurat
(Triage, treatment, and transportation) dengan cepat. Fungsi indera
orang lansia yang mengalami perubahan fisik berdasarkan proses
menua, maka skala rangsangan luar untuk memunculkan respon pun
mengalami peningkatan sensitivitas sehingga mudah terkena mati rasa
Pasca Bencana
a. Program inter-generasional untuk mendukung sosialisasi komunitas
dengan lansia dan mencegah isolasi sosial lansia, diantaranya:
1) Libatkan remaja dalam pusat perawatan lansia dan kegiatan-kegiatan
sosial bersama lansia untuk memfasilitasi empati dan interaksi orang
muda dan lansia (community awareness)
2) Libatkan lansia sebagai sebagai storytellers dan animator dalam
kegiatan bersama anak-anak yang diorganisir oleh agency
perlindungan anak di posko perlindunga korban bencana
b. Menyediakan dukungan sosial melalui pengembangan jaringan sosial yang
sehat di lokasi penampungan korban bencana
c. Sediakan kesempatan belajar untuk meningkatkan pengetahuan dan skill
lansia.
d. Ciptakan kesempatan untuk mendapatkan penghasilan secara mandiri
e. Berikan konseling unuk meningkatkan semangat hidup dan kemandirian
lansia.
Menurut Ida Farida (2013) keperawatan bencana pada lansia setelah bencana
adalah
1) Lingkungan dan adaptasi
Dalam kehidupan di tempat pengungsian, terjadi berbagai
ketidakcocokan dalam kehidupan sehari-hari yang disebabkan oleh
fungsi fisik yang dibawa oleh setiap individu sebelum bencana dan
perubahan lingkungan hidup di tempat pengungsian. Kedua hal ini
saling mempengaruhi, sehingga mengakibtkan penurunan fungsi fisik
orang lansia yang lebih parah lagi.
2) Manajemen penyakit dan pencegahan penyakit sekunder
Lingkungan di tempat pengungsian mengundang tidak hanya
ketidakcocokan dalam kehidupan sehari-hari bagi orang lansia, tetapi
juga keadaan yang serius pada tubuh. Seperti penumpukan kelelahan
karena kurnag tidur dan kegelisahan.
3) Orang lanjut usia dan perawatan pada kehidupan di rumah sendiri
Lansia yang sudah kembali ke rumahnya, pertama membereskan
perabotannya di luar dan dalam rumah. Dibandingkan dengan generasi
muda, sering kali lansia tidak bisa memperoleh informasi mengenai
relawan, sehingga tidak bisa memanfaatkan tenaga tersebut dengan
optimal.
4) Lanjut usia dan perawatan di pemukiman sementara
Lansia yang masuk ke pemukiman sementara terpaksa
mengadaptasikan/menyesuaikan diri lagi terhadap lingkungan baru
(lingkungan hubungan manusia dan lingkungan fisik) dalam waktu
yang singkat
5) Mental Care
Orang lansia mengalami penurunan daya kesiapan maupun daya
adaptasi, sehingga mudah terkena dampak secara fisik oleh stressor.
Namun demikian, orang lansia itu berkecenderungan sabar dengan
diam walaupun sudah terkena dampak dan tidak mengekspresikan
perasaan dan keluhan.

4. Tindakan yang sesuai untuk kelompok berisiko pada orang dengan


kecacatan dan penyakit kronik
Menurut Ida Farida (2013) dampak bencana pada penyakit kronis
akan memberi pegaruh besar pada kehidupan dan lingkungan bagi orang-
orang dengan penyakit kronik. Terutama dalam situasi yang terpaksa hidup
di tempat pengungsian dalam waktu yang lama atau terpaksa memulai
kehidupan yang jauh berbeda dengan pra-bencana, sangat sulit mengatur dan
memanajemen penyakit seperti sebelum bencana. Walaupun sudah berhasil
selamat dari bencana dan tidak terluka sekalipun manajemen penyakit kronis
mengalami kesulitan, sehingga kemungkinan besar penyakit tersebut
kambuh dan menjadi lebih parah lagi ketika hidup di pengungsian atau
ketika memulai kehidupan sehari-hari lagi.
Berdasarkan perubahan struktur penyakit itu sendiri, timbulnya
penyakit kronis disebabkan oleh perubahan gaya hidup sehari-hari. Bagi
orang-orang yang memiliki resiko penyakit kronis, perubahan kehidupan
yang disebabkan oleh bencana akan menjadi pemicu meningkatnya penyakit
kronis seperti diabetes mellitus dan gangguan pernapasan.
Pra bencana
a. Identifikasi kelompok rentan dari kelompok individu yang cacat dan
berpenyakit kronis
b. Sediakan informasi bencana yang bisa diakses oleh orang-orang dengan
keterbatasan fisik seperti: tunarungu, tuna netra, dll
c. Perlunya diadakan pelatihan-pelatihan penanganan kegawatdaruratan
bencana bagi petugas kesehatan khusus untuk menanganni korban dengan
kebutuhan khusus (cacat dan penyakit kronis)
Menurut Ida Farida (2013) keperawatan pada fase persiapan sebelum
bencana bagi korban dengan penyakit kronik
a. Mempersiapkan catatan self-care mereka sendiri, terutama nama pasien,
alamat ketika darurat, rumah sakit, dan dokter yang merawat.
b. Membantu pasien membiasakan dii untuk mencatat mengenai isi dari obat
yang diminum, pengobatan diet, dan data olahraga
c. Memberikan pendidikan bagi pasien dan keluarganya mengenai penanganan
bencana sejak masa normal
Saat bencana
a. Sediakan alat-alat emergency dan evakuasi yang khusus untuk orang cacat
dan berpenyakit kronis (HIV/AIDS dan penyakit infeksi lainnya), alat bantu
berjalan untuk korban dengan kecacatan, alat-alat BHD sekali pakai, dll
b. Tetap menjaga dan meningkatkan kewaspadaan universal (universal
precaution) untuk petugas dalam melakukan tindakan kegawatdaruratan.
Menurut Ida Farida (2013) keperawatan bencana pada penyandang
cacat yakni:
1) Bantuan evakuasi
Saat terjadi bencana, penyandang cacat membutuhkan waktu yang lama
untuk mengevakuasi diri sehingga supaya tidak terlambat dalam mengambil
keputusan untuk melakukan evakuasi, maka informasi persiapan evakuasi
dan lain-lain perlu diberitahukan kepada penyandang cacat dan penolong
evakuasi
2) Informasi
Dalam penyampaian informasi digunakan bermacam-macam alat
disesuaikan dengan ciri-ciri penyandang cacat , misalnya internet (email,
sms, dll) dan siaran televisi untuk tuna rungu; handphone yang dapat
membaca pesan masuk untuk tuna netra; HP yag dilengkapi dengan alat
handsfree untuk tuna daksa dan sebagainya.
Pertolongan pada penyandang cacat
1) Tunadaksa adalah kebanyakan orang yang jalannya tidak stabil dan mudah
jatuh, serta orang yang memiliki keterbatasan dalam perpindahan atau
pemakai kursi roda yang tidak dapat melangkah sendirian ketika berada di
tempat yang jalannya tidak rata dan menaiki tangga. Ada yang menganggap
kursi roda seperti satu bagian dari tubuh sehingga cara mendorongnya harus
mengecek keinginan si pemakai kursi roda dan keluarga
2) Tuna netra
Dengan mengingat bahwa tuna netra mudah merasa takut karena menyadari
suasana aneh di sekitarnya, maka perlu diberitahukan tentang kondisi sekitar
rumah dan tempat aman untuk lari dan bantuan untuk pindah di tempat yang
tidak familiar. Pada waktu menolong mereka untukpindah, peganglah siku
dan pundak, atau genggamlah secara lembut pergelangannya karena
berkaitan dengan tinggi badan mereka serta berjalanlah setengah langkah di
depannya.
3) Tuna rungu
Beritahukan dengan senter ketika berkunjung ke rumahnya karena tidak
dapat menerima informasi suara. Sebagai metode komunikasi, ada bahasa
tulis, bahasa isyarat, bahasa membaca gerakan mulut lawan bicara, dll tetapi
belum tentu semuanya dapat menggunakan bahasa isyarat
4) Gangguan intelektual
Atau perkembangannya sulit dipahami oleh orang pada umunya karena
kurang mampu untuk bertanya dan mengungkapkan pendapatnya sendiri dan
seringkali mudah menjadi panik. Pada saat mereka mengulangi ucapan dan
pertanyaan yang sama dengan lawan bicara, hal itu menandakan bahwa
mereka belum mengerti sehingga gunakan kata-kata sederhana yang mudah
dimengerti (Farida, Ida. 2013).
Menurut Ida Farida (2013) keperawatan pada penyakit kronis saat
bencana adalah
1) Pada fase akut bencana ini, bisa dikatakan bahwa suatu hal yang paling
penting adalah berkeliling antara orang-orang untuk menemukan masalah
kesehatan mereka dengan cepat dan mencegah penyakit mereka memburuk.
Perawat harus mengetahui latar belakang dan riwayat pengobatan dari orang-
orang yang berada di tempat dengan mendengarkan secara seksama dan
memahami penyakit mereka yang sedang dalam proses pengobatan, sebagai
contoh diabetes dan gangguan pernapasan.
Pada fase akut yang dimulai sejak sesaat terjadinya bencana, diperkirakan
munculnya gejala khas, seperti gejala gangguan jantung, ginjal, dan
psikologis yang memburuk karena kurang kontrol kandungan gula di darah
bagi pasien diabetes, pasien penyakit gangguan pernapasan yang tidak bisa
membawa keluar peralatan tabung oksigen dari rumah
2) Penting juga perawat memberikan dukungan kepada pasien untuk
memastikan apakah mereka diperiksa dokter dan minum obat dengan teratur.
Karena banyak obat-obatan komersial akan didistribusikan ke tempat
pengungsian, maka muncullah resiko bagi pasien penyakit kronis yang
mengkonsumsi beberapa obat tersebut tanpa memperhatikan kecocokan
kombinasi antara obat tersebut dan obat yang diberikan di rumah sakit.
Pasca bencana
a. Sedapat mungkin, sediakan fasilitas yang dapat mengembalikan
kemandirian individu dengan keterbatasan fisik di lokasi evakuasi
sementara. Contohnya: kursi roda, tongkat, dll
b. Libatkan agensi-agensi yang berfokus pada perlindungan individu-
individu dengan keterbatasan fisik dan penyakit kronis
c. Rawat korban dengan penyakit kronis sesuai dengan kebutuhannya.
Menurut Ida Farida (2013) keperawatan bencana pada penyandang
cacat:
1) Kebutuhan rumah tangga.
Air minum, susu bayi, sanitasi, air bersih, dan sabun untuk MCK
(mandi, cuci, kakus), alat-alat untuk memasak, pakaian, selimut, dan
tempat tidur, pemukiman sementara dan kebutuhan budaya dan adat.
2) Kebutuhan kesehatan
Kebutuhan kesehatan umum – seperti perlengkapan medis (obat-obatan,
perban, dll), tenaga medis, pos kesehatan dan perawatan kejiwaan
3) Tempat ibadah sementara
4) Keamanan wilayah
5) Kebutuhan air
6) Kebutuhan sarana dan prasarana
Kebutuhan saranan dan prasarana yang mendesak – seperti air bersih,
MCK untuk umum, jalan ke lokasi bencana, alat komunikasi dalam
masyarakat dan pihak luar, penerangan/listrik, sekolah sementara, alat
angkut/transport, gudang penyimpanan persediaan, tempat pemukiman
sementara, pos kesehatan alat dan bahan-bahan.
Keperawatan bagi pasien diabetes:
1) Mengkonfirmasi apakan pasien yang bersangkutan harus minum obat
untuk menurunkan kandungan gula darah (contoh: insulin, dll) atau
tidak, dan identifikasi obat apa yang dimiliki pasien tersebut.
2) Mengkonfirmasi apakah pasein memiliki penyakit luka fisik atau
infeksi, dan jika ada, perlu pengamatan dan perawatan pada gejala
infeksi (untuk mencegah komplikasi kedua dari penyakit diabetes)
3) Memahami situasi manajemen diri (self-management) melalui kartu
penyakit diabetes (catatan pribadi)
4) Memberikan instruksi tertentu mengenai konsumsi obat, makanan yang
tepat, dan memberikan pedoman mengenai manajemen makanan
5) Mengatur olahraga dan relaksasi yang tepat
Keperawatan bagi pasien gangguan pernapasan kronis:
1) Konfirmasikan volume oksigen yang tepat dan mendukung untuk
pemakaian tabung oksigen untuk berjalan yang dimilikinya dengan
aman
2) Menghindari narcosis CO2 dengan menaikkan konsentrasi oksigen
karena takut peningkatan dysphemia
3) Mengatur pemasokan tabung oksigen (ventilator) dan transportasi jika
pasien tersebut tidak bisa membawa sendiri.
4) Membantu untuk manajemen obat dan olahraga yang tepat
5) Mencocokkan lingkungan yang tepat (contoh: suhu udara panas/dingin,
dan debu)
2.3 Sumber Daya yang Tersedia Dilingkungan untuk Kebutuhan Kelompok
Beresiko.

Untuk mengurangi dampak yang lebih berat akibat bencana terhadap kelompok –
kelompok beresiko saat bencana baik itu dampak jangka pendek maupun jangka
panjang, maka petugas kesehatan yang terlibat dalam penanganan encana perlu
mengidentifikasikan sumber daya apa saja yang tersedia di lngkungan yang dapat
digunakan saat bencana terjadi, diantaranya (Enarson, 2000; Federal Emergency
Management Agency (FEMA), 2010; Powers & Daily, 2010; Veenema, 2007 ) :

a. Terbentuknya desa siaga dan organisasi kemasyarakatan yang terus


mensosialisasikan kesiapsiagaan terhadap bencana terutama untuk area yang
rentan terhadap kejadian bencana.
b. Kesiapan rumah sakir atau fasilitas kesehatan menerima korban bencana dari
kelompok berisiko baik itu dari segi fasilitas maupun ketenagaan seperti :
beberapa jumlah incubator untuk bayi baru lahir, tempat tidur untuk pasien
anak, ventilator anak, fasilitas persalinan, fasilitas perawatan pasien dengan
penyakit kronis, dsb
c. Adanya symbol – symbol atau bahasa yang bisa dimengerti oleh individu-
individu dengan kecacatan tentang peringatan bencana, jalur evakuasi, lokasi
pengungsian dll.
d. Adanya system support berpa konseling dari ahli-ahli voluntir yang khusus
menangani kelompok beresiko untuk mencegah dan mengidentifikasi dini
kondisi depresi pasca bencana pada kelompok tersebut sehingga intervensi
yang sesuai dapat diberikan untuk merawat mereka.
e. Adanya agensi-agensi baik itu dari pemerintah maupun non pemerintah
(NGO) yang membantu korban bencana terutama kelompok-kelompok
beresiko seperti : agensi perlindungan anak dan perempuan, agency pelacakan
keluarga korban bencana ( tracking centre), dll.
Adanya website atau homepage bencana dan publikasi penelitian yang berisi
informasi – informasi tentang bagaimana perencanaan legawatdaruratan dan
bencana pada kelompok-kelompok dengan kebutuhan khusus dan beresiko.

D. Lingkungan yang Sesuai dengan Kebutuhan Kelompok Beresiko

Setelah kejadian bencana , adalah penting sesegera mungkin untuk


menciptakan lingkungan yang kondusif yang memungkinkan kelompok berisiko
untuk berfungsi secara mandiri sebagaimana sebelum kejadian bencana,
diantaranya (Enarson, 2000; Federal Emergency Management Agency (FEMA),
2010; Indriyani, 2014; Klynman et al., 2007; Powers & Daily, 2010; Veenema,
2007) :

a. Menciptakan kondisi/ lingkungan yang memungkinkan ibu menyusui untuk


terus memberikan ASI kepada anaknya dengan cara memberikan dukungan
moril, menyediakan konsultasi laktasi dan pencegahan depresi.
b. Membantu anak kembali melakukan aktivitas-aktivitas regular sebagaimana
sebelum kejadian bencana seperti : penjagaan kebersihan diri, belajar/
sekolah, dan bermain.
c. Melibatkan lansia dalam aktivitas-aktivitas social dan program lintas generasi
misalnya dengan remaja dan anak-anak untuk mengurangi resiko isolasi social
dan depresi.
d. Menyediakan informasi dan lingkungan yang kondusif untuk individu dengan
keterbatasan fisik, misalnya area evakuasi yang dapat diakses oleh mereka.
e. Adanya fasilitas-fasilitas perawatan untuk korban bencana dengan penyakit
kronis dan infeksi.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kelompok rentan adalah semua orang yang menghadapi hambatan atau
keterbatasan dalam menikmati standar kehidupan yang layak bagi kemanusiaan
dan berlaku umum bagi suatu masyarakat yang berperadaban. Jadi kelompok
rentan dapat didefinisikan sebagai kelompok yang harus mendapatkan
perlindungan dari pemerintah karena kondisi sosial yang sedang mereka hadapi.
Kelompok masyarakat yang rentan adalah orang lanjut usia, anak-anak,
perempuan, dan penyandang cacat. Untuk mengurangi dampak bencana pada
individu dari kelompok-kelompok rentan diatas, petugas-petugas yang terlibat
dalam perencanaan dan penanganan bencana perlu Mempersiapkan peralatan-
peralatan kesehatan sesuai dengan kebutuhan kelompok-keompok rentan
tersebut, contohnya ventilisator untuk anak, alat bantu untuk individu yang cacat,
alat-alat bantuan persalinan, dll, melakukan pemetaan kelompok-kelompok
rentan, merencanakan intervensi-intervensi untuk mengatasi hambatan informasi
dan komunikasi, menyediakan transportasi dan rumah penampungan yang dapat
diakses, menyediakan pusat bencana yang dapat diakses.
B. Saran
Dalam penulisan makalah ini, penulis menyarankan kepada para pembaca
agar memahami secara mendalam materi yang telah dipaparkan dalam makalah
ini, karena dalam kehidupan sehari-hari hal tersebut sangat bermanfaat untuk
meningkatkan taraf hidup kelompok rentan.
DAFTAR PUSTAKA

Farida, Ida. 2013. Manajemen Penanggulangan Bencana Kegiatan Belajar I:


Keperawatan Bencana pada Ibu dan Bayi. Jakarta: Badan Pengembangan dan
Pemberdayaan Sumber Daya Manusia, Pusat Pendidikan dan Pelatihan
Tenaga Kesehatan.
Farida, Ida. 2013. Manajemen Penanggulangan Bencana Kegiatan Belajar II:
Keperawatan Bencana pada Anak. Jakarta: Badan Pengembangan dan
Pemberdayaan Sumber Daya Manusia, Pusat Pendidikan dan Pelatihan
Tenaga Kesehatan.
Farida, Ida. 2013. Manajemen Penanggulangan Bencana Kegiatan Belajar IV:
Keperawatan Bencana pada Penyakit Kronik. Jakarta: Badan Pengembangan
dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia, Pusat Pendidikan dan Pelatihan
Tenaga Kesehatan.
Farida, Ida. 2013. Manajemen Penanggulangan Bencana Kegiatan Belajar V:
Keperawatan Bencana pada Penyandang Cacat. Jakarta: Badan
Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia, Pusat Pendidikan
dan Pelatihan Tenaga Kesehatan.
Indriyani, S. 2014. Bias Gender dalam Penanganan Bencana. Diakses di http:
Iskandar Husein, Perlindungan Terhadap Kelompok Rentan (Wanita, Anak,
Minoritas, Suku Terasing, dll) Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia, Makalah
Disajikan dalam Seminar Pembangunan Hukum Nasional ke VIII Tahun
2003, Denpasar, Bali, 14 - 18 Juli 2003
Kamus Besar Bahasa lndonesia, edisi ketiga, 2001, hlm. 948.
Undang-Undang No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.

Anda mungkin juga menyukai