Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kunci keberhasilan seseorang dalam menjalani hidup adalah ketika
seseorang mampu mempertahankan kondisi fisik, mental dan
emosionalnya dalam suatu kondisi yang optimal melalui pengendalian diri,
peningkatan aktualisasi diri serta selalu menggunakan mekanisme koping
yang efektif dalam menyelesaikan masalah. Setiap individu memiliki
kekuatan, martabat, tumbuh kembang, kemandirian dan merealisasikan
diri, potensi untuk berubah, kesatuan yang utuh mulai dari bio psiko sosial
dan spiritual, perilaku yang berarti, serta persepsi, pikiran, perasaan dan
gerak. Keseluruhannya merupakan suatu rangkaian yang tidak terpisahkan
(Jaya, 2015).
Menurut WHO kesehatan jiwa bukan hanya tidak ada gangguan
jiwa, melainkan mengandung berbagai karakteristik yang positif yang
menggambarkan keselarasan dan keseimbangan kejiwaan yang
mencerminkan kedewasaan kepribadiannya.
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun
2014 tentang kesehatan jiwa dalam pasal 1 menyebutkan bahwa kesehatan
jiwa adalah kondisi dimana seorang individu dapat berkembang secara
fisik, mental, spiritual, dan sosial sehingga individu tersebut menyadari
kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara
produktif, dan mampu memberikan kontribusi untuk kelompoknya.
Kesehatan jiwa adalah suatu keadaan sejahtera dikaitkan dengan
kebahagiaan, kegembiraan, kepuasan, pencapaian, optimisme, atau
harapan. Kesehatan jiwa melibatkan sejumlah kriteria yang terdapat dalam
suatu rentang. Kriteria sehat jiwa yaitu, sikap positif terhadap diri sendiri,
berkembang aktualisasi diri dan ketahanan diri, integrasi, otonomi,
persepsi sesuai realitas, dan penguasaan lingkungan (Stuart, 2017).

1
Gangguan jiwa adalah pola perilaku atau psikologis yang
ditunjukkan oleh individu yang menyebabkan distres, disfungsi, dan
menurunkan kualitas kehidupan. Hal ini mencerminkan disfungsi
psikobiologis dan bukan sebagai akibat dari penyimpangan sosial atau
konflik dengan masyarakat (Stuart, 2017).
Menurut Purnama, Yani, & Titin (2016) mengatakan gangguan
jiwa adalah seseorang yang terganggu dari segi mental dan tidak bisa
menggunakan pikirannya secara normal.
Narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang
kemerdekaan di LAPAS (Lembaga Permasyarakat). Narapidana bukan
saja objek melainkan subjek yang tidak berbeda dari manusia lainnya yang
sewaktu-waktu dapat melakukan kesalahan atau kekilafan yang dapat
dikenakan pidana, sehingga tidak harus diberantas. Oleh karenanya, yang
harus diberantas adalah factor, factor yang dapat menyebabkan narapidana
berbuat hal-hal yang bertentangan dengan hokum, kesusilaan, agama, atau
kewajiban- kewajiban sosial lain yang dapat dikarenakan pidana (Malinda,
Anggun 2016:26).
Seseorang yang terpaksa tinggal di lembaga pemasyarakatan
karena menjalani hukuman akan mempengaruhi kondisi psikologisnya.
Mereka akan mengalami kesulitan untuk menyesuaikan kehidupannya di
lembaga pemasyarakatan, tetapi mereka harus tetap mengikuti aturan-
aturan yang berlaku di lembaga pemasyarakatan. Selain itu, mereka juga
harus terpisah dari keluarganya, kehilangan barang dan jasa, kehilangan
kebebasan untuk tinggal diluar, atau kehilangan pola seksualitasnya. Hal
tersebut akan menyebabkan seseorang mendapatkan tekanan karena hidup
di dalam lembaga pemasyarakatan yang mengakibatkan mereka menjadi
stres. Jika seseorang sudah mengalami stres berat, ia akan beresiko untuk
membahayakan diri sendiri maupun orang lain bahkan dapat terjadi
percobaan bunuh diri.

2
Stres merupakan hal yang menjadi bagian dari kehidupan manusia.
Stres juga merupakan tanggapan atau reaksi tubuh terhadap berbagai
tuntutan atau beban atasnya yang bersifat non spesifik. Namun, di samping
itu stres dapat juga merupakan faktor pencetus, penyebab sekaligus akibat
dari suatu gangguan atau penyakit. Faktor-faktor psikososial cukup
mempunyai arti bagi terjadinya stres pada diri seseorang. Kehidupan
narapidana di lembaga pemasyarakatan juga selalu dijaga oleh petugas.
Seluruh aktivitas akan selalu diawasi oleh para petugas sehingga mereka
merasa kesulitan untuk beraktivitas dan selalu merasa dicurigai karena
dipantau oleh petugas. Para narapidana ini merasa dirinya tidak berguna
ketika hidup di lembaga pemasyarakatan karena tidak dapat berbuat apa-
apa. Mereka juga memikirkan kehidupan setelah keluar dari lembaga
pemasyarakatan. Mereka berpikir bahwa dirinya sudah dianggap penjahat
oleh orang-orang sekitar sehingga tidak mau untuk bersosialisasi dengan
komunitas. Mereka juga akan merasa dirinya sulit mendapatkan pekerjaan
karena masa lalunya yang pernah ditahan di lembaga pemasyarakatan dan
sudah dianggap penjahat. Ini dapat mengakibatkan mereka merasa dirinya
tidak berguna lagi sehingga akan berdampak pada psikologisnya berupa
penurunan harga diri.

Stres dan harga diri rendah sangat berhubungan dan harus segera
ditangani. Apabila stres dan harga diri rendah sudah terjadi pada seorang
individu, ini akan mempengaruhi seseorang dalam berpikir dan akan
mempengaruhi terhadap koping individu tersebut sehingga menjadi tidak
efektif. Bila kondisi seorang individu dengan stres dan harga diri tidak
ditangani lebih lanjut, akan menyebabkan individu tersebut tidak mau
bergaul dengan orang lain, yang menyebabkan mereka asik dengan dunia
dan pikirannya sendiri sehingga dapat muncul risiko perilaku kekerasan.
Selain dapat membahayakan diri sendiri, lingkungan, maupun orang lain
juga dapat terjadi percobaan bunuh diri pada individu yang mengalami
stres dan harga diri rendah.

3
Perawat sebagai profesi yang berorientasi pada manusia mempuyai
andil dalam memberikan pelayanan kesehatan di LP dalam bentuk
“Correctional setting” . perawat memberikan pelayanan secara
menyeluruh. Warga binaan memiliki hak untuk mendapatkan
kesejahteraan kesehatan baik fisik mauapun mental selama masa
pembinaan. Namun hal tersebut kurang mendapatkan perhatian.
Kenyataannya banyak narapidana yang mengalami gangguan psikologis
seperti cemas, stress, depresi dari ringan sampai berat (Butler, dkk. 2005).

4
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa pengertian pada narapidana ?
2. Apa faktor penyebab pada narapidana ?
3. Bagaimana klasifikasi pada narapidana
4. Apa masalah kesehatan pada narapidana
5. Bagaimana penatalaksanaan gangguan jiwa pada narapidana?
6. Bagaimana asuhan keperawatan pada narapidana ?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian pada narapidana
2. Untuk mengetahui faktor penyebab pada narapidana
3. Untuk mengetahui klasifikasi pada narapidana
4. Untuk mengetahui masalah kesehatan pada narapidana
5. Untuk mengetahui penatalaksanaan gangguan jiwa pada narapidana
6. Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada narapidana

5
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian
Narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang
kemerdekaan di lembaga pemasyarakatan, yaitu seseorang yang dipidana
berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
(UU No.12 Tahun 1995). Narapidana yang diterima atau masuk kedalam
lembaga pemasyarakatan maupun rumah tahanan negara wajib dilapor
yang prosesnya meliputi: pencatatan putusan pengadilan, jati diri ,barang
dan uang yang dibawa, pemeriksaan kesehatan, pembuatan pasphoto,
pengambilan sidik jari dan pembuatan berita acara serah terima terpidana.
Setiap narapidana mempunyai hak dan kewajiban yang sudah diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Narapidana yang ditahan dirutan
dengan cara tertentu menurut Undang-Undang No. 8 tahun 1981 tentang
hukum acara pidana (KUHAP) pasal 1 dilakukan selama proses
penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan untuk disidangkan di
pengadilan.Pihak-Pihak yang menahan adalah Penyidik, Penuntut Umum,
Hakim dan mahkamah agung. Pada pasal 21 KUHAP Penahanan hanya
dapat dilakukan terhadap tersangka yang melakukan tindak pidana
termasuk pencurian. Batas waktu penahanan bervariasi sejak ditahan
sampai dengan 110 hari sesuai kasus dan ketentuan yang berlaku.

2.2 Etiologi
Faktor-faktor penyebab kejahatan sehingga sesorang menjadi narapidana
adalah :
1) Faktor Ekonomi
a. Sistem Ekonomi
Sistem ekonomi baru dengan produksi besar-besaran, persaingan
bebas, menghidupkan konsumsi dengan jalan periklanan, cara
penjualan modern dan lain-lain, yaitu menimbulkan keinginan untuk

6
memiliki barang dan sekaligus mempersiapkan suatu dasar untuk
kesempatan melakukan penipuan-penipuan.
b. Pendapatan
Dalam keadaan krisis dengan banyak pengangguran dan gangguan
ekonomi nasional, upah para pekerja bukan lagi merupakan indeks
keadaan ekonomi pada umumnya. Maka dari itu perubahan-perubahan
harga pasar (market fluctuations) harus diperhatikan.
c. Di antara faktor-faktor baik secara langsung atau tidak, mempengaruhi
terjadinya kriminalitas, terutama dalam waktu- waktu krisis,
pengangguran dianggap paling penting. Bekerja terlalu muda, tak ada
pengharapan maju, pengangguran berkala yang tetap, pengangguran
biasa, berpindahnya pekerjaan dari satu tempat ke tempat yang lain,
perubahan gaji sehingga tidak mungkin membuat anggaran belanja,
kurangnya libur, sehingga dapat disimpulkan bahwa pengangguran
adalah faktor yang paling penting.
2) Faktor Mental
a. Agama
Kepercayaan hanya dapat berlaku sebagai suatu anti krimogemis bila
dihubungkan dengan pengertian dan perasaan moral yang telah
meresap secara menyeluruh. Meskipun adanya faktor-faktor negatif ,
memang merupakan fakta bahwa norma- norma etis yang secara
teratur diajarkan oleh bimbingan agama dan khususnya bersambung
pada keyakinan keagamaan yang sungguh, membangunkan secara
khusus dorongan-dorongan yang kuat untuk melawan kecenderungan-
kecenderungan kriminal.
b. Bacaan dan Film
Sering orang beranggapan bahwa bacaan jelek merupakan faktor
krimogenik yang kuat, mulai dengan roman-roman dari abad ke-18,
lalu dengan cerita-cerita dan gambar-gambar erotis dan pornografi,
buku-buku picisan lain dan akhirnya cerita- cerita detektif dengan
penjahat sebagai pahlawannya, penuh dengan kejadian berdarah.

7
Pengaruh crimogenis yang lebih langsung dari bacaan demikian ialah
gambaran suatu kejahatan tertentu dapat berpengaruh langsung dan
suatu cara teknis tertentu kemudian dapat dipraktekkan oleh si
pembaca. Harian- harian yang mengenai bacaan dan kejahatan pada
umumnya juga dapat berasal dari koran-koran. Di samping bacaan-
bacaan tersebut di atas, film (termasuk TV) dianggap menyebabkan
pertumbuhan kriminalitas tertutama kenakalan remaja akhir- akhir ini.
3) Faktor Pribadi
a. Umur
Meskipun umur penting sebagai faktor penyebab kejahatan, baik
secara yuridis maupun kriminal dan sampai suatu batas tertentu
berhubungan dengan faktor-faktor seks/kelamin dan bangsa, tapi
faktor-faktor tersebut pada akhirnya merupakan pengertian-
pengertian netral bagi kriminologi. Artinya hanya dalam kerjasamanya
dengan faktor-faktor lingkungan mereka baru memperoleh arti bagi
kriminologi. Kecenderungan untuk berbuat antisocial bertambah
selama masih sekolah dan memuncak antara umur 20 dan 25,
menurun perlahan-lahan sampai umur 40, lalu meluncur dengan cepat
untuk berhenti sama sekali pada hari tua. Kurve/garisnya tidak
berbeda pada garis aktivitas lain yang tergantung dari irama
kehidupan manusia.
b. Alkohol
Dianggap faktor penting dalam mengakibatkan kriminalitas, seperti
pelanggaran lalu lintas, kejahatan dilakukan dengan kekerasan,
pengemisan, kejahatan seks, dan penimbulan pembakaran, walaupun
alcohol merupakan faktor yang kuat, masih juga merupakan tanda
tanya, sampai berapa jauh pengaruhnya.
c. Perang
Memang sebagai akibat perang dan karena keadaan lingkungan,
seringkali terjadi bahwa orang yang tadinya patuh terhadap hukum,
melakukan kriminalitas. Kesimpulannya yaitu sesudah perang, ada

8
krisis-krisis, perpindahan rakyat ke lain lingkungan, terjadi inflasi dan
revolusi ekonomi. Di samping kemungkinan orang jadi kasar karena
perang, kepemilikan senjata api menambah bahaya akan terjadinya
perbuatan-perbuatan kriminal.

2.3 Masalah Kesehatan Narapidana


a. Kesehatan Mental
Menurut data dari Bureau of justice, 1999 kira-kira 285.000 tahanan
dilembaga pemasyarakatan mengalami gangguan jiwa. Penyakit jiwa
yang sering dijumpai adalah skozofrenia, bipolar affective disorder
dan personality disorder. Karena banyak yang mengalami ganguan
kesehatan jiwa maka pemerintah harus menyediakan pelayanan
kesehatan mental.
b. Kesehatan fisik
Perawatan kesehatan yang paling penting adalah penyakit kronis dan
penyakit menular seperti HIV, Hepatitis dan Tuberculosis.
1) HIV
Angka kejadian HIV diantara para narapidana diperkiraan 6 kali lebih
tinggi daripada populasi umum. Tingginya angka infeksi HIV ini
berkaian dengan perilaku yang beresiko tinggi seperti penggunaan
obat-obaan, sexual intercourse yang tidak aman dan pemakaian tato.
Pendekatan yang dilakukan utnuk menekan angka kejadian yaitu
dengan dilakukannya penegaan dan program pendidikan kesehatan
mengenai HIV dan AIDS.
2) Hepatitis
Hepatitis B dan C meningkat lebih tinggi dariopada populasi umum
walaupun data yang ada belum lengkap. Hal ini berkaitan dengan
penggunaan obat-obat lewat suntikan, tato, imigran dari daerah
dengan insiden hepatitis B dan C tinggi. National Commision on
Correctional Healt Care (NCCHC) menyarankan agar dilakukan
skrining pada semua tahanan dan jika diindikasikan maka harus segera

9
diberikan pengobatan. NCCHC juga merekomendasikan pendidikan
bagi semua staf dan tahanan mengenai cara penyebaran, pencegahan,
pengobatan dan kemajuan penyakit.
3) Tuberculosis
Angka TB tiga kali lebih besar di LP dibanding populasi umum. Hal
ini terkait dengan kepadatan penjara dan ventilasi yang buruk, yang
mempengaruhi penyebaran penyakit. Pada tahun 196, lembaga yang
menangani tuberculosis yaitu CC merekomendasikan pencegahan dan
pengontrolan TB di lembaga pemasyarakatan yaitu:
a) Diadakannya skrining TB bagi semua staf dan tahanan
b) Diadakan penegahan transmisi penyakit dan diberikan pengobatan
yang sesuai
c) Monitoring dan evaluasi skrining

2.4 Klasifikasi
Berdasarkan populasi narapidana yang mempunyai masalah kesehatan
pada lembaga pemasyarakatan, yaitu :
a. Wanita
Masalah kesehatan yang ada mungkin lebih komplek misalnya
tahanan wanita yang dalam keadaan hamil, meninggalkan anak dalam
pengasuhan orang lain (terpisah dari anak), korban penganiayaan dan
kekerasan social, penyalahgunaan obat terlarang. Tetapi pelayanan
kesehatan yang selama ini diberikan belum cukup maksimal untuk
memenuhi kebutuhan mereka seperti pemeriksaan ginekologi untuk
wanita hamil dan korban kekerasan seksual. NCCHC menawarkan
ketentuan-ketentuan berikut untuk pemenuhan pelayanan kesehatan :
1) LP memberikan pelayanan lengkap secara rutin termasuk pemeriksaan
ginekologi secara koprehensif.
2) Pelayanan kesehatan komprehensif meliputi kesehatan reproduksi,
korban dari penipuan, konseling berkaitan dengan peran sebagai orang
tua dan pemakaian obat- obatan dan alcohol.

10
4) Remaja
Meningkatnya jumlah remaja yang terlibat tindak kriminal membuat
mereka harus ikut dihukum dan ditahan seperti orang dewasa. Hal ini
akan menghalagi pemenuhan kebutuan untuk berkembang seperti
perkembangan fisik, emosi dan nutrisi yang dibutuhkan. Para remaja
ini akan mempunyai masalah-masalah kesehatan seperti kekerasan
seksual, penyerangan oleh tahanan lain atau tindakan bunuh diri.
Disini perawat harus memantau tingkat perkembangan dan
pengalaman mereka dan perlu waspada bahwa pada usia ini paling
rentan terkena masalah kesehatan.

2.5 Penatalaksanaan
a. Psikoterapi
Terapi kerja baik sekali untuk mendorong penderita bergaul lagi
dengan orang lain, penderita lain, perawat dan dokter. Maksudnya
supaya ia tidak mengasingkan diri lagi karena bila ia menarik diri ia
dapat membentuk kebiasaan yang kurang baik. Dianjurkan untuk
mengadakan permainan atau latihan bersama.
(Maramis,2005,hal.231).
b. Keperawatan
Terapi aktivitas kelompok dibagi empat, yaitu terapi aktivitas
kelompok stimulasi kognitif/persepsi, terapi aktivitas kelompok
stimulasi sensori, terapi aktivitas kelompok stimulasi realita dan terapi
aktivitas kelompok sosialisasi (Keliat dan Akemat,2005,hal.13). Dari
empat jenis terapi aktivitas kelompok diatas yang paling relevan
dilakukan pada individu dengan gangguan konsep diri harga diri
rendah adalah terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi.Terapi
aktivitas kelompok (TAK) stimulasi persepsi adalah terapi yang
mengunakan aktivitas sebagai stimulasi dan terkait dengan
pengalaman atau kehidupan untuk didiskusikan dalam kelompok, hasil

11
diskusi kelompok dapat berupa kesepakatan persepsi atau alternatif
penyelesaian masalah.(Keliat dan Akemat,2005).
c. Terapi kerja
Terapi kerja atau terapi okupasi adalah suatu ilmu dan seni
pengarahan partisipasi seseorang untuk melaksanakan tugas tertentu
yang telah ditetapkan. Terapi ini berfokus pada pengenalan
kemampuan yang masih ada pada seseorang, pemeliharaan dan
peningkatan bertujuan untuk membentuk seseorang agar mandiri,
tidak tergantung pada pertolongan orang lain (Riyadi dan Purwanto,
2009).
1. Terapi kerja pada narapidana laki laki
1) Pelatih binatang
Bekerja sebagai pelatih sekaligus merawat binatang- binatang
dianggap dapat membantu narapidana untuk mendapatkan terapi
secara psikologis dan menjadi lebih terlatih secara emosional.
Binatang yang dilatih tidak hanya binatang peliharaan, namun juga
binatang yang ditinggalkan atau dibuang oleh pemiliknya. Diharapkan
nantinya binatang- binatang ini juga dapat berguna di masyarakat,
sama seperti narapidana yang mendapatkan pelatihan untuk dapat
diterima dan bekerja dengan masyarakat lainnya.

2) Bidang kuliner
Dapur yang ada di penjara juga dapat dimanfaatkan sebagai pelatihan
memasak bagi para narapidana. Meskipun ada yang mendapatkan
pekerjaan sederhana seperti membuka kaleng, banyak pula yang
mendapatkan pelatihan memasak secara khusus, mulai dari membuat
menu hingga menyusun anggaran. Beberapa penjara juga bekerja
sama dengan restoran lokal untuk memberi pelatihan ini. Selain itu,
dengan pekerja di dapur, mereka tidak perlu banyak berinteraksi
dengan masyarakat yang mungkin memandang negatif.

12
3) Konseling
Meskipun Anda mungkin tidak berencana untuk berkonsultasi pada
mantan penjahat, namun di penjara, narapidana diberikan pengetahuan
mengenai rehabilitasi dan terapi konseling. Hal ini dikarenakan
narapidana memiliki pengalaman yang membuat mereka lebih
mengerti mengenai tindak kejahatan. Dengan pelatihan ini, mereka
diharapkan untuk dapat memberikan konseling dengan lebih baik
kepada orang-orang yang bermasalah berdasarkan pengalaman pribadi
mereka serta pelatihan yang mereka terima.
2. Terapi kerja pada anak
1) Keterampilan
Agar narapidana anak menjadi terampil dan juga sebagai bekal
baginya setelah kembali kemasyarakat nantinya, kepada mereka di
berikan latihan kerja. Pemberian latihan kerja ini dapat dilakukan oleh
lembaga pemasyarakatan sedangkan tempat penentuan kerja dan jenis
pekerjaan yang akan diberikan kepada narapidana ditetapkan oleh Tim
Pengamat Pemasyarakatan. Latihan kerja ini berupa latihan kerja di
bidang pertanian, Perkebunan, Pengelasan, Penjahitan dan lain
sebagainya.
3. Terapi kerja pada narapidana perempuan
Program pembentukan perilaku wirausaha narapidana di Lapas IIB
Sleman dilaksanakan melalui pembinaan soft kill dan hard skill
dengan pendekatan perilaku wirusaha. Pembinaan soft skill yang
dilaksanakan yaitu pembinaan intelektual, pembinaan kerohanian dan
pembinaan rekreatif. Pembinaan hard skill yang dilaksanakan yaitu
pembinaan keterampilan dan kemandirian melalui bimbingan
kerja.Ketrampilan khusus yang di latihkan pada naraidana perempuan
berupa ketrampilan hidup seperti pertukangan kayu, kerajinan sapu,
las listrik, batik tulis, kerajinan sangkar burung,perkebunan, dan
pembuatan souvenir.

13
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Konsep Asuhan Keperawatan Narapidana


A. Pengkajian
1. Identitas Klien
Nama : Tn. A
Umur : 24 Tahun
Alamat : Singkawang
Status Perkawinan : Belum Menikah
Agama : Islam
Suku/Bangsa : Melayu / Indonesia
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Tidak ada

2. Penanggung Jawab
Nama : Ny. P
Hubungan dengan Klien : Ibu Kandung
Alamat : Singkawang

3. Alasan Masuk
Dua bulan sebelum masuk lapas klien melakukan tindakan
pencurian.

4. Faktor Presdiposisi
1) Klien belum pernah melakukan kejahatan sebelumnya.
2) Klien dan keluarga memiliki ekonomi yang susah
3) Klien mempunyai pengalaman masa lalu yang tidak
menyenangkan yaitu ketika sekolah selalu di bully.

14
5. Pemeriksaan Fisik
1) Tanda – tanda vital
Tekanan darah : 130/80 mmHg
Nadi : 84 x/menit
Suhu : 36,5 ºC
Pernafasan : 26 x/menit
2) Ukuran
Tinggi badan : 169 cm
Berat badan : 62 Kg
3) Kondisi Fisik
Klien tidak mengeluh sakit apa – apa, tidak ada kelainan fisik.

15
B. Analisa Data
No Data Etiologi Masalah

1. Ds : Koping Individu Harga Diri


Tidak Efektif Rendah
 Klien mengatakan
teman berkurang
semenjak di lapas
 Klien malu dengan
teman karena klien
merasa tidak pantas
diantara mereka
 Klien mengatakan
malu untuk jika keluar
dari lapas karena
statusnya sebagai napi

Do :

 Klien tampak malu


saat berbicara

C. Diagnosa Keperawatan
1. Harga diri rendah b.d Koping Individu tidak efektif

16
D. Intervensi Keperawatan
No Dx.Keperawatan Tujuan Kriteria Hasil Intervensi

1. Harga Diri Tujuan Umun :  Klien mampu  SP 1


Rendah Klien dapat melakukan duduk  Lakukan pendekatan dengan
berhubungan keputusan yang efektif berdampingan baik, menerima klien apa
dengan Koping untuk mengendalikan dengan perawat adanya dan bersikap empati
Individu Tidak situasi kehidupan yang  Klien mampu  SP 2
Efektif demikian menurunkan berbincang  Bantu klien mengekspresikan
perasaan rendah diri bincang dengan perasaannya
perawat  Sediakan waktu untuk
 Klien mampu berdiskusi dan bina hubungan
merespon tindakan yang sopan.
perawat  Berikan kesempatan kepada
klien untuk merespon.

17
E. Implementasi dan Evaluasi
Tanggal / Jam No Implementasi Evaluasi
19 November  SP 1 S : Klien menjawab salam dan
2019  Melakukan pendekatan dengan baik, mengatakan selamat pagi,menyebutkan
Jam 12.30 menerima klien apa adanya dan nama dan alamat
bersikap empati
O:
 SP 2
 Membantu klien mengekspresikan  Klien mau berjabat tangan
perasaannya  Klien mau duduk berdampingan
 Menyediakan waktu untuk dengan perawat
berdiskusi dan bina hubungan yang  Klien mau mengutarakan
sopan. masalahnya
 Memberikan kesempatan kepada
A : SP 1 tercapai
klien untuk merespon.
P:

 Lanjutkan SP 2 adakan kontrak


waktu pertemuan berikutnya.
 Anjurkan klien untuk dapat
menyapa perawat jika bertemu dan
percaya jika perawat akan
membantu masalah yang dihadapi

18
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang
kemerdekaan di lembaga pemasyarakatan, yaitu seseorang yang dipidana
berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
(UU No.12 Tahun 1995). Seseorang yang terpaksa tinggal di lembaga
pemasyarakatan karena menjalani hukuman akan mempengaruhi kondisi
psikologisnya. Mereka akan mengalami kesulitan untuk menyesuaikan
kehidupannya di lembaga pemasyarakatan, tetapi mereka harus tetap
mengikuti aturan-aturan yang berlaku di lembaga pemasyarakatan. Selain
itu, mereka juga harus terpisah dari keluarganya, kehilangan barang dan
jasa, kehilangan kebebasan untuk tinggal diluar, atau kehilangan pola
seksualitasnya.
Faktor-faktor yang menyebabkan seorang menjadi narapidana
adalah faktor ekonomi, faktor mental, dan faktor pribadi. Masalah
kesehatan yang muncul pada narapidana yang berada di lapas yaitu
kesehatan mental dan fisik. Kebanyakan masalah kesehatan terjadi pada
narapidana wanita dan remaja karena adanya koping tidak efektif.
Penatalaksanaan pada narapidana yang mengalami gangguan jiwa yaitu
terapi psikoterapi, keperawatan, terapi kerja. Butler, dkk. 2005).

4.2 Saran
Sebagai tenaga profesional tindakan perawat dalam penangan
masalah keperawatan khusunya pada narapidana harus memiliki
pengetahuan yang luas dan tindakan yang dilakukan harus rasional sesuai
gejala penyakit dan asuhan keperawatan hendaknya diberikan secara
komprehensif, biopsikososial cultural dan spiritual.

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Hamzah, A. 2008. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika


2. Mardani. 2008. Penyalahgunaan Narkoba dalam perspektif hukum islam
dan Hukum. Jakarta: PT Raja Grafindo.
3. Maslim R. 2011. Diagnosis Gangguan Jiwa : Rujukan Ringkas dari PPDGJ
– III. Jakarta: Nuh Jaya.
4. Sarwono, S.W. 2010. Pengantar Psikologi Umu. Jilid ketiga. Jakarta:
Rajawali pers.

20

Anda mungkin juga menyukai