Anda di halaman 1dari 21

ETNONURSING : BERDUKA DAN KEMATIAN DALAM KONTEKS BERBAGAI

BUDAYA
Makalah ini ditulis untuk memenuhi salah satu tugas keperawatan Transkultural

Disusun oleh Kelompok 4:


1. Sri Dewi Fatimah : 1711313012
2. Putri Indah Permata : 1711313014
3. Velia Atika Areny : 1711313016
4. Minda Putri Suyafri : 1711313018
5. Anisa Yured : 1711313024
6. Rahtu Suzi Amelia : 1711313028
7. Silvia Zuela : 1711313030
8. Faizana Harjis : 1711313034
9. Fildzatil Arifa : 1711313036
10. Choriati Nuormanisa :1711313038
11. Miftahurrahmi : 1711313040
12. Nofantri Wulantika : 1711313042

JURUSAN ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS ANDALAS
2019

1
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatu


Puji syukur senantiasa kita ucapkan kepada Allah SWT karena dengan segala limpahan
rahmat dan karunia-Nya, manusia dapat mengembangkan teknologi untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya.Untuk itu dibutuhkan kemampuan untuk belajar dan berfikir sehingga kami telah
menyelesaikan tugas anatomi fisiologi organ reproduksi wanita.
Penulisan diperoleh dari beberapa sumber tentang kematian dan berduka menurut konteks
berbagai budaya.Kami sangat berharap makalah ini dapat menambah wawasan serta pengetahuan
kita mengenai kematian dan berduka menurut konteks berbagai budaya.Kami juga menyadari
sepenuhnya di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab
itu, kami berharap adanya kritik dan saran demi perbaikan makalah yang akan sayai buat di masa
yang akan datang, mengingat tidak ada yang lebih baik tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah ini dapat dipahami dapat dipahami bagi siapapun yang
membacanya.Sebelumnya saya mohon maaf apabila terdapat kata-kata yang tidak berkenan.

Padang, April 2019

Tim Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................... i

DAFTAR ISI ................................................................................................................... ii

BAB I PENDALUAN ..................................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ............................................................................................................ 1

1.2 Rumusan Masalah ....................................................................................................... 2

1.3 Tujuan Penulisan ......................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................. 3

2.1 Pengertian berduka dan kematian ............................................................................... 3

2.2 Persiapan Kematian dalam berbagai budaya ............................................................. 8

2.3 Perawatan post mortem berbagai budaya ................................................................... 14

BAB III PENUTUP ........................................................................................................ 17

3.1 Kesimpulan ................................................................................................................. 17

3.2 Saran ........................................................................................................................... 17

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 18

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kematian merupakan suatu hal yang pasti dialami oleh semua orang, tanpa terkecuali.
Setiap manusia tidak akan mengetahui kapan seseorang akan meninggal, dan setiap kelompok
masyarakat memiliki tradisi yang berbeda-beda dalam melaksanakan ritual-ritual kematian.
Kematian adalah bagian dari setiap orang dan makhluk ciptaan Tuhan, yang tidak mungkin
dihindari.Ia begitu menyengat nyawa, tidak memandang ras, ekonomi, usia, jabatan, dan Agama.

Kehilangan adalah suatu keadaan individu yang berpisah dengan sesuatu yang
sebelumnya ada, kemudian menjadi tidak ada, baik terjadi sebagian atau keseluruhan (Lambert
dan Lambert, 1985,h.35). kehilangan merupakan pengalaman yang pernah dialami oleh setiap
individu dalam rentang kehidupannya. Sejak lahir individu sudah mengalami kehilangan dan
cenderung mengalaminya kembali walaupun dalam bentuk yang berbeda.

Berduka dilihat sebagai suatu keadaan yang dinamis dan selalu berubah-ubah.Duka cita
tidak berbanding lurus dengan keadaan emosi, pikiran maupun perilaku seseorang.Pekerjaan
duka cita terdiri dari berbagai tugas yang dihubungkan dengan situasi ketika seseorang melewati
dampak dan efek dari perasaan kehilangan yang telah dialaminya.Duka cita berpoteni untuk
berlangsung tanpa batas waktu.

Kematian, kehilangan dan berduka merupakan beberapa komponen yang berhubungan


satu dan yang lainnya. Setiap individu pasti akan mengalami fase ini. Budaya salah satu faktor
yang dapat mempengaruhi kematian, kehilangan dan berduka. Setiap budaya memiliki
pandangan dan cara menghadapi tiga komponen tersebut. Tentu dengan pandangan dan cara
yang berbeda pula.

2.2 Rumusan Masalah

1. Apakah yang dimaksud dengan berduka dan kehilangan ?


2. Bagaimana persiapan kematian dalam berbagai budaya?
3. Bagaimana perawatan post mortem dalam berbagai budaya?

1
2.3 Tujuan Penulisan

Tujuan dengan adanya makalah ini ialah mengetahui pengertian dari kematian, berduka
dan kehilangan, serta pandangan berbagai budaya terhadap kematian, berduka dan kehilangan.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Berduka dan Kematian


2.1.1 Berduka
2.1.1.1. Pengertian Berduka

Berduka (grieving) merupakan reaksi emosional terhadap kehilangan. Hal ini diwujudkan
dalam berbagai cara yang unik pada masing-masing orang dan didasarkan pada pengalaman
pribadi, ekspetasi budaya, dan keyakinan spiritual yang dianutnya. Sementara itu, istilah
kehilangan (bereavement) mencakup berduka dan berkabung (mourning), yaitu perasaan di
dalam dan reaksi keluar orang yang ditinggalkan.Berkabung adalah periode penerimaan terhadap
kehilangan dan berduka.Hal ini terjadi dalam masa kehilangan dan sering dipengaruhi oleh
kebudayaan atau kebiasaan (Aziz Alimul, 2014).

Berduka merupakan respons emosional terhadap rasa kehilangan, yang dimanifestasikan


oleh individu dalam cara yang khusus, berdasarkan pengalaman personal, harapan budaya, dan
kepercayaan spiritual (Hooyman dan Kremer, 2006).

Berduka merupakan reaksi terhadap kehilangan yang merupakan respon emosional yang
normal (Suliswati, 2005). Definisi lain menyebutkan bahwa berduka, dalam hal ini dukacita
adalah proses kompleks yang normal yang mencakup respon dan perilaku emosi, fisik, spiritual,
sosial, dan intelektual ketika individu, keluarga, dan komunitas menghadapi kehilangan aktual,
kehilangan yang diantisipasi, atau persepsi kehilangan ke dalam kehidupan pasien sehari-hari
(NANDA, 2011).

Dari berbagai definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa berduka merupakan suatu reaksi
psikologis sebagai respon kehilangan sesuatu yang dimiliki yang berpengaruh terhadap perilaku
emosi, fisik, spiritual, sosial, maupun intelektual seseorang. Berduka sendiri merupakan respon
yang normal yang dihadapi setiap orang dalam menghadapi kehilangan yang dirasakan. Koping
pada proses berduka melibatkan suatu periode berkabung, penampilan, ekspresi sosial terhadap
berduka, dan perilaku berhubungan dengan rasa kehilangan. Upacara berkabung dipengaruhi
secara budaya dan seperti perilaku yang dipelajari.

3
2.1.1.2. Jenis-jenis Berduka

Penting untuk membedakan antara ekspresi berduka sebagai respons terhadap rasa
kehilangan yang normal dan sehat, yang membutuhkan dukungan dan pengakuan masyarakat;
dari berduka sebagai respons terhadap tekanan dan gangguan personal yang besar, yang
membutuhkan intervensi yang lebih itensif.Mengenali bahwa ada perbedaan antara berbagai tipe
berduka dapat membantu perawat dalam merencanakan dan menerapkan perawatan yang sesuai.
Jenis-jenis berduka terbagi atas:

1) Berduka yang Normal

Ketika individu sedang berduka, ini berarti bahwa mereka berada dalam proses
adaptasi dengan kematian orang yang dicintai. Berduka yang normal (non-komplikasi)
merupakan reaksi terhadap kematian yang paling umum terjadi. Meskipun penyebab
kematian (kekerasan, tidak diharapkan, traumatik) mengakibatkan risiko terbesar bagi
yang bertahan hidup, tetapi hal ini tidak selalu menentukan bagaimana individu akan
berduka. Gaya adaptasi (seperti daya tahan, ketabahan, dan pengontrolan diri), sama
halnya dengan kemampuan untuk merasakan kehilangan dan menemukan manfaat dari
rasa kehilangan, merupakan faktor-faktor yang telah dibuktikan dapat membantu dan
bermanfaat (Holland et al., 2006; Ong et al.,2006; Onrus et al.,2006; Matthew, 2007).
Berduka yang normal merupakan respons yang kompleks dengan emosi, kognitif, sosial,
fisik, perilaku, dan konsep spiritual.

2) Berduka Berkomplikasi

Pada sebagian kecil individu, adaptasi terhadap berduka yang normal tidak
terjadi.Pada berduka berkomplikasi (disfungsional), berduka yang dirasakan individu
berkepanjangan atau kesulitan saat ingin bergerak maju setelah mengalami rasa
kehilangan. Mengalami kehilangan orang yang dicintai, individu dengan berduka
berkomplikasi mengalami kerinduan yang kronis dan mengganggu terhadap orang yang
sudah meninggal cenderung memiliki kesulitan dalam menerima kematian, kepercayaan
orang lain, merasakan kepahitan, atau kekhawatiran akan masa depan. Mereka juga dapat
merasakan mati rasa secara emosional.

4
3) Berduka yang Diantisipasi

Seseorang akan mengalami berduka yang diantisipasi (anticipatory grief),


suatu proses pelepasan bawah sadar atau “membiarkan pergi” sebelum rasa kehilangan
aktual atau kematian terjadi, terutama terjadi dalam situasi rasa kehilangan yang
diperpanjang atau telah diperkirakan (Corless, 2006). Ketika berduka berlangsung dalam
jangka waktu yang lama, maka individu akan lebih memahami rasa kehilangan secara
bertahap dan mulai untuk mempersiapkan hal yang tidak direlakkan darinya. Mereka
mengalami respons berduka yang lebih kuat (misalnya: goncangan, penyangkalan, dan
kesedihan).

4) Berduka yang Tidak Lepas

Individu mengalami berduka yang tidak lepas (disenfranchised grief), yang


juga dikenal sebagai berduka marginal atau tidak didukung, ketika hubungan mereka
dengan orang yang sudah meninggal tidak disetujui secara sosial, tidak dapat diakui
secara terbuka didepan umum, atau terlihat kurang signifikan (Hooyman & Kremer,
2006).Contohnya kematian individu yang sudah tua, mantan suami/istri, pasangan gay,
atau bahkan hewan peliharaan yang dicintai.

5) Berduka Tertutup

Berduka yang tertutup, yaitu kedukaan akibat kehilangan yang tidak dapat diakui
secara terbuka.Contohnya, kehilangan pasangan karena AIDS, anak mengalami kematian
orang tua tiri, atau ibu yang kehilangan anaknya di kandungan atau ketika bersalin.

2.1.1.3. Respons Berduka dan Rangkain Proses Berduka

Respons berduka seseorang terhadap kehilangan dapat melalui tahap-tahap berikut


(Kubler-Ross, dalam Potter & Perry, 1997).

1) Tahap Pengingkaran.

5
Reaksi pertama individu yang mengalami kehilangan adalah syok, tidak
dipercaya, mengerti, atau mengingkari kenyataan bahwa kehilangan benar-benar terjadi.
Sebagai contoh, orang atau keluarga dari orang yang menerima diagnosis terminal akan
terus berupaya mencari informasi tambahan. Reaksi fisik yang terjadi pada tahap ini
adalah letih, lemah, pucat, mual, diare, gangguan pernapasan, detak jantung cepat,
menangis, gelisah, dan sering kali individu tidak tahu harus berbuat apa. Reaksi ini dapat
berlangsung dalam beberapa menit hingga beberapa tahun.

2) Tahap Marah

Pada tahap ini individu menolak kehilangan. Kemarahan yang timbul sering
diproyeksikan kepada orang lain atau dirinya sendiri. Orang yang mengalami kehilangan
juga tidak jarang menunjukkan perilaku agresif, berbicara kasar, menyerang orang lain,
menolak pengobatan, bahkan menuduh dokter atau perawat tidak kompeten. Respons
fisik yang sering terjadi, antara lain muka merah, denyut nadi cepat, gelisah, susah tidur,
tangan mengepal, dan seterusnya.

3) Tahap Tawar-Menawar

Pada tahap ini terjadi penundaan kesadaran atas kenyataan terjadi kehilangan
dan dapat mencoba untuk membuat kesepakatan secara halus atau terang-terangan
seolah-olah kehilangan tersebut dapat dicegah.Individu mungkin berupaya untuk
melakukan tawar-menawar dengan memohon kemurahan Tuhan.

4) Tahap Depresi

Pada tahap ini pasien sering menunjukkan sikap menarik diri, kadang-kadang
bersikap sangat penurut, tidak mau bicara, menyatakan keputusasaan, rasa tidak berharga,
bahkan bisa muncul keinginan bunuh diri. Gejala fisik yang ditunjukkan, antara lain
menolak makan, susah tidur, letih, turunnya dorongan libido, dan lain-lain.

5) Tahap Penerimaan

Tahap ini berkaitan dengan reorganisasi perasaan kehilangan. Pikiran yang


berpusat pada objek yang hilang akan mulai berkurang atau hilang. Individu telah

6
menerima kenyataan kehilangan yang dialaminya dan mulai memandang ke depan.
Gambaran tentang objek atau orang yang hilang akan mulai dilepaskan secara bertahap.
Perhatiannya akan beralih pada objek yang baru. Apabila individu dapat memulai tahap
tersebut dan menerima dengan perasaan damai, maka dia dapat mengakhiri proses
berduka serta dapat mengatasi perasaan kehilangan secara tuntas. Kegagalan untuk
masuk ke tahap penerimaan akan memengaruhi kemampuan individu tersebut dalam
mengatasi perasaan kehilangan selanjutnya.

2.1.2. Kematian
2.1.2.1. Pengertian Kematian

Kematian adalah penghentian permanen semua fungsi tubuh yang vital, akhir dari
kehidupan manusia.Lahir, menjelang ajal, dan kematian bersifat universal. Meskipun unik bagi
setiap individu, kejadian-kejadian tersebut bersifat normal dan merupakan proses hidup yang
diperlukan (Kozier, 2010).

Sihab (2008) mengatakan bahwa kematian pemutusan segala kelezatan duniawi, dia
adalah pemisah antara manusia dan pengaruh kenyamanan hidup orang- orang yang lalai

Dimensi sosial dari kematian berkaitan dengan perilaku dan perawatan sebelum
kematian, tempat letak di mana proses sebelum dan sesudah bagi kematian si mati. Penawaran
dan proses untuk memperlambat atau mempercepat kematian, tata aturan di seputar kematian,
upacara ritual dan adat istiadat setelah kematian serta pengalihan kekayaan dan pengalihan peran
sosial yang pernah menjadi tanggung jawab si mati (Hartini, 2007).

2.1.2.2. Tahap-tahap Kematian

Teori perilaku klasik Kubler Ross (1969) menggambarkan lima tahap kematian. Namun
tahap-tahap tersebut ditulis dalam suatu kondisi, individu yang berduka tidak akan
mengalaminya dalam kondisi-kondisi tertentu atau untuk waktu yang panjang dan sering
berpindah kembali dan seterusnya dari satu tahap ke tahap lainnya.

7
1) Tahap Penyangkalan (denial), individu bertindak seperti tidak terjadi sesuatu dan
menolak menerima kenyataan adanya rasa kehilangan. Individu menunjukkan seolah-olah
tidak memahami apa yang telah terjadi.
2) Tahap Kemarahan (anger),ketika individu mengalami tahap ini individu
mengungkapkan pertahanan dan terkadang merasakan kemarahan yang hebat terhadap
Tuhan, individu lain, atau situasi.
3) Tawar-menawar (bargaining), melindungi dan menunda kesadaran akan rasa kehilangan
dengan mencoba untuk mencegahnya untuk terjadi. Individu yang berduka atau sekarat
membuat janji dengan dirinya sendiri, Tuhan, atau orang yang dicintai bahwa mereka akan
hidup atau mempercayai secara berbeda jika mereka dapat dihindarkan dari kehilangan
yang menakutkan itu.
4) Tahap Depresi (depression), ketika seseorang menyadari secara keseluruhan akibat dari
rasa kehilangan, terjadilah depresi. Beberapa individu merasa sedih, putus asa, dan
kesendirian yang berlebihan. Karena mengalami hal yang buruk, mereka terkadang
menarik diri dari hubungan dan kehidupan.
5) Tahap Penerimaan (acceptance), individu memasukkan rasa kehilangan ke dalam
kehidupan dan menemukan cara untuk bergerak maju.

2.2. Persiapan Kematian Dalam Berbagai Budaya


1. Persiapan Kematian di Tana Toraja, Sulawesi Selatan
Tana Toraja mempunyai upacara adat yang biasa dilakukan yang disebut “ Rambu
Solo”. Upacara Rambu Solo merupakan sebuah upacara pemakaman. Pada upacara ini
penduduk Toraja percaya tanpa adanya upacara ritual ini maka arwah orang yang telah
meninggal akan memberikan kesialan bagi keluarga yang ditinggalkan.
Uapacara pemakaman Rambu Solo adalah serangkaian kegiatan yang rumit
terkait ikatan adat dan tradisi setempat serta memerlukan biaya yang tidak sedikit.
Persiapannya pun hingga berbulan-bulan. Selagi menunggu kesiapan upacara, jasad
tersebut dibungkus menggunakan kain yang kemudian simpan di dalam rumah leluhur
atau tongkonan.

8
Tradisi Penyimpanan Mayat
Dalam pemahaman Aluk Todolo, ketika seseorang meninggal mayatnya tidak
akan langsung dikuburkan, tetapi disimpan selama beberapa waktu sebagaimana yang
diinginkan oleh keluarga. Mayat yang disimpan ditempatkan di rumah sampai hari
pelaksanaan upacara penguburan. Lamanya penyimpanan mayat ini sangat berbeda
pelaksanaannya dari satu orang kepada orang lain. Hal ini sangat tergantung kepada
status sosial, ekonomi, dan keputusan anggota keluarga orang yang meninggal.
Semakin tinggi status sosial dan ekonomi seseorang akan semakin rumit upacara
kematiannya dalam pelaksanaan ritus-ritus sesuai dengan tradisi. Salah satu contoh acara
untuk orang dari strata sosial tinggi sebagai berikut. Ketika seseorang baru saja
meninggal dunia, jenazahnya dimandikan. Jenazah tersebut diberi pakaian yang terbaik
dan perhiasannya yang paling baik. Ritus ini disebut dipelambi’i (istilah lain yang
digunakan adalah ma’karu’dusan atau ma’karamman), satu atau dua kerbau dipotong.
Jumlah kerbau yang dipotong pada acara ini sangat menentukan jumlah kerbau yang akan
dipotong pada acara penguburan nantinya. Dua hari kemudian, ritus ma’bambangan
dilaksanakan. Jenazah dibaringkan menghadap ke barat. Sejak ritus tersebut orang yang
meninggal kemudian disebut to makula’ (orang sakit demam) atau to mamma’ (orang
yang sedang tidur). Jenazah dibungkus kain tradisional (dibalun). Setelah dibungkus,
janazah ditempatkan di kamar bagian selatan rumah yang disebut sumbung. Sejak hari itu
tidak ada lagi ritus sampai acara penguburannya. Jenazah yang sudah disimpan, yang
disebut orang sakit demam (to makula’), tetap diperlakukan sebagaimana orang hidup.
Keluarganya akan memberikan makanan, minuman, atau sirih. Hal ini dilakukan karena
ada pemahaman bahwa roh orang yang meninggal itu akan datang untuk mengkonsumsi
semua yang diberikan kepadanya sebagaimana ketika ia masih hidup

2. Persiapan Kematian Budaya Bali


Bagi orang Hindu Bali, melepas aanggota keluarga yang meninggal merupakan
sebuah upacara penghormatan layaknya sebuah pesta, dan bukanlah momen untuk larut
dalam kesedihan atau duka cita. Ritual kematian yang sudah menjadi tradisi masyarakat
Bali adalah Ngaben.Ngaben adalah upacara pembakaran jenazah yang biasa disebut
kremasi.

9
Diantara pendapat diatas, ada satu pendapat lagi yang terkait dengan pertanyaan itu.
Bahwa kata Ngaben itu berasal dari kata “api”. kata Ngaben berarti “menuju api”.
Sesungguhnya ada dua jenis api yang dipergunakan dalam upacara Ngaben yaitu Api
Sekala (kongkret) yaitu api yang dipergunakan untuk membakar jasad atau pengawak
sang mati dan Api Niskala (abstrak) yang berasal dari Weda Sang Sulinggih selaku sang
pemuput karya yang membakar kekotoran yang melekati sang roh. Proses ini disebut
mralina.

Proses Upacara Ngaben

Prosesi upacara Ngaben berlangsung selama beberapa hari dan membutuhkan


biaya hingga puluhan juta. Mahalnya biaya upacara ini membuat orang Bali tidak dapat
secara langsung menyelenggarakan Ngaben begitu kerabatnya meninggal. Umumnya
mereka menunggu beberapa saat, kadang hingga bertahun-tahun, untuk mengumpulkan
biaya. Upacara ini pun sering diselenggarakan secara massal untuk meringankan biaya.

Persiapan Ngaben dimulai dengan pengangkatan kerangka jenasah dan


pencarian air suci sejak tiga hari sebelumnya. Sementara itu, piranti upacara berupa
tiruan binatang lembu dan wadah menyerupai menara berhias kain dan janur mulai
dipersiapkan oleh anggota keluarga dan seluruh warga banjar. Konon, tinggi rendahnya
menara menunjukkan status social keluarga penyelenggara Ngaben. Dahulu para
bangsawan Bali biasanya membuat menara hingga setinggi 20 meter, bahkan lebih.

Pagi hari sebelum upacara Ngaben dimulai, segenap keluarga dan handai taulan
datang untuk melakukan penghormatan terakhir dan biasanya disajikan sekedar makan
dan minum. Sesaat sebelum upacara Ngaben, menara dan lembu yang sudah dihias atau
yang disebut dengan bade disiapkan di pinggir jalan untuk diupacarai sebelum diarak ke
setra, tempat dilangsungkannya Ngaben. Kemudian, dimulailah keriuhan dan kemeriahan
arak-arakan menara menuju setra. Bade diarak dan berputar-putar di setiap persimpangan
dengan maksud agar roh orang yang meningal itu menjadi bingung dan tidak dapat
kembali ke keluarga yang bisa menyebabkan gangguan. Dan di setiap persimpangan jalan
yang dilalui, wadah dan arak-arakan ini diputar ke empat penjuru mata angin sebanyak
tiga kali untuk mengusir roh jahat yang dapat mengganggu jalannya upacara. Alunan

10
musik gong mengiringi puluhan orang yang mengusung menara yang berisi
jenasah/kerangka. Di atas menara itu pula seorang anak/cucu lelaki tertua berdiri
membawa seekor burung sebagai simbol penghantar arwah menuju ke tempat tertinggi.

Sesampainya di tempat upacara, jasad ditaruh di punggung lembu, pendeta


mengujar doa-doa, kemudian menyalakan api perdana pada jasad. Prosesi pembakaran
dan upacara di setra ini berlangsung kurang lebih 2 jam. Setelah semuanya
menjadi abu, upacara berikutnya abu dari tulang jenazah yang telah dikumpulkan
selanjutnya dilarung ke laut atau ke sungai terdekat, dikembalikan ke air dan angin. Ini
merupakan rangkaian upacara akhir atas badan kasar orang yang meninggal, kemudian
keluarga dapat dengan tenang hati menghormati arwah tersebut di pura keluarga, dan
mendoakan arwahnya agar menemukan tempat yang layak di sisi Ida Sang Hyang Widhi
Wasa. Dan menurut keyakinan, arwah tersebut akan kembali lagi ke dunia pada masa
yang akan datang (reinkarnasi).

Status kelahiran kembali roh orang yang meninggal dunia berhubungan erat
dengan karma dan perbuatan serta tingkah laku selama hidup sebelumnya. Secara umum,
orang Bali merasakan bahwa roh yang lahir kembali ke dunia hanya bisa di dalam
lingkaran keluarga yang ada hubungan darah dengannya. Lingkaran hidup mati bagi
orang Bali adalah karena hubungannya dengan leluhurnya.

3. Persiapan Kematian dalam Suku Jawa Barat / Sunda

Ketika salah satu masyarakat suku Jawa meninggal, ritual adat istiadat pun tak lepas
mengiringi. Ritual ini dimaksudkan agar orang nan meninggal dapat mendapatkan loka
nan baik di akhirat. Sebelum mayat dibawa ke pekuburan, ada ritual spesifik nan
dilakukan oleh seluruh anggota keluarga dari si mayat. Ritual nan biasa dilakukan ialah
brobosan , yaitu melintas di bawah mayat nan sudah ditandu dengan cara berjongkok.

Ritual adat istiadat pun belum selesai hingga di situ. Ritual nan menyertai kematian ini
juga disebut dengan istilah slametan. Slametan ini dilakukan selama tujuh hari berturut-
turut dan dilakukan di malam hari. Pada setiap malam dibuat aneka jenis makanan nan
nantinya dibagi kepada orang-oarng nan datang. Bentuk acaranya dikenal dengan istilah

11
tahlilan, karena di loka itu ada pembacaan ayat-ayat Al-Quran dan juga bacaan tahlil.
Ritual ini juga memiliki tujuan buat mendoakan si mayat nan telah meninggal.

Slametan ini tak hanya dilakukan sampai tujuh hari ini saja tapi masih banyak
slametan nan menyertai kematian dari seorang suku jawa. Ada slametan empat puluh hari
nan dilakukan empat puluh hari setelah hari kematian. Dan juga slametan seratus hari
yaitu nan dilakukan seratus hari setelah kematian. Setiap tahun pun juga masih dilakukan
buat mengenang orang nan telah meninggal. Setahun pertama setelah meninggal,
biasanya, pihak keluarga nan ditinggalkan akan mengadakan selamatan pendak siji, tahun
kedua disebut dengan pendak loro, hingga pendak telu atau selamatan nan dilakukan di
tahun ketiga.

Semua slametan dilakukan oleh pihak keluarga dengan membuat aneka jenis makanan
nan nantinya dibagikan kepada tetangga terdekat atau saudara-saudar dari orang nan telah
meninggal tersebut. Hanya saja dalam melakukan aneka slametan ini membutuhkan biaya
nan tak sedikit. Mungkin bagi sebagian orang nan memiliki harta nan berlebih,
melakukan aneka slametan ini bukanlah menjadi sebuah masalah.

Justru slametan dilaksanakan dengan sangat meriah, sama halnya dengan acara
pernikahan. Dibuat aneka jenis makanan dalam jumlah nan banyak buat bisa dinikmati
oleh banyak orang pula. Namun bagi sebagian orang nan tidak memiliki banyak harta,
kadang buat melakukan aneka slametan ini bukanlah hal nan mudah dan murah buat
dilakukan.

Namun sebab mereka memahami bahwa ini ialah keharusan nan memang harus
dilakukan bagaimana pun keadaan ekonomi dari keluarga nan ditinggalkan, maka ada
sebagian dari keluarga nan justru berhutang buat bisa melaksanakan acara slametan ini.

Adat Upacara Kematian Suku Jawa Barat

A. Kematian Mendhak

Tradisi Mendhak adalah salah satu ritual dalam adat istiadat kematian budaya Jawa.
Upacara tradisional Mendhak dilaksanakan secara individu atau berkelompok untuk
memperingati kematian seseorang. Peralatan dan perlengkapan yang diperlukan untuk

12
upacara tradisional Mendhak adalah sebagai berikut: tumpeng, sega uduk, side dishes,
kolak, ketan, dan apem. Kadang-kadang, sebelum atau sesudah upacara Mendhak
dilaksanakan, sanak keluarga dapat mengunjungi makam saudara mereka.

Upacara tradisional ini dilaksanakan tiga kali dalam seribu hari setelah hari kematian:
pertama disebut Mendhak Pisan, upacara untuk memperingati satu tahun kematian (365
hari); kedua disebut Mendhak Pindho sebagai upacara peringatan dua tahun kematian;
ketiga disebut sebagai Mendhak Telu atau Pungkasan atau Nyewu Dina, yang
dilaksanakan pada hari ke seribu setelah kematian.

Menurut kepercayaan Jawa, setelah satu tahun kematian, arwah dari saudara yang
diperingati kematiannya tersebut telah memasuki dunia abadi untuk selamanya. Menurut
kepercayaan juga, untuk memasuki dunia abadi tersebut, arwah harus melalui jalan yang
sangat panjang; oleh karena itu penting sekali diadakannya beberapa upacara untuk
menemani perjalanan sang arwah.

B. Kematian surtanah

Tradisi kematian dalam adat Jawa salah sataunya adalah Upacara Surtanah yang
bertujuan agar arwah atau roh orang mati mendapat tempat yang layak di sisi Sang
Maujud Agung.

Perlengkapan upacara: – Golongan bangsawan: tumpeng asahan lengkap dengan lauk,


sayur adem (tidak pedas), pecel dengan sayatan daging ayam goreng/panggang, sambal
docang dengan kedelai yang dikupas, jangan menir, krupuk, rempeyek, tumpeng ukur-
ukuran, nasi gurih, nasi golong, dan pisang raja.

-Golongan rakyat biasa: tumpeng dengan lauknya, nasi golong, ingkung dan panggang
ayam, nasi asahan, tumpeng pungkur, tumpeng langgeng, pisang sajen, kembang
setaman, kinang, bako enak dan uang bedah bumi. Upacara ini diadakan setelah
mengubur jenazah yang dihadiri oleh keluarga, tetangga dekat, dan pemuka agama.

C. Upacara Nyewu Dina

13
Inti dari upacara ini memohon pengampunan kepada Tuhan. Perlengkapan upacara: –
Golongan bangsawan: takir pentang yang berisi lauk, nasi asahan, ketan kolak, apem,
bunga telon ditempatkan distoples dan diberi air, memotong kambing, dara/merpati,
bebek/itik, dan pelepasan burung merpati. – Golongan rakyat biasa: nasi ambengan, nasi
gurih, ketan kolak, apem, ingkung ayam, nasi golong dan bunga yang dimasukan dalam
lodong serta kemenyan. Upacara tersebut diadakan setelah maghrib dan diikuti oleh
keluarga, ulama, tetangga dan relasi.

D. Upacara Brobosan

Salah satu upacara tradisional dalam adat istiadat kematian jawa adalah upacara
Brobosan. Upacara Brobosan ini bertujuan untuk menunjukkan penghormatan dari sanak
keluarga kepada orang tua dan leluhur mereka yang telah meninggal dunia. Upacara
Brobosan diselenggarakan di halaman rumah orang yang meninggal, sebelum
dimakamkan, dan dipimpin oleh anggota keluarga yang paling tua.

Tradisi Brobosan dilangsungkan secara berurutan sebagai berikut: 1) peti mati


dibawa keluar menuju ke halaman rumah dan dijunjung tinggi ke atas setelah upacara doa
kematian selesai, 2) anak laki-laki tertua, anak perempuan, cucu laki-laki dan cucu
perempuan, berjalan berurutan melewati peti mati yang berada di atas mereka (mrobos)
selama tiga kali dan searah jarum jam, 3) urutan selalu diawali dari anak laki-laki tertua
dan keluarga inti berada di urutan pertama; anak yang lebih muda beserta keluarganya
mengikuti di belakang.

2.3 Perawatan Post Moterm Berbagai Budaya


Post moterm meaning after death yang berarti perawatan atau budaya suatu daerah
setelah kematian. Perawatan post moterm adalah perawatan yang dilakukan oleh perawat atau
seseorang setelah kematian klien yang dinyatakan meninggal secara medis oleh tim medis.
Tujuan utama post moterm menurut johson untuk memepersiapkan jenazah klien untuk
dilihat oleh anggota keluarga dan dibawa kerumah duka atau kamar jenazah.

1) Perawatan post moterm dalam budaya bali

14
Upacara pembakaran mayat atau kremasi di bali disebut Ngaben. Ngaben adalah
upacara kematian yang terdiri dari rangkaian kegiatan yang rumit. Ngaben lebih jauh
tidak hanya bermakna sebagai akhir kehidupan manusia dibumi, melainkan awal dari
kehidupan itu sendiri. Di bali saat ini, pembakaran mayat merupakan kebiasaan paling
umum dilakukan untu merawat orang mati, meski didahului penguburan selama
berbulan-bulan dan keluarganya mengumpulkan hal-hal yang diperlukan. Mereka
mengadakan perjamuan mewah bagi para tamu dan menggelar serangkaian upacra
dengan perlengkapan seperti menara yang indah yang akan membawa mayat ketempat
pengabuan.
2) Perawatan post moterm dalam budaya jawa
Selamatan atau slametan merupakan unsur dominan dalam upacara adat jawa.
Acara ini biasanya diadakan secara lesehan, dengan hidangan berupa nasi tumpeng
lengkap dengan lauk-pauk. Upacara ngesur tanah dilakukan pada hari meninggalnya si
mendiang. Upacara ini menandai bergesernya kehidupan fana ke alam baka. Sajian
upacara ngesur tanah antara lain nasi gurih, ingkung, urap, cabai merah utuh, bawang
merah, bunga kenanga, garam halus dan tumpeng yang dibelah.

3) Perawatan post moterm dalam budaya papua


Setelah dinyatakan meninggal, setiap daerah yang mempunyai budaya atau adat
istiadat sendiri Dalam perawatan sesorang yang sudah meninggal. Apabila dipapua
perawatan orang meninggal dengan cara memandikannya dan menghias orang yang
meninggal tersebut.

4) Perawatan post mortem dalam budaya minang


Budaya minang lebih ke syariat islam, Setelah seseorang meninggal perawatan
yang dilakukan dengan memandikan jenazah, lalu mengkafani jenazah dengan kain
putih. Tergantung jenis kelamin jika jenazah perempuan memakai kain kafan sebnayak
7 helai dan jenazah laki – laki memakai kain kafan sebanyak 5 helai.Setelah itu baru
dilakukan penyolaytan dan penguburan.Untuk perawatan khusus bagi orang meninggal
sebenarnya tidak ada

15
5) Perawatan post mortem dalam budaya batak
Dalam tradisi batak, orang mati akan mengalami perlakuan khusus, terangkum
dalam sebuah upacara Saur Matua dikalangan masyarakat batak Kristen. Ketika
seorang masyarakat batak mati saur matua, maka sewajarnya pihak-pihak kerabat
sesegera mungkin mengadakan musyawarah keluarga, mebahas persiapan pengadaan
upacara saur matua. Pelaksanaan upacara bergantung pada lamanya mayat
disemayamkan idealnya diadakan ketika seluruh keluarga telah hadir. Namun karna
telah banyak saudara- saudara yang merantau, sering terpaksa berhari-hari menunda
pelaksanaan upacara demi menunggu kedatangan anak-anaknya yang telah berdomisili
jauh. Pada hari yang sudah ditentukan, upacara saur metua dilaksanakan pada siang
hari, diruangan terbuka yang cukup luas. Jenazah yang telah dimasukan kedalam peti
diletakkan ditengah-tengah seluruh anak dan cucu. Dengan posisi peti bagian kaki
mengarah ke pintu keluar rumah, disebelah kanan peti jenazah adalah anak-anak lelaki
dengan para istri dan anaknya masing-masing, dan disebelah kiri adalah anak-anak
perempuan dan para suami dan anaknya masing-masing. Disinilah mulai rangkaian
upacara saur matua. Ketika seluruh pelayat dar kalangan masyarakat adat telah datang.
Jamuan makan merupakan kesempatan pihak penyelenggara upacara menyediakan
hidangan kepada para pelayat berupa nasi dengan lauk berupa hewan kurban (sapi atau
babi). Setelah jamuan makan, dilakukan ritual pembagian jambar (hak bagian atau hak
perolehan dari milik bersama).

16
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Berduka (grieving) merupakan reaksi emosional terhadap kehilangan. Hal ini diwujudkan
dalam berbagai cara yang unik pada masing-masing orang dan didasarkan pada pengalaman
pribadi, ekspetasi budaya, dan keyakinan spiritual yang dianutnya. Jenis-jenis Berduka :Berduka
yang Normal, Berduka Berkomplikasi, Berduka yang Diantisipasi, Berduka yang Tidak Lepas ,
Berduka Tertutup

Kematian adalah penghentian permanen semua fungsi tubuh yang vital, akhir dari kehidupan
manusia.Lahir, menjelang ajal, dan kematian bersifat universal. Meskipun unik bagi setiap
individu, kejadian-kejadian tersebut bersifat normal dan merupakan proses hidup yang
diperlukan (Kozier, 2010). Tahap-tahap kematian : Tahap Penyangkalan (denial), Tahap
Kemarahan (anger), Tawar-menawar (bargaining), Tahap Depresi (depression), Tahap
Penerimaan (acceptance).

3.2. Saran

Banyak hal yang dilakukan berbagai orang dalam mengekspresikan kesedihan mereka ketika
seseorang yang mereka sayangi telah meninggal. Kita tidak bisa menyalahkan suatu budaya
dalam mengekspresikan rasa duka cita yang mereka rasakan karena hal tersebut adalah budaya
yang telah mereka anut sedari dulu.

17
DAFTAR PUSTAKA

Alimul, Aziz.2014.Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia Buku 1 Edisi 2.Jakarta: Salemba

Medika

Cornelius K,dkk. 2002. At a Glance Psikiatri. Jakarta: Penerbit Erlangga


Direja A.H.S.2011. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa.Yogyakarta: Nuha Medika
Potter, A. Patricia dan Anne G. Perry. 2010. Fundamental Keperawatan, Edisi 7 Buku 2.
Singapore: Elsevier.

Hutagalung, L. M. (2009). Ngaben Upacara Kematian Sebagai salah Satu Atraksi Wisata Budaya
Bali. USU Repository .

Ismail Banne Ringgi, I. S. (2015). Pemyimpanan Mayat. Prosiding Seminar Nasional .

18

Anda mungkin juga menyukai