BUDAYA
Makalah ini ditulis untuk memenuhi salah satu tugas keperawatan Transkultural
1
KATA PENGANTAR
Tim Penulis
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Kematian merupakan suatu hal yang pasti dialami oleh semua orang, tanpa terkecuali.
Setiap manusia tidak akan mengetahui kapan seseorang akan meninggal, dan setiap kelompok
masyarakat memiliki tradisi yang berbeda-beda dalam melaksanakan ritual-ritual kematian.
Kematian adalah bagian dari setiap orang dan makhluk ciptaan Tuhan, yang tidak mungkin
dihindari.Ia begitu menyengat nyawa, tidak memandang ras, ekonomi, usia, jabatan, dan Agama.
Kehilangan adalah suatu keadaan individu yang berpisah dengan sesuatu yang
sebelumnya ada, kemudian menjadi tidak ada, baik terjadi sebagian atau keseluruhan (Lambert
dan Lambert, 1985,h.35). kehilangan merupakan pengalaman yang pernah dialami oleh setiap
individu dalam rentang kehidupannya. Sejak lahir individu sudah mengalami kehilangan dan
cenderung mengalaminya kembali walaupun dalam bentuk yang berbeda.
Berduka dilihat sebagai suatu keadaan yang dinamis dan selalu berubah-ubah.Duka cita
tidak berbanding lurus dengan keadaan emosi, pikiran maupun perilaku seseorang.Pekerjaan
duka cita terdiri dari berbagai tugas yang dihubungkan dengan situasi ketika seseorang melewati
dampak dan efek dari perasaan kehilangan yang telah dialaminya.Duka cita berpoteni untuk
berlangsung tanpa batas waktu.
1
2.3 Tujuan Penulisan
Tujuan dengan adanya makalah ini ialah mengetahui pengertian dari kematian, berduka
dan kehilangan, serta pandangan berbagai budaya terhadap kematian, berduka dan kehilangan.
2
BAB II
PEMBAHASAN
Berduka (grieving) merupakan reaksi emosional terhadap kehilangan. Hal ini diwujudkan
dalam berbagai cara yang unik pada masing-masing orang dan didasarkan pada pengalaman
pribadi, ekspetasi budaya, dan keyakinan spiritual yang dianutnya. Sementara itu, istilah
kehilangan (bereavement) mencakup berduka dan berkabung (mourning), yaitu perasaan di
dalam dan reaksi keluar orang yang ditinggalkan.Berkabung adalah periode penerimaan terhadap
kehilangan dan berduka.Hal ini terjadi dalam masa kehilangan dan sering dipengaruhi oleh
kebudayaan atau kebiasaan (Aziz Alimul, 2014).
Berduka merupakan reaksi terhadap kehilangan yang merupakan respon emosional yang
normal (Suliswati, 2005). Definisi lain menyebutkan bahwa berduka, dalam hal ini dukacita
adalah proses kompleks yang normal yang mencakup respon dan perilaku emosi, fisik, spiritual,
sosial, dan intelektual ketika individu, keluarga, dan komunitas menghadapi kehilangan aktual,
kehilangan yang diantisipasi, atau persepsi kehilangan ke dalam kehidupan pasien sehari-hari
(NANDA, 2011).
Dari berbagai definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa berduka merupakan suatu reaksi
psikologis sebagai respon kehilangan sesuatu yang dimiliki yang berpengaruh terhadap perilaku
emosi, fisik, spiritual, sosial, maupun intelektual seseorang. Berduka sendiri merupakan respon
yang normal yang dihadapi setiap orang dalam menghadapi kehilangan yang dirasakan. Koping
pada proses berduka melibatkan suatu periode berkabung, penampilan, ekspresi sosial terhadap
berduka, dan perilaku berhubungan dengan rasa kehilangan. Upacara berkabung dipengaruhi
secara budaya dan seperti perilaku yang dipelajari.
3
2.1.1.2. Jenis-jenis Berduka
Penting untuk membedakan antara ekspresi berduka sebagai respons terhadap rasa
kehilangan yang normal dan sehat, yang membutuhkan dukungan dan pengakuan masyarakat;
dari berduka sebagai respons terhadap tekanan dan gangguan personal yang besar, yang
membutuhkan intervensi yang lebih itensif.Mengenali bahwa ada perbedaan antara berbagai tipe
berduka dapat membantu perawat dalam merencanakan dan menerapkan perawatan yang sesuai.
Jenis-jenis berduka terbagi atas:
Ketika individu sedang berduka, ini berarti bahwa mereka berada dalam proses
adaptasi dengan kematian orang yang dicintai. Berduka yang normal (non-komplikasi)
merupakan reaksi terhadap kematian yang paling umum terjadi. Meskipun penyebab
kematian (kekerasan, tidak diharapkan, traumatik) mengakibatkan risiko terbesar bagi
yang bertahan hidup, tetapi hal ini tidak selalu menentukan bagaimana individu akan
berduka. Gaya adaptasi (seperti daya tahan, ketabahan, dan pengontrolan diri), sama
halnya dengan kemampuan untuk merasakan kehilangan dan menemukan manfaat dari
rasa kehilangan, merupakan faktor-faktor yang telah dibuktikan dapat membantu dan
bermanfaat (Holland et al., 2006; Ong et al.,2006; Onrus et al.,2006; Matthew, 2007).
Berduka yang normal merupakan respons yang kompleks dengan emosi, kognitif, sosial,
fisik, perilaku, dan konsep spiritual.
2) Berduka Berkomplikasi
Pada sebagian kecil individu, adaptasi terhadap berduka yang normal tidak
terjadi.Pada berduka berkomplikasi (disfungsional), berduka yang dirasakan individu
berkepanjangan atau kesulitan saat ingin bergerak maju setelah mengalami rasa
kehilangan. Mengalami kehilangan orang yang dicintai, individu dengan berduka
berkomplikasi mengalami kerinduan yang kronis dan mengganggu terhadap orang yang
sudah meninggal cenderung memiliki kesulitan dalam menerima kematian, kepercayaan
orang lain, merasakan kepahitan, atau kekhawatiran akan masa depan. Mereka juga dapat
merasakan mati rasa secara emosional.
4
3) Berduka yang Diantisipasi
5) Berduka Tertutup
Berduka yang tertutup, yaitu kedukaan akibat kehilangan yang tidak dapat diakui
secara terbuka.Contohnya, kehilangan pasangan karena AIDS, anak mengalami kematian
orang tua tiri, atau ibu yang kehilangan anaknya di kandungan atau ketika bersalin.
1) Tahap Pengingkaran.
5
Reaksi pertama individu yang mengalami kehilangan adalah syok, tidak
dipercaya, mengerti, atau mengingkari kenyataan bahwa kehilangan benar-benar terjadi.
Sebagai contoh, orang atau keluarga dari orang yang menerima diagnosis terminal akan
terus berupaya mencari informasi tambahan. Reaksi fisik yang terjadi pada tahap ini
adalah letih, lemah, pucat, mual, diare, gangguan pernapasan, detak jantung cepat,
menangis, gelisah, dan sering kali individu tidak tahu harus berbuat apa. Reaksi ini dapat
berlangsung dalam beberapa menit hingga beberapa tahun.
2) Tahap Marah
Pada tahap ini individu menolak kehilangan. Kemarahan yang timbul sering
diproyeksikan kepada orang lain atau dirinya sendiri. Orang yang mengalami kehilangan
juga tidak jarang menunjukkan perilaku agresif, berbicara kasar, menyerang orang lain,
menolak pengobatan, bahkan menuduh dokter atau perawat tidak kompeten. Respons
fisik yang sering terjadi, antara lain muka merah, denyut nadi cepat, gelisah, susah tidur,
tangan mengepal, dan seterusnya.
3) Tahap Tawar-Menawar
Pada tahap ini terjadi penundaan kesadaran atas kenyataan terjadi kehilangan
dan dapat mencoba untuk membuat kesepakatan secara halus atau terang-terangan
seolah-olah kehilangan tersebut dapat dicegah.Individu mungkin berupaya untuk
melakukan tawar-menawar dengan memohon kemurahan Tuhan.
4) Tahap Depresi
Pada tahap ini pasien sering menunjukkan sikap menarik diri, kadang-kadang
bersikap sangat penurut, tidak mau bicara, menyatakan keputusasaan, rasa tidak berharga,
bahkan bisa muncul keinginan bunuh diri. Gejala fisik yang ditunjukkan, antara lain
menolak makan, susah tidur, letih, turunnya dorongan libido, dan lain-lain.
5) Tahap Penerimaan
6
menerima kenyataan kehilangan yang dialaminya dan mulai memandang ke depan.
Gambaran tentang objek atau orang yang hilang akan mulai dilepaskan secara bertahap.
Perhatiannya akan beralih pada objek yang baru. Apabila individu dapat memulai tahap
tersebut dan menerima dengan perasaan damai, maka dia dapat mengakhiri proses
berduka serta dapat mengatasi perasaan kehilangan secara tuntas. Kegagalan untuk
masuk ke tahap penerimaan akan memengaruhi kemampuan individu tersebut dalam
mengatasi perasaan kehilangan selanjutnya.
2.1.2. Kematian
2.1.2.1. Pengertian Kematian
Kematian adalah penghentian permanen semua fungsi tubuh yang vital, akhir dari
kehidupan manusia.Lahir, menjelang ajal, dan kematian bersifat universal. Meskipun unik bagi
setiap individu, kejadian-kejadian tersebut bersifat normal dan merupakan proses hidup yang
diperlukan (Kozier, 2010).
Sihab (2008) mengatakan bahwa kematian pemutusan segala kelezatan duniawi, dia
adalah pemisah antara manusia dan pengaruh kenyamanan hidup orang- orang yang lalai
Dimensi sosial dari kematian berkaitan dengan perilaku dan perawatan sebelum
kematian, tempat letak di mana proses sebelum dan sesudah bagi kematian si mati. Penawaran
dan proses untuk memperlambat atau mempercepat kematian, tata aturan di seputar kematian,
upacara ritual dan adat istiadat setelah kematian serta pengalihan kekayaan dan pengalihan peran
sosial yang pernah menjadi tanggung jawab si mati (Hartini, 2007).
Teori perilaku klasik Kubler Ross (1969) menggambarkan lima tahap kematian. Namun
tahap-tahap tersebut ditulis dalam suatu kondisi, individu yang berduka tidak akan
mengalaminya dalam kondisi-kondisi tertentu atau untuk waktu yang panjang dan sering
berpindah kembali dan seterusnya dari satu tahap ke tahap lainnya.
7
1) Tahap Penyangkalan (denial), individu bertindak seperti tidak terjadi sesuatu dan
menolak menerima kenyataan adanya rasa kehilangan. Individu menunjukkan seolah-olah
tidak memahami apa yang telah terjadi.
2) Tahap Kemarahan (anger),ketika individu mengalami tahap ini individu
mengungkapkan pertahanan dan terkadang merasakan kemarahan yang hebat terhadap
Tuhan, individu lain, atau situasi.
3) Tawar-menawar (bargaining), melindungi dan menunda kesadaran akan rasa kehilangan
dengan mencoba untuk mencegahnya untuk terjadi. Individu yang berduka atau sekarat
membuat janji dengan dirinya sendiri, Tuhan, atau orang yang dicintai bahwa mereka akan
hidup atau mempercayai secara berbeda jika mereka dapat dihindarkan dari kehilangan
yang menakutkan itu.
4) Tahap Depresi (depression), ketika seseorang menyadari secara keseluruhan akibat dari
rasa kehilangan, terjadilah depresi. Beberapa individu merasa sedih, putus asa, dan
kesendirian yang berlebihan. Karena mengalami hal yang buruk, mereka terkadang
menarik diri dari hubungan dan kehidupan.
5) Tahap Penerimaan (acceptance), individu memasukkan rasa kehilangan ke dalam
kehidupan dan menemukan cara untuk bergerak maju.
8
Tradisi Penyimpanan Mayat
Dalam pemahaman Aluk Todolo, ketika seseorang meninggal mayatnya tidak
akan langsung dikuburkan, tetapi disimpan selama beberapa waktu sebagaimana yang
diinginkan oleh keluarga. Mayat yang disimpan ditempatkan di rumah sampai hari
pelaksanaan upacara penguburan. Lamanya penyimpanan mayat ini sangat berbeda
pelaksanaannya dari satu orang kepada orang lain. Hal ini sangat tergantung kepada
status sosial, ekonomi, dan keputusan anggota keluarga orang yang meninggal.
Semakin tinggi status sosial dan ekonomi seseorang akan semakin rumit upacara
kematiannya dalam pelaksanaan ritus-ritus sesuai dengan tradisi. Salah satu contoh acara
untuk orang dari strata sosial tinggi sebagai berikut. Ketika seseorang baru saja
meninggal dunia, jenazahnya dimandikan. Jenazah tersebut diberi pakaian yang terbaik
dan perhiasannya yang paling baik. Ritus ini disebut dipelambi’i (istilah lain yang
digunakan adalah ma’karu’dusan atau ma’karamman), satu atau dua kerbau dipotong.
Jumlah kerbau yang dipotong pada acara ini sangat menentukan jumlah kerbau yang akan
dipotong pada acara penguburan nantinya. Dua hari kemudian, ritus ma’bambangan
dilaksanakan. Jenazah dibaringkan menghadap ke barat. Sejak ritus tersebut orang yang
meninggal kemudian disebut to makula’ (orang sakit demam) atau to mamma’ (orang
yang sedang tidur). Jenazah dibungkus kain tradisional (dibalun). Setelah dibungkus,
janazah ditempatkan di kamar bagian selatan rumah yang disebut sumbung. Sejak hari itu
tidak ada lagi ritus sampai acara penguburannya. Jenazah yang sudah disimpan, yang
disebut orang sakit demam (to makula’), tetap diperlakukan sebagaimana orang hidup.
Keluarganya akan memberikan makanan, minuman, atau sirih. Hal ini dilakukan karena
ada pemahaman bahwa roh orang yang meninggal itu akan datang untuk mengkonsumsi
semua yang diberikan kepadanya sebagaimana ketika ia masih hidup
9
Diantara pendapat diatas, ada satu pendapat lagi yang terkait dengan pertanyaan itu.
Bahwa kata Ngaben itu berasal dari kata “api”. kata Ngaben berarti “menuju api”.
Sesungguhnya ada dua jenis api yang dipergunakan dalam upacara Ngaben yaitu Api
Sekala (kongkret) yaitu api yang dipergunakan untuk membakar jasad atau pengawak
sang mati dan Api Niskala (abstrak) yang berasal dari Weda Sang Sulinggih selaku sang
pemuput karya yang membakar kekotoran yang melekati sang roh. Proses ini disebut
mralina.
Pagi hari sebelum upacara Ngaben dimulai, segenap keluarga dan handai taulan
datang untuk melakukan penghormatan terakhir dan biasanya disajikan sekedar makan
dan minum. Sesaat sebelum upacara Ngaben, menara dan lembu yang sudah dihias atau
yang disebut dengan bade disiapkan di pinggir jalan untuk diupacarai sebelum diarak ke
setra, tempat dilangsungkannya Ngaben. Kemudian, dimulailah keriuhan dan kemeriahan
arak-arakan menara menuju setra. Bade diarak dan berputar-putar di setiap persimpangan
dengan maksud agar roh orang yang meningal itu menjadi bingung dan tidak dapat
kembali ke keluarga yang bisa menyebabkan gangguan. Dan di setiap persimpangan jalan
yang dilalui, wadah dan arak-arakan ini diputar ke empat penjuru mata angin sebanyak
tiga kali untuk mengusir roh jahat yang dapat mengganggu jalannya upacara. Alunan
10
musik gong mengiringi puluhan orang yang mengusung menara yang berisi
jenasah/kerangka. Di atas menara itu pula seorang anak/cucu lelaki tertua berdiri
membawa seekor burung sebagai simbol penghantar arwah menuju ke tempat tertinggi.
Status kelahiran kembali roh orang yang meninggal dunia berhubungan erat
dengan karma dan perbuatan serta tingkah laku selama hidup sebelumnya. Secara umum,
orang Bali merasakan bahwa roh yang lahir kembali ke dunia hanya bisa di dalam
lingkaran keluarga yang ada hubungan darah dengannya. Lingkaran hidup mati bagi
orang Bali adalah karena hubungannya dengan leluhurnya.
Ketika salah satu masyarakat suku Jawa meninggal, ritual adat istiadat pun tak lepas
mengiringi. Ritual ini dimaksudkan agar orang nan meninggal dapat mendapatkan loka
nan baik di akhirat. Sebelum mayat dibawa ke pekuburan, ada ritual spesifik nan
dilakukan oleh seluruh anggota keluarga dari si mayat. Ritual nan biasa dilakukan ialah
brobosan , yaitu melintas di bawah mayat nan sudah ditandu dengan cara berjongkok.
Ritual adat istiadat pun belum selesai hingga di situ. Ritual nan menyertai kematian ini
juga disebut dengan istilah slametan. Slametan ini dilakukan selama tujuh hari berturut-
turut dan dilakukan di malam hari. Pada setiap malam dibuat aneka jenis makanan nan
nantinya dibagi kepada orang-oarng nan datang. Bentuk acaranya dikenal dengan istilah
11
tahlilan, karena di loka itu ada pembacaan ayat-ayat Al-Quran dan juga bacaan tahlil.
Ritual ini juga memiliki tujuan buat mendoakan si mayat nan telah meninggal.
Slametan ini tak hanya dilakukan sampai tujuh hari ini saja tapi masih banyak
slametan nan menyertai kematian dari seorang suku jawa. Ada slametan empat puluh hari
nan dilakukan empat puluh hari setelah hari kematian. Dan juga slametan seratus hari
yaitu nan dilakukan seratus hari setelah kematian. Setiap tahun pun juga masih dilakukan
buat mengenang orang nan telah meninggal. Setahun pertama setelah meninggal,
biasanya, pihak keluarga nan ditinggalkan akan mengadakan selamatan pendak siji, tahun
kedua disebut dengan pendak loro, hingga pendak telu atau selamatan nan dilakukan di
tahun ketiga.
Semua slametan dilakukan oleh pihak keluarga dengan membuat aneka jenis makanan
nan nantinya dibagikan kepada tetangga terdekat atau saudara-saudar dari orang nan telah
meninggal tersebut. Hanya saja dalam melakukan aneka slametan ini membutuhkan biaya
nan tak sedikit. Mungkin bagi sebagian orang nan memiliki harta nan berlebih,
melakukan aneka slametan ini bukanlah menjadi sebuah masalah.
Justru slametan dilaksanakan dengan sangat meriah, sama halnya dengan acara
pernikahan. Dibuat aneka jenis makanan dalam jumlah nan banyak buat bisa dinikmati
oleh banyak orang pula. Namun bagi sebagian orang nan tidak memiliki banyak harta,
kadang buat melakukan aneka slametan ini bukanlah hal nan mudah dan murah buat
dilakukan.
Namun sebab mereka memahami bahwa ini ialah keharusan nan memang harus
dilakukan bagaimana pun keadaan ekonomi dari keluarga nan ditinggalkan, maka ada
sebagian dari keluarga nan justru berhutang buat bisa melaksanakan acara slametan ini.
A. Kematian Mendhak
Tradisi Mendhak adalah salah satu ritual dalam adat istiadat kematian budaya Jawa.
Upacara tradisional Mendhak dilaksanakan secara individu atau berkelompok untuk
memperingati kematian seseorang. Peralatan dan perlengkapan yang diperlukan untuk
12
upacara tradisional Mendhak adalah sebagai berikut: tumpeng, sega uduk, side dishes,
kolak, ketan, dan apem. Kadang-kadang, sebelum atau sesudah upacara Mendhak
dilaksanakan, sanak keluarga dapat mengunjungi makam saudara mereka.
Upacara tradisional ini dilaksanakan tiga kali dalam seribu hari setelah hari kematian:
pertama disebut Mendhak Pisan, upacara untuk memperingati satu tahun kematian (365
hari); kedua disebut Mendhak Pindho sebagai upacara peringatan dua tahun kematian;
ketiga disebut sebagai Mendhak Telu atau Pungkasan atau Nyewu Dina, yang
dilaksanakan pada hari ke seribu setelah kematian.
Menurut kepercayaan Jawa, setelah satu tahun kematian, arwah dari saudara yang
diperingati kematiannya tersebut telah memasuki dunia abadi untuk selamanya. Menurut
kepercayaan juga, untuk memasuki dunia abadi tersebut, arwah harus melalui jalan yang
sangat panjang; oleh karena itu penting sekali diadakannya beberapa upacara untuk
menemani perjalanan sang arwah.
B. Kematian surtanah
Tradisi kematian dalam adat Jawa salah sataunya adalah Upacara Surtanah yang
bertujuan agar arwah atau roh orang mati mendapat tempat yang layak di sisi Sang
Maujud Agung.
-Golongan rakyat biasa: tumpeng dengan lauknya, nasi golong, ingkung dan panggang
ayam, nasi asahan, tumpeng pungkur, tumpeng langgeng, pisang sajen, kembang
setaman, kinang, bako enak dan uang bedah bumi. Upacara ini diadakan setelah
mengubur jenazah yang dihadiri oleh keluarga, tetangga dekat, dan pemuka agama.
13
Inti dari upacara ini memohon pengampunan kepada Tuhan. Perlengkapan upacara: –
Golongan bangsawan: takir pentang yang berisi lauk, nasi asahan, ketan kolak, apem,
bunga telon ditempatkan distoples dan diberi air, memotong kambing, dara/merpati,
bebek/itik, dan pelepasan burung merpati. – Golongan rakyat biasa: nasi ambengan, nasi
gurih, ketan kolak, apem, ingkung ayam, nasi golong dan bunga yang dimasukan dalam
lodong serta kemenyan. Upacara tersebut diadakan setelah maghrib dan diikuti oleh
keluarga, ulama, tetangga dan relasi.
D. Upacara Brobosan
Salah satu upacara tradisional dalam adat istiadat kematian jawa adalah upacara
Brobosan. Upacara Brobosan ini bertujuan untuk menunjukkan penghormatan dari sanak
keluarga kepada orang tua dan leluhur mereka yang telah meninggal dunia. Upacara
Brobosan diselenggarakan di halaman rumah orang yang meninggal, sebelum
dimakamkan, dan dipimpin oleh anggota keluarga yang paling tua.
14
Upacara pembakaran mayat atau kremasi di bali disebut Ngaben. Ngaben adalah
upacara kematian yang terdiri dari rangkaian kegiatan yang rumit. Ngaben lebih jauh
tidak hanya bermakna sebagai akhir kehidupan manusia dibumi, melainkan awal dari
kehidupan itu sendiri. Di bali saat ini, pembakaran mayat merupakan kebiasaan paling
umum dilakukan untu merawat orang mati, meski didahului penguburan selama
berbulan-bulan dan keluarganya mengumpulkan hal-hal yang diperlukan. Mereka
mengadakan perjamuan mewah bagi para tamu dan menggelar serangkaian upacra
dengan perlengkapan seperti menara yang indah yang akan membawa mayat ketempat
pengabuan.
2) Perawatan post moterm dalam budaya jawa
Selamatan atau slametan merupakan unsur dominan dalam upacara adat jawa.
Acara ini biasanya diadakan secara lesehan, dengan hidangan berupa nasi tumpeng
lengkap dengan lauk-pauk. Upacara ngesur tanah dilakukan pada hari meninggalnya si
mendiang. Upacara ini menandai bergesernya kehidupan fana ke alam baka. Sajian
upacara ngesur tanah antara lain nasi gurih, ingkung, urap, cabai merah utuh, bawang
merah, bunga kenanga, garam halus dan tumpeng yang dibelah.
15
5) Perawatan post mortem dalam budaya batak
Dalam tradisi batak, orang mati akan mengalami perlakuan khusus, terangkum
dalam sebuah upacara Saur Matua dikalangan masyarakat batak Kristen. Ketika
seorang masyarakat batak mati saur matua, maka sewajarnya pihak-pihak kerabat
sesegera mungkin mengadakan musyawarah keluarga, mebahas persiapan pengadaan
upacara saur matua. Pelaksanaan upacara bergantung pada lamanya mayat
disemayamkan idealnya diadakan ketika seluruh keluarga telah hadir. Namun karna
telah banyak saudara- saudara yang merantau, sering terpaksa berhari-hari menunda
pelaksanaan upacara demi menunggu kedatangan anak-anaknya yang telah berdomisili
jauh. Pada hari yang sudah ditentukan, upacara saur metua dilaksanakan pada siang
hari, diruangan terbuka yang cukup luas. Jenazah yang telah dimasukan kedalam peti
diletakkan ditengah-tengah seluruh anak dan cucu. Dengan posisi peti bagian kaki
mengarah ke pintu keluar rumah, disebelah kanan peti jenazah adalah anak-anak lelaki
dengan para istri dan anaknya masing-masing, dan disebelah kiri adalah anak-anak
perempuan dan para suami dan anaknya masing-masing. Disinilah mulai rangkaian
upacara saur matua. Ketika seluruh pelayat dar kalangan masyarakat adat telah datang.
Jamuan makan merupakan kesempatan pihak penyelenggara upacara menyediakan
hidangan kepada para pelayat berupa nasi dengan lauk berupa hewan kurban (sapi atau
babi). Setelah jamuan makan, dilakukan ritual pembagian jambar (hak bagian atau hak
perolehan dari milik bersama).
16
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Berduka (grieving) merupakan reaksi emosional terhadap kehilangan. Hal ini diwujudkan
dalam berbagai cara yang unik pada masing-masing orang dan didasarkan pada pengalaman
pribadi, ekspetasi budaya, dan keyakinan spiritual yang dianutnya. Jenis-jenis Berduka :Berduka
yang Normal, Berduka Berkomplikasi, Berduka yang Diantisipasi, Berduka yang Tidak Lepas ,
Berduka Tertutup
Kematian adalah penghentian permanen semua fungsi tubuh yang vital, akhir dari kehidupan
manusia.Lahir, menjelang ajal, dan kematian bersifat universal. Meskipun unik bagi setiap
individu, kejadian-kejadian tersebut bersifat normal dan merupakan proses hidup yang
diperlukan (Kozier, 2010). Tahap-tahap kematian : Tahap Penyangkalan (denial), Tahap
Kemarahan (anger), Tawar-menawar (bargaining), Tahap Depresi (depression), Tahap
Penerimaan (acceptance).
3.2. Saran
Banyak hal yang dilakukan berbagai orang dalam mengekspresikan kesedihan mereka ketika
seseorang yang mereka sayangi telah meninggal. Kita tidak bisa menyalahkan suatu budaya
dalam mengekspresikan rasa duka cita yang mereka rasakan karena hal tersebut adalah budaya
yang telah mereka anut sedari dulu.
17
DAFTAR PUSTAKA
Medika
Hutagalung, L. M. (2009). Ngaben Upacara Kematian Sebagai salah Satu Atraksi Wisata Budaya
Bali. USU Repository .
18