Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

TINJAUAN AGAMA DAN BUDAYA TENTANG PENYAKIT KRONIK

Disusun oleh:
Kelompok 3
1. Anastasya Cahya Lestari (1914301061)
2. Herma Yanti (1914301062)
3. Riska Amilia (1914301075)
4. Dila Nopiyana Pubian (1914301089)

KEMENTRIAN REPUBLIK INDONESIA


POLTEKKES TANJUNG KARANG
JURUSAN KEPERAWATAN TANJUNG KARANG
PRODI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN
TAHUN AKADEMIK 2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat limpahan
rahmat dan karunia-Nya sehingga kami selaku penulis dapat menyusun makalah ini yang
berjudul " Tinjauan Agama dan Budaya tentang Penyakit Kronik" tepat pada waktunya.

Penulis menyadari bahwa di dalam pembuatan makalah ini berkat bantuan dan tuntunan
Tuhan Yang Maha Esa dan tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, untuk itu dalam
kesempatan ini penulis menghaturkan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada semua pihak yang membantu dalam pembuatan makalah ini.

Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada para pembaca. Penulis
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari bentuk penyusunan
maupun materinya. Kritik dan saran dari pembaca sangat penulis harapkan untuk
penyempurnaan makalah.

Tegineneng,24 Juli 2020


Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................................i
DAFTAR ISI....................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.....................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah...............................................................................................1
1.3 Tujuan Penulisan.................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Definisi Perawatan Peliatif..................................................................................2
2.2 Definisi Penyakit Kronik.....................................................................................2
2.3 Spiritualitas..........................................................................................................2
2.4 Spiritual Care.......................................................................................................5
2.5 Kajian Sosial Budaya Tentang Perawatan Peliatif..............................................9
2.6 Budaya Masyarakat Tentang Pengobatan pada Penyakit Kronis Peliatif...........9

BAB III PENUTUP


3.1 Kesimpulan........................................................................................................11
3.2 Saran..................................................................................................................11

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................12

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Menghadapi kenyataan bahwa memiliki penyakit yang dapat mengancam jiwa apalagi
bila menyadari telah berada dalam fase teminal, tidaklah mudah diterima oleh penderita,
keluarga dan bahkan juga oleh dokter yang menanganinya. Berbagai respon psikologik
dapat timbul dalam keadan ini, seperti rasa tak berdaya, putus asa, sedih, takut, marah
dan sebagainya. Manusia adalah makhluk bio-psiko-sosio-kulturo-spiritual, unsur-unsur
badan, jiwa, lingkungan dan spiritual berada dalam suatu kesatuan. Pada seorang
penderita penyakit kronik, seringkali bukan kematian yang ditakuti tetapi lebih kepada
proses menuju kematian. Perawatan penderita haruslah menyentuh semua demensi
kehidupan ini, karena masing-masing dimensi akan selalu berinteraksi secara timbal-
balik. Bayangan mengenai penderitaan dan saat akhir kehidupan, dapat mendominasi
pikiran penderita dengan penyakit kronik. Keluhan fisik dan psikologis yang ada sering
saling terkait dan menberikan efek negatif terhadap kualitas fisik serta memiliki peran
yang penting terhadap kesejahteraan penderita dengan penyakit kronik.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana peran spiritual dan agama dalam keperawatan peliatif pada pasien
dengan penyakit kronik?
2. Bagaimana kajian budaya dalam keperwatan peliatif pada pasien dengan penyakit
kronik?

1.3 Tujuan Penulisan


Untuk mengetahui peran spiritual dan agama serta budaya dalam keperawatan peliatif
pada pasien dengan penyakit kronik.

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Perawatan Peliatif


Perawatan peliatif adalah perawatan yang dilakukan secara aktif pada penderita yang
sedang sekarat atau dalam fase terminal akibat penyakit yang dideritanya. Pasien sudah
tidak memiliki respon terhadap terapi kuratif yang disebabkan oleh keganasan
ginekologis. Perawatan ini mencakup penderita serta melibatkan keluarganya (Aziz,
Witjaksono, & Rasjidi, 2008).
Perawatan peliatif adalah pendekatan yang bertujuan meningkatkan kualitas hidup
pasien (dewasa dan anak-anak) dan keluarga dalam menghadapi penyakit yang
mengancam jiwa, dengan cara meringankan penderitaan rasa sakit melalui identifikasi
dini, pengkajian yang sempurna, dan penatalaksanaan nyeri serta masalah lainnya baik
fisik, psikologis, sosial atau spiritual. (World Health Organization (WHO) 2016).

2.2 Definisi Penyakit Kronik


Penyakit kronis merupakan kondisi yang berpengaruh terhadap fungsi sehari-hari
selama lebih dari 3 bulan dalam sisa yang menyebabkan hospitalisasi dari 1 bulan dalam
jarak atau (pada saat terdiagnosa) mungkin meningkat perawatan di rumah sakit secara
berulang-ulang.

2.3 Spiritualitas
A. Definisi Spiritualitas
Spiritualitas adalah keyakinan dalam hubungannya dengan Yang Maha Kuasa dan
Maha Pencipta, sebagai contoh seorang yang percaya kepada Allah sebagai pencipta
atau sebagai Maha Kuasa. Spriritualitas adalah kebutuhan dasar manusia yang
berhubungan dengan Tuhan, diri sendiri, orang lain, dan lingkungan untuk menemukan
arti kehidupan dan tujuan hidup agar mendapatkan kekuatan, kedamaian, dan rasa
optimis dalam menjalankan kehidupan.

B. Fungsi Spiritualitas
Spiritualitas mempengaruhi kesehatan dan kesejahteraan hidup para individu.
Spiritualitas berperan sebagai sumber dukungan dan kekuatan bagi individu. Pada saat
stress individu akan mencari dukungan dari keyakinan agamanya. Dukungan ini sangat

2
diperlukan untuk menerima keadaan sakit yang dialami, khususnya jika penyakit
tersebut memerlukan proses penyembuhan yang lama dan hasilnya belum pasti.
Melaksanakan ibadah, berdoa, membaca kitab suci dan praktek keagamaan lainnya
sering membantu memenuhi kebutuhan spiritualitas dan merupakan suatu perlindungan
bagi individu.

C. Karakteristik Spiritualitas
Pemenuhan spiritualitas harus berdasarkan 4 karakteristik spiritual itu sendiri. Ada
beberapa karakteristik yang dimiliki spiritual, adapun karakteristik itu antara lain:
1. Hubungan dengan diri sendiri
2. Hubungan dengan orang lain atau sesama
3. Hubungan dengan alam
4. Hubungan dengan Tuhan

D. Faktor yang Mempengaruhi Spiritualitas


Faktor-faktor yang mempengaruhi spiritualitas seseorang terdiri dari tahap
perkembangan, keluarga, latar belakang, etnik dan budaya, pengalaman hidup
sebelumnya, isu moral terkait dengan terapi, dan asuhan keperawatan yang kurang
tepat.
Faktor-faktor tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:
1) Tahap perkembangan
Perkembangan spiritualitas berdasarkan usia terdiri dari:
a. Pada masa anak-anak, spiritualitas pada masa ini belum bermakna pada
dirinya. Spiritualitas didasarkan pada perilaku yang didapat yaitu melalui
interaksi dengan orang lain seperti keluarga. Pada masa ini, anak-anak belum
mempunyai pemahaman salah atau benar. Kepercayaan atau keyakinan
mengikuti rutial atau meniru orang lain.
b. Pada masa remaja, spiritualitas pada masa ini sudah mulai pada keinginan
akan pencapaian kebutuhan spiritualitas seperti keinginan melalui berdoa
kepada Tuhan, yang berarti sudah mulai membutuhkan pertolongan melalui
keyakinan atau kepercayaan. Bila pemenuhan kebutuhan spiritualitas tidak
terpenuhi, akan menimbulkan kekecewaan.
c. Pada masa dewasa awal, spiritualitas pada masa ini adanya pencarian
kepercayaan diri, diawali dengan proses pernyataan akan keyakinan atau

3
kepercayaan yang dikaitkan secara kognitif sebagai bentuk yang tepat untuk
mempercayainya. Pada masa ini, pemikiran sudah bersifat rasional. Segala
pertanyaan tentang kepercayaan harus dapat dijawab dan timbul perasaan akan
penghargaan terhadap kepercayaan.
d. Pada masa dewasa pertengahan dan lansia, spiritualitas pada masa ini yaitu
semakin kuatnya kepercayaan diri yang dimiliki dipertahankan walaupun
menghadapi perbedaan keyakinan yang lain dan lebih mengerti akan
kepercayaan dirinya. Perkembangan spiritualitas pada tahap ini lebih matang
sehingga membuat individu mampu untuk mengatasi masalah dan menghadapi
kenyataan.

2) Keluarga
Keuarga sangat berperan dalam perkembangan spiritualitas seseorang. Keluarga
merupakan tempat pertama kali seseorang memperoleh pengalaman, pelajaran
hidup, dan pandangan hidup.

3) Budaya
Pemenuhan spiritualitas budaya berbeda-beda pada setiap budaya. Budaya dan
spiritualitas menjadi dasar seseorang dalam melakukan sesuatu dan menjalani
cobaan atau masalah dalam hidup dengan seimbang.

4) Agama
Agama sangat mempengaruhi spiritual individu. Agama merupakan cara dalam
pemeliharaan hidup terhadap segala aspek kehidupan.

5) Pengalaman hidup
Pengalaman hidup baik yang positif maupun yang negatif dapat mempengaruhi
spiritualitas seseorang. Pengalaman hidup dapat menyebabkan orang bersyukur
ataupun tidak bersyukur.

6) Krisis dan perubahan


Krisis sering dialami seseorang ketika mengalami penyakit, penderitaan, proses
penuaan, kehilangan dan kematian. Perubahan dalam kehidupan dan krisis yang

4
dialami seseorang merupakan pengalaman spiritualitas yang bersifat fisik dan
emosional.

7) Terpisah dari ikatan spiritual


Pasien yang mengalami kondisi kritis biasanya ditempatkan di ruang intensif untuk
mendapatkan perawatan yang lebih optimal. Dengan begitu pasien akan merasa
terisolasi dan jarang bertemu dengan keluarganya ataupun mengitkuti kegiatan
keagamaan. Kebiasaan yang berubah tersebut dapat menganggu emosional pasien
dan dapat merubah fungsi spiritualnya.

8) Isu moral terkait dengan terapi


Beberapa agama menyebutkan bahwa proses penyembuhan dianggap sebagai cara
Tuhan untuk menunjukkan kebesaranNya waaupun ada agama yang menolak
intervensi pengobatan.

9) Asuhan keperawatan yang kurang sesuai


Asuhan keperawatan untuk kebutuhan spiritual dari sumber spiritualitas perawat.
Perawat tidak dapat memenuhi kebutuhan spiritualitas tanpa terlebih dahilu
memenuhi kebutuhan spiritualitas mereka sendiri.

2.4 Spiritual Care


A. Definisi Spiritual Care
Spiritual care adalah praktek dan prosedur yang dilakukan oleh perawat terhadap
pasien untuk memenuhi kebutuhan spiritual pasien (Cavendish R, Conecny L).
Spiritual care adalah kegiatan dalam keperawatan untuk membantu pasien yang
dilalukan melalui sikap dan tindakan praktek keperawatan berdasarkan nilai-nilai
keperawatan spiritual yang mengakui martabat manusia, kebaikan, belas kasih,
ketenangan dan kelemahlembutan (Meehan T). spiritual care merupakan aspek
perawatan yang integral dan fundamental dimana perawat menunjukkan kepedulian
kepada pasien (Meehan T). Spiritual care berfokus pada menghormati pasien, interaksi
yang ramah dan simpatik, mendengarkan dengan penuh perhatian dan memberikan
kekuatan pada pasien dalam menghadapi penyakitnya (Chan MF).
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa spiritual care adalah praktek dan
prosedur keperawatan yang dilakukan perawat untuk memenuhi kebutuhan spiritual

5
pasien berdasarkan nilai-nilai keperawatan spiritual yang berfokus pada menghormati
pasien, interakai yang ramah dan simpatik, mendengar dengan penuh perhatian,
memberi kesempatan pada pasien untuk mengekspresikan kebutuhan pasien,
memberikan kekuatan pada pasien dan memberdayakan mereka terkait dengan
penyakitnya, dan tidak mempromosikan agama atau praktek untuk meyakinkan pasien
tentang agamanya.

B. Peran Perawat dalam Spiritual Care


Perawat berperan dalam memberikan asuhan keperawatan, perawat juga berperan
dalam melakukan komunikasi dengan pasien maupun tim kesehatan lainnya serta
menjaga masalah etik dalam keperawatan. Peran perawat dalam proses pengkajian
terkait dengan tinjauan agama ataupun spiritual care dijelaskan sebagai berikut:

Pengkajian kebutuhan spiritual pasien


Menurut Kozier et al, pengkajian kebutuhan spiritual tediri dari pengkajian riwayat
keperawatan dan pengkajian klinik. Pada pengkajian riwayat keperawatan semua pasien
diberikan satu atau dua pertanyaan misalnya "Apakah keyakinan dan praktek spiritual
penting untuk anda sekarang?", "Bagaimana perawat dapat memberikan dukungan
spiritual kepada anda?" pasien yang memperlihatkan beberapa kebutuhan spiritual yang
tidak sehat yang beresiko mengalami distress spiritual harus dilakukan pengkajian
spiritual lebih lanjut.
Kozier menyarankan pengkajian spiritual sebaiknya dilakukan pada akhir proses
pengkajian dengan alasan pada saat tersebut sudah terbangun hubungan saling percaya
antara perawat dan pasien. Untuk itu diharapkan perawat meningkatkan sensitivitasnya,
dapat menciptakan suasana yang menyenangkan dan saling percaya, hal ini akan
meningkatkan keberhasilan pengkajian spiritual pasien. Pertanyaan yang diajukan
untuk pasien saat wawancara untuk mengkaji spiritual pasien antara lain:
1. Adakah praktik keagamaan yang penting bagi anda?
2. Dapatkan anda menceritakannya pada saya?
3. Bagaimana situasi yang dapat menganggu praktik keagamaan anda?
4. Bagaimana keyakinan anda bermanfaat bagi anda?
5. Apakah cara-cara itu penting untuk kebaikan anda sekarang?
6. Sengan cara bagaimana saya dapat memberi dukungan pada spiritual anda?
7. Apakah anda menginginkan dikunjungi oleh pemuka agama di rumah sakit?

6
8. Apa harapan-harapan anda dan sumber-sumber kekuatan anda sekarang?
9. Apa yang membuat anda merasa nyaman selama masa-masa sulit ini?

Pada pengkajian klinik meliputi :


1. Lingkungan
Apakah pasien memiliki kitab suci atau di lingkungannya terdapat kitab suci atau
buku doa lainnya, literatur-literatur, keagamaan, penghargaan keagamaan, simbol
keagamaan misalnya tasbih, salib dan sebagainya di ruangan?, Apakah pasien
menerima kiriman tanda simpati dari unsur keagamaan?.

2. Perilaku
Apakah pasien berdoa sebelum makan atau pada waktu lainnya atau membaca
literatur keagamaan?, Apakah pasien mengalami mimpi buruk dan gangguan tidur
atau mengekspresikan kemarahan pada Tuhan?

3. Verbalisasi
Apalah pasien menyebutkan tentang Tuhan atau kekuatan yang Maha Tinggi,
tentang doa-doa, keyakinan, masjid, gereja, kuil, pemimpin spiritual, atau topik-
topik keagamaan?, Apakah pasien menanyakan kunjungan pemuka agama?,
Apakah pasien mengekspresikan ketakutannya akan kematian?.

4. Afek dan sikap


Apakah pasien menunjukkan tanda-tanda kesepian, depresi, marah, cemas, apatis
atau tampak tekun berdoa?

5. Hubungan intetpersonal
Siapa yang berkunjung?, Apakah pasien berespon terhadap pengunjung?, Apakah
ada pemuka agama yang datang?, Apakah pasien bersosialisasi dengan pasien
lainnya atau staf perawat?.

C. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perawat dalam Pemberian Kebutuhan


Spiritual
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi perawat dalam memberikan kebutuhan
spiritual kepada pasien, yaitu:

7
1. Ketidakmampuan perawat untuk berkomunikasi
Komunikasi yang tidak efektif dapat mengakibatkan pasien tidak mampu
mengungkapkan kebutuhan spiritualnya.

2. Ambigu
Ambigu terjadi ketika adanya perbedaan keyakinan antara perawat dengan pasien.
Perawat akan merasa kebingungan, takut salah, dan menganggap spiritual terlalu
sensitiv dan merupakan hak pribadi pasien.

3. Kurangnya pengetahuan tentang spiritual care


Pengetahuan perawat tentang spiritual care juga mempengaruhi perawat dalam
memberikan kebutuhan spiritual pasien. Jika perawat percaya bahwa pembberian
spiritual care adalah ibadah maka persepsi ini akan secara langsung memberikan
kebutuhan spiritual kepada pasien. Spiritual perawat itu sendiri mempengaruhi
bagaimana mereka berprilaku, bagaimana menangani pasien, dan bagaimana
berkomunikasi dengan pasien pada saat perawat memberikan spiritual care.

4. Hal yang bersifat pribadi


Perawat berpendapat bahwa spiritual merupakan hal yang bersifat pribadi,
sehingga sulit untuk ditangani perawat.

5. Takut melakukan kesalahan


Adanya perasaan takut jika apa yang dilakukan adalah hal yang salah, dalam
situasi yang sulit, hal ini dapat mengakibatkan penolakan dari pasien.

6. Organisasi dan manajemen


Jika profesi perawat memberikan perawatan spiritual yang efektif maka
manajemen harus bertanggungjawab dan mendukung pemberian spiritual care.

7. Hambatan ekonomi berupa kekurangan perawat, kurangnya waktu, masalah


pendidikan
Perawat mengungkapkan bahwa mereka kurang percaya diri dalam memberikan
spiritual care karena kurangnya wawasan dan pengetahuan.

8
8. Gender
Perawat wanita lebih berempati terhadap perasaan orang lain, penyayang, cepat
merasa iba, dan menghibur orang lain.

9. Pengalaman kerja
Perawat yang berpengalaman lebih dari 3 tahun memiliki kepercayaan yang
tinggi tentang spiritual care daripada perawat yang memiliki pengalaman kurang
dari 3 tahun.

2.5 Kajian Sosial Budaya Tentang Perawatan Peliatif


Salah satu faktor yang menentukan kondisi kesehatan masyarakat adalah perilaku
kedsehatan masyarakat itu sendiri. Dimana proses terbentuknya perilaku ini dipengaruhi
oleh beberapa faktor. Salah satunya adalah faktor sosial budaya, bila faktor tersebut telah
tertanam dan terinternalisasi dalam kehidupan dan kegiatan masyarakat maka ada
kecenderungan untuk merubah perilaku yang telah terbentuk tersebut sulit untuk
dilakuakan.
Untuk itu, untuk mengatasi dan memahami suatu masalah kesehatan diperlukan
pengetahuan yang memadai mengenai budaya dasar dan budaya suatu daerah. Sehingga
dalam kajian sosial budaya tentang perawatan peliatif bertujuan untuk mencapai derajat
kesehatan yang setinggi-tingginya, meningkatkan kualitas hidup pasien dan keluarga
dalam menghadapi masalah yang berhubungan dengan peyakit kronis yang mengancam
kehidupan.

2.6 Budaya Masyarakat Tentang Pengobatan pada Penyakit Kronis Peliatif


Diabetes Mellitus merupakan penyakit kronis yang sulit disembuhkan. Jumlah
penderitanya pun tidak sedikit. Sangat disayangkan, banyak penderita justru memilih
pergi ke dukun atau disebut juga pengobatan alternatif. Ujung-ujungnya malah
bertambah parah. Banyak penderita yang baru berobat ke dokter setelah penyakitnya kian
lama kian bertambah parah.
Selain itu, fenomena dukun Ponari sempat menyita perhatian masyarakat Indonesia
beberapa tahun yang lalu, cerita kemunculan dukun Ponari dengan batu saktinya sebagai
media penyembuhan dengan cara dicelupkan ke air.
Kabar tentang kehebatan Ponari ini terus meluas hingga menyebabkan jumlah pasien
yang berobat ke rumah Ponari dari hari ke hari semakin meningkat. Tindakan masyarakat

9
yang datang ke dukun Ponari itu tidak terlepas dari peran budaya yang ada di masyarakat
kita terhadap hal-hal yang berdifat mistis. Percaya terhadap kesaktian batu yang dimiliki
Ponari itu merupakan sebuah budaya yang mengakar dan bertahan di masyarakat sebagai
bagian dari kearifan lokal
Pemahaman masyarakat terhadap hal-hal yang dipercayai secara turun-temurun
merupakan bagian dari kearifan lokal yang sulit untuk dilepaskan. Hingga pemahaman
magis yang irasional terhadap pengobatan melalui dukun seperti di atas sangat dipercayai
oleh masyarakat. Peranan budaya dan kepercayaan yang ada di masyarakat itu diperkuat
oleh rendahnya tingkat pendidikan dan tingkat ekonomi.
Oleh karena itu, sebagai seorang perawat yang berpendidikan sudah seharusnya
memberikan pengertian kepada pasiennya mengenai cara dan sistem pengobatan yang
benar.

10
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Keperawatan peliatif tidak hanya berfokus kepada keperawatan pengelolaan kebutuhan
nyeri, pengelolaan kebutuhan fisik lain, maupun pemberian intervensi pada asuhan
keperawatan, dukungan psikologis, dukungan sosial saja tetapi kita tahu fungsi perawat
sebelumnya yaitu salah satunya adalah holistic care pada keperawatan peliatif yaitu
kultural dan spiritual, serta dukungan persiapan dan selama masa duka cita.

3.2 Saran
Kami menyarankan bahwa kegiatan terapi menggunakan metode holistic keagamaan atau
mendekatkan diri kepada Tuhan sangatlah berdampak positif bagi kualitas hidup pada
pasien kronis/terminal, karena dengan rasa bersyukur, pasrah, menyadari bahwa
kehidupan ini tidaklah semua abadi, pastilah semua makhluk hidup akan wafat pada
akhirnya. Akan lebih meringankan beban bagi pasien terminal baik secara psikologis dan
fisiknya siap menerima keadaan sampai dengan akhir hayatnya.

11
DAFTAR PUSTAKA

Baxter, S., Beckwith, S. K., Clark, D., Cleary, J., Falzon, D., Glaziou, P., et al. (2014).
Global Atlas of Pelliative Care at the End of Life. (S. R. Connor, & M. C. Bermedo,
Penyunt)) Worldwide Pelliative Care Aliance.
KEMENKES. (2014). Situasi Kesehatan Jantung. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia.
KEMENKES. (2026). Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2015. Jakarta: Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia.
Margaret, O., & Sanchia, A. (2016). Pelliative Care Nursing: Aguide to Practice Second
Edition. New York: CRC Press.
Nurwijaya, H., dkk. (2010). Cegah dan Deteksi Kanker. Jakarta: Kemenkes RI.
E. Hamzah, “Pelliative Care in the Community,” (Kertas Kerja, The International Conference
on Health Sciences, Sunway Pyramid Convention Centre, Subang Jaya, 2005).
C. Puchalski, B. Ferrell & R. Virani, “Improving the Quality of Spiritual Care as a
Dimension pf Pelliative Care: The Report of the Consensus Conference,” Journal of
Pelliative Medicine, 12(10) (2009), 885.
C. Faull, Y. Carter, & R. Woof, Handbook of Pelliative Care (United Kingdom: Blackwell
Science, 1998), 3.
M. M. Groot, M. J. Vernooij-Dassen, B. J. Crul, & R. P. Grol, ”General Practitioners (Gps)
and Pelliative Care: Percieved Tasks and Barries in Daily Practice,” Pelliative
Medicine 19(2) (2005), 113.

Peter J Franks, C. Salisbury., Nick Bosanquiet et al. “The Level of Need for Pelliative Care:
A Systemtic Review of theLiterature,” Pelliative Medicine, 14(2000), 97.

12

Anda mungkin juga menyukai