Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH

PERILAKU SPIRITUAL

Disusun oleh :

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 3 KEP. 7B

ALFIA ELLYKA C (201702053)


ELVIA SARASWATI (201702063)
FREDITYA MAHENDRA (201702067)
GALIH HAJENG (201702068)
KRISMONITA WAHYU M (201702075)
MIRANDA MAULIDA (201702081)
REKA RIESTA (201702089)
VIDIANA PUTRI E (201702098)
WAHYU PRATITA M (201702099)
YOQI PUTRA P (201702030)

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BHAKTI HUSADA MULIA
MADIUN
2021
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Setiap orang dalam hidupnya pasti akan menghadapi yang namanya masalah,
sikap seseorang dalam menghadapi sangat ditentukan oleh keyakinan mereka masing-
masing. Keyakinan yang dimiliki setiap orang selalu dikaitkan dengan kepercayaan atau
agama. Spiritual, keyakinan dan agama merupakan hal yang berbeda namun seringkali
diartikan sama. Penting sekali bagi seorang perawat memahami perbedaan antara
Spiritual, keyakinan dan agama guna menghindarkan salah pengertian yang akan
mempengaruhi pendekatan perawat dengan pasien.
Pasien yang sedang dirawat dirumah sakit membutuhkan asuhan keperawatan
yang holistik dimana perawat dituntut untuk mampu memberikan asuhan keperawatan
secara komprehensif bukan hanya pada masalah secara fisik namun juga spiritualnya.
Pasien dalam perspektif keperawatan merupakan individu, keluarga atau
masyarakat yang memiliki masalah kesehatan dan membutuhkan bantuan untuk dapat
memelihara, mempertahankan dan meningkatkan status kesehatannya dalam kondisi
optimal. Sebagai seorang manusia, klien memiliki beberapa peran dan fungsi seperti
sebagai makhluk individu, makhluk sosial, dan makhluk Tuhan. Berdasarkan hakikat
tersebut, maka keperawatan memandang manusia sebagai mahluk yang holistik yang
terdiri atas aspek fisiologis, psikologis, sosiologis, kultural dan spiritual.
Tidak terpenuhinya kebutuhan manusia pada salah satu diantara dimensi di atas
akan menyebabkan ketidaksejahteraan atau keadaan tidak sehat. Kondisi tersebut dapat
dipahami mengingat dimensi fisik, psikologis, sosial, spiritual, dan kultural merupakan
satu kesatuan yang saling berhubungan. Tiap bagian dari individu tersebut tidaklah akan
mencapai kesejahteraan tanpa keseluruhan bagian tersebut sejahtera.

1.2 Rumusan masalah


Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan rumusan
masalah sebagai berikut :
1. Jelaskan definisi spiritualitas dan religi?
2. Sebutkan aspek-aspek spiritualitas?
3. Jelaskan dimensi spiritualitas?
4. Bagaimana cara berfikir kritis dan spiritual?
5. Jelaskan kesehatan spiritualitas?
6. Jelaskan masalah spiritualitas?
7. Sebutkan karakteristik spiritualitas?
8. Bagaimana perkembangan aspek spiritual keperawatan?
9. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi spiritual?
10. Bagaimana proses keperawatan dengan spiritualitas?
11. Bagaimana asuhan keperawatan spiritual?

1.3 Tujuan
Berdasarkan pada rumusan masalah di atas, maka terdapat tujuan sebagai berikut :
1. Mengetahui definisi spiritualitas dan religi
2. Mengetahui aspek-aspek spiritualitas
3. Mengetahui dimensi spiritualitas
4. Mengetahui cara berfikir kritis dan spiritual
5. Mengetahui kesehatan spiritualitas
6. Mengetahui masalah spiritualitas
7. Mengetahui karakteristik spiritualitas
8. Mengetahui perkembangan aspek spiritual keperawatan
9. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi spiritual
10. Mengetahui proses keperawatan dengan spiritualitas
11. Mengetahui asuhan keperawatan spiritual
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Spiritualitas dan religi


2.1.1 Definisi spiritualitas dan religi
Spiritualitas adalah keyakinan dalam hubungannya dengan Yang Maha Kuasa
dan Maha Pencipta, sebagai contoh seseorang yang percaya kepada Allah sebagai
Pencipta atau sebagai Maha Kuasa. Spiritualitas mengandung pengertian hubungan
manusia dengan Tuhannya dengan menggunakan instrumen (medium) sholat, puasa,
zakat, haji, doa dan sebagainya (Hawari, 2002).
Berdasarkan kamus, religi berarti suatu sistem kepercayaan dan praktek yang
berhubungan dengan Yang Maha Kuasa (Smith, 1995). Pargamet (1997)
mendefinisikan religi sebagai suatu pencarian kebenaran tentang cara-cara yang
berhubungan dengan korban atau persembahan. Seringkali kali kata spiritual dan
religi digunakan secara bertukaran, akan tetapi sebenarnya ada perbedaan antara
keduanya. Dari definisi religi, dapat digunakan sebagai dasar bahwa religi
merupakan sebuah konsep yang lebih sempit dari pada spiritual. Jadi dapat
dikatakan religi merupakan jembatan menuju spiritual yang membantu cara berfikir,
merasakan, dan berperilaku serta membantu seseorang menemukan makna hidup.
Sedangkan praktek religi merupakan cara individu mengekspresikan spiritualnya.
2.1.2 Aspek spiritualitas
Kebutuhan spiritual adalah harmonisasi dimensi kehidupan. Dimensi ini
termasuk menemukan arti, tujuan, menderita, dan kematian; kebutuhan akan
harapan dan keyakinan hidup, dan kebutuhan akan keyakinan pada diri sendiri, dan
Tuhan. Ada 5 dasar kebutuhan spiritual manusia yaitu: arti dan tujuan hidup,
perasaan misteri, pengabdian, rasa percaya dan harapan di waktu kesusahan
(Hawari, 2002).

Menurut Burkhardt (Hamid, 2000) spiritualitas meliputi aspek sebagai


berikut:
1. Berhubungan dengan sesuatu yang tidak diketahui atau ketidakpastian dalam
kehidupan
2. Menemukan arti dan tujuan hidup
3. Menyadari kemampuan untuk menggunakan sumber dan kekuatan dalam diri
sendiri
4. Mempunyai perasaan keterikatan dengan diri sendiri dan dengan Yang Maha
Tinggi.
2.1.3 Dimensi spiritual
Dimensi spiritual berupaya untuk mempertahankan keharmonisan atau
keselarasan dengan dunia luar, berjuang untuk menjawab atau mendapatkan
kekuatan ketika sedang menghadapi stress emosional, penyakit fisik, atau kematian.
Dimensi spiritual juga dapat menumbuhkan kekuatan yang timbul diluar kekuatan
manusia (Kozier, 2004).
Spiritualitas sebagai suatu yang multidimensi, yaitu dimensi eksistensial dan
dimensi agama, Dimensi eksistensial berfokus pada tujuan dan arti kehidupan,
sedangkan dimensi agama lebih berfokus pada hubungan seseorang dengan Tuhan
Yang Maha Penguasa. Spirituaiitas sebagai konsep dua dimensi. Dimensi vertikal
adalah hubungan dengan Tuhan atau Yang Maha Tinggi yang menuntun kehidupan
seseorang, sedangkan dimensi horizontal adalah hubungan seseorang dengan diri
sendiri, dengan orang lain dan dengan 9 lingkungan. Terdapat hubungan yang terus
menerus antara dua dimensi tersebut (Hawari, 2002).
2.1.4 Berfikir kritis dan spiritual
Perawat ahli membutuhkan kemampuan untuk menggali privasi klien untuk
menerima dan mencari bantuan. Perawat memiliki caring holistik memberdayakan
mereka untuk mendapat tingkat kenyamanan dan dukungan yang bersifat intutif.
Intuitif klinik (Young, 1987) Perawat mengetahui tentang klien yang tidak dapat
diungkapkan dengan kata-kata. Intusisi (rasa hangat dan empati dari dalam)
memberikan aspek berpikir kritis yang menganalisis dan merasakan isyarat yang
berbeda, ingatan, dan perasaan untuk membantu perawat memiliki kesadaran lebih
baik tentang kebutuhan klien.
Perawat mengetahui isyarat spiritual yang ditunjukkan klien selama masa
penyembuhan, perubahan, penyakit, dan kehilangan. Intuisi dapat muncul dari rada
kedekatan dengan klien.
2.1.5 Kesehatan spiritual
Dicapai ketika seseorang menemukan keseimbangan antara, nilai hidup,
hasil dan system kepercayaan, hubungan antara diri sendiri dan orang lain.
Kesehatan spiritual atau kesejahteraan adalah kebutuhan untuk
mempertahankan atau mengembalikan keyakinan dan memenuhi kewajiban agama,
serta kebutuhan untuk mendapatkan maaf atau pengampunan, mencintai, menjalin
hubungan penuh rasa percaya dengan Tuhan (Carson,1989).
Pada saat terjadi stress, penyakit, penyembuhan, atau kehilangan, seseorang
mungkin berbalik ke cara-cara lama dalam merespons atau menyesuaikan dengan
situasi. Sering kali gaya koping ini terdapat dalam keyakinan atau nilai dasar orang
tersebut. Keyakinan ini sering berakar dalam spiritualitas orang tersebut. Sepanjang
hidup seorang individu mungkin tumbuh lebih spiritual, menjadi lebih menyadari
tentang makna, tujuan, dan nilai hidup.
Spiritualitas dimulai ketika anak-anak belajar tentang diri mereka dan
hubungan mereka dengan orang lain. Banyak orang dewasa mengalami
pertumbuhan spiritual ketika memasuki hubungan yang langgeng.
Kemampuan untuk mengasihi orang lain dan diri sendiri secara bermakna
adalah bukti dari kesehatan spiritualitas. Menetapkan hubungan dengan yang maha
agung, kehidupan, atau nilai adalah salah satu cara mengembangkan spiritualitas.
Kesehatan spiritualitas yang sehat adalah sesuatu yang memberikan kedamaian dan
penerimaan tentang diri dan hal tersebut sering didasarkan pada hubungan yang
langgeng dengan yang Maha Agung. Penyakit dan kehilangan dapat mengancam
dan menantang proses perkembangan spiritual. Kesehatan spiritual tercapai ketika
seseorang menemukan keseimbangan antara nilai hidup, tujuan hidup, sistem
keyakinan, dan hubungan seseorang dengan diri sendiri atau orang lain.
Tanda-tanda kesehatan spiritualnya adalah Seseorang yang mempunyai
karakter baik juga mempunyai kehidupan spiritual yang sehat. Dari jumlah
banyaknya keluhan orang, mungkin kalian akan segera mengetahui berapa banyak
karakter buruk yang masih tertinggal didalam diri seseorang. Dan ketika kalian
mampu menghilangkan seluruh keluhan yang kalian miliki, kalian kemudian akan
mengetahui bahwa kalian itu sehat dan tidak ada lagi karakter buruk yang tertinggal.
Hal ini sangat penting bagi seseorang untuk memiliki karakter yang baik. Jika
seseorang tidak mempunyai keluhan lagi, berarti dia sudah memiliki kesabaran dan
ini berarti dia mempunyai iman yang sejati. Kesabaran adalah sebuah tindakan
melawan semua keinginan ego.
2.1.6 Masalah spiritual
Ketika penyakit, kehilangan atau nyeri menyerang seseorang, kekuatan
spiritual dapat membantu seseorang ke arah penyembuhan atau pada perkembangan
kebutuhan dan perhatian spiritual. Selama penyakit atau misalnya individu sering
menjadi kurang mampu untuk merawat diri mereka dan lebih bergantung pada
orang lain untuk perawatan dan dukungan. Distress spiritual dapat berkembang
sejalan dengan seseorang mencari makna tentang apa yang sedang terjadi, yang
mungkin dapat mengakibatkan seseorang merasa sendiri dan terisolasi dari orang
lain. Individu mungkin mempertanyakan nilai spiritual mereka, mengajukan
pertanyaan tentang jalan hidup seluruhnya, tujuan hidup, dan sumber dar makna
hidup.

Distres spiritual terdiri dari atas :


1. Spiritual yang sakit, yaitu kesulitan menerima kehilangan dari orang yang
dicintai atau dari penderitaan yang berat.
2. Spiritual yang khawatir, yatitu terjadi pertentangan kepercayaan dan sistem nilai
seperti adanya aborsi.
3. Spiritual yang hilang, yaitu adanya kesulitan menemukan ketenangan dalam
kegiatan keagamaan.
2.1.7 Karakteristik spiritualitas
Untuk memudahkan dalam memberikan asuhan keperawatan dengan
memperhatikan kebutuhan spiritual penerima layanan keperawatan, maka perawat
mutlak perlu memiliki kemampuan mengidentifikasi atau mengenal karakteristik
spiritualitas sebagai berikut:
a. Hubungan dengan diri sendiri. Kekuatan dalam atau/dan self-reliance:
1. Pengetahuan diri (siapa dirinya, apa yang dapat dilakukannya)
2. Sikap (percaya pada diri sendiri, percaya pada kehidupan/masa depan,
ketenangan pikiran, harmoni/keselarasan dengan diri sendiri).
b. Hubungan dengan alam harmonis:
1. Mengetahui tentang tanaman, pohon, margasatwa, dan iklim
2. Berkomunikasi dengan alam (bertanam dan berjalan kaki), mengabadikan,
dan melindungi alam.
c. Hubungan dengan orang lain harmonis/suportif:
1. Berbagi waktu, pengetahuan, dan sumber secara timbal balik
2. Mengasuh anak, orangtua, dan orang sakit
3. Meyakini kehidupan dan kematian (mengunjungi, melayat, dan lain-lain).
Bila tidak harmonis akan terjadi:
1. Konflik dengan orang lain
2. Resolusi yang menimbulkan ketidakharmonisan dan friksi.

d. Hubungan dengan ketuhanan. Agamis atau tidak agamis:


1. Sembahyang/berdoa/meditasi
2. Perlengkapan keagamaan
3. Bersatu dengan alam.
Secara ringkas, dapat dinyatakan seseorang terpenuhi kebutuhan
spiritualitasnya jika mampu:
1. Merumuskan arti personal yang positif tentang tujuan keberadaannya di
dunia/kehidupan
2. Mengembangkan arti penderitaan dan meyakini hikmah dari suatu kejadian
atau penderitaan
3. Menjalin hubungan positif dan dinamis melalui keyakinan, rasa percaya, dan
cinta
4. Membina integritas personal dan merasa diri berharga
5. Merasakan kehidupan yang terarah terlihat melalui harapan
6. Mengembangkan hubungan antar-manusia yang positif.
2.1.8 Perkembangan aspek spiritual keperawatan
Perawat harus mengetahui tahap perkembangan spiritual dari manusia,
sehingga perawat dapat memberikan asuhan keperawatan dengan tepat dalam
rangka memenuhi kebutuhan spiritual klien. Tahap perkembangan klien dimulai
dari lahir sampai klien meninggal dunia. Perkembangan spiritual manusia dapat
dilihat dari tahap perkembangan mulai dari bayi, anak-anak, pra sekolah, usia
sekolah, remaja, desawa muda, dewasa pertengahan, dewasa akhir, dan lanjut usia.
Secara umum tanpa memandang aspek tumbuh-kembang manusia proses
perkembangan aspek spiritual dilhat dari kemampuan kognitifnya dimulai dari
pengenalan, internalisasi, peniruan, aplikasi dan dilanjutkan dengan instropeksi.
Namun, berikut akan dibahas pula perkembangan aspek spiritual berdasarkan
tumbuh-kembang manusia (Carson, 2002).
a. Bayi dan Toodler
Tahap awal perkembangan manusia dimulai dari masa perkembangan
bayi. Hamid (2000) menjelaskan bahwa perkembangan spiritual bayi
merupakan dasar untuk perkembangan spiritual selanjutnya. Bayi memang
belum memiliki moral untuk mengenal arti spiritual. Keluarga yang
spiritualnya baik merupakan sumber dari terbentuknya perkembangan spiritual
yang baik pada bayi. Oleh karena itu, perawat dapat menjalin kerjasama dengan
orang tua bayi tersebut untuk membantu pembentukan nilai-nilai spiritual pada
bayi.
Dimensi spiritual mulai menunjukkan perkembangan pada masa kanak-
kanak awal (18 bulan-3 tahun). Anak sudah mengalami peningkatan
kemampuan kognitif. Anak dapat belajar membandingkan hal yang baik dan
buruk untuk melanjuti peran kemandirian yang lebih besar. Tahap
perkembangan ini memperlihatkan bahwa anak-anak mulai berlatih untuk
berpendapat dan menghormati acara-acara ritual dimana mereka merasa tinggal
dengan aman. Observasi kehidupan spiritual anak dapat dimulai dari kebiasaan
yang sederhana seperti cara berdoa sebelum tidur dan berdoa sebelum makan,
atau cara anak memberi salam dalam kehidupan sehari-hari. Anak akan lebih
merasa senang jika menerima pengalamanpengalaman baru, termasuk
pengalaman spiritual (Hamid, 2000).
b. Pra Sekolah
Perkembangan spiritual pada anak masa pra sekolah (3-6 tahun)
berhubungan erat dengan kondisi psikologis dominannya yaitu super ego. Anak
usia pra sekolah mulai memahami kebutuhan sosial, norma, dan harapan, serta
berusaha menyesuaikan dengan norma keluarga. Anak tidak hanya
membandingkan sesuatu benar atau salah, tetapi membandingkan norma yang
dimiliki keluarganya dengan norma keluarga lain. Kebutuhan anak pada masa
pra sekolah adalah mengetahui filosofi yang mendasar tentang isu-isu spiritual.
Kebutuhan spiritual ini harus diperhatikan karena anak sudah mulai berfikiran
konkrit. Mereka kadang sulit menerima penjelasan mengenai Tuhan yang
abstrak, bahkan mereka masihkesulitan membedakan Tuhan dan orang tuanya
(Hamid, 2000).
c. Usia Sekolah
Usia sekolah merupakan masa yang paling banyak mengalami
peningkatan kualitas kognitif pada anak. Anak usia sekolah (6-12 tahun)
berfikir secara konkrit, tetapi mereka sudah dapat menggunakan konsep abstrak
untuk memahami gambaran dan makna spriritual dan agama mereka. Minat
anak sudah mulai ditunjukan dalam sebuah ide, dan anak dapat diajak
berdiskusi dan menjelaskan apakah keyakinan. Orang tua dapat mengevaluasi
pemikiran sang anak terhadap dimensi spiritual mereka (Hamid, 2000).
d. Remaja (12-18 tahun)
Pada tahap ini individu sudah mengerti akan arti dan tujuan hidup,
Menggunakan pengetahuan misalnya untuk mengambil keputusan saat ini dan
yang akan datang. Kepercayaan berkembang dengan mencoba dalam hidup.
Remaja menguji nilai dan kepercayaan orang tua mereka dan dapat menolak
atau menerimanya. Secara alami, mereka dapat bingung ketika menemukan
perilaku dan role model yang tidak konsisten. Pada tahap ini kepercayaan pada
kelompok paling tinggi perannya daripada keluarga. Tetapi keyakinan yang
diambil dari orang lain biasanya lebih mirip dengan keluarga, walaupun mereka
protes dan memberontak saat remaja. Bagi orang tua ini merupakan tahap
paling sulit karena orang tua melepas otoritasnya dan membimbing anak untuk
bertanggung jawab. Seringkali muncul konflik orang tua dan remaja (Hamid,
2000).
e. Dewasa muda (18-25 tahun)
Pada tahap ini individu menjalani proses perkembangannya dengan
melanjutkan pencarian identitas spiritual, memikirkan untuk memilih nilai dan
kepercayaan mereka yang dipelajari saaat kanak-kanak dan berusaha
melaksanakan sistem kepercayaan mereka sendiri. Spiritual bukan merupakan
perhatian utama pada usia ini, mereka lebih banyak memudahkan hidup
walaupun mereka tidak memungkiri bahwa mereka sudah dewasa (Hamid,
2000).
f. Dewasa pertengahan (25-38 tahun)
Dewasa pertenghan merupakan tahap perkembangan spiritual yang sudah
benar-benar mengetahui konsep yang benar dan yang salah, mereka
menggunakan keyakinan moral, agama dan etik sebagai dasar dari sistem nilai.
Mereka sudah merencanakan kehidupan, mengevaluasi apa yang sudah
dikerjakan terhadap kepercayaan dan nilai spiritual (Hamid, 2000).
g. Dewasa akhir (38-65 tahun)
Periode perkembangan spiritual pada tahap ini digunakan untuk
instropeksi dan mengkaji kembali dimensi spiritual, kemampuan intraspeksi ini
sama baik dengan dimensi yang lain dari diri individu tersebut. Biasanya
kebanyakan pada tahap ini kebutuhan ritual spiritual meningkat (Hamid, 2000).
h. Lanjut usia (65 tahun sampai kematian)
Pada tahap perkembangan ini, pada masa ini walaupun membayangkan
kematian mereka banyak menggeluti spiritual sebagai isu yang menarik, karena
mereka melihat agama sebagai faktor yang mempengaruhi kebahagian dan rasa
berguna bagi orang lain. Riset membuktikan orang yang agamanya baik,
mempunyai kemungkinan melanjutkan kehidupan lebih baik. Bagi lansia yang
agamanya tidak baik menunjukkan tujuan hidup yang kurang, rasa tidak
berharga, tidak dicintai, ketidakbebasan dan rasa takut mati. Sedangkan pada
lansia yang spiritualnya baik ia tidak takut mati dan dapat lebih mampu untuk
menerima kehidupan. Jika merasa cemas terhadap kematian disebabkan cemas
pada proses bukan pada kematian itu sendiri (Hamid, 2000).
Dimensi spiritual menjadi bagian yang komprehensif dalam kehidupan
manusia. Karena setiap individu pasti memiliki aspek spiritual, walaupun
dengan tingkat pengalaman dan pengamalan yang berbeda-beda berdasarkan
nilai dan keyaninan mereka yang mereka percaya. Setiap fase dari tahap
perkembangan individu menunjukkan perbedaan tingkat atau pengalaman
spiritual yang berbeda (Hamid, 2000).
2.1.9 Faktor-faktor yang mempengaruhi spiritual
Menurut taylor, Lillis & Le Mone (1997) dan Craven & Hirnle (1996) dalam
Hamid (2009, p. 13) faktor penting yang dapat mempengaruhi spiritualitas
seseorang adalah :
a. Pertimbangan tahap perkembangan
Dari hasil penelitian ditemukan bahwa manusia mempunyai persepsi tentang
Tuhan dan bentuk sembahyang yang berbeda menurut usia, seks, agama, dan
kepribadian manusia.
b. Keluarga
Peran orang tua sangat menentukan dalam perkembangan spiritual anak.
Oleh karena keluarga merupakan lingkungan terdekat dan lingkungan pertama
anak dalam mempersepsikan kehidupan di dunia, maka pandangan anak pada
umumnya diwarnai oleh pengalaman mereka dalam berhubungan dengan orang
tua dan saudaranya.
c. Latar belakang etnik dan budaya
Sikap, keyakinan dan nilai dipengaruhi oleh latar belakang etnik dan sosial
budaya. Pada umumnya seseorang akan mengikuti tradisi agama dan spiritual
keluarga.
d. Pengalaman hidup sebelumnya
Pengalaman hidup baik yang positif maupun pengalaman negatif dapat
mempengaruhi spiritualitas seseorang. Sebaliknya juga dipengaruhi oleh
bagaimana seseorang mengartikan secara spiritual kejadian atau pengalaman
tersebut.
e. Krisis dan perubahan
Krisis dan perubahan dapat menguatkan kedalaman spiritual seseorang.
Krisis sering dialami ketika seseorang menghadapi penyakit, penderitaan, proses
penuaan, kehilangan dan bahkan kematian, khususnya pada pasien terminal atau
dengan prognisis yang buruk.
f. Terpisah dari ikatan spiritual
Menderita sakit terutama yang bersifat akut, seringkali membuat individu
merasa terisolasi dan kehilangan kebebasan pribadi dan sistem dukungan sosial.
g. Isu moral terkait dengan terapi
Pada kebanyakan agama, proses penyembuhan dianggap sebagai cara tuhan
untuk menunjukkan kebesarannya, walaupun ada juga agama yang menolak
intervensi pengobatan.
h. Asuhan keperawatan yang kurang sesuai
Ketika memberi asuhan keperawatan kepada klien, perawat diharapkan peka
kebutuhan spiritual klien, tetapi dengan berbagai alasan ada kemungkinan justru
perawat menghindar untuk memberikan asuhan spiritual sehingga mengakibatkan
kebutuhan klien akan spiritual tidak terpenuhi.

2.2 Proses keperawatan dan spiritualitas


Pada intinya keperawatan adalah komitmen tentang mengasihi (caring). Merawat
seseorang adalah suatu proses interaktif yang bersifat individual melalui proses tersebut
individu menolong satu sama lain dan menjadi teraktualisasi (Carl,et al,1991). Suatu
elemen perawatan kesehatan berkualitas adalah untuk menunjukkan kasih sayang pada
klien sehingga terbentuk hubungan saling percaya. Rasa saling percaya diperkuat ketika
pemberi perawatan menghargai dan mendukung kesejahteraan spiritiual klien.
Penerapan proses keperawatan dari perspektif kebutuhan spiritual klien tidak
sederhana. Hal ini sangat jauh dari sekedar mengkaji praktik dan ritual keagamaan klien.
Memahami spiritualitas klien kemudian secara tepat mengidentifikasi tingkat dukungan
dan sumber yang diperlukan, membutuhkan perspektif baru yang lebih luas. Perawat
harus  belajar untuk memahami aspek positif dari spiritualiatas klien ketimbang berfikir
bahwa pada saat menderita suatu penyakit spiritualitas selalu mengalami ancaman.
Mendukung dan mendukung dan mengenali klien akan tersalur sepanjang pemberian
asuhan keperawatan yang efektif dari individual.
1. Pengkajian
Joint Commission on acreditation Healthcare Organizations (2000) saat ini
memandatkan bahwa setiap klien yang masuk ke intitusi keperawatan harus dilakukan
pengkajian keyakinan dan praktik spiritual.  Taylor (2000) merekomendasikan suatu
pendekatan dua tingkat untuk pengkajian spiritual. (Kozier, 2010., p.503)
Meskipun perawat melakukan pengkajian secara kontinu, pengkajian spiritual
awal paling baik dilakukan pada akhir proses pengkajian, atau setelah pengkajian
psikososial, setelah perawat membina hubungan saling percaya dengan pasien atau
orang pendukung. Perawat yang menunjukkan kepekaan dan kehangatan personal,
serta berhasil membina hubungan terapeutik lebih mampu melakukan pengkajian
spiritual. (Kozier, 2010., p.504)
Secara sistematis, menurut (Hamid 2008., p.20) pada dasarnya informasi awal
yang perlu digali secara umum adalah sebagai berikut.
a. Afiliasi agama
Afiliasi adalah suatu bentuk kebutuhan akan pertalian dengan orang lain,
pembentukan persahabatan, ikut serta dalam kelompok-kelompok tertentu, kerja
sama dan kooperasi (Chaplin, 2002). Afiliasi menurut Poerwadarwinta (1986),
adalah penggabungan, perkaitan, kerja sama, penerimaan sebagai anggota (suatu
golongan masyarakat atau perkumpulan).
1. Partisipasi klien dalam kegiatan agama, apa dilakukan secara aktif atau tidak
2. Jenis partisipasi dalam kegiatan agama
b. Keyakinan agama atau spiritual, mempengaruhi :
1. Praktik kesehatan: diet, mencari dan menerima terapi, ritual atau upacara agama
2. Persepsi penyakit: hukuman, cobaan terhadap keyakinan
3. Stress koping (bagaimana reaksi orang ketika menghadapi stress/tekanan)
c. Nilai agama atau spiritual, mempengaruhi :
1. Tujuan dan arti hidup
2.  Tujuan dan ari kematian, kesehatan dan pemeliharaannya
3. Hubungan dengan tuhan, diri sendiri dan orang lain
d. Pengkajian data subjektif
Pedoman pengkajian spiritual yang disusun oleh Stoll dalam Craven dan
Hirnle (1996) dalam (Hamid 2008., p.20) mencakup empat area, yaitu:
1. Konsep ketuhanan
2. Sumber harapan atau kekuatan
3. Praktik agama dan ritual
4. Hubungan antara keyakinan spiritual dan kondisi kesehatan
Pertanyaan yang dapat di ajukan perawat untuk memperoleh informasi tentang
pola fungsi spiritual klien, antara lain:
a. Apakah agama atau tuhan merupakan hal penting dalam kehidupan anda?
b. Kepada siapa biasanya anda meminta bantuan?
c. Apakah anda merasa percaya bahwa agama membantu anda? jika ya, bagaimana
dapat membantu anda?
d. Apakah sakit (atau kejadian penting lainnya yang pernah anda alami) telah
mengubah perasaan anda terhadap tuhan atau praktik agama anda?
Fish dan Shelly dalam Craven dan Hirnle (1996) dalam (Hamid, 2008, p.21)
juga menambah beberapa pertanyaan yang bermanfaat untuk mengkaji data
subjektif, yaitu:
1. Mengapa anda berada dirumah sakit?
2. Apakah kondisi sakit yang anda alami telah mempengaruhi cara anda
memandang kehidupan?
3. Apakah penyakit anda telah mempengaruhi hubungan anda dengan orang yang
paling berarti dalam kehidupan anda?
4. Apakah kondisi sakit yang anda alami telah mempengaruhi cara anda melihat
diri sendiri?
5. Apa yang paling anda butuhkan saat ini?
e. Pengkajian data objektif
Pengkajian data objektif dilakukan melalui pengkajian klinis yang
meliputi pengkajian afek dan sikap, prilaku, verbalisasi, hubungan interpersonal
dan lingkungan. Pengkajian data objektif terutama dilakukan melalui observasi.
(Shelley & fish, 1998; Summer, 1998 dalam Kozier, 2010 p. 504 dan Hamid,
2008., p.22)
1. Afek dan sikap
Apakah pasien tampak kesepian, depresi, marah, cemas, agitasi, apatis
atau preokupasi?
2. Prilaku
a. Apakah pasien tampak berdoa sebelum makan, membaca kitab suci atau
buku agama?
b. Apakah pasien sering kali mengeluh, tidak dapat tidur, mimpi buruk, dan
berbagai bentuk gangguan tidur lainnyya serta bercanda yang tidak
sesuai atau mengekspresikan kemarahannya terhadap agama?
3. Verbalisasi
a. Apakah pasien menyebut tentang makna dan arti hidup
b. Kebutuhan, doa atau topik keagamaan lainnya (walau hanya sepintas)
c. Apakah pasien pernah meminta dikunjungi oleh pemuka agama?
d. Apakah pasien mengekspresikan rasa takutnya terhadap kematian,
kepedulian terhadap arti kehidupan, konflik batin tentang keyakinan
agama, kepedulian tentang hubungan dengan yang maha penguasa, arti
keberadaannya di dunia, arti penderitaan atau implikasi terapi terhadap
nilai moral/etik?
4. Hubungan interpersonal (hubungan yang terdiri atas dua orang atau lebih
yang memiliki ketergantungan satu sama lain dan menggunakan pola
interaksi yang konsisten)
a. Siapa pengunjung pasien?
b. Bagaimana pasien berespon terhadap pengunjung?
c. Apakah pemuka agama mengunjungi pasien?
d. Bagaimana pasien berhubungan dengan pasien lain dan dengan tenaga
keperawatan
5. Lingkungan
a. Apakah pasien membawa kitab suci atau perlengkapan sembahyang
lain?
b. Apakah pasien menerima kiriman tanda simpati dari unsur keagamaan?
c. Apakah klien memakai pakaian yang memiliki makna religius?
Menurut Hamid (2008)., p.23 pada umumnya karakteristik
klien yang berpotensi mengalami distress spiritual adalah sebagai
berikut.
1. Klien yang tampak kesepian dan sedikit pengunjung
2. Klien yang mengekspresikan rasa takut dan cemas
3. Klien yang mengekspresikan keraguan terhadap sistem agama
4. Klien yang mengekspresikan rasa takut terhadap kematian
5. Klien yang akan di operasi
6. Penyakit yang berhubungan dengan emosi atau implikasi sosial dan
agama
7. Mengubah gaya hidup
8. Preokupasi tentang hubungan agama dan kesehatan
9. Tidak dapat dikunjungi oleh pemuka agama
10. Tidak mampu atau menolak melakukan ritual spiritual
11. Menverbalisasikan bahwa penyakit yang di deritanya merupakan
hukuman dari tuhan
12. Mengekspresikan kemarahannya kepada tuhan
13. Sedang menghadapi sakaratul maut (dying)
Tabel. Panduan Pengkajian Terfokus. Menurut Hamid, 2008., p.24
No Aspek spiritual Pertanyaan dan pendekatan
1 Keyakinan spiritual Apakah ada keyakinan spiritual atau
agama yang penting bagi anda?
Apakah keyakinan agama anda mengatur
tindakan yang berkonflik dengan terapi
yang direkomendasikan oleh dokter?
2 Praktik spiritual Uraikan praktik spiritual yang biasa anda
lakukan atau yang mengganggu
kemampuan anda uuntuk melakukannya?
Apakah saya dapat membantu anda untuk
tatap melakukannya?
3 Hubungan antara Uraikan bagaimana keyakinan spiritual
keyakinan spiritual anda mempengaruhi kehidupan anda
dengan kehidupan sehari-hari?
sehari-hari Apakah pengaruh tersebut membuat hidup
anda lebih sehat atau justru destruktif?
4 Defisit atau distress Apakah keyakinan spiritual anda akhir-
spiritual akhir inimenyebabkan distress?
5 Kebutuhan spiritual Dengan cara apa saya dan perawat lain
membantu anda memenuhi kebutuhan
spiritual anda?
Apakah anda ingin berhubungan dengan
pemuka agama?
6 Kebutuhan Dengan cara apa keyakinan agama anda
menemukan arti dan membantua atau  menghalangi anda
tujuan mengahadapi situasi yang di alamiakhir ini
serta menghadapinya dengan keberanian
dan perasaaan damai?
7 Kebutuhan Dengan cara apa keyakinan keagamaan
mencintai  dan anda membantu atau menghalangi anda
keterikatan- untuk memenuhi kebutuhan untuk dicintai
kedekatan dan mencintai?
8 Kebutuhan untuk Dengan cara apa keyakinan agama anda
mendapatkan membantu atau menghalangi anda untuk
pengampunan merasa damai?
9 Observasi prilaku Waspadai kemungkinan perubahan
penting mendadak dalam praktik spiritual,
perubahan alam perasaan, minat yang tiba-
tiba terhadap hal-hal spiritual dan
gangguan pola tidur. Semuanya ini
mungkin menunjukkan adanya kebutuhan
spiritual yang belum terpenuhi?

2.3 Asuhan keperawatan spiritual


1. Pengkajian
a. Keyakinan dan makna
Penting untuk mempelajari tentang filosofi hidup seseorang, perspektif
spiritualitasnya, dan apakah pandangan spiritualnya sebagai bagian
darikehidupannya secara keseluruhan. Tanyakan kepada klien,”dapatkah anda
katakan kepadasaya tentang filosofi hidup anda?, jelaskan kepada saya apa yang
paling penting dalam hidup anda ? katakan kepada saya apa yang telah memberi
makna hidup anda ?”. informasi ini dapat membantu perawat untuk mengenali
fokus spiritual klien dan dampak penyakit pada kehidupan seseorang. Suatu
pemahaman tentang keyakinan dan makna yang mencerminkan sumber spiritual
seseorang memudahkan dalam mengatasi kejadian troumatik atau yang
menyulitkan. (Potter & perry, 2005., p.571)

b. Autoritas dan pembimbing


Autoritas dapat berupa yang maha kuasa, pembuka agama, keluarga atau
teman, diri sendiri. Suatu autoritas memandu seseorang dalam mengujai
keyakinan dan mengalami pertumbuhan. Perawat dapat mengkaji sumber autoritas
dan pedomn seseorang dengan menanyakan klien “apa yang memberi anda
kekuatan dari dalam?, kepada siapa anda mencari bantuan untuk pedoman dalam
hidup anda?”. Juga penting untuk mengetahui apakah ada sumber keagamaan
yang berkonflik dengan pengobatan medis. Hal ini sangat mempengaruhi pilihan
yang diberikan perawat dan pemberi perawatan kesehatan lainnya kepada klien.
Misalnya jika klien penganut saksi yehove sebagai sumber autoritasnya maka
tranfisi darah tidak akan diterima sebagai suatu bentuk pengobatan. (Potter &
perry, 2005., p.571)
c. Pengalaman dan emosi
Pengkajian spiritual yang mencakup tinjauan tentang riwayat seseorang
dengan dan kapasitas pengalaman keagamaan dan apakah pengalaman tersebut
terjadi mendadak atau bertahap. Perawat dapat menanyakan “pernahkah anda
mempunyai pengalaman keagamaan atau spirirual yang membuat berbeda dalam
anda menjalani hidup?”. Perawat menggali emosi atau suasana hati seperti
kebahagian damai, marah, rasa bersalah, harapan atau rasa malu yang berkaitan
dengan pengalaman keagamaan. Informasi tersebut dapat menunjukkan makna
spiritualitas yang dianut dan apakan perasaan tersebut menyatu  kedalam atau
ditolak oleh keyakina klien.  (Potter & perry, 2005., p.572)
d. Persahabatan dan komunitas
Pengkajian holistik perawat menggali keluasan jaringan dukunan
seseorang dan hubungan mereka dengan klien. Apakah klien mempunyai satu
hubungan persahabatan atau  lebih? tingkat dukungan apa yang diterima dari
komunitas ini? bagaimana komunitas mengekspresikan perasaan tentang perhatian
dan persahabatan? perawat ingin mempelajari apakah terdapat keterbukaan
diantara klien dan individu tersebut dengan siapa klien membentuk persahabatan.
(Potter & perry, 2005., p.572).
e. Ritual dan ibadat
Klien yang beragama islam mungkin berkeinginan untuk memadukan
ritual sembahyang mereka ke dalam rutinitas perawatan kesehatan. Ketika
kematian klien sudah dekat, sangat penting artinya untuk mengetahui apakah
praktik keagamaan harus di lakukan untuk memastikan ketenangan jiwa bagi klien
dan keluarganya. (Potter & perry, 2005., p.573)
f. Dorongan dan pertumbuhan
Pengkajian mencakup tinjauan apakah klien membiarkan keyakinan lama
terpendam dengan harapan bahwa keyakinan baru akan muncul. Hal ini penting
karena kehilangan harapan dapat menyebabkan keputusasaan. Jika penyakit
membuat seseorang lebih bergantung, dapatkah sumber baru muncul? (Potter &
perry, 2005., p.574)
g. Panggilan dan konsekuensi
Individu mengekspresikan spiritulitas mereka pada rutinitas sehari-hari,
pekerjaan, hubungan, dan bidang lainnya. Hal tersebut dapat menjadi panggilan
dalam hidup dan menjadi bagian dari identitas mereka. Perawat mengkaji apakah
dalam menghadapi penyakit, klien kehilangan kemampuan untuk
mengekspresikan rasa keterhubungan dengan sesuatu yang lebih besar darinya.
(Potter & perry, 2005., p.574)

2. Diagnosa Keperawatan
Menurut NANDA 2003, mengakui tiga diagnosis yg berhubungan dengan
spiritual :
a. Distress spiritual adalah hambatan kemampuan untuk mengalami dan
mengintegrasikan makna dan tujuan dalam hidup melalui hubungan dengan diri
sendiri, orang lain, music, seni, buku, alam, ataupun dengan Tuhan Yang Maha
Esa.
b. Distress spiritual, risiko adalah beresiko terhadap hambatan kemampuan untuk
mengalami dan megintrasikan makna dan tujuan dan tujuan dalam hidup melalui
hubungan diri sendiri, orang lain, seni, musik, buku, alam, ataupun dengan Tuhan
yang Maha Esa.
c. Kesiapan untuk meningkatkan kesejahteraan spiritual adalah kemampuan untuk
mengalami dan mengintegrasikan makna dan tujuan hidup melalui hubungan
dengan diri sendiri, orang lain, seni, music, buku, alam, ataupun demgam Tuhan
Yang Maha Esa dan dapat ditingkatkan.

3. Distress spiritual
a. Definisi distress spiritual
Menurut Judith M.Wilkson (2009) definisi distress spiritual adalah hambatan
kemampuan untuk mengalami dan mengintegrasikan makna dan tujuan dalam
hidup melalui hubungan dengan diri sendiri, orang lain, musik, seni, buku, alam,
ataupun dengan Tuhan Yang Maha Esa.
1. Hubungan dengan diri sendiri
a. Marah
b. Rasa bersalah
c. Koping buruk
d. Mengekspresikan kurangnya: Penerimaan, semangat memaafkan diri sendiri,
harapan, cinta
e. Makna dan tujuan hidup
f. Kedamaian dan ketentraman
2. Hubungan dengan orang lain
a. Mengungkapkan pengasingan
b. Menolak interaksi dengan orang terdekat
c. Menolak interaksi dengan pembimbing spiritual
3. Hubungan dengan Seni, Musik, Buku, Alam
a. Tidak tertarik pada alam
b. Tidak tertarik membaca literature keagamaan
c. Ketidakmampuan mengekspresikan status kreativitas yang dahulu
(Bernyanyi, dan mendengarkan music serta menulis)
4. Hubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa
a. Mengungkapkan di tinggalkan
b. Mengungkapkan marah terhadap Tuhan
c. Mengungkapkan keputusasaan
d. Mengungkapkan penderitaan
e. Ketidakmampuan mengintropeksi diri atau menilik diri
f. Ketidakmampuan mengalami transendensi diri
g. Ketidakmampuan berpartisipasi dalam aktifitas keagamaan
h. Ketidakmampuan berdoa
i. Meminta berteman dengan pembimbing spiritual
j. Perubahan mendadak pada praktik spiritual
b. Faktor yang berhubungan distress spiritual
Menurut Judith M.Wilkson (2009) distress spiritual mempunyai faktor yang
berhubungan dengan distress spiritual, sebaga berikut :
1. Menjelang ajal aktif
2. Ansietas
3. Penyakit kronik pada diri sendiri dan orang lain
4. Kematian [orang lain]
5. Perubahan hidup
6. Kesepian atau pengasingan social
7. Nyeri
8. Peniadaan diri
9. Deprivasi sosiokultural
c. Saran penggunaan distress spiritual
Menurut Judith M.Wilkson (2009) distress spiritual mempunyai saran
penggunaan distress spiritual, sebagai berikut :
1. Kesejahteraan spiritual sebaiknya di pikirkan secara luas dan tidak terbatas
pada agama. Semua orang beragama, dalam artin bahwa mereka mebutuhkan
sesuau yang dapat memberikan arti dalam hidup mereka. Untuk sebagian
Orang, hal ini berarti percaya terhadap Tuhan dalam arti tradisional, untuk yang
lainnya, hal ini merupakan perasaan keselarasan dengan alam, sementara untuk
yang lainnya lagi, hal ini dapat keluarga dan anak – anak. Ketika pasien
percaya bahwa hidup tidak memiliki arti atau tujuan, dalam arti apapu, terjadi
distres spiritual.
2. Beberapa alternative diagnosis yang di sarankan berikut dapat menimbulkan
distress spiritual.
d. Alternatif diagnosis yang di sarankan distress spiritual
Menurut Judith M.Wilkson (2009) distress spiritual mempunyai alternatif
diagnosis yang di sarankan distress spiritual, sebagai berikut :
1. Ansietas, kematian
2. Konflik pembuatan keputusan
3. Koping, ketidakefektifan
4. Kepedihan, kronis
5. Distress spiritual, risiko
e. Hasil NOC distress spiritual
Menurut Judith M.Wilkson (2009) distress spiritual mempunyai hasil NOC
distress spiritual, sebagai berikut :
1. Kematian yang bermartabat : tindakan pribadi untuk mempertahankan kendali
dan kenyamanan dalam mendekati akhir kehidupan.
2. Harapan : optimism yang secara pribdi memuaskan serta mendukung hidup.
3. Kesehatan spiritual : hubungan dengan diri sendiri, orang lain, Tuhan, seluruh
kehidupan, alam, dan semesta; yang meningkatkan trasendensi diri serta
memberdayakan diri.
f. Intervensi NIC distress spiritual
Menurut Judith M.Wilkson (2009) distress spiritual mempunyai intervensi
NIC distress spiritual, sebagai berikut :
1. Dukungan emosi: memberi ketenangan, penerimaan dan dukungan saat stress
2. Penumbuhan harapan: memfasilitasi perkembangan sikap positif pada situasi
tertentu
3. Fasilitasi pertumbuhan spiritual: memfasilitasi pertumbuhan kapasitas pasien
untuk mengidentifikasikan, berhubungan dengan dan memanggil sumber
makna, tujuan, kenyamanan, kekuatan, dan hatrapan dalam hidup mereka
4. Dukungan spiritual: membantu pasien untuk merasakan keseimbangan dan
hubungan dengan tuhan.
g. Aktivitas keperawatan distress spiritual
Menurut Judith M.Wilkson (2009) distress spiritual mempunyai aktivitas
keperawatan distress spiritual, sebagai berikut :
1. Pengkajian
Untuk pasien yang mengindikasikan adanya ketaatan beragama, kaji
adanya indikator langsung status spiritual pasien dengan mengajukan
pertanyaan sebagai berikut:
a. Apakah anda merasa keimanan Anda dapat membantu Anda? Dengan cara
apa keimanan tersebut penting bagi Anda saat ini?
b. Bagaimana saya dapat membantu Anda menjalani keimanan Anda?
Misalnya, apakah Anda ingin saya membacakan buku doa untuk Anda?
c. Apakah Anda menginginkan kunjungan dari penasihat spiritual atau
layanan keagamaan dari rumah sakit?
d. Tolong beri tahu saya tentang aktivitas agama tertentu yang penting bagi
Anda.
Lakukan pengkajian tidak langsung terhadap statusa spiritual pasien
dengan melakukan langkah berikut:
a. Tentukan konsep ketuhanan pasien dengan mengamati buku-buku yang ada
disamping tempat tidur atau di program televisi yang dilihat pasien. Juga
catat apakah kehidupan pasien tampak memiliki arti, nilai, dan tujuan.
b. Tentukan sumber-sumber harapan dan kekuatan pasien. Apakah tuhan
dalam arti tradisional, anggota keluarga, atau kekuatan “bersumber dari
dalam dirinya”? catat siapa yang paling banyak diperbincangka oleh pasien,
atau tanyakan, “siapa yang penting bagi Anda?”
c. Amati apakah pasien berdoa ketika Anda memasuki ruangan, sebelum
makan, atau saat tindakan.
d. Amati barang-barang, seperti leteratur keagamaan, rosario, kartu ucapan
semoga lekas sembuh yang bersifat keagamaan di samping tempat tidur
pasien.
e. Dengarkan pandangan-pandangan pasien tentang hubungan antara
kepercayaan spiritual dan kondisi spiritualnya, terutama untuk pertanyaan,
seperti, “mengapa tuhan membiarkan hal ini terjadi pada saya?” atau “jika
saya beriman, saya pasti akan sembuh.”
2. Aktivitas Kolaboratif
a. Komunikasi kebutuhan nutrisi (misalnya, makanan halan, diet vegetarian,
dan diet tanpa-daging babi? Dengan ahli gizi
b. Minta konsultasi spiritual untuk membantu pasien atau keluarga menentuka
kebutuhan pascahospitalisasi dan sumber-sumber dukungan di masyarakat
c. Dukungan Spiritual (NIC): Rujuk ke penasihat spiritual pilihan pasien
3. Aktivitas lain
a. Jelaskan pembatasan yang dilakukan sehubungan dengan perawat terhadap
aktivitas keagamaan
b. Buat perubahan yang diperlukan segera untuk membantu memenuhi
keutuhan pasien (misalnya, dukung keluarga pasien atau teman untuk
membawa makanan istimewa)
c. Jaga privasi dan beri waktu pada pasien untuk mengamati praktik
keagamaan
d. Dukungan Spiritual (NIC):
1. Terbuka terhadap ungkapan pasien tentang kesepian dan
ketidakberdayaan
2. Gunakan teknik klarifikasi nilai untuk membantu pasien mengklarifikasi
kepercayaan dan nilai yang ia yakini, jika perlu ungkapkan empati
terhadap perasaan pasien
3. Dengarkan dengan cermat komunikasi pasien dan kembangkan makna
waktu berdoa atau ritual keagamaan
4. Beri jaminan kepada pasien bahwa perawat selalu ada untuk mendukung
pasien saat pasien measakan penderitaan
5. Anjurkan kunjungan pelayanan keagamaan, jika diinginkan beri artikel
keagamaan yan diinginkan, sesuai pilihan pasien
Perawatan Dirumah
a. Tindakan di atas tepat diterapkan dalam perawatan dirumah
b. Bantu pasien dan keluarga menciptakan satu ruang di dalam rumah
untuk meditasi atau beribadah
Untuk lansia
Atur seseorang (misalnya, pembantu rumah tangga) untuk
membacakan kitab suci untuk klien jika klien menginginkannya dan
tidak mampu membacanya sendiri.
BAB III

ROLE PLAY TAK


SPIRITUAL
Wahyu Pratita M :Narator

Galih Hajeng W : Leader

Elvia Saraswati : Co-Leader

Alfia Ellyka : Fasilitator

Vidiana Putri E : Fasilitator

Freditya : Fasilitator

Yoqi Putra P : Lansia

Miranda M : Lansia

Reka Riesta A : Lansia

Krismonita W : Lansia
Di sebuah Panti werdha sambaing lihum tepatnya di ruang jeruk tampak terlihat tim
perawat akan melaksanakan terapi aktivitas kelompok kepada kelompok pasien dengan
perilaku kekerasan dengan berbagai macam sebab, adapun latar belakang pasien-pasien itu
untuk pasien pertama Ny.T berumur 28 tahun dengan latar belakang pernah diselingkuhi
suaminya dan saat ini masih berstatus suami isteri, Ny.N berumur 34 tahun dengan berbagai
macam tuntutan dari sang suami. Ny.D berumur 27 tahun mengalami latar belakang ditinggal
pergi sang suami tanpa kejelasan sampai saat ini masih dalam tahap pengingkaran bahwa
suaminya telah pergi dan sering melampiaskan dengan mengamuk menghancurkan barang
barang yang ada pasien masih berstatus suami isteri.
Perawat sudah memilah dan memilih klien yang sesuai dengan indikasi dan membuat kontrak
dengan kien.
tim terapis sudah mempersiapkan materi yang akan disampaikan serta alat dan bahan untuk
melakukan terapi.
Kemudian perawat terapis memasuki ruangan yang sudah ditetapkan dan memulai aktifitas
kelompok pasien dengan perilaku kekerasan.
Leader : Selamat pagi semuanya,
Px : Pagi sus…..
Leader : saya perawat Galih Hajeng yang akan memimpin jalannya TAK pada pagi
ini. Saya ditemani oleh suster Elvia yang membantu dalam TAK hari ini,bisakah bapa
masing-masing memperkenalkan diri kepada kami dan senangnya di panggilnya apa?
Px 1 : nama saya Reka Riesta,biasa di panggil Reka
Px 2 : nama saya Yoqi Putra, biasa dipanggil Yoqi
Px 3 : nama saya Miranda, biasa dipanggil Mira
Px 4 : nama saya Krismonita, biasa dipanggil Monita
Leader : baik ibu-ibu bagaimana perasaan bapaak dan ibu hari ini ?
Px : baik sus *serentak*
Leader : apakah bapak-ibu disini masih ada yang mempunyai rasa kesal dan jengkel
yang masih terpendam serta masih mengamuk ?
Px 1 : kadang-kadang ada sus.
Px 2 : masih ada rasa kesal sus tapi kadang kadang.
Px 3 : hemm kadang kadang memang masih ada sus
Leader : Baiklah ibu jadi terapi aktivitas kelompok yang kita akan laksanakan ini
yang pertama bertujuan untuk mengetahui tanda –tanda yang muncul ketika marah, apa saja
hal yang menyebabkan bapak marah,lama kegiatannya kira kira kurang lebih 30 menit dan
jika nanti ibu mau meninggalkan ruangan diharapkan ibu meminta ijin terlebih dahulu, serta
ibu-ibu diharapkan mengikuti kegiatan dari awal sampai akhir apakah ibu bersedia ?
Px : bersedia sus
Co Leader : Baiklah bagaimana kalau kita akan berbincang-bincang sekarang tentang
perasaan marah ibu ?
Px : Baik sus.
KERJA :
Core leader : nah ibu sebelumnya saya bertanya dulu, biasanya tanda-tanda fisik apa saja
yang muncul ketika ibu mau marah dan sedang marah
Px 1 : saya biasanya, dada saya berdebar debar sus
Px 2 : kalau saya bisanya tangan saya mengepal sus, muka saya terasa panas, mulut
saya tertutup sus,
Px 3 : kalau saya sus, mata saya melotot,
Core leader : iya benar sekali, tanda – tanda marah seperti yang sudah ibu-ibu sebutkan
tadi, muka terasa panas, tangan mengepal, rahang atau mulut tertutup, mata melotot, dan juga
dada berdebar-debar, jadi ibu-ibu sekalian sudah dapat mengenali dan mengetahui tanda-
tandanya bukan?
Px : iya sus, sudah bisa
Co Leader : kita masuk ketujuan kedua ya, kami ingin mengetahui penyebab kemarahan
ibu-ibu yang mengarah ke preilaku kekerasan, Kalau boleh tau apa yang menyebabkan ibu-
ibu marah?
Px 1 : karena saya diselingkuhi
Px 2 : karena saya terlalu dituntut
Px 3 : karena ada yang hilang dalam hidup baru saya sus
Co Leader : Mereka itu siapa ibu ya?
Px 1 : suami saya sus
Px 2 : suami saya juga sus
Px 3 : suami saya sus.
Co Leader : begitu ya ,jadi penyebab marah ibu-ibu semua dikrenakan oleh suami ibu,
Apakah jika ibu merasakan marah ibu merasakan tanda-tanda seperti yang ibu sebutkan tadi ,
seperti dada ibu berdebar-debar, mata melotot, rahang terkatup rapat, dan tangan mengepal?”
Px : iya sus, *mengangguk*
Co Leader : Apakah sebelumnya ibu pernah marah? Apakah penyebabnya sama dengan
sekarang?” “Terus apa yang ibu-ibu lakukan ketika bapak mengalami marah tersebut?
Px 1 :*mengangguk* pernah sus,entah kenapa saya slalu merasa kesal terhadap
orang lain karena saya ingat dengan suami saya yang selingkuh jadi saya teriaki mereka dan
memaki mereka sus.
Px 2 : tentu saja pernah bahkan sering,iya sus sama seperti sekarang saya melihat
orang lain seakan-akan menuntut saya terus menerus,jadi saya lempari mereka dengan barang
barang yang ada sus.
Px 3 :saya sangat sering marah sus,iya penyebabnya karena suami saya yang
menghilang jadi saya melihat orang-orang itu seperti menyembunyikan suami saya sus jadi
saya kejar orang-orang itu sus dan akan saya pukul.
Co leader : perilaku kekerasaan apa yang paling sering ibu lakukan dan ibu bisa untuk
ibu peragakkan.
Px 1 : paling sering saya memaki orang sus.
Px 2 : Melempar lempar barang keorang lain sus yang paling saya sering lakukan.
Px 3 : memukul orang lain sus yang paling saya lakukan
Co leader : baiklah ibu karena ibu tadi sudah menyebutkan kebiasaan ibu reka sering
membentak orang, ibu krismonita melempar barang dan ibu mira dan bapak Yoqi sering
memukul orang, nah untuk meredakannya Ibu bapak bisa dengan mengaji, solat 5 waktu,
berwudhu. Coba bapak ibu praktekkan cara solat dan cara berwudhu, nanti akan dipandu oleh
suster Elvia.
( Pasien memperagakan Spiritual dengan perawat.)
Leader : apa yang ibu rasakan setelah ibu melakukan solat seperti tadi?
Px 1 : saya merasa nyaman , dan mulai tenang
Px 2 : saya mulai merasa tenang juga bu marahnya juga hilang
Px 3 : kalau saya merasa tidak pusing lagi setelah solat
(Setelah selesai melakukan stimulasi perawat pun melakukan evaluasi kepada klien.)
Leader : nah hal-hal yang bapak ibu rasakan tadi merupakan perasaan yang
ditimbulkan karena perasaan marah yang sudah terkendali tersebut, dari ibu reka karena
teriak-teriak bisa tenang nyaman, ibu mira dan bapak yoqi karena marah-marah jadinya
marah-marah sudah hilang, dan ibu monita sakit kepala sudah mereda maka untuk
menguranginya dengan solat, berwudhu dan mengaji
Px : iya sus
Leader : bagaimana ibu setelah ibu melakukan simulasi spiritual tadi ?
Px 1 : lumayan tenang sus.
Px 2 : rada sedikit lega an sus
Px 3 : merasa sedikit lebih nyaman sus.
Leader :, saya ingin bertanya, apa saja tadi tanda-tanda yang ditimbulkan ketika
marah, apakah ibu-ibu masih ingat?
Px : ingat sus
Leader : bisa disebutkan ibu-ibu? Dari ibu monita
Px 3 : tangannya mengepal sus, dan mata melotot
Leader : iya bagus ibu, kalau dari ibu mira?
Px 1 : kalau saya, muka terasa panas, rahang tertutup sus
Leader : iya bagus ibu, yang terakhir, bisa disebutkan bapak yoqi?
Px 2 : dada berdebar-debar sus

Leader : iya bagus bu,apakah ibu tahu dan mengerti dampak melakukan spiritual
yang ibu lakukan/simulasikan tadi ?
Px 1 : ya sekarang saya lebih tahu sus dengan saya solat saya sudah tenang
Px 2 : ya sekarang saya lebih tahu ada manfaat dari melakukan solat dan mengaji
serta berwudhu.
Px 3 :tentu saja saya tahu dampak yang dimunculkan dari dapat menenangkan saya
Co leader : nah ibu sudah mengatahui tanda gejala serta akibat dari perilaku ibu tadi,
saya ingin sedikit menambahkan dari ibu reka berteriak tadi tidak hanya menyakiti untuk ibu
sendiri tapi bagi orang lain juga berdampak misalnya istirahat orang lain terganggu ibu di
jauhi orang lain, ibu mira juga pasti merasa rugi selain untuk ibu sendiri orang lain yang ibu
lempari juga akan terluka oleh benda benda yang ibu lempar, untuk ibu monita, ibu juga
merasakan sakitkan ditangan ibu, orang lain yang ibu pukul pun juga pasti merasa sakit dan
ibu di jauhi oleh orang lain tersebut, ibu-ibu sudah bagus bisa menyampaikan penyebab
marah tanda dan gejala marah dan sudah dapat mendiskusikan perilaku kekerasan yang
pernah dan sering ibu lakukan, bapak-ibu juga bisa memperagakan perilaku spirituak dengan
perawat serta dapat mengetahui dampak perilaku kekerasaan tersebut
leader : baiklah ibu karena waktunya sudah habis,sekarang kita tutup kegiatan ini
dan ibu-ibu bisa melanjutkan kegiatan yang lain. Mohon maaf jika kami ada salah kata-kata,
Wasalamualaikum wr.wb selamat pagi semuanya.
px : Waalaikumsalam Wr. Wb
BAB IV
PENUTUP

3.1 Simpulan
Spiritual adalah suatu perasaan terhadap keberadaan dan arti dari zat yang lebih
tinggi dari manusia yang menjadi faktor intrinsik alamiah dan merupakan sumber
penting dalam penyembuhan. Dimana dikatakan pula sebagai keyakinan (faith)
bersumber pada kekuatan yang lebih tinggi akan membuat hidup menjadi lebih hidup
dapat mendorong seseorang untuk melakukan tindakan. Setiap interaksi dan perilaku
individu sangat dipengaruhi oleh spiritualisme yang dialami dalam kehidupan yang
sangat erat hubungannya dengan kebudayaan yang ada.
Kesehatan spiritual berkaitan erat dengan dimensi lain dan dapat dicapai jika
terjadi keseimbangan dengan dimensi lain (fisiologis, psikologis, sosiologis,
kultural).  Peran   perawat   adalah  bagaimana  perawat   mampu mendorong klien untuk
meningkatkan spiritualitasnya dalam berbagai kondisi, Sehingga klien mampu
menghadapi, menerima dan mempersiapkan diri terhadap berbagai perubahan yang terjadi
pada diri individu tersebut.
Pengkajian spiritual paling baik dilaksanakan setelah perawat membina hubungan
terapeutik dengan klien. Informasi dapat diperoleh mengenai konsep klien terkait diet
atau dorongan kreatif, sumber harapan dan kekuatan klien terhadap hubungan antara
kesehatan dan keyakinan spiritual. Intervensi keperawatan yang meningkatkan
kesejahteraan spiritual mencakup menawarkan kehadiran seseorang, mendukung praktik
keagamaan klien, berdoa bersama klien, dan merujuk klien ke konselor keagamaan.
Jadi spiritualitas dan religi itu harus seimbang antara manusia dengan Tuhan , dan
antara Tuhan dan manusia. Jika tidak seimbang maka distress spiritual akan terjadi.
Kita sebagai perawat meminta orang-orang terdekat seperti keluarga, teman dan
tokoh masyarakat (ustadz) untuk membantu dalam mendukung proses penyembuhan
klien yang mengalami distress spiritual selain obat yang diberikan di rumah sakit.
3.2 Saran
Diharapkan  mahasiswa dapat mengetahui/menguasai  tentang kesehatan spiritual
dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA

Capernito, L. J. 2009. Diagnosa Keperawatan: Aplikasi pada Praktik Klinis. (Kusrini


Semarwati Kadar, Penerjemah). Jakarta: EGC

Cynthia M. Taylor & Sheila Sparks Ralph. 2012. Diagnosis Keperawatan Dengan Rencana
Asuhan Keperawatan. Edisi 10. Jakarta : EGC

Hamid, A .Y.S. 2008. Bunga rampai Asuhan Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC

Hawari, D. 2007. Doa dan Zikir Sebagai Pelengkap Terapi Medis. Jakarta : Penerbit FKUI

Herger, B.R. 2003. Asisten Keperawatan : Suatu Pendekatan Proses Keperawatan. Ed. 6.
Jakarta : EGC

Judith M. Wilkson, Nancy R Ahern. 2009. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Edisi 9.
Jakarta : Buku kedokteran EGC

Kozier, B. et al. 2010. Buku ajar fundamental keperawatan: konsep, proses, dan


praktik.Vol.2. Jakarta: EGC

Potter, A. Patricia, Perry, A. Griffin. 2005. Fundamental keperawatan: konsep, proses, dan


praktik. Ed.4 Vol.2. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai