Cover................................................................................................................
DAFTAR ISI...................................................................................................ii
BAB 1. PENDAHULUAN..............................................................................1
1.1 Latar Belakang..........................................................................................1
1.2 Tujuan........................................................................................................3
1.3 Metode.......................................................................................................3
BAB 2. PEMBAHASAN.................................................................................6
2.1 Trend Issue................................................................................................6
2.2 Asuhan Keperawatan pada Pasien Palliative/Terminal
2.3 Perkembangan Teknologi........................................................................10
2.4 Implikasi Keperawatan............................................................................12
BAB 3.
3.1 KESIMPULAN.........................................................................................
3.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................
2
BAB I
PENDAHULUAN
1
yang didapat dari pernyataan yang diungkapkan pasien saat pengkajian
merupakan data senjang dari semua data yang berhasil dikaji.
Seringkali dalam penegakan diagnosa dapat merujuk ke diagnosa
NANDA terbaru atau merujuk ke diagnosa yang diungkapkan oleh
Carpenito, relevan dengan data yang diperoleh.
Perencanaan keperawatan pasien terminal adalah menyusun
perencanaan terdiri dari menentukan tujuan, intervensi dan rasional.
Tujuan yang ditetapkan adalah tujuan umum atau jangka panjang dan
tujuan khusus atau jangka pendek. Tujuan khusus yang lebih spesifik
lebih ditekankan pada pencapaian kriteria SMART. Berbagai
kebutuhan keilmuan untuk membuktikan tujuan yang bisa memenuhi
kriteria tersebut dengan memenuhi kebutuhan penegakan masalah yang
relevan. Peran yang dimiliki perawat dalam menangani kasus terminal
sangat komprehensif, salah satunya adalah sebagai advokat atau
pelindung dalam membimbing spiritualitas pasien, yang merupakan
pemenuhan kebutuhan biologis-psikologis-spiritual, mengingat
manusia memiliki kebutuhan dasar. Bimbingan spiritual menjadi
bagian penting dari kesehatan, dan telah menjadi ketetapan WHO yang
menyebutkan bahwa aspek spiritual atau agama adalah salah satu unsur
dari pengertian kesehatan secara holistic. Sehingga, diperlukan perawat
untuk membantu pasien dalam memenuhi kebutuhan spiritualnya.
Umumnya, pasien dengan kondisi terminal memiliki potensi untuk
mengalami depresi berat, dan merasakan amarah karena
ketidakberdayaan serta keputusasaan yang ada dalam kepalanya.
Dalam tahap akhirnya ini, pasien perlu selalu berada di dekat perawat,
sehingga pemenuhan kebutuhan spiritual pasien bisa meningkatkan
motivasinya untuk melanjutkan hidup meski didiagnosa keadaan
terminal, serta membantu pasien mempersiapkan diri menghadapi alam
yang kekal dengan tipisnya harapan sembuh.
1.2 Tujuan
1.2.1 Memahami trend Issue yang terjadi pada pasien terminal.
2
1.2.2 Mengetahui perkembangan teknologi oleh perawat dalam
memberikan asuhan keperawatan palliative pada pasien
terminal.
1.2.3 Menjelaskan implikasi keperawatan di dalam asuhan
keperawatan.
1.3 Metode
Metode yang digunakan dalam penulisan makalah dengan
metode studi literature jurnal dengan mengumpulkan dan membaca
serta mengolah data tentang topik yang diteliti. Adapun data yang
digunakan berasal dari jurnal dan karya ilmiah yang membahas topik
yang di teliti.
3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Penyakit terminal adalah peyakit yang secara medis kedokteran tidak bisa
disembuhkan lagi, dan penyakit terjadi pada stadium lanjut. Dalam hal ini,
orientasi pelayanan yang diberikan pada pasien tidak hanya penyembuh saja
namun juga perawatan yang membuat pasien bisa mencapai kualitas hidup
terbaik bagi dirinya da keluarga. Kematian merupakan tahap paling akhir
dalam kehidupan. Kematian bisa saja datang tanpa peringatan secara tiba-tiba,
atau bisa mengikiti fase sakit yang sudah panjang. Meski demikian, kematian
tidak memandang usia seseorang. Tua maupun muda, dari bayi hingga
manula, semua bisa saja mengalami kematian. Kondisi terminal merupakan
keadaan sakit dimana tidak ada lagi harapan bagi pasien untuk bisa sembuh
menurut akal sehat. Keadaan seperti ini bisa diakibatkan oleh penyakit tertentu
atau mengalami kecelakaan (Rinawati, 2021b).
4
Di indonesia perawatan paliatif baru dimulai pada tanggal 19
febuari 1992 di RS Dr.soetomo (Surabaya) yang kemudian di susul RS
cipto mangunkusumo (Jakarta), RS kanker dharmais (jakarta) ,RS
wahidin sudirohusod (makasar) di rs dr ,soetomo perawatan paliatif
dilakukan oleh oleh pusat pengembagan paliatif dan bebas nyeri,
pelayanan yang diberikan meliputi rawat jalan , rawat inap
(konsultatif), rawat rumah , day care, dan respite care.
Pelayanan kesehatan yang pari purna tidak hanya yang dilakukan
dirumah sakit, tetapi juga melewati perawatan pra rumah sakit, selama
dirumah sakit, dan purna rumah sakit, yang tujuan utamanya
mempertahankan kemampuan individu untuk mandiri secara optimal
selama mungkin, pada kasus yang oleh tim dokter dinyatakan sulit
sembuh atau tidak ada harapan lagi ,bahkan hampir meninggal dunia
atau yang dikenal pasien stadium terminal (PTS) ,tentunya dibutuhkan
pelayanan yang special, disini perawat paliatif menjadi aspek penting
pada pengobatan.
Lebih lanjut perawatan paliatif adalah pedekatan yang bertujuan
untuk meningkatkan kualitas hidup kehidupan pasien dan keluarganya
menghadapi masalah masalah yang berhubungan dengan penyakit
yang megancam jiwa, dengan mencegah dan meringankan penderitaan
dengan identifikasi awal serta dengan terapi dan masalah lain fisik,
psikososial ,dan spiritual.
b) Trend penerapan hospice care pada penyakit HIV AIDS
Perkembagan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya dalam
bidang kesehatan telah menjadi penyakit Hiv Aids tidak lagi
merupakan penyakit fatal dan telambat diobati namun telah menjadi
kronis yang potensinya untuk mengubah pola kehidupan para
pengidapnya ,dengan perkembangan ini menjadi penurunan angka
kematian yang merupakan hasil dari keberhasilan terapi hiv aids
sehingga dapat memperpanjang kehidupan klien.
5
Selain itu ada juga salah satu Trend perawatan paliatif yaitu pada
pasien hiv aids dengan penerapan hospice home care , hospice sendiri
adalah persamaan dengan paliatif hanya saja berbeda ruang lingkupnya
Para klien yang mengidap hiv aids yang dirawat di hopise atau
home care masih tetap menjadi populasi beresiko dimana kebutuhan
akan kesehatan memerlukan perhatian jangka panjang . ironisnya tidak
banyak yang peduli dengan tingkat hidup mereka yang menghabiskan
sisa hidupnya di hospise atau home care ini. Pada penderita Hiv Aids
yang tidak mungkin tersembuhkan lagi, perawat paliatif pada dasarnya
upaya untuk mempersiapkan awal kehidupan baru (akhirat) yang
berkualitas tinggi. tidak ada bedanya dengan perawat kandungan yang
dilakukan seorang calon ibu, yang sejak awal kehamilannya rutin
memeriksa diri untuk memastikan kesehatanya dan tumbuh kembang
calon bayinya, agar dapat melewati proses kelahiranya dengan sehat
dan selamat, selanjutnya dalam kehidupan barunya sebagai manusiasi
bayi dapat tumbuh sebagai manusia yang sehat dan berkulitas
2) Teori yang mendukung issue
Issue stigma penyakit HIV/ AIDS yang didengar oleh ODHA pada
pelayanan kesehatan adalah pasien HIV/ AIDS jika meninggal di rumah
sakit wajib dibungkus dengan plastic dan dimasukkan ke dalam peti, kasur
dan semua peralatan bekas pasien HIV/ AIDS dibuang dan dibakar,
penggunaan alat pelindung diri yang berlebihan seperti penggunaan
pakaian menyerupai pakaian astronot baik itu diruang operasi dan ruang
jenazah, dan penggunaan sarung tangan/ handscoon sampai 3 lapis. Dalam
hal ini petugas kesehatan di salah satu rumah sakit yang menyatakan
bahwa diruang operasi petugas wajib menggunakan pakaian khusus
yang menyerupai pakaian astronot (APD Level 3), serta dikamar jenazah
untuk menangani jenazah pasien HIV/AIDS. Tindakan tersebut
ditetapkan sebagai tindakan pengamanan/safety bagi petugas. Begitu juga
jenazah pasien yang telah disetujui untuk dimandikan di rumah sakit wajib
untuk dibungkus dengan plastik dan dimasukkan kedalam peti.
Penuturan dari informan lainnya mengatakan isu stigma dipelayanan
6
kesehatan juga menganggap orang yang positif HIV itu adalah orang
yang tidak benar, wanita yang positif HIV tidak boleh punya anak, dan
penolakan terhadap akses pelayanan kesehatan (Maharani, 2014).
Bentuk stigma internal atau stigmatisasi diri yang dialami oleh
beberapa ODHA tentang statusnya yang HIV positif, mereka
menganggap HIV itu adalah penyakit orang yang berperilaku jelek,
sehingga mereka takut untuk berbicara jujur kepada siapa pun karena
takut akan konsekuensinya misalnya merasa menjatuhkan harga dirinya
sendiri, memiliki rasa rendah diri karena status HIV tersebut dan
mengundurkan diri dari tempat kerja karena mereka takut diketahui
sebagai ODHA. Dalam hal ini ditemukan suatu ungkapan ODHA
yang menyadari bahwa perasaan stigma internal yang dialami oleh
para ODHA dikarenakan rasa sensitivitas ODHA yang tinggi. Tidak
hanya ODHA yang mendengar isu stigma mengenai penyakit HIV/AIDS
ini, tetapi petugas kesehatan juga mengalami demikian. Sebelum
mendapatkan pelatihan, petugas beranggapan bahwa penyakit
HIV/AIDS itu adalah penyakit yang menakutkan/monster. Meskipun
telah mendapatkan pelatihan, namun masih ada petugas kesehatan
yang merasa cemas ketika berhadapan dengan pasien HIV/ AIDS
terutama di ruang rawat inap.
7
penggunaan alat pelindung yang berlebihan, diisolasi, serta
melakukan tindakan medis tanpa memberikan informed consent
sebelum tindakan dilakukan(vasektomi secara paksa pada pasien
yang melahirkan dengan tindakan operasi section cesar dan
pemeriksaan darah). Tidak semua petugas kesehatan telah terpapar
informasi tentang HIV dan AIDS dengan benar, sehingga
menyebabkan petugas kesehatan mendiskriminasi pasien ODHA
yang bermasalah pada giginya. Diskriminasi tidak hanya terjadi pada
pelayanan pasien HIV/AIDS yang ingin mendapatkan perawatan
karena sakit, tetapi diskriminasi juga didapati ketika perlakuan
terhadap jenazah pasien HIV/AIDS dan biaya yang berbeda yaitu
biaya lebih besar dari pada jenazah yang bukan HIV/ AIDS.
3) Opini penulis
8
c. pasien mulai tidak sengaja berkemih atau defekasi
d. Jatuhnya rahang pasien
e. Pernafasan pasien mulai terdengar dangkal, dan tidak teratur
f. Peredaran darah mulai terasa perlambatannya, dan teraba dingin
pada bagian ekstermitas, nadi semakin lemah namun epat.
g. pernafasan mulai tidak teratur dan terdengar dangkal
h. Warna pucat pada kulit
i. mata membelalak serta mulai tidak menunjukkan respon terhadap
rangsangan cahaya
3. Kesadaran pasien terminal. Strause et all dalam Milia dan Wijayanti
(2018), mengkategorikan
kesadaran ini dalam 3 kategori:
a. Closed Awareness/Tidak Mengerti.
Dalam keadaan ini, biasanya dokter lebih memilih agr tidak
menyampaikan prognose dan diagnose pada keluarga atau klien.
Namun, beda untuk perawat, hal ini akan sangat menyulitkan
lantaran perawat berkontak dengan pasien lebih dekat daripada
dokter, dan acapkali ditanya oleh pasien terkait hal tersebut.
Perawat kerap disodorkan berbagai pertanyaan seperti kapan pasien
akan sembuh, atau kapan bisa pulang, dsb.
b. Matual Pretense/Kesadaran/Pengertian yang Ditutupi.
Dalam keadaan ini, bisa dikatakan klien diberikan kesempatan agar
bisa membuat keputusan tentang semua hal yang sifatnya pribadi
meskipun itu menjadi hal yang berat baginya
c. Open Awareness/Sadar akan keadaan dan terbuka.
Dalam tahap ini, pasien dan orang di sekitarnya sudah tahu bahwa
ajala sudah menjelang bagi pasien, dan mereka berusaha untuk
menerima serta mendiskusikannya walaupun tetap merasa getir
4. Faktor-faktor yang perlu dikaji
a. Kebersihan Diri
Kemampuan pasien untuk memenuhi kebutuhan dirinya akan
kebersihan diri meliputi kebersihan kulit, kebersihan rambut dan
9
kebersihan mulut, kuku serta pemenuhan kebersihan setelah buang
air besar/kecil.
b. Rasa nyeri
Tingkat nyeri yang dirasakan, durasi nyeri, lokal, waktu nyeri,
penyebaran nyeri. Kemampuan pasien untuk menahan nyeri,
bagaimana koping pasien terhadap nyeri. Obat apa saja yang telah
diberikan untuk mengatasi nyeri.
c. Jalan Nafas
Perlu diperhatikan pola nafas, frekuensi nafas, bunyi nafas.
Seringkali bila didapatkan pasien dengan sesak nafas, perlu dilihat
juga apakah menggunakan otot-otot pernafasan. Bila menggunakan
oksigen sebagai bantuan nafas, maka identifikasi kebutuhan
oksigen agar tidak terjadi asidoses metabolik. Bagi pasien yang
sadar secara penuh, mungkin akan lebih baik untuk menerapkan
posisi fowler dan pengeluaran sekresi lendir penting dilakukan
sebagai upaya membebaskan jalan nafas. Namun, bagi pasien yang
tidak sadar, posisi sim bisa menjadi posisi yang baik dengan
dipasangkan drainase dari mulut serta pemberian oksigen.
d. Aktifitas
Perlu diperhatikan apakah pasien masih bisa beraktifitas untuk
keperluan diri sendiri atau sudah bergantung dengan orang lain.
Kalo masih bergantung dengan oang lain, perlu dilihat kembali
apakah tingkat ketergantungan pasien total atau sebagian. Jika
kondisi pasien memungkinkan, maka pasien bisa mulai mobilisasi
seperti: berusaha turun dari ranjang tidur, mengganti posisi tidur
agar mencegah terjadinya decubitus, dan hal ini dilakukan secara
periodic. Bila perlu, bisa menggunakan alat untuk menyangga
tubuh pasien, karena tonus otot sudah menurun.
e. Nutrisi
Apabila pasien mengalami nausea dan anorexia karena adanya
penurunan gerakan peristaltic dalam tubuhnya. Untuk mengatasi
hal ini, pasien bisa diberikan obat anti ametik untuk mengurangi
10
mual yang dirasakan, dan meningkatkan rangsangan nafsu makan
serta memberikan makanan dengan tingkat kalori tinggi.
f. Eliminasi
Adanya penurunan, atau bahkan kehilangan tonus otot bisa
membuat pasien mengalami konstipasi, inkontinen feses dan urin.
Pemberian obat laxant bisa dikolaborasikan untuk mencegah
terjadinya konstipasi. Pasien yang mengalami inkontinensia isa
diberikan urinal, pispot secara periodic/ teratur. Selain itu, bisa
juga memasangkan duk yang diganti tiap saat atau bisa juga
dilakukan kateterisasi. Kebersihan pada daerah sekitar perineum
perlu selalu dijaga dan diperhatikan, bila terjadi lecet, harus segera
diberikan salep.
g. Perubahan Sensori
Klien dengan penyakit terminal stadium lanjut, sering terjadi
penurunan sensori terutama apabila penglihatan klien berubah
menjadi kabur, biasanya pasien mulai menghindari atau menola
untuk menghadapkan kepala ke arah lampu / tempat terang. Pada
saat seperti itu, klien memang masih bisa mendengar, namun
mungkin sudah tidak bisa merespon.
h. Kebutuhan Sosial Terkadang pasien dalam keadaan terminal perlu
ditempatkan pada ruang tersendiri, terutama klien dengan penyakit
khusus, serta dalam upaya memenuhi seluruh kebutuhan hubungan
sosial dan keluarganya, beberapa hal yang bisa dilakukan perawaat
yaitu:
1) Menanyakan pada pasien atau keluarga siapa saja yang ingin
dihadirkan untuk bertemu dengan pasien, dan hal ini bisa
didiskusikan bersama keluarga, missal : teman terdekat,
anggota keluarga lain, sanak kerabat.
2) Berupaya menggali perasaan yang dirasakan klien sehubungan
dengan sakitnya saat ini hingga perlu dilakukan diisolasi. 3)
Menyarankan saudara dan teman klien untuk lebih sering
mengunjungi serta mengajak orang lain untuk menjenguk.
11
i. Kebutuhan Spiritual 1)
1) Bertanya kepada klien mengenai harapan hidupnya serta
rencana yang dimiliki klien selanjutnya menjelang
kematiannya.
2) Bertanya kepada klien apakah dirinya ingin didatangkan
pemuka agama untuk memenuhi kebutuhan spiritualnya.
3) Mendukung, mendorong, dan klien untuk memenuhi kebutuhan
spiritual sebatas kemampuannya.
2.2.1 Diagnosis Keperawatan
Perumusan diagnosa pasien terminal mengacu pada hasil pengkajian.
Menurut (Rinawati, 2021b) kondisi yang sering terjadi pada pasien
terminal, namun tidak menutup kemungkinan masalah lain yang mungkin
muncul. Diagnosis Keperawatan yang sering terjadi yaitu :
1. Nyeri dapat bersifat akut atau kronis. Bila nyeri akibat kanker
progresif biasanya kronis dan konstan. Setiap sumber iritasi dapat
menyebabkan peningkatan nyeri.
2. Nutrisi tidak adekuat b.d gangguan pencernaan d.d penurunan nafsu
makan
3. Gangguan pada sistem pencernaan:
a. Biasanya mual muntah terjadi akibat proses penyakit (kanker) atau
akibat komplikasi lain, serta akibat medikasi.
b. Konstipasi terjadi akibat medikasi narkotikdan immobilitas
sehingga memperlambat paristaltik. Konstipasi terjadi juga bisa
karena diet rendah serat, karena yang masuk hanya cairan. Hal ini
karena perubahan nafsu makan
c. Diare sering terjadi akibat penyakit kanker kolon. Biasa juga
terjadi akibat efek pemberian
4. Keletihan terjadi karena tuntutan metabolik kanker sehingga
menurunkan kekuatan otot.
5. Dehidrasi juga bisa terjadi sejalan dengan perkembangan penyakit, hal
ini disebabkan karena pasien tidak mampu mempertahankan asupan
cairan. Atau terjadi akibat obstruksi saluran pencernaan.
12
6. Inkontinensia urin, biasa terjadi akibat komplikasi penyakit kanker
yang sudah mengalami metastase ke medulla spinalis. Bisa terjadi juga
pada pasien terminal yang sudah mengalami penurunan kesadaran.
7. Ansietas/ kecemasan/ ketakutan individu, keluarga yang diperkirakan
bisa berhubungan dengan situasi yang tidak dikenali, sifat serta kondisi
yang tak dapat diperkirakan, atau merasa takut dengan kematian dan
efek negatif pada pada gaya hidup yang telah dilalui.
8. Pola pernafasan tidak efektif, hal ini bisa muncul paa sebagian pasien
dengan kasus kanker paru terminal, atau akibat penyakit lain yang
mengakibatkan odema paru, serta penyakit paru obstruktif menahun.
Atau dipicu adanya penurunan Hb sehingga kapasitas oksigen dalam
paru menurun.
9. Duka yang berhubungan dengan penyakit terminal yang dihadapi,
terlebih menjelang kematian, penutunan fungsi, konsep diri yang
berubah, dan berusaha menarik diri dari orang lain.
10. Perubahan proses keluarga yang berkaitan dengan gangguan
kehidupan dalam keluarga, merasa takut dengan hasik kematian,
ditambah dengan lingkungan tempat perawatan yang penuh degan
stress
2.2.2 Intervensi Keperawatan
Intervensi yang harus diberikan pasien dengan penyakit terminal, perlu
memperhatikan tindakan tanpa kolaborasi (tindakan mandiri perawat) serta
tindakan kolaboratif.
1. Pemberian analgesik narkotik (kolaborasi) dengan jadual yang teratur
untuk mengatasi nyeri kanker.
2. Manajemen nyeri non farmakologik juga bisa diberikan untuk pasien
terminal dengan nyeri pada ambang batas sedang berat (skala 6-7)
dengan teknik nafas dalam relaksasi, guided immagery, distraksi
(pengalihan perhatian), masagge (stimutor syaraf perifer) untuk
memberi peredaan pada nyeri.
3. Gunakan modifikasi antara pemberian manajemen nyeri farmakologik
dan non farmakologik sesuai dengan perubahan status kesehatan klien.
13
4. Perlu diberikan perawatan kulit untuk meminimalkan paparan terhadap
iritan, yaitu: perawatan kulit termasuk memandikan setiap pagi sore,
pemberian lotion supaya tidak kering, pengaturan posisi tidur,
penggantian linen dan penataan linen dengan rapi.
5. Berikan perawatan mulut yang sering, durasi 2-4 jam sekali untuk
menekan sensasi mual, dengan menggunakan sikat gigi yang lembut.
Bibir dipertahankan lembab dengan memberikan lip gloss
6. Bersihkan mata untuk mempertahankan kebersihan.
7. Diskusikan dengan tim lain (medis, nutritionis) tentang pengobatan
dan diet tetentu untuk mengatasi perubahan pengobatan dengan efek
mual dan muntah serta efek diare/konstipasi.
8. Beri pasien periode istirahat yang cukup untuk mengatasi keletihan
dengan ruangan yang nyaman dan tenang. Hal ini berhubungan dengan
usaha penghematan energi pasien terminal.
9. Bila pasien mengalami inkontinenia urin, perawat harus siap dengan
linen yang mudah meresap, antisipasi gesekan dengan kulit karena
memudahkan iritasi kulit, serta menyiapkan perasat kateter jika
memungkinkan.
10. Penyediaan nutrisi dengan porsi yang memungkinkan pasien habis
sesuai dengan skala diet yang disajikan. Jika memungkinkan
membawa makanan dari rumah yang disenangi semasa sebelum sakit,
sehingga akan meningkatkan nafsu makan, serta membri kesempatan
keluarga untuk berpartisipasi terhadap pasien.
11. Posisikan klien yang bisa meningkatkan pola nafas menjadi efektif,
serta sediakan oksigen yang cukup.
12. Batasi pengunjung yang menyebabkan pasien letih.
2.2.3 Implementasi Keperawatan
1. Ansietas / ketakutan ( individu , keluarga ) yang berhubungan denga
situasi yang tak dikenal. Sifat kondisi yang tak dapat diperkirakan
takut akan kematian dan efeknegative pada gaya hidup. Bantu klien
untuk mengurangi ansietasnya :
a. Berikan kepastian dan kenyamanan
14
b. Tunjukkan perasaan tentang pemahman dan empati, jangan
menghindari pertanyaan
c. Doronglah pasien untuk mau menjelaskan tiap ketakutan serta
permasalahan yang berhubungan dengan proses pengobatannya.
d. Mengidentifikasi dan mendukung mekanisme koping efektif klien
yang mengalami kecemasan.
e. Ansietas cenderung bisa memperburuk masalah yang sudah ada.
Oleh karenanya, bantu klien yang mengalami peningkatan ansietas
tegang, emosional dan nyeri fisik.
f. Melakukan pengkajian tingkat ansietas klien: membuat rencana
pernyuluhan apabila tingkatnya rendah atau sedang. Beberapa rasa
pada takut biasanya didasari oleh informasi yang tidak akurat, dan
hal ini dapat dihilangkan dengan memberikan edukasi dan
informasi akurat. Klien dengan ansietas berat atau parah cenderung
tidak mampu menyerap pelajaran.
g. Memberikan dorongan pada keluarga dan teman untuk dapat
mengungkapkan apa yang mereka takutkan. Pengungkapan ini
memungkinkan keluarga dan teman untuk saling berbagi dan
memberiakan kesempatan bagi keduanya untuk memperbaiki
konsep yang tidak benar.
h. Memberikan klien dan keluarga kesempatan serta penguatan
koping positif. Dengan menghargai klien untuk koping efektif bisa
memperkuat renson koping positif yang akan datang.
2. Klien yang berduka karena penyakit terminal, kematian, dan
penurunan fungsi karena sakit terminal akan :
a. Mengungkapkan rasa kehilangan dan perubahan yang dialaminya.
b. Mengungkapkan perasaan yang berhubungan perubahan dan
kehilangan
c. Menyatakan kematian akan terjadi
15
a) Menghabiskan waktu sebanyak mungkin bersama klien.
b) Memperlihatkan kasih sayang, melaksankaan komunikasi terbuka
dengan klien.
c) Berpartisipasi aktif dalam perawatan
16
3. Perubahan proses keluarga yang berkaitan dengan gangguan
kehidupan yaitu mereka akan cenderung merasa takut dengan hasil
(kematian). Anggota keluarga atau kerabat terdekat mungkin akan :
a. Mencurahkan kekhawatirannya terkait prognosis klien.
b. Menceritakan kekhawatirannnya tentang lingkungan tempat
dirawat.
c. Melaporkan fungsi keluarga yang adekuat dan kontinu selama
perawatan klien.
17
yang memerlukan sumbersumber tambahan untuk membantu
mengupayakan pertahanan fungsi keluarga yang terjalin.
18
3. Klien selalu ingat kepada Tuhan dan selalu bertawakal
4. Klien sadar bahwa setiap apa yang diciptakan Tuhan akan kembali
kepadanya
2.4 Perkembangan Teknologi
Dunia teknologi semakin maju dan modern. Ilmu pengetahuan dan
teknologi semakin berkembang pesat, terutama di bidang kesehatan sendiri.
Sehingga menghasilkan intervensi terbaru untuk pemecahan masalah yang
terjadi. Dalam dua puluh tahun terakhir ilmu kesehatan banyak mengalami
kemajuan. Teknologi mampu melahirkan bermacam-macam peralatan
kesehatan yang canggih. Banyak penyakit menular dapat dicegah, penyakit
lainnya dapat diobati, sebagian dilakukan pembedahan dan berbagai cara
sesuai dengan kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang ada. Di pihak
lain, perlu disadari bahwa tidak semua penyakit dapat disembuhkan (tahap
penyakit terminal)(Felenditi et al., n.d.).
Pada tahap inilah harus di akui bahwa kemajuan teknologi kesehatan tidak
dapat mengakhiri kematian. Pada Pasien dengan penyakit terminal, tidak dapat
disembuhkan dengan perawatan secara kuratif. Terapi kuratif dapat membantu
mengurangi tanda dan gejala yang dirasakan. Kebutuhan pasien terminal
adalah perawatan yang dapat membantu mengurangi penderitaan dari proses
penyakit secara fisik, sosial dan psikologi (Felenditi et al., n.d.).
Kegunaan teknologi dalam HIV-AIDS
HIV-AIDS adalah salah satu penyakit terminal atau penyakit yang tidak
bisa sembuh atau penyakit seumur hidup dan penyakit yang berakhir dengan
kematian. Penyakit HIV-AIDS sampai saat ini belum ada obatnya, tetapi HIV-
AIDS ini dapat ditanggulangi dengan perkembangan teknologi informatika
dan komunikasi. Metode ini biasa disebut dengan e-Health. Dalam penerapan
teknologi internet mampu membantu orang-orang di pelosok atau daerah
untuk mengakses informasi tentang pencegahan HIV-AIDS. Rekam medis
secara elektronik juga dapat menguatkan kepedulian terhadap HIV-AIDS
dengan mendapatkan informasi pasien secara akurat. Organisasi kesehatan
dunia atau World Health Organization (WHO) mengatakan bahwa ponsel
dapat dilakukan untuk menanggulangi suatu penyakit yaitu dalam memonitor
19
kesehatan pasien, membantu kebutuhan pengobatan pasien dan praktik
pengobatan untuk masyarakat umum.
a. Media penyampaian pesan
Media penyampaian pesan seperti aplikasi WhatsApp, atau dengan pesan
singkat short message servive (SMS). Tujuan yaitu dalam memanfaatkan
electronic health records (EHR). Alat ini digunakan oleh pihak medis
untuk meningkatkan kualitas perawatan dan mengetahui serta memahami
kondisi kesehatan yang diikuti dengan efektifitas intervensi pengobatan.
b. Penggunaan aplikasi
Selain media sosial, penerapan teknologi dalam kesehatan dapat dilakukan
dalam hal pengotrolan dalam proses pengobatan. Misal, sebuah aplikasi
yang mengatur agar penderita HIV-AIDS dapat hidup teratur dengan
pengobatan antiretroviral yang dilakukan secara berkala dan terus diawasi.
Dengan demikian, pihak rumah sakit atau pekerja medis dapat
mengevaluasi data dan kebutuhan pasien tersebut.
c. Penggunaan telehealth
Penggunaan teknologi juga dilakukan karena mengifisiensi waktu dan
tenaga akibat jarak lokasi antara pasien dengan rumah sakit. Praktik ini
disebut dengan telehealth dan dilakukan dengan video call, namun tenaga
medis harus memberikan energi psikologis yang lebih karena adanya tatap
wajah antara pihak medis dengan pasien.
d. Video games
Penggunaan teknologi juga dilakukan untuk penanggulangan HIV-AIDS
melalui video games atau disebut dengan gamification. Serta, penerapan
websites yang juga untuk sarana informasi dan pengaduan tentang HIV-
AIDS. Dengan video games bisa dengan memberikan atau
mempromosikan pendidikan seks untuk mencegah HIV dikalangan
masyarakat dengan video animasi.
20
tersebut pasien akan terhindar dari perilaku deskriminatif yang melemahkan
kondisi psikologis dan psikisnya. Serta mereka pasien HIV-AIDS akan
mendapat dukungan semangat dari banyak pihak, baik sesama penderita
ataupun orang disekitarnya. Begitu juga pada non-penderita HIV, agar lebih
mejaga diri sehingga terhindar dari terjangkitnya virus HIV dan AIDS,
karena dari perkembangan teknologi sekarang bisa belajar dari informasi
yang beredar melalui berbagai macam telekomunikasi.
21
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kondisi Terminal adalah suatu keadaan dimana seseorang
mengalami penyakit atau sakit yang tidak mempunyai harapan untuk
sembuh sehingga sangat dekat dengan proses kematian. Respon klien
dalam kondisi terminal sangat individual tergantung kondisi fisik,
psikologis, social yang dialami, sehingga dampak yang ditimbulkan
pada tiap individu juga berbeda. Hal ini mempengaruhi tingkat
kebutuhan dasar yang ditunjukan oleh pasien terminal.
Orang yang telah lama hidup sendiri, terisolasi akibat kondisi
terminal dan menderita penyakit kronis yang lama dapat memaknai
kematian sebagai kondisi peredaan terhadap penderitaan. Atau
sebagian beranggapan bahwa kematian sebagai jalan menuju
kehidupan kekal yang akan mempersatukannya dengan orang-orang
yang dicintai. Sedangkan yang lain beranggapan takut akan
perpisahan, dikuncilkan, ditelantarkan, kesepian, atau mengalami
penderitaan sepanjang hidup.
Seseorang yang menghadapi kematian/kondisi terminal, dia akan
menjalani hidup, merespon terhadap berbagai kejadian dan orang
disekitarnya sampai kematian itu terjadi. Perhatian utama pasien
terminal sering bukan pada kematian itu sendiri tetapi lebih pada
kehilangan kontrol terhadap fungsi tubuh, pengalaman nyeri yang
menyakitkan atau tekanan psikologis yang diakibatkan ketakutan akan
perpisahan, kehilangan orang yang dicintai.
3.2 Saran
22
DAFTAR PUSTAKA
Felenditi, D., Filsafat, B., Ilmu, F., Universitas, P., & Manado, N. (n.d.). Terapi
paliatif dalam profesi kedokteran.
Maharani, R. (2014). Stigma dan Diskriminasi Orang Dengan HIV/AIDS
(ODHA) pada Pelayanan Kesehatan di Kota Pekanbaru Tahun 2014. Jurnal
Kesehatan Komunitas, 2(5), 225–232.
https://doi.org/10.25311/keskom.vol2.iss5.79
Rinawati, S. A. W. (2021a). Asuhan Keperawatan Terminal. In Angewandte
Chemie International Edition, 6(11), 951–952.
Rinawati, S. A. W. (2021b). Asuhan Keperawatan Terminal. In Gastronomía
ecuatoriana y turismo local. (Vol. 1, Issue 69).
23