Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

PERAWATAN PSIKOSOSIAL DAN SPIRITUAL PADA KORBAN BENCANA

DISUSUN OLEH ;
BAIQ DALIA MARDIYANTI
NIM : 1420121041EX

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN EKSTENSI FAKULTAS


KESEHATAN
UNIVERSITAS QAMARUL HUDA BADARUDDIN (UNIQHBA) BAGU
TAHUN 2022
KATA PENGANTAR

Assalammualaikum Wr. Wb.


Puji syukur kami ucapkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa , karena dengan rahmat
dan karunia-Nya kami masih diberi kesempatan untuk bekerja bersama untuk menyelesaikan
makalah ini.
Atas limpahan rahmat dan hidayah Nyalah kami dapat menyelesaikan tugas
makalah Mata Kuliah Keperawatan Bencana. Kami mengakui bahwa sebagai manusia
biasa memiliki banyak keterbatasan dalam segala hal. Oleh karena itu, tidak ada hal
yang dapat diselesaikan dengan sangat baik dan sempurna. Semoga dengan adanya
makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca untuk menambah wawasan tentang
“Perawatan Psikososial dan Spiritual pada Korban Bencana”.
Kami menyadari bahwa penulisan laporan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan,
maka dari itu kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca
untuk kesempurnaan makalah ini. Akhir kata semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu menuntun
kita menuju jalan yang benar.
Wasalammualaikum Wr. Wb
Praya, Juli 2022

Penyusun
BAB I
LATAR BELAKANG

1.1. Latar Belakang


Setiap bencana pasti meninggalkan duka dan luka. Terbayang penderitaan
yang dialami masyarakat Jepang, khususnya di daerah bencana (Sendai, Fukushima,
dan sekitarnya), bencana gempa bumi dan tsunami yang menelan korban lebih dari
10.000 jiwa ini tentunya akan membawa perasaan pilu yang mendalam bagi
seluruh keluarganya. Demikian pula kejadian gempa bumi dan tsunami yang
terjadi di Aceh 6 tahun yang lalu yang menelan korban sekitar 200.000 jiwa.
Tidak hanya itu, selain kehilangan sanak saudara, para korban gempa juga
kehilangan tempat tinggal. Bangunan rumah mereka hancur, dan rata dengan tanah.
Akibat dari bencana tersebut akan berpengaruh terhadap kehidupan
masyarakat paska bencana, sebagai akibat perubahan yang terjadi dalam hidup
mereka yang terjadi secara drastis dan tiba–tiba, dan pada akhirnya menimbulkan
kelainan atau gangguan pada mental atau gangguan kejiwaan sebagai buntut
bencana.
Pada fase awal bencana, akan membuat para korban menjadi khawatir dan bahkan
mungkin menjadi panik. Kepanikan itu berupa, seseorang akan merasa sangat
down, shock, karena kehilangan harta benda dan sanak saudara. Demikian pula, mereka
akan merasakan berbagai macam emosi seperti ketakutan, kehilangan orang dan
benda yang dicintainya, serta membandingkan keadaan tersebut dengan kondisi
sebelum bencana, mereka kembali mengingat harta benda yang telah hilang atau
rusak sekaligus merasakan kesedihan yang mendalam. Hingga pada akhirnya
merasa kecewa, frustasi, marah, dan merasakan pahitnya hidup.
1.2. Rumusan Masalah
1) Bagaimana Definisi secara Umum Bencana, Fase-fase hingga Permasalahan
2) Penanggulangan Bencana?
3) Bagaimana cara mengurangi resiko bencana?
4) Bagaimana Dampak bencana sendiri pada aspek psikososial?
5) Bagaimana Pemulihan Korban Pasca Bencana?
6) Bagaiman Terapi Psikososial-Spriritual?
1.3. Tujuan
1) Mahasiswa memahami Definisi secara Umum Bencana, Fase-fase hingga
2) Permasalahan Penanggulangan Bencana
3) Mahasiswa mampu mengurangi resiko bencana
4) Mahasiswa mampu mengetahui Dampak bencana khususnya pada aspek
5) Psikososial-Spiritual.
6) Mahasiswa dapat mengetahui dan menerapkan Tahapan Pemulihan Korban
7) Pasca Bencana
8) Mahasiswa mampu dan menerapkan Terapi Psikososial-Spiritual dalam
9) Korban Bencana
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1. Definisi Bencana


Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana
menyebutkan Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam
dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik
oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun factor manusia sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta
benda, dan dampak psikologis. (http://www.bnpb.go.id)
Definisi tersebut menyebutkan bahwa bencana disebabkan oleh factor alam, non
alam, dan manusia. Oleh karena itu, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tersebut  juga
mendefinisikan mengenai bencana alam, bencana non alam, dan bencana sosial.
1) Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian
peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung
meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor.
2) Bencana nonalam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian
peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi,
dan wabah penyakit.
3) Bencana social adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian
peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antarkelompok atau
antarkomunitas masyarakat, dan teror.
2.2. Fase-fese Bencana
Menurut Barbara Santamaria (1995), ada 3 fase dalam terjadinya suatu bencana,
yaitu diantaranya :
1) Fase preimpact
Merupakan warning phase, tahap awal dari bencana. Informasi didapat dari badan
satelit dan meteorologi cuaca. Seharusnya pada fase inilah segala persiapan dilakukan
baik oleh pemerintah, lembaga, dan warga masyarakat.
2) Fase impact
merupakan fase terjadinya klimaks dari bencana. Inilah saat-saat dimana
manusia sekuat tenaga mencoba untuk bertahan hidup (survive). Fase impact ini
terus berlanjut hingga terjadi kerusakan dan bantuan-bantuan darurat dilakukan.
3) Fase postimpact
adalah saat dimulainya perbaikan dan penyembuhan dari fase darurat,
juga tahap dimana masyarakat mulai berusaha kembali pada fungsi komunitas
normal. Secara umum dalam fase postimpact ini para korban akan mengalami tahap
respon psikologis mulai penolakan, marah, tawar - menawar, depresi hingga penerimaan.
2.3. Permasalaahan Dalam Penanggulangan Bencana
Secara umum masyarakat Indonesia termasuk aparat pemerintah didaerah
memiliki keterbatasan pengetahuan tentang bencana seperti berikut :
1) Kurangnya pemahaman terhadap karakteristik bahaya
2) Sikap atau prilaku yang mengakibatkan menurunnya kualitas SDA
3) Kurangnya informasi atau peringatan dini yang mengakibatkan ketidaksiapan
4) Ketidakberdayaan atau ketidakmampuan dalam menghadapi ancaman bahaya
2.4. Pengurangan Resiko Bencana
Tahapan penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi:
1) Pra bencana, pada tahapan ini dilakukan kegiatan perencanaan penanggulangan
bencana, pengurangan risiko bencana, pencegahan, pemaduan dalam perencanaan
pembangunan, persyaratan analisis risiko bencana, penegakan rencana tata ruang,
pendidikan dan peletahihan serta penentuan persyaratan standar teknis
penanggulangan bencana (kesiapsiagaan, peringatan dini dan mitigasi bencana).
2) Tanggap darurat, tahapan ini mencakup pengkajian terhadap loksi, kerusakan
dan sumber daya; penentuan status keadan darurat; penyelamatan dan evakuasi
korban, pemenuhan kebutuhan dasar, pelayanan psikososial dan kesehatan.
3) Paska bencana,tahapan ini mencakup kegiatan rehabilitasi (pemulihan daerah bencana,
prasaranan dan saran umum, bantuan perbaikan rumah, social, psikologis, pelayanan
kesehatan, keamanan dan ketertiban) dan rekonstruksi (pembangunan, pembangkitan
dan peningkatan sarana prasarana termasuk fungsi pelayanan kesehatan.
2.5. Dampak Bencana pada Aspek Psikososial
1) Extreme peritraumatic stress reactions (reaksi stres & trauma) Gejala ini muncul
pada masa kurang dari 2 hari. Gejala ini ditandai dengan simptom-simptom yang muncul
setelah bencana, di antaranya:
a. Dissosiasi (depersonalisasi, derelisasi, amnesia).
b. Menghindar (menarik diri dari situasi sosial).
c. Kecemasan (cemas berlebihan, nervous, gugup, merasa tidak berdaya).
d. Intrusive re-experiencing (flashback, mimpi buruk).
2) Acute stress disorder (ASD) Gejala ini muncul pada masa 2 s.d 30 hari/4 minggu yang
ditandai dengan:
a. Individu/korban mengalami peristiwa traumatik yang mengancam jiwa diri sendiri
maupun orang lain, atau menimbulkan kengerian luar biasa bagi dirinya (horor).
b. Peningkatan keterbangkitan psikologis, misalnya kewaspadaan tinggi, mudah kaget,
sulit konsentrasi, sulit tidur, mudah tersinggung dan gelisah.
c. Gangguan efektifitas diri di area sosial dan pekerjaan.
3) Post traumatic stress disorder (PTSD) Gejala ini muncul di atas 30 hari/1 bulan yang
ditandai dengan:
a. Gangguan muncul akibat suatu peristiwa hebat yang mengejutkan, bahkan
sering tidak terduga dan akibatnya pun tidak tertahankan oleh orang yang
mengalaminya.
b. Terulangnya bayangan mental akibat peristiwa traumatik yang pernah dialami.
c. Ketidakberdayaan/ke-”tumpul”an emosional dan “menarik diri”.
d. Terlalu siaga/waspada yang disertai ketergugahan/keterbangkitan secara kronis.
Terjadi gangguan yang menyebabkan kegagalan untuk berfungsi secara
efektif dalam kehidupan sosial (pekerjaan, rumah tangga, pendidikan, dll).
2.6 Dampak Psikososial Pada Korban Bencana Alam
Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan
mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan oleh faktor alam
atau non alam maupun faktor manusia, yang mengakibatkan timbulnya korban jiwa,
kerusakan lingkungan, kerusakan harta benda dan dampak psikologis. Dampak psikologi,
diantaranya:
1. Depresai
2. Cemas
3. Perilaku agresif
4. Bingung
5. Putus asa
6. Sedih
7. Kehilangan
8. Takut
9. Menyendiri
Melihat dampak psikologi yang timbul tidak hanya bantuan secara fisik saja yang
dipelukan namun dukungan psikologis pasca bencana juga sangat diperlukan. Dukungan
adalah bentuk sebuah support kepada seseorang suatu perhatia, penghargaan, yang diberikan
kepada individu dan berfungsi sebagai memotivasi.
2.7 Tujuan Dan Manfaat Dukungan Psikososial pada Korban Bencana Alam
Dukungan psikososial merupakan bantuan yang diberikan kepada individu dan
masyarakat yang mengalami gangguan psikologis, dimana bantuan ini dilakukan secara
terus menerus dan saling mempengaruhi antara aspek psikologis dan aspek sosial dalam
lingkungan dimana individu atau masyarakat berada.
Tujuan dukungan psikososial adalah mengembalikan individu, keluarga, masyarakat
agar setelah peristiwa bencana terjadi dapat secara bersama menjadi kuat, berfungsi
optimal dan memiliki ketangguhan meghadapi masalah sehngga menjadi produktif dab
berdaya guna.
 Manfaat dukungan psikososial adalah:
1. Membantu individu untuk mengurangi beban emosinya.
2. Mengembalikan fungsi sosial individu didalam lingkungannya
3. Meningkatkan kemampuan individu didalam pemecahan masalah-masalah yang
dihadapi pasca bencanan
Dukungan psikososial berupa:
1. Bantuan konseling dan konsultasi
Pemberian pertolongan kepada individu atau keluarga untuk melepaskan ketegangan
Dan beban psikologis.
2. Pendampingan Berbagai metode terapi psikologis yang tepat kepada individu yang
mengalami trauma psikologis agar dapat berfungsi secara normal kembali.
3. Pelatihan
Pelatihan untuk pemuka komunitas, relawan dan pihak-pihak yang di tokohkan/mampu
dalam masyarakat untuk memerikan dukungan psikologis kepada masyarakatnya.
4. Kegiatan psikososial
Kegiatan mengaktifkan elemen-elemen masyarakat agar dapat kembali menjalankan
fungsi sosial secara normal.
2.8 Cara Berkomunikasi dalam Memberikan dukngan Psikososial
Adapun cara-cara komunikasi dengan korban bencana yaitu:
1. Hidari ucapan
 Saya mengerti
 Jangan sedih
 Anda kuat, anda akan melaluinya
 Jangan menangis
 Ini kehendak tuhan
 Ini bisa lebih buruk
Adapun ucapan yang lebih membantu adalah:
1. Ada orang disini yang akan membantu anda.
2. Kami tidak akan meninggalkan anda sendirian
3. Silahkan tumpahkan emosi anda
4. Kita bera dalam kondisi ini bersama
5. Saya tahu anda kuat.
2.9 Tahapan dalam fase pemulihan
Dukungan Psikososial yang diberikan :
1. Tahap Tanggap Darurat : Pasca dampak-langsung Menyediakan pelayanan intervensi
krisis untuk pekerja bantuan, misalnya defusing dan debriefing untuk mencegah
secondary trauma Memberikan pertolongan emosional pertama (emotional first aid),
misalnya berbagai macam teknik relaksasi dan terapi praktis Berusahalah untuk
menyatukan kembali keluarga dan masyarakat. Menyediakan informasi, kenyamanan, dan
bantuan praktis.
2. Tahap Pemulihan: Bulan pertama
Lanjutkan tahap tanggap darurat mendidik profesional lokal, relawan, dan masyarakat
sehubungan dengan efek trauma. Memberikan bantuan praktis jangka pendek dan
dukungan kepada penyintas Menghidupkan kembali aktivitas sosial dan ritual masyarakat
3. Tahap Pemulihan akhir: Bulan kedua
Lanjutkan tugas tanggap bencana. Memberikan pendidikan dan pelatihan masyarakat
tentang reseliensi atau ketangguhan. Mengembangkan jangkauan layanan untuk
mengidentifikasi mereka yang masih membutuhkan pertolongan psikologis. Menyediakan
“debriefing” dan layanan lainnya untuk penyintas bencana yang membutuhkan.
Mengembangkan layanan berbasis sekolah dan layanan komunitas lainnya berbasis
lembaga.
4. Fase Rekonstruksi
Melanjutkan memberikan layanan psikologis dan pembekalan bagi pekerja
kemanusiaan dan penyintas bencana. Melanjutkan program reseliensi untuk antisipasi
datangnya bencana lagi. Pertahankan “hot line” atau cara lain dimana penyintas bisa
menghubungi konselor jika mereka membutuhkannya.Memberikan pelatihan bagi
profesional dan relawan lokal tentang pendampingan psikososial agar mereka
mampu mandiri.
 Terapi dukungan sosial pada kelompok besar
1. Latihan nafas dalam
2. Latihan relaksasi progresif
3. Latihan berfokus pada 5 jari
4. Latihan membangun interaksi
5. Melakukan ibadah
6. Peran serta kegiatan
 Terapi dukungan sosial pada kelompok kecil
1. Kelompok dewasa: Bercakap cakap tentang perasaan, harapan , keinginan, hal
positif yang masih dapat disyukuri
2. Kelompok Remaja : Olahraga, musik, tari, menulis, aktivitas social
3. Kelompok anak : Terapi bermain, menggambar, menari, bercerita, menonton film
kartun atau film anak anak.
4. Kelompok lansia :bercakap cakap tentang perasaan, memberikan informasi
tentang kegiatan yang dilakukan, berbagi pengalaman masa lalu, melakukan
pendampingan untuk masalah dan kebutuhan manusia,
2.10 Pemulihan Korban Pasca Bencana
Penanganan korban stres akibat bencana memang tidak mudah. Pengalaman
traumatis karena bencana telah menggoncangkan dan melemahkan pertahanan individu
dalam menghadapi tantangan dan kesulitan hidup sehari-hari. Apalagi kondisi trauma,
kondisi fisik dan mental, aspek kepribadian masing-masing korban tidak sama.
Masyarakat yang menjadi korban dari suatu bencana cenderung memiliki
masalah penyesuaian perilaku dan emosional. Perubahan mendadak sering membawa
dampak psikologis yang cukup berat. Beban yang dihadapi oleh para korban tersebut
dapat mengubah pandangan mereka tentang kehidupan dan menyebabkan tekanan pada
jiwa mereka.
Munculnya gejala-gejala stres, seperti rasa takut, cemas, duka cita yang mendalam,
tidak berdaya, putus asa, kehilangan kontrol, frustrasi sampai depresi semuanya
bermuara pada kemampuan individu dalam memaknai suatu musibah secara lebih realistis.
Gejala-gejala tersebut adalah reaksi wajar dari pengalaman yang tidak wajar. Tentunya hal
ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Mereka memerlukan cara yang tepat untuk mengatasi
masalah yang dialami.
Dalam hal ini, konsep coping merupakan hal yang penting untuk
dibicarakan. Konsep coping menunjuk pada berbagai upaya, baik mental maupun
perilaku, untuk menguasai, mentoleransi, mengurangi, atau meminimalisasikan suatu
situasi atau kejadian yang penuh tekanan. Dengan kata lain, coping merupakan suatu proses
di mana individu berusaha untuk menanggani dan menguasai situasi yang menekan akibat
dari masalah yang sedang dihadapinya. Beragam cara dilakukan. Namun, semua bermuara
pada perubahan kognitif maupun perilaku guna memperoleh rasa aman dalam
dirinya.
Ketika seseorang tertimpa suatu musibah, biasanya ia akan mendekat kepada Tuhan
dengan meningkatkan ibadah dan perbuatan baik lainnya. Pengalaman tersebut menjadikan
mereka semakin dekat kepada Tuhan. Idealnya, mereka harus memaknai bencana sebagai
sebuah musibah, bukan petaka atau azab. Bencana gempa ditafsirkan sebagai peringatan
keras Tuhan kepada manusia yang telah lama berkubang dalam dosa dan dusta. Karena itu,
sebagai sebuah musibah, bencana bukan akhir segala-galanya. Bencana dapat diubah
menjadi sesuatu yang memiliki makna, bukan kesia-siaan apalagi keterkutukan.
Korban bencana yang tingkat spiritualitasnya tinggi akan menjadikan mereka
senantiasa hidup dalam nuansa keimanan kepada Tuhan. Mereka akan memaknai
aktivitasnya dalam kehidupan ini sebagai ibadah kepada Tuhan. Mereka pun akan
semakin tegas dan konsisten dalam sikap dan langkah hidupnya serta semakin
terikat dengan aturan Sang Pencipta dengan perasaan ridha dan tenteram. Perasaan itu akan
menjadikannya kuat dalam menghadapi segala persoalan hidup. Mereka dapat mengambil
hikmah atas musibah yang menimpanya, tidak putus asa, dan menjadikan hambatan-
hambatan yang ditemui pasca-bencana sebagai tantangan untuk memulai kehidupan
baru. Mereka menganggap bahwa bencana bukan akhir dari segalanya. Bencana bisa diubah
menjadi suatu pengalaman positif yang memiliki makna.
Identitas spiritual dibutuhkan individu dalam mengkonstruksi makna atas
pengalaman hidup. Dengan adanya kepercayaan pribadi untuk memberikan makna
luar biasa kepada realitas kehidupan, agama akan mampu mengarahkan individu untuk
memberikan penerimaan tulus atas musibah yang terjadi. Kondisi tersebut
memungkinkan individu untuk memaknai kembali hidupnya dengan membuat
perencanaan atas setiap kemungkinan yang terjadi setelah mengalami musibah untuk
mencapai suatu tujuan tertentu pada masa yang datang.
Robert A. Emmons (2000) mengungkapkan bahwa spiritualitas bermanfaat
dalam upaya untuk memecahkan berbagai permasalahan dalam kehidupan.
Spiritualitas dapat memprioritas-ulangkan tujuan-tujuan (reprioritization of goals).
Terlebih lagi, pribadi yang spiritual lebih mudah menyesuaikan diri pada saat menangani
kejadian-kejadian traumatis. Mereka pun lebih bisa menemukan makna dalam krisis
traumatis dan memperoleh panduan untuk memutuskan hal-hal tepat apa saja yang harus
dilakukan

.
2.11 Terapi Psiko-Spiritual
Tuhan menciptakan manusia dengan segenap keunikan. Sejak ia
dilahirkan, manusia memiliki potensi yang meliputi sisi psikologis, sosial, dan spiritual.
Menurut Hanna Djumhana Bastaman (1995), untuk dapat memahami manusia seutuhnya,
baik dalam keadaan sehat maupun sakit, pendekatan yang digunakan mestinya tidak lagi
memandang manusia sebagai makhluk bio-psiko-sosial (jasmani, psikologis, dan sosial),
melainkan manusia sebagai makhluk bio-psiko-sosio-spiritual (jasmani, psikologis, sosial,
dan spiritual). Secara eksplisit, Ralph L. Piedmont (2001) memandang spiritualitas
sebagai rangkaian karakteristik motivasional (motivational trait); kekuatan emosional
umum yang mendorong, mengarahkan, dan memilih beragam tingkah laku individu.
Sementara itu, Susan Folkman, dkk (1999) mendefinisikan spiritualitas sebagai
suatu bagian dalam diri seseorang yang menghasilkan arti dan tujuan hidup, yang
terungkap dalam pengalaman-pengalaman transcendental individu dan hubungannya
dengan ajaran-ajaran ketuhanan (universal order). Inayat Khan dalam bukunya
Dimensi Spiritual Psikologi menyebutkan bahwa kekuatan psikis yang dimiliki oleh
seseorang dapat dikembangkan melalui olah spiritual yang dilakukan melalui beberapa
tahapan.
1) Pertama, berlatih melakukan konsentrasi. Dengan konsentrasi, seseorang dapat
memiliki kekuatan dan inspirasi karena berada dalam kondisi terpusat serta
tercerahkan. Melalui konsentrasi pula, seseorang belajar dan berlatih untuk menguasai
dirinya.
2) Kedua, berlatih mengungkapkan hasil konsentrasi melalui pikiran. Artinya, setelah
seseorang mendapatkan hasil dalam konsentrasi, maka ia harus berani
mengungkapkan hasil konsentrasi tersebut dalam ungkapan- ungkapan yang
sederhana melalui kekuatan pikiran. Kekuatan pikiran ini nantinya akan
mempengaruhi kekuatan perasaan yang dimiliki. Ketahuilah, sesungguhnya perasaan
adalah ruh pemikiran, sebagaimana ucapan adalah ruh suatu tindakan. Karena itu,
konsentrasi merupakan hal penting untuk mengembangkan kekuatan psikis seseorang.
3) Ketiga, agar dapat mengekspresikan kekuatan psikis, seseorang harus memiliki
kekuatan tubuh (kesehatan fisik). Artinya, orang yang sehat umumnya
memiliki pernafasan dan sirkulasi darah yang teratur dan lancar, sehingga memberikan
efek bagi kemampuan mengekspresikan dirinya.
4) Keempat, berlatih menjaga kestabilan dan ketenangan dalam berpikir. Artinya,
seseorang yang terbiasa mengembangkan kebiasaan-kebiasaan buruk dalam
berpikir, seperti khawatir, cemas, takut, atau ragu tentang sesuatu, akan
mengurangi daya kekuatan dalam mengekspresikan diri. Tentang hal ini, saya
teringat pada kata-kata yang diungkapkan oleh seorang pegiat pelatihan manajemen
diri di sebuah seminar yang pernah saya ikuti. Kata beliau, “Pikiranmu adalah awal
dari perkataanmu. Perkataanmu adalah awal dari perbuatanmu. Perbuatanmu
adalah awal dari kebiasaanmu. Kebiasaanmu adalah awal dari karaktermu.
Karaktermu adalah takdirmu.”
5) Kelima, berlatih mengumpulkan kekuatan psikis yang selanjutnya digunakan
untuk bertindak. Artinya, hasrat dan daya tarik kekuatan psikis yang dimiliki
seseorang harus ditunda sebelum betul-betul terkumpul dan berkembang melimpah.
Saat itulah kekuatan psikis mampu dimanfaatkan untuk menolong diri sendiri
maupun orang lain. Kekuatan psikis yang timbul dari energi spiritual
bagaikan mata air yang tercurah, melimpah secara konstan dan stabil. Karna
itu, tinggal pemanfaatannya tergantung pada kesediaan dan kemauan seseorang
untuk mengumpulkan dan mengembangkannya menjadi energi yang bersifat
menyembuhkan (terapeutik).
Sebuah penelitian bertajuk “Religion and Spirituality in Coping with
Stress” yang dipublikasikan oleh Journal of Counseling and Values beberapa tahun
lalu, menunjukkan bahwa semakin penting spiritualitas bagi seseorang, maka semakin
besar kemampuannya dalam mengatasi masalah yang dihadapi. Penelitian ini
menyarankan bahwa spiritualitas bisa memiliki peran yang penting dalam mengatasi
stres. Spiritualitas bisa melibatkan sesuatu di luar sumber- sumber yang
nyata atau mencari terapi untuk mengatasi situasi-situasi yang penuh tekanan
di dalam hidup.
Dalam konteks ini, penting untuk diperhatikan bagaimana kondisi
spiritualitas para korban pasca-bencana ada hubungan positif yang sangat
signifikan antara spiritualitas dengan proactive coping pada korban bencana. Semakin
tinggi tingkat spiritualitas, semakin baik pula proactive coping yang dilakukan oleh
korban. Konsep proactive coping diarahkan oleh sikap yang proaktif. Sikap tersebut m
erupakan kepercayaan yang relatif terus menerus ada pada setiap individu. Di
mana apabila terjadi perubahan-perubahan yang berpotensi mengganggu
keseimbangan emosional individu, maka sikap tersebut mampu memperbaiki diri dan
lingkungannya.
Terapi psiko-spiritual ini terdiri dari tiga tahapan, yaitu tahapan penyadaran
diri (self awareness), tahapan pengenalan jati diri dan citra diri (self identification),
dan tahapan pengembangan diri (self development).
a) Pada fase penyadaran diri (self awareness), para korban akan melalui proses pensucian
diri dari bekasan atau hal-hal yang menutupi keadaan jiwa melalui cara penyadaran
diri, penginsyafan diri, dan pertaubatan diri. Fase ini akan menguak hakikat persoalan,
peristiwa, dan kejadian yang dialami oleh para korban. Pun menjelaskan hikmah atau
rahasia dari setiap peristiwa tersebut.
b) Pada fase Pengenalan Diri (self identification), Para korban akan dibimbing
kepada pengenalan hakikat diri secara praktis dan holistik dengan menanamkan
nilai-nilai ketuhanan dan moral. Melalui fase ini, individu diajak untuk menyadari
potensi-potensi yang ada di dalam dirinya. Setelah diidentifikasi, berbagai potensi itu
perlu segera dimunculkan. Kemudian mengelola potensi diri yang menonjol tersebut
agar terus berkembang dan dicoba untuk diaktualisasikan. Adalah sebuah riwayat yang
menyebutkan, “Barangsiapa mengenal dirinya, maka dia pun akan mengenal
Tuhannya.”
c) Pada fase pengembangan diri (self development), Para korban akan didampingi dan
difasilitasi untuk tidak hanya sehat fisikal, namun juga sehat mental dan spiritual.
Kesehatan mental terwujud dalam bentuk keharmonisan yang sungguh-sungguh
antara fungsi-fungsi jiwa, serta mempunyai kesanggupan untuk menghadapi
masalah yang terjadi, dan merasakan secara positif kebahagiaan dan kemampuan
dirinya. Adapun kesehatan spiritual mencakup penemuan makna dan tujuan dalam
hidup seseorang, mengandalkan Tuhan (The Higher Power),
Merasakan kedamaian, dan merasakan hubungan dengan alam semesta.
Harapannya, terapi psiko-spiritual akan memberikan penerimaan yang tulus atas
musibah yang menimpa para korban gempa. Selain itu, terapi ini dapat pula
mengurangi kesedihan dan tekanan psikologis, serta membantu para korban
dalam menemukan makna yang positif.
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Bencana alam merupakan sebuah musibah yang tidak dapat diprediksi kapan
datangnya. Apabila bencana tersebut telah datang maka akan menimbulkan kerugian dan
kerusakan yang membutuhkan upaya pertolongan melalui tindakan tanggap bencana yang
dapat dilakukan oleh perawat. Adapun peran serta mahasiswa keperawatan dalam menolong
korban bencana dikelompokkan menjadi 4 yaitu :
1. Peran dalam Pencegahan Primer.
2. Peran dalam Keadaan Darurat (Impact Phase)
3. Peran di dalam posko pengungsian dan posko bencana
4. Peran dalam fase postimpact
Masalah kesehatan jiwa dimasyarkat akhir-akhir ini semakin meningkat baik yang
sifatnya ringan maupun berat. Secara global,prevalensi penderita tekanan psikologi
ringan dan tidak membutuhkan pertolongan khusus diperkiran sekitar 20-40%.
Sedangkan prevalensi penderita penderita tekanan psikologi sedang sampai berat yang
memutuhkan intervensi sosial dan dukungan spikologis dasar mencapai 30-50%.
Tekanan-tekanan psikologi ini pada akhirnya dapat menyebabkan terjadinya gangguan
mental seperti depresi, gangguan kecemasan daN post traumatic stressdisolder (PTSD).
Bentuk-bentuk maslaah mental ini diprediksi mencapai 20%yang memerlukan penanganan
kesehatan mental baik yang dapat diakses dilayanan kesehatan umum (PusKesMas,
RSU) mauoun dilayanan kesehatan mental komunitas (World Mental Health Survey,
2000).
3.2 Saran
Keperawatan psikososial dan spiritual sangatlah penting di berikan kepada korban-korban
bencana alam, karena pada saat itulah masyarakat yang mengalami bencana sangat
membutuhan psikososial dan spiritual tidak terkecuali sandang dan pangan.
DAFTAR PUTAKA
Taufik. Memahami psikososial-spiritual korban bencana di nagroe aceh darussalam. Jurnal
psikologi UNDIP, semarang, 2015 ; 2(1):48-54 Badan pusat statistik provinsi diy. statistik
desa pasca bencana alam provinsi jogjakarta badan pusat statistik 2016.

http://susansutardjo.blogdetik.com/tag/dampak-psikologis-terhadap-korban-bencana-alam/
psikologi.or.id/.../sumbangan-psikologi-klinis-terhadap-bencana.pdf

http://kabarinews.com/psikosomatik-banyak-diderita-oleh-masyarakat-korban-bencana-alam/
36556

http://www.pulih.or.id/res/publikasi/news_letter_14.pdf

http://altanwir.wordpress.com/2008/02/14/karakter-psikososial-korban-bencana/

http://dppm.uii.ac.id/dokumen/prosiding/2f_Artikel_rumiani.pdf.dppm.uii.ac.id.pdf

http://sururudin.wordpress.com/2011/04/13/penanganan-psikiatris-pada-korban-
pasca-bencana/

http://radenandriansyah.blogdetik.com/penanganan-bencana/macam-macam-
bencana/
KESIAPSIAGAAN PERAWAT DALAM MENGHADAPI BENCANA:
A LITERATURE REVIEW

DISUSUN OLEH ;
BAIQ DALIA MARDIYANTI
NIM : 1420121041EX

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN EKSTENSI FAKULTAS


KESEHATAN
UNIVERSITAS QAMARUL HUDA BADARUDDIN (UNIQHBA) BAGU
TAHUN 2022
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Bencana merupakan serangkaian peristiwa yang mengancam serta mengganggu
kehidupan masyarakat yang disebabkan oleh faktor alam dan faktor non alam ataupun factor
manusia sehingga akan mengakibatkan timbulnya korban jiwa, kerusakan lingkungan,
kerugian harta benda, dan dampak psikologis pada korban bencana (UUD, 2007).
Sektor kesehatan dalam kondisi bencana sangat diperlukan untuk memberikan
pelayanan kesehatan. Tenaga kesehatan perawat di rumah sakit sangat dibutuhkan pada
situasi bencana. Hal ini, peran perawat bukan hanya memberikan pertolongan perawatan
pada korban bencana yang sakit atau cedera. Melainkan perawat dapat memberikan peran
dalam tahap Preparedness, Mitigasi Bencana, Tanggap Darurat, Recovery dan Rehabilitasi
(Abdelalim & Ibrahim, 2014). Pada fase awal ketika terjadi bencana, respon paling awal
yang sangat diperlukan adalah penyelamatan korban bencana sebanyak mungkin serta
memberikan perawatan dalam memenuhi kebutuhan yang diperlukan oleh korban bencana.
Serta mengurangi dampak kesehatan pada korban bencana yang akan berdampak pada
kesehatan dengan jangka panjang.
Kesiapsiagaan adalah salah satu kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi
bencana melalui sistem pengorganisasian yang tepat dan berguna dalam memastikan upaya
yang cepat serta tepat ketika menghadapi bencana yang terjadi. Tahapan kesiapsiagaan
meliputi penyusunan uji coba rencana penanggulangan kedaruratan bencana,
pengorganisasian, pemasangan dan pengujian system peringatan dini, penyediaan dan
penyiapan barang pasokan pemenuhan kebutuhan dasar, penyiapan lokasi evakuasi,
penyusunan data akurat, informasi dan pemutakhiran prosedur tetap tanggap darurat bencana,
dan peralatan untuk pemenuhan pemulihan prasarana dan sarana (Aminudin, 2013) Oleh
sebab itu kesiapsiagaan perawat dalam menanggulangi bencana harus disiapkan pada
kenyataannya 44,6 % menyatakan bahwa kesiapsiagaan perawat dalam menghadapi bencana
kurang (Hodge et al., 2015). Kesiapsiagaan perawat dalam menghadapi bencana menjadi
trending topik dibeberapa literature. Perawat di Indonesia dengan jumlah profesi kesehatan
terbanyak dari profesi kesehatan.
BAB II
PEMBAHASAN

Anda mungkin juga menyukai