Anda di halaman 1dari 15

i

DIMENSI TINDAKAN

KOMUNIKASI DALAM KEPERAWATAN

oleh :
Kelompok 6/ kelas F
Khansa Salsabilla W. W. U. NIM 162310101106
Sri Rahyuning Muthmainnah NIM 162310101109
Agel Dinda Tria Nugraha NIM 162310101201
Indah Listiyawati NIM 162310101223

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


UNIVERSITAS JEMBER
2017
ii

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ......................................................................................i

DAFTAR ISI ...................................................................................................ii

BAB 1. DIMENSI TINDAKAN ....................................................................1

1.1 Konfrontasi ................................................................................1


1.2 Kesegeraan .................................................................................3
1.3 Membuka diri ............................................................................5
1.4 Katarsis .......................................................................................7
1.5 Bermain peran ...........................................................................9

BAB 2. PENUTUP .........................................................................................12

2.1 Kesimpulan .................................................................................12


2.2 Saran ...........................................................................................12

DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................13


1

BAB 1. DIMENSI TINDAKAN


Dimensi tindakan berorientasi kepada tindakan untuk memfasilitasi
hubungan interpersonal antara perawat-klien yaitu konfrontasi, kesegeraan,
keterbukaan/pengungkapan diri, katarsis, dan bermain peran. Dalam dimensi
tindakan, perawat mampu mengidentifikasi hambatan/tantangan dalam mencapai
keberhasilan hubungan antara perawat-klien, yang memerlukan perubahan
perilaku yang spesifik dalam mengatasinya melalui dimensi tindakan (Stuart,
2013).

1.1 Konfrontasi
Konfrontasi identik dengan pelampiasan kemarahan yang tampak sebagai
perilaku yang agresif. Akan tetapi konfrontasi dalam dimensi tindakan terapeutik
merupakan tindakan yang tegas dan agresif. Sifat konfrontasi disini adalah asertif
atau disampaikan dengan tidak emosi. Konfrontasi menantang klien untuk dapat
mengamati, mengubah atau mengontrol tingkah lakunya yang sebelumnya tidak
ada atau dilakukan dengan tidak tepat, yang akan membantu klien untuk melihat
secara lebih jelas apa yang terjadi, apa akibatnya dan bagaimana mengatasinya
untuk melakukan perubahan yang efektif (Stuart, 2013).

Konfrontasi adalah ekspresi seorang perawat menilai perilaku yang tidak


sesuai dari klien. (Carkhoff, 1969 dalam Stuart 2013). Ada tiga kategori yang
terdapat dalam konfrontasi, yaitu perbedaan ekspresi klien tentang apa dirinya
(konsep diri) dan apa yang dia inginkan (ideal diri), perbedaan antara ekpresi
verbal klien dengan ekpresi non verbal, dan perbedaan antara pengalaman klien
dengan pengalaman perawat. Konfrontasi juga dapat diartikan sebagai bentuk
upaya perawat untuk membantu klien menyadari adanya ketidaksesuaian
perasaan, sikap, serta tingah lakunya (Stuart, 2013).

Dalam konfrontasi perawat tidak hanya menggali aspek-aspek negatif dari


klien melainkan juga menggali sumber-sumber pendukung yang dimiliki klien
yang tidak dirasakannya. Perawat perlu melakukan pengkajian melalui observasi
2

terhadap komunikasi verbal dan non verbal dari klien sehingga dapat memvalidasi
dengan tepat. Setelah dilakukanya konfrontasi perawat diharapkan berkomitmen
terhadap apa yang dikonfrontasikan. Hal-hal yang perlu dikaji dalam konfrontasi:
1. Tingkat trust (kepercayaan)
2. Waktu yang tepat: orientasi tidak boleh berlebihan
3. Tingkat stress klien
4. Kekuatan mekanisme pertahanan klien
5. Perasaan klien akan kebutuhan ruang personal/kedekatan
6. Toleransi dan kemampuan klien mendengarkan pendapat yang berbeda darinya
Konfrontasi dilakukan pada saat:
1. Tingkah laku klien tidak produktif (tidak bermanfaat bagi diri sendiri dan
lingkungan)
2. Tingkah laku klien merusak (merugikan diri sendiri maupun orang lain)
3. Ketika klien melanggar hak orang lain (memberikan keputusan
sepihak/bertindak semena-mena terhadap orang lain)
(Stuart, 2013).

Cara melakukan konfrontasi:


1. Clarify : membuat sesuatu lebih jelas untuk dimengerti
Mencegah perawat memiliki asumsi yang lain terkait apa yang
disampaikan pasien (DeLaune, C dan Ladner, K, 2002)
2. Articulate : dapat mengekspresikan opini mengenai diri sendiri dengan kata-
kata yang jelas
3. Request : permintaan.
4. Encourage : memberikan support, harapan, kepercayaan.
(Stuart, 2013).

Contoh kasus:
Diruang inap ada seorang pasien yang tengah dijenguk oleh keluarganya.
Kehadiran keluarga pasien membuat gaduh sehingga pasien merasa tidak nyaman,
dan tidak bisa beristirahat. Perawat merasa harus memberitahu keluarga pasien
untuk segera meninggalkan ruangan agar pasien bisa beristirahat.
3

1. Clarify : “kehadiran anda sekeluarga telah membuat gaduh di ruangan ini”


2. Articulate : “hal tersebut membuat pasien menjadi tidak nyaman dan tidak
bisa beristirahat”
3. Request : “sebaiknya anda sekeluarga lebih mengecilkan suara atau jika
tidak ada perlu lagi bisa meninggalkan ruangan”
4. Encourage : “dengan begitu pasien bisa beristirahat dengan nyaman, sehingga
pasien bisa sembuh lebih cepat”

1.2 KESEGERAAN (IMMEDIACY)

Kesegeraan atau Immediacy adalah bagian dari dimensi tindakan yang


berfokus pada hubungan interaksi antara pasien dan perawat. Dimensi tindakan ini
merupakan dimensi yang signifikan karena terdapat hubungan antara perilaku
pasien dengan fungsi perawat yang mencerminkan hubungan interpersonal
keduanya. Namun kebanyakan pasien memiliki kesulitan dalam hubungan
interpersonal, maka perawat perlu mengevaluasi hubungan interpersonal antara
pasien dengan perawat. Sembari melakukan kesegeraan perawat memiliki
kesempatan untuk melakukan intervensi secara langsung dengan cara melihat
perilaku pasien, sedangkan pasien memiliki kesempatan untuk belajar dan
mengubah perilakunya melalui perawat (Stuart, 2013).

Immediacy adalah sensitifitas atau kepekaan perawat terhadap perasaan


pasien dan kemauan perawat untuk mengatasi perasaan pasien dari pada
mengabaikannya. Hal ini sangat sulit ketika perawat harus mengenali dan
merespons perasaan negatif yang diungkapkan pasien terhadap perawat. Namun
untuk melakukan immediacy, perawat mengalami kesulitan karena pasien sering
mengekspresikan pesan (apa yang dirasakan) secara tidak langsung. Hal ini tidak
memungkinkan bagi perawat untuk melakukan Immediacy. Maka dari itu, dalam
melakukan immediacy perawat harus memiliki hubungan yang baik dengan pasien
(Stuart, 2013).
4

Pada dimensi tindakan khususnya immediacy ini, pasien memiliki peranan


secara aktif dalam mendeskripsikan apa yang membantu atau menghalangi
hubungannya. Seperti dimensi lainnya, respon immediacy tingkat tinggi tidak
boleh diberikan secara tiba-tiba kepada pasien. Namun perawat harus terlebih
dahulu mengetahui dan memahami pasien serta harus menciptakan hubungan
yang baik dan terbuka. Biasanya ungkapan awal perawat tentang kedekatan
dengan pasien harus diungkapkan sementara, seperti "Apakah Anda mencoba
memberi tahu saya bagaimana perasaan Anda terhadap hubungan kita?". Dengan
seiring perkembangan hubungan antara pasien dan perawat, pengamatan terhadap
kedekatan pasien dan perawat dapat dilakukan secara lebih langsung. Dan apabila
komunikasi antara pasien dan perawat meningkat, maka kemungkinan kebutuhan
untuk dilakukan immediacy akan berkurang (Stuart, 2013).

Berikut contoh kasus yang menggambarkan kesegeraan yaitu ada seorang


pasien perempuan berumur 35 tahun yang bekerja sebagai petani, setiap hari ibu
tersebut terkena paparan pestisida.

Perawat : “Ibu, kenapa terlihat sangat lemas?


Pasien : “Begini mbak, saya merasa mual-mual dari kemarin”
Perawat : “Apakah ibu sekarang masih merasa mual-mual?”
(KESEGERAAN)
Pasien : “Iya mbak, saya masih mual-mual, tapi tidak separah seperti
kemarin”
Perawat :” Apakah obat dari perawat shif pagi telah ibu minum?”
(KESEGERAAN)
Pasien :”Iya mbak sudah.”
Perawat :”itu sudah bagus buk, tapi selain minum obat ibu harus lebih
sering minum air agar ibu tidak kekurangan cairan dan tidak
lemas seperti sekarang.” (KESEGERAAN)
Pasien :”Iya mbak.”
5

1.3 MEMBUKA DIRI

Membuka diri merupakan pernyataan pribadi suatu perawat yang sengaja


diungkapkan kepada pasien. Perawat akan berbagi pengalamannya ataupun
perasaannya yang memiliki kesamaan dengan keadaan pasien dan memungkinkan
terdapat kemiripan dan perbedaan dari keduanya Pengungkapan diri pasien
diperlukan agar terapeutik berhasil. Tetapi, perawat juga harus menggunakan
pengungkapan diri secara berhari-hati (Stuart, 2013). Ada beberapa kriteria yang
harus diperhatikan, antara lain:
a. Untuk menjadi model dan mendidik
b. Untuk memvalidasi kenyataan
c. Untuk mendorong otonomi pasien
d. Untuk membantu perkembangan terapeutik

(Stuart, 2013).

Peran perawat dalam melakukan tindakan membuka diri akan menjadi


sangat penting untuk keberhasilan suatu terapi. Pengalaman klinik yang dimiliki
oleh perawat akan menambah tingkat terapeutik yang optimal. Panduan yang
dapat digunakan perawat dalam mengevaluasi potensi membuka diri, antara lain:

1. Kerjasama : Akankah pengungkapan diri perawat dapat meningkatkan


kerjasama antara klien dan pasien? Apa yang diperlukan untuk
pengembangan terapeutik?
2. Belajar : Apakah pengungkapan perawat dapat membantu kemampuan
pasien untuk belajar tentang dirinya sendiri, untuk menetapkan
tujuan jangka pendek dan jangka panjang, dan untuk mengatasi
masalah kehidupan dengan lebih efektif?
3. Catharsis : Dapatkah pengungkapan perawat membantu pasien untuk
mengungkapkan perasaan yang sebelumnya mengganggu?
Apakah penting untuk menghilangkan gejala emosional?
6

4. Dukungan : Apakah pengungkapan diri perawat dapat memberikan dukungan


atau penguatan kepada pasien untuk mencapai tujuan tertentu?

(Stuart, 2013).

Berikut contoh kasus yang menunjukkan seorang perawat melakukan


dimensi tindakan membuka diri. Seorang pasien dirawat diruang inap, ia bernama
Clara. Clara telah dirawat 2 minggu yang tidak kunjung sembuh, namun teman
Clara yang juga dirawat telah pulang dari rumah sakit karena teman Clara
mematuhi perawat dan teratur dalam minum obat sedangkan perilaku Clara tidak
seperti temannya.

Perawat : “Bagaimana keadaannya dek Clara?”

Pasien : “Saya ingin cepat pulang sus. “Saya sudah tidak betah di RS ini.
Obatnya pahit dan makanan disini tidak ada yang membuat saya
selera makan”.

Perawat : “Begitu ya dek Clara. Dek Clara tau anak perempuan yang di
rawat di sebelah ranjang adek? Namanya Rina, dia selalu
nurut untuk makan dan minum obat, dan sekarang Dek
Rina telah pulang.” (Membuka Diri)

Pasien : “ Baik sus, saya akan teratur minum obat, makan dan
mendengarkan kata-kata dari suster.”
7

1.4 KATARSIS

Katarsis terjadi ketika pasien didorong untuk membicarakan hal-hal


yang paling mengganggunya. Dan Katarsis mendorong pasien untuk menceritakan
perasaannya sampai pasien mangalami ketakutan terhadap apa yang dialaminya
sehingga perawat dapat memeriksanya dan pasien dapat mendiskusikan hal
tersebut dengan perawat. Ekspresi perasaan bisa sangat terapeutik dalam dirinya
sendiri walaupun perubahan perilaku tidak terjadi (Stuart, 2013).
Katarsis juga dimungkinkan muncul saat terjadi dimensi responsif guna
menciptakan suasana di dalam hubungan perawat dan pasien. Respons pasien
tergantung pada kepercayaan pasien terhadap perawat. Perawat harus mempu
mengenali isyarat dari pasien tentang kesiapan pasien untuk mendiskusikan
masalahnya. Hal ini sangat penting agar perawat dapat melanjutkannya dengan
apa yang dipilih oleh pasien serta perawat memberikan dukungan saat
mendiskusikan daerah yang sulit. Dalam memaksa katarsis emosional pada pasien
bisa memicu episode panik karena pertahanan pasien diserang tanpa mekanisme
penanganan alternatif yang memadai (Stuart, 2013).
Pasien sering merasa tidak nyaman dalam mengekspresikan perasaan
mereka. Sedangkan perawat kemungkinan memliki perasaan tidak nyaman yang
sama seperti pasien dalam mengekspresikan perasaannya, terutama dalam
mengungkapkan kesedihan atau kemarahan. Perawat sering berasumsi bahwa
perawat mengetahui perasaan pasien namun perawat tidak berusaha untuk
memvalidasi parasaan pasien. Dalam dimensi empati dan immediacy
mengharuskan perawat memperhatikan dan mengekspresikan emosi. Perasaan dan
masalah yang tidak dapat diselesaikan apabila dihindari dapat menyebabkan
hambatan dalam hubungan antara perawat dan pasien (Stuart, 2013).
Seperti contoh spesifiknya adalah fenomena transferensi dan
countertransference. Jika pasien mengalami kesulitan dalam mengungkapkan
perasaan, perawat dapat membantu dengan menyarankan untuk mengungkapkan
bagaimana perasaan pasien atau terhadap situasi yang dialami pasien. Dan
8

terdapat beberapa pasien yang merespons secara langsung dari pertanyaan


tersebut, "Bagaimana perasaan Anda?". Ketika pasien menyadari bahwa mereka
dapat mengekspresikan perasaan mereka dalam hubungan penerimaan, mereka
memperluas kesadaran dan potensi penerimaan diri mereka sendiri (Stuart, 2013).

Berikut contoh kasus yang menggambarkan katarsis yaitu ada seorang


pasien laki-laki berumur 30 tahun yang setiap malam selalu menyendiri di taman
rumah sakit dan beliau telah kehilang istrinya.
Perawat : “Bapak, kenapa sejak kemarin bapak sering menyediri disekitar
taman?”
Pasien : “Tidak apa-apa mbak, saya hanya ingin mencari udara segar.”
Perawat : “Kenapa bapak tidak menghidupkan kipas angin atau Ac saja?
Pasien : “Begini mbak saya merasa sedih jika dikamar terus dan kalau
melihat bintang saya merasa lebih tenang.”
Perawat : “Begitu ya bapak, bapak merasa sedih jika dikamar. Apakah di
kamar tidak ada keluarga bapak yang menemani bapak.”
Pasien : “ Saya sudah tidak memiliki keluarga lagi.” (pasien sambil
meneteskan air mata).
Perawat : “ Memangnya istri bapak kemana kok bapak bilang tidak
punya keluarga lagi? (KATARSIS)
Pasien : “ Seminggu yang lalu istri saya meninggal dunia.”
Perawat : “Kalau boleh saya tau istri bapak meninggal kerena apa?”
(KATARSIS)
Pasien : “Itu lo mbak saudara saya yang dulu pernah suka dengan istri saya
tega membunuh istri saya mbak jadi sekaramg saya merasa
kesepian sekali mana saya tidak dijengk oleh keluarga saya dan
istri saya yang selalu menemani saya telah meninggal dunia.”
(Pasien menagis).
Perawat : “Saya turut berduka cita pak. Atas meninggalnya istri bapak.”
9

1.5 BERMAIN PERAN (ROLE PLAYING)

Bermain peran merupakan salah satu komponen dari dimensi tindakan


yang melibatkan tindakan dalam situasi tertentu. Bermain peran ini, dapat
meningkatkan wawasan pasien terhadap hubungan antar individu dan dapat
memperdalam kemampuan pasien untuk melihat situasi dari sudut pandang orang
lain (Stuart, 2013).
Tujuan dari bermain peran adalah untuk memainkan peran yang
memiliki kemiripan dengan perilaku kehidupan nyata serta melibatkan individu
secara holistik, untuk memusatkan perhatian pada masalah dan membiarkan
individu melihat diri mereka sendiri dalam bertindak terhadap situasi yang netral.
Bermain peran dapat menghubungkan antara pemikiran dan tindakan di
lingkungan yang aman yang mana pasien dapat merasa bebas bereksperimen
dengan perilaku yang baru (Stuart, 2013). Hal ini merupakan tindakan orientasi,
memberikan informasi langsung, serta terdiri dari langkah-langkah sebagai
berikut:
1. Menjelaskan masalah
2. Menciptakan kesiapan untuk bermain peran
3. Menciptakan situasi
4. Membuat karakter
5. Pengarahan dan pemanasan
6. Tindakan
7. Pemberhentian
8. Analisis dan diskusi
9. Evaluasi
(Stuart, 2013).

Bermain peran digunakan untuk mengubah sikap pasien, hal yang


penting dari latihan ini adalah pembalikan peran. Pasien mungkin diminta untuk
mengambil peran orang tertentu dalam situasi tertentu atau untuk memainkan
10

peran seseorang dengan keyakinan yang berlawanan. Pembalikan peran dapat


membantu seseorang mengevaluasi ulang niat orang lain dan menjadi lebih
memahami posisi orang lain. Setelah mengalami pembalikan peran, pasien
mungkin lebih mudah menerima perubahan sikap mereka sendiri (Stuart, 2013).
Bermain peran digunakan sebagai metode untuk mempromosikan
kesadaran diri dan resolusi konflik, permainan peran dapat membantu pasien
merasakan situasi yang bisa membantu keadaannya. Hal ini lebih efektif daripada
perawat hanya membicarakan keadaan tertentu. Bermain peran dapat
menimbulkan perasaan pada pasien yang serupa dengan hal-hal yang akan dialami
dalam situasi saat bermain peran. Ini memberi kesempatan bagi pasien untuk
mengembangkan wawasan dan mengekspresikan emosi (Stuart, 2013).
Dengan cara ini, permainan peran dapat meningkatkan kesadaran pasien
akan perasaan yang terkait dengan situasi tertentu. Salah satu cara bermain peran
dapat digunakan untuk menyelesaikan konflik dan meningkatkan kesadaran diri
melalui dialog yang mengharuskan pasien bergiliran berbicara untuk setiap orang
atau setiap sisi masalah. Jika konflik bersifat internal, maka dialog yang
digunakan yaitu dialog yang terjadi saat ini (secara langsung) dan bergantian
dengan dirisendiri dalam melakukan permainan peran. Dan Jika konflik
melibatkan orang kedua, pasien diinstruksikan untuk "membayangkan bahwa
orang lain duduk di kursi di depan Anda." (Stuart, 2013).
Pasien diberitahu untuk memulai dialog dengan mengarahkan komentar
kepada orang lain. Kemudian pasien mengganti kursi, mengasumsikan peran
orang lain, dan menanggapi apa yang baru saja dikatakannya. Pasien
mengasumsikan peran pertama dan merespons orang lain. Menggunakan dialog
dengan cara ini tidak hanya berfungsi sebagai praktik bagi pasien dalam
mengekspresikan perasaan dan opini tetapi juga memberikan basis realitas dari
mana kemungkinan respons dari pihak lain yang terlibat dalam konflik dapat
dieksplorasi. Seringkali ini bisa menghilangkan penghalang yang membuat pasien
tidak mengambil keputusan dan bertindak (Stuart, 2013).
Bermain peran merupakan dimensi tindakan karena selain membantu
pasien mengembangkan wawasan, ini juga dapat membantu pasien memprakti-
11

kkan perilaku baru dan lebih adaptif. Misalnya, permainan peran dapat membantu
pasien mengembangkan ketrampilan sosial, ketegasan, dan kemarahan yang lebih
baik. Bermain peran bisa sangat efektif bila kebuntuan telah terpecahkan atau
ketika pasien mengalami kesulitan dalam memahami pengetahuan ke dalam
tindakan. Dalam kasus ini dapat mengurangi ketegangan dan memberi pasien
kesempatan untuk berlatih atau menguji perilaku baru untuk perilaku di masa
depan (Stuart, 2013).
12

BAB 2. PENUTUP

2.1 KESIMPULAN

Bahwa Konfrontasi perawat merupakan tindakan yang dilakukan oleh


perawat apabila terdapat ketidaksesuaian yang dirasakan oleh perawat tentang
perilaku pasien guna membuat pasien menyadarinya. Immediacy merupakan
tindakan yang terjadi saat interaksi perawat dan pasien yang difokuskan untuk
tujuan belajar pasien dalam hubungan interpersonal. Membuka diri merupakan
pengungkapkan informasi pribadi, gagasan, nilai, perasaan, dan sikap kepada
pasien untuk memfasilitasi kerja sama, pembelajaran, atau katarsis pasien atau
untuk menunjukkan dukungan pasien. Sedangkan katarsis merupakan
pengambilan keputusan pasien ketika pasien didorong untuk membicarakan hal-
hal yang paling menyusahkan. Bermain peran yang dilakukan pasien merupakan
situasi tertentu untuk meningkatkan wawasan tentang hubungan dan
meningkatkan kemampuan untuk melihat situasi dari sudut pandang lain, hal ini
juga memungkinkan pasien untuk bereksperimen dengan perilaku baru di
lingkungan yang aman

2.2 SARAN

Sebaiknya apabila perawat dalam melakukan asuhan keperawatan yang


dilakukan terhadap pasien yang memiliki koping tinggi maka gunakan dimensi
tindakan bermain peran karena bermain peran sangat membantu pasien dan
perawat untuk mencapai tujuan masing-masing.
13

DAFTAR PUSTAKA

DeLaune, C, S. dan P. Ladner, K. 2002. Fundamentals of Nursing Standards &


Practice. Edisi 2. Delmar.

Stuart, G.W. (2013). Principles and practice of psychiatric nursing 10th edition.
Missouri: Elsevier Mosby.

Anda mungkin juga menyukai