Anda di halaman 1dari 17

KEMOTERAPI DAN PEMBERIAN OBAT SITOSTATIKA

Oleh :

Ns. Rondhianto, M.Kep


Departemen Keperawatan Klinik
Program Studi Ilmu Keperawatan
Universitas Jember

Standar kompetensi
Setelah proses pembelajaran praktikum, mahasiswa mampu menjelaskan dan mendemonstrasikan teknik
pemberian obat sitostaika dengan benar.

Kompetensi dasar
Setelah proses pembelajaran praktikum, mahasiswa mampu :
a. Menjelaskan tentang konsep dasar kemoterapi
b. Menjelaskan klasifikasi obat sitostatika
c. Menjelaskan faktor-faktor yang harus diperhatikan sebelum kemoterapi
d. Menjelaskan tentang efek samping dan kontraindikasi kemoterapi
e. Menjelaskan prosedur pemberian terapi kemoterapi secara oral, intravena, intratekal, intraperitoneal,
intrapelural, arterial hepatik dan intra vesika.
f. Memahami, menjelaskan dan mendemonstrasikan prosedur pemberian terapi kemoterapi intravena

A. PENDAHULUAN
Modalitas pengobatan pada penderita kanker secara umum terbagi menjadi dua, yaitu trapi lokal, berupa
pembedahan dan radiasi, dan terapi sistemik. Jenis terapi sistemik pada kanker adalah dengan pemberian
kemoterapi dengan menggunakan obat sitostatika, terapi hormonal dan terapi biologi.

Pengetahuan dan penerapan kemoterapi saat ini telah berkembang dengan pesat, semenjak pertama kali
digunakannya mustar nitrogen untuk penderita keganasan hematologi pada tahun 1943. perkembangan
pengetahuan dan aplikasi teknologi baru di bidang biomolekuler, sangat mendukung penemuan obat-obat
yang lebih efektif membunuh sel kanker dengan efek samping yang makin minim serta dapat membunuh sel
kanker yang resisten dengan obat kemoterapi konvensional.

Kemoterapi pada penyakit-penyakit keganasan bertujuan untuk membunuh sel-sel ganas secara selektif. Suatu
obat kemoterapi yang ideal dapat membedakan dengan jelas antara hospes dan patogen, yaitu secara selektif
mengenyahkan patogen tanpa mencederai hospes. Akan tetapi, karena perbedaan sifat-sifat dasar antara sel-
sel kanker dan sel-sel normal sangat sedikit, maka mengembangkan obat-obat antikanker yang efektif tapi tak
beracun bagi hospes sulit sekali. Pengembangan dan penggunaan obat-obat kemoterapi kanker sampai saat ini
sebagian besar dasarnya adalah empirik. Mekanisme kerja sebagian besar obat-obat antikanker adalah
nonselektif, yaitu tertuju pada makromolekul vital (misal asam nuklein) atau jalur metabolik yang kritis, baik
bagi sel-sel ganas maupun bagi sel-sel normal. Karena kerjanya terutama menghambat pembiakan dan
perkembangan sel, maka obat-obat tersebut disebut sitostatika.

Protokol-protokol kemoterapi dikembangkan secara empirik dan tidak didasarkan atas pengukuran kadar
plasma yang ideal akan tetapi dosis disamaratakan untuk setiap penderita berdasarkan luas permukaan tubuh
atau berat badan. Oleh karena itu, harus selalu diingat bahwa pada pemberian kemoterapi sel-sel tubuh
normal senantiasa akan terkena efeknya, terutama sel-sel tubuh yang berkembang secara cepat, misalnya
sumsum tulang dan sel-sel epitel kulit dan mukosa sehingga dalam memberikan pengobatan kita perlu
berpedoman pada metode kemoterapi Janganlah menyebabkan cedera yang tak dapat dipulihkan pada
pasien Anda!

Oleh karena itu, kemoterapi harus diberikan oleh tim medis yang telah berpengalaman dalam pemberian
kemoterapi. Tim medis yang akan memberikan kemoterapi harus mengetahui dengan betul sifat-sifat obat dan
efek sampingnya agar dapat mengambil tindakan serta mengadakan penyesuaian dosis sesuai dengan kondisi
pasien.

B. KLASIFIKASI SITOSTATIKA
Menurut kerja farmakologinya, sitostatika dibagi menjadi beberapa kelompok utama :
1. Zat-zat alkilasi (Alkylating agents)
Obat alkilator adalah obat yang dapat membentuk ikatan dengan asam nukleat, protein, dan banyak
molekul dengan berat molekul rendah. Obat alkilator berinteraksi dengan DNA, RNA, atau protein yang
telah terbentuk sehingga obat golongan ini merupakan obat yang tidak spesifik pada fase tertentu, bahkan
beberapa juga dapat aktif pada sel yang tidak berada di siklus sel. Cara kerja utama zat-zat alkilasi adalah
terhadap gugus guanine DNA pada posisi N-7, yaitu dengan mengadakan ikatan kovalen yang kemudian
disusul dengan cross-linking dengan basa guanine kedua. Proses ini dapat mencegah replikasi dan
transkripsi DNA/RNA yang dapat berakhir dengan kematian sel. Disamping itu, dapat terjadi alkilasi yang
kurang intensif terhadap adenine dan sitosin. Reaksi-reaksi ini dapat menyebabkan efek mutagenik,
karsiogenik, dan sitotoksik. Kerjanya terhadap siklus sel tidak spesifik.
Contoh :
a. Mustar nitrogen :
Cylophosphamide : 400-200 mg/m2 IV ; 100 mg/m2 PO,qd
Melfalan : 8 mg/m2 qd x 5, PO
Klorambusil : 1-3 mg/m2, qd, PO
b. Aziridin dan Epoksida
Mitosin C : 6-1- mg/m2 q6 minggu
c. Nitrosurea
Lomustine : 100-300 mg/m2 PO
Karmustin : 200 mg/m2, IV ; 150 mg/m2 PO
d. Hidrazin dan Turunan Triazin
Prokarbazin : 100 mg/m2 per hari x 14
Dakarbazin : 375 mg/m2 IV hari 1 dan 15
Temozolamid : 150-200 mg/m2 qd x 5 q28, atau 75 mg/m2 qd x607 mgg
e. Platimun
Cisplatine : 75-100 mg/m2 per dosis IV, q3-4 minggu
Karboplastin : 365 mg/m2 IV q3-4 minggu

2. Antimetabolit
Antimetabolit bekerja pada fase sintesis siklus sel sehingga kerjanya disebut spesifik terhadap fase 5,
kecuali 5-fluorouracil. Kebanyakan antimetabolit merupakan analog struktural dari metabolit sel yang
diperlukan untuk pertumbuhan dan replikasi sel. Obat-obat ini menghambat sintesis asam nukleik dengan
berbagai cara :
Menggantikan metabolit alami sehingga terjadi pesan yang salah
Bersaing dengan metabolit alami dalam enzim yang diperlukan untuk sintesis senyawa penting
Contoh :
a. Antifolat
Methothrexate : 15-30 mg/m2 PO atau IM qd x 3-5
b. Analog Pirimidin
5-Fluorouracil : 375 mg/m2 IV qd x5; 600 mg/m2 IV hari 1 dan 8
c. Analog Cytidine
Cytarabine : 100 mg/m2 per hari qd x7 dengan infus kontinu ; 100 mg/m2 IV bolus 1
minggu stop
d. Analog Purin
6-Mercaptopurine : 75 mg/m2 PO atau s.d 500 mg/m2 (dosis tinggi)
6-Thioguanine : 2-3 mg/kg BB per hari sampai 3-4 minggu
3. Antibiotika
Kebanyakan antibiotik bekerja terhadap polinukleotid, yaitu dengan mengadakan ikatan dengan DNA
sehingga terjadi blokade terhadap replikasi dan transkripsi DNA/RNA. Biasanya kerjanya tidak spesifik
dalam siklus sel.
Contoh :
a. Antrasiklin
Doxorubicin : 45-60 mg/m2 q 3-4 mgg; 10-30 mg/m2/mgg
Daunorubicin : regimen infus kontinu
Epirubicin : 150 mg/m2 IV q 3mgg
Idarubicin : 10-15 mg/m2 q 3 mgg; 10 mg/m2 IV qd x 3
b. Lain-lain
Mitoksantron : 12 mg/m2 qd x 3
Aktinomycin D : 10-15 mcg/Kg BB, per hari qdx 5 IV bolus

4. Alkaloid tumbuh-tumbuhan (zat alami)


Sebagian merupakan inhibitor mitosis (Vincristine dan Vinblastine) yang efek sitotoksiknya terjadi karena
zat-zat ini mengadakan ikatan dengan tubulin sehingga terjadi hambatan pembentukan mikrotubuli dan
akibatnya adalah penghentian mitosis pada metafase. Kelompok yang lain (Etoposide dan Teniposide)
inhibitor topoisomerase II. Kelompok ini membentuk ikatan kuat dengan DNA dan enzim topoisomerase
sehingga mengakibatkan kerusakan pada DNA dan mengganggu replikasi dan transkripsi.
Contoh :
a. Alkaloid Vinka
Vincristine : 1-1,4 mg/m2 per mgg (maksimal 2 mgg)
Vinblastine : 6-8 mg/m2 per mgg
b. Epipodofilotoksin
Etoposide : 100-150 mg/m2 IV qd x3 sampai 5 hari
Teniposide : 150-200 mg/m2 IV 2 kali seminggu, 4 minggu

5. Enzim
L-asparaginase kerjanya mencegah sintesis protein oleh sel-sel ganas dengan menghabiskan asparagin.
Kebanyakan sel normal yang dapat membentuk sendiri asparaginnya tidak akan terpengaruh oleh zat ini.
Menurut titik tangkapnya pada siklus sel dan kerjanya pada tingkat molekuler, obat-obat tersebut dapat
dibagi dalam beberapa sub kelompok.
Contoh :
L-asparaginase 25.000 IU/m2 q 3-4 mgg

Keterangan :
qd : tiap hari, q : setiap, bid ; dua kali sehari, PO : per oral, IV : per intravena, mg : miligram, mgg : minggu

C. SIKLUS SEL
Untuk memahami kerja obat-obat pada siklus sel, perlu diketahui apa yang terjadi dalam suatu siklus
pembagian sel :

G2 M G0

S G1
Keterangan :
Fase G0 : fase istirahat, sel tidak berpoloferasi
Fase G1 : fase prasintesis DNA, periode setelah mitosis sampai sintesis DNA berikut yang lamanya
sangat bervariasi, 12 jam sampai beberapa hari (disebut juga mauk fase istirahat atau G0).
Pada fase G2 terjadi sintesis RNA dan protein
Fase S : fase sintesis DNA (2-4 jam)
Fase G2 : gap antara akhir sintesis DNA dan permulaan mitosis (2-4 jam)
Fase M : fase mitotik. Pada fase ini terjadi pembagian sel yang sebenarnya (1-2 jam)

Kerja obat sitostatik pada tingkat molekuler meliputi :


Hambatan pada sintesis asam nuklien
Perubahan pada sintesis DNA
Gangguan pada sintesis protein atau fungsi protein

Bekerjanya obat-obat sitostatik pada siklus sel berbeda-beda tergantung dari jenis obatnya. Ada yang bekerja
khusus terhadap fase tertentu dan ada pula yang kerjanya tidak spesifik pada suatu fase.

D. KEMOTERAPI KOMBINASI
Pemberian obat sitostatika tunggal dengan dosis yang masih ditoleransi secara klinis tidak dapat digunakan
untuk mengobati kanker. Dengan beberapa perkecualian, yaitu kariokarsinoma dan limfoma burkit. Obat-obat
sitostatik yang dipakai dalam kemoterapi harus memenuhi beberapa syarat tertentu. Kemoterapi baru dapat
berhasil jika beberapa hal di bawah ini dipertimbangkan dalam pemilihan obat maupun dalam pemberiannya :
1. Obat atau hasil metabolitnya yang aktif harus dapat mencapai sel-sel ganas dalam kadar yang cukup
toksik dan tinggal di situ dalam jangka waktu yang cukup lama agar efeknya mematikan
2. Sel-sel ganas harus cukup sensitif terhadap obat yang dipakai
3. Pasien harus dapat mentolerir efek samping obat
4. Dosis harus diatur sedemikian rupa sehingga sel-sel ganas dapat dimatikan dalam waktu yang
sesingkat-singkatnya tanpa membahayakan pasien. Jika obat diberikan dalam dosis kecil dan dalam
jangka waktu yang lama, maka akan mudah timbul resistensi terhadap obat tersebut.

Pemakaian kemoterapi kombinasi berkembang dari pengalaman. Keuntungan pemakaian kemoterapi


kombinasi dibandingkan dengan obat tungggal adalah :
1. Dapat meningkatkan persentase remisi total
2. Dapat memperpanjang lamanya remisi
3. Mengatasi resistensi sel-sel ganas terhadap obat tunggal yang insidensnya dapat melebihi 50% dan
sulit diramalkan sebelumnya
4. Mencegah atau menunda timbulnya resistensi pada sel-sel ganas yang tadinya sensitif
5. Efek sitotoksik yang adiktif atau sinergistik dapat dicapai dengan memilih kombinasi obat-obat
dengan mekanisme kerja yang berbeda

Obat-obat yang dikombinasi dapat berasal dari suatu kelompok besar atau dari beberapa kelompok. Namun
demikian, mengkombinasi obat-obat sitostatika harus mempertimbangkan beberapa sifat :
Masing-masing obat harus efektif terhadap keganasan yang diobati
Spesifitas kerja obat dalam siklus sel
Efeknya adiktif atau sinergistik
Toksisitas berbeda-beda, tidak tidak tumpang tindih atau adiktif dan tetap minim dalam batas
toleransi tubuh sehingga masing-masing obat dapat diberikan dalam dosis maksimal

Pemberian kemoterapi biasanya dituangkan dalam suatu protokol pengobatan yang mengatur dosis obat, saat
pemberian, lama pemberian dan cara pemberian serta semua tindakan pendukung pelaksanaan protokol
tersebut.

E. FAKTOR-FAKTOR YANG HARUS DIPERHATIKAN DALAM MELAKUKAN KEMOTERAPI


Faktor yang harus diperhatikan dalam merencanakan kemoterapi meliputi pengobatan kemoterapi itu sendiri
dan faktor penderita.
Faktor yang terkait dengan kemoterapi diantaranya adalah :
1. Pilihan regimen pengobatan
2. Dosis
3. Cara pemberian
4. Jadwal pemberian
Pelaksanaan suatu protokol tidak boleh terlalu kaku, namun perlu dimodifikasi sesuai dengan hasil
pemantauan klinik maupun hasil pemeriksaan laboratorium. Secara umum faktor penderita yang harus
diperhatikan adalah :
1. Usia
2. Jenis kelamin
3. Status sosial ekonomi
4. Status gizi
5. Status penampilan (lihat tabel)
6. Cadangan sumsum tulang
7. Fungsi organ : paru, ginjal, hati, jantung
8. Penyakit penyerta

ECOG Karnofsky

Derajat Kriteria % Status fungsional

0 Aktivitas normal 100 Dapat melakukan aktivitas normal. Tidak ada


gejala, tidak memerlukan perawatan khusus

90 Aktivitas normal dengan gejala minimal

1 Ada gejala, cukup 80 Aktivitas normal dengan usaha ekstra, ada gejala
rawat jalan penyakit

70 Tidak dapat bekerja, dpat dirawat di rumah, perlu


bantuan untuk beberapa aktivitas

2 <50% waktu harus 60 Kadang-kadang perlu bantuan


berbaring
50 Perlu bantuan dan seringkali perawatan medis

3 >5- % waktu harus 40 Tidak dapat merawat diri sendiri, memerlukan


berbaring perawatan di rumah sakit, perjalanan penyakit
dapat sangat cepat

30 Tidak dapat beraktivitas sama sekali, indikasi di


rawat di rumah sakit

4 Harus berbaring 20 Sangat sakit, perlu di rawat di rumah sakit untuk


terus pengobatan supportif

10 Sekarat

5 Meninggal 0 Meninggal

Secara khusus keadaan penderita yang menjadi perhatian pada saat akan diberikan kemoterapi adalah :
1. Keadaan gizi
2. Pemberian kemoterapi sebelumnya
3. Hasil pemeriksaan darah, terutama bila leukosit berkurang sehingga memudahkan timbulnya infeksi
4. Keadaan sumsum tulang
5. Fungsi ginjal, hati, dan jantung
6. Toleransi terhadap kemoterapi
7. Kemampuan daya beli pasien
8. Tersedianya obat di apotek, dan sebagainya.
Gambar. Pasien sedang menjalani kemoterapi

G. KONTRAINDIKASI
Kontraindikasi pemberian kemoterapi dapat bersifat absolut maupun relatif. Kontraindikasi absolut adalah
penyakit terminal (harapan hidup sangat pendek), kehamilan trimester pertama, septikemia, dan koma.
Kontraindikasi relatif adalah bayi di bawah tiga bulan, usia tua, terutama pada penderita dengan tumor yang
tumbuh lambat dan kurang sensitif terhadap kemoterapi, status penampilan buruk (kurang dari 40%), terdapat
gagal organ yang parah, metastase otak (jika tidak dapat diobati dengan radioterapi), demensia, penderita
yang tidak dapat datang secara reguler, penderita yang tidak kooperatif, serta jenis tumornya resisten
terhadap obat antikanker.

H. EFEK SAMPING
Supresi Sumsum Tulang Belakang
Trombositopenia, anemia, dan leukopenia merupakan efek samping dari kemoterapi. Sebagian besar program
pengobatan standar dirancang sesuai dengan kinetika pemulihan sumsum tulang setelah paparan kemoterapi.
Beberapa tahun terakhir ini, diberikan faktor perangsang koloni, seperti faktor perangsang koloni makrofag
(M-CSF : Macrophage-Colony Stimulating Factor), faktor perangsang koloni granulosit (G-CSF : Granulocyte-
Colony Stimulating Factor). Faktor pertumbuhan ini penting untuk mencegah leukopenia sehingga mengurangi
insiden infeksi dan lama rawat inap.
3
Granulositopeni adalah jumlah absout granulosit <1500/mm . Granulositopeni terjadi akibat dari depresi
sumsum tulang oleh sel-sel ganas (terutama leukemia) ditambah pengaruh mielosupresif obat. Semua obat
sitostatik mempunyai efek samping mielosupresif dan imunosupresif walaupun derajatnya berbeda; efeknya
tergantung pada dosis dan biasanya reversible. Apalagi dengan kemoterapi yang modern, dengan pengobatan
yang lebih agresif memakai dosis tinggi dan kombinasi beberapa obat, maka daya mielosupresifnya makin kuat
dan interval granulositopeni bisa lebih lama. Pada granulositopeni, risiko anak terkena infeksi sangat besar.
Beratnya infeksi dipengaruhi oleh berat dan lamanya leukopeni. Hal ini merupakan salah satu masalah utama
3
di klinik apalagi bila jumlah granulosit <500/ mm . Selain pengobatan harus ditunda dan anak harus dirawwat
di ruang isolasi, risiko infeksi oportunistik sangat besar yang merupakan sebab utama munculnya kuman-
kuman yang resisten terhadap antibiotika dan infeksi primer oleh jamur yang sulit diatasi sehingga walaupun
jumlah dan jenis antibiotika yang beredar sangat banyak, infeksi masih tetap merupakan komplikasi
mematikan bagi penderita dengan granulositopeni yang lama atau disfungsi granulosit.

Mukositis
Mukositis dapat terjadi pada rongga mulut (stomatitis), lidah (glositis), tenggorokan (esofagitis), usus
(enteritis), dan rektum (proktitis). Umumnya mukositis terjadi pada hari ke 5-7 setelah kemoterapi. Mukositis
dapat dicegah dengan penggantian obat atau penurunan dosis. Mukositis dapat menyebabkan infeksi
sekunder, asupan nutrisi yang buruk, dehidrasi, penambahan lama rawat inap, dan peningkatan biaya
perawatan. Untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder akibat mukositis, maka kebersihan mulut harus
dijaga. Penderita harus diingatkan untuk berhati-hati dengan gigi palsunya dan memilih sikat gigi yang berbulu
lembut. Setiap kali habis makan, mulut harus dibersihkan dan berkumur dengan obat antiseptik. Jika terjadi
infeksi sekunder maka harus diobati sesuai dengan jenis infeksinya.

Infeksi sekunder
Tindakan yang dapat dilakukan untuk mencegah infeksi sekunder pada klien yang menjalani kemoterapi adalah
:
0
1. Semua penderita yang mendapat kemoterapi bila demam (suhu rektal >38 C) lebih dari 2 jam
sebaiknya dirawat di rumah sakit
2. Cari tanda infeksi dengan teliti. Karena tanda infeksi yang jelas tidak selalu bisa ditemukan, maka
indikasi adanya peradangan yang paling ringan yang disertai granulositopeni harus dianggap sebagai
tanda infeksi
3. Lakukan pemeriksaan laboratorium antara lain darah lengkap, biakan darah, urin, foto toraks, dan
lain-lain
4. Bila ditemukan atau dicurigai adanya infeksi atau anak nampak sakit, maka segera berikan antibiotik
(sebaiknya dipakai Sefaolosporin generasi ketiga yang mempunyai daya antipseudomonas atau
kombinasi Sefaolosporin ditambah Aminoglikosida). Pada pasien dengan granulositopeni,
penunddaan beberapa jam dapat berakibat fatal. Karena infeksi sebagian besar disebabkan oleh
bakteri, maka dapat diharapkan demam akan turun dalam waktu 5 -7 hari. Bila demam tidak turun
dengan antibiotik yang adekuat dan hasil biakan meragukan atau tidak menemukan kuman, maka
harus dipertimbangkan pemberian terapi antijamur
5. Bila penderita dapat diberikan G-CSF/GM-CSF growth factor mieloid dapat memperpendek masa
aplasia pada pasien yang mendapat kemoterapi dan dapat meningkatkan jumlah granulosit yang
beredar

Mual dan muntah


Hampir semua obat kemoterapetik mempunyai potensi ematogenik atau menyebabkan mual. Tetapi
derajatnya tidak sama tergantung jenis obat yang dipakai, modalitas pengobatan dan penerimaan pasien.
Dengan kemoterapi kombinasi modern yang sangat agresif, frekwensi muntah makin sering dijumpai. Efek
samping ini sangat mengkhawatirkan bagi oarng tua dan sangat tidak enak bagi penderita karena biasanya
tidak mudah diatasi, berlangsungnya lama, dan akibatnya bisa sangat hebat, seperti hilangnya nafsu makan,
dehidrasi dan malnutrisi atau terpaksa dihentikan pengobatan. Muntah disebabkan oleh rangsangan pada
pusat muntah yang terletak pada formasio retikularis lateralis. Pusat ini menerima rangsangan dari 5 sumber
utama :
1. Chemoreceptor Trigger Zone (CTZ) yang terletak pada dasar ventrikel IV
2. Vagus dan syaraf aferen lain dari visera
3. Reseptor tekanan intracranial pada mesenfalon
4. Alat labirin
5. Struktur susunan syaraf pusat yang lebih tinggi

Meskipun muntah pada penderita yang mendapat kemoterapi kebanyakan berasal dari obat, perlu dicari
sebab-sebab lain misal obstruksi/infeksi usus, metastasis keganasan ke otak, tekanan intrakranial yang
meninggi, radiasi yang diberikan bersamaan, dan sebagainya. Oleh karena itu, sebelum memberikan
pengobatan sebaiknya dicari dahulu sebabnya.

Obat-obat kemoterapi menyebabkan muntah melalui rangsangan pada CTZ yang sebaliknya akan
mengaktifkan pusat muntah. Akan tetapi mekanismenya belum diketahui dengan tepat. Potensi ematogenik
obat-obat kemoterapetik yang banyak dipakai :
Tinggi Sedang Rendah

Cisplatin Anthracycline Fluorouracil

Daktinomycine Cytarabine Bleomycine

CPM Vinca alkaloids


Dakarbazin MTX

Busulfan

Onset dan lama berlangsungnya muntah pada beberapa obat :


Nama Obat Onset (jam) Lamanya (jam)

Cisplatin 14 12 96

Daktinomycine 25 4 24

Cytarabine dosis tinggi 13 38

Ifosfamide 23 45

CPM 68 8 24

Daunorubicin 13 4 24

Doxorubicin 1 -3 4 24

Etoposide (sering bila oral) 26 ?

MTX dosis tinggi 24 72 ?

Lomustine 26 46

Carmustine 26 4-6

Obat-bat yang dipakai untuk mengatasi muntah pada kemoterapi :


1. Chlorpromazine (Largactil, Roche)
Daya antiemetik : lemah
Cara kerja : pada SSP, menekan CTZ atau langsung menekan pusat muntah, juga terhadap
syaraf otonom
Cara pemberian : P, O, IV, IM
Kemasan : ampul 0,5%, 5 ml dan tablet 25 dan 100 mg
Efek samping : mengantuk, mulut kering, gejala ekstrapiramidal, hipotensi ortostatik

2. Dexamethasone
Daya antiemetik : sedang
Cara kerja : belum diketahui dengan jelas
Cara pemberian : P, O, IV
Kemasan : ampul 5 mg/ml dan tablet 0,5 mg
Efek samping : retensi garam dan cairan, hipertensi, moonface

3. Ondansetron (Zofran, Glaxo)


Daya antiemetik : terutama bila dikombinasi dengan dexamethason, efek perifernya 70-125 kali
lebih kuat dari pada metodopramide
Cara kerja : inhibitor serotonin pada reseptor 5-HT3 baik sentral maupun perifer pada usus
Cara pemberian : P, O, IV
Kemasan : ampul 4 mg/ 2 ml dan 8 mg/4 ml dan tablet 4 dan 8 mg
Efek samping : biasanya ringan berupa konstipasi/diare, sakit kepala (10-15%), gangguan faal
hati yaitu kenaikan sementara aminotransferase dan bilirubin (25%)
Selain pemberian obat, lingkungan di sekitar klien dan makanan harus diperhatikan. Tempatkan klien di
ruangan yang sejuk, hindari makanan yang terlalu panas atau dingin, terlalu pedas dan berbau menyengat
serta makan dan minum dalam porsi sedikit tapi sering. Hindari makan 1-2 jam sebelum dan sesudah
kemoterapi. Jaga kebersihan mulut dan anjurkan klien untuk meningkatkan relaksasi dan periode istirahat
serta olahraga.

Diare
Diare disebabkan oleh kerusakan sel epitel saluran cerna sehingga absorbsi tidak adekuat. Obat yang sering
menimbulkan diare adalah golongan antimetabolit. Klien dianjurkan makan rendah serat, tinggi protein, dan
minum cairan yang banyak. Obat antidiare juga dapat diberikan. Lakukan pergantian cairan dan elektrolit
untuk mempertahankan keseimbangannya.

Alopesia
Kerontokan rambut sering terjadi pada kemoterapi akibat efek letal obat terhadap sel-sel folikel rambut.
Pemulihan total akan terjadi setelah terapi dihentikan. Pada beberapa klien rambut dapat tumbuh kembali
pada saat terapi masih berlangsung. Tumbuhnya kembali merefleksikan proses proliferatif kompensatif yang
meningkatkan jumlah sel-sel induk atau mencerminkan perkembangan resistensi obat terhadap jaring normal.

Infertilitas
Pada pria yang mendapat kemoterapi seringkali produksi spermanya menurun. Hal ini disebabkan karena efek
obat terhadap sel-sel yang berproliferasi cepat. Pada perempuan, biasanya akan mengalami penghentian
menstruasi sementara atau menetap dan timbulnya gejala-gejala menopause. Hilangnya efek ini sangat
tergantung pada umur, jenis obat, serta lam dan intensitas kemoterapi.

I. TEKNIK PEMBERIAN KEMOTRAPI


Pemberian obat kemoterapi dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu :
1. Kemoterapi Oral
2. Kemotrapi Intravena
3. Kemoterapi Intratekal/Intraventrikuler
4. Kemoterapi Intrapleural
5. Kemoterapi Intraperitoneal
6. Kemoterapi Arterial Hepatik
7. Kemoterapi Intravesika
Masing-masing teknik ditentukan oleh jenis keganasan, lokasi dari keganasan dalam tubuh, dan jenis obat
sitostatika yang digunakan.

KEMOTERAPI ORAL
Kasus :
Kanker ovarii yang relaps setelah pengobatan pletinum atau taksan.
Kenker kolorektal yang telah lanjut, kanker payudara metastatik setelah gagal dengan antrasiklin dan
taksan
Leukemia limfositik kronik sel B dan LNH derajat keganasan rendah, dll

Jenis Obat : Etoposide, Kapesitabin, Fludarabin

Keuntungan :
Pemberian mudah dan dapat secara berobat jalan
Tidak perlu mengeluarkan biaya untuk obat-obat dan alat infus, alat suntik, dan biaya perawatan maupun
biaya rawat inap, dll

KEMOTRAPI INTRAVENA
Kasus :
Semua jenis kanker. Misalnya kanker payudara.

Jenis Obat :
Siklofosfamide (dilarutkan dahulu dalam larutan NaCl 0,9%, lalu diinjeksikan secara IV pelan-pelan atau
dengan infus drip selama 10-20 menit)
Epirubicine (pemberian secara IV pelan-pelan)
Vincristine
5-FU
Sitarabine (dilarutkan dalam 500 cc NaCl 0,9% diberikan secara infus drip selama 24 jam)
Metotreksate, dll

Keuntungan :
Pemberian obat mudah dan obat bekerja secara sistemik

Gambar. Obat Cytarabine dan Avastin


KEMOTERAPI INTRATEKAL/INTRAVENTRIKULER
Kasus :
Meningitis neoplastik, akibat tumor solid, limfoma atau leukemia
Terapi profilaksis untuk pasien dengan risiko tinggi pada limfoma atau leukemia

Jenis Obat :
Metotreksate, Tiotepa, Sitarabin

Keuntungan :
Pemberian obat mudah
Obat yang dimasukkan dijamin dapat mencapai cairan serebrospinal
Obat dapat diberikan pada pasien dengan trombositopenia

KEMOTERAPI INTRAPLEURAL
Kasus :
Penyakit yang tidak mungkin disembuhkan dengan terapi sistemik, seperti limfoma, small cell lung cancer
Kanker payudara, kanker ovarii setelah terapi torasentesis
Kebanyakan tumor solid

Gambar. Kanker paru-paru

Jenis Obat :
Bleomicine (efektif tapi mahal)
Doksisiklin (efektivitas sedang tetapi murah, perlu terapi ulangan sehingga menaikan biaya)

Keuntungan :
Dapat mengobati kanker yang tidak bisa disembuhkan dengan cara terapi sistemik, terutama untuk kanker
paru-paru

KEMOTERAPI INTRAPERITONEAL
Kasus :
Terapi adjuvan pada kanker gaster dan kolon
Kanker ovarium residual
Jenis Obat :
Cisplatine, Karboplatin, Doxorobicine, dan Paklitaksel

Keuntungan :
Meningkatkan paparan terhadap tumor yang ada dalam kavum peritoneal
Cara yang paling tepat untuk obat-obat yang aktivitas antineoplastiknya terhadap beberpa jebis tumor
masih diragukan
Meningkatkan perbaikan farmakokinetika obat (cisplatine/karboplatin : 10-20 kali lipat), 5-FU : 200 kali
lipat, doxorubicine : 300 kali lipat, paklitasel : 1000 kali lipat, metotreksat : 90 kali lipat)

KEMOTERAPI ARTERIAL HEPATIK


Kasus :
Pengobatan metastatis hepatik dari kanker kolorektal
Terapi adjuvan setelah reseksi hepar

Jenis Obat :
FUDR, 5 FU, Mitomicine C

Keuntungan :
Tidak ada mielosupresi, vomitus, dan diare
Pemberian obat mudah
Toksisitas sistemik ringan
Respon lebih tinggi 50-70% dibandingkan dengan cara sistemik
Menghasilkan survival yang lebih baik

KEMOTERAPI INTRAVESIKA
Kasus :
Karsinoma sel vesikel urinaria

Jenis Obat :
Basilus calmette-guerine (BCG), Mitomicine C, Doxorubicine

Keuntungan :
Dapat digunakan untuk terapi adjuvan profilaksis dan etiologik untuk mengeleminasi karsinoma insitu,
karsinoma superfisial yang tidak dapat direseksi dan mencegah kekambuhan
Menurunkan risiko terjadinya progresi dan kekambuhan pada kanker vesika urinaria

J. PETUNJUK UMUM PEMBERIAN SITOSTATIKA INTRAVENA


1. Pemilihan pembuluh darah
- Yang tampak jelas, agar bila terjadi ekstravasasi dapat segera dilihat
- Yang tidak dekat dengan syaraf atau tendo agar kehilangan fungsi seminimal mungkin dan untuk
menghindari kesulitan
- Urutan prioritas :
a. Vena lengan bawah
b. Vena dorsum manus
c. Vena pergelangan tangan
d. Vena lipatan siku (meskipun vena-venanya besar, banyak arteri dan vena penting di situ dan
banyak jaringan ikat sehingga lebih sulit dan lambat dideteksi dengan akibat terjadi kontraktur
pada sendi)
2. Usahakan menusuk vena sekali saja dengan tepat dan jangan diulang pada tempat yang sama bila gagal.
Tusukan berulang dapat menimbulkan kebocoran. Bila menusukkan jarum yang kedua kalinya gagal,
mintalah bantuan senior atau supervisor.
3. Tempat masuknya jarum ke dalam vena tidak boleh ditutup dengan plester agar bila ada kebocoran dapat
terlihat dengan jelas
4. Tes terlebih dahulu dengan NaCl 0,9% apakah tidak bocor
5. Bila anak sudah menangis saat obat dimasukkan, misal pada anak kecil, gejala kebocoran dini agak sulit
dideteksi. Anak yang agak besar dapat diminta memberitahu apabila timbul rasa sakit, panas dan
sebagainya pada saat obat dimasukkan
6. Jika ragu, penyuntikan sulit atau sakit, lihat nomor 8
7. Setelah obat masuk, bilas dengan paling kurang 5 ml NaCl fisiologis
8. Tindakan pada ekstravasasi :
Ekstravasasi adalah keluarnya obat dari pembuluh darah ke jaringan sekitarnya, baik karena kebocoran
maupun infiltrasi. Efeknya tergantung dari jenis obat, jumlah dan konsentrasi obat, dan cepatnya
ekstravasasi terdeteksi. Timbunnya gejala dapat segera, beberapa hari atau beberapa minggu setelah
penyuntikan. Gejala yang segera timbul biasanya dalah perasaan panas atau eritema yang kemudian
disusul dengan rasa nekrosis. Jika terjadi ekstravasasi, pindah tempat :
~ Ekstremitas sama : pilih aliran vena lain, lateral atau proksimal dari yang pertama
~ Ekstremitas lain
Ikuti kembali prosedur 1 4
7. Lakukan penyuntikan dengan teliti, perhatikan rasa sakit dan rasa panas sebagai petunjuk
ekstravasasi. Bila hal ini terjadi, hentikan segera suntikan dan bilas dengan NaCl 0,9% kemudian ikuti
no. 8
8. Setelah suntikan selesai, bilas dengan paling kurang 5 ml NaCl 0,9%
9. Setelah itu, bila perlu diberikan obat sitostatik yang berikut atau infus. Jika beberapa hari obat
diberikan berturut-turut, maka berikan dahulu yang volumenya terkecil
10. Lepaskan sistem infus dan tekan dengan baik tempat jarum masuk vena dan bukan tempat jarum
masuk kulit
11. Jika obat sitostatik tersuntik paravasal, beritahu pasien dan keluarga sambil melakukan tindakan :
a. Stop segera aliran obat, biarkan jarum in situ
b. Suntikkan deksametason 1 ml
c. Hisap 3-5 ml darah, mungkin sebagian obat ikut terbuang, kemudian cabut jarum
d. Tempat injeksi dapat dikompres dengan es
e. Obati superinfeksi
Suatu reaksi jaringan dapat terjadi cepat, setelah 12-24 jam (VCR, CLB, HN2) atau lambat 1-2 minggu
(ACT-D, ADR). Reaksi ini biasanya disertai rasa sakit yang dapat berlangsung dari satu sampai
beberapa minggu.
Gambar. Prosedur pemberian Kemoterapi

PEMBERIAN SITOSTATIKA INTRAVENA

PSIK
UNIVERSITAS JEMBER
NO DOKUMEN: NO REVISI: HALAMAN:
PROSEDUR TETAP
TANGGAL TERBIT DITETAPKAN OLEH:

Merupakan prosedur pemberian obat sitostatika melalui pembuluh darah vena


1 PENGERTIAN
- Membunuh sel kanker
- Menyembuhkan dan menghilangkan kanker
- Memperpanjang hidup
2 TUJUAN - Memperpanjang interval bebas kanker
- Menghentikan progresifitas kanker
- Mengecilkan volume kanker
- Terapi paliatif
Pada klien yang telah didiagnosis menderita kanker
3 INDIKASI
Kontraindikasi absolut :
Penyakit stadium terminal
Hamil trimester pertama,kecuali akan digugurkan
Septikemia
Koma

4 KONTRA INDIKASI Kontraindikasi relatif :


Usia lanjut
Keadaan umum yang sangat jelek
Ada gangguan fungsi organ vital
Demensia
Penderita tidak dapat mengunjungi klinik secara teratur.
Tumor resisten terhadap obat,tidak ada fasilitas penunjang.
1. Kaji identitas klien
2. Kaji kondisi klien :
- Kondisi umum, riwayat penyakit, riw penggunaan obat, dll)
- Kaji kepatenan IV line
- Lakukan pemeriksaan EKG pada klien dengan usia > 60 tahun atau klien
dengan penyakit jantung
- Cek fungsi Hati (jika ada insufisiensi, dosis epirubisin dan 5-FU dikurangi)
- Cek fungsi ginjal (jika ada insufisiensi, dosisi sikolfosfamid dikurangi)
5 PERSIAPAN PASIEN
- Cek darah rutin lengkap (jika netrofilia <1500/mm3 atau AT
<100.000/mm3, kemoterapi ditunda)
- Berikan antiemetik sebelum kemoterapi
- Kontrol dosis, hindari kardiotoksisitas (epirubisin >900mg/m2)
- Kaji pengetahun tentang efek samping
- Cek TTV klien
-
3. Klien tidur dengan posisi supinasi terpasang IV line
Set Universal precaution
- Baju
- Topi
- Kaca mata googles
- Masker
- Sarung tangan
- Sepatu
Cabinet biosafety
Spuit 5 cc atau 10 cc
Kapas alkohol
6 PERSIAPAN ALAT Set Infus komplit
NaCl 100 cc (sikolfosfamide dan 5-FU) atau 500 cc (sitarabine)
Wadah (kontainer)
Label Obat
Pengalas dan Perlak
Bengkok
Plester dan Gunting
Kertas karbon
Tas plastik warna hitam, tebal
Bengkok
Kontrol jika obat paravasa :
- Dexametason
- Spiut 1 cc utk injeksi dexametason
- Spuit 3 cc untuk aspirasi
- Antibiotika dan spuit
- Kompres es

SEBELUM BERTEMU DENGAN KLIEN, SIAPKAN OBAT :


1. Kaji 6 benar :
Benar Jenis obat sitostatika
Benar Dosis obat sitostatika
Benar Waktu pemberian obat sitostatika
Benar Klien
Benar Cara pemberian
Benar Dokumentasi
1. Kenakan set universal precaution
2. Siapkan obat yang akan diberikan pada klien
3. Tentukan dosis :
- 5 FU : 500 mg/m2/IV pada hari I
- Epirubisin 60 mg/m2/IV pada hari I
- Sikolfosfamid 500 mg/m2/IV pada hari I
4. Cek formulir pemberian
5. Rotasikan/pilin vial
6. Usap tutup vial dengan kapas alkohol
7. Masukkan udara ke dalam spuit, masukkan ke dalam vial, Balikkan vial aspirasi
obat sesuai kebutuhan
8. Tutup kembali spuit dengan tepat
9. Beri label dan masukkan ke dalam container (epirubisin)
Epirubisin
Obat tidak perlu dilarutkan di dalam NaCl 0,9 %
5 FU dan Sikolfosfamide
Larutkan obat tersebut kedalam 100 cc NaCl 0,9 %
Sitarabine :
Larutkan obat tersebut kedalam 500 cc NaCl 0,9 %
A. Tahap Orientasi
1. Berikan salam, panggil klien dengan namanya (kesukaanya)
2. Perkenalkan nama dan tanggung jawab perawat
3. Jelaskan tujuan, prosedur dan lamanya tindakan pada klien/keluarga
B. Tahap Kerja
1. Beri kesempatan pada klien untuk bertanya atau melakukan sesuatu sebelum
kegiatan dilakukan
2. Menanyakan keluhan utama klien
3. Memulai tindakan dengan cara yang baik
4. Jaga privacy klien
5. Dekatkan peralatan pada klien
6. Atur posisi klien agar nyaman
7 CARA BEKERJA
Injeksi langsung ke Vena
7. Identifikasi vena yang akan diinjeksi
- Vena yang tampak jelas, agar bila terjadi ekstravasasi dapat segera dilihat
- Vena tidak dekat dengan syaraf atau tendo agar kehilangan fungsi
seminimal mungkin dan untuk menghindari kesulitan pada operasi
katarak
- Urutan prioritas (Vena lengan bawah-Vena dorsum manus-Vena
pergelangan tangan-Vena lipatan siku)
8. Posisikan klien dengan lengan ekstensi dan telapak tangan menghadap ke
atas
9. Usap tempat insersi dengan kapas alkohol. Tusuk dengan sekali tusuk. Jika
gagal, jangan diulang pada tempat yang sama. Bila menusukkan jarum yang
kedua kalinya gagal, mintalah bantuan senior atau supervisor.
10. Tempat masuknya jarum ke dalam vena tidak boleh ditutup dengan plester
agar bila ada kebocoran dapat terlihat dengan jelas.
11. Tes terlebih dahulu dengan NaCl 0,9% apakah ada kebocoran (tes ektravasasi)
12. Lakukan injeksi dengan teliti, perhatikan rasa sakit dan rasa panas sebagai
petunjuk ekstravasasi. Bila hal ini terjadi, hentikan segera suntikan dan bilas
dengan NaCl 0,9%.
13. Setelah suntikan selesai, bilas dengan paling kurang 5 ml NaCl 0,9%
14. Setelah itu, bila perlu diberikan obat sitostatik yang berikut atau infus. Jika
beberapa hari obat diberikan berturut-turut, maka berikan dahulu yang
volumenya terkecil
15. Tarik jarum dan tekan dengan baik tempat jarum masuk vena dan bukan
tempat jarum masuk kulit dengan kapas alkohol.
- Jika obat sitostatik tersuntik paravasal, beritahu pasien dan keluarga
sambil melakukan tindakan : Stop segera aliran obat, biarkan jarum in
situ
- Suntikkan deksametason 1 ml
- Hisap 3-5 ml darah, mungkin sebagian obat ikut terbuang, kemudian
cabut jarum
- Tempat injeksi dapat dikompres dengan es
- Obati superinfeksi
16. Observasi klien selama pemberian obat
17. Rapikan kembali peralatan
18. Lepas sarung tangan dan buang ke tempat sampah
19. Posisikan klien dalam posisi yang nyaman
20. Cuci tangan
21. Cek TTV
22. Monitor suhu badan tiap jam
23. Observasi mual dan muntah
24. Monitor adanya ekstravasasi obat (gatal, panas, dll)

Injeksi Per IV line


25. Identifikasi IV line
26. Cek kepatenan IV line dan aliran cairan infus
27. Kaji adanya eritema atau plebitis, ganti IV line jika perlu
28. Posisikan klien dengan lengan ekstensi dan telapak tangan menghadap ke
atas.
29. Letakkan perlak dan pengalas
30. Siapkan spuit yang berisi obat sitostatika
31. Usap IV line dengan kapas alkohol
32. Injeksikan obat ke IV line
33. Letakkan kapas alkohol di atas daerah penusukan dan tarik jarum.
34. Buang spuit ke dalam bengkok.
35. Observasi klien selama pemberian obat
36. Rapikan kembali peralatan
37. Lepas sarung tangan dan buang ke tempat sampah
38. Posisikan klien dalam posisi yang nyaman
39. Cuci tangan
40. Cek TTV
41. Monitor suhu badan tiap jam
42. Observasi mual dan muntah
43. Monitor adanya ekstravasasi obat (gatal, panas, dll)

Injeksi per drip


Sebelum bertemu klien.
44. Pastikan klien sudah terpasang infus NaCl 0,9 %
45. Bungkus selang infus dengan kertas karbon atau plastik warna hitam
46. Siapkan tas plastik warna hitam untuk membungkus plabot (sesuai keadaan)
47. Ganti palbot NaCl 0,9 % dengan plabot NaCl 0,9 % yang sudah tercampur
dengan obat. Letakkan dengan posisi steril berada diatas.
48. Pastikan plabot terbungkus dengan tas plastik hitam
49. Atur tetesan infus sesuai dengan ketentuan (20 menit)
50. Observasi klien selama pemberian obat
51. Rapikan kembali peralatan
52. Lepas sarung tangan dan buang ke tempat sampah
53. Posisikan klien dalam posisi yang nyaman
54. Cuci tangan
55. Cek TTV
56. Monitor suhu badan tiap jam
57. Observasi mual dan muntah
58. Monitor adanya ekstravasasi obat (gatal, panas, dll)
1. Evaluasi respon klien
2. Berikan reinforcement positif
8 HASIL
3. Lakukan kontrak untuk kegiatan selanjutnya
4. Mengakhiri kegiatan dengan baik
1. Catat tindakan yang telah dilakukan, tanggal dan jam pelaksanaan
9 DOKUMENTASI 2. Catat hasil tindakan (respon subjektif dan objektif) di dalam catatan
3. Dokumentasikan tindakan dalam bentuk SOAP

Anda mungkin juga menyukai