Oleh :
Standar kompetensi
Setelah proses pembelajaran praktikum, mahasiswa mampu menjelaskan dan mendemonstrasikan teknik
pemberian obat sitostaika dengan benar.
Kompetensi dasar
Setelah proses pembelajaran praktikum, mahasiswa mampu :
a. Menjelaskan tentang konsep dasar kemoterapi
b. Menjelaskan klasifikasi obat sitostatika
c. Menjelaskan faktor-faktor yang harus diperhatikan sebelum kemoterapi
d. Menjelaskan tentang efek samping dan kontraindikasi kemoterapi
e. Menjelaskan prosedur pemberian terapi kemoterapi secara oral, intravena, intratekal, intraperitoneal,
intrapelural, arterial hepatik dan intra vesika.
f. Memahami, menjelaskan dan mendemonstrasikan prosedur pemberian terapi kemoterapi intravena
A. PENDAHULUAN
Modalitas pengobatan pada penderita kanker secara umum terbagi menjadi dua, yaitu trapi lokal, berupa
pembedahan dan radiasi, dan terapi sistemik. Jenis terapi sistemik pada kanker adalah dengan pemberian
kemoterapi dengan menggunakan obat sitostatika, terapi hormonal dan terapi biologi.
Pengetahuan dan penerapan kemoterapi saat ini telah berkembang dengan pesat, semenjak pertama kali
digunakannya mustar nitrogen untuk penderita keganasan hematologi pada tahun 1943. perkembangan
pengetahuan dan aplikasi teknologi baru di bidang biomolekuler, sangat mendukung penemuan obat-obat
yang lebih efektif membunuh sel kanker dengan efek samping yang makin minim serta dapat membunuh sel
kanker yang resisten dengan obat kemoterapi konvensional.
Kemoterapi pada penyakit-penyakit keganasan bertujuan untuk membunuh sel-sel ganas secara selektif. Suatu
obat kemoterapi yang ideal dapat membedakan dengan jelas antara hospes dan patogen, yaitu secara selektif
mengenyahkan patogen tanpa mencederai hospes. Akan tetapi, karena perbedaan sifat-sifat dasar antara sel-
sel kanker dan sel-sel normal sangat sedikit, maka mengembangkan obat-obat antikanker yang efektif tapi tak
beracun bagi hospes sulit sekali. Pengembangan dan penggunaan obat-obat kemoterapi kanker sampai saat ini
sebagian besar dasarnya adalah empirik. Mekanisme kerja sebagian besar obat-obat antikanker adalah
nonselektif, yaitu tertuju pada makromolekul vital (misal asam nuklein) atau jalur metabolik yang kritis, baik
bagi sel-sel ganas maupun bagi sel-sel normal. Karena kerjanya terutama menghambat pembiakan dan
perkembangan sel, maka obat-obat tersebut disebut sitostatika.
Protokol-protokol kemoterapi dikembangkan secara empirik dan tidak didasarkan atas pengukuran kadar
plasma yang ideal akan tetapi dosis disamaratakan untuk setiap penderita berdasarkan luas permukaan tubuh
atau berat badan. Oleh karena itu, harus selalu diingat bahwa pada pemberian kemoterapi sel-sel tubuh
normal senantiasa akan terkena efeknya, terutama sel-sel tubuh yang berkembang secara cepat, misalnya
sumsum tulang dan sel-sel epitel kulit dan mukosa sehingga dalam memberikan pengobatan kita perlu
berpedoman pada metode kemoterapi Janganlah menyebabkan cedera yang tak dapat dipulihkan pada
pasien Anda!
Oleh karena itu, kemoterapi harus diberikan oleh tim medis yang telah berpengalaman dalam pemberian
kemoterapi. Tim medis yang akan memberikan kemoterapi harus mengetahui dengan betul sifat-sifat obat dan
efek sampingnya agar dapat mengambil tindakan serta mengadakan penyesuaian dosis sesuai dengan kondisi
pasien.
B. KLASIFIKASI SITOSTATIKA
Menurut kerja farmakologinya, sitostatika dibagi menjadi beberapa kelompok utama :
1. Zat-zat alkilasi (Alkylating agents)
Obat alkilator adalah obat yang dapat membentuk ikatan dengan asam nukleat, protein, dan banyak
molekul dengan berat molekul rendah. Obat alkilator berinteraksi dengan DNA, RNA, atau protein yang
telah terbentuk sehingga obat golongan ini merupakan obat yang tidak spesifik pada fase tertentu, bahkan
beberapa juga dapat aktif pada sel yang tidak berada di siklus sel. Cara kerja utama zat-zat alkilasi adalah
terhadap gugus guanine DNA pada posisi N-7, yaitu dengan mengadakan ikatan kovalen yang kemudian
disusul dengan cross-linking dengan basa guanine kedua. Proses ini dapat mencegah replikasi dan
transkripsi DNA/RNA yang dapat berakhir dengan kematian sel. Disamping itu, dapat terjadi alkilasi yang
kurang intensif terhadap adenine dan sitosin. Reaksi-reaksi ini dapat menyebabkan efek mutagenik,
karsiogenik, dan sitotoksik. Kerjanya terhadap siklus sel tidak spesifik.
Contoh :
a. Mustar nitrogen :
Cylophosphamide : 400-200 mg/m2 IV ; 100 mg/m2 PO,qd
Melfalan : 8 mg/m2 qd x 5, PO
Klorambusil : 1-3 mg/m2, qd, PO
b. Aziridin dan Epoksida
Mitosin C : 6-1- mg/m2 q6 minggu
c. Nitrosurea
Lomustine : 100-300 mg/m2 PO
Karmustin : 200 mg/m2, IV ; 150 mg/m2 PO
d. Hidrazin dan Turunan Triazin
Prokarbazin : 100 mg/m2 per hari x 14
Dakarbazin : 375 mg/m2 IV hari 1 dan 15
Temozolamid : 150-200 mg/m2 qd x 5 q28, atau 75 mg/m2 qd x607 mgg
e. Platimun
Cisplatine : 75-100 mg/m2 per dosis IV, q3-4 minggu
Karboplastin : 365 mg/m2 IV q3-4 minggu
2. Antimetabolit
Antimetabolit bekerja pada fase sintesis siklus sel sehingga kerjanya disebut spesifik terhadap fase 5,
kecuali 5-fluorouracil. Kebanyakan antimetabolit merupakan analog struktural dari metabolit sel yang
diperlukan untuk pertumbuhan dan replikasi sel. Obat-obat ini menghambat sintesis asam nukleik dengan
berbagai cara :
Menggantikan metabolit alami sehingga terjadi pesan yang salah
Bersaing dengan metabolit alami dalam enzim yang diperlukan untuk sintesis senyawa penting
Contoh :
a. Antifolat
Methothrexate : 15-30 mg/m2 PO atau IM qd x 3-5
b. Analog Pirimidin
5-Fluorouracil : 375 mg/m2 IV qd x5; 600 mg/m2 IV hari 1 dan 8
c. Analog Cytidine
Cytarabine : 100 mg/m2 per hari qd x7 dengan infus kontinu ; 100 mg/m2 IV bolus 1
minggu stop
d. Analog Purin
6-Mercaptopurine : 75 mg/m2 PO atau s.d 500 mg/m2 (dosis tinggi)
6-Thioguanine : 2-3 mg/kg BB per hari sampai 3-4 minggu
3. Antibiotika
Kebanyakan antibiotik bekerja terhadap polinukleotid, yaitu dengan mengadakan ikatan dengan DNA
sehingga terjadi blokade terhadap replikasi dan transkripsi DNA/RNA. Biasanya kerjanya tidak spesifik
dalam siklus sel.
Contoh :
a. Antrasiklin
Doxorubicin : 45-60 mg/m2 q 3-4 mgg; 10-30 mg/m2/mgg
Daunorubicin : regimen infus kontinu
Epirubicin : 150 mg/m2 IV q 3mgg
Idarubicin : 10-15 mg/m2 q 3 mgg; 10 mg/m2 IV qd x 3
b. Lain-lain
Mitoksantron : 12 mg/m2 qd x 3
Aktinomycin D : 10-15 mcg/Kg BB, per hari qdx 5 IV bolus
5. Enzim
L-asparaginase kerjanya mencegah sintesis protein oleh sel-sel ganas dengan menghabiskan asparagin.
Kebanyakan sel normal yang dapat membentuk sendiri asparaginnya tidak akan terpengaruh oleh zat ini.
Menurut titik tangkapnya pada siklus sel dan kerjanya pada tingkat molekuler, obat-obat tersebut dapat
dibagi dalam beberapa sub kelompok.
Contoh :
L-asparaginase 25.000 IU/m2 q 3-4 mgg
Keterangan :
qd : tiap hari, q : setiap, bid ; dua kali sehari, PO : per oral, IV : per intravena, mg : miligram, mgg : minggu
C. SIKLUS SEL
Untuk memahami kerja obat-obat pada siklus sel, perlu diketahui apa yang terjadi dalam suatu siklus
pembagian sel :
G2 M G0
S G1
Keterangan :
Fase G0 : fase istirahat, sel tidak berpoloferasi
Fase G1 : fase prasintesis DNA, periode setelah mitosis sampai sintesis DNA berikut yang lamanya
sangat bervariasi, 12 jam sampai beberapa hari (disebut juga mauk fase istirahat atau G0).
Pada fase G2 terjadi sintesis RNA dan protein
Fase S : fase sintesis DNA (2-4 jam)
Fase G2 : gap antara akhir sintesis DNA dan permulaan mitosis (2-4 jam)
Fase M : fase mitotik. Pada fase ini terjadi pembagian sel yang sebenarnya (1-2 jam)
Bekerjanya obat-obat sitostatik pada siklus sel berbeda-beda tergantung dari jenis obatnya. Ada yang bekerja
khusus terhadap fase tertentu dan ada pula yang kerjanya tidak spesifik pada suatu fase.
D. KEMOTERAPI KOMBINASI
Pemberian obat sitostatika tunggal dengan dosis yang masih ditoleransi secara klinis tidak dapat digunakan
untuk mengobati kanker. Dengan beberapa perkecualian, yaitu kariokarsinoma dan limfoma burkit. Obat-obat
sitostatik yang dipakai dalam kemoterapi harus memenuhi beberapa syarat tertentu. Kemoterapi baru dapat
berhasil jika beberapa hal di bawah ini dipertimbangkan dalam pemilihan obat maupun dalam pemberiannya :
1. Obat atau hasil metabolitnya yang aktif harus dapat mencapai sel-sel ganas dalam kadar yang cukup
toksik dan tinggal di situ dalam jangka waktu yang cukup lama agar efeknya mematikan
2. Sel-sel ganas harus cukup sensitif terhadap obat yang dipakai
3. Pasien harus dapat mentolerir efek samping obat
4. Dosis harus diatur sedemikian rupa sehingga sel-sel ganas dapat dimatikan dalam waktu yang
sesingkat-singkatnya tanpa membahayakan pasien. Jika obat diberikan dalam dosis kecil dan dalam
jangka waktu yang lama, maka akan mudah timbul resistensi terhadap obat tersebut.
Obat-obat yang dikombinasi dapat berasal dari suatu kelompok besar atau dari beberapa kelompok. Namun
demikian, mengkombinasi obat-obat sitostatika harus mempertimbangkan beberapa sifat :
Masing-masing obat harus efektif terhadap keganasan yang diobati
Spesifitas kerja obat dalam siklus sel
Efeknya adiktif atau sinergistik
Toksisitas berbeda-beda, tidak tidak tumpang tindih atau adiktif dan tetap minim dalam batas
toleransi tubuh sehingga masing-masing obat dapat diberikan dalam dosis maksimal
Pemberian kemoterapi biasanya dituangkan dalam suatu protokol pengobatan yang mengatur dosis obat, saat
pemberian, lama pemberian dan cara pemberian serta semua tindakan pendukung pelaksanaan protokol
tersebut.
ECOG Karnofsky
1 Ada gejala, cukup 80 Aktivitas normal dengan usaha ekstra, ada gejala
rawat jalan penyakit
10 Sekarat
5 Meninggal 0 Meninggal
Secara khusus keadaan penderita yang menjadi perhatian pada saat akan diberikan kemoterapi adalah :
1. Keadaan gizi
2. Pemberian kemoterapi sebelumnya
3. Hasil pemeriksaan darah, terutama bila leukosit berkurang sehingga memudahkan timbulnya infeksi
4. Keadaan sumsum tulang
5. Fungsi ginjal, hati, dan jantung
6. Toleransi terhadap kemoterapi
7. Kemampuan daya beli pasien
8. Tersedianya obat di apotek, dan sebagainya.
Gambar. Pasien sedang menjalani kemoterapi
G. KONTRAINDIKASI
Kontraindikasi pemberian kemoterapi dapat bersifat absolut maupun relatif. Kontraindikasi absolut adalah
penyakit terminal (harapan hidup sangat pendek), kehamilan trimester pertama, septikemia, dan koma.
Kontraindikasi relatif adalah bayi di bawah tiga bulan, usia tua, terutama pada penderita dengan tumor yang
tumbuh lambat dan kurang sensitif terhadap kemoterapi, status penampilan buruk (kurang dari 40%), terdapat
gagal organ yang parah, metastase otak (jika tidak dapat diobati dengan radioterapi), demensia, penderita
yang tidak dapat datang secara reguler, penderita yang tidak kooperatif, serta jenis tumornya resisten
terhadap obat antikanker.
H. EFEK SAMPING
Supresi Sumsum Tulang Belakang
Trombositopenia, anemia, dan leukopenia merupakan efek samping dari kemoterapi. Sebagian besar program
pengobatan standar dirancang sesuai dengan kinetika pemulihan sumsum tulang setelah paparan kemoterapi.
Beberapa tahun terakhir ini, diberikan faktor perangsang koloni, seperti faktor perangsang koloni makrofag
(M-CSF : Macrophage-Colony Stimulating Factor), faktor perangsang koloni granulosit (G-CSF : Granulocyte-
Colony Stimulating Factor). Faktor pertumbuhan ini penting untuk mencegah leukopenia sehingga mengurangi
insiden infeksi dan lama rawat inap.
3
Granulositopeni adalah jumlah absout granulosit <1500/mm . Granulositopeni terjadi akibat dari depresi
sumsum tulang oleh sel-sel ganas (terutama leukemia) ditambah pengaruh mielosupresif obat. Semua obat
sitostatik mempunyai efek samping mielosupresif dan imunosupresif walaupun derajatnya berbeda; efeknya
tergantung pada dosis dan biasanya reversible. Apalagi dengan kemoterapi yang modern, dengan pengobatan
yang lebih agresif memakai dosis tinggi dan kombinasi beberapa obat, maka daya mielosupresifnya makin kuat
dan interval granulositopeni bisa lebih lama. Pada granulositopeni, risiko anak terkena infeksi sangat besar.
Beratnya infeksi dipengaruhi oleh berat dan lamanya leukopeni. Hal ini merupakan salah satu masalah utama
3
di klinik apalagi bila jumlah granulosit <500/ mm . Selain pengobatan harus ditunda dan anak harus dirawwat
di ruang isolasi, risiko infeksi oportunistik sangat besar yang merupakan sebab utama munculnya kuman-
kuman yang resisten terhadap antibiotika dan infeksi primer oleh jamur yang sulit diatasi sehingga walaupun
jumlah dan jenis antibiotika yang beredar sangat banyak, infeksi masih tetap merupakan komplikasi
mematikan bagi penderita dengan granulositopeni yang lama atau disfungsi granulosit.
Mukositis
Mukositis dapat terjadi pada rongga mulut (stomatitis), lidah (glositis), tenggorokan (esofagitis), usus
(enteritis), dan rektum (proktitis). Umumnya mukositis terjadi pada hari ke 5-7 setelah kemoterapi. Mukositis
dapat dicegah dengan penggantian obat atau penurunan dosis. Mukositis dapat menyebabkan infeksi
sekunder, asupan nutrisi yang buruk, dehidrasi, penambahan lama rawat inap, dan peningkatan biaya
perawatan. Untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder akibat mukositis, maka kebersihan mulut harus
dijaga. Penderita harus diingatkan untuk berhati-hati dengan gigi palsunya dan memilih sikat gigi yang berbulu
lembut. Setiap kali habis makan, mulut harus dibersihkan dan berkumur dengan obat antiseptik. Jika terjadi
infeksi sekunder maka harus diobati sesuai dengan jenis infeksinya.
Infeksi sekunder
Tindakan yang dapat dilakukan untuk mencegah infeksi sekunder pada klien yang menjalani kemoterapi adalah
:
0
1. Semua penderita yang mendapat kemoterapi bila demam (suhu rektal >38 C) lebih dari 2 jam
sebaiknya dirawat di rumah sakit
2. Cari tanda infeksi dengan teliti. Karena tanda infeksi yang jelas tidak selalu bisa ditemukan, maka
indikasi adanya peradangan yang paling ringan yang disertai granulositopeni harus dianggap sebagai
tanda infeksi
3. Lakukan pemeriksaan laboratorium antara lain darah lengkap, biakan darah, urin, foto toraks, dan
lain-lain
4. Bila ditemukan atau dicurigai adanya infeksi atau anak nampak sakit, maka segera berikan antibiotik
(sebaiknya dipakai Sefaolosporin generasi ketiga yang mempunyai daya antipseudomonas atau
kombinasi Sefaolosporin ditambah Aminoglikosida). Pada pasien dengan granulositopeni,
penunddaan beberapa jam dapat berakibat fatal. Karena infeksi sebagian besar disebabkan oleh
bakteri, maka dapat diharapkan demam akan turun dalam waktu 5 -7 hari. Bila demam tidak turun
dengan antibiotik yang adekuat dan hasil biakan meragukan atau tidak menemukan kuman, maka
harus dipertimbangkan pemberian terapi antijamur
5. Bila penderita dapat diberikan G-CSF/GM-CSF growth factor mieloid dapat memperpendek masa
aplasia pada pasien yang mendapat kemoterapi dan dapat meningkatkan jumlah granulosit yang
beredar
Meskipun muntah pada penderita yang mendapat kemoterapi kebanyakan berasal dari obat, perlu dicari
sebab-sebab lain misal obstruksi/infeksi usus, metastasis keganasan ke otak, tekanan intrakranial yang
meninggi, radiasi yang diberikan bersamaan, dan sebagainya. Oleh karena itu, sebelum memberikan
pengobatan sebaiknya dicari dahulu sebabnya.
Obat-obat kemoterapi menyebabkan muntah melalui rangsangan pada CTZ yang sebaliknya akan
mengaktifkan pusat muntah. Akan tetapi mekanismenya belum diketahui dengan tepat. Potensi ematogenik
obat-obat kemoterapetik yang banyak dipakai :
Tinggi Sedang Rendah
Busulfan
Cisplatin 14 12 96
Daktinomycine 25 4 24
Ifosfamide 23 45
CPM 68 8 24
Daunorubicin 13 4 24
Doxorubicin 1 -3 4 24
Lomustine 26 46
Carmustine 26 4-6
2. Dexamethasone
Daya antiemetik : sedang
Cara kerja : belum diketahui dengan jelas
Cara pemberian : P, O, IV
Kemasan : ampul 5 mg/ml dan tablet 0,5 mg
Efek samping : retensi garam dan cairan, hipertensi, moonface
Diare
Diare disebabkan oleh kerusakan sel epitel saluran cerna sehingga absorbsi tidak adekuat. Obat yang sering
menimbulkan diare adalah golongan antimetabolit. Klien dianjurkan makan rendah serat, tinggi protein, dan
minum cairan yang banyak. Obat antidiare juga dapat diberikan. Lakukan pergantian cairan dan elektrolit
untuk mempertahankan keseimbangannya.
Alopesia
Kerontokan rambut sering terjadi pada kemoterapi akibat efek letal obat terhadap sel-sel folikel rambut.
Pemulihan total akan terjadi setelah terapi dihentikan. Pada beberapa klien rambut dapat tumbuh kembali
pada saat terapi masih berlangsung. Tumbuhnya kembali merefleksikan proses proliferatif kompensatif yang
meningkatkan jumlah sel-sel induk atau mencerminkan perkembangan resistensi obat terhadap jaring normal.
Infertilitas
Pada pria yang mendapat kemoterapi seringkali produksi spermanya menurun. Hal ini disebabkan karena efek
obat terhadap sel-sel yang berproliferasi cepat. Pada perempuan, biasanya akan mengalami penghentian
menstruasi sementara atau menetap dan timbulnya gejala-gejala menopause. Hilangnya efek ini sangat
tergantung pada umur, jenis obat, serta lam dan intensitas kemoterapi.
KEMOTERAPI ORAL
Kasus :
Kanker ovarii yang relaps setelah pengobatan pletinum atau taksan.
Kenker kolorektal yang telah lanjut, kanker payudara metastatik setelah gagal dengan antrasiklin dan
taksan
Leukemia limfositik kronik sel B dan LNH derajat keganasan rendah, dll
Keuntungan :
Pemberian mudah dan dapat secara berobat jalan
Tidak perlu mengeluarkan biaya untuk obat-obat dan alat infus, alat suntik, dan biaya perawatan maupun
biaya rawat inap, dll
KEMOTRAPI INTRAVENA
Kasus :
Semua jenis kanker. Misalnya kanker payudara.
Jenis Obat :
Siklofosfamide (dilarutkan dahulu dalam larutan NaCl 0,9%, lalu diinjeksikan secara IV pelan-pelan atau
dengan infus drip selama 10-20 menit)
Epirubicine (pemberian secara IV pelan-pelan)
Vincristine
5-FU
Sitarabine (dilarutkan dalam 500 cc NaCl 0,9% diberikan secara infus drip selama 24 jam)
Metotreksate, dll
Keuntungan :
Pemberian obat mudah dan obat bekerja secara sistemik
Jenis Obat :
Metotreksate, Tiotepa, Sitarabin
Keuntungan :
Pemberian obat mudah
Obat yang dimasukkan dijamin dapat mencapai cairan serebrospinal
Obat dapat diberikan pada pasien dengan trombositopenia
KEMOTERAPI INTRAPLEURAL
Kasus :
Penyakit yang tidak mungkin disembuhkan dengan terapi sistemik, seperti limfoma, small cell lung cancer
Kanker payudara, kanker ovarii setelah terapi torasentesis
Kebanyakan tumor solid
Jenis Obat :
Bleomicine (efektif tapi mahal)
Doksisiklin (efektivitas sedang tetapi murah, perlu terapi ulangan sehingga menaikan biaya)
Keuntungan :
Dapat mengobati kanker yang tidak bisa disembuhkan dengan cara terapi sistemik, terutama untuk kanker
paru-paru
KEMOTERAPI INTRAPERITONEAL
Kasus :
Terapi adjuvan pada kanker gaster dan kolon
Kanker ovarium residual
Jenis Obat :
Cisplatine, Karboplatin, Doxorobicine, dan Paklitaksel
Keuntungan :
Meningkatkan paparan terhadap tumor yang ada dalam kavum peritoneal
Cara yang paling tepat untuk obat-obat yang aktivitas antineoplastiknya terhadap beberpa jebis tumor
masih diragukan
Meningkatkan perbaikan farmakokinetika obat (cisplatine/karboplatin : 10-20 kali lipat), 5-FU : 200 kali
lipat, doxorubicine : 300 kali lipat, paklitasel : 1000 kali lipat, metotreksat : 90 kali lipat)
Jenis Obat :
FUDR, 5 FU, Mitomicine C
Keuntungan :
Tidak ada mielosupresi, vomitus, dan diare
Pemberian obat mudah
Toksisitas sistemik ringan
Respon lebih tinggi 50-70% dibandingkan dengan cara sistemik
Menghasilkan survival yang lebih baik
KEMOTERAPI INTRAVESIKA
Kasus :
Karsinoma sel vesikel urinaria
Jenis Obat :
Basilus calmette-guerine (BCG), Mitomicine C, Doxorubicine
Keuntungan :
Dapat digunakan untuk terapi adjuvan profilaksis dan etiologik untuk mengeleminasi karsinoma insitu,
karsinoma superfisial yang tidak dapat direseksi dan mencegah kekambuhan
Menurunkan risiko terjadinya progresi dan kekambuhan pada kanker vesika urinaria
PSIK
UNIVERSITAS JEMBER
NO DOKUMEN: NO REVISI: HALAMAN:
PROSEDUR TETAP
TANGGAL TERBIT DITETAPKAN OLEH: