Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH KEPERAWATAN PALIATIF

DI SUSUN OLEH :

NAMA :SRI RAHAYU S. YUSUF

KELAS : A KEPERAWATAN 2019

M.K : KEPERAWATAN KESEHATAN JIWA

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH GORONTALO


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
KEPERAWATAN
2019/2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penyusun panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha


Esa berkat rahmat dan hidayah-Nya penyusun dapat menyelesaikan salah
satu tugas mata kuliah Keperawatan Paliatif ini pada program pendidikan
S1 Unversitas Muhammadiyah Gorontalo. Penyusun juga mengucapkan
terima kasih kepada dosen mata kuliah Keperawatan Paliatif, bapak Ns.
Sabirin B. Syukur, M.Kep atas bimbingan yang telah diberikan selama
perkuliahan.

Harapan penyusun, semoga makalah ini dapat memberikan ilmu


dan pengetahuan yang lebih kepada pembaca. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat juga dalam bidang keperawatan khususnya bagi proses
pembelajaran Keperawatan Paliatif.

Makalah ini masih jauh sempurna, oleh karena itu, kritik dan saran
yang bersifat membangun sangat penyusun harapkan untuk perbaikan
baik dari segi materi maupun teknik penulisan.

Gorontalo, 13 Januari 2022

Sri Rahayu S. Yusuf


DAFTAR ISI

Kata Pengantar.......................................................................................i

Daftar Isi..................................................................................................ii

BAB 1 Pendahuluan

1. Latar Belakang..............................................................................1
2. RumusanMasalah.........................................................................3
3. Tujuan...........................................................................................3

BAB II Tinjauan Pustaka

2.1. Pengertian perawatan paliatif.......................................................4


2.2. Masalah keperawatan pada pasien paliatif..................................7
2.3. Tahapan penerimaan pasien paliatif.............................................17
2.4. Peran perawat paliatif...................................................................17

BAB III Pembahasan Kasus

BAB IV Penutup

A. Kesimpulan...................................................................................23
B. Saran.............................................................................................23

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Salah satu kemajuan utama dalam perawatan kesehatan
modern adalah perbaikan perawatan akhir hayat pada pasien yang
mengalami penyakit terminal. Sebagian besar pasien terminal akan
sangat menderita, penderitaan berupa fisik, mental dan atau
spiritual(Kemp, 2009). Selain kegiatan promotif, preventif, kuratif
dan rehabilitatif, pasiendengan penyakit yang sulit disembuhkan
seperti penyakit kanker, penyakit degeneratif, penyakit paru
obstruktif kronis, cystic fibrosis, stroke, Parkinson, gagal jantung/
heartfailure, penyakit genetika, dan HIV/AIDS juga memerlukan
perawatan paliatif (Supari,2007).
Perawatan paliatif adalah pendekatan yang bertujuan
meningkatkan kualitas hidup pasien (dewasa dan anak-anak) dan
keluarga dalam menghadapi penyakit danmengancam jiwa, dengan
cara meringankan penderitaan rasa sakit melalui identifikasidini,
pengkajian yang sempurna, dan penatalaksanaan nyeri serta
masalah lainnya baikfisik, psikologis, sosial atau spiritual (WHO,
2016). Menurut Ketua Masyarakat PaliatifIndonesia (MPI) Drajad
Ryanto Suardi dalam seminar yang bertema Sharing the
care(Peduli perawatan paliatif untuk sesama), jumlah pasien yang
memerlukan perawatan paliatif meningkat, seiring dengan
meningkatnya usia harapan hidup, disamping pasienkanker, jumlah
penyakit motor neuron dan penyakit saraf serta pasien HIV-ADIS
jugameningkat. Dari pasien yang rawat inap di RSCM pada 2009,
terdapat 65% pasien paliatif, yang 60% pasien neurologi, lebih 60%
pasien ODHA dalam stadium lanjut(Hendry, 2010).
Agama merupakan hubungan antara manusia dengan tuhan.
Terapi religious sangat penting dalam memberikan palliative care.
Kurangnya pemenuhan kehidupan beragama,menimbulkan
masalah pada saat terapi. Pengetahuan dasar dari masing-masing
agamasangat membantu dalam mengembangkan palliative care.
Terkadang palliative carespiritual sering disamakan dengan terapi
paliatif religious. Palliative care spiritual bisaditujukan kepada
pasien yang banyak meyakini akan adanya Tuhan tanpa
mengalami
ritual suatu agama dan bisa juga sebagai terapinreligius dimana
selain meyakini ritualagama memiliki tata cara beribadah dalam
suatu agama.
Salah satu faktor yang menentukan kondisi kesehatan
masyarakat adalah perilakukesehatan masyarakat itu sendiri.
Dimana proses terbentuknya perilaku ini dipengaruhioleh beberapa
faktor. Salah satunya adalah faktor sosial budaya, bila faktor
tersebut telahtertanam dan terinternalisasi dalam kehidupan dan
kegiatan masyarakat adakecenderungan untuk merubah perilaku
yang telah terbentuk tersebut sulit untukdilakukan. Untuk itu,
mengatasi dan memahami suatu masalah kesehatan diperlukan
pengetahuan yang memadai mengenai budaya dasar dan budaya
suatu daerah. Sehinggadalam kajian sosial budaya tentang
perawatan paliatif bertujuan untuk mencapai derajatkesehatan yang
setinggi-tingginya, meningkatkan kualitas hidup pasien dan
keluargadalam menghadapi masalh yang berhububgan dengan
penyakit yang mengancamkehidupan.
Kebutuhan akan perawatan paliatif tidak dapat dihindari
sehubungan dengan makinmeningkatnya jumlah pasien kanker.
Dengan sudah dituangkannya program pelayanan paliatif ke dalam
Sistem Kesehatan Nasional perawatan paliatif kini menjadi bagian
daritata laksana penyakit kanker di Indonesia yang perlu terus
dikembangkan. Dalammakalah ini, penulis akan membahas asuhan
keperawatan paliatif dalam perspektifagama, spiritual budaya dan
sosial.

2. Rumusan Masalah
1. Apa definisi perawatan paliatif?
2. Apa saja masalah keperawatan pada pasien paliatif?
3. Bagaimana tahapan penerimaan pasien paliatif?
4. Bagaimana peran perawat paliatif?
5. Bagaimana asuhan keperawatan yang diberikan pada klien
dengan masalahkeperawatan dalam perspektif agama, spiritual
budaya dan sosial?

3. Tujuan
1. Menjelaskan definisi perawatan paliatif2.
2. Menjelaskan masalah keperawatan pada pasien paliatif3.
3. Menjelaskan tahapan penerimaan pasien paliatif4.
4. Menjelaskan peran perawat paliatif5.
5. Menjelaskan asuhan keperawatan yang diberikan pada klien
dengan masalahkeperawatan dalam perspektif agama, spiritual
budaya dan sosial
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian keperawatan Paliatif

Keperawatan paliatif adalah pendekatan yang bertujuan


meningkatkan kualitas hidup pasien (dewasa dan anak-anak) dan
keluarga dalam menghadapi penyakityangmengancam jiwa, dengan cara
meringankan penderitaan rasa sakit melaluiidentifikasi dini, pengkajian
yang sempurna, dan penatalaksanaan nyeri serta masalahlainnya baik
fisik, psikologis, sosial atau spiritual. (World Health Organization
(WHO)2016).

Perawatan paliatif merupakan perawatan yang berfokus pada


pasien dan keluargadalam mengoptimalkan kualitas hidup dengan
mengantisipasi, mencegah, danmenghilangkan penderitaan. Perawatan
paliatif mencangkup seluruh rangkaian penyakittermasuk fisik, intelektual,
emosional, sosial, dan kebutuhan spiritual serta untukmemfasilitasi
otonomi pasien, mengakses informasi, dan pilihan ( National Consensus
Project for Quality Palliative Care, 2013). Pada perawatan paliatif ini,
kematian tidakdianggap sebagai sesuatu yang harus di hindari tetapi
kematian merupakan suatu hal yangharus dihadapi sebagai bagian dari
siklus kehidupan normal setiap yang bernyawa(Nurwijaya dkk, 2010).

Permasalahan yang sering muncul ataupun terjadi pada pasien


dengan perawatan paliatif meliputi masalah psikologi, masalah hubungan
sosial, konsep diri, masalahdukungan keluarga serta masalah pada aspek
spiritual (Campbell, 2013). Perawatan paliatif ini bertujuan untuk
membantu pasien yang sudah mendekati ajalnya, agar pasienaktif dan
dapat bertahan hidupselama mungkin. Perawatan paliatif ini
meliputimengurangi rasa sakit dan gejala lainnya, membuat pasien
menganggap kematias sebagai prosesyang normal, mengintegrasikan
aspek-aspek spikokologis dan spritual (Hartati &Suheimi, 2010). Selain itu
perawatan paliatif juga bertujuan agar pasien terminal tetapdalam
keadaan nyaman dan dapat meninggal dunia dengan baik dan tenang
(Bertens,2009).

Prinsip perawatan paliatif yaitu menghormati dan menghargai


martabat sertaharga diri pasien dan keluarganya (Ferrel & Coyle, 2007).
Menurut KementrianKesehatan Republik Indonesia (KEMENKES, 2013)
dan Aziz, Witjaksono, dan Rasjidi(2008) prinsip pelayanan perawatan
paliatif yaitu

1. menghilangkan nyeri dan mencegah timbulnya gejala serta


keluhan fisiklainnya, penanggulangan nyeri,
2. menghargai kehidupan dan menganggap kematian sebagai
proses normal ,
3. tidak bertujuan mempercepat atau menghambat kematian,
4. memberikan dukungan psikologis, sosial dan spiritual,
5. memberikan dukungan agar pasien dapat hidup seaktif
mungkin,
6. memberikan dukungan kepada keluarga sampai masa dukacita,
7. serta menggunakan pendekatan tim untuk mengatasi kebutuhan
pasien dankeluarganya.

Elemen dalam perawatan paliatif menurut National


Consensus Project dalam Campbell (2013), meliputi :
1. Populasi pasien. Dimana dalam populasi pasien ini
mencakup pasien dengan semuausia, penyakit kronis atau
penyakit yang mengancam kehidupan.
2. Perawatan yang berfokus pada pasien dan keluarga.
Dimana pasien dan keluargamerupakan bagian dari
perawatan paliatif itu sendiri.
3. Waktu perawatan paliatif. Waktu dalam pemberian
perawatan paliatif berlangsungmulai sejak terdiagnosanya
penyakit dan berlanjut hingga sembuh atau
meninggalsampai periode duka cita.
4. Perawatan komprehensif. Dimana perawatan ini bersifat
multidimensi yang bertujuanuntuk menanggulangi gejala
penderitaan yang termasuk dalam aspek fisik,
psikologis,sosial maupun keagamaan.
5. Tim interdisiplin. Tim ini termasuk profesional dari
kedokteran, perawat, farmasi, pekerja sosial, sukarelawan,
koordinator pengurusan jenazah, pemuka agama, psikolog,
asisten perawat, ahli diet, sukarelawan terlatih.
6. Perhatian terhadap berkurangnya penderitaan : Tujuan
perawatan paliatif adalahmencegah dan mengurangi gejala
penderitaan yang disebabkan oleh penyakit maupun
pengobatan.
7. Kemampuan berkomunikasi : Komunikasi efektif diperlukan
dalam memberikaninformasi, mendengarkan aktif,
menentukan tujuan, membantu membuat keputusanmedis
dan komunikasi efektif terhadap individu yang membantu
pasien dan keluarga.
8. Kemampuan merawat pasien yang meninggal dan berduka
9. Perawatan yang berkesinambungan. Dimana seluru sistem
pelayanan kesehatan yangada dapat menjamin koordinasi,
komunikasi, serta kelanjutan perawatan paliatif
untukmencegah krisis dan rujukan yang tidak diperukan.
10. Akses yang tepat. Dalam pemberian perawatan paliatif
dimana timharus bekerja padaakses yang tepat bagi seluruh
cakupanusia, populasi, kategori diagnosis, komunitas,tanpa
memandang ras, etnik, jenis kelamin, serta kemampuan
instrumental pasien.
11. Hambatan pengaturan. Perawatan paliatif seharusnya
mencakup pembuat kebijakan, pelaksanaan undang-
undang, dan pengaturan yang dapat mewujudkan
lingkunganklinis yang optimal.
12. Peningkatan kualitas. Dimana dalam peningkatan kualitas
membutuhkan evaluasiteratur dan sistemik dalam kebutuhan
pasien.

2. 2 Masalah Keperawatan Pada Pasien Paliatif

Permasalahan perawatan paliatif yang sering digambarkan


pasien yaitu kejadian-kejadian yang dapat mengancam diri sendiri
dimana masalah yang seringkali di keluhkan pasien yaitu mengenai
masalah seperti nyeri, masalah fisik, psikologi sosial, kultural
sertaspiritual (IAHPC, 2016). Permasalahan yang muncul pada pasien
yang menerima perawatan paliatif dilihat dari persepktif keperawatan
meliputi masalah psikologi,masalah hubungan sosial, konsep diri,
masalah dukungan keluarga serta masalah padaaspek spiritual atau
keagamaan (Campbell, 2013).

a. Masalah Fisik

Masalah fisik yang seringkali muncul yang merupakan


keluhan dari pasien paliatif yaitu nyeri (Anonim, 2017). Nyeri
merupakan pengalaman emosional dan sensori yang tidak
menyenangkan yang muncul akibat rusaknya jaringan aktual
yangterjadi secara tiba-tiba dari intensitas ringan hingga berat yang
dapat diantisipasi dandiprediksi. Masalah nyeri dapat ditegakkan
apabiladata subjektif dan objektif dari pasien memenuhi minimal
tiga kriteria (NANDA, 2015).

b. Masalah Psikologi
Masalah psikologi yang paling sering dialami pasien paliatif
adalahkecemasan. Hal yang menyebabkan terjadinya kecemasan
ialah diagnosa penyakityang membuat pasien takut sehingga
menyebabkan kecemasan bagi pasien maupunkeluarga
(Misgiyanto & Susilawati, 2014).Durand dan Barlow (2006)
mengatakan kecemasan adalah keadaan suasanahati yang
ditandai oleh afek negatif dan gejala-gejala ketegangan jasmani
dimanaseseorang mengantisipasi kemungkinan datangnya bahaya
atau kemalangan di masayang akan datang dengan perasaan
khawatir. Menurut Carpenito (2000) kecemasanmerupakan
keadaan individu atau kelompok saat mengalami perasaan yang
sulit(ketakutan) dan aktivasi sistem saraf otonom dalam berespon
terhadapketidakjelasan atau ancaman tidak spesifik. NANDA
(2015) menyatakan bahwakecemasan adalah perasaan tidak
nyaman atau kekhawatiran yang diseratai olehrespon otonom,
perasaan takut yang disebabkan olehantisipasi terhadap bahaya.
Halini merupakan tanda waspada yang member tanda individu
akan adanya bahaya danmampukah individu tersebut
mengatasinya.
c. Masalah Spiritual
Menurut Carpenito (2006) salah satu masalah yang sering
muncul pada pasien paliatif adalah distress spiritual. Distres
spiritual dapat terjadi karena diagnose penyakit kronis, nyeri,
gejala fisik, isolasi dalam menjalani pengobatan
sertaketidakmampuan pasien dalam melakukan ritual keagamaan
yang mana biasanyadapat dilakukan secara mandiri. Distres
spiritual adalah kerusakan kemampuandalam mengalami dan
mengintegrasikan arti dan tujuan hidup seseorang dengan
diri,orang lain, seni, musik, literature, alam dan kekuatan yang
lebih besr dari dirinya(Hamid, 2008).Definisi lain mengatakan
bahwa distres spiritual adalah gangguan dalam prinsip hidup yang
meliputi seluruh kehidupan seseorang dan diintegrasikan biologis
dan psikososial (Keliat dkk, 2011).
d. Masalah Sosial

Masalah pada aspek sosial dapat terjadi karena adanya


ketidak normalankondisi hubungan social pasien dengan orang
yang ada disekitar pasien baik itukeluarga maupun rekan kerja
(Misgiyanto & Susilawati, 2014). Isolasi sosial adalahsuatu
keadaan kesepian yang dialami oleh seseorang karena orang lain
menyatakansikap yang negatif dan mengancam ( Twondsend,
1998 ). Atau suatu keadaan dimanaseseorang individu mengalami
penurunan bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan
orang lain disekitarnya, pasien mungkin merasa ditolak,
tidakditerima, kesepian, dan tidak mampu membina hubungan
yang berarti dan tidakmampu membina hubungan yang berarti
dengan orang lain (Kelliat, 2006 ).

Salah satu faktor yang menentukan kondisi kesehatan


masyarakat adalah perilaku kesehatan masyarakat itu sendiri.
Dimana proses terbentuknya perilaku inidipengaruhi oleh
beberapa faktor. Salah satunya adalah faktor sosial budaya,
bilafaktor tersebut telah tertanam dan terinternalisasi dalam
kehidupan dan kegiatanmasyarakat ada kecenderungan untuk
merubah perilaku yang telah terbentuk tersebutsulit untuk
dilakukan. Untuk itu, untuk mengatasi dan memahami suatu
masalahkesehatan diperlukan pengetahuan yang memadai
mengenai budaya dasar dan budayasuatu daerah. Sehingga
dalam kajian sosial budaya tentang perawatan paliatif bertujuan
untuk mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya,
meningkatkankualitas hidup pasien dan keluarga dalam
menghadapi masalah yang berhubungandengan penyakit yang
mengancam kehidupan.
Pengertian sosial menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
adalah segalasesuatu yang mengenai masyarakat atau
kemasyarakatan. Kebudayaan atau kulturdapat membentuk
kebiasaan dan respons terhadap kesehatan dan penyakit
dalamsegala masyarakat tanpa memandang tingkatannya. Karena
itulah penting bagi tenagakesehatan untuk tidak hanya
mempromosikan kesehatan, tapi juga membuat merekamengerti
tentang proses terjadinya suatu penyakit dan bagaimana
meluruskan keyakinan atau budaya yang dianut hubungannya
dengan kesehatan. Pengaruhkebudayaan, tanpa disadari
kebudayaan telah menanamkan garis pengaruh sikapterhadap
berbagai masalah. Kebudayaan telah mewarnai sikap anggota
masyarakat,karena kebudayaanlah yang memberi corak
pengalaman individuindividu masyarakat.Green dalam
Notoatmodjo (2007) mengatakan bahwa perilaku manusia dari
tingkatkesehatan dipengaruhi oleh 2 faktor pokok yaitu faktor
perilaku (behaviour cause)dan faktor di luar perilaku (non-
behaviour cause).Perilaku itu sendiri terbentuk dari tiga faktor,
yaitu :

1. Faktor Predisposisi ( predisposing factors), yang


terwujud dalam pengetahuan,sikap, kepercayaan,
keyakinan, nilai-nilai dan sebagainya
2. Faktor pendukung (enabling factors), yang terwujud
dalam lingkungan fisik,tersedia atau tidak tersedianya
fasilitasfasilitas atau sarana-sarana kesehatan,misalnya
puskesmas, obat-obatan, air bersih dan sebagainya
3. Faktor pendorong (reinforcing factors) yang terwujud
dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan atau
petugas lain, yang merupakan kelompok referensi dari
perilaku masyarakat.Contoh lain, sosial budaya
mempengaruhi kesehatan adalah pandangan
suatumasyarakat terhadap tindakan yang mereka
lakukan ketika mereka mengalami sakit,ini akan sangat
dipengaruhi oleh budaya, tradisi, dan kepercayaan yang
ada dantumbuh dalam masyarakat tersebut. Misalnya
masyarakat yang sangat mempercayaidukun yang
memiliki kekuatan gaib sebagai penyembuh ketika
mereka sakit, dan bayiyang menderita demam atau
diare berarti pertanda bahwa bayi tersebut akan pintar
berjalan. Jadi, dapat disimpulkan bahwa sosial budaya
sangat mempengaruhikesehatan baik itu individu
maupun kelompok.

Aspek sosial pasien yang sakit parah

Penyakit yang tidak dapat disembuhkan mengubah


status sosial pasien. Selain rasasakit, dan gejala serta
komplikasi yang menghancurkan lainnya, pasien
mungkinmenderita efek yang tidak diinginkan dari penyakit
yang mempengaruhi penampilan pasien; hilangnya peran
sosial, profesional, dan keluarga; kemampuan untuk tetap
mandiri dan berfungsi secara normal, dan sebagian besar
penting persepsi masadepan. Menurut Sherbourne dan
Stewart, dukungan sosial melayani berbagai
dimensitermasuk

1. Dukungan emosional yang didefinisikan sebagai


empati dan memahami, memiliki pengaruh positif,
dan mendorong ekspresi perasaan;
2. Memberikan bantuan dan bantuan seperti
transportasi, bantuan keuangan dan /atau rumah
tangga dianggap sebagai instrumen mendukung;
3. Dukungan informasi melibatkan penawaran
informasi, bimbingan, dan saran; dan
4. Dukungan penuh kasih sayang yang terdiri
memiliki seseorang yangmengekspresikan cinta
dan kasih sayang.
Helgeson menunjukkan bahwa hubungan sosial
menempatkan pasien dalamsuasana hati yang lebih baik
dan memberi mereka rasa identitas dan persahabatan.Sosial
dukungan mungkin memengaruhi kualitas hidup dan
kebermaknaan pasienhidup dengan membantu mereka
mengatasi lebih efektif dengan penderitaan merekadan
membuat mereka merasa dihargai, dicintai, dan
diperhatikan. Selain itu, Schwartzdan Frohner menemukan
bahwa semakin banyak dukungan sosial yang dirasakan
pasien, semakin sedikit rasa sakit yang diderita, dan
semakin baik ia menilaikesehatan umum dan kesejahteraan.
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan pada pasien
dewasa yang sakit parah didiagnosis menderita kanker,
untuk memahamimakna kesejahteraan sosial pada akhir
kehidupan, Pangeran-Paul menemukan bahwasemua
peserta dalam studi mengidentifikasi kebutuhan untuk
dikelilingi oleh keluargadan berpartisipasi dalam kegiatan
sosial.
Ini, pada gilirannya, memberi pasien alasan untuk
hidup dan tujuan untuk tetapterlibat dan hidup saat mereka
sekarat. Demikian pula, Mikulincer, Florian, danHirschberger
mendalilkan bahwa sosial dekat hubungan yang melampaui
kematianfisik dapat memberikan perlindungan yang
memungkinkan pasien untuk menghadapikenyataan
kematian dengan lebih baik. Mereka menunjukkan bahwa
hubungan dekatini mempromosikan pelestarian diri, bantuan
pasien dengan masalah kematian, danmembantu mereka
dalam mewujudkan artinya dan nilai hidup mereka.
e. Masalah Budaya

Budaya adalah istilah yang menggabungkan konsep ras,


etnis, agama, bahasa,asal kebangsaan, dan faktor lainnya. Ras
dan etnis bisa dipertukarkan sebagai variabelyang digunakan untuk
mengidentifikasi budaya. Menurut Johnson, Kuchibhatla, danTulsky
(2008), etnisitas adalah pembuat kepercayaan budaya dan nilai-
nilai yangdapat memengaruhi pengambilan keputusan di akhir
kehidupan. Selanjutnya, Penelitidan cendekiawan telah
menyarankan bahwa pandangan dunia budaya pada
kelompokorang tertentu menentukan bagaimana mereka
memahami kehidupan dan kematian,dan pendekatan pengambilan
keputusan akhir kehidupan (Braun et al., 2000; Parry &Ryan,
2000). Pengetahuan dan kesadaran akan nilai-nilai budaya, sikap,
dan perilakudapat membantu praktisi menghindari stereotip dan
bias, sementara menciptakaninteraksi positif dengan pasien yang
mengarah pada hasil pasien yang lebih baikdibandingkan ketika
penyedia kurang sadar budaya (Reith & Payne, 2009).

Kompetensi Budaya sebagai Standar Perawatan

Praktek kompetensi budaya telah diterima secara luas dalam


pekerjaan sosialsebagai a standar yang mengurangi kesenjangan
dalam kualitas layanan yang disampaikan ke etnis kelompok
minoritas. NASW (2007) Standar untuk KompetensiBudaya
termasuk pedoman yang membahas beberapa bidang utama
praktik kerjasosial — termasuk etika dan nilai-nilai, kesadaran diri,
pengetahuan lintas budaya,keterampilan lintas budaya, pemberian
layanan, pemberdayaan dan advokasi,keanekaragaman tenaga
kerja, pendidikan profesional, keanekaragaman bahasa, dan
kepemimpinan lintas budaya. Namun, pedoman tidak cukup tanpa
pemahaman yanglebih jelas tentang apa yang penting bagi pasien
dan keluarga mereka. Studi ras dan perbedaan etnis dalam
preferensi perawatan akhir hidup (Caralis, Davis, Wright, &Marcial,
1993; Tulsky, Cassileth, & Bennett, 1997; Blackhall et al., 1999)
telahdigunakan untuk membuat kesimpulan terhadap perbedaan
budaya pengambilankeputusan perawatan akhir hidup. Sebagai
contoh, praktisi sangat menyadari bahwa banyak pasien, terlepas
dari apa pun latar belakang budaya, melibatkan keluargaketika
mereka menerima paliatif dan perawatan akhir kehidupan (Kehl,
Kirchhoff,Kramer, & Hovland-Scafe, 2009; Hudson, Remedios, &
Thomas, 2010; Kovacs,Bellin, & Fauri, 2006; Kramer, Boelk, &
Auer, 2006; Townsend, Ishler, Shapiro,Pitorak, & Matthews, 2010).

Menurut Volker (2005), antara Hispanik dan Afrika-Amerika


individu, pentingnya menggunakan keluarga untuk menyuarakan
keinginan pasien adalahdipandang lebih relevan secara budaya
daripada melengkapi arahan tertulis. Bahkan,orang yang lebih
menghargai hubungan keluarga mungkin lebih suka
untukmengidentifikasi anggota keluarga atau teman tepercaya
untuk membuat keputusanakhir kehidupan atas nama mereka
daripada membuat keputusan sendiri.

Eksplorasi sistematis dari faktor-faktor ini penting karena


mengidentifikasi pengaruh keputusan akhir kehidupan di antara
kelompok-kelompok minoritasmenambah tubuh pengetahuan saat
ini tersedia untuk mempromosikan kompetensi budaya di antara
praktisi, yang dapat meningkatkan perawatan pasien dan
keluargamenerima. Selanjutnya, kesadaran dan keterampilan
budaya dapat ditingkatkan ketika pengetahuan diperluas. Faktor -
Faktor Yang Mempengaruhi Penyelesaian ArahanLanjutan
Diantara Penelitian Lebih Tua Afrika Amerika (FICA), disajikan di
sini,dirancang untuk mengeksplorasi nilai-nilai, norma, sikap, dan
perilaku seputarkeputusan akhir perawatan untuk tujuan
meningkatkan pengetahuan dan kesadaranakan keputusan akhir
kehidupan orang Afrika-Amerika.

Penilaian budaya

Mengembangkan kompetensi budaya mensyaratkan bahwa


perawatmendengarkan dengan cermat dan mengumpulkan
informasi budaya. Latar belakang pasien dapat memberikan
petunjuk tentang keyakinan seseorang; Namun, ini hanyaasumsi
kecuali divalidasi dengan menanyakan pasien tentang keyakinan,
kebutuhan,harapan, dan keinginan mereka. Pengetahuan tentang
kelompok budaya seseorangharus berfungsi hanya sebagai titik
awal atau pedoman dalam menilai keyakinan dan perilaku individu
(Kagawa-Singer, 1998; Lipson, Dibble, & Minarik, 1996).Dalam
melakukan penilaian budaya, ada beberapa bidang yang harus
ditangani:

1.Identifikasi tempat kelahiran pasien.

2.Tanyakan kepada pasien tentang pengalaman imigrasi mereka.

3.Tentukan tingkat identitas etnisnya.

4.Mengevaluasi tingkat akulturasi yang dibuktikan dengan


penggunaannya atasBahasa Inggris, lamanya waktu di Amerika
Serikat, dan adaptasinya.

5.Tentukan struktur keluarganya.

6.Identifikasi penggunaan jaringan informal dan sumber dukungan


dalammasyarakat.

7.Identifikasi siapa yang mengambil keputusan, seperti pasien


individu, keluarga,atau unit sosial lainnya.
8.Menilai bahasa primer dan sekundernya.

9.Tentukan pola komunikasi verbal dan nonverbal orang tersebut

10.Pertimbangkan masalah gender dan kekuasaan dalam


hubungan.

11.Mengevaluasi rasa harga diri pasien.

12.Identifikasi pengaruh agama atau kerohanian pada harapan dan


perilaku pasiendan keluarga.

13.Pastikan persepsi pasien tentang diskriminasi atau rasisme.

14.Identifikasi tradisi memasak dan makan dan arti makanan.

15.Tentukan tingkat pendidikan dan status sosial ekonomi pasien

16.Menilai sikap, kepercayaan, dan praktik yang terkait dengan


kesehatan, penyakit, penderitaan, dan kematian.

17.Tentukan preferensi pasien dan keluarga mengenai lokasi


kematian.

18.Diskusikan harapan tentang perawatan kesehatan.

19.Tentukan tingkat fatalisme atau aktivisme dalam menerima atau


mengendalikan perawatan dan kematian.

20.Mengevaluasi pengetahuan dan kepercayaan pasien mengenai


sistem perawatankesehatan.

21.Menilai nilai dan penggunaan terapi komplementer.

22.Diskusikan bagaimana harapan dipertahankan(American


Medical Student Association, 2001; ELNEC, 2013; Ersek et al.,
1998)
Kebudayaan perilaku kesehatan yang terdapat dimasyarakat
beragam dansudah melekat dalam kehidupan bermasyarakat.
Kebudayaan tersebut seringkali berupa kepercayaan gaib.
Sehingga usaha yang harus dilakukan untuk
mengubahkebudayaan tersebut adalah dengan mempelajari
kebudayaan mereka danmenciptakan kebudayaan yang inovatif
sesuai dengan norma, berpola, dan bendahasil karya manusia.

2.3.Tahapan Penerimaan Pasien Paliatif

Respons psikologis yang dialami seseorang karena kehilangan


oleh Kubler-Ross (1969) dikemukakan dalam teori yang disebut “The Five
Stages of Grief”, teori inimembagi respons psikologis dalam lima tahap,
yaitu penyangkalan (denial), marah (anger), tawar-menawar (bargaining),
depresi (depression) dan penerimaan (acceptance).

Kelima tahap respons psikologis ini sering diidentikkan dengan lima


tahap modelduka cita yang disebabkan oleh proses kematian. Namun
akhirnya berkembang tidakhanya sebatas itu, lima tahap respons
psikologis ini juga bisa digunakan untukmengidentifikasi individu pasca
pemutusan hubungan kerja, adanya bencana sehinggaterpaksa harus
mengungsi, kehilangan anggota tubuh, hukuman, kebangkrutan,
korbankejahatan atau kriminal dan keputusasaan. Sehingga teori ini
berkembang lebih luas dandapat digunakan untuk memahami reaksi
pasca kejadian traumatik yang dialami oleh seseorang.

2.4.Peran Perawat Paliatif

Peran perawat di perawatan paliatif perawat memiliki peranan penting


dalammemberikan dukungan bagi penderita kanker dalam mengatasi
gejala yang di alami(Mackenzie & Mac Callam, 2009). Menurut Matzo &
Sherman (2014) peran perawat dalam perawatan paliatif meliputi sebagai
praktik di klinik, pendidik, peneliti, bekerjasama (Collaborator), penasihat.
Perawat sebagai salah satu petugas praktik di klinik memiliki
kemampuan untukmemahami dan mengevaluasi nyeri beserta keluhan
dari nyeri yang dialami pasien.Perawat dapat berkolaborasi dengan tim
kesehatan lainnya dalam mengembangkan danmenerapkan perencanaan
perawatan yang komprehensif . Perawat mengidentifikasi pendekatan
baru dalam mengatasi nyeri dan dikembangkan sesuai dengan standar
rumahsakit sehingga dapat dipraktekkan sesuai denga aturan di rumah
sakit.

Perawat sebagai pendidik memfasilitasi filosofi yang kompleks, etik


dan diskusitentang penatalaksanaan di klinik sehingga semua tim dapat
mencapai hasil yang positif.Perawat memperlihatkan dasar keilmuannya
yang meliputi : mengatasi nyeri neuropatik, berperan mengatasi konflik
profesi, mencegah dukacita dan resiko kehilangan.

Perawat pendidik dengan tim lainnya, seperti komite dan ahli


farmasi, berdasarkan pedoman dan tim perawatan paliatif, maka
memberikan perawatan yang berbeda dankhusus dalam menggunaan
obat-obatan intravena untuk mengatasi nyeri neuropatik yangtidak mudah
di atasi.

Perawat sebagai peneliti menghasilkan ilmu pengetahuan baru


melalui pertanyaan- pertanyaan penelitian dan memulai pendekatan baru
yang ditujukan pada pertanyaan- pertanyaan. Perawat dapat meneliti dan
terintegrasi pada penelitian perawatan paliatif.

Perawat sebagai salah satu tim pelayanan kesehatan akan


bekerjasama (Collaborator) melakukan pengkajian dalam mengkaji bio-
psiko-sosial-spiritual serta penatalaksananya. Perawat membangun dan
mempertahankan kolaborasi dengan tim perawatan paliatif. Perawat
memfasilitasi dalam mengembangkan anggota dalam pelayanan, perawat
bekerjasama dengan tim perawatan paliatif dalam rangkamempersiapkan
pelayanan dengan hasil yang terbaik.
Perawat sebagai penasihat (concultant ) akan bekerjasama dan
berdiskusi dengandokter, tim perawatan paliatif dan komite untuk
menentukan strategi pengobatan yangtepat untuk menetukan tindakan
dan memenuhi kebutuhan pasien dan keluarga.
BAB III

PEMBAHASAN KASUS

A.Role Play

Icu rumash sakit X an.A dirawat. An.A menderita penyakit


AcuteLimblastik Leukemia sudah pernah menjalani kemoterapi sebanyak
5 kalinamun tidak ada perkembangan yang berarti. An.A semakin lemah,
Hbmenurun drastis sehingga ia harus dirawat di ICU, karena tidak ada
peningkatan kesehatan an.A dokter yang menangani pun memberi tahu
perawat B untuk memberikan informasi kepada orang tua an.A keadaan
anakmereka yang semakin memburuk.

Perawat B : Selamat pagi ibu bapak

Orangtua : Pagi suster

Perawat B : Ibu bapak saya akan memandikan anak bapak dan ibu
pagi ini

Orangtua : Oh iya silahkan suster

Perawat kemudian melakukan tugasnya untuk memandikan An.A

Perawat B : Baiklah ibu bapak saya sudah selesai memandikan an.

AIbu : Terimakasih suster

Perawat B : Bapak/ibu apakah kita bias bicara sebentar dengan


bapak/ibumengenai perkembangan anak ibu/bapak?

Ibu : Boleh suster, silahkan saja suster, apa yang terjadi


dengananak kami suster?

Perawat B : Bagaimana kalau kita bicaranya diruang perawat agar


lebihnyaman dan aman ?
Ibu : Baiklah suster, tapi siapa yang akan menjaga anak kami

Perawat B : Tenang saja bu, ada perawat A yang akan menjaga an.A

Ibu : Baiklah suster

Perawat B kepada orang tua an.A menuju ruang perawat

Perawat B : Silahkan duduk bu,pak

Ibu : Bagaimana keadaan anak kami sus? Apa yang terjadi


dengan dia?

Perawat B : Begini ibu,bapak saya harap bapak ibu bisa tenang dulu
ya,ibu bapak anak. Ibu dan bapak ini sudah kurang lebih 1 bulan di rawat
di ruang ICU ini, sudah banyak tindakan kedokterandan keperawatan
yang sudah kami berikan. Namun maaf saya harus menyampaikan
informasi yang pastinya akanmenyakitkan bagi bapak dan ibu yaitu bahwa
selama perawatan ini baik dari anak bapak ibu semakin hari keadaannya
semakin menurun.

Ibu : (menangis) jadi apa yang harus kami lakukan suster?


tolongsuster sembuhkan anak kami

Perawat B : Ibu bapak, kami sudah berupaya memberikan tindakan


yangterbaik untuk anak ibu, dokter pun tentunya sudah menjelaskannya
kepada bapak ibu sebelumnya

Bapak : Lakukan lagi suster,agar anak kami tetap bertahan

Perawat B :Ibu bapak, kami sudah berusaha semampu kami


untukmemberikan pengobatan dan perawatan yang kami bisa. Tapi kita
harus tahu juga ibu bapak bahwa Tuhan lah yang lebih berkuasa atas
semua ini, saya berharap keluarga dapat menerima keadaan ini, keluarga
juga berserah kepada Tuhanyang maha menentukan hidup dan mati
seseorang bu, bapakTuhan juga Maha Penyembuh. Tidak ada yang
mustahil bagi-Nya. Saya mengerti ini terlalu berat untuk keluarga tapi
seperti yang saya katakana sebelumnya kita masih punyaTuhan yang
Maha penentu matidan hidupnya seseorang. Jadi keluarga harus lebih
kuat untuk menerima semua ini.

Bapak : Iya suster, terimakasih atas nasehatnya. Lalu apa yang


haruskami lakukan lagi suster? apakah kami harus membawa anak kami
pulang?

Perawat B : Semua ini keputusan keluarga, kami serahkan


sepenuhnya kepada keluarga apakah akan diteruskan dirawat atau ingin
dibawa pulang. Jika keluarga tetap ingin an.A dirumah sakit kami akan
tetap memberikan perawatan yang kami bisa

.Ibu : Biarkanlah anak kami tetap dirawat suster, setidaknya kami


sudah menjalankan tugas kami sebagai orang tua

Perawat B : Baiklah jika ini sudah menjadi keputusan ibu dan


bapak,kami akan tetap memberikan perawatan pada an.A

Bapak : Terimakasih suster

Perawat B : Iya sama-sama ibu bapak. Baiklah hanya ini yang dapat
saya sampaikan, sekali lagi saya berharap keluarga dapat sabar dankuat
menerimanya. Jangan lupa untuk terus selalu berdoa untuk kebaikan an.A

Orang tua : Iya suster, kami permisi

Perawat B : Iya silahkan bu pak


BAB IV

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Perawatan paliatif adalah pendekatan yang bertujuan
untuk meningkatkan kualitas hidup pasien (dewasa dan anak-
anak) dan keluarga dalam menghadapi penyakit yang
mengancam jiwa, dengan cara meringankan penderita dari rasa
sakit melalui identifikasi dini, pengkajian yang sempurna,dan
penatalaksanaan nyeri serta masalah lainnya baik fisik,
psikologis, sosialatau spiritual. Komunikasi merupakan proses
yang dilakukan perawat dalam menjaga kerjasama yang baik
dengan klien dalam membantu memenuhi kebutuhan kesehatan
klien, maupun dengan tenaga kesehatan lain dalam rangka
membantu mengatasi masalah klien. Inti dari perawatan paliatif
adalah kemampuan komunikasi yang baik, kemampuan
mendengarkan yang baik,dan kesiapan dari perawat ataupun
pasien untuk melakukan komunikasi.Perawat dalam melakukan
komunikasi paliatif harus memperhatikan kondisi pasien agar
pesan dapat tersampaikan dengan baik.

B. SARAN
Perawat dalam melakukan komunikasi paliatif harus
memperhatikan prinsip komunikasi dalam perawatan paliatif
sesuai dengan kondisi pasienagar pesan dapat tersampaikan
dengan baik dan komunikasi dapat berjalandua arah.
DAFTAR PUSTAKA

Ayu Purnamaningrum. 2010. F actor-F aktor Yang Berhubungan Dengan


Perilaku Masyarakat Untuk Mendapatkan Pelayanan Kesehatan Mata (
Factors Related To The Community’s Behaviour To Get Eye Health
Servic). Universitas Diponegoro.

Boedhi, Darmojo, R. 2011 .Buku Ajar Geriatic (IlmuKesehatanLanjutUsia)


edisike – 4.Jakarta:BalaiPenerbit FKUI

Bullock, K. (2011). The influence of culture on end-of-life decision making.


Journal of socialwork in end-of-life & palliative care, 7(1), 83-98.

Dobríková, P., Macková, J., Pavelek, L., AlTurabi, L., Miller, A., & West, D.
(2016). The effect of social and existential aspects during end of life care.
Nursing and Palliative Care, 1(3),47-51.

Dochteran, J. M., & Bulechek, G. M. 2013. Nursing Interventions


Classification (NIC). 6th ed.America: Mosby Elseiver

Dwi Hapsari, dkk.2012. Pengaruh Lingkungan Sehat dan Perilaku Hidup


Sehat Terhadap Status Kesehatan.Pusat Penelitian dan Pengembangan
Ekologi dan Status Kesehatan.Jakarta.

Entjang, Indan. 2000. Ilmu Kesehatan Masyarakat. PT. Citra Aditya Bakti :
Bandung.

Herdman, T.H. & Kamitsuru, S. (2014). NANDA International Nursing


Diagnoses: Definitions& Classification, 2015 – 2017. 10nd ed. Oxford:
Wiley Blackwell.

Lukman Hakim, dkk.. 2013. Faktor Sosial Budaya Dan Orientasi


Masyarakat Dalam Berobat (Socio-Cultural Factors And Societal
Orientation In The Treatment ). Universitas Jember (UNEJ).Jember.
Moorhead, S., Jhonson, M., Maas, M., & Swanson, L. (2013). Nursing
Outcomes Classification(NOC). 5th ed. United states of America: Mosby
Elseiver.

Anda mungkin juga menyukai