Anda di halaman 1dari 17

SAINT KEPERAWATAN

PENGAPLIKASIAN TEORI CRONIC SORROW DI RUMAH SAKIT

OLEH

MURHAYENI
1921312018

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS
ANDALAS PADANG
2019/2020
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kondisi sakit yang dialami seseorang dapat menimbulkan hilangnya fungsi atau
aktifitas yang dilakukan sehari- hari bahkan dari 3 bulan ketika seseoarng tersebut
mengalami hospitalisasi hal ini sudah dapat dikatakan sebagai psien mengalami kondisi
penyakit kronis (Hockenberry, 2007). Ketika seseorang tersebut memiliki penyait kronik
berbagai masalah yang dihadapi dengan keterbatasan dan tingkat kebutuhan yang tinggal ,
Hal ini menjadikan seseoarang tersebut harus mendapatkan perawatan khusus,
komprehensif dan berkelanjutan dari tenaga kesehatan.
Dalam hal ini tertu berefek kepada keluarga dimana akan banyak menimbulkan
perhatian besar kepada si penderita seperti keluarga membutuhkan waktu untuk melakukan
perawatan dirumah sakit, pengeluaran biaya, serta tidak adanya kepastian untuk masa depan
dari pasien tersebut, kemudian keluarga memiliki pandangan bahwa keterbatasan ekonomi,
kehilangan bahyak waktu, kurangnya social, secara emosional kehilangan kesempatan
untuk beraktifitas, bersosialisasi dengan masyarakat dan berbagai macam hal yang dapat
menghambat bagi keluargatersebut untuk melakukan proses kehidupan sehari-hari.
Faktor-faktor ini lah yang dapat membuat keluarga tersebut berlarut larut dalam berduka
yang diaibatkan penyakit yang diderita pasien tidak kunjung sembuh, dalam hal ini penyakit
salah satu penyakit yang dapat menimbulkan atau berpengaruh kepada keluarga dalam
berduka yaitu HIV/ AIDS.
Berbicara mengenai HIV/AIDS bukan hanya keluarga yang menderita atau berduka
terhadap pasien karena penyakit ini masih menjadi hal yang menakutkan bagi masyarakat
terkait dengan penularan, tentu dapat membuat pasien kurang sosialisasi dengan masyarakat
dan dapat menimbulkan depresi bagi pasien, apalagi penyakit ini suka untuk disembuhkan
makasemakin lama pasien menderita penyakit ini akan menambah masa depresi yang
dialami, sehingga pasien mengalami perasaan berduka yang berkelanjutan.
Perasaan berduka ini akan menimbulkan respon emosional seperti putus asa, menyesal,
tidak percaya, menyalahkan diri sendiri, permusuhan, cemas, ragu-ragu, disorientasi dan
perasaan terisolasi. Untuk itu penulis tertarik dalam hal membahas Teori chronic sorrow ini
dalam mengaplikasikan dirumah sakit dengan pasien yang menderita penyakit HIV/AIDS.
Teori chonic sorrow ini merupakan teori mid-range karena dalam teori ini membahas
tentang fenomena yang spesifik yaitu tentang masalah- masalah yang timbul dari penyakit
kronis mencakup proses berduka, kehilangan, faktor pencetus dan metoda manajemennya.
Karena kespesifikan teori tersebut, maka teori ini mudah diaplikasikan dalam praktik
keperawatan.
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Memberikan gambaran konsep dasar teori keperawatan chronic sorrow dan
penerapannya pada asuhan keperawatan ditatanan rumah sakit.
2. Tujuan Khusus
a. meningkatkan pengetahuan dan pemahaman perawat tentang konsep teori chronic
sorrow dan mengaplikasikannya dirumah sakit.
b. Mampu menerapkan pada asuhan keperawatan dengan pendekatan proses keperawatan.
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Riwayat
Teori ini dikembangkan oleh tiga tokoh sebagai berikut :
1. Georgene Gaskill Eake
Georgene Gaskill Eakes lahir di New Bern, North Carolina. Dia Lulus Diploma
keperawatan dari sekolah keperawatan rumah sakit Watts di Durham, North Carolina 1966
dan pada tahun 1977, lulus Bacalaureate dengan Summa Cumlaude dari North Carolina
Agricultural dan Technical State University.
Kemudian Eakes melanjutkan M.S.N pada University or North Carolina di Greensboro
pada tahun 1980 dan Ed D dari North Carolina State University pada tahun 1988. Eakes
menerima penghargaan utnuk studi masternya dan dari North Carolina League untuk studi
doktoralnya. Dia dilantiuk dalam Sigma Theta Tau International Honor Society or Nurses
pada 1979 dan Phi Kappa Phi Honor Society 1988.
2. Marry Lermann Burke
Lahir di Sandusky Ohio yaitu tempat dimana dia menyelesaikan sekolah elementary dan
secondary. Dia menerima penghargaan untuk pertama kalinya saat diplima dari Good
Samaritan Hospital school of Nursing di Cincinnati tahun 1962 kemudian diikuti sertifikat
post graduate dari Children’s Medical Center di District Columbia.
Setelah beberapa tahun ia bekerja di keperawatan pediatric,Burke lulus dengan Summa
Cumlaude dari Rhode island college Providence dengan bachelor degree. Dan Pada tahun
1982 dia menerima master degree pada parent-child nursing dari Boston University.
Selama program ini dia juga menerima penghargaan sertifikat dalam Parent-cild nursing
dan Interdisciplinary Training in Development Center of Rhode Island Hospital and the
Section on Reproductive and Developmental Medicine, Brown university. Burke tertarik
dengan konsep chronic sorrow selama program masternya. Thesisnya berjudul ‘The Concern
of Mothers of preschool Children with Myelomeningocele’, yang mengidentifikasi emosi
tentang kesedihan yang mendalam. Kemudian waktu disertasi doctoral dia mengembangkan
Burke Chronic sorrow Questionaire, ‘Chronic sorrow in mothers of school-age with
myelomeningocele’.
3. Margaret A Hainsworth
Hainsworth Lahir di Brockville, Ontario Canada. Dia menamatkan pendidikan dasar dan
sekundernya di tempat kelahirannya. Dia masuk diploma sekolah keperawatan di Brockville
General Hospital dan lulus tahun 1953. Pada Tahun 1959 dia pindah ke united State dan
menerima diploma keperawatan kesehatan masyarakat.
Tahun 1974 dia melanjutkan pendidikan di Salve Regina College dan menerima
bacalaurate dalam bidang keperawatan tahun 1973 dan master dibidang keperawatan
kesehatan mental psikiatrik dari Boston College tahun1974. Hainsworth menerima program
doctor dari University Connecticut tahun 1986.
Kemudian Pada Tahun1988, menerima sertifikat sebagai spesialis klinik dalam
keperawatan kesehatan mental dan psikiatrik. Hainsworth berminat pada penyakit kronik dan
yang berhubungan dengan dukacita dimulai saat dia sebagai fasilitator untuk memberikan
dukungan pada wanita dengan multiple sklerosis.
B. Desain dan Model Teori Chronic Sorrow
Dalam rentang kehidupan manusia, individu dihadapkan pada situasi kehilangan yang
dapat terjadi secara terus menerus ataupun suatu kejadian. Pengalaman kehilangan tersebut
akan menimbulkan ketidakseimbangan antara yang diharapkan dengan kenyataan. Kejadian
tersebut dapat memicu timbulnya kesedihan atau dukacita berkepanjangan/ mendalam yang
potensial progresif, meresap dalam diri individu, berulang dan permanen. Individu dengan
pengalaman kesedihan tersebut biasanya akan menggunakan metode manajemen dalam
mengatasinya. Metode manajemen dapat berasal dari internal (koping personal) ataupun dari
eksternal (dukungan orang yang berharga maupun tim kesehatan). Jika metode manajemen
yang digunakan efektif maka individu akan meningkat perasaan kenyamanannya. Tetapi jika
tidak afektif akan terjadi hal sebaliknya.
C. Konsep Utama
Adapun beberapa konsep yang dikembangkan dalam teori ini adalah :
1. Dukcita kronis atau chronic sorrow
Penderitaan atau dukacita kronis adalah suatu perbedaan yang berkelanjutan sebagai hasil
dari suatu kehilangan, dengan karakteristik dapat menyebar dan bisa juga menetap. Gejala
berduka berulang pada waktu tertentu dan gejala ini berpotensi progresif.
Studi NCRCS (The Nursing Consortium for Research on Chronic Sorrow) ini meliputi :
a. Individu dengan kanker (Eakes, 1993), infertility (Eakes et al., 1998), Multiple
Sclerosis (Hainsworth, Burke, Lindgren, & Eakes, 1993 ; Hainsworth, 1994), dan
Penyakit Parkinson (Lindgren, 1996)
b. Spouse caregivers/ individu yang memiliki pasangan hidup dengan penyakit mental
kronik (Hainsworth, Busch, Eakes, & Burke, 1995), Multiple Sclerosis (Hainsworth,
1995), dan Penyakit Parkinson (Lindgren, 1996)
c. Parent caregivers/ orang tua yangmemiliki anak dewasa dengan penyakit mental kronik
(Eakes, 1995)
2. Kehilangan
Kehilangan terjadi akibat dari perbedaan antara suatu “ideal” atau harapan dan situasi
nyata atau pengalaman. Kehilangan (Loss) adalah situasi aktual atau potensial dimana
seseorang atau objek yang dihargai tidak dapat dicapai atau diganti sehingga dirasakan tidak
berharga seperti semula.
3. Peristiwa Pencetus
Peristiwa pencetus adalah situasi, keadaan dan kondisi-kondisi berbeda atau perasaan
kehilangan yang berulang (kambuh)atau baru mulai yang memperburuk perasaan berduka.
NCRCS membandingkan dan membedakan pencetus pada individu dengan kondisi kronik,
family caregivers, pada orang yang kehilangan (Burke, Eakes, & Hainsworh, 1999).
4. Metode Manajemen
Metode manajemen adalah suatu cara bagaimana individu menerima penderitaan kronis.
Bisa secara internal (strategi koping individu) atau eksternal (bantuan tenaga kesehatan atau
intervensi orang lain). Penderitaan kronis tidak akan membuat individu melemah bila efektif
dalam mengatur perasaan, bisa secara internal maupun ekternal. Strategi manajemen
perawatan diri diatur melalui strategi koping internal. NCRCS ditunjuk lebih lanjut untuk
mengatur strategi koping internal seperti tindakan, kognitif, interpersonal dan emosional.
Mekanisme tindakan koping digunakan untuk semua subjek individu dengan kondisi
kronis dan pemberi perawatannya. (Eakes , 1993, 1995, Eakes at al., 1993, 1999; Hainsworth
et al., 1995; Lindgren, 1996). Kognitif koping contohnya berpikir positif, membuat sesuatu
dengan sebaik-baiknya, tidak memaksakan diri bila tidak mampu (Eakes, 1995; Hainsworth,
1994, 1995). Contoh koping interpersonal adalah pergi memeriksakan diri ke psikiater,
masuk dalam suatu kelompok atau group dan bicara atau berkomunikasi dengan orang lain
(Eakes, 1993; Hainsworth, 1994, 1995).
Strategi emosional contohnya menangis atau ekspresi emosi lainnya (Eakes, et al., 1998;
Hainsworth, 1995). Manajemen eksternal adalah intervensi yang diberikan oleh tenaga
kesehatan (Eakes et al., 1998). Pelayanan kesehatan yang diberikan secara profesional dapat
membantu memberikan rasa nyaman bagi mereka, caring dan tenaga profesional yang
kompeten lainnya.
5. Inefektif Manajemen
Strategi manajemen yang tidak efektif mengakibatkan meningkatnya ketidaknyamanan
individu atau menambah rasa duka yang mendalam.
6. Efektif manajemen
Strategi manajemen yang efektif berperan penting meningkatkan kenyamanan perasaan
individu secara efektif.
D. StrategiManajemen
NCRCS (the Nursing Consortium for Research on Chronic Sorrow) menyakinkan bahwa
kesedihan kronis bukan masalah jika para individu dapat melakukan menejemen perasaan
secara efektif. Manajemen strategi terdiri dari internal dan eksternal.
1. Strategi koping internal meliputi :
a. Action ( tindakan ), mekanisme koping individu baik yang bersangkutan maupun yang
memberikan perawatan. Contohnya metode distraksi yang umum digunakan untuk
menghadapi nyeri
b. Kognitif, mekanisme koping ini juga sering digunakan, misalnya berpikir positif, ikhlas
menerima semua ini
c. Interpersonal, mekanisme koping interpersonal misalnya dengan ahli jiwa, bergabung
dengan kelompok pendukung, melakukan curhat
d. Emosional, mekanisme koping emosional misalnya adalah menangis dan
mengekspresikan emosi
Strategi menejemen ini semua dianggap efektif bila individu mengaku terbantu untuk
menurunkan perasaan berduka (re-grief).
Strategi koping eksternal, dideskripsikan sebagai intervensi yang dilakukan oleh
professional kesehatan dengan cara meningkatkan rasa nyaman para subyek dengan
bersikap empati, memberi edukasi serta merawat dan melakukan tindakan professional
kompeten lainnya.
E. Asumsi Utama
1. Keperawatan
Diagnosis penderitaan kronik dan memberikan intervensi sesuai dengan lingkup praktik
keperawatan, perawat dapat memberikan antisipasi berduka pada individu yang beresiko.
Peran utama perawat meliputi menunjukan rasa empati, ahli / profesional, caring dan
pemberi asuhan keperawatan yang kompeten
2. Manusia
Manusia mempunyai persepsi yang idealis pada proses kehidupan dan kesehatan. Orang
membandingkan pengalamannya dengan kedua kenyataan tadi sepanjang kehidupannya.
Walaupun setiap orang pengalaman dengan kehilangan adalah unik dan umumnya
kehilangan dapat diramalkan atau diketahui sehingga dapat diantisipasi reaksi dari
kehilangan tersebut.
3. Kesehatan
Kesehatan adalah bila seseorang berfungsi normal, kesehatan seseorang tergantung atas
bagaimana seseorang beradaptasi terhadap kehilangan. Koping yang efektif akan
menghasilkan respon yang normal akibat dari kehilangan.
4. Lingkungan
Interaksi yang terjadi di dalam suatu masyarakat, yang mana meliputi lingkungan
keluarga, sosial, lingkungan kerja dan lingkungan perawatan kesehatan. Respon individu di
kaji berdasarkan hasil interaksi individu terhadap norma-norma sosial. (Eakes, Burke, &
Hainsworth, 1998)
F. Dampak Kehilangan
1. Masa kanak-kanak
a. Mengancam kemampuan anak untuk berkembang
b. Kadang – kadang regresi
c. Merasa takut ditinggalkan dibiarkan kesepian
2. Remaja dan dewasa muda
a. Disintegrasi dalam keluarga
b. Kematian pada orang tua “wajar“
3. Dewasa tua
a. Kematian pasangan
b. Masalah kesehatan meningkat
G. Berduka (Grieving)
Berduka adalah reaksi emosi terhadap kehilangan, biasanya akibat perpisahan
dimanifestasikan dalam perilaku, perasaan dan pemikiran.
I. Reaksi Kehilangan & Berduka
1. KUBLER – ROSS’ MODEL
Kubler Ross (1969) mengemukakan 5 tahapan pada berduka :
a. Menolak (denial)
b. Marah (anger)
c. Tawar menawar (bargaining)
d. Depresi (depression)
e. Menerima (acceptance)
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi kehilangan dan berduka
a. Sumber personal dan stressor
Setiap orang melalui situasi kehilangan dengan kombinasi khusus pada sumber personal
dan stressor seperti :
1. Keterampilan koping
2. Pengalaman sebelumnya dengan kehilangan
3. Kestabilan emosi
4. Agama
5. Family developmental stage
6. Status sosial ekonomi
b. Sumber sosial kultural dan stressor
Sumber sosial kultural meliputi dukungan sosial yang didapatkan dari keluarga, teman,
teman sekerja dan lembaga formal
BAB III
TINJAUAN KASUS
A. Kasus
Tn. A adalah seorang perantau yang mencari pekerjaan di ibu kota Jakarta , datang sebagai
perantau Tn. A mencari pekerjaan dengan kemampuan yang dimiliki salah satunya berdagang.
Kemampuan dia berdangan membuat dia bertahan di ibu kota Jakarta berbagai macam usaha
dagang yang dia lakukan dan mendapat penghasilan yang lumayan.
Dengan keadaan yang sudah mencukupi untuk kehidupannya Tn. A memiliki prilaku yang
tidak sehat dengan sering mabuk mabukan, kemudian sering melakukan hubungan sex bebas.
Beberapa bulan kemudian Tn. A Merasa sesuatu hal yang tidak enak pada dirinya mulai
mengalami hal hal yang aneh, seperti keadaannya yang sering letih tidak lagi mampu
berkonsentrasi, hal ini memutuskan Tn. A untuk pulang ke kampungnya.
Tn. A Menceritakan semua kejadian kepada keluarga dengan berbagai keluhan yang
dialami, Beberapa hari kemudian Tn.A meminta kepada keluarga untuk membawa kerumah
sakit. Saat dirumah sakit beberapa pengkajian dilakukan oleh tenaga kesehatan dan dokter
mendiangnosa Tn. A positif HIV/AIDS. Hal ini membuat Tn. A menyesal, kemudian keluarga
memiliki respon berduka, dengan menderita penyakit ini Tn.A melalui proses pengobatan
dirumah sakit, karna tidak kunjung sembuh dan lama pengobatan dirumah sakit lebih dari 3
bulan.
Tn. A mengalami autoimun yang mengakibatkan kondisi lemah yang dihadapi, sehingga Tn.
A meninggal dalam proses penyembuhan penyakitnya. Dalam hal ini keluarga memiliki perasaan
yang berduka karena Tn.A meninggal dalam keadaan mederita penyakit HIV/AIDS, penyakit
yang dapat menimbulkan tidak adanya dukungan social dari masyarakat. Hal ini membuat
keluarga berlarut larut dalam keadaan berduka.
B. Tinjauan Teori
Tn. A menderita penyakit HIV/AIDS yang membuat Tn.A meninggal sehingga timbul
perasaan berduka bagi kelurga dan ditambah tidak adanya dukungan dari masyarakat terhadap
keluarga tersebut dikarenakan takut akan penularan penyakit yang dialami oleh Tn.A. Kelurga
mengalami perasaan berduka yang berkelanjutan karna kurangnya dukungan dari masyarakat.
Menurut teori yang dikembangkan oleh Georgene Gaskill Eakes, Mary Lermann Burke dan
Margaret A. Hainsworth
1. Chronic Sorrow
Kesedihan mendalam dirasakan oleh keluarga Tn. A dengan tidak danya dukungan dari
masyarakat sekitar yang menimbulan perasaan berduka yang berkelanjutan dan mendalam.
2. Loss
Kehilangan seseorang yang menderita penyakit HIV/AIDS yaitu penyakit yang masih
ditakutkan oleh masyarakat.
3. Trigger events
Tidak adanya dukungan masyarakat akan keluarga dan masyarakat menjauhi keluarga Tn.A
4. Management method
Secara internal Keluarga ini menggunakan strategi koping untuk mengidentifikasi proses
berduka. Secara eksternal harus adanya dukungan keluarga lain atau praktisi perawatan
kesehatan,masyarakat yang membantu keluarga tersebut untuk lepat dari atau menghilangkan
perasaan berduka yang dialami secara mendalam.
Berikut adalah rencana managemen untuk mengatasi permasalahan diatas :
a. Diagnosa keperawatan
Sedih kronis berhubungan dengan kelilngan seseorang yang menderita penyakit yang
tidak ada dukungan dari masyarakat.
b. Outcome
 Menunjukkan grief resolution
 Dapat melupakan kejadian yang dialami oleh Tn.A
 Mengidentifikasi penggunaan strategi koping yang efektif
 Mengungkapkan dampak kehilangan
 Dapat bersosialisasi dengan masyarakat.
c. Intervensi
1) Grief work fasilitation :
 Identifiksi kehilangan
 Bantu Keluarga untuk mengidentifikasi ikatan antara orang yang hilang
 Bantu Keluarga untuk mengidentifikasi reaksi pertama terhadap kehilangan
 Anjurkan untuk mengekspresikan perasaan kehilangan
 Dengarkan ekspresi kesedihan
 Anjurkan diskusi pengalaman kehilangan sebelumnya
 Anjurkan Keluarga untuk mengungkapkan memori tentang kehilangan baik masa
lalu dan sekarang
 Buat pernyataan empati tentang duka cita
 Anjurkan kelurga identifikasi ketakutan yang paling besar terhadap kehilangan
 Instruksikan dalam fase berduka
 Dukung kelurga perkembangan melalui tahapan berduka
 Bantu Kelurga untuk mengidentifikasi strategi koping.
 Anjurkan keluarga untuk melakukan kebiasaan sosial, budaya dan keagamaan
 Komunikasikan tentang penerimaan kehilangan
 Beri reinforcement untuk perkembangan yang dbuat dalam proses berduka
 Bantu dalam mengidentifikasi modifikasi lifestyle yang dibutuhkan

2) Hope instillation :
 Bantu keluarga untuk mengidentifikasi harapan dalam hidup
 Informasikan keluraga tentang situasi saat ini adalah bagian yang temporer
 Demonstrasikan harapan dengan mengenali nilai intrinsik pasien dan pandangan
penyakit dari segi individu
 Kembangkan mekanisme koping individu
 Ajarkan mengenali realita dengan mengamati situasi dan membuat perencanaan
darurat
 Bantu kelurga menemukan dan meninjau ulang tujuan berhubungan dengan
harapan
 Bantu kelurga kembangkan spiritual diri
 Ajarkan kepada keluarga tentang aspek positif pada harapan
 Ciptakan lingkungan untuk praktik keagamaan bagi keluarga.
3) Coping enhancement :
 Kaji hal-hal yang dapat merubah gambaran diri kelurga
 Kaji dampak situasi kehidupan kelurga terhadap peran dan hubungan
 Dukung keluarga untuk mengidentifikasi gambaran nyata perubahan peran
 Kaji pemahaman keluarga terkait dengan proses penyakit
 Kaji dan diskusikan alternatif respon terhadap situasi yang dialamai kelurga.
 Gunakan pendekatan yang membuat keluarga tenang dan nyaman
 Bantu keluarga mengidentifikasi informasi yang paling menarik
 Dukung keluarga untuk bersikap realistic
 Evaluasi kemampuan keluarga untuk membuat keputusan
 Kaji persepsi keluarga terhadap situasi yang menimbulkan stress
 Gunakan pendekatan dengan sabar
 Bina hubungan dengan orang-orang yang memiliki ketertarikan dan tujuan yang
sama
 Dukung dalam aktivitas sosial dan komunitas
 Dukung penerimaan terhadap keterbatasan orang lain
 Kaji latar belakang spiritual dan budaya klien
 Sediakan dukungan spiritual terhadap keluarga
 Eksplorasi prestasi-prestasi yang pernah dicapai sebelumnya untuk meningkatkan
koping
 Hilangkan perasaan ragu yang dialami
 Bantu untuk mengembangkan mekanisme koping yang konstruktif
 Pelihara situasi yang mendukung kemandirian
 Bantu keluarga mengidentifikasi respon positif dari orang lain
 Dukung identifikasi nilai-nilai kehidupan yang spesifik pada keluarga
 Eksplorasi mekanisme koping yang pernah dilakukan oleh klien dalam menghadapi
masalah kehidupan
 Kenalkan keluarga dengan orang atau grup yang telah sukses dalam menyelesaikan
masalah yang sama
 Dukung penggunaan mekanisme defensif
 Dukung keluarga untuk mengungkapkan perasaan, persepsi dan ketakutannya
 Diskusikan konsekuensi ketika tidak mampu menerima rasa bersalah dan perasaan
malu
 Anjurkan keluaga untuk mengevaluasi perilakunya
4) Counseling :
 Bina hubungan saling percaya sebagai dasar rasa percaya dan perhatian
 Tunjukkan perasaan empati, kehangatan, dan ketulusan
 Lakukan konseling yang lebih mendalam
 Tentukan tujuan
 Tingkatkan privasi keluarga dan rasa percaya diri kelurga.
 Berikan informasi yang nyata sesuai kebutuhan
 Anjurkan untuk mengekspresikan perasaan
 Identifikasi permasalahan atau situasi yang menyebabkan sterss pada keluarga.
 Tanya pada keluarga atau orang terdekat lainnya untuk mengidentifikasi apa yang
dapat atau tidak dapat mereka kerjakan terkait dengan kejadian ini
 Kaji kelurga untuk mencatat dan memprioritaskan alternatif kemungkinan dari
permasalahan yang ada
 Identifikasi beberapa perbedaan diantara pandangan keluarga terhadap situasi dan
pandangan keluarga terhadap pemberi layanan kesehatan
 Gunakan tools pengkajian untuk membantu meningkatkan kesadaran diri kelurga
dan pengetahuan konselor terhadap situasi yang terjadi
 Identifikasi kekuatan keluarga dan beri dukungan
 Berikan reinforcement terhadap setiap perkembangan yang baru
 Jika memungkinkan, jangan membuat keputusan pada saat klien berada dalam
kondisi stress berat
5) Emotional Support :
 Diskusikan dengan keluarga terkait pengalaman emosional klien
 Eksplorasikan stimulus yang memicu emosi keluarga.
 Berikan dukungan atau pernyataan yang empati
 Berikan sentuhan yang terapeutik
 Dukung penggunaan mekanisme pertahanan diri
 Bantu keluarga untuk mengungkapkan perasaannya seperti cemas, takut, sedih
 Berikan dukungan selama fase menolak, marah, tawar menawar dan menerima
terhadap proses berduka
 Identifikasi adanya perasaan marah, frustasi dan amuk yang dialami keluarga.
 Berada bersama keluarga dan beri rasa aman dan nyaman selama periode cemas
 Kurangi beban pikiran klien ketika klien berada dalam kondisi stress (jangan
menambah beban pikirannya selama sakit)
6) Spiritual Support :
 Gunakan komunikasi terapeutik untuk membina rasa percaya dan empati kepada
keluarga.
 Kaji pengalaman masa lalu kelurga yang mendukung kekuatan spiritualnya
 Motivasi kelurga untuk mengenang masa lalu yang menyenangkan
 Motivasi keluarga untuk berinteraksi dengan anggota keluarga, teman dan orang
lain
 Berikan waktu khusus dan ketenangan untuk aktivitas spiritual
 Motivasi keluarga untuk berpartisipasi dalam kelompok pendukung sosialnya
 Ajarkan metode relaksasi, meditasi dan imaginasi terbimbing
 Diskusikan pandangan spiritual keluarga.
 Berikan kesempatan untuk mendiskusikan berbagai pandangannya tentang sistem
kepercayaan
 Berdoa dengan keluarga.
 Sediakan alat pendukung spiritual seperti musik, bacaan atau radio, atau program-
program televise
 Empati terhadap ekspresi keluarga akan kesendirian dan ketidakberdayaan
 Dukung penggunaan sumber-sumber spiritual
 Libatkan rohaniawan
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berduka kronis dapat dialami oleh seseorng ketika mengalami sesuatu perasaan
kehilngan baik itu dengan suatu penyakit yang dialami maupun keadaan yang membuat
seseorang akan hilang untuk selamanya. Dalam hal ini teori chronic sorrow memiliki tahapan
dalam menyelasaikan beberapa permasalahan terkait dengan berduka kronis yang dialami
oleh seseorang.
Dengan mengidentifikasi masalah yang dialami seseorang, proses kehilngan yang
dialami, penyebab timbulnya kejadian yang dapat memicu terjadinya persaan berduka
tersebut dan melakukan manajement dalam menyeldaikan masalah tersebut.
B. Rekomendasi
Dalam hal ini tenaga keperawatan dapat secara selektif melakukan pengkajian karna
terkait dengan psikososial, koping seseorang yang dapat menimbulkan kesulitan tersendiri
bagi tenaga kesehatan. Untuk itu pelajari secara bertahap langkah langkah dalam penyelesaia
masalah untuk teori chronic sorrow.
DAFTAR PUSTAKA

Lichtenstein, B., Laska, M. K., & Clair, J. M. (2002). Chronic sorrow in the HIV-positive
patient: Issues of race, gender, and social support. AIDS Patient Care and STDs, 16(1), 27–
38. https://doi.org/10.1089/108729102753429370

Alexander, A.W.W., Garami, Z., Chernyshev, O.Y., & Alexandrov, A.V. 2005. Flat
Positioning Improves Blood Flow Velocity in Acute Ischemic Stroke.
Alligood, M. R., & Tomey, A. M. 2006.Nursing theory: utilization &application.
3rdEdition, Missouri: Mosby.
Cecília Passos Vaz da Costa, Maria Helena Barros Araújo Luz, Alessandra Kelly Freire
Bezerra, S. S. da R. (2016). Case Report Article Application of the Nursing Theory of
Callista Roy To the Patient With Cerebral Vascular Accident. Journal of Nursing,
10(1), 352–360. https://doi.org/10.5205/reuol.7901-80479-1-SP.1001sup201622
Fisher, M. & Bogousslavsky, J. 1999. Current review of cerebrovascular disease. Third
edition. Philadelphia: Current Medicine, Inc.
Gaffar, J. 1999. Pengantar Keperawatan Profesional. Jakarta: EGC.
Jakarta, C. M. (2006). Analisis praktek keperawatan medikal bedah dengan pendekatan teori
adaptasi roy pada pasien gangguan persyarafan di rsupn dr. cipto mangunkusumo jakarta.
Harold, P., Adams, J.R., & Patricks, L. 2008. Assessment of A Patient with
Stroke : Neurological Examination and ClinicalRating Scale. Handbook of
Clinical Neurology. Vol. 94 (3rd series). Elseiver.
Hickey, J.V. 2003. The Cliical Practice of Neurological and Neurosurgical Nursing. 4th.
Philadelphia New York: Lippincott.
Japardi, I. 2002. Patofisiologi Stroke Infark Akibat Tromboemboli.
http://library.usu.ac.id/download/fk/bedah-iskandar%20japardi31.pdf

Lewis. 2007. Medical Surgical Nursing. 7thEdition. St.Louis: Missouri.Mosby-Year Book,


Inc.

Anda mungkin juga menyukai