Disusun oleh:
Kelompok 4
- Elvira Adha
- Mega Rahayu
- Moch. MugnI Faisal
- Nesi HeryaniPutri Krismayani
- Sela Triana
- Sulam Hengki
- Yusril Muchtar Fadhil
2021
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah Swt., yang mana atas
kehendak-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini, yang diajukan untuk
memenuhi salah satu tugas pada stase Keperawtan Jiwa.
Makalah ini berjudul “Evidence Based Practice (EBP): Asuhan
Keoerawatan pada Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga” dimana berisikan
mengenai intervensi keperawatan yang dapat dilakukan pada kasus kekerasan
dalam rumah tangga berdasarkan Evidence Based Practice (EBP) yaitu Assertive
Training Therapy.
Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak
kekurangan dan kesalahan, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran
yang membangun demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat
memberikan manfaat dan wawasan kepada pembaca. Terima kasih.
Penyusun
DAFTAR ISI
Daftar Isi..............................................................................................................................
A. Hasil ........................................................................................................................
B. B. Pembahasan ........................................................................................................
A. Kesimpulan .............................................................................................................
B. Saran ........................................................................................................................
A. Latar Belakang
Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap
seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau
penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, atau penelantaran dalam rumah
tangga (Dharmono & Diatri, 2008). Kekerasan dalam lingkup keluarga adalah
suatu rentang perilaku yang berbahaya yang terjadi antar anggota keluarga
yang terdiri dari kekerasan fisik dan emosional. Kekerasan yang terjadi dalam
keluarga sifatnya sangat tertutup dan dapat terjadi secara terus menerus
(Stuart, 2009). Kasus kekerasan yang jarang terungkap terjadi karena dianggap
sebagai aib keluarga sehingga harus dijaga dan ditutupi.
Dinamika terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, dapat digambarkan
dalam chart power and control domestic abuse intervention, antara lain
menggunakan intimidasi, menggunakan pemaksaan dan ancaman,
menggunakan kekerasan emosional, melakukan isolasi, membuat korban tidak
melihat sebagai bentuk kekerasan dan korbanlah sebagai penyebab kekerasan,
menggunakan anak-anak untuk melakukan ancaman, menggunakan hak-hak
istimewa laki-laki, serta melakukan penekanan secara ekonomi. Proses
terjadinya KDRT juga digambarkan dalam bentuk siklus yaitu dimulai dengan
tahap ketegangan; pada tahap ini terjadi perbedaan pendapat dengan
ketegangan emosi, tahap luapan emosi dan tindak kekerasan; pada tahap ini
pelaku melakukan kekerasan khususnya kekerasan fisik, tahap penyesalan;
terjadi ketika pelaku kekerasan dihantui perasaan bersalah dan penyesalan,
pada tahap ini hati pasangan akan luluh, merasa kasihan dan memaafkannya
kembali (Walker, 2005).
Akibat dari kekerasan dalam rumah tangga yang dialami oleh korban,
dapat menimbulkan berbagai macam dampak, baik dampak jangka pendek
maupun jangka panjang yang di dalamnya mencakup aspek fisik dan
psikologis. Melihat dampak psikologis yang ditimbulkan akibat dari kekerasan
dalam rumah tangga ini apabila tidak mendapatkan penanganan yang serius
akan dapat berlanjut dan semakin menimbulkan penderitan bagi korban. Faiz
(2009) menjelaskan dampak negatif dari KDRT sangat beraneka ragam dan
bukan hanya bersifat hubungan suami istri tetapi terhadap anggota keluarga
lainnya. KDRT juga menyebabkan keretakan hubungan keluarga dan anak-
anak, yang kemudian akan menimbulkan masalah sosial yang lebih kompleks.
Kekerasan dalam rumah tangga adalah masalah yang serius sehingga perlu
adanya upaya yang dilakukan secara sinergis dari berbagai pihak, baik
lembaga hukum, LSM, tenaga professional, maupun masyarakat untuk
menyelesaikan masalah tersebut. Hawari (2009) menyatakan bahwa korban
KDRT juga perlu mendapatkan pelayanan secara psikologis dan mental.
Pendekatan yang hangat dan terbuka sangat diperlukan oleh korban sehingga
merasa nyaman menceritakan masalah dan perasaannya.
Upaya penyelesaian masalah keluarga yang sifatnya sensitif tidak cukup
diselesaikan dengan jalur hukum saja, akan tetapi keluarga membutuhkan
suatu terapi untuk menyelesaikan masalah yang sifatnya tidak mengancam.
Hamid (2009), menyatakan bahwa ada beberapa terapi yang dapat diberikan
untuk keluarga dengan tindak kekerasan dalam rumah tangga seperti terapi
keluarga, terapi kelompok, dan terapi pendidikan. Terapi yang diberikan
bertujuan untuk meningkatkan keamanan fisik, terjadi peningkatan harga
diri, mengurangi perasaan tidak berdaya, menghilangkan perasaan putus
asa, dan mencegah terjadinya bunuh diri, serta isolasi sosial.
Stuart dan McDonald (2009), menyebutkan bahwa upaya pencegahan yang
dilakukan adalah bentuk intervensi keperawatan yang memiliki peran penting
dalam mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Upaya yang
diberikan meliputi pendidikan masyarakat, pendeteksian faktor risiko adanya
kekerasan dalam rumah tangga, serta mencegah masalah yang lebih kompleks
dari terjadinya abuse. Pencegahan yang dilakukan yaitu mencakup:
1) Pencegahan primer yang dilakukan dengan cara memberikan penguatan
pada individu dan keluarga dengan membangun koping yang efektif dalam
menghadapi stres dan menyelesaikan masalah tanpa menggunakan
kekerasan;
2) Pencegahan sekunder, dengan cara mengidentifikasi keluarga dengan risiko
kekerasan, penelantaran, atau eksploitasi terhadap anggota keluarga, serta
melakukan deteksi dini terhadap keluarga yang mulai menggunakan
kekerasan;
3) Pencegahan tersier, dilakukan dengan cara menghentikan tindak kekerasan
yang terjadi bekerjasama dengan badan hukum yang berwenang untuk
menangani kasus kekerasan.
Intervensi keperawatan terhadap keluarga dengan risiko KDRT adalah
dengan memberikan terapi individu dan terapi keluarga untuk membangun
koping yang adaptif. Salah satu terapi yang bisa diberikan adalah assertive
training therapy, yang merupakan terapi untuk melatih kemampuan
komunikasi interpersonal dalam berbagai situasi (Stuart, 2009). Terapi asertif
atau lebih dikenal dengan assertive training therapy adalah suatu terapi
modaliltas keperawatan dalam bentuk terapi kelompok (terapi tingkah laku),
klien belajar mengungkapkan rasa marah secara tepat atau asertif sehingga
pasien mampu untuk berhubungan dengan orang lain, mampu menyatakan; apa
yang diinginkannya, apa yang disukainya, dan apa yang ingin dia kerjakan
dan kemampuan untuk membuat seseorang merasa tidak risih berbicara
tentang dirinya sendiri. Terapi ini bertujuan untuk membantu merubah persepsi
untuk meningkatkan kemampuan asertif individu, mengekspresikan emosi dan
berpikir secara adekuat dan untuk membangun kepercayaan diri (Aschen,
1997, Alberti & Emmons, 2001; Lin, dkk, 2008).
Berdasarkan hal tersebut, maka pada makalah ini akan membahas
mengenai evidence based practice (EBP) dari assertive training therapy
terhadap asuhan keperawatan pada kasus KDRT.
B. Rumusan Masalah
Bagaimnakan evidence based practice (EBP) dari assertive training
therapy terhadap kasus KDRT.
C. Tujuan
Untuk mengetahui evidence based practice (EBP) dari assertive training
therapy terhadap kasus KDRT.
D. Manfaat
1. Manfaat Teoritis
Sebagai bahan informasi (evidence based practice/EBP) dalam
pengembangan asuhan keperawatan pada kasus KDRT.
2. Manfaat Praktis
Sebagai rujukan intervensi dalam pemberian asuhan keperawatan
pada kasus KDRT yang berdasarkan evidence based practice/EBP.
BAB II
TINJAUAN TEORI
2. Tujuan
4. Tahapan Pelaksanaan
Pelaksanaan assertive training memiliki beberapa tahapan atau
prosedur yang akan dilalui ketika pelaksanaan latihan. Pada umumnya
teknik untuk melakukan latihan asertif, mendasarkan pada prosedur belajar
dalam diri seseorang yang perlu diubah, diperbaiki dan diperbarui. Masters
dalam Gunarsih (2007) meringkas beberapa jenis prosedur latihan asertif,
yakni:
a. Identifikasi terhadap keadaan khusus yang menimbulkan persoalan
pada klien.
b. Memeriksa apa yang dilakukan atau dipikirkan klien pada situasi
tersebut. Pada tahap ini, akan diberikan juga materi tentang perbedaan
perilaku agresif, asertif, dan pasif.
c. Dipilih sesuatu situasi khusus di mana klien melakukan permainan
peran (role play) sesuai dengan apa yang ia perlihatkan.
d. Di antara waktu-waktu pertemuan, konselor menyuruh klien melatih
dalam imajinasinya, respon yang cocok pada beberapa keadaan.
Kepada mereka juga diminta menyertakan pernyataan diri yang terjadi
selama melakukan imajinasi.
e. Konselor harus menentukan apakah klien sudah mampu memberikan
respon yang sesuai dari dirinya sendiri secara efektif terhadap keadaan
baru, baik dari laporan langsung yang diberikan maupun dari
keterangan orang lain yang mengetahui keadaan pasien atau klien.
BAB III
EVIDENCE BASED PRAKTICE: ASSERTIVE TRAINING THERAPY
2. Anilisis PICOT
Population : 60 orang istri dengan resiko kekerasan dalam
rumah tangga
Intervention : Assertive training therapy (ATT)
Comparation : Tidak ada
Outcome : Istri yang diberi ATT mempunyai kemampuan
asertif meningkat secara bermakna dan persepsi istri
terhadap risiko kekerasan dalam rumah tangga
suami lebih rendah dibandingkan yang tidak
diberikan ATT.
Time : 26 hari (6 sesi training)
3. Rangkuman Artikel
Peningkatan masalah dalam rumah tangga dengan kurangnya
pemecahan masalah yang baik memicu terjadinya kekerasan dalam rumah
tangga, baik pada usia pernikahan muda maupun tua. Tujuan penelitian
tersebut melihat pengaruh assertive training therapy (ATT) terhadap
kemampuan asertif dan persepsi istri terhadap risiko kekerasan dalam
rumah tangga suami. Desain penelitian Quasi Experimental Pre-Post Test
With Control Group, dengan sampel 60 orang istri dengan resiko kekerasan
dalam rumah tangga. Instrumen yang digunakan adalah lembar kuesioner
A (Data Demografi Keluarga), B (Kemampuan Asertif, 20 pertanyaan)
dan C (Persepsi Istri terhadap Perilaku Power dan Kontrol Suami, 15
pertanyaan). Pengumpulan data pre-test untuk tiap istri pada kelompok
yang mendapat Assertive Training Therapy (ATT) dilakukan sebelum sesi I
dan post-test dilakukan setelah sesi VI selesai untuk tiap responden
Hasil penelitian menunjukkan ATT berpengaruh meningkatkan
kemampuan asertif istri sebesar 86,9% dan persepsi istri terhadap risiko
kekerasan menurun 71,3 Peningkatan kemampuan asertif istri setelah
dilakukan terapi spesialis Assertive Training Therapy (ATT) pada
kelompok intervensi mengalami peningkatan dimana sebelum intervensi
dilakukan, kemampuan asertif istri berada pada kategori rendah-sedang.
Setelah dilakukan intervensi, kemampuan asertif istri tersebut meningkat
menjadi kategori tinggi. Assertive Training Therapy direkomendasikan
untuk istri dengan resiko kekerasan dalam rumah tangga.
2. Anilisis PICOT
Population : 60 orang kepala rumah tangga
Intervention : Assertive training therapy (ATT)
Comparation : Tidak ada
Outcome : Hasil penelitian ini menunjukkan efikasi dari
terapi latihan asertif sebesar 67,4% dengan
peningkatan yang signifikan (p-value ˂ 0.05).
Sementara risiko kekerasan dalam rumah tangga
turun sebesar 29,6% dengan penurunan yang
signifikan (p-value ˂ 0.05).
Time : 6 sesi terapi asertive training
3. Rangkuman Artikel
Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap aktivitas yang
menyebabkan penderitaan secara fisik, seksual, psikologi, atau pengabaian
dalam keluarga. Secara umum dialami oleh perempuan oleh pasangannya.
Perilaku kekerasan ini sangat berbahaya yang bisa terjadi pada salah
seorang atau lebih dari anggota keluarga. Tujuan dari penelitian ini untuk
mengetahui efikasi pengaruh terapi latihan asertif terhadap kemampuan
asertif suami dan risiko kekerasan dalam rumah tangga. Desain penelitian
menggunakan Quasi Experiment Pre-Post test with Control Group.
Responden terdiri dari 60 orang kepala rumah tangga, 30 rang
mendapatkan terapi latihan asertif dan 30 orang hanya mendapatkan terapi
komunikasi generalis sebagai kelompok control.
Hasil penelitian ini menunjukkan efikasi dari terapi latihan asertif
sebesar 67,4% dengan peningkatan yang signifikan (p-value ˂ 0.05).
Sementara risiko kekerasan dalam rumah tangga turun sebesar 29,6%
dengan penurunan yang signifikan (p-value ˂ 0.05). Assertive Training
Therapy meningkatkan kemampuan asertif secara bermakna dan
menurunkan risiko KDRT secara bermakna. Karaktersistik umur, usia
menikah, usia pernikahan, pendidikan, pekerjaan, dan penghasilan tidak
mempengaruhi kemampuan asertif suami. Terapi latihan asertif
direkomendasikan pada suami dengan risiko kekerasan dalam rumah
tangga.
2. Anilisis PICOT
Population : 63 Subjek penelitian
Intervention : Pelatihan asertivitas
Comparation : Tidak ada
Outcome : Terdapat perbedaan intensitas kecemasan subyek,
sebelum dan setelah pemberian pelatihan asertivitas.
Kecemasan subyek setelah dilakukan pemberian
pelatihan asertivitas menjadi berkurang atau lebih
rendah dibandingkan sebelum pemberian pelatihan
asertivitas.
Time : 6 sesi treatment pelatihan asertivitas
3. Rangkuman Artikel
Tindak kekerasan sebagaian besar dialami oleh perempuan dan anak –
anak, khususnya tindak kekerasan dalam rumah tangga. Korban tindak
kekerasan dalam rumah tangga, selain mengembangkan kecemasan dalam
dirinya, juga cenderung memiliki perilaku yang kurang asertif. Berpijak
bahwa keasertifan bukan merupakan faktor bawaan, melainkan merupakan
suatu keterampilan yang dapat dipelajari, maka dibutuhkan intervensi
untuk mengurangi kecemasan yang dialami oleh korban tindak kekerasan
dalam rumah tangga, yaitu melalui pelatihan asertivitas. Metode yang
dipergunakan dalam penelitian tersebut adalah eksperimen semu single
subject design. Pengumpulan data menggunakan teknik skala Impact of
Event Scale (IES), wawancara dan observasi. Data yang dipergunakan
bersifat kuantitatif dan kualitatif.
Berdasarkan analisis dari data kuantitatif dan kualitatif yang telah
dilakukan, diperoleh hasil bahwa terdapat perbedaan intensitas kecemasan
subyek, sebelum dan setelah pemberian pelatihan asertivitas. Kecemasan
subyek setelah dilakukan pemberian pelatihan asertivitas menjadi
berkurang atau lebih rendah dibandingkan sebelum pemberian pelatihan
asertivitas. Hal ini menunjukkan bahwa terapi pelatihan asertivitas mampu
mempengaruhi berkurangnya kecemasan pada subyek dalam hal ini
korban tindak kekerasan dalam rumah tangga.
BAB IV
A. Hasil
B. Pembahasan
1. Kemampuan Asertif Istri dalam Mencegah KDRT
Kemampuan asertif pada istri adalah suatu tindakan yang dilakukan
dalam mengungkapkan ekspresi secara jujur, nyaman, dan tanpa adanya
kecemasan terhadap orang lain terutama dengan pasangannya (Sadock &
Sadock, 2005). Assertive Training Therapy (ATT) bertujuan membantu
merubah persepsi untuk meningkatkan kemampuan asertif individu,
mengekspresikan emosi, dan untuk membangun kepercayaan diri
seseorang (Alberti, & Emmons, 2001 dalam Lin, et al., 2008). Indikasi
Assertive Training Therapy adalah untuk melatih klien yang mengalami
kesulitan untuk menyatakan diri bahwa tindakannya adalah layak atau
benar. Latihan ini terutama berguna, diantaranya untuk membantu
individu yang tidak mampu mengungkapkan perasaan tersinggung,
kesulitan menyatakan tidak, merasa tertekan karena dominansi orang
lain (Alberti & Emmons, 2001 dalam Townsend, 2009). Komunikasi
yang asertif akan membantu seseorang untuk saling menghargai,
sehingga mampu berbicara dan percaya diri. Cara berkomunikasi seperti
ini akan juga mampu membantu seseorang untuk me- nyelesaikan konflik
dengan orang lain (Videbeck, 2010).
B. Saran
Aini, K., dkk. 2014. Efikasi Assertive Training Therapy Terhadap Sikap Asertif
Suami dan Resiko Kekerasan dalam Rumah Tangga di Bogor. Jurnal Ners
Widya Husada: Universitas Widya Husada Semarang
Corey, Gerald. 2007. Teori dan Praktek Konseling & Psikoterapi. Bandung:PT
Refika Aditama
Dharmono, S & Diatri, H (2008). Kekerasan dalam rumah tangga dan dampaknya
terhadap kesehatan jiwa. Jakarta : Balai Penerbit FK-UI.
Faiz (2009). Perlindungan terhadap perempuan melalui Undang-Undang
kekerasan dalam rumah tangga : analisis perbandingan antara Indonesia dan
India. Thesis.
Hawari, D (2009). Penyiksaan fisik dan mental dalam rumah tangga. Jakarta :
Balai Penerbit FK-U
Sadock, B.J., & Sadock, V.A. (2005). Kaplan and Sadock’s comprehensive
textbook of psychiatry (8th Ed.). Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkin’s
Stuart, G.W (2009). Principles and practice of psychiatric nursing. (9th ed). St.
Louis : Mosby
Stuart, G.W., & Mc Donald, S.F. (2009). Virtual clinical excurtions psychiatric
for principles and practice of psychiatric nursing (9th Ed.). San Diego:
Mosby Elsevier
Walker (2005). Cycle abuse. Project making medicine. Centre on child abuse and
neglect. University of Oklahoma
Wardani, Nuniek S., dkk. 2012. Peningkatan Kemampuan Asertif dan Penurunan
Persepsi Melalui Assertive Training Therapy pada Suami dengan Risiko
KDRT. Jurnal Kepetawatan Indonesia: Universitas Indonesia
Yulianti,Padmi D. 2011. Pengaruh Pelatihan Asertifitas dalam Mengurangi
Kecemasan pada Korban Tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Jurnal
Penelitian Psikologi Pendidikan dan Bimbingan: Universitas PGRI Semarang
Yusuf, AH., dkk. 2015. Buku Ajar Keperawayan Kesehatan Jiwa. Jakarta:
Salemba Medika
Townsend, M.C. (2009). Psychiatric mental health nursing: Concepts of care in
evidence-based parctice. Philadelphia: F.A. Davis Company