Anda di halaman 1dari 25

EVIDENCE BASED PRACTICE (EBP):

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KORBAN KEKERASAN


DALAM RUMAH TANGGA (KDRT)
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas pada stase Keperawatan Jiwa

Yang diampu oleh bapak Rudy Alfiansyah, S. Kep., Ns., M. Pd.

Disusun oleh:

Kelompok 4

- Elvira Adha
- Mega Rahayu
- Moch. MugnI Faisal
- Nesi HeryaniPutri Krismayani
- Sela Triana
- Sulam Hengki
- Yusril Muchtar Fadhil

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KARSA HUSADA GARUT

2021
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah Swt., yang mana atas
kehendak-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini, yang diajukan untuk
memenuhi salah satu tugas pada stase Keperawtan Jiwa.
Makalah ini berjudul “Evidence Based Practice (EBP): Asuhan
Keoerawatan pada Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga” dimana berisikan
mengenai intervensi keperawatan yang dapat dilakukan pada kasus kekerasan
dalam rumah tangga berdasarkan Evidence Based Practice (EBP) yaitu Assertive
Training Therapy.
Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak
kekurangan dan kesalahan, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran
yang membangun demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat
memberikan manfaat dan wawasan kepada pembaca. Terima kasih.

Garut, 13 Oktober 2021

Penyusun
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ....................................................................................................................

Daftar Isi..............................................................................................................................

Bab I Pendahuluan ..............................................................................................................

A. Latar Belakang ........................................................................................................


B. Rumusan Masalah ...................................................................................................
C. Tujuan .....................................................................................................................
D. Manfaat ...................................................................................................................

Bab II Tinjauan Teori ..........................................................................................................

A. Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) ............................................................


B. Assertive Training Theraphy (ATT) .......................................................................

Bab III Evidence Based Practice:Assertive Training Therapy ...........................................

A. Artikel 1: Peningkatan Kemampuan Asertif dan Penurunan Persepsi


Melalui Assertive Training Therapy pada Suami dengan Risiko KDRT................
B. Artikel 2: Efikasi Assertive Training Therapy Terhadap Sikap Asertif
Suami dan Resiko Kekerasan dalam Rumah Tangga di Bogor ..............................
C. Artikel 3: Pengaruh Pelatihan Asertifitas dalam Mengurangi Kecemasan
pada Korban Tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga .........................................

Bab IV Hasil dan Pemnahasan ............................................................................................

A. Hasil ........................................................................................................................
B. B. Pembahasan ........................................................................................................

Bab V Kesimpulan dan Saran .............................................................................................

A. Kesimpulan .............................................................................................................
B. Saran ........................................................................................................................

Daftar Pustaka .....................................................................................................................


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap
seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau
penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, atau penelantaran dalam rumah
tangga (Dharmono & Diatri, 2008). Kekerasan dalam lingkup keluarga adalah
suatu rentang perilaku yang berbahaya yang terjadi antar anggota keluarga
yang terdiri dari kekerasan fisik dan emosional. Kekerasan yang terjadi dalam
keluarga sifatnya sangat tertutup dan dapat terjadi secara terus menerus
(Stuart, 2009). Kasus kekerasan yang jarang terungkap terjadi karena dianggap
sebagai aib keluarga sehingga harus dijaga dan ditutupi.
Dinamika terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, dapat digambarkan
dalam chart power and control domestic abuse intervention, antara lain
menggunakan intimidasi, menggunakan pemaksaan dan ancaman,
menggunakan kekerasan emosional, melakukan isolasi, membuat korban tidak
melihat sebagai bentuk kekerasan dan korbanlah sebagai penyebab kekerasan,
menggunakan anak-anak untuk melakukan ancaman, menggunakan hak-hak
istimewa laki-laki, serta melakukan penekanan secara ekonomi. Proses
terjadinya KDRT juga digambarkan dalam bentuk siklus yaitu dimulai dengan
tahap ketegangan; pada tahap ini terjadi perbedaan pendapat dengan
ketegangan emosi, tahap luapan emosi dan tindak kekerasan; pada tahap ini
pelaku melakukan kekerasan khususnya kekerasan fisik, tahap penyesalan;
terjadi ketika pelaku kekerasan dihantui perasaan bersalah dan penyesalan,
pada tahap ini hati pasangan akan luluh, merasa kasihan dan memaafkannya
kembali (Walker, 2005).
Akibat dari kekerasan dalam rumah tangga yang dialami oleh korban,
dapat menimbulkan berbagai macam dampak, baik dampak jangka pendek
maupun jangka panjang yang di dalamnya mencakup aspek fisik dan
psikologis. Melihat dampak psikologis yang ditimbulkan akibat dari kekerasan
dalam rumah tangga ini apabila tidak mendapatkan penanganan yang serius
akan dapat berlanjut dan semakin menimbulkan penderitan bagi korban. Faiz
(2009) menjelaskan dampak negatif dari KDRT sangat beraneka ragam dan
bukan hanya bersifat hubungan suami istri tetapi terhadap anggota keluarga
lainnya. KDRT juga menyebabkan keretakan hubungan keluarga dan anak-
anak, yang kemudian akan menimbulkan masalah sosial yang lebih kompleks.
Kekerasan dalam rumah tangga adalah masalah yang serius sehingga perlu
adanya upaya yang dilakukan secara sinergis dari berbagai pihak, baik
lembaga hukum, LSM, tenaga professional, maupun masyarakat untuk
menyelesaikan masalah tersebut. Hawari (2009) menyatakan bahwa korban
KDRT juga perlu mendapatkan pelayanan secara psikologis dan mental.
Pendekatan yang hangat dan terbuka sangat diperlukan oleh korban sehingga
merasa nyaman menceritakan masalah dan perasaannya.
Upaya penyelesaian masalah keluarga yang sifatnya sensitif tidak cukup
diselesaikan dengan jalur hukum saja, akan tetapi keluarga membutuhkan
suatu terapi untuk menyelesaikan masalah yang sifatnya tidak mengancam.
Hamid (2009), menyatakan bahwa ada beberapa terapi yang dapat diberikan
untuk keluarga dengan tindak kekerasan dalam rumah tangga seperti terapi
keluarga, terapi kelompok, dan terapi pendidikan. Terapi yang diberikan
bertujuan untuk meningkatkan keamanan fisik, terjadi peningkatan harga
diri, mengurangi perasaan tidak berdaya, menghilangkan perasaan putus
asa, dan mencegah terjadinya bunuh diri, serta isolasi sosial.
Stuart dan McDonald (2009), menyebutkan bahwa upaya pencegahan yang
dilakukan adalah bentuk intervensi keperawatan yang memiliki peran penting
dalam mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Upaya yang
diberikan meliputi pendidikan masyarakat, pendeteksian faktor risiko adanya
kekerasan dalam rumah tangga, serta mencegah masalah yang lebih kompleks
dari terjadinya abuse. Pencegahan yang dilakukan yaitu mencakup:
1) Pencegahan primer yang dilakukan dengan cara memberikan penguatan
pada individu dan keluarga dengan membangun koping yang efektif dalam
menghadapi stres dan menyelesaikan masalah tanpa menggunakan
kekerasan;
2) Pencegahan sekunder, dengan cara mengidentifikasi keluarga dengan risiko
kekerasan, penelantaran, atau eksploitasi terhadap anggota keluarga, serta
melakukan deteksi dini terhadap keluarga yang mulai menggunakan
kekerasan;
3) Pencegahan tersier, dilakukan dengan cara menghentikan tindak kekerasan
yang terjadi bekerjasama dengan badan hukum yang berwenang untuk
menangani kasus kekerasan.
Intervensi keperawatan terhadap keluarga dengan risiko KDRT adalah
dengan memberikan terapi individu dan terapi keluarga untuk membangun
koping yang adaptif. Salah satu terapi yang bisa diberikan adalah assertive
training therapy, yang merupakan terapi untuk melatih kemampuan
komunikasi interpersonal dalam berbagai situasi (Stuart, 2009). Terapi asertif
atau lebih dikenal dengan assertive training therapy adalah suatu terapi
modaliltas keperawatan dalam bentuk terapi kelompok (terapi tingkah laku),
klien belajar mengungkapkan rasa marah secara tepat atau asertif sehingga
pasien mampu untuk berhubungan dengan orang lain, mampu menyatakan; apa
yang diinginkannya, apa yang disukainya, dan apa yang ingin dia kerjakan
dan kemampuan untuk membuat seseorang merasa tidak risih berbicara
tentang dirinya sendiri. Terapi ini bertujuan untuk membantu merubah persepsi
untuk meningkatkan kemampuan asertif individu, mengekspresikan emosi dan
berpikir secara adekuat dan untuk membangun kepercayaan diri (Aschen,
1997, Alberti & Emmons, 2001; Lin, dkk, 2008).
Berdasarkan hal tersebut, maka pada makalah ini akan membahas
mengenai evidence based practice (EBP) dari assertive training therapy
terhadap asuhan keperawatan pada kasus KDRT.

B. Rumusan Masalah
Bagaimnakan evidence based practice (EBP) dari assertive training
therapy terhadap kasus KDRT.
C. Tujuan
Untuk mengetahui evidence based practice (EBP) dari assertive training
therapy terhadap kasus KDRT.

D. Manfaat
1. Manfaat Teoritis
Sebagai bahan informasi (evidence based practice/EBP) dalam
pengembangan asuhan keperawatan pada kasus KDRT.
2. Manfaat Praktis
Sebagai rujukan intervensi dalam pemberian asuhan keperawatan
pada kasus KDRT yang berdasarkan evidence based practice/EBP.
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)


1. Pengertian KDRT
Berdasarkan UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga, kekerasan dalam rumah tangga adalah
segala bentuk, baik kekerasan secara fisik, secara psikis, kekerasan
seksual, maupun ekonomi yang pada intinya mengakibatkan penderitaan,
baik penderitaan yang secara kemudian memberikan dampak korban
menjadi sangat trauma atau mengalami penderitaan secara psikis.
Kekerasan dalam rumah tangga dapat terjadi pada semua orang yang
tinggal dalam keluarga, suami, istri, orang tua, anak, usia lanjut, ataupun
pembantu, tanpa membedakan gender ataupun posisi dalam keluarga.

2. Faktor Penyebab KDRT


a. Biologi
Perubahan sistem limbik otak dan neurotransmitter menyebabkan
individu tidak mampu mengendalikan perilaku agresifnya.
b. Psikologi
Kegagalan, frustasi, ketidakpuasan, pernah jadi korban, saksi, atau
pelaku kekerasan.
c. Sosial budaya
Adanya perilaku agresif yang dapat memenuhi kebutuhan akan
cenderung diulang dalam cara penyelesaian masalah. Adanya
penerimaan masyarakat atas perilaku kekerasan yang terjadi, tidak
adanya pencegahan, dan kurang berperannya aspek hukum akan
menyuburkan perilaku kekerasan di dalam keluarga dan masyarakat.
3. Bentuk KDRT
a. Secara fisik, yaitu menampar, memukul, menjambak rambut,
menendang, menyundut dengan rokok, melukai dengan senjata,
dan sebagainya.
b. Secara psikologis, yaitu penghinaan, komentar-komentar yang
merendahkan, melarang istri mengunjungi saudara atau teman-
temannya, mengancam akan dikembalikan ke rumah orang
tuanya, dan sebagainya.
c. Secara seksual (marital rape), yaitu kekerasan dalam bentuk
pemaksaan dan penuntutan hubungan seksual.
d. Secara ekonomi, yaitu tidak memberi nafkah istri, melarang istri
bekerja, atau membiarkan istri bekerja untuk dieksploitasi.

4. Tanda pada Korban KDRT


Menurut Abrar (2001), korban KDRT biasanya cenderung menutupi
penderitaan fisik dan psikologis yang dilakukan pasangannya, karena
KDRT dianggap sebagai suatu hal yang tabu. Adanya sikap posesif
terhadap korban ataupun perilaku mengisolasi korban dari dunia luar
dapat dilihat sebagai tanda awal KDRT. Korban biasanya tampak
depresi, sangat takut pada pengunjung/pasien lainnya dan yang
merawatnya, termasuk pegawai rumah sakit. Mereka akan cenderung
menarik diri dari lingkungan sosialnya. Mereka umumnya tak ingin
orang sekitarnya melihat tanda-tanda kekerasan pada diri mereka.
Kontak mata biasanya buruk. Korban menjadi pendiam. Korban harus
diperiksa secara menyeluruh untuk memeriksa dengan teliti tanda-tanda
kekerasan yang pada umumnya tersembunyi. Korban juga akan mencoba
untuk menyembunyikan atau menutupi luka-lukanya dengan memakai
riasan wajah tebal, leher baju yang tinggi, rambut palsu atau perhiasan.
5. Strategi Pencegahan KDRT
a. Pendidik
Institusi pendidikan dari jenjang SD sampai dengan SMA memiliki
andil yang penting dalam usaha pencegahan terjadinya kekerasan
dalam rumah tangga.
b. Penegak Hukum dan Keamanan
Pemerintah bersama penegak hukum juga memiliki peran yang
lebih kuat melalui UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak,
BAB II Pasal 2 yang menyatakan, “Anak berhak atas perlindungan
terhadap lingkungan yang dapat membahayakan atau menghambat
pertumbuhan dan perkembangan secara wajar”. Selain itu, UU No. 23
Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
Oleh karenanya, tidak ada alasan bagi siapapun untuk boleh
melakukan kekerasan dalam rumah tangga.
c. Media Massa
Media massa sebaiknya menampilkan berita kekerasan yang
diimbangi dengan artikel pencegahan dan penanggulangan dampak
kekerasan yang diterima korban jangka panjang atau pendek, sehingga
masyarakat tidak menjadikan berita kekerasan sebagai inspirasi untuk
melakukan kekerasan.
d. Pelayanan Kesehatan
1) Prevensi primer, yaitu promosi orang tua dan keluarga
sejahtera.
2) Prevensi sekunder, yaitu diagnosis dan tindakan bagi keluarga
yang stres.
3) Prevensi tertier, yaitu edukasi ulang dan rehabilitasi keluarga.

B. Assertive Training Therapy


1. Pengertian
Assertive training merupakan salah satu teknik dalam terapi
behavioral. Mula-mula terapi ini dikemabangkan oleh Wolpe untuk
menanggulangi neurosis. Neurosis dapat dijelaskan dengan mempelajari
perilaku yang tidak adaptif melalui proses belajar. Dengan kata lain
perilaku yang menyimpang bersumber dari hasil belajar di lingkungan.
Willis (2004) menjelaskan bahwa assertive training merupakan teknik
dalam konseling behavioral yang menitikberatkan pada kasus yang
mengalami kesulitan dalam perasaan yang tidak sesuai dalam
menyatakannya. Assertive Training adalah suatu teknik untuk membantu
klien dalam hal-hal berikut:
a. Tidak dapat menyatakan kemarahan atau kejengkelannya;
b. Mereka yang sopan berlebihan dan membiarkan orang lain mengambil
keuntungan padanya;
c. Mereka yang mengalami kesulitan berkata “tidak”;
d. Mereka yang sukar menyatakan cinta dan respon positif lainnya;
e. Mereka yang merasakan tidak punya hak untuk menyatakan pendapat
dan pikirannya.
Corey (2009) menjelaskan bahwa assertive training (latihan asertif)
merupakan penerapan latihan tingkah laku dengan sasaran membantu
individu-individu dalam mengembangkan cara-cara berhubungan yang
lebih langsung dalam situasi-situasi interpersonal. Fokusnya adalah
mempraktekkan melalui permainan peran, kecakapan-kecakapan bergaul
yang baru diperolah sehingga individu-individu diharapkan mampu
mengatasi ketidakmemadaiannya dan belajar mengungkapkan perasaan-
perasaan dan pikiran-pikiran mereka secara lebih terbuka disertai
keyakinan bahwa mereka berhak untuk menunjukkan reaksi-reaksi yang
terbuka itu.
Selain itu Gunarsih (2007) menjelaskan pengertian latihan asertif
menurut Alberti yaitu prosedur latihan yang diberikan kepada klien untuk
melatih perilaku penyesuaian sosial melalui ekspresi diri dari perasaan,
sikap, harapan, pendapat, dan haknya.
Berdasarkan beberapa definisi diatas maka dapat disimpulkan bahwa
assertive training atau latihan asertif adalah prosedur latihan yang
diberikan untuk membantu peningkatan kemampuan mengkomunikasikan
apa yang diinginkan, dirasakan dan dipikirkan pada orang lain namun tetap
menjaga dan menghargai hak-hak serta perasaan orang lain.

2. Tujuan

Day (2008) menjelaskan bahwa assertive training membantu klien


belajar kemandirian sosial yang diperlukan untuk mengekspresikan diri
mereka dengan tepat. Sedangkan menurut Fauzan (2010) terdapat
beberapa tujuan assertive training yaitu:

a. Mengajarkan individu untuk menyatakan diri mereka dalam suatu cara


sehingga memantulkan kepekaan kepada perasaan dan hak-hak orang
lain;
b. Meningkatkan keterampilan behavioralnya sehingga mereka bisa
menentukan pilihan apakah pada situasi tertentu perlu berperilaku
seperti apa yang diinginkan atau tidak;
c. Mengajarkan pada individu untuk mengungkapkan diri dengan cara
sedemikian rupa sehingga terefleksi kepekaanya terhadap perasaan dan
hak orang lain;
d. Meningkatkan kemampuan individu untuk menyatakan dan
mengekspresikan dirinya dengan enak dalam berbagai situasi sosial;
e. Menghindari kesalahpahaman dari pihak lawan komunikasi.

Berdasarkan paparan diatas, dapat disimpulkan bahwa tujuan assertive


training adalah untuk melatih individu mengungkapkan dirinya,
mengemukakan apa yang dirasakan dan menyesuaikan diri dalam
berinteraksi tanpa adanya rasa cemas karena setiap individu mempunyai
hak untuk mengungkapkan perasaan, pendapat, apa yang diyakini serta
sikapnya. Dengan demikian individu dapat menghindari terjadinya
kesalahpahaman dalam berkomunikasi.
3. Manfaat
a. Melatih individu yang tidak dapat menyatakan kemarahan dan
kejengkelan
b. Melatih individu yang mempunyai kesulitan untuk berkata tidak
dan yang membiarkan orang lain memanfaatkannya
c. Melatih individu yang merasa bahwa dirinya tidak memiliki hak
untuk menyatakan pikiran, kepercayaan, dan perasaan-perasaannya
d. Melatih individu yang sulit mengungkapkan rasa kasih dan respon-
repon positif yang lain.
e. Meningkatkan penghargaan terhadap diri sendiri
f. Membantu untuk mendapatkan perhatian dari orang lain
g. Meningkatkan kemampuan dalam mengambil keputusan
h. Dapat berhubungan dengan orang lain dengan konflik,
kekhawatiran dan penolakan yang lebih sedikit

4. Tahapan Pelaksanaan
Pelaksanaan assertive training memiliki beberapa tahapan atau
prosedur yang akan dilalui ketika pelaksanaan latihan. Pada umumnya
teknik untuk melakukan latihan asertif, mendasarkan pada prosedur belajar
dalam diri seseorang yang perlu diubah, diperbaiki dan diperbarui. Masters
dalam Gunarsih (2007) meringkas beberapa jenis prosedur latihan asertif,
yakni:
a. Identifikasi terhadap keadaan khusus yang menimbulkan persoalan
pada klien.
b. Memeriksa apa yang dilakukan atau dipikirkan klien pada situasi
tersebut. Pada tahap ini, akan diberikan juga materi tentang perbedaan
perilaku agresif, asertif, dan pasif.
c. Dipilih sesuatu situasi khusus di mana klien melakukan permainan
peran (role play) sesuai dengan apa yang ia perlihatkan.
d. Di antara waktu-waktu pertemuan, konselor menyuruh klien melatih
dalam imajinasinya, respon yang cocok pada beberapa keadaan.
Kepada mereka juga diminta menyertakan pernyataan diri yang terjadi
selama melakukan imajinasi.
e. Konselor harus menentukan apakah klien sudah mampu memberikan
respon yang sesuai dari dirinya sendiri secara efektif terhadap keadaan
baru, baik dari laporan langsung yang diberikan maupun dari
keterangan orang lain yang mengetahui keadaan pasien atau klien.
BAB III
EVIDENCE BASED PRAKTICE: ASSERTIVE TRAINING THERAPY

A. Artikel 1: Peningkatan Kemampuan Asertif dan Penurunan Persepsi


Melalui Assertive Training Therapy pada Suami dengan Risiko KDRT
1. Identitas Artikel
Penulis : Nuniek Setyo Wardani1,2, Budi Anna Keliat3, Tuti
Nuraini3
Afiliasi : 1) Sekolah Tinggi Ilmu Keperawatan
Muhammadiyah Pontianak
2) Program Studi Magister Ilmu Keperawatan
Universitas Indonesia
3) Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas
Indonesia
Nama Jurnal : Jurnal Keperawatan Indonesia
Edisi : Vol.1 No.15
Tahun : 2012
URL : http://jki.ui.ac.id

2. Anilisis PICOT
Population : 60 orang istri dengan resiko kekerasan dalam
rumah tangga
Intervention : Assertive training therapy (ATT)
Comparation : Tidak ada
Outcome : Istri yang diberi ATT mempunyai kemampuan
asertif meningkat secara bermakna dan persepsi istri
terhadap risiko kekerasan dalam rumah tangga
suami lebih rendah dibandingkan yang tidak
diberikan ATT.
Time : 26 hari (6 sesi training)
3. Rangkuman Artikel
Peningkatan masalah dalam rumah tangga dengan kurangnya
pemecahan masalah yang baik memicu terjadinya kekerasan dalam rumah
tangga, baik pada usia pernikahan muda maupun tua. Tujuan penelitian
tersebut melihat pengaruh assertive training therapy (ATT) terhadap
kemampuan asertif dan persepsi istri terhadap risiko kekerasan dalam
rumah tangga suami. Desain penelitian Quasi Experimental Pre-Post Test
With Control Group, dengan sampel 60 orang istri dengan resiko kekerasan
dalam rumah tangga. Instrumen yang digunakan adalah lembar kuesioner
A (Data Demografi Keluarga), B (Kemampuan Asertif, 20 pertanyaan)
dan C (Persepsi Istri terhadap Perilaku Power dan Kontrol Suami, 15
pertanyaan). Pengumpulan data pre-test untuk tiap istri pada kelompok
yang mendapat Assertive Training Therapy (ATT) dilakukan sebelum sesi I
dan post-test dilakukan setelah sesi VI selesai untuk tiap responden
Hasil penelitian menunjukkan ATT berpengaruh meningkatkan
kemampuan asertif istri sebesar 86,9% dan persepsi istri terhadap risiko
kekerasan menurun 71,3 Peningkatan kemampuan asertif istri setelah
dilakukan terapi spesialis Assertive Training Therapy (ATT) pada
kelompok intervensi mengalami peningkatan dimana sebelum intervensi
dilakukan, kemampuan asertif istri berada pada kategori rendah-sedang.
Setelah dilakukan intervensi, kemampuan asertif istri tersebut meningkat
menjadi kategori tinggi. Assertive Training Therapy direkomendasikan
untuk istri dengan resiko kekerasan dalam rumah tangga.

B. Artikel 2: Efikasi Assertive Training Therapy Terhadap Sikap Asertif


Suami dan Resiko Kekerasan dalam Rumah Tangga di Bogor
1. Identitas Artikel
Penulis : Khusnul Aini 1, Budi Anna Keliat3, Tuti Nuraini2
Afiliasi : 1) Program Studi Ilmu Keperawatan, STIKes
Kuningan
2) Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia
Nama Jurnal : Jurnal Ners Widya Husada
Edisi : Vol.2 No.1
Tahun : 2014
URL : http://stikeswh.ac.id:8082/journal/index.php/jners

2. Anilisis PICOT
Population : 60 orang kepala rumah tangga
Intervention : Assertive training therapy (ATT)
Comparation : Tidak ada
Outcome : Hasil penelitian ini menunjukkan efikasi dari
terapi latihan asertif sebesar 67,4% dengan
peningkatan yang signifikan (p-value ˂ 0.05).
Sementara risiko kekerasan dalam rumah tangga
turun sebesar 29,6% dengan penurunan yang
signifikan (p-value ˂ 0.05).
Time : 6 sesi terapi asertive training

3. Rangkuman Artikel
Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap aktivitas yang
menyebabkan penderitaan secara fisik, seksual, psikologi, atau pengabaian
dalam keluarga. Secara umum dialami oleh perempuan oleh pasangannya.
Perilaku kekerasan ini sangat berbahaya yang bisa terjadi pada salah
seorang atau lebih dari anggota keluarga. Tujuan dari penelitian ini untuk
mengetahui efikasi pengaruh terapi latihan asertif terhadap kemampuan
asertif suami dan risiko kekerasan dalam rumah tangga. Desain penelitian
menggunakan Quasi Experiment Pre-Post test with Control Group.
Responden terdiri dari 60 orang kepala rumah tangga, 30 rang
mendapatkan terapi latihan asertif dan 30 orang hanya mendapatkan terapi
komunikasi generalis sebagai kelompok control.
Hasil penelitian ini menunjukkan efikasi dari terapi latihan asertif
sebesar 67,4% dengan peningkatan yang signifikan (p-value ˂ 0.05).
Sementara risiko kekerasan dalam rumah tangga turun sebesar 29,6%
dengan penurunan yang signifikan (p-value ˂ 0.05). Assertive Training
Therapy meningkatkan kemampuan asertif secara bermakna dan
menurunkan risiko KDRT secara bermakna. Karaktersistik umur, usia
menikah, usia pernikahan, pendidikan, pekerjaan, dan penghasilan tidak
mempengaruhi kemampuan asertif suami. Terapi latihan asertif
direkomendasikan pada suami dengan risiko kekerasan dalam rumah
tangga.

C. Artikel 2: Pengaruh Pelatihan Asertifitas dalam Mengurangi


Kecemasan pada Korban Tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga
1. Identitas Artikel
Penulis : Padmi Dhyah Yulianti
Afiliasi : Universitas PGRI Semarang
Nama Jurnal : Jurnal Penelitian Psikologi Pendidikan dan
Bimbingan
Edisi : Vol. 1 No. 1
Tahun : 2011
URL : http://journal,upgris.ac.id

2. Anilisis PICOT
Population : 63 Subjek penelitian
Intervention : Pelatihan asertivitas
Comparation : Tidak ada
Outcome : Terdapat perbedaan intensitas kecemasan subyek,
sebelum dan setelah pemberian pelatihan asertivitas.
Kecemasan subyek setelah dilakukan pemberian
pelatihan asertivitas menjadi berkurang atau lebih
rendah dibandingkan sebelum pemberian pelatihan
asertivitas.
Time : 6 sesi treatment pelatihan asertivitas

3. Rangkuman Artikel
Tindak kekerasan sebagaian besar dialami oleh perempuan dan anak –
anak, khususnya tindak kekerasan dalam rumah tangga. Korban tindak
kekerasan dalam rumah tangga, selain mengembangkan kecemasan dalam
dirinya, juga cenderung memiliki perilaku yang kurang asertif. Berpijak
bahwa keasertifan bukan merupakan faktor bawaan, melainkan merupakan
suatu keterampilan yang dapat dipelajari, maka dibutuhkan intervensi
untuk mengurangi kecemasan yang dialami oleh korban tindak kekerasan
dalam rumah tangga, yaitu melalui pelatihan asertivitas. Metode yang
dipergunakan dalam penelitian tersebut adalah eksperimen semu single
subject design. Pengumpulan data menggunakan teknik skala Impact of
Event Scale (IES), wawancara dan observasi. Data yang dipergunakan
bersifat kuantitatif dan kualitatif.
Berdasarkan analisis dari data kuantitatif dan kualitatif yang telah
dilakukan, diperoleh hasil bahwa terdapat perbedaan intensitas kecemasan
subyek, sebelum dan setelah pemberian pelatihan asertivitas. Kecemasan
subyek setelah dilakukan pemberian pelatihan asertivitas menjadi
berkurang atau lebih rendah dibandingkan sebelum pemberian pelatihan
asertivitas. Hal ini menunjukkan bahwa terapi pelatihan asertivitas mampu
mempengaruhi berkurangnya kecemasan pada subyek dalam hal ini
korban tindak kekerasan dalam rumah tangga.
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

Berdasarkan evidence based practice dari assertive training therapy yang


didapat dari 3 artikel menunjukan bahwa:

a. Assertive Training Therapy (ATT) meningkatkan kemampuan dan


menurunkan persepsi istri terhadap perilaku kekerasan dalam rumah tangga.
b. Assertive Training Therapy meningkatkan kemampuan asertif suami dan
menurunkan risiko KDRT.
c. Pelatihan asertivits dapat menurunkan tingkat kecemasan pada korban
tindak kekerasan dalam rumah tangga.

Berdasarkan evidence based practice, assertive training therapy pada


kasus KDRT dapat dilakukan dengan 6 sesi pelatihan yang dapat diberikan
pada istri dengan resiko kekerasan dalam rumah tangga, suami dengan
risiko kekerasan dalam rumah tangga, dan korban kecemasan yang
mengalami tindak kekerasan dalamrumah tangga.

B. Pembahasan
1. Kemampuan Asertif Istri dalam Mencegah KDRT
Kemampuan asertif pada istri adalah suatu tindakan yang dilakukan
dalam mengungkapkan ekspresi secara jujur, nyaman, dan tanpa adanya
kecemasan terhadap orang lain terutama dengan pasangannya (Sadock &
Sadock, 2005). Assertive Training Therapy (ATT) bertujuan membantu
merubah persepsi untuk meningkatkan kemampuan asertif individu,
mengekspresikan emosi, dan untuk membangun kepercayaan diri
seseorang (Alberti, & Emmons, 2001 dalam Lin, et al., 2008). Indikasi
Assertive Training Therapy adalah untuk melatih klien yang mengalami
kesulitan untuk menyatakan diri bahwa tindakannya adalah layak atau
benar. Latihan ini terutama berguna, diantaranya untuk membantu
individu yang tidak mampu mengungkapkan perasaan tersinggung,
kesulitan menyatakan tidak, merasa tertekan karena dominansi orang
lain (Alberti & Emmons, 2001 dalam Townsend, 2009). Komunikasi
yang asertif akan membantu seseorang untuk saling menghargai,
sehingga mampu berbicara dan percaya diri. Cara berkomunikasi seperti
ini akan juga mampu membantu seseorang untuk me- nyelesaikan konflik
dengan orang lain (Videbeck, 2010).

2. Efektifitas Assertive Training Therapy pada Suami terhadap


Penurunan Risiko KDRT

Kemampuan asertif suami sangat berkaitan dengan bagaimana suami


melakukan komunikasi dengan istrinya atau anggota keluarga yang lain.
Kejujuran antara suami istri bukan sesuatu yang mudah dilakukan, dimana
ada kekhawatiran akan melukai perasaan atau membahayakan hubungan
suami istri. Kondisi tersebut yang perlu dicarikan jalan keluar, sehingga
kejujuran bisa diterapkan dalam kehidupan suami istri, dengan tetap
memperhatikan perasaan pasangan. Penanganan masalah KDRT, salah
satunya dengan pemberian Assertive Training Therapy pada suami
merupakan pencegahan terjadinya KDRT.

Penelitian yang dilakukan Sasmor (2009) menyatakan bahwa assertive


training therapy pada pasangan suami istri dapat menurunkan perilaku
pasif dan agresif dan meningkatkan perilaku asertif pada pasangan.
Assertive training therapy akan lebih efektif jika diberikan pada pasangan
suami istri secara bersamaan, sehingga suami dan istri sama-sama
mendapatkan pembelajaran bagaimana berperilaku asertif terhadap
pasangan. Pada Assertive Training Therapy juga dilatih bagaimana cara
suami menyampaikan perbedaan pendapat dengan istri, perbedaan
pendapat antara suami dan istri bukan sesuatu yang harus dihindari, tetapi
harus disampaikan dengan cara yang baik dan santun sehingga pasangan
tidak merasa tersinggung.
3. Pelatihan Asertivits pada terhadap Kecemasan pada Korban KDRT

Pada korban tindak kekerasan dalam rumah tangga,


pengalaman kekerasan ditafsirkan secara negatif sehingga
mempengaruhi pikiran, emosi dan perilaku yang berhubungan dengan
orang lain serta selanjutnya mendorong munculnya simptom
kecemasan. Dengan adanya treatment berupa pelatihan asertivitas
selama enam sesi (terdiri dari sesi kesadaran diri, mengenal kekerasan
dalam rumah tangga, mengenal perilaku pasif, asertif dan agresif,
latihan ketrampilan verbal dan non verbal, mengatakan tidak dan sesi
evalusi.) mengubah sistem kepercayaan subjek yang semula irasional
menjadi rasional dan subjek mengenali cara mengatasi kecemasan
melalui pelatihan asertivitas. Faktor pendukung subjek dalam
penerapan mengurangi kecemasan melalui pelatihan asertivitas
meliputi subjek merasa lega telah menyampaikan perasaan dan
pemikirannya secara jujur, keberanian untuk bertemu dengan pelaku,
munculnya perasaan senang, subjek semakin menyadari potensi diri
dan merasa lebih percaya diri.

4. Implementasi Assertive Training Therapy pada Tindakan Asuhan


Keperawatan pada Kasus KDRT

Hasil dari evidence based practice, Assertive Training Therapy


dapat dijadikan intervensi dalam asuhan keperawatan yaitu sebagai
tindakan pencegahan risiko tindakan kekerasan dalam rumah tangga
yaitu dengan memberikan terapi individu baik istri ataupun suami
untuk membangun koping yang adaptif. Selain itu juga, Assertive
Training Therapy dapat dilakukan sebagai intervensi keperawatan
dalam menangani kecemasan korban yang mengalami tidak kekerasan
dalam rumah tangga.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan evidence based practice dari assertive training therapy yang
didapat dari 3 artikel menunjukan bahwa:
a. Assertive Training Therapy (ATT) meningkatkan kemampuan dan
menurunkan persepsi istri terhadap perilaku kekerasan dalam rumah tangga.
b. Assertive Training Therapy meningkatkan kemampuan asertif suami dan
menurunkan risiko KDRT.
c. Pelatihan asertivits dapat menurunkan tingkat kecemasan pada korban
tindak kekerasan dalam rumah tangga.

Assertive Training Therapy dapat dijadikan intervensi dalam asuhan


keperawatan yaitu sebagai tindakan pencegahan risiko tindakan kekerasan
dalam rumah tangga dan sebagai intervensi keperawatan dalam menangani
kecemasan korban yang mengalami tidak kekerasan dalam rumah tangga.

B. Saran

Perlunya sosialisasi terhadap masyarakat dalam konteks keluarga, bahwa


komunikasi asertif perlu diberikan untuk meminimalkan risiko KDRT dan
meningkatkan kemampuan asertif anggota keluarganya. Perawat CMHN di
diharapkan memotivasi masyarakat yang telah dilatih Assertive Training
Therapy untuk mempertahankan perilaku asertif yang telah dilatih, sehingga
kemampuan asertifnya dapat dipertahankan dan KDRT tidak terjadi.
DAFTAR PUSTAKA

Aini, K., dkk. 2014. Efikasi Assertive Training Therapy Terhadap Sikap Asertif
Suami dan Resiko Kekerasan dalam Rumah Tangga di Bogor. Jurnal Ners
Widya Husada: Universitas Widya Husada Semarang
Corey, Gerald. 2007. Teori dan Praktek Konseling & Psikoterapi. Bandung:PT
Refika Aditama
Dharmono, S & Diatri, H (2008). Kekerasan dalam rumah tangga dan dampaknya
terhadap kesehatan jiwa. Jakarta : Balai Penerbit FK-UI.
Faiz (2009). Perlindungan terhadap perempuan melalui Undang-Undang
kekerasan dalam rumah tangga : analisis perbandingan antara Indonesia dan
India. Thesis.
Hawari, D (2009). Penyiksaan fisik dan mental dalam rumah tangga. Jakarta :
Balai Penerbit FK-U
Sadock, B.J., & Sadock, V.A. (2005). Kaplan and Sadock’s comprehensive
textbook of psychiatry (8th Ed.). Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkin’s
Stuart, G.W (2009). Principles and practice of psychiatric nursing. (9th ed). St.
Louis : Mosby
Stuart, G.W., & Mc Donald, S.F. (2009). Virtual clinical excurtions psychiatric
for principles and practice of psychiatric nursing (9th Ed.). San Diego:
Mosby Elsevier
Walker (2005). Cycle abuse. Project making medicine. Centre on child abuse and
neglect. University of Oklahoma
Wardani, Nuniek S., dkk. 2012. Peningkatan Kemampuan Asertif dan Penurunan
Persepsi Melalui Assertive Training Therapy pada Suami dengan Risiko
KDRT. Jurnal Kepetawatan Indonesia: Universitas Indonesia
Yulianti,Padmi D. 2011. Pengaruh Pelatihan Asertifitas dalam Mengurangi
Kecemasan pada Korban Tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Jurnal
Penelitian Psikologi Pendidikan dan Bimbingan: Universitas PGRI Semarang
Yusuf, AH., dkk. 2015. Buku Ajar Keperawayan Kesehatan Jiwa. Jakarta:
Salemba Medika
Townsend, M.C. (2009). Psychiatric mental health nursing: Concepts of care in
evidence-based parctice. Philadelphia: F.A. Davis Company

Anda mungkin juga menyukai