Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH

Asuhan Keperawatan Transkultural Pada Daerah


Sulawesi Tenggara

Disusun Oleh :

Anisa Azizah (2720160079)

Universitas Islam As-Syafiyah


Alamat : Jl. Jatiwaringin Raya no. 12. Pondok Gede. Kota Bekasi. Jawa Barat. 17411.
STUDI KASUS BUDAYA

A. Kajian atau Deskripsi Budaya Masyarakat Suku Bajo di Pulau Saponda


Suku Bajo adalah salah satu suku yang mendiami pulau Sulawesi.
Konon Suku Bajo berasal dari Laut Cina Selatan. Ada yang menyebutkan nenek
moyang mereka berasal dari Johor, Malaysia. Mereka keturunan orang-orang Johor atau
keturunan Suku Sameng yang ada di semananjung Malaka Malaysia yang diperintahkan
raja untuk mencari putrinya yang kabur dari istana. Orang-orang tersebut mengarungi
lautan ke sejumlah tempat sampai ke Pulau Sulawesi. Kabarnya sang puteri berada di
Sulawesi, menikah dengan pangeran Bugis kemudian menempatkan rakyatnya di
daerah yang sekarang bernama Bajoe. Sedangkan orang-orang yang mencarinya juga
lambat laun memilih tinggal di Sulawesi, enggan kembali ke Johor. Keturunan mereka
lalu menyebar ke segala penjuru wilayah Indonesia semenjak abad ke-16 dengan
perahu. Itulah sebabnya mereka digolongkan suku laut nomaden atau manusia perahu
(seanomedic).
Suku ini dominan menempati pesisir pantai dan kepulauan, memiliki usaha
penangkapan ikan sebagai mata pencaharian. Ketergantungan mereka dengan laut
sangat tinggi. Budaya dan cara hidup mereka masih lekat dengan aroma laut. Selain itu,
suku Bajo terkenal akrab dengan suku-suku yang lain. Contohnya saja dengan suku
Bugis. Dengan keakrabannya tersebut, mereka memiliki mobilitas yang tinggi. Jumlah
manusia Bajo hidup tersebar diberbagai pulau di Indonesia, namun belum dapat
diketahui dengan baik karena sejak lama mereka berpindah-berpindah dari satu tempat
ke tempat lainnya. Keluarga manusia Bajo dahulu lebih banyak hidup di atas perahu
yang mereka sebut bido. Mereka melakukan berbagai kegiatan hidup seperti tidur,
memasak, melahirkan, dan kegiatan yang lainnya di atas perahu. Meskipun manusia
Bajo terpisah di tempat-tempat yang berjarak puluhan atau ratusan kilometer, hubungan
kekeluargaan mereka masih tetap terjaga dalam tingkat keakraban tertentu. Suku Bajo
menyukai perdamaian dan menghindari perkelahian. Oleh sebab itu, mereka bersikap
pasif terhadap tekanan atau pemerasan dari pihak luar.
Manusia Bajo memang dikenal sebagai manusia laut dengan karakteristik
masyarakat nelayan dan pengembara lautan. Pada awalnya hidup mereka berpindah-
pindah dari satu tempat ke tempat lainnya dengan alat perahu dan sekaligus sebagai
tempat tinggalnya. Keadaan tersebut berlangsung sejak dahulu sampai kira-kira seabad
yang lalu. Kemudian mereka mengenal kehidupan yang menetap dipinggir pantai.
Mereka mulai mengenal dan memiliki tanah sehingga sedikit demi sedikit
meninggalkan kebiasaan sederhana yang membangun di atas air. Sebagian dari mereka
membuat tumpukan batu karang yang di atasnya dapat ditempati membuat rumah.
Suku Bajo dalam kehidupannya hanya mengenal dua kelompok manusia, yaitu
Same dan Bagai. Same adalah sebutan semua orang Bajo, sedangkan Bagai adalah
sebutan semua orang di luar suku Bajo seperti suku Bugis, Sunda, Jawa, Batak, dan
sebagainya. Dari sisi kehidupan sosial, mereka sangat menghormati nilai-nilai sosial
budaya masyarakat Bagai bahkan manusia Bajo mudah beradaptasi dengan nilai-nilai
budaya masyarakat dimana mereka berada. Sifat mudah beradaptasi menjadi bukti sikap
hidup toleran dalam komunitas mereka dan hal inilah yang menjadi kunci keberhasilan
mereka sehingga dapat hidup berdampingan dengan masyarakat Bagai.
Suku Bajo yang mendiami pulau Saponda memiliki kebudayaan dan tradisi yang
memperkaya khazanah kebudayaan Indonesia. Salah satunya adalah budaya khitanan
yang oleh masyarakat setempat disebut sunna’ sama. Khitanan ini tidak ada perbedaan
dengan khitanan yang ada pada suku Bajo lainnya di daerah lain. Kecuali satu hal yang
membuat tradisi khitanan masyarakat Saponda ini kelihatan unik. Jika anak laki-laki
Bajo lainnya yang ada di Kecamatan Soropia dikhitan menggunakan jasa bidan atau
perawat, anak-anak Pulau Saponda justru harus khitanan tanpa tenaga ataupun peralatan
medis. Hal ini merupakan budaya dan tradisi yang terus dilestarikan oleh masyarakat
Bajo di pulau yang sudah mulai mengalami abrasi ini.
Peralatan yang digunakan dalam sunna’ sama ini jelas sangat berbeda dengan
peralatan yang digunakan oleh para bidan atau perawat. Di pulau Saponda ini tidak
akan menemukan peralatan-peralatan kesehatan, apalagi obat untuk mengurangi rasa
sakit. Mereka menggunakan pahat yang berfungsi untuk menggantikan gunting, dua
buah hansaplast sebagai pengganti plester, palu-palu yang terbuat dari kayu, dan balok
yang digunakan sebagai alas ketika proses khitanan berlangsung. Peralatan ini memang
sangat sederhana, tapi terlihat sangat menakutkan bagi anak-anak yang akan dikhitan.
Sebelum proses khitanan berlangsung, seorang pemuka adat yang akan
melakukan khitanan terlebih dulu berdoa agar tidak terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan. Semua peralatan yang akan digunakan dikumpulkan dan diletakkan menjadi
satu di hadapan pemuka adat untuk dibacakan doa.
Memukul gendang ketika proses khitanan berlangsung merupakan ritual yang
wajib untuk dilaksanakan. Dan pukulan gendang ini tidak boleh berhenti sebelum anak-
anak tersebut selesai dikhitan. Hal ini dipercayai masyarakat setempat untuk
mengurangi rasa sakit.
Selain itu, ada satu hal yang membuat sunna’ sama ini memiliki nilai lebih.
Walaupun tidak ada obat untuk mengurangi rasa sakit, tetapi proses penyembuhan luka
lebih cepat daripada yang menggunakan tenaga medis.

B. Pengkajian Transcultural Nursing


Pengkajian Transcultural Nursing didasari pada 7 komponen yang terdapat pada
“Sunrise Model”, yaitu:
a. Faktor Teknologi (Technologi Factors)
Kelengkapan sangat berpengaruh dalam memberikan pelayanan kesehatan.
Fasilitas juga menentukan beban kerja seorang petugas kesehatan dalam memberikan
pelayanan kesehatan. Ketersediaan fasilitas dan sarana kesehatan menjadi salah satu
faktor yang dapat mendorong atau memotivasi masyarakat untuk melakukan upaya
pengobatan. namun lain halnya dengan masyarakat suku Bajo, meskipun mereka sudah
mengenal dan mempunyai alat-alat medis dan tenaga medis yang cukup lengkap,
mereka tetap memegang teguh budaya khitanan untuk anak-anak mereka.

b. Faktor Agama dan Falsafah Hidup (Religious and Philosophical Factors)


Pada awalnya, suku Bajo memeluk kepercayaan animisme dan agama Hindu.
Namun, seiring ajaran agama Islam masuk yang dibawa oleh Sunan Prapen (cucu
Sunan Giri), banyak masyarakat Bajo yang berpindah agama. Karena agama mereka
Islam, bagi yang berjenis kelamin laki-laki maka harus dilakukan khitan. Namun,
khitanan ini dilakukan tanpa menggunakan alat-alat medis.
Suku Bajo beranggapan bahwa dukun mampu menyelesaikan masalah sehat-
sakit karena mereka mengetahui dukun telah banyak menyembuhkan masyarakat yang
sakit.

c. Faktor Sosial dan Keterikatan Keluarga (kinship and Social Factors)


Masyarakat suku Bajo merupakan homogenitas etnik yang penuh didasari
hubungan kekeluargaan, kekerabatan, gotong royong, dan menghindari konflik. Selain
itu, suku Bajo yang sebagian besar mata pencahariannya adalah nelayan mereka sangat
menggantungkan hidupnya pada laut memiliki relasi sosial dengan pemilik modal
(punggawa) tidak hanya berdimensi patron klien, tetapi juga simbiosis mutualisme
(hubungan saling menguntungkan). Contohnya saja pada upacara khitanan di pulau
Saponda, ketika upacara khitanan dilaksanakan banyak masyarakat yang ikut
memeriahkan upacara tersebut dari pemuka adat untuk membacakan doa sampai
masyarakat yang ikut memeriahkan dengan memukul gendang.

d. Nilai-Nilai Budaya dan Gaya Hidup (Cultural Value and Life Ways)
Masyarakat suku Bajo di pulau Saponda ini memiliki nilai budaya yang sangat
unik dan beda dari suku Bajo di daerah lain. Mereka memiliki sebuah budaya dalam
proses khitanan yang dikenal dengan sunna’ sama. Khitanan ini diketahui tidak
menggunakan alat-alat medis. Oleh karena itu, risiko infeksi yang terjadi cukup tinggi.

e. Faktor Kebijakan dan Peraturan yang Berlaku (Political and Legal Factors)
Masyarakat suku Bajo di Pulau Saponda mempunyai sebuah peraturan adat
yang tidak boleh untuk tidak dilakukan, yaitu meng-khitan anak laki-laki mereka
sebelum memasuki akil baligh. Peraturan inipun sebenarnya dilakukan berdasarkan
agama yang mereka anut, yakni islam, namun cara yang mereka lakukan masih
dianggap menyimpang jika dilihat dari segi kesehatan.

f. Faktor Ekonomi (Economical Factors)


Pendapatan merupakan salah satu faktor yang memberikan konstribusi terhadap
pemanfaatan pelayanan kesehatan. Menurut penelitian yang dilakukan Barlin Adam,
Darmawansyah, dan Masni, sebagian besar pendapatan masyarakat suku Bajo per bulan
< 650 ribu sebanyak 158 responden (41,7%), dan yang terkecil yakni 650 ribu yaitu
sebanyak 77 responden (20,3%). Artinya pendapatan masyarakat suku Bajo per bulan
dibawah UMR Rp 650.000. Hal ini disebabkan karena rendahnya tengkulat atau penada
hasil tangkapan dan juga disebabkan oleh faktor alat penangkap ikan dan teripang yang
digunakan, seperti perahu dan alat pancing yang digunakan.
Jarak antara tempat tinggal suku Bajo dengan tempat pelayanan kesehatan
sangat jauh yaitu lebih dari 60 menit sehingga pada umumnya masyarakat suku Bajo
tidak mampu pergi ke tempat pelayanan kesehatan tersebut. selain itu, transportasi
untuk mencapai tempat tersebut sangat sulit dan jalannya rusak. Biaya transportasinya
pun cukup mahal yaitu sekitar Rp 20.000, menurut masyarakat suku Bajo ini sangat
mahal sehubungan dengan pendapatan mereka.
Masyarakat sebenarnya sudah tahu manfaat dari pelayanan kesehatan, hanya
saja karena faktor jarak dan faktor ekonomi mereka sehingga pengguanaan sarana
pelayanan kesehatan tersebut jarang didayagunakan oleh masyarakat.
Selain karena faktor ekonomi dan geografis, masyarakat suku Bajo melakukan
khitanan dengan alat nonmedis dengan alasan budaya dan tradisi yang terus dilestarikan
oleh masyarakat tersebut.

g. Faktor Pendidikan (Educational Factors)


Tingkat pendidikan masyarakat suku Bajo sangat rendah. Banyak masyarakat
suku pengembara laut ini yang masih buta huruf. Budaya fasalitik juga masih melekat
kuat dalam kepribadian mereka seperti kurang kreatif dan produktif, cepat puas dengan
apa yang diperoleh, pasrah pada nasib, sikap konsumtif dan boros. Faktor pendidikan
suku ini masih sangat rendah karena kehidupan mereka hanya diabdikan pada laut,
mereka tidak mempunyai kesempatan untuk belajar sehingga suku Bajo dekat dengan
kemiskinan.
Akibat pendidikan mereka yang rendah, pengetahuan merekapun tidak bisa
berkembang. Mereka tidak mengerti apa yang telah dilakukan mereka itu kurang benar.
Anggapan mereka tentang infeksi adalah hanya sebatas infeksi itu terjadi akibat
kurangnya menjaga kebesihan alat kelamin setelah dilakukan proses khitanan, mereka
tidak berfikir bahwa alat-alat yang mereka gunakan bisa saja menjadi faktor terjadinya
infeksi tersebut.

C. Diagnosis Keperawatan Lintas Budaya


a. Kecemasan dalam menghadapi khitanan berhubungan dengan proses khitan yang
menggunakan alat tradisional, yakni pahat dan palu sebagai pengganti gunting dan
balok sebagai alas untuk khitan.
b. Risiko tinggi terjadinya infeksi berhubungan dengan penggunaan alat khitan yang
tidak sesuai dengan standar kesehatan.
c. Kurangnya pengetahuan berhubungan dengan keterbatasan akses informasi dan
rendahnya pendidikan.
d. Nyeri akut berhubungan dengan proses khitan yang menggunakan alat tradisional
dengan tanpa adanya obat penghilang rasa sakit yang digunakan.
e. Risiko terjadinya trauma berhubungan dengan ketakutan anak dalam menjalani
proses khitan yang menggunakan alat tradisional.
f. Risiko kerusakan integritas kulit berubungan dengan proses khitanan yang
menggunakan alat taradisional berupa pahat dan palu sebagai pengganti gunting dan
balok sebagai alas.

D. Perencanaan Keperawatan Lintas Budaya


Diagnosa keperawatan Kriteria Hasil (NOC) Intervensi (NIC)
a. Kecemasan dalam Klien menyatakan 1. Buat hubungan saling
menghadapi khitanan peningkatan kenyamanan percaya
berhubungan dengan psikologis dan fisiologis. 2. Kaji tingkat ansietas: ringan,
proses khitan yang sedang, berat, panik
menggunakan alat Setelah dilakukan 3. Berikan kenyamanan pada
tradisional, yakni pahat tindakan keperawatan, klien: dampingi klien,
dan palu sebagai diharapkan klien akan perlihatkan rasa empati.
pengganti gunting dan dapat: 4. Ajarkan teknik penghentian
balok sebagai alas untuk1. Menggambarkan ansietas ansietas: nafas dalam,
khitan. dan pola kopingnya pengalihan perhatian
2. Menggunakan 5. Libatkan orangtua dalam
mekanisema koping yang mengurangi kecemasan anak
efektif
b. Risiko tinggi terjadinya Klien dapat menjelaskan1. Kaji adanya tanda infeksi
infeksi berhubungan faktor resiko yang 2. Lakukan perawatan luka
dengan penggunaan alat berkaitan dengan infeksi dengan baik dan tepat
khitan yang tidak sesuai dan mencegah terjadinya3. ajarkan tekhnik perawatan
dengan standar infeksi. luka dengan benar
kesehatan. 4. anjurkan kepada keluarga
Setelah dilakukan dan pasien untuk melapor
tindakan keperawatan, pada tenaga kesehatan jika
klien diharapkan terjadi tanda infeksi
mampu: 5. berikan diet tinggi protein
1. Menggambarkan proses untuk mempercepat proses
terjadinya infeksi penyembuhan
2. Menjelaskan penyebab
terjadinya infeksi
3. Mengetahui tanda-tanda
terjadinya infeksi
c. Kurangnya Klien dapat melakukan 1. Kaji tingkat pengetahuan
pengetahuan tentang metode khitan dengan klien tentang metode khitan
metode khitan tepat dan baik. 2. Kaji lingkungan sekitar klien
berhubungan dengan 3. Fasilitasi segala pertanyaan
keterbatasan akses Setelah dilakukan dan akses untuk
informasi dan rendahnya tindakan keperawatan, mendapatkan informasi
pendidikan. klien diharapkan mampu:4. Kaji efektifitas penyediaan
1. Menyebutkan alat-alat akses informasi
yang sesuai standar 5. Pantau minat klien dalam
kesehatan yang mengakses informasi
digunakan dalam proses
khitan
2. Menjelaskan dan
mempraktekkan metode
khitan yang benar

E. Pendekatan atau Teknik Transcultural Nursing


E.1 Komunikasi
Dalam pengkajian keperawatan lintas budaya, tentunya kita akan menemukan
berbagai macam bahasa yang berbeda di tiap budaya. Untuk dapat berkomunikasi
dengan baik dan mampu masuk ke dalam sebuah kebudayaan, kita sebagai perawat
lintas budaya tentunya harus bisa mempelajari teknik-teknik komunikasi di dalam
suatu budaya tersebut. Dalam hal ini, suku Bajo diketahui menggunakan bahasa
melayu, namun bahasa melayu yang digunakan tidak seperti bahasa melayu yang
digunakan oleh warga negara Malaysia. Selain itu, masyarakat suku Bajo mayoritas
masih buta huruf karena rendahnya tingkat pendidikan mereka. Jadi ketika kita masuk
ke wilayah mereka, tentunya kita tidak bisa menggunakan komunikasi dengan tulisan.
E.2 Strata Sosial
Suku Bajo dalam kehidupannya hanya mengenal dua kelompok manusia, yaitu
Same dan Bagai. Same adalah sebutan semua orang Bajo, sedangkan Bagai adalah
sebutan semua orang di luar suku Bajo seperti suku Bugis, Sunda, Jawa, Batak, dan
sebagainya. Dari sisi kehidupan sosial, mereka sangat menghormati nilai-nilai sosial
budaya masyarakat Bagai bahkan manusia Bajo mudah beradaptasi dengan nilai-nilai
budaya masyarakat dimana mereka berada. Sifat mudah beradaptasi menjadi bukti sikap
hidup toleran dalam komunitas mereka dan hal inilah yang menjadi kunci keberhasilan
mereka sehingga dapat hidup berdampingan dengan masyarakat Bagai.
E.3 Ruang
Manusia Bajo dikenal sebagai manusia laut dengan karakteristik masyarakat
nelayan dan pengembara lautan. Pada awalnya hidup mereka berpindah-pindah dari
satu tempat ke tempat lainnya dengan alat perahu dan sekaligus sebagai tempat
tinggalnya. Keadaan tersebut berlangsung sejak dahulu sampai kira-kira seabad yang
lalu. Kemudian mereka mengenal kehidupan yang menetap dipinggir pantai. Mereka
mulai mengenal dan memiliki tanah sehingga sedikit demi sedikit meninggalkan
kebiasaan sederhana yang membangun di atas air. Sebagian dari mereka membuat
tumpukan batu karang yang di atasnya dapat ditempati membuat rumah.

Anda mungkin juga menyukai