Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH

PERAWATAN PADA KELOMPOK RENTAN


DALAM KEPERAWATAN BENCANA
(LANSIA, WANITA HAMIL, ANAK-ANAK, ORANG DENGAN
PENYAKIT KRONIS, DISABILITAS, SAKIT MENTAL)

DOSEN PEMBIMBING :
NS. PIPIN YUNUS, M.KEP

DISUSUN OLEH
KELOMPOK 1

1. ANISA RADJAB
2. AMELIA PAKAYA
3. DIAN PUTRI ANGGRAINI
4. FEBRIANI R. KARIM
5. FIRANTI NUR DJAFAR
6. FITRANANDA NAPU
7. FRISKAWATY S. AHMAD
8. IJUL ADHI SATRIA
9. LILIS NUGRAWATI
10. MIRA YUNUS ZAKARIA
11. RAHMITIYA NADJAMUDIN
12. SITI NURAIN DUNGGIO
13. SULTIKA KALUKU

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH GORONTALO
2021
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Subahanna
Huwataallah karena berkat rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan penyusunan makalah tepat pada waktunya dengan judul Perawatan
Pada Kelompok Rentan Dalam Keperawatan Bencana (Lansia, Wanita Hamil,
Anak-Anak, Orang Dengan Penyakit Kronis, Disabilitas, Sakit Mental).

Dalam kesempatan ini tidak lupa penulis menyampaikan banyak–banyak


terimakasih kepada Bapak Ns. Pipin Yunus, M.Kep sebagai dosen pembimbing
mata kuliah Keperawatan Bencana, yang telah memberikan bimbingan, arahan
dan masukan selama masa perkuliahan kepada kami. Tak lupa pula penulis
sampaikan banyak terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis
dalam penyelesaian makalah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan dan penulisan makalah ini
masih jauh dari kata sempurna. Hal ini tentunya disebabkan karena kemampuan
dan keterbatasan penulis. Oleh karena itu penulis menerima dengan tangan
terbuka segala kritik dan saran yang bersifat membangun untuk perbaikan dan
penulisan makalah di masa yang akan datang.

Gorontalo, 20 November 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................. i

DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii

BAB I ...................................................................................................................... 1

PENDAHULUAN .................................................................................................. 1

1.1 Latar Belakang ............................................................................................. 1

1.2 Rumusan Masalah ........................................................................................ 2

1.3 Tujuan………………...…………………………………………………….2

1.4 Manfaat…………………………………………...………………………...2

BAB II ..................................................................................................................... 3

PEMBAHASAN ..................................................................................................... 3

2.1 Pengertian Kelompok Rentan....................................................................... 3

2.2 Populasi Kelompok Rentan di Indonesia ..................................................... 4

2.3 Identifikasi Kelompok Beresiko................................................................... 5

2.4 Perawatan Yang Sesuai Untuk Kelompok Rentan ....................................... 9

2.5 Sumber Daya yang Tersedia Dilingkungan untuk Kebutuhan Kelompok


Beresiko…………………………………………………………………………..20

2.6 Lingkungan yang Sesuai dengan Kebutuhan Kelompok Beresiko ............ 21

2.7 Peran Perawat Pada Bencana ..................................................................... 22

BAB III ................................................................................................................. 25

PENUTUP ............................................................................................................. 25

3.1 Kesimpulan................................................................................................. 25

3.2 Saran………………………………………………………………………25

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 26

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Berbagai bencana telah menimbulkan korban dalam jumlah yang besar.
Banyak korban yang selamat menderita sakit dan cacat. Rumah, tempat kerja,
ternak, dan peralatan menjadi rusak atau hancur. Korban juga mengalami dampak
psikologis akibat bencana, misalnya - ketakutan, kecemasan akut, perasaan mati
rasa secara emosional, dan kesedihan yang mendalam. Bagi sebagian orang,
dampak ini memudar dengan berjalannya waktu. Tapi untuk banyak orang lain,
bencana memberikan dampak psikologis jangka panjang, baik yang terlihat jelas
misalnya depresi, psikosomatis (keluhan fisik yang diakibatkan oleh masalah
psikis) ataupun yang tidak langsung: konflik, hingga perceraian.
Beberapa gejala gangguan psikologis merupakan respons langsung
terhadap kejadian traumatik dari bencana. Namun gejala-gejala yang lain juga
akan menyusul, ini adalah dampak tidak langsung dan bersifat jangka panjang
yang dapat mengancam berbagai golongan terutama kelompok yang rentan yaitu
anak-anak, remaja, wanita dan lansia.
Dalam banyak kasus, jika tidak ada intervensi yang dirancang dengan baik,
banyak korban bencana akan mengalami depresi parah, gangguan kecemasan,
gangguan stress pasca-trauma, dan gangguan emosi lainnya. Bahkan lebih dari
dampak fisik dari bencana, dampak psikologis dapat menyebabkan penderitaan
lebih panjang, mereka akan kehilangan semangat hidup, kemampuan social dan
merusak nilai-nilai luhur yang mereka miliki.
Menurut Departeman Hukum dan Hak Asasi Manusia,kelompok rentan
adalah semua orang yang menghadapi hambatan atau keterbatasan dalam
menikmati standar kehidupan yang layak bagi kemanusiaan dan berlaku umum
bagi suatu masyarakat yang berperadaban. Jadi kelompok rentan dapat
didefinisikan sebagai kelompok yang harus mendapatkan perlindungan dari
pemerintah karena kondisi sosial yang sedang mereka hadapi.Konteks kerentanan
merujuk kepada situasi rentan yang setiap saat dapat mempengaruhi atau
membawa perubahan besar dalam penghidupan masyarakat.Setiap orang yang

1
termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan
perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya. Kelompok masyarakat
yang rentanadalah orang lanjut usia, anak-anak, perempuan, dan penyandang
cacat. Dalam konteks ini, kita akan membicarakan lebih rinci mengenai perawatan
kelompok rentan pra, saat dan pasca terjadinya bencana dalam makalah kami yang
berjudul Perawatan Pada Kelompok Rentan.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan kelompok rentan?
2. Bagaimanakah mengidentifikasi masalah pada kelompok rentan?
3. Apa sajakah tindakan yang sesuai dengan kelompok rentan?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan kelompok rentan
2. Untuk mengetahui cara mengidentifikasi masalah pada kelompok rentan
3. Untuk mengetahui tindakan yang sesuai dengan kelompok rentan
1.4 Manfaat
Manfaat Penulisan makalah ini, untuk membantu para pembaca baik itu
masyarakat maupun tenaga kesehatan agar lebih memahami perawatan pada
kelompok rentan karena hal tersebut sangat penting dalam kehidupan sehari-hari
sebagai dan dalam mitigasi bencana.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Kelompok Rentan


Menurut UU No 24/2007, pasal 55, ayat 2 Kelompok rentan dalam situasi
bencana adalah individu atau kelompok yang terdampak lebih berat diakibatkan
adanya kekurangan dan kelemahan yang dimilikinya yang pada saat bencana
terjadi menjadi beresiko lebih besar, meliputi: bayi, balita, dan anak-anak; ibu
yang sedang mengandung / menyusui; penyandang cacat (disabilitas); dan orang
lanjut usia.
Pada dasarnya pengertian mengenai kelompok rentan tidak
dijelaskansecara rinci. Hanya saja dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 pasal 5 ayat3
dijelaskan bahwa setiap orang yang termasuk kelompok masyarakatyang rentan
berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan
kekhususannya. Kelompok masyarakat yang rentan adalah orang lanjut usia,
anak-anak, fakir miskin, wanita hamil, danpenyandang cacat. Sedangkan menurut
Human Rights Reference yang dikutipoleh Iskandar Husein disebutkan bahwa
yang tergolong ke dalam kelompok rentan adalah:
1) Refugees (pengungsi)
2) Internally Displaced Persons (IDPs) adalah orang-orang yang terlantar/
pengungsi
3) National Minorities (kelompok minoritas)
4) Migrant Workers (pekerja migrant)
5) Indigenous Peoples (orang pribumi/ penduduk asli dari tempat
pemukimannya)
6) Children (anak)
7) Women (Perempuan)
Menurut Departeman Hukum dan Hak Asasi Manusia, kelompok rentan
adalah semua orang yang menghadapi hambatan atau keterbatasan dalam
menikmati standar kehidupan yang layak bagi kemanusiaan dan berlaku umum
bagi suatu masyarakat yang berperadaban. Jadi kelompok rentan dapat

3
didefinisikan sebagaikelompok yang harus mendapatkan perlindungan dari
pemerintah karena kondisi sosial yang sedang mereka hadapi.
Kamus Besar Bahasa Indonesia merumuskan pengertian rentan sebagai:
(1) mudah terkena penyakit dan, (2) peka, mudah merasa. Kelompok yang lemah
ini lazimnya tidak sanggup menolong diri sendiri, sehingga memerlukan bantuan
orang lain. Selain itu, kelompok rentan juga diartikan sebagai kelompok yang
mudah dipengaruhi. Pengertian kedua merupakan konsekuensi logis dari
pengertian yang pertama, karena sebagai kelompok lemah sehingga mudah
dipengaruhi.

2.2 Populasi Kelompok Rentan di Indonesia


Populasi kelompok rentan di Indonesia yang terdiri dari bayi, balita, dan
anak-anak, ibu yang sedang mengandung atau menyusui dan lansia menurut data
profil kesehatan Indonesia digambarkan pada tabel. Dari data tersebut dapat
dilihat bahwa kelompok rentan terbesar di Indonesia adalah anakanak dan
diurutan kedua adalah lansia. Anak-anak merupakan segmen terbesar dari
populasi negara berkembang dan seringkali menjadi korban pertama pada saat
bencana (Martin,2010 dalam Muzenda, 2016).
Seiring dengan keberhasilan pembangunan diberbagai bidang terutama
bidang kesehatan juga berdampak pada meningkatnya usia harapan hidup di dunia
termasuk di Indonesia. Usia harapan hidup merupakan salah satu indikator
keberhasilan pembangunan kesehatan yang ditandai dengan semakin besarnya
usia harapan hidup penduduknya. Dibalik keberhasilan meningkatkan usia
harapan hidup tersebut terdapat tantangan berupa angka beban tanggungan hidup
semakin besar, serta populasi kelompok rentan yang juga meningkat (Kemenkes,).
WHO dalam 10 facts on ageing and the life course menjelaskan
perkembangan kelompok lanjut usia bahwa jumlah orang berusia 60 tahun akan
naik dari 900 juta menjadi 2 miliar antara tahun 2015-2050. Peningkatan jumlah
lansia yang bermakna peningkatan kelompok rentan ini harus diatasi dengan
mengelola risiko kerentanan yang ada sehingga mengurangi beban negara
(WHO,2012).

4
2.3 Identifikasi Kelompok Beresiko
Undang-undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
mengartikan bencana sebagai suatu peristiwa luar biasa yang mengganggu dan
mengancam kehidupan dan penghidupan yang dapat disebabkan oleh alam
ataupun manusia, ataupun keduanya. Untuk menurunkan dampak yang
ditimbulkan akibat bencana, dibutuhkan dukungan berbagai pihak termasuk
keterlibatan perawat yang merupakan petugas kesehatan yang jumlahnya
terbanyak di dunia dan salah satu petugas kesehatan yang berada di lini terdepan
saat bencana terjadi (Powers & Daily, 2010) Peran perawat dapat dimulai sejak
tahap mitigasi (pencegahan), tanggap darurat bencana dalam fase prehospital dan
hospital, hingga tahap recovery.
Terdapat individu atau kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat
yang lebih rentan terhadap efek lanjut dari kejadian bencana yang memerlukan
perhatian dan penanganan khusus untuk mencegah kondisi yang lebih buruk pasca
bencana. Kelompok-kelompok ini diantaranya: anak-anak, perempuan, terutama
ibu hamil dan menyusui, lansia, individu-individu yang menderita penyakit kronis
dan kecacatan. Identifikasi dan pemetaan kelompok beresiko melalui
pengumpulan informasi dan data demografi akan mempermudah perencanaan
tindakan kesiap-siagaan dalam menghadapi kejadian bencana di masyarakat
(Morrow, 1999; Powers & Daily, 2010; World Health Organization (WHO) &
International Council of Nursing (ICN), 2009).
2.3.1 Ibu Hamil dan Bayi
Dampak bencana yang sering terjadi adalah abortus dan lahirprematur
disebabkan oleh ibu mudah mengalami stres, baik karena perubahan hormon
maupun karena tekanan lingkungan/stres di sekitarnya. Efek dari stres ini diteliti
dengan melakukan riset terhadap ibu hamildi antara korban gempa bumi.
Penelitian mengambil tempat di Cili selama tahun 2005, di saat gempa bumi
Tarapaca sedang mengguncang daerah tersebut. Penelitian sebelumnya telah
mengamati efek stres pada wanita hamil, namun yang berikut ini memfokuskan
pada dampak stres pada waktu kelahiran bayi serta dampaknya pada kelahiran
bayi perempuan atau laki-laki. Hasilnya, ibu hamil yang tinggal di area pusat

5
gempa, dan mengalami gempa bumi terburuk pada masa kehamilan dua dan tiga
bulan, memiliki risiko melahirkan prematur yang lebih besar dari kelompok
lainnya. Pada ibu hamil yang terekspos bencana alam di bulan ketiga kehamilan,
peluang ini meningkat hingga 3,4%. Tidak hanya itu, stres juga menjadi salah satu
faktor yang menyebabkan keguguran.
Selain itu, saat bencana ibu hamil bisa saja mengalami benturan dan luka
yang mengakibatkan perdarahan atau pelepasan dini pada plasenta dan rupture
uteri. Keadaan ini dapat mengakibatkan gawat janin dan mengancam kehidupan
ibu dan janin. Itulah sebabnya ibu hamil dan melahirkan perlu diprioritaskan
dalam penanggulangan bencana alasannya karenadi situ ada dua kehidupan.
Ibu hamil dan melahirkan perlu diprioritaskan dalam penanggulangan
bencana alasannya karena ada dua kehidupan dan adanya perubahan fisiologis.
Perawat harus ingat bahwa dalam merawat ibu hamil adalah sama halnya dengan
menolong janinnya. Sehingga, meningkatkan kondisi fisik dan mental wanita
hamil dapat melindungi dua kehidupan.
2.3.2 Anak-anak
Bayi dan anak-anak sering menjadi korban dalam semua tipe bencana
karena ketidakmampuan mereka melarikan diri dari daerah bahaya. Ketika
Pakistan diguncang gempa Oktober 2005, sekitar 16.000 anak meninggal karena
gedung sekolah mereka runtuh. Tanah longsor yang erjadi di Leyte, Filipina,
beberapa tahun lalu mengubur lebih dari 200 anak sekolah yang tengah belajar di
dalam kelas (Indriyani 2014). Diperkirakan sekitar 70% dari semua kematian
akibat bencana adalah anak-anak baik itu pada bencana alam maupun bencana
yang disebabkan oleh manusia (Powers & Daily, 2010).
Selain menjadi korban, anak-anak juga rentan terpisah dari orang tua atau
wali mereka saat bencana terjadi. Diperkirakan sekitar 35.000 anak-anak
Indonesia kehilangan satu atau dua orang tua mereka saat kejadian tsunami 2004.
Terdapat juga laporan adanya perdagangan anak (Child-Trafficking) yang dialami
oleh anak-anak yang kehilangan orang tua/wali (Powers & Daily, 2010)
Pasca bencana, anak-anak berisiko mengalami masalah-masalah kesehatan
jangka pendek dan jangka panjang baik fisik dan psikologis karena malnutrisi,

6
penyakit-penyakit infeksi, kurangnya skill bertahan hidup dan komunikasi,
ketidakmampuan melindungi diri sendiri, kurangnya kekuatan fisik, imunitas dan
kemampuan koping. Kondisi tersebut dapat mengancam nyawa jika tidak
diidentifikasi dan ditangani dengan segera oleh petugas kesehatan (Powers &
Daily, 2010; Veenema, 2007).
2.3.3 Perempuan
Diskriminasi terhadap perempuan dalam kondisi bencana telah menjadi isu
vital yang memerlukan perhatian dan penanganan khusus. Oleh karena itu,
intervensi kemanusiaan dalam penanganan bencana yang memperhatikan standar
internasional perlindungan hak asasi manusia perlu direncanakan dalam semua
stase penanganan bencana (Klynman, Kouppari, & Mukhier, 2007).
Studi kasus bencana alam yang dilakukan di Bangladesh mendapati bahwa
pola kematian akibat bencana dipengaruhi oleh relasi gender yang ada, meski
tidak terlalu konsisten. Pola ini menempatkan perempuan, terlebih lagi yang hamil,
menyusui, dan lansia lebih berisiko karena keterbatasan mobilitas secara fisik
dalam situasi darurat (Enarson, 2000; Indriyani, 2014; Klynman et al, 2007).
Laporan PBB pada tahun 2001 yang berjudul "Women, Disaster Reduction,
and Sustainable Development" menyebutkan bahwa perempuan menerima
dampak bencana yang lebih berat. Dari 120 ribu orang yang meninggal karena
badai siklon di Bangladesh tahun 1991, korban dari kaum perempuan menempati
jumlah terbesar. Hal ini disebabkan karena norma kultural membatasi akses
mereka terhadap peringatan bahaya dan akses ke tempat perlindungan (Fatimah,
2009 dikutip dalam Indriyani, 2014).
2.3.4 Lansia
Merupakan salah satu kelompok yang rentan secara fisik, mental, dan
ekonomik saat dan setelah bencana yang disebabkan karena penurunan
kemampuan mobilitas fisik dan/atau karena mengalami masalah kesehatan kronis
(Klynman et al., 2007). Di Amerika Serikat, lebih dari 50% korban kematian
akibat dari badai Katrina adalah lansia dan diperkirakan sekitar 1300 lansia yang
hidup mandiri sebelum kejadian badai tersebut harus dirawat di pantai jompo
setelah bencana alam itu terjadi (Powers & Daily, 2010).

7
Pasca bencana, kebutuhan lansia sering terabaikan dan mengalami
diskriminasi, contohnya dalam hal distribusi kebutuhan hidup dan finansial pasca
bencana. Hak-hak dan kebutuhan spesifik lansia kadang-kadang terlupakan yang
dapat memperparah masalah kesehatan dan kondisi depresi pada lansia tersebut
(Klynman et al., 2007).
2.3.5 Individu dengan Keterbatasan Fisik ( kecatatan) dan Penyakit Kronis
Menurut WHO, terdapat lebih dari 600 juta orang yang menderita
kecacatan di seluruh dunia atau mewakili sekitar 7-10% dari populasi global. 80%
diantaranya tinggal di negara berkembang. Angka ini terus meningkat seiring
dengan peningkatan jumlah penduduk, angka harapan hidup dan kemajuan di
bidang kesehatan (Klynman et al., 2007).
Di Amerika Serikat, setelah kejadian banjir di Grand Forks, North Dakota
pada tahun 1997, barulah dibangun rumah perlindungan yang dapat diakses oleh
korban bencana yang menggunakan kursi roda. Pada saat terjadi bencana
kebakaran di California, tahun 2003, banyak individu-individu cacat pendengaran
tidak memahani level bahaya bencana tersebut karena kurangnya informasi yang
mereka fahami (Powers & Daily, 2010).
Orang cacat, karena keterbatasan fisik yang mereka alami berisiko sangat
rentan saat terjadi bencana, namun mereka sering mengalami diskriminasi di
masyarakat dan tidak dilibatkan pada semua level kesiapsiagaan, mitigasi, dan
intervensi penanganan bencana (Klynman et al., 2007).
2.3.6 Sakit Mental
Seperti halnya manusia pada umumnya, ketika terjadi suatu bencana akan
timbul beberapa kejadian atau situasi baik psikologis maupun mental yang dialami
oleh korban, termasuk juga penyandang gangguan jiwa seperti kepanikan yang
luar biasa.
Didalam UUD no 24 tahun 2007 tersebut telah disebutkan bahwa dalam
penanggulangan terhadap kelompok rentan dilakukan dengan memberikan
prioritas pada kelompok rentan berupa penyelamatan, evakuasi, pengamanan,
pelayanan kesehatan, dan psikososial.

8
2.4 Perawatan Yang Sesuai Untuk Kelompok Rentan
Untuk mengurangi dampak bencana pada individu darikelompok-
kelompok rentan diatas, petugas-petugas yang terlibat dalam perencanaan dan
penanganan bencana perlu (Morrow, 1999 & Daily, 2010)
a. Mempersiapkan peralatan-peralatan kesehatan sesuai dengan kebutuhan
kelompok-keompok rentan tersebut, contohnya ventilisator untuk anak,
alat bantu untuk individu yang cacat, alat-alat bantuan persalinan, dll.
b. Melakukan pemetaan kelompok-kelompok rentan
c. Merencanakan intervensi-intervensi untuk mengatasi hambatan informasi
dan komunikasi
d. Menyediakan transportasi dan rumah penampungan yang dapat diakses
e. Menyediakan pusat bencana yang dapat diakses
Adapun tindakan spesifik untuk kelompok rentan akan diuraikan pada
pembahasan berikut (Enarson, 2000; Federal Emergency Management Agency
(FEMA), 2010; Klynman et al., 2007; Powers & Daily, 2010; Veenema 2007):
2.4.1 Perawatan yang sesuai untuk Kelompok Berisiko pada Ibu Hamil dan
Bayi
a. Pra bencana
1) Membekali ibu hamil dengan pengetahuan mengenai umur kehamilan,
gambaran proses kelahiran, ASI ekslusif dan MPASI
2) Melibatkan ibu hamil dalam kegiatan kesiapsiagaan bencana, misalnya
dalam simulasi bencana
3) Menyiapkan tenaga kesehatan dan relawan yang terampil menengani
kegawatdaruratan pada ibu hamildan bayi melalui pelatihan atau
workshop.
4) Menyiapkan stok obat khusus untuk ibu hamil.
b. Saat bencana
1) Ibu hamil harus dikaji berat badan, pembengkakan kaki. Kalau tidak
ada timbangan, mengamati oedema harus selalu di cek dengan
menekan daerah tibi.

9
2) Sindrom hipertensi karena kehamilan juga harus dikaji dengan presepsi
perabaan oleh petugas penyelamatan dengan melihat gejala-gejala
yang dirasakan oleh ibu hamil seperti sakit kepala dan nadi meningkat,
apabila tensimeter tidak tersedia.
3) Pengkajian ibu hamil harus juga mengkaji janin dalam kandungannya
4) Pada bayi perlu dikaji suhu tubuh dan kebutuhan cairan
5) Pakaian bayi juga harus tertutup dan rapih
c. Pasca bencana
1) Pemberian ASI
2) Pemberian makanan pendamping ASI berkualitas
3) Makanan siap saji untuk ibu hamil, ibu menyusui pada 5 hari pertama
pasca bencana
2.4.2 Perawatan yang Sesuai untuk Kelompok Berisiko Pada Anak
a. Pra bencana
1) Mensosialisasikan dan melibatkan anak-anak dalam latihan kesiap-
siagaan bencana misalnya dalam simulasi bencana kebakaran atau
gempa bumi
2) Mempersiapkan fasilitas kesehatan yang khusus untuk bayi dan anak
pada saat bencana
3) Perlunya diadakan pelatihan penanganan bencana bagi petugas
kesehatan khusus untuk menangani kelompok-kelompok berisiko
b. Saat bencana
1) Mengintegrasikan pertimbangan pediatric dalam sistem triase standar
yang digunakan saat bencana
2) Lakukan pertolongan kegawat daruratan kepada anak sesuai dengan
tingkat kegawatan dan kebutuhannya dengan mempertimbangkan
aspek tumbuh kembangnya, misalnya menggunakan alat dan bahan
khusus untuk anak dan tidak disamakan dengan orang dewasa
3) Selama proses evakuasi, transportasi, sheltering dan dalam pemberian
pelayanan fasilitas kesehatan, hindari memisahkan anak dari orang tua,
keluarga atau wali mereka

10
c. Pasca bencana
1) Usahakan kegiatan rutin sehari-hari dapat dilakukan sesegera mungkin
contohnya waktu makan dan personal hygiene teratur, tidur, bermain
dan sekolah
2) Monitor status nutrisi anak dengan pengukuran antropometri
3) Dukung dan berikan semangat kepada orang tua
4) Dukung ibu-ibu menyusui dengan adekuat, cairan dan emosional
5) Minta bantuan dari ahli kesehatan anak yang mungkin ada di lokasi
evakuasi sebagai voluntir untuk mencegah, mengidentifikasi,
mengurangi resiko kejadian depresi pada anak pasca bencana.
6) Identifikasi anak yang kehilangan orang tua dan sediakan penjaga
yang terpercaya serta lingkunganyang aman untuk mereka.
2.4.3 Perawatan yang sesuai untuk kelompok berisiko pada lansia
a. Pra bencana
1) Libatkan lansia dalam pengambilan keputusan dan sosialisasi disaster
plan di rumah
2) Mempertimbangkan kebutuhan lansia dalam perencanaan penanganan
bencana.
Menurut Ida Farida (2013) Keperawatan bencana pada lansia sebelum
bencana yakni
1) Memfasilitasi rekonstruksi komunitas
Sejak sebelum bencana dilaksanakan kegiatan penyelamatan antara
penduduk dengan cepat dan akurat, dan distribusi barang bantuan
setelah itu pun berjalan secara sistematis. Sebagai hasilnya, dilaporkan
bahwa orang lansia dan penyandang cacat yang disebut kelompok
rentan pada bencana tidak pernah diabaikan, sehingga mereka bisa
hidup di pengungsian dengan tenang.
2) Menyiapkan pemanfaatan tempat pengungsian
Diperlukan upaya untuk penyusun perencanaan pelaksanaan pelatihan
praktek dan pelatihan keperawatan supaya pemanfaatan yang realistis
dan bermanfaat akan tercapai. (Farida, Ida. 2013)

11
b. Saat bencana
1) Melakukan usaha/bantuan penyelamatan yang tidka meningkatkan
risiko kerentanan lansia, misalnya meminimalkan guncangan/trauma
pada saat melakukan mobilisasi dan transportasi untuk menghindari
trauma sekunder
2) Identifikasi lansia dengan bantuan/kebutuhan khusus contohnya kursi
roda, tongkat, dll.
Menurut Ida Farida (2013) keperawatan lansia saat bencana adalah:
1) Tempat aman
Yang diprioritaskan pada saat terjadi encana adalah memindahkan
orang lansia ke tempat yang aman. Orang lansia sulit memperoleh
informasi karena penuruman daya pendengaran dan penurunan
komunikasi dengan luar
2) Rasa setia
Selain itu, karena mereka memiliki rasa setia yang dalam pada tanah
dan ruma sendiri, maka tindakan untuk mengungsi pun
berkecenderungan terlambat dibandingkan dengan generasi yang lain.
3) Penyelamatan darurat
(Triage, treatment, and transportation)dengan cepat. Fungsi indera
orang lansia yang mengalami perubahan fisik berdasarkan proses
menua, maka skala rangsangan luar untuk memunculkan respon pun
mengalami peningkatan sensitivitas sehingga mudah terkena mati rasa
c. Pasca Bencana
1) Program inter-generasional untuk mendukung sosialisasi komunitas
dengan lansia dan mencegah isolasi sosial lansia, diantaranya:
a) Libatkan remaja dalam pusat perawatan lansia dan kegiatan-
kegiatan sosial bersama lansia untuk memfasilitasi empati dan
interaksi orang muda dan lansia (community awareness).
b) Libatkan lansia sebagai sebagai storytellers dan animator dalam
kegiatan bersama anak-anak yang diorganisir oleh agency
perlindungan anak di posko perlindunga korban bencana.

12
2) Menyediakan dukungan sosial melalui pengembangan jaringan sosial
yang sehat di lokasi penampungan korban bencana
3) Sediakan kesempatan belajar untuk meningkatkan pengetahuan dan
skill lansia.
4) Ciptakan kesempatan untuk mendapatkan penghasilan secara mandiri
5) Berikan konseling unuk meningkatkan semangat hidup dan
kemandirian lansia.
Menurut Ida Farida (2013) keperawatan bencana pada lansia setelah
bencana adalah:
1) Lingkungan dan adaptasi
Dalam kehidupan di tempat pengungsian, terjadi berbagai
ketidakcocokan dalam kehidupan sehari-hari yang disebabkan oleh
fungsi fisik yang dibawa oleh setiap individu sebelum bencana dan
perubahan lingkungan hidup di tempat pengungsian. Kedua hal ini
saling mempengaruhi, sehingga mengakibtkan penurunan fungsi fisik
orang lansia yang lebih parah lagi.
2) Manajemen penyakit dan pencegahan penyakit sekunder
Lingkungan di tempat pengungsian mengundang tidak hanya
ketidakcocokan dalam kehidupan sehari-hari bagi orang lansia, tetapi
juga keadaan yang serius pada tubuh. Seperti penumpukan kelelahan
karena kurnag tidur dan kegelisahan.
3) Orang lanjut usia dan perawatan pada kehidupan di rumah sendiri
Lansia yang sudah kembali ke rumahnya, pertama membereskan
perabotannya di rumah. Dibandingkan dengan generasi muda, sering
kali lansia tidak bisa memperoleh informasi mengenai relawan,
sehingga tidak bisa memanfaatkan tenaga tersebut dengan optimal.
4) Lanjut usia dan perawatan di pemukiman sementara
Lansia yang masuk ke pemukiman sementara terpaksa beradaptasi/
menyesuaikan diri lagi terhadap lingkungan baru (lingkungan
hubungan manusia dan lingkungan fisik) dalam waktu yang singkat.
5) Mental Care

13
Orang lansia mengalami penurunan daya kesiapan maupun daya
adaptasi, sehingga mudah terkena dampak secara fisik oleh stressor.
Namun demikian, orang lansia itu berkecenderungan sabar dengan
diam walaupun sudah terkena dampak dan tidak mengekspresikan
perasaan dan keluhan.
2.4.4 Perawatan yang Sesuai untuk Kelompok Berisiko Pada Orang dengan
Kecacatan dan Penyakit Kronik
Menurut Ida Farida (2013) dampak bencana pada penyakit kronisakan
memberi pegaruh besar pada kehidupan dan lingkungan bagi orang-orang dengan
penyakit kronik. Terutama dalam situasi yang terpaksa hidup di tempat
pengungsian dalam waktu yang lama atau terpaksa memulai kehidupan yang jauh
berbeda dengan pra-bencana, sangat sulit mengatur dan memanajemen penyakit
seperti sebelum bencana. Walaupun sudah berhasil selamat dari bencana dan tidak
terluka sekalipun manajemen penyakit kronis mengalami kesulitan, sehingga
kemungkinan besar penyakit tersebut kambuh dan menjadi lebih parah lagi ketika
hidup di pengungsian atau ketika memulai kehidupan sehari-hari lagi.
Berdasarkan perubahan struktur penyakit itu sendiri, timbulnya penyakit
kronis disebabkan oleh perubahan gaya hidup sehari-hari. Bagi orang-orang yang
memiliki resiko penyakit kronis, perubahan kehidupan yang disebabkan oleh
bencana akan menjadi pemicu meningkatnya penyakit kronis seperti diabetes
mellitus dan gangguan pernapasan.
a. Pra bencana
1) Identifikasi kelompok rentan dari kelompok individu yang cacat fisik,
fisik mental dan berpenyakit kronis
2) Sediakan informasi bencana yang bisa diakses oleh orang-orang
dengan keterbatasan fisik seperti: tunarungu, tuna netra, dll
3) Perlunya diadakan pelatihan-pelatihan penanganan kegawatdaruratan
bencana bagi petugas kesehatan khusus untuk menanganni korban
dengan kebutuhan khusus (cacat fisik, cacat mental dan penyakit
kronis)

14
Menurut Ida Farida (2013) keperawatan pada fase persiapan sebelum
bencana bagi korban dengan penyakit kronik
a. Mempersiapkan catatan self-care mereka sendiri, terutama nama pasien,
alamat ketika darurat, rumah sakit, dan dokter yang merawat.
b. Membantu pasien membiasakan dii untuk mencatat mengenai isi dari obat
yang diminum, pengobatan diet, dan data olahraga
c. Memberikan pendidikan bagi pasien dan keluarganya mengenai
penanganan bencana sejak masa normal
b. Saat bencana
1) Sediakan alat-alat emergency dan evakuasi yang khusus untuk orang
cacat fisik, cacat mental dan berpenyakit kronis (HIV/AIDS dan
penyakit infeksi lainnya), alat bantu berjalan untuk korban dengan
kecacatan, alat-alat BHD sekali pakai, dll
2) Tetap menjaga dan meningkatkan kewaspadaan universal (universal
precaution) untuk petugas dalam melakukan tindakan
kegawatdaruratan.
Menurut Ida Farida (2013) keperawatan bencana pada penyandang cacat
yakni:
a. Bantuan evakuasi
Saat terjadi bencana, penyandang cacat membutuhkan waktu yang lama
untuk mengevakuasi diri sehingga supaya tidak terlambat dalam
mengambil keputusan untuk melakukan evakuasi, maka informasi
persiapan evakuasi dan lain-lain perlu diberitahukan kepada penyandang
cacat dan penolong evakuasi
b. Informasi
Dalam penyampaian informasi digunakan bermacam-macam alat
disesuaikan dengan ciri-ciri penyandang cacat , misalnya internet (email,
sms, dll) dan siaran televisi untuk tuna rungu; handphone yang dapat
membaca pesan masuk untuk tuna netra; HP yag dilengkapi dengan alat
handsfree untuk tuna daksa dan sebagainya.

15
2.4.5 Perawatan yang sesuai untuk kelompok berisiko pada gangguan
mental
a. Pra Bencana
1) Bantuan Evakuasi: Saat bencana terjadi, penyandang gangguan mental
membutuhkan waktu yang lama untuk mengevakuasi diri, supaya tidak
terlambat dalam mengambil keputusan untuk melakukan evakuasi,
maka informasi persiapan evakuasi dan lainlain perlu diberitahukan
kepada penyandang gangguan mental dan penolong evakuasi.
2) Mengikutsertakan dengan PRB: partisipasi penyandang dalam
pendidikan pengurangan resiko bencana (PRB).
3) Memberikan penyandang gangguan mental terhadap materi ajar
4) atau belajar PRB
b. Saat Bencana
1) Melakukan evakuasi bagi penyandang gangguan mental untuk
menjauh dari lokasi bencana
2) Mengevakuasi penyandang gangguan mental yang ditinggal oleh
keluarganya saat terjadi bencana
3) Menampung dipengungsian
4) Membawa korban ke rumah sakit
5) Melakukan pendataan dan penilaian
6) Memberikan konseling
c. Pasca Bencana
1) Konseling bagi penyandang disabilitas untuk meminimalisir trauma
2) Kebutuhan Rumah Tangga: Air minum, makanan, sanitasi, air bersih
dan sabun untuk MCK (mandi, cuci, kakus/jamban), alatalat untuk
memasak, pakaian, selimut dan tempat tidur, dan permukiman
sementara.
3) Kebutuhan Kesehatan: Kebutuhan kesehatan umum seperti
perlengkapan medis (obat-obatan, perban, dll), tenaga medis, pos
kesehatan dan perawatan kejiwaan.

16
4) Kemanan Wilayah: Kebutuhan ketentraman dan stabilitas seperti
keamanan wilayah
5) Kebutuhan Air: Kebutuhan sanitasi air dan tempat pengelolaan limbah
dan sampah Sarana dan Prasarana: Kebutuhan sarana dan prasarana
yang mendesak seperti air bersih, MCK untuk umum, jalan ke lokasi
bencana, alat komunikasi dalam masyarakat dan pihak luar,
penerangan atau listrik, sekolah sementara, alat angkut/transport,
gudang penyimpanan persediaan, tempat pemukiman sementara, pos
kesehatan alat dan bahan-bahan.
2.4.6 Pertolongan Pada Penyandang Cacat
a. Tunadaksa
Tunadaksa adalah kebanyakan orang yang jalannya tidak stabil dan mudah
jatuh, serta orang yang memiliki keterbatasan dalam perpindahan atau pemakai
kursi roda yang tidak dapat melangkah sendirian ketika berada di tempat yang
jalannya tidak rata dan menaiki tangga. Ada yang menganggap kursi roda seperti
satu bagian dari tubuh sehingga cara mendorongnya harus mengecek keinginan si
pemakai kursi roda dan keluarga
b. Tuna netra
Dengan mengingat bahwa tuna netra mudah merasa takut karena
menyadari suasana aneh di sekitarnya, maka perlu diberitahukan tentang kondisi
sekitar rumah dan tempat aman untuk lari dan bantuan untuk pindah di tempat
yang tidak familiar. Pada waktu menolong mereka untukpindah, peganglah siku
dan pundak, atau genggamlah secara lembut pergelangannya karena berkaitan
dengan tinggi badan mereka serta berjalanlah setengah langkah di depannya.
c. Tuna rungu
Beritahukan dengan senter ketikaberkunjung ke rumahnya karena tidak
dapat menerima informasi suara. Sebagai metode komunikasi, ada bahasa tulis,
bahasa isyarat, bahasa membaca gerakan mulut lawan bicara, dll tetapi belum
tentu semuanya dapat menggunakan bahasa isyarat

17
d. Gangguan Intelektual
Atau perkembangannya sulit dipahami oleh orang pada umunya karena
kurang mampu untuk bertanya dan mengungkapkan pendapatnya sendiri dan
seringkali mudah menjadi panik. Pada saat mereka mengulangi ucapan dan
pertanyaan yang sama dengan lawan bicara, hal itu menandakan bahwa mereka
belum mengerti sehingga gunakan kata-kata sederhana yang mudah dimengerti
(Farida, Ida. 2013).
Menurut Ida Farida (2013) keperawatan pada penyakit kronis adalah:
a. Saat Bencana
1) Pada fase akut bencana
Pada fase akut bencana ini, bisa dikatakan bahwa suatu hal yang paling
penting adalah berkeliling antara orang-orang untuk menemukan masalah
kesehatan mereka dengan cepat dan mencegah penyakit mereka memburuk.
Perawat harus mengetahui latar belakang dan riwayat pengobatan dari
orang-orang yang berada di tempat dengan mendengarkan secara seksama
dan memahami penyakit mereka yang sedang dalam proses pengobatan,
sebagai contoh diabetes dan gangguan pernapasan.
Pada fase akut yang dimulai sejak sesaat terjadinya bencana, diperkirakan
munculnya gejala khas, seperti gejala gangguan jantung, ginjal, dan
psikologis yang memburuk karena kurang kontrol kandungan gula di darah
bagi pasien diabetes, pasien penyakit gangguan pernapasan yang tidak bisa
membawa keluar peralatan tabung oksigen dari rumah
2) Dukungan Kepada Pasien
Penting juga perawat memberikan dukungan kepada pasien untuk
memastikan apakah mereka diperiksa dokter dan minum obat dengan
teratur. Karena banyak obat-obatan komersial akan didistribusikan ke
tempat pengungsian, maka muncullah resiko bagi pasien penyakit kronis
yang mengkonsumsi beberapa obat tersebut tanpa memperhatikan
kecocokan kombinasi antara obat tersebut dan obat yang diberikan di
rumah sakit.
b. Pasca bencana

18
1) Sedapat mungkin, sediakan fasilitas yang dapat mengembalikan
kemandirian individu dengan keterbatasan fisik di lokasi evakuasi
sementara. Contohnya: kursi roda, tongkat, dll.
2) Libatkan agensi-agensi yang berfokus pada perlindungan individu-individu
dengan keterbatasan fisik, keterbatasan mental dan penyakit kronis.
3) Rawat korban dengan penyakit kronis sesuai dengan kebutuhannya.
Menurut Ida Farida (2013) keperawatan bencana pada penyandang cacat:
a. Kebutuhan rumah tangga
Air minum, susu bayi, sanitasi, air bersih, dan sabun untuk MCK (mandi,
cuci, kakus), alat-alat untuk memasak, pakaian, selimut, dan tempat tidur,
pemukiman sementara dan kebutuhan budaya dan adat.
b. Kebutuhan kesehatan
Kebutuhan kesehatan umum seperti perlengkapan medis (obat-obatan,
perban, dll), tenaga medis, pos kesehatan dan perawatan kejiwaan
c. Tempat ibadah sementara
d. Keamanan wilayah
e. Kebutuhan air
f. Kebutuhan sarana dan prasarana
Kebutuhan saranan dan prasarana yang mendesak – seperti air bersih,
MCK untuk umum, jalan ke lokasi bencana, alat komunikasi dalam
masyarakat dan pihak luar, penerangan/listrik, sekolah sementara, alat
angkut/transport, gudang penyimpanan persediaan, tempat pemukiman
sementara, pos kesehatan alat dan bahan-bahan.
2.4.7 Keperawatan bagi pasien diabetes:
a. Mengkonfirmasi apakan pasien yang bersangkutan harus minum obat
untuk menurunkan kandungan gula darah (contoh: insulin, dll) atau tidak,
dan identifikasi obat apa yang dimiliki pasien tersebut.
b. Mengkonfirmasi apakah pasein memiliki penyakit luka fisik atau infeksi,
dan jika ada, perlu pengamatan dan perawatan pada gejala infeksi (untuk
mencegah komplikasi kedua dari penyakit diabetes)

19
c. Memahami situasi manajemen diri (self-management) melalui kartu
penyakit diabetes (catatan pribadi)
d. Memberikan instruksi tertentu mengenai konsumsi obat, makanan yang
tepat, dan memberikan pedoman mengenai manajemen makanan
e. Mengatur olahraga dan relaksasi yang tepat
2.4.8 Keperawatan bagi pasien gangguan pernapasan kronis:
a. Konfirmasikan volume oksigen yang tepat dan mendukung untuk
pemakaian tabung oksigen untuk berjalan yang dimilikinya dengan aman
b. Menghindari narcosis CO2 dengan menaikkan konsentrasi oksigen karena
takut peningkatan dysphemia.
c. Mengatur pemasokan tabung oksigen (ventilator) dan transportasi jika
pasien tersebut tidak bisa membawa sendiri.
d. Membantu untuk manajemen obat dan olahraga yang tepat
e. Mencocokkan lingkungan yang tepat (contoh: suhu udara panas/dingin,
dan debu).
2.5 Sumber Daya yang Tersedia Dilingkungan untuk Kebutuhan Kelompok
Beresiko.
Untuk mengurangi dampak yang lebih berat akibat bencana terhadap
kelompok beresiko saat bencana baik itu dampak jangka pendek maupun jangka
panjang, maka petugas kesehatan yang terlibat dalam penanganan encana perlu
mengidentifikasikan sumber daya apa saja yang tersedia di lingkungan yang dapat
digunakan saat bencana terjadi, diantaranya (Enarson, 2000; Federal Emergency
Management Agency (FEMA), 2010; Powers & Daily, 2010; Veenema, 2007):
a. Terbentuknya desa siaga dan organisasi kemasyarakatan yang terus
mensosialisasikan kesiapsiagaan terhadap bencana terutama untuk area
yang rentan terhadap kejadian bencana.
b. Kesiapan rumah sakir atau fasilitas kesehatan menerima korban bencana
dari kelompok berisiko baik itu dari segi fasilitas maupun ketenagaan
seperti : beberapa jumlah incubator untuk bayi baru lahir, tempat tidur
untuk pasien anak, ventilator anak, fasilitas persalinan, fasilitas perawatan
pasien dengan penyakit kronis, dsb.

20
c. Adanya simbol-simbol atau bahasa yang bisa dimengerti oleh individu-
individu dengan kecacatan tentang peringatan bencana, jalur evakuasi,
lokasi pengungsian dll.
d. Adanya sistem support berupa konseling dari ahli-ahli voluntir yang
khusus menangani kelompok beresiko untuk mencegah dan
mengidentifikasi dini kondisi depresi pasca bencana pada kelompok
tersebut sehingga intervensi yang sesuai dapat diberikan untuk merawat
mereka.
e. Adanya agensi-agensi baik itu dari pemerintah maupun non pemerintah
(NGO) yang membantu korban bencana terutama kelompok-kelompok
beresiko seperti : agensi perlindungan anak dan perempuan, agency
pelacakan keluarga korban bencana (tracking centre), dll.
Adanya website atau homepage bencana dan publikasi penelitian yang
berisi informasi – informasi tentang bagaimana perencanaan legawatdaruratan dan
bencana pada kelompok-kelompok dengan kebutuhan khusus dan beresiko.

2.6 Lingkungan yang Sesuai dengan Kebutuhan Kelompok Beresiko


Setelah kejadian bencana , adalah penting sesegera mungkin untuk
menciptakan lingkungan yang kondusif yang memungkinkan kelompok berisiko
untuk berfungsi secara mandiri sebagaimana sebelum kejadian bencana,
diantaranya (Enarson, 2000; Federal Emergency Management Agency (FEMA),
2010; Indriyani, 2014; Klynman et al., 2007; Powers & Daily, 2010; Veenema,
2007) :
a. Menciptakan kondisi/ lingkungan yang memungkinkan ibu menyusui
untuk terus memberikan ASI kepada anaknya dengan cara memberikan
dukungan moril, menyediakan konsultasi laktasi dan pencegahan depresi.
b. Membantu anak kembali melakukan aktivitas-aktivitas regular
sebagaimana sebelum kejadian bencana seperti : penjagaan kebersihan diri,
belajar/ sekolah, dan bermain.

21
c. Melibatkan lansia dalam aktivitas-aktivitas social dan program lintas
generasi misalnya dengan remaja dan anak-anak untuk mengurangi resiko
isolasi social dan depresi.
d. Menyediakan informasi dan lingkungan yang kondusif untuk individu
dengan keterbatasan fisik, misalnya area evakuasi yang dapat diakses oleh
mereka.
e. Adanya fasilitas-fasilitas perawatan untuk korban bencana dengan
penyakit kronis dan infeksi.

2.7 Peran Perawat Pada Bencana


Perawat sebagai bagian dari petugas kesehatan yang ikut dalam
penanggulangan bencana dapat berada di berbagai tempat seperti di rumah sakit,
di pusat evakuasi, di klinik berjalan atau di puskesmas. Berikut dibawah ini akan
diuraikan peran perawat sesuai dengan tempat tugasnya.
2.6.1 Peran Perawat di Rumah Sakit yang terkena Dampak Bencana
Peran perawat di rumah sakit yang terkena bencana (ICN, 2009) yaitu:
a. Sebagai manager, perawat mempunyai tugas antara lain: mengelola
pelayanan gawat darurat, mengelola fasilitas, peralatan, dan obat-obatan
live saving, mengelola administrasi dan keuangan ugd, melaksanakan
pengendalian mutu pelayanan gadar, melakukan koordinasi dengan unit
RS lain.
b. Sebagai Leadership, memiliki tugas untuk: mengelola tenaga medis,
tenaga keperawatan dan tenaga non medis, membagi jadwal dinas.
c. Sebagai pemberi asuhan keperawatan (care giver), perawat harus
melakukan pelayanan siaga bencana dan memilah masalah fisik dan
psikologis yang terjadi pada pasien.
2.6.2 Peran Perawat di Pusat Evakuasi
Di pusat evakuasi perawat mempunyai peran sebagai :
a. Koordinator, berwenang untuk: mengkoordinir sumberdaya baik tenaga
kesehatan, peralatan evakuasi dan bahan logistik, mengkoordinir daerah
yang menjadi tempat evakuasi.

22
b. Sebagai pelaksana evakuasi: perawat harus melakukan transportasi pasien,
stabilisasi pasien, merujuk pasien dan membantu penyediaan air bersih dan
sanitasi di daerah bencana seperti terlihat pada gambar dibawah ini.
2.6.3 Peran Perawat di Klinik Lapangan (Mobile Clinic)
Peran perawat di klinik berjalan (mobile clinic) adalah melakukan: triage,
penanganan trauma, perawatan emergency, perawatan akut, pertolongan pertama,
kontrol infeksi, pemberian supportive, palliative.
2.6.4 Peran Perawat di Puskesmas
Peran perawat di puskesmas saat terjadi bencana adalah melakukan:
perawatan pasien ringan, pemberian obat ringan, merujuk pasien. Sedangkan
fungsi dan tugas perawat dalam situasi bencana dapat dijabarkan menurut fase dan
keadaan yang berlaku saat terjadi bencana seperti dibawah ini;
a. Fase Pra-bencana:
1) Perawat mengikuti pendidikan dan pelatihan bagi tenaga kesehatan
dalam penanggulangan ancaman bencana untuk setiap fasenya.
2) Perawat ikut terlibat dalam berbagai dinas pemerintahan, organisasi
lingkungan, palang merah nasional, maupun lembaga-lembaga
kemasyarakatan dalam memberikan penyuluhan dan simulasi
persiapan menghadapi ancaman bencana kepada masyarakat.
3) Perawat terlibat dalam program promosi kesehatan untuk
meningkatkan kesiapan masyarakat dalam menghadapi bencana yang
meliputi hal-hal berikut:
 Usaha pertolongan diri sendiri (pada masyarakat tersebut).
 Pelatihan pertolongan pertama pada keluarga seperti menolong
anggota keluarga yang lain.Pembekalan informasi tentang
bagaimana menyimpan dan membawa persediaan makanan dan
penggunaan air yang aman.
 Perawat juga dapat memberikan beberapa alamat dan nomor
telepon darurat seperti dinas kebakaran, rumah sakit, dan
ambulans.

23
 Memberikan informasi tempat-tempat alternatif penampungan
dan posko-posko bencana.
 Memberikan informasi tentang perlengkapan yang dapat dibawa
seperti pakaian seperlunya, radio portable, senter beserta
baterainya, dan lainnya.
b. Fase Bencana:
1) Bertindak cepat
2) Do not promise. Perawat seharusnya tidak menjanjikan apapun
dengan pasti, dengan maksud memberikan harapan yang besar pada
para korban selamat.
3) Berkonsentrasi penuh pada apa yang dilakukan.
4) Koordinasi danmenciptakan kepemimpinan.
5) Untuk jangka panjang, bersama-sama pihak yang terkait dapat
mendiskusikan dan merancang master plan of revitalizing, biasanya
untuk jangka waktu 30 bulan pertama.
c. Fase Pasca bencana
1) Bencana tentu memberikan bekas khusus bagi keadaaan fisik, sosial,
dan psikologis korban.
2) Stres psikologis yang terjadi dapat terus berkembang hingga terjadi
posttraumatic stress disorder (PTSD) yang merupakan sindrom
dengan tiga kriteria utama. Pertama, gejala trauma pasti dapat dikenali.
Kedua, individu tersebut mengalami gejala ulang traumanya melalui
flashback, mimpi, ataupun peristiwaperistiwa yang memacunya.
Ketga, individu akan menunjukkan gangguan fisik. Selain itu,
individu dengan PTSD dapat mengalami penurunan konsentrasi,
perasaan bersalah, dan gangguan memori.
3) Tim kesehatan bersama masyarakat dan profesi lain yang terkait
bekerja sama dengan unsur lintas sektor menangani masalah kesehatan
masyarakat pascagawat darurat serta mempercepat fase pemulihan
menuju keadaan sehat dan aman.

24
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Kelompok rentan adalah semua orang yang menghadapi hambatan
atauketerbatasan dalam menikmati standar kehidupan yang layak
bagikemanusiaan dan berlaku umum bagi suatu masyarakat yangberperadaban.
Jadi kelompok rentan dapat didefinisikan sebagai kelompok yang harus
mendapatkan perlindungan dari pemerintah karena kondisi sosial yang sedang
mereka hadapi.Kelompok masyarakat yang rentanadalah orang lanjut usia, anak-
anak, perempuan, dan penyandang cacat.Untuk mengurangi dampak bencana pada
individu dari kelompok-kelompok rentan diatas, petugas-petugas yang terlibat
dalam perencanaan dan penanganan bencana perlu Mempersiapkan peralatan-
peralatan kesehatan sesuai dengan kebutuhan kelompok-keompok rentan tersebut,
contohnya ventilisator untuk anak, alat bantu untuk individu yang cacat, alat-alat
bantuan persalinan, dll, melakukan pemetaan kelompok-kelompok rentan,
merencanakan intervensi-intervensi untuk mengatasi hambatan informasi dan
komunikasi, menyediakan transportasi dan rumah penampungan yang dapat
diakses, menyediakan pusat bencana yang dapat diakses.

3.2 Saran
Dalam penulisan makalah ini, penulis menyarankan kepada para pembaca
agar memahami secara mendalam materi yang telah dipaparkan dalam makalah
ini, karena dalam kehidupan sehari-hari hal tersebut sangat bermanfaat untuk
meningkatkan taraf hidup kelompok rentan.

25
DAFTAR PUSTAKA

Enarson, E. (2000). Infocus Programme on Crisis Response and Reconstruction


Working paper I : Gender and Natural Disaster. Geneva: Recovery and
Reconstruction Department.

Farida, Ida. 2013. Manajemen Penanggulangan Bencana Kegiatan Belajar I:


Keperawatan Bencana pada Ibu dan Bayi. Jakarta: Badan Pengembangan
dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia, Pusat Pendidikan dan
Pelatihan Tenaga Kesehatan.

Farida, Ida. 2013. Manajemen Penanggulangan Bencana Kegiatan Belajar II:


Keperawatan Bencana pada Anak. Jakarta: Badan Pengembangan dan
Pemberdayaan Sumber Daya Manusia, Pusat Pendidikan dan Pelatihan
Tenaga Kesehatan.

Farida, Ida. 2013. Manajemen Penanggulangan Bencana Kegiatan Belajar IV:


Keperawatan Bencana pada Penyakit Kronik. Jakarta: Badan
Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia, Pusat
Pendidikan dan Pelatihan Tenaga Kesehatan.

Farida, Ida. 2013. Manajemen Penanggulangan Bencana Kegiatan Belajar V:


Keperawatan Bencana pada Penyandang Cacat. Jakarta: Badan
Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia, Pusat
Pendidikan dan Pelatihan Tenaga Kesehatan.

Indriyani, S. 2014. Bias Gender dalam Penanganan Bencana.

Iskandar Husein. 2003. Perlindungan Terhadap Kelompok Rentan (Wanita, Anak,


Minoritas, Suku Terasing, dll) Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia,
Makalah Disajikan dalam SeminarPembangunan Hukum Nasional ke VIII
Tahun 2003, Denpasar, Bali, 14 - 18 Juli 2003

Kamus Besar Bahasa lndonesia, Edisi Ketiga, 2001, hlm. 948.

Klynman, Y., Kouppari, N., & Mukhier, M., (Eds.). 2007. World Disaster Report
2007: Focus on Discrimination. Geneva, Switzerland: International
Federation of Red Cross and Red Crescent Societies.

Morrow, B. H. (1999). Identifying And Mapping Community Vulnerability.


Disasters, 23(1), 1-18.

Powers, R., & Daily, E., (Eds.). 2010. International Disaster Nursing. Cambridge,
UK: The World Association for Disaster and Emergency Medicine &
Cambridge University Press.

Undang-Undang No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.

26
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi
Manusia, hal. 21.

Veenema, T.G. 2007. Disaster Nursing and Emergency Preparedness for


Chemical, Biological, and Radiological Terorism and Other Hazards (2nd
ed.). New York, NY: Springer Publishing Company, LLC.

World Health Organization (WHO) & International Council of Nursing (ICN).


2009. ICN Framework of Disaster Nursing Competencies. Geneva,
Switzerland: ICN.

27

Anda mungkin juga menyukai