Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH KEPERAWATAN BENCANA

PERAWATAN UNTUK POPULASI RENTAN

Oleh
KELOMPOK 6
Deppy Putri Zagoto (221030122265)
Ester Agustina Zagoto (221030122565)
Javanessa Dhilla C. M. (221030122584)
Rika Emawati (221030121953)
Vida Wahyuni (2210301222298)

Untuk Memenuhi tugas Keperawatan Bencana yang di ampuh oleh

 Ns. Liza Puspa Dewi S. Kep,M.Kep

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


STIKes WIDYA DHARMA HUSADA TANGERANG
TAHUN AKADEMIK 2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena telah melimpahkan rahmat dan
hidayahnya kepada kita semua. Syukur Alhamdulillah kami dapat mengerjakan tugas Makalah dari
mata kuliah Keperawatan Bencana
Kami mohon maaf apabila dalam penulisan makalah ini terdapat banyak kesalahan
didalamnya. Karena kami menyadari bahwa dalam penyusunan laporan ini masih jauh dari sempurna,
untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun guna
menyempurnakan laporan kami selanjutnya. Kami berharap laporan ini dapat bermanfaat bagi kami
umumnya dan khususnya kepada pembaca.

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar....................................................................................................................................i
Daftar Isi.................................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang.....................................................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah........................................................................................................................2

1.3 Manfaat................................................................................................................................ 2

BAB II TINJAUAN TEORI


2.1 Definisi Kelompok Rentan................................................................................................3
2.2 Perawatan Populasi Rentan Pada Lansia.............................................. .................3
a.  Definisi.................................................................................................................. ......3

 b.  Tindakan Yang Sesuai Untuk Kelompok Beresiko Pada Lansia........................................4


c.  Perawatan Keluarga Di Rumah............................................................................................7

2.3 Perawatan Populasi Rentan Pada Wanita Hamil.........................................................................9

a. Definisi..................................................................................................................................9

b. Tindakan yang sesuai untuk kelompok beresiko pada Wanita Hamil.................................9

2.4 Perawatan Populasi Rentan Pada Anak-anak

a. Definisi................................................................................................................................10

b. Tindakan yang sesuai untuk kelompok beresiko pada Anak-anak........................................10

2.5 Perawatan Populasi Rentan Pada Distabilitas..............................................................................11

a.   Definisi......................................................................................................................... 11
 b.  Tindakan Yang Sesuai Untuk Kelompok Beresiko Pada Orang Dengan
Kecacatan/Distabilitas...............................................................................................13
2.6 Sumber Daya Yang Tersedia Dilingkungan Untuk Kebutuhan Kelompok
Beresiko.............................................................................................................17
BAB III ( PENUTUP)
A.  Kesimpulan.................................................................................................18
B.  Saran.............................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................19

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1   Latar belakang


Posisi wilayah Indonesia, secara geografis dan demografis rawan terjadinya bencana
alam dan non alam seperti gempa tektonik, tsunami,
 banjir dan angin puting beliung. Bencana non alam akibat ulah manusia yang tidak mengelola
alam dengan baik dapat mengakibatkan timbulnya
 bencana alam, seperti tanah longsor, banjir bandang, kebakaran hutan dan kekeringan. The United
National Disaster Management Training Program,mendefinisikan bencana adalah kejadian yang
datang tiba-tiba dan mengacaukan fungsi normal masyarakat atau komunitas. Peristiwa atau
rangkain kejadian yang menimbulkan korban jiwa, kerusakan atau kerugian infrastruktur,
pelayanan umum, dan kehidupan masyarakat. Peristiwa ini diluar kapasitas normal dari
masyarakat untuk mengatasinya, sehingga memerlukan bantuan dari luar masyarakat tersebut
(Kollek, 2013).Berdasarkan pengertian-pengertian bencana diatas, bencana dapat diartikan
sebagai suatu kejadian atau peristiwa yang tidak dapat diatasi oleh masyarakat dan dapat
menimbulkan korban jiwa, kerusakan maupun kerugian harta benda. Menurut Badan Penanggulan
Bencana Inonesia (2016) telah terjadi 2.384 bencana alam di seluruh Indonesia.Angka ini
meningkat signifikan dibanding tahun 2015 dimana catatan bencana alam berjumlah 1.732
kejadian. Selama 2016 terjadi 766 bencana banjir, 612 longsor, 669
 puting beliung, 74 kombinasi banjir dan longsor, 178 kebakaran hutan dan lahan, 13 gempa, tujuh
gunung meletus, dan 23 gelombang pasang dan abrasi. Dampak yang ditimbulkan bencana telah
menyebabkan 522 orang meninggal dunia dan hilang, 3,05 juta jiwa mengungsi dan menderita,
69.287 unit rumah rusak dimana 9.171 rusak berat, 13.077 rusak sedang, 47.039 rusak ringan,
dan 2.311 unit fasilitas umum rusak (BNPB, 2016). Dampak yang ditimbulkan
menimbulkan kedaruratan disegala bidang termasuk kedaruratan situasi pada masalah kesehatan
pada kelompok rentan. Kelompok rentan adalah sekelompok orang yang
membutuhkan

1
 penanganan khusus dalam pemenuhan kebutuhan dasar seperti bayi,
 balita, ibu hamil, ibu menyusui dan lanjut usia baik dengan fisik normal maupun cacat.
Bencana alam bisa menimbulkan korban jiwa yang tinggi
 pada kelompok rentan, salah satunya penyandang disabilitas. Penyandang disabilitas adalah setiap
orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental yang dapat mengganggu atau
merupakan rintangan dan hambatan
 baginya untuk melakukan kegiatan secara selayaknya, yang terdiri dari:
 penyandang disabilitas fisik, penyandang disabilitas mental serta penyandang disabilitas fisik dan
mental (Peraturan Daerah Provinsi Lampung Nomor 10 Tahun 2013 tentang Pelayanan dan
Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas). Hasil Riskesdas 2018 mendapatkan
74,3% lansia dapat
 beraktifitas sehari-hari secara mandiri, 22,0% mengalami hambatan ringan, 1,1% hambatan
sedang, 1% hambatan berat, dan 1,6% mengalami ketergantungan total. Ketika terjadi suatu
bencana akan timbul beberapa kejadian atau situasi baik psikologis maupun mental yang dialami
oleh korban, termasuk juga penyandang cacat mental seperti kepanikan yang luar
 biasa sehingga gangguan mental yang sering muncul pada lansia setelah
 bencana adalah depresi dan gangguan fungsi kognitif.

1.2 Rumusan masalah

1.   Apakah definisi kelompok rentan?

2.   Bagaimana perawatan populasi rentan pada lansia?

3.   Bagaimana perawatan populasi rentan pada disabilitas? 4.  Bagaimana


perawatan populasi rentan pada sakit mental?
5.  Bagaimana sumber daya yang tersedia dilungkungan untuk kebutuhan kelompok resiko?
1.3   Tujuan

1.   Mengetahui definisi kelompok rentan

2  Mengetahui perawatan populasi rentan pada lansia


3  Mengetahui perawatan populasi rentan pada lansia disabilitas
4  Mengetahui perawatan populasi rentan pada lansia pada sakit mental
5  Mengetahui sumber daya yang tersedia dilingkungan untuk kebutuhan kelompok resiko

2
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1   DEFINISI KELOMPOK RENTAN


Menurut UU No 24/2007, pasal 55, ayat 2  Kelompok rentan dalam
 situasi bencana adalah individu atau kelompok yang terdampak lebih berat diakibatkan
adanya kekurangan dan kelemahan yang dimilikinya yang pada saat bencana terjadi menjadi
beresiko lebih besar, meliputi: bayi, balita, dan anak-anak; ibu yang sedang mengandung /
menyusui; penyandang cacat (disabilitas); dan orang lanjut usia.
Menurut Departeman Hukum dan Hak Asasi Manusia,kelompok rentan adalah semua
orang yang menghadapi hambatan atauketerbatasan dalam menikmati standar kehidupan yang
layak bagikemanusiaan dan berlaku umum bagi suatu masyarakat yangberperadaban. Jadi
kelompok rentan dapat didefinisikan sebagaikelompok yang harus mendapatkan perlindungan
dari
 pemerintahkarena kondisi sosial yang sedang mereka hadapi.
Kamus Besar Bahasa Indonesia merumuskan pengertian rentan sebagai : (1) mudah
terkena penyakit dan, (2) peka, mudah merasa. Kelompok yang lemah ini lazimnya tidak
sanggup menolong diri sendiri, sehingga memerlukan bantuan orang lain. Selain itu, kelompok
rentan juga diartikan sebagai kelompok yang mudah dipengaruhi. Pengertian kedua merupakan
konsekuensi logis dari pengertian yang pertama, karena sebagai kelompok lemah sehingga mudah
dipengaruhi.

2.2   PERAWATAN POPULASI RENTAN PADA LANSIA

a.   Definisi
Lansia merupakan salah saat kelompok yang rentan secara fisik, mental dan ekonomik
saat dan setelah bencana yang disebabkan karena
 penurunan kemampuan mobilitas fisik dan atau karena mengalami masalah kesehatan kronis
(Klynman et al,2007). Di Amerika serikat, lebih dari 50% korban kematian akibat dari badai
Katrina adalah lansia dan diperkirakan sekitar 1.300 lansia yang hidup mandiri sebelum
kejadian badai tersebut

3
harus dirawat dipanti jompo setelah bencana alam itu terjadi (Powers & daily,2010).
Pasca bencana, kebutuhan lansia sering terabaikan dan mengalami diskriminasi,
contohnya dalam hal distribusi kebutuhan hidup dan finansial pasca bencana. Hak-hak dan
kebutuhan spesifik lansia kadang- kadang terlupakan yang dapat memperparah masalah
kesehatan dan kondisi depresi pada lansia tersebut (Klynmman et al,2007).
b.  Tindakan yang sesuai untuk kelompok berisiko pada lansia Pra bencana
1)  Libatkan lansia dalam pengambilan keputusan dan sosialisasi disaster

 plan di rumah

2)  Mempertimbangkan kebutuhan lansia dalam perencanaan penanganan

 bencana.
Menurut Ida Farida (2013) Keperawatan bencana pada lansia sebelum bencana yakni
1)  Memfasilitasi rekonstruksi komunitas

Sejak sebelum bencana dilaksanakan kegiatan penyelamatan antara


 penduduk dengan cepat dan akurat, dan distribusi barang bantuan setelah itu pun berjalan
secara sistematis.Sebagai hasilnya, dilaporkan
 bahwa orang lansia dan penyandang cacat yang disebut kelompok rentan pada bencana
tidak pernah diabaikan, sehingga mereka bisa hidup di pengungsian dengan tenang.
2)  Menyiapkan pemanfaatan tempat pengungsian

Diperlukan upaya untuk penyusun perencanaan pelaksanaan pelatihan


 praktek dan pelatihan keperawatan supaya pemanfaatan yang realistis dan bermanfaat
akan tercapai. (Farida, Ida. 2013)
Saat bencana 

1)  Melakukan usaha/bantuan penyelamatan yang tidak meningkatkan risiko kerentanan


lansia, misalnya meminimalkan guncangan/trauma
 pada saat melakukan mobilisasi dan transportasi untuk menghindari trauma sekunder

4
2)  Identifikasi lansia dengan bantuan/kebutuhan khusus contohnya kursi roda, tongkat, dll.
Menurut Ida Farida (2013) keperawatan lansia saat bencana adalah 1) Tempat aman
Yang diprioritaskan pada saat terjadi encana adalah memindahkan orang lansia ke tempat
yang aman. Orang lansia sulit memperoleh informasi karena penuruman daya
pendengaran dan penurunan komunikasi dengan luar
2)  Rasa setia

Selain itu, karena mereka memiliki rasa setia yang dalam pada tanah dan
ruma sendiri, maka tindakan untuk mengungsi pun
 berkecenderungan terlambat dibandingkan dengan generasi yang lain.

3)  Penyelamatan darurat
(Triage, treatment, and transportation) dengan cepat. Fungsi indera orang lansia yang
mengalami perubahan fisik berdasarkan proses menua, maka skala rangsangan luar untuk
memunculkan respon pun mengalami peningkatan sensitivitas sehingga mudah terkena
mati rasa
Pasca Bencana

1)  Program inter-generasional untuk mendukung sosialisasi komunitas dengan lansia dan


mencegah isolasi sosial lansia, diantaranya:
(1)   Libatkan remaja dalam pusat perawatan lansia dan kegiatan- kegiatan sosial
bersama lansia untuk memfasilitasi empati dan interaksi orang muda dan lansia
(community awareness)
(2)   Libatkan lansia sebagai sebagai  storytellers dan animator dalam kegiatan bersama
anak-anak yang diorganisir oleh agency
 perlindungan anak di posko perlindunga korban bencana

2)  Menyediakan dukungan sosial melalui pengembangan jaringan sosial yang sehat di


lokasi penampungan korban bencana
3)  Sediakan kesempatan belajar untuk meningkatkan pengetahuan dan skill lansia.
4)  Ciptakan kesempatan untuk mendapatkan penghasilan secara mandiri

5
5)  Berikan konseling unuk meningkatkan semangat hidup dan kemandirian lansia.
Menurut Ida Farida (2013) keperawatan bencana pada lansia setelah
bencana adalah
1)  Lingkungan dan adaptasi

Dalam kehidupan di tempat pengungsian, terjadi berbagai ketidakcocokan dalam


kehidupan sehari-hari yang disebabkan oleh fungsi fisik yang dibawa oleh setiap individu
sebelum bencana dan
 perubahan lingkungan hidup di tempat pengungsian.Kedua hal ini saling mempengaruhi,
sehingga mengakibtkan penurunan fungsi fisik orang lansia yang lebih parah lagi.
2)  Manajemen penyakit dan pencegahan penyakit sekunder

Lingkungan di tempat pengungsian mengundang tidak hanya ketidakcocokan dalam


kehidupan sehari-hari bagi orang lansia, tetapi
 juga keadaan yang serius pada tubuh.Seperti penumpukan kelelahan karena kurnag tidur
dan kegelisahan.
3)  Orang lanjut usia dan perawatan pada kehidupan di rumah sendiri Lansia yang sudah
kembali ke rumahnya, pertama membereskan
 perabotannya di luar dan dalam rumah.Dibandingkan dengan generasi muda, sering kali
lansia tidak bisa memperoleh informasi mengenai relawan, sehingga tidak bisa
memanfaatkan tenaga tersebut dengan optimal.
4)  Lanjut usia dan perawatan di pemukiman sementara

Lansia yang masuk ke pemukiman sementara terpaksa mengadaptasikan/menyesuaikan


diri lagi terhadap lingkungan baru (lingkungan hubungan manusia dan lingkungan fisik)
dalam waktu yang singkat
5)  Mental Care

Orang lansia mengalami penurunan daya kesiapan maupun daya adaptasi, sehingga mudah
terkena dampak secara fisik oleh stressor.Namun demikian, orang lansia itu
berkecenderungan sabar

6
dengan diam walaupun sudah terkena dampak dan tidak mengekspresikan perasaan dan
keluhan.
c.   Perawatan Keluarga Dirumah

1)  Cara Keluarga (Caregiver)

Kebutuhan Dasar Merawat lansia Kebutuhan dasar merawat lansia


 pada penelitian teridentifikasi kebersihan diri (mandi, ganti baju, kebersihan mulut, dan
eliminasi), nutrisi, istirahat, mobilisasi, sosial dan pemberian obat. Lueckenotte
(2000) perawatan dasar pada lansia
 berhubungan dengan aktivitas dasar sehari  –  hari bagi lansia yang sebenarnya meliputi
tugas perawatan pribadi setiap harinya yang
 berkaitan dengan kebersihan diri, nutrisi, aktivitas lain seperti latihan fisik yang bertujuan
untuk mempertahankan kualitas hidupnya. Hasil
 penelitian memaparkan lansia selain memerlukan aktivitas keseharian
 juga memerlukan istirahat yang cukup dalam mendukung kualitas hidupnya agar tetap
dalam keadaan sehat. Lansia membutuhkan aktivitas untuk bersosialisasi dengan orang
lain. Lansia yang mengalami masalah kesehatan juga memerlukan perawatan dasar lain
yang berguna untuk meningkatkan kesehatannya yaitu pemberian obat. Didukung
penelitian Stanley (2005) mengungkapkan pemberi
 perawatan perlu memenuhi sebagian besar AKS (Aktivitas Kebutuhan Sehari – hari) pada
lansia. Hal tersebut menjelaskan pemberi perawatan harus mengetahui benar tentang
kebutuhan dasar pada lansia yang dirawat sehingga lansia dapat mencapai kualitas hidup
di usia senjanya. Kebutuhan yang mendasar yang dibutuhkan lansia yang harus dipenuhi
adalah kebutuhan kebersihan diri, nutrisi, istirahat, mobilisasi atau aktifitas fisik,
kebutuhan dukungan sosial dan juga jika lansia mengalami masalah kesehatan
dukungan pengobatan harus diberikan oleh keluarga atau pemberi perawatan.
2)  Tujuan Merawat Lansia

Teridentifikasi dua tujuan yaitu membantu lansia dan menjaga keamanan pada
lansia.Tujuan merawat lansia yang dilakukan oleh caregiver menurut Maryam (2008)
untuk menghindari kecelakaan

7
dengan perbaikan lingkungan disekitar lansia, membantu lansia dalam
 pemenuhan kebutuhan.Terdapat persamaan antara konsep dengan hasil
 penelitian.Tujuan dalam perawatan lansia adalah membantu lansia dalam memenuhi
kebutuhannya dan menjaga lansia agar tidak mengalami masalah karena sakit atau
kecelakaan.Hal ini didukung Sukmarini (2009) dalam Sarwendah (2013) yang
menjelasakan bahwa caregiver adalah seseorang yang memberikan bantuan kepada orang
yang mengalami ketidakmampuan dan memerlukan bantuan karena
 penyakit dan keterbatasannya.Hal tersebut memaparkan tujuan
 perawatan lansia yang dilakukan oleh caregiver adalah untuk membantu lansia yang
mengalami keterbatasan dan ketidakmampuan untuk melakukan sesuatu hal.
3)  Metode Merawat Lansia

Metode merawat lansia dilakukan dengan upaya peningkatan kenyamanan lansia


(menawari hal yang disukai dan penuh perhatian), melibatkan keluarga sebagai caregiver
yang lain selama perawatan, dan membawa ke pelayanan kesehatan baik itu ke rumah
sakit ataupun
 puskesmas/ klinik kesehatan terdekat. Videbeck (2008) memaparkan metode yang dapat
digunakan untuk memberikan perawatan pada lansia melalui pengobatan selain melalui
pendekatan individu yang dapat dilakukan dengan intervensi meningkatkan keamanan
klien melalui kerjasama dengan anggota keluarga yang ada sebagai caregiver.Metode
 pemberian perawatan lansia dapat dilakukan dengan pengobatan lansia dibawa ke tempat
pelayanan kesehatan untuk mendapatkan pengobatan yang sesuai dengan masalah yang
dialaminya. Mengikut sertakan anggota keluarga lainnya sebagai caregiver dapat
dilakukan dalam mengurangi beban bagi caregiver yang selama ini merawat lansia dalam
kurun waktu yang cukup lama, selain itu akan semakin meningkatkan rasa kekeluargaan
diantara anggota keluarga yang ada.
4)  Dukungan Sosial Dalam Merawat Lansia

Keluarga yang berperan sebagai caregiver mendapatkan dukungan dari internal yaitu
suami/ istri dan juga dari eksternal yang berasal dari

8
kakak/ adik ipar, kakak/ adik kandung, kader lansia, dan tenaga kesehatan yang ada.
Bentuk dukungan yang didapat berupa dukungan informal yang berasal dari kader
posyandu, tenaga kesehatan baik itu
 perawat maupun dokter.Friedman (1998) menjelaskan keluarga sebagai caregiver
mendapat dukungan internal seperti dukungan istri/suami, atau dukungan saudara kandung
dan dukungan eksternal yang berasal dari luar keluarga.Bentuk dukungan teridentifikasi
dukungan informal didapatkan oleh keluarga sebagai caregiver.Menurut Suparyanto
(2011) dukungan informasional keluarga didapatkan melalui ketersediaan nasehat atau
masukan dari petugas pelayanan kesehatan terdekat.Dukungan informal yang telah
didapatkan oleh caregiver yang sejalan dengan konsep teori adalah yang berasal dari
tenaga kesehatan. Hal tersebut tergambar pentingnya informasi tentang perawatan lansia
kepada keluarga pemberi perawatan lansia tidak hanya informasi lisan tetapi juga
informasi tulisan demi meningkatkan kualitas perawatan .

2.3  PERAWATAN POPULASI RENTAN PADAWANITA HAMIL


a. Definisi
Studi kasus bencana alam yang dilakukan di Bangladesh mendapati bahwa pola kematian akibat
bencana dipengaruhi oleh relasi gender yang ada, meski tidak terlalu konsisten. Pola ini
menempatkan perempuan, terlebih lagi yang hamil, menyusui, dan lansia lebih berisiko karena
keterbatasan mobilitas secara fisik dalam situasi darurat (Enarson, 2000; Indriyani, 2014; Klynman
et al, 2007). Laporan PBB pada tahun 2001 yang berjudul "Women, Disaster Reduction, and
Sustainable Development" menyebutkan bahwa perempuan menerima dampak bencana yang lebih
berat. Dari 120 ribu orang yang meninggal karena badai siklon di Bangladesh tahun 1991, korban
dari kaum perempuan menempati jumlah terbesar. Hal ini disebabkan karena norma kultural
membatasi akses mereka terhadap peringatan bahaya dan akses ke tempat perlindungan (Fatimah,
2009 dikutip dalam Indriyani, 2014).

b. Tindakan yang dilakukan untuk kelompok wanita hamil


Dalam memberikan pelayanan keperawatan pada berbagai macam kondisi kita harus cepat dan
bertindak tepat di tempat bencana, petugas harus ingat bahwa dalam merawat ibu hamil adalah
sama halnya dengan menolong janinnya sehingga meningkatkab kondisi fisik dan mental wanita
hamil dapat melindungi dua kehidupan, ibu hamil dan janinnya. Perubahan fisiologis pada ibu
hamil, seperti peningkatan sirkulasi darah, peningkatan kebutuhan oksigen, dan lain-lain sehingga
lebih rentan saat bencana dan setelah bencana (Farida, Ida. 2013). Menurut Ida Farida (2013) hal-
hal yang perlu diperhatikan dalam penanggulangan ibu hamil:
a) Meningkatkan kebutuhan oksigen
Penyebab kematian janin adalah kematian ibu. Tubuh ibu hamil yang mengalami keadaan
bahaya secara fisik berfungsi untuk membantu menyelamatkan nyawanya sendiri daripada
nyawa si janin dengan mengurangi volume perdarahan pada uterus.
b) Persiapan melahirkan yang aman
Dalam situasi bencana, petugas harus mendapatkan informasi yang jelas dan terpercaya dalam
menentukan tempat melahirkan adalah keamanannya. Hal yang perlu dipersiapkan adalah air
bersih, alat-alat yang bersih dan steril dan obat-obatan, yang perlu diperhatikan adalah evakuasi
ibu ke tempat perawatan selanjutnya yang lebih memadai.

Pra bencana :
1) Melibatkan perempuan dalam penyusunan perencanaan penanganan bencana
2) Mengidentifikasi ibu hamil dan ibu menyusui sebagai kelompok rentan
3) Membuat disaster plans dirumah yang disosialisasikan kepada seluruh anggota keluarga
4) Melibatkan petugas-petugas kesehatan reproduktif dalam mitigasi bencana

9
Saat bencana:
1) Melakukan usaha/bantuan penyelamatan yang tidak meningkatkan risiko kerentanan bumil dan
busui, misalnya: o Meminimalkan guncangan pada saat melakukan mobilisasi dan transportasi
karena dapat merangsang kontraksi pada ibu hamil o Tidak memisahkan bayi dan ibunya saat
proses evakuasi
2) Petugas bencana harus memiliki kapasitas untuk menolong korban bumil dan busui

Pasca bencana:
1) Dukung ibu-ibu menyusui dengan dukungan nutrisi adekuat, cairan dan emosional
2) Melibatkan petugas-petugas kesehatan reproduktif di rumah penampungan korban bencana
untuk menyediakan jasa konseling dan pemeriksaan kesehatan untuk ibu hamil dan menyusui.
3) Melibatkan petugaspetugas konseling untuk mencegah, mengidentifikasi, mengurangi risiko
kejadian depesi pasca bencana.

2.4 PERAWATAN POPULASI RENTAN PADA ANAK-ANAK


a. Definisi
Bayi dan anak-anak sering menjadi korban dalam semua tipe bencana karena ketidakmampuan
mereka melarikan diri dari daerah bahaya. Ketika Pakistan diguncang gempa Oktober 2005, sekitar
16.000 anak meninggal karena gedung sekolah mereka runtuh. Tanah longsor yang erjadi di Leyte,
Filipina, beberapa tahun lalu mengubur lebih dari 200 anak sekolah yang tengah belajar di dalam
kelas (Indriyani 2014). Diperkirakan sekitar 70% dari semua kematian akibat bencana adalah anak-
anak baik itu pada bencana alam maupun bencana yang disebabkan oleh manusia (Powers & Daily,
2010). Selain menjadi korban, anak-anak juga rentan terpisah dari orang tua atau wali mereka saat
bencana terjadi. Diperkirakan sekitar 35.000 anak-anak 4 Indonesia kehilangan satu atau dua orang
tua mereka saat kejadian tsunami 2004. Terdapat juga laporan adanya perdagangan anak (Child-
Trafficking) yang dialami oleh anak-anak yang kehilangan orang tua/wali (Powers & Daily, 2010)
Pasca bencana, anak-anak berisiko mengalami masalah-masalah kesehatan jangka pendek dan
jangka panjang baik fisik dan psikologis karena malnutrisi, penyakit-penyakit infeksi, kurangnya
skill bertahan hidup dan komunikasi, ketidakmampuan melindungi diri sendiri, kurangnya kekuatan
fisik, imunitas dan kemampuan koping. Kondisi tersebut dapat mengancam nyawa jika tidak
diidentifikasi dan ditangani dengan segera oleh petugas kesehatan (Powers & Daily, 2010;
Veenema, 2007).

b. Tindakan yang dilakukan untuk kelompok anak-anak


Pra bencana :
1) Mensosialisasikan dan melibatkan anak-anak dalam latihan kesiagsiagaan bencana misalnya
dalam simulasi bencana kebakaran atau gempa bumi
2) Mempersiapkan fasilitas kesehatan yang khusus untuk bayi dan anak pada saat bencana
3) Perlunya diadakan pelatihan-pelatihan penanganan bencana bagi petugas kesehatan khusus
untuk menangani kelompok-kelompok berisiko

Saat bencana :
1) Mengintegrasikan pertimbanan pediatric dalam sistem triase standar yang digunakan saat
bencana
2) Lakukan pertolongan kegawatdaruratan kepada bayi dan anak sesuai dengan tingkat
kegawatan dan kebutuhannya dengan mempertimbangkan aspek tumbuh kembangnya,
misalnya menggunakan alat dan bahan khusus untuk anak dan tidak disamakan dengan
orang dewasa
3) Selama proses evakuasi, transportasi, sheltering dan dalam pemberian pelayanan fasilitas
kesehatan, hindari memisahkan anak dari orang tua, keluarga atau wali mereka

Pasca bencana :
1) Usahakan kegiatan rutin sehari-hari dapat dilakukan sesegera mungkin contohnya waktu
makan dan personal hygiene teratur, tidur, bermain dan sekolah
2) Monitor status nutrisi anak dengan pengukuran antropometri
3) Dukung dan berikan semangat kepada orang tua 7
4) Dukung ibu-ibu menyusui dengan dukungan adekuat, cairan dan emosional
5) Minta bantuan dari ahli kesehatan anak yang mungkin ada di lokasi evakuasi sebagai
voluntir untuk mencegah, mengidentifikasi,mengurangi resiko kejadian depresi pada anak

10
pasca bencana.
6) Identifikasi anak yang kehilangan orang tua dan sediakan penjaga yang terpercaya serta
lingkunganyang aman untuk mereka

2.5 PERAWATAN POPULASI RENTAN PADA DISABILITAS

a.   Definisi
Bencana alam bisa menimbulkan korban jiwa yang tinggi pada kelompok rentan, salah
satunya penyandang disabilitas. Penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mempunyai
kelainan fisik dan/atau mental yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan
hambatan
 baginya untuk melakukan kegiatan secara selayaknya, yang terdiri dari:
 penyandang disabilitas fisik, penyandang disabilitas mental serta
 penyandang disabilitas fisik dan mental (Peraturan Daerah Provinsi Lampung Nomor 10
Tahun 2013 tentang Pelayanan dan Pemenuhan Hak- Hak Penyandang Disabilitas).
Penyandang disabilitas rentan dalam situasi bencana akibat adanya hambatan dan
kebutuhan yang dialaminya, seperti dari aspek fisik, intelektual, mental, dan sensorik.
Beragamnya hambatan yang dimiliki menyebabkan penyandang disabilitas sering mengalami
kesulitan untuk mengakses dan menggunakan sumber daya yang pada umunya tersedia dalam
penanggulangan bencana (Wulandari, 2017).

11
Terdapat beberapa permasalahan yang dihadapi oleh penyandang disabilitas ketika
bertemu dengan bencana. Permasalahan tersebut terjadi
 pada setiap tahapan manajemen bencana. Permasalahan tersebut antara lain: (1) belum
maksimalnya program persiapan bencana yang sensitif
 penyandang disabilitas, (2) partisipasi penyandang disabilitas masih minim dalam
pendidikan pegurangan risiko bencana (PRB), (3) aksesbilitas
 penyandang disabilitas terhadap materi ajar/belajar PRB, (4) penyandang disabilitas tidak bisa
sepenuhnya bertindak cepat dalam penyelamatan diri, (5) kurangnya pendataan spesifik
tentang identitas dan kondisi penyandang disabilitas, dan (6) kurangnya fasilitas dan
layanan yang aksesibel di
 pengungsian (Konsorsium Hak Difabel (2012, h.23-27).
Penyandang disabilitas bertemu dengan tantangan yang unik dalam setiap tahapan
manajemenbencana, hal yang terlihat adalah gangguan fisik saja namun yang sebenarnya
terjadi adalah gangguan fisik, sosial, dan ekonomi, hal tersebut diungkapkan oleh Raja dan
Narasiman (2013, h.15). Gangguan sosial terjadi ketika lingkungan sosial dari penyandang
disabilitas tidak bisa mengakomodasi keberadaanya dan gangguan ekonomi adalah
permasalahan kemiskinan yang seringkali sudah melekat
 pada dirinya.
Beberapa Pengurangan Risiko Bencana (PRB) Inklusif bagi
Penyandang Disabilitas Menurut Andriani (2014, h.7-11), antara lain :
Menurut Andriani (2014, h.7-11) kegiatan dalam PRB Inklusif bagi
 penyandang disabilitas antara lain:

1)  Situasi Sebelum Bencana


Kegiatan yang seharusnya dilaksanakan pada situasi sebelum
 bencana antara lain:

(1)   Koordinasi dan diskusi dengan komuitas/organiasi penyandang disabilitas terkait


risiko bencana dan membuat persiapan apabila teradi bencana;
(2)   Membuat pemetaan kebutuhan panyandang disabilitas ada saat

 bencana alam; dan

12
(3)   Melatih penyandang disabilitas dan kerabat terdekat tentang kegiatan PRB.
2)  Situasi Saat Bencana

Kegiatan yang dilakukan pada situasi saat bencana antara lain:

(1)   Melakukan evakuasi bagi penyandang disabilitas untuk menjauh dari lokasi bencana;
(2)   Mengevakuasi penyandang disabilitas yang ditinggal oleh
keluarganya saat terjadi bencana;
(3)   Menampung di pengungsian;

(4)   Membawa korban ke rumah sakit; (5) 


Melakukan pendataan dan penilaian; (6) 
Memberikan konseling; dan
(7)  Memberikan terapi.

3)  Early Recovery Early recovery dalam PRB inklusif bagi penyandang disabilitas antara
lain:
(1)   Melibatkan diri secara aktif dalam posko pemberian layanan dalam

 bencana dan

(2)   Pemberian pelatihan penyelamatan diri bagi penyandang


disabilitas.
4)  Rehabilitasi dan Rekonstruksi

Kegiatan dalam rehabilitasi dan rekonstruksi antara lain:

(1)   Melaksanakan penilaian kebutuhan untuk rehabilitasi dan


rekonsiliasi dalam bidang ekonomi dan sarana prasarana;
(2)   Konseling bagi penyandang disabilitas untuk meminimalisir trauma;
(3)   Asistensi activity daily living serta sosialisasi kepada masyarakat; dan
(4)   Asistensi pemberdayaan ekonomi

b.  Tindakan yang sesuai untuk kelompok berisiko pada orang dengan


kecacatan/disabilitas
Pra bencana

13
1)  Sediakan informasi bencana yang bisa diakses oleh orang-orang dengan keterbatasan fisik
seperti: tunarungu, tuna netra, dll
2)  Perlunya diadakan pelatihan-pelatihan penanganan kegawatdaruratan

 bencana bagi petugas kesehatan khusus untuk menanganni korban dengan kebutuhan
khusus (cacat)
Saat bencana

1)  Sediakan alat-alat emergency dan evakuasi yang khusus untuk orang cacat, alat bantu
berjalan untuk korban dengan kecacatan, alat-alat BHD sekali pakai, dll
2)  Tetap menjaga dan meningkatkan kewaspadaan universal (universal

 precaution) untuk petugas dalam melakukan tindakan kegawatdaruratan.


Menurut Ida Farida (2013) keperawatan bencana pada penyandang cacat yakni:
1) Bantuan evakuasi
Saat terjadi bencana, penyandang cacat membutuhkan waktu yang lama untuk
mengevakuasi diri sehingga supaya tidak terlambat dalam mengambil keputusan
untuk melakukan evakuasi, maka informasi
 persiapan evakuasi dan lain-lain perlu diberitahukan kepada
 penyandang cacat dan penolong evakuasi
2) Informasi
Dalam penyampaian informasi digunakan bermacam-macam alat disesuaikan dengan ciri-
ciri penyandang cacat , misalnya internet (email, sms, dll) dan siaran televisi untuk tuna
rungu; handphone yang dapat membaca pesan masuk untuk tuna netra; HP yag dilengkapi
dengan alat handsfree untuk tuna daksa dan sebagainya.
Pertolongan pada penyandang cacat

1)  Tunadaksa
Tunadaksa adalah kebanyakan orang yang jalannya tidak stabil dan mudah jatuh, serta
orang yang memiliki keterbatasan dalam
 perpindahan atau pemakai kursi roda yang tidak dapat melangkah sendirian ketika berada
di tempat yang jalannya tidak rata dan menaiki

14
tangga. Ada yang menganggap kursi roda seperti satu bagian dari tubuh sehingga cara
mendorongnya harus mengecek keinginan si pemakai kursi roda dan keluarga
2)  Tuna netra

Dengan mengingat bahwa tuna netra mudah merasa takut karena menyadari suasana aneh
di sekitarnya, maka perlu diberitahukan tentang kondisi sekitar rumah dan tempat aman
untuk lari dan bantuan untuk pindah di tempat yang tidak familiar. Pada waktu menolong
mereka untukpindah, peganglah siku dan pundak, atau genggamlah secara lembut
pergelangannya karena berkaitan dengan tinggi badan mereka serta berjalanlah setengah
langkah di depannya.
3)  Tuna rungu

Beritahukan dengan senter ketikaberkunjung ke rumahnya karena tidak dapat menerima


informasi suara. Sebagai metode komunikasi, ada
 bahasa tulis, bahasa isyarat, bahasa membaca gerakan mulut lawan
 bicara, dll tetapi belum tentu semuanya dapat menggunakan bahasa isyarat
4)  Gangguan intelektual

Atau perkembangannya sulit dipahami oleh orang pada umunya karena kurang mampu
untuk bertanya dan mengungkapkan pendapatnya sendiri dan seringkali mudah menjadi
panik. Pada saat mereka mengulangi ucapan dan pertanyaan yang sama dengan lawan
bicara, hal itu menandakan bahwa mereka belum mengerti sehingga gunakan kata- kata
sederhana yang mudah dimengerti (Farida, Ida. 2013).
Pasca bencana

1)  Sedapat mungkin, sediakan fasilitas yang dapat mengembalikan kemandirian individu


dengan keterbatasan fisik di lokasi evakuasi sementara. Contohnya: kursi roda, tongkat,
dll 
2)  Libatkan agensi-agensi yang berfokus pada perlindungan individu- individu dengan
keterbatasan fisik
Menurut Ida Farida (2013) keperawatan bencana pada penyandang cacat:

15
1)  Kebutuhan rumah tangga.

Air minum, susu bayi, sanitasi, air bersih, dan sabun untuk MCK (mandi, cuci, kakus),
alat-alat untuk memasak, pakaian, selimut, dan tempat tidur, pemukiman sementara dan
kebutuhan budaya dan adat.
2)  Kebutuhan kesehatan

Kebutuhan kesehatan umum – seperti perlengkapan medis (obat-obatan,


 perban, dll), tenaga medis, pos kesehatan dan perawatan kejiwaan 3) Tempat
ibadah sementara
4) Keamanan wilayah
5) Kebutuhan air
6) Kebutuhan sarana dan prasarana
Kebutuhan saranan dan prasarana yang mendesak  –  seperti air bersih, MCK untuk umum,
jalan ke lokasi bencana, alat komunikasi dalam masyarakat dan pihak luar,
penerangan/listrik, sekolah sementara, alat angkut/transport, gudang penyimpanan
persediaan, tempat pemukiman sementara, pos kesehatan alat dan bahan-bahan.

16
2.6   Sumber Daya yang Tersedia Dilingkungan untuk Kebutuhan Kelompok Beresiko.
Untuk mengurangi dampak yang lebih berat akibat bencana terhadap
kelompok – kelompok beresiko saat bencana baik itu dampak jangka pendek maupun jangka
panjang, maka petugas kesehatan yang terlibat dalam
 penanganan encana perlu mengidentifikasikan sumber daya apa saja yang tersedia di lngkungan
yang dapat digunakan saat bencana terjadi, diantaranya (Enarson, 2000; Federal Emergency
Management Agency (FEMA), 2010; Powers & Daily, 2010; Veenema, 2007 ) :
1)  Terbentuknya desa siaga dan organisasi kemasyarakatan yang terus mensosialisasikan
kesiapsiagaan terhadap bencana terutama untuk area yang rentan terhadap kejadian bencana. 
2)  Kesiapan rumah sakir atau fasilitas kesehatan menerima korban bencana dari kelompok
berisiko baik itu dari segi fasilitas maupun ketenagaan seperti : beberapa jumlah incubator
untuk bayi baru lahir, tempat tidur untuk pasien anak, ventilator anak, fasilitas persalinan,
fasilitas perawatan
 pasien dengan penyakit kronis, dsb 

3)  Adanya symbol – symbol atau bahasa yang bisa dimengerti oleh individu- individu dengan
kecacatan tentang peringatan bencana, jalur evakuasi, lokasi pengungsian dll. 
4)  Adanya system support berpa konseling dari ahli-ahli voluntir yang khusus menangani
kelompok beresiko untuk mencegah dan mengidentifikasi dini kondisi depresi pasca bencana
pada kelompok tersebut sehingga intervensi yang sesuai dapat diberikan untuk merawat
mereka. 
5)  Adanya agensi-agensi baik itu dari pemerintah maupun non pemerintah (NGO) yang
membantu korban bencana terutama kelompok-kelompok
 beresiko seperti : agensi perlindungan anak dan perempuan, agency
 pelacakan keluarga korban bencana ( tracking centre), dll. 

6)  Adanya website atau homepage bencana dan publikasi penelitian yang

 berisi informasi  –  informasi tentang bagaimana perencanaan legawatdaruratan dan bencana
pada kelompok-kelompok dengan kebutuhan khusus dan beresiko. 

17
BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Kamus Besar Bahasa Indonesia merumuskan pengertian rentan sebagai

: (1) mudah terkena penyakit dan, (2) peka, mudah merasa. Kelompok yang lemah ini
lazimnya tidak sanggup menolong diri sendiri, sehingga memerlukan bantuan orang
lain. Selain itu, kelompok rentan juga diartikan sebagai kelompok yang mudah
dipengaruhi. Pengertian kedua merupakan konsekuensi logis dari pengertian yang
pertama, karena sebagai kelompok lemah sehingga mudah dipengaruhi.
Lansia merupakan salah saat kelompok yang rentan secara fisik, mental dan
ekonomik saat dan setelah bencana yang disebabkan karena penurunan kemampuan
mobilitas fisik dan atau karena mengalami masalah kesehatan kronis (Klynman et
al,2007). Di Amerika serikat, lebih dari 50% korban kematian akibat dari badai Katrina
adalah lansia dan diperkirakan sekitar 1.300 lansia yang hidup mandiri sebelum
kejadian badai tersebut harus dirawat dipanti jompo setelah bencana alam itu terjadi
(Powers & daily,2010).
Bencana alam bisa menimbulkan korban jiwa yang tinggi pada kelompok rentan,
salah satunya penyandang disabilitas. Penyandang disabilitas adalah setiap orang yang
mempunyai kelainan fisik dan/atau mental yang dapat mengganggu atau
merupakan rintangan dan hambatan
 baginya untuk melakukan kegiatan secara selayaknya, yang terdiri dari:

 penyandang disabilitas fisik, penyandang disabilitas mental serta penyandang disabilitas


fisik dan mental (Peraturan Daerah Provinsi Lampung Nomor 10 Tahun 2013 tentang
Pelayanan dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas).
3.2 SARAN

Dalam penulisan makalah ini, penulis menyarankan kepada para

 pembaca agar memahami secara mendalam materi yang telah dipaparkan dalam
makalah ini, karena dalam kehidupan sehari-hari hal tersebut sangat
 bermanfaat untuk meningkatkan taraf hidup kelumpok rentan.

18
DAFTAR PUSTAKA

 Ninda Ayu Prabasari P; Linda juwita ; Ira Ayu Maryuti.2017. Pengalaman Keluarga Dalam
Merawat Lansia Di Rumah.Surabaya
Santoso Anang Dwi, Irwan Noor, Mochamad Chazienul Ulum. DISABILITAS DAN
BENCANA (Studi tentang Agenda Setting Kebijakan Pengurangan Risiko
Bencana Inklusif Bagi Penyandang Disabilitas di Kabupaten Klaten, Jawa
Tengah, Indonesia) Jurnal Administrasi Publik (JAP), Vol. 3, No. 12, Hal.
2033-2039
Widowati Evi, Dimas Ayu Novalita. 2018. KESIAPSIAGAAN SEKOLAH LUAR BIASA
(SLB) NEGERI CILACAP DALAM MENGHADAPI
BENCANA DI KABUPATEN CILACAP. Journal of Health Education.
Farida, Ida. 2013. Manajemen Penanggulangan Bencana Kegiatan Belajar V: Keperawatan
Bencana pada Penyandang Cacat. Jakarta: Badan Pengembangan dan
Pemberdayaan Sumber Daya Manusia, Pusat Pendidikan dan Pelatihan Tenaga
Kesehatan.
Powers, R., & Daily, E., (Eds.). 2010. International Disaster Nursing. Cambridge, UK:
The World Association for Disaster and Emergency Medicine & Cambridge
University Press.
Iskandar Husein,  Perlindungan Terhadap Kelompok Rentan (Wanita, Anak,

 Minoritas, Suku Terasing, dll) Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia,


Makalah Disajikan dalam SeminarPembangunan Hukum Nasional ke VIII
Tahun 2003, Denpasar, Bali, 14 - 18 Juli 2003
World Health Organization (WHO) & International Council of Nursing (ICN). 2009. ICN
Framework of Disaster Nursing Competencies. Geneva, Switzerland: ICN.
Ratih Probosiwi, 2016. KETERLIBATAN PENYANDANG DISABILITAS DALAM
PENANGGULANGAN BENCANA DI YOGYAKARTA.
Journal of Health Education

19
(http://repository.ung.ac.id/get/singa/1/1222/Pemberdayaan-Masyarakat-Melalui- Upaya-
Penerapan-Mitigasi-dan-Adaptasi-untuk-Mewujudkan-Desa- Tanggap-
Bencana.pdf)
(https://media.neliti.com/media/publications/83165-ID-disabilitas-dan-bencana- studi-
tentang-ag.pdf)

20

Anda mungkin juga menyukai