Oleh
KELOMPOK 6
Deppy Putri Zagoto (221030122265)
Ester Agustina Zagoto (221030122565)
Javanessa Dhilla C. M. (221030122584)
Rika Emawati (221030121953)
Vida Wahyuni (2210301222298)
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena telah melimpahkan rahmat dan
hidayahnya kepada kita semua. Syukur Alhamdulillah kami dapat mengerjakan tugas Makalah dari
mata kuliah Keperawatan Bencana
Kami mohon maaf apabila dalam penulisan makalah ini terdapat banyak kesalahan
didalamnya. Karena kami menyadari bahwa dalam penyusunan laporan ini masih jauh dari sempurna,
untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun guna
menyempurnakan laporan kami selanjutnya. Kami berharap laporan ini dapat bermanfaat bagi kami
umumnya dan khususnya kepada pembaca.
i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar....................................................................................................................................i
Daftar Isi.................................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN 1
1.3 Manfaat................................................................................................................................ 2
a. Definisi..................................................................................................................................9
a. Definisi................................................................................................................................10
a. Definisi......................................................................................................................... 11
b. Tindakan Yang Sesuai Untuk Kelompok Beresiko Pada Orang Dengan
Kecacatan/Distabilitas...............................................................................................13
2.6 Sumber Daya Yang Tersedia Dilingkungan Untuk Kebutuhan Kelompok
Beresiko.............................................................................................................17
BAB III ( PENUTUP)
A. Kesimpulan.................................................................................................18
B. Saran.............................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................19
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
penanganan khusus dalam pemenuhan kebutuhan dasar seperti bayi,
balita, ibu hamil, ibu menyusui dan lanjut usia baik dengan fisik normal maupun cacat.
Bencana alam bisa menimbulkan korban jiwa yang tinggi
pada kelompok rentan, salah satunya penyandang disabilitas. Penyandang disabilitas adalah setiap
orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental yang dapat mengganggu atau
merupakan rintangan dan hambatan
baginya untuk melakukan kegiatan secara selayaknya, yang terdiri dari:
penyandang disabilitas fisik, penyandang disabilitas mental serta penyandang disabilitas fisik dan
mental (Peraturan Daerah Provinsi Lampung Nomor 10 Tahun 2013 tentang Pelayanan dan
Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas). Hasil Riskesdas 2018 mendapatkan
74,3% lansia dapat
beraktifitas sehari-hari secara mandiri, 22,0% mengalami hambatan ringan, 1,1% hambatan
sedang, 1% hambatan berat, dan 1,6% mengalami ketergantungan total. Ketika terjadi suatu
bencana akan timbul beberapa kejadian atau situasi baik psikologis maupun mental yang dialami
oleh korban, termasuk juga penyandang cacat mental seperti kepanikan yang luar
biasa sehingga gangguan mental yang sering muncul pada lansia setelah
bencana adalah depresi dan gangguan fungsi kognitif.
2
BAB II
TINJAUAN TEORI
a. Definisi
Lansia merupakan salah saat kelompok yang rentan secara fisik, mental dan ekonomik
saat dan setelah bencana yang disebabkan karena
penurunan kemampuan mobilitas fisik dan atau karena mengalami masalah kesehatan kronis
(Klynman et al,2007). Di Amerika serikat, lebih dari 50% korban kematian akibat dari badai
Katrina adalah lansia dan diperkirakan sekitar 1.300 lansia yang hidup mandiri sebelum
kejadian badai tersebut
3
harus dirawat dipanti jompo setelah bencana alam itu terjadi (Powers & daily,2010).
Pasca bencana, kebutuhan lansia sering terabaikan dan mengalami diskriminasi,
contohnya dalam hal distribusi kebutuhan hidup dan finansial pasca bencana. Hak-hak dan
kebutuhan spesifik lansia kadang- kadang terlupakan yang dapat memperparah masalah
kesehatan dan kondisi depresi pada lansia tersebut (Klynmman et al,2007).
b. Tindakan yang sesuai untuk kelompok berisiko pada lansia Pra bencana
1) Libatkan lansia dalam pengambilan keputusan dan sosialisasi disaster
plan di rumah
bencana.
Menurut Ida Farida (2013) Keperawatan bencana pada lansia sebelum bencana yakni
1) Memfasilitasi rekonstruksi komunitas
4
2) Identifikasi lansia dengan bantuan/kebutuhan khusus contohnya kursi roda, tongkat, dll.
Menurut Ida Farida (2013) keperawatan lansia saat bencana adalah 1) Tempat aman
Yang diprioritaskan pada saat terjadi encana adalah memindahkan orang lansia ke tempat
yang aman. Orang lansia sulit memperoleh informasi karena penuruman daya
pendengaran dan penurunan komunikasi dengan luar
2) Rasa setia
Selain itu, karena mereka memiliki rasa setia yang dalam pada tanah dan
ruma sendiri, maka tindakan untuk mengungsi pun
berkecenderungan terlambat dibandingkan dengan generasi yang lain.
3) Penyelamatan darurat
(Triage, treatment, and transportation) dengan cepat. Fungsi indera orang lansia yang
mengalami perubahan fisik berdasarkan proses menua, maka skala rangsangan luar untuk
memunculkan respon pun mengalami peningkatan sensitivitas sehingga mudah terkena
mati rasa
Pasca Bencana
5
5) Berikan konseling unuk meningkatkan semangat hidup dan kemandirian lansia.
Menurut Ida Farida (2013) keperawatan bencana pada lansia setelah
bencana adalah
1) Lingkungan dan adaptasi
Orang lansia mengalami penurunan daya kesiapan maupun daya adaptasi, sehingga mudah
terkena dampak secara fisik oleh stressor.Namun demikian, orang lansia itu
berkecenderungan sabar
6
dengan diam walaupun sudah terkena dampak dan tidak mengekspresikan perasaan dan
keluhan.
c. Perawatan Keluarga Dirumah
Teridentifikasi dua tujuan yaitu membantu lansia dan menjaga keamanan pada
lansia.Tujuan merawat lansia yang dilakukan oleh caregiver menurut Maryam (2008)
untuk menghindari kecelakaan
7
dengan perbaikan lingkungan disekitar lansia, membantu lansia dalam
pemenuhan kebutuhan.Terdapat persamaan antara konsep dengan hasil
penelitian.Tujuan dalam perawatan lansia adalah membantu lansia dalam memenuhi
kebutuhannya dan menjaga lansia agar tidak mengalami masalah karena sakit atau
kecelakaan.Hal ini didukung Sukmarini (2009) dalam Sarwendah (2013) yang
menjelasakan bahwa caregiver adalah seseorang yang memberikan bantuan kepada orang
yang mengalami ketidakmampuan dan memerlukan bantuan karena
penyakit dan keterbatasannya.Hal tersebut memaparkan tujuan
perawatan lansia yang dilakukan oleh caregiver adalah untuk membantu lansia yang
mengalami keterbatasan dan ketidakmampuan untuk melakukan sesuatu hal.
3) Metode Merawat Lansia
Keluarga yang berperan sebagai caregiver mendapatkan dukungan dari internal yaitu
suami/ istri dan juga dari eksternal yang berasal dari
8
kakak/ adik ipar, kakak/ adik kandung, kader lansia, dan tenaga kesehatan yang ada.
Bentuk dukungan yang didapat berupa dukungan informal yang berasal dari kader
posyandu, tenaga kesehatan baik itu
perawat maupun dokter.Friedman (1998) menjelaskan keluarga sebagai caregiver
mendapat dukungan internal seperti dukungan istri/suami, atau dukungan saudara kandung
dan dukungan eksternal yang berasal dari luar keluarga.Bentuk dukungan teridentifikasi
dukungan informal didapatkan oleh keluarga sebagai caregiver.Menurut Suparyanto
(2011) dukungan informasional keluarga didapatkan melalui ketersediaan nasehat atau
masukan dari petugas pelayanan kesehatan terdekat.Dukungan informal yang telah
didapatkan oleh caregiver yang sejalan dengan konsep teori adalah yang berasal dari
tenaga kesehatan. Hal tersebut tergambar pentingnya informasi tentang perawatan lansia
kepada keluarga pemberi perawatan lansia tidak hanya informasi lisan tetapi juga
informasi tulisan demi meningkatkan kualitas perawatan .
Pra bencana :
1) Melibatkan perempuan dalam penyusunan perencanaan penanganan bencana
2) Mengidentifikasi ibu hamil dan ibu menyusui sebagai kelompok rentan
3) Membuat disaster plans dirumah yang disosialisasikan kepada seluruh anggota keluarga
4) Melibatkan petugas-petugas kesehatan reproduktif dalam mitigasi bencana
9
Saat bencana:
1) Melakukan usaha/bantuan penyelamatan yang tidak meningkatkan risiko kerentanan bumil dan
busui, misalnya: o Meminimalkan guncangan pada saat melakukan mobilisasi dan transportasi
karena dapat merangsang kontraksi pada ibu hamil o Tidak memisahkan bayi dan ibunya saat
proses evakuasi
2) Petugas bencana harus memiliki kapasitas untuk menolong korban bumil dan busui
Pasca bencana:
1) Dukung ibu-ibu menyusui dengan dukungan nutrisi adekuat, cairan dan emosional
2) Melibatkan petugas-petugas kesehatan reproduktif di rumah penampungan korban bencana
untuk menyediakan jasa konseling dan pemeriksaan kesehatan untuk ibu hamil dan menyusui.
3) Melibatkan petugaspetugas konseling untuk mencegah, mengidentifikasi, mengurangi risiko
kejadian depesi pasca bencana.
Saat bencana :
1) Mengintegrasikan pertimbanan pediatric dalam sistem triase standar yang digunakan saat
bencana
2) Lakukan pertolongan kegawatdaruratan kepada bayi dan anak sesuai dengan tingkat
kegawatan dan kebutuhannya dengan mempertimbangkan aspek tumbuh kembangnya,
misalnya menggunakan alat dan bahan khusus untuk anak dan tidak disamakan dengan
orang dewasa
3) Selama proses evakuasi, transportasi, sheltering dan dalam pemberian pelayanan fasilitas
kesehatan, hindari memisahkan anak dari orang tua, keluarga atau wali mereka
Pasca bencana :
1) Usahakan kegiatan rutin sehari-hari dapat dilakukan sesegera mungkin contohnya waktu
makan dan personal hygiene teratur, tidur, bermain dan sekolah
2) Monitor status nutrisi anak dengan pengukuran antropometri
3) Dukung dan berikan semangat kepada orang tua 7
4) Dukung ibu-ibu menyusui dengan dukungan adekuat, cairan dan emosional
5) Minta bantuan dari ahli kesehatan anak yang mungkin ada di lokasi evakuasi sebagai
voluntir untuk mencegah, mengidentifikasi,mengurangi resiko kejadian depresi pada anak
10
pasca bencana.
6) Identifikasi anak yang kehilangan orang tua dan sediakan penjaga yang terpercaya serta
lingkunganyang aman untuk mereka
a. Definisi
Bencana alam bisa menimbulkan korban jiwa yang tinggi pada kelompok rentan, salah
satunya penyandang disabilitas. Penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mempunyai
kelainan fisik dan/atau mental yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan
hambatan
baginya untuk melakukan kegiatan secara selayaknya, yang terdiri dari:
penyandang disabilitas fisik, penyandang disabilitas mental serta
penyandang disabilitas fisik dan mental (Peraturan Daerah Provinsi Lampung Nomor 10
Tahun 2013 tentang Pelayanan dan Pemenuhan Hak- Hak Penyandang Disabilitas).
Penyandang disabilitas rentan dalam situasi bencana akibat adanya hambatan dan
kebutuhan yang dialaminya, seperti dari aspek fisik, intelektual, mental, dan sensorik.
Beragamnya hambatan yang dimiliki menyebabkan penyandang disabilitas sering mengalami
kesulitan untuk mengakses dan menggunakan sumber daya yang pada umunya tersedia dalam
penanggulangan bencana (Wulandari, 2017).
11
Terdapat beberapa permasalahan yang dihadapi oleh penyandang disabilitas ketika
bertemu dengan bencana. Permasalahan tersebut terjadi
pada setiap tahapan manajemen bencana. Permasalahan tersebut antara lain: (1) belum
maksimalnya program persiapan bencana yang sensitif
penyandang disabilitas, (2) partisipasi penyandang disabilitas masih minim dalam
pendidikan pegurangan risiko bencana (PRB), (3) aksesbilitas
penyandang disabilitas terhadap materi ajar/belajar PRB, (4) penyandang disabilitas tidak bisa
sepenuhnya bertindak cepat dalam penyelamatan diri, (5) kurangnya pendataan spesifik
tentang identitas dan kondisi penyandang disabilitas, dan (6) kurangnya fasilitas dan
layanan yang aksesibel di
pengungsian (Konsorsium Hak Difabel (2012, h.23-27).
Penyandang disabilitas bertemu dengan tantangan yang unik dalam setiap tahapan
manajemenbencana, hal yang terlihat adalah gangguan fisik saja namun yang sebenarnya
terjadi adalah gangguan fisik, sosial, dan ekonomi, hal tersebut diungkapkan oleh Raja dan
Narasiman (2013, h.15). Gangguan sosial terjadi ketika lingkungan sosial dari penyandang
disabilitas tidak bisa mengakomodasi keberadaanya dan gangguan ekonomi adalah
permasalahan kemiskinan yang seringkali sudah melekat
pada dirinya.
Beberapa Pengurangan Risiko Bencana (PRB) Inklusif bagi
Penyandang Disabilitas Menurut Andriani (2014, h.7-11), antara lain :
Menurut Andriani (2014, h.7-11) kegiatan dalam PRB Inklusif bagi
penyandang disabilitas antara lain:
12
(3) Melatih penyandang disabilitas dan kerabat terdekat tentang kegiatan PRB.
2) Situasi Saat Bencana
(1) Melakukan evakuasi bagi penyandang disabilitas untuk menjauh dari lokasi bencana;
(2) Mengevakuasi penyandang disabilitas yang ditinggal oleh
keluarganya saat terjadi bencana;
(3) Menampung di pengungsian;
3) Early Recovery Early recovery dalam PRB inklusif bagi penyandang disabilitas antara
lain:
(1) Melibatkan diri secara aktif dalam posko pemberian layanan dalam
bencana dan
13
1) Sediakan informasi bencana yang bisa diakses oleh orang-orang dengan keterbatasan fisik
seperti: tunarungu, tuna netra, dll
2) Perlunya diadakan pelatihan-pelatihan penanganan kegawatdaruratan
bencana bagi petugas kesehatan khusus untuk menanganni korban dengan kebutuhan
khusus (cacat)
Saat bencana
1) Sediakan alat-alat emergency dan evakuasi yang khusus untuk orang cacat, alat bantu
berjalan untuk korban dengan kecacatan, alat-alat BHD sekali pakai, dll
2) Tetap menjaga dan meningkatkan kewaspadaan universal (universal
1) Tunadaksa
Tunadaksa adalah kebanyakan orang yang jalannya tidak stabil dan mudah jatuh, serta
orang yang memiliki keterbatasan dalam
perpindahan atau pemakai kursi roda yang tidak dapat melangkah sendirian ketika berada
di tempat yang jalannya tidak rata dan menaiki
14
tangga. Ada yang menganggap kursi roda seperti satu bagian dari tubuh sehingga cara
mendorongnya harus mengecek keinginan si pemakai kursi roda dan keluarga
2) Tuna netra
Dengan mengingat bahwa tuna netra mudah merasa takut karena menyadari suasana aneh
di sekitarnya, maka perlu diberitahukan tentang kondisi sekitar rumah dan tempat aman
untuk lari dan bantuan untuk pindah di tempat yang tidak familiar. Pada waktu menolong
mereka untukpindah, peganglah siku dan pundak, atau genggamlah secara lembut
pergelangannya karena berkaitan dengan tinggi badan mereka serta berjalanlah setengah
langkah di depannya.
3) Tuna rungu
Atau perkembangannya sulit dipahami oleh orang pada umunya karena kurang mampu
untuk bertanya dan mengungkapkan pendapatnya sendiri dan seringkali mudah menjadi
panik. Pada saat mereka mengulangi ucapan dan pertanyaan yang sama dengan lawan
bicara, hal itu menandakan bahwa mereka belum mengerti sehingga gunakan kata- kata
sederhana yang mudah dimengerti (Farida, Ida. 2013).
Pasca bencana
15
1) Kebutuhan rumah tangga.
Air minum, susu bayi, sanitasi, air bersih, dan sabun untuk MCK (mandi, cuci, kakus),
alat-alat untuk memasak, pakaian, selimut, dan tempat tidur, pemukiman sementara dan
kebutuhan budaya dan adat.
2) Kebutuhan kesehatan
16
2.6 Sumber Daya yang Tersedia Dilingkungan untuk Kebutuhan Kelompok Beresiko.
Untuk mengurangi dampak yang lebih berat akibat bencana terhadap
kelompok – kelompok beresiko saat bencana baik itu dampak jangka pendek maupun jangka
panjang, maka petugas kesehatan yang terlibat dalam
penanganan encana perlu mengidentifikasikan sumber daya apa saja yang tersedia di lngkungan
yang dapat digunakan saat bencana terjadi, diantaranya (Enarson, 2000; Federal Emergency
Management Agency (FEMA), 2010; Powers & Daily, 2010; Veenema, 2007 ) :
1) Terbentuknya desa siaga dan organisasi kemasyarakatan yang terus mensosialisasikan
kesiapsiagaan terhadap bencana terutama untuk area yang rentan terhadap kejadian bencana.
2) Kesiapan rumah sakir atau fasilitas kesehatan menerima korban bencana dari kelompok
berisiko baik itu dari segi fasilitas maupun ketenagaan seperti : beberapa jumlah incubator
untuk bayi baru lahir, tempat tidur untuk pasien anak, ventilator anak, fasilitas persalinan,
fasilitas perawatan
pasien dengan penyakit kronis, dsb
3) Adanya symbol – symbol atau bahasa yang bisa dimengerti oleh individu- individu dengan
kecacatan tentang peringatan bencana, jalur evakuasi, lokasi pengungsian dll.
4) Adanya system support berpa konseling dari ahli-ahli voluntir yang khusus menangani
kelompok beresiko untuk mencegah dan mengidentifikasi dini kondisi depresi pasca bencana
pada kelompok tersebut sehingga intervensi yang sesuai dapat diberikan untuk merawat
mereka.
5) Adanya agensi-agensi baik itu dari pemerintah maupun non pemerintah (NGO) yang
membantu korban bencana terutama kelompok-kelompok
beresiko seperti : agensi perlindungan anak dan perempuan, agency
pelacakan keluarga korban bencana ( tracking centre), dll.
berisi informasi – informasi tentang bagaimana perencanaan legawatdaruratan dan bencana
pada kelompok-kelompok dengan kebutuhan khusus dan beresiko.
17
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
: (1) mudah terkena penyakit dan, (2) peka, mudah merasa. Kelompok yang lemah ini
lazimnya tidak sanggup menolong diri sendiri, sehingga memerlukan bantuan orang
lain. Selain itu, kelompok rentan juga diartikan sebagai kelompok yang mudah
dipengaruhi. Pengertian kedua merupakan konsekuensi logis dari pengertian yang
pertama, karena sebagai kelompok lemah sehingga mudah dipengaruhi.
Lansia merupakan salah saat kelompok yang rentan secara fisik, mental dan
ekonomik saat dan setelah bencana yang disebabkan karena penurunan kemampuan
mobilitas fisik dan atau karena mengalami masalah kesehatan kronis (Klynman et
al,2007). Di Amerika serikat, lebih dari 50% korban kematian akibat dari badai Katrina
adalah lansia dan diperkirakan sekitar 1.300 lansia yang hidup mandiri sebelum
kejadian badai tersebut harus dirawat dipanti jompo setelah bencana alam itu terjadi
(Powers & daily,2010).
Bencana alam bisa menimbulkan korban jiwa yang tinggi pada kelompok rentan,
salah satunya penyandang disabilitas. Penyandang disabilitas adalah setiap orang yang
mempunyai kelainan fisik dan/atau mental yang dapat mengganggu atau
merupakan rintangan dan hambatan
baginya untuk melakukan kegiatan secara selayaknya, yang terdiri dari:
pembaca agar memahami secara mendalam materi yang telah dipaparkan dalam
makalah ini, karena dalam kehidupan sehari-hari hal tersebut sangat
bermanfaat untuk meningkatkan taraf hidup kelumpok rentan.
18
DAFTAR PUSTAKA
Ninda Ayu Prabasari P; Linda juwita ; Ira Ayu Maryuti.2017. Pengalaman Keluarga Dalam
Merawat Lansia Di Rumah.Surabaya
Santoso Anang Dwi, Irwan Noor, Mochamad Chazienul Ulum. DISABILITAS DAN
BENCANA (Studi tentang Agenda Setting Kebijakan Pengurangan Risiko
Bencana Inklusif Bagi Penyandang Disabilitas di Kabupaten Klaten, Jawa
Tengah, Indonesia) Jurnal Administrasi Publik (JAP), Vol. 3, No. 12, Hal.
2033-2039
Widowati Evi, Dimas Ayu Novalita. 2018. KESIAPSIAGAAN SEKOLAH LUAR BIASA
(SLB) NEGERI CILACAP DALAM MENGHADAPI
BENCANA DI KABUPATEN CILACAP. Journal of Health Education.
Farida, Ida. 2013. Manajemen Penanggulangan Bencana Kegiatan Belajar V: Keperawatan
Bencana pada Penyandang Cacat. Jakarta: Badan Pengembangan dan
Pemberdayaan Sumber Daya Manusia, Pusat Pendidikan dan Pelatihan Tenaga
Kesehatan.
Powers, R., & Daily, E., (Eds.). 2010. International Disaster Nursing. Cambridge, UK:
The World Association for Disaster and Emergency Medicine & Cambridge
University Press.
Iskandar Husein, Perlindungan Terhadap Kelompok Rentan (Wanita, Anak,
19
(http://repository.ung.ac.id/get/singa/1/1222/Pemberdayaan-Masyarakat-Melalui- Upaya-
Penerapan-Mitigasi-dan-Adaptasi-untuk-Mewujudkan-Desa- Tanggap-
Bencana.pdf)
(https://media.neliti.com/media/publications/83165-ID-disabilitas-dan-bencana- studi-
tentang-ag.pdf)
20