Anda di halaman 1dari 21

DI

OLEH
KELOMPOK : 5

NURHAYATI
IRZA MISRA
DEWI SARTIKA
SITI MAQFIRAH
ZURRRATUN MAHMUDAH

1
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Posisi wilayah Indonesia, secara geografis dan demografis rawan
terjadinya bencana alam dan non alam seperti gempa tektonik, tsunami,
banjir dan angin puting beliung. Bencana non alam akibat ulah manusia yang
tidak mengelola alam dengan baik dapat mengakibatkan timbulnya bencana
alam, seperti tanah longsor, banjir bandang, kebakaran hutan dan kekeringan.
The United National Disaster Management Training Program,mendefinisikan
bencana adalah kejadian yang datang tiba-tiba dan mengacaukan fungsi
normal masyarakat atau komunitas. Peristiwa atau rangkain kejadian yang
menimbulkan korban jiwa, kerusakan atau kerugian infrastruktur, pelayanan
umum, dan kehidupan masyarakat. Peristiwa ini diluar kapasitas normal dari
masyarakat untuk mengatasinya, sehingga memerlukan bantuan dari luar
masyarakat tersebut (Kollek, 2013).Berdasarkan pengertian-pengertian bencana
diatas, bencana dapat diartikan sebagai suatu kejadian atau peristiwa yang
tidak dapat diatasi oleh masyarakat dan dapat menimbulkan korban jiwa,
kerusakan maupun kerugian harta benda. Menurut Badan Penanggulan Bencana
Inonesia (2016) telah terjadi 2.384 bencana alam di seluruh Indonesia.Angka ini
meningkat signifikan dibanding tahun 2015 dimana catatan bencana alam
berjumlah 1.732 kejadian. Selama 2016 terjadi 766 bencana banjir, 612 longsor,
669 puting beliung, 74 kombinasi banjir dan longsor, 178 kebakaran hutan dan
lahan, 13 gempa, tujuh gunung meletus, dan 23 gelombang pasang dan
abrasi. Dampak yang ditimbulkan bencana telah menyebabkan 522 orang
meninggal dunia dan hilang, 3,05 juta jiwa mengungsi dan menderita, 69.287 unit
rumah rusak dimana 9.171 rusak berat, 13.077 rusak sedang, 47.039 rusak
ringan, dan 2.311 unit fasilitas umum rusak (BNPB, 2016). Dampak yang
ditimbulkan menimbulkan kedaruratan disegala bidang termasuk kedaruratan
situasi pada masalah kesehatan pada kelompok rentan. Kelompok rentan adalah
sekelompok orang yang membutuhkan penanganan khusus dalam pemenuhan
kebutuhan dasar seperti bayi, balita, ibu hamil, ibu menyusui dan lanjut usia

2
baik dengan fisik normal maupun cacat. Bencana alam bisa menimbulkan
korban jiwa yang tinggi pada kelompok rentan, salah satunya penyandang
disabilitas. Penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mempunyai kelainan
fisik dan/atau mental yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan
hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara selayaknya, yang terdiri dari:
penyandang disabilitas fisik, penyandang disabilitas mental serta penyandang
disabilitas fisik dan mental (Peraturan Daerah Provinsi Lampung Nomor 10
Tahun 2013 tentang Pelayanan dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang
Disabilitas). Hasil Riskesdas 2018 mendapatkan 74,3% lansia dapat beraktifitas
sehari-hari secara mandiri, 22,0% mengalami hambatan ringan, 1,1% hambatan
sedang, 1% hambatan berat, dan 1,6% mengalami ketergantungan total. Ketika
terjadi suatu bencana akan timbul beberapa kejadian atau situasi baik psikologis
maupun mental yang dialami oleh korban, termasuk juga penyandang cacat
mental seperti kepanikan yang luar biasa sehingga gangguan mental yang sering
muncul pada lansia setelah bencana adalah depresi dan gangguan fungsi
kognitif.

B. Rumusan masalah
1. Apakah definisi kelompok rentan?
2. Bagaimana perawatan populasi rentan pada lansia?
3. Bagaimana perawatan populasi rentan pada disabilitas?
4. Bagaimana perawatan populasi rentan pada sakit mental?
5. Bagaimana sumber daya yang tersedia dilungkungan untuk kebutuhan
kelompok resiko?

C. Tujuan

1. Mengetahui definisi kelompok rentan


2. Mengetahui perawatan populasi rentan pada lansia
3. Mengetahui perawatan populasi rentan pada lansia disabilitas
4. Mengetahui perawatan populasi rentan pada lansia pada sakit mental
5. Mengetahui sumber daya yang tersedia dilingkungan untuk kebutuhan
kelompok resiko

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. DEFINISI KELOMPOK RENTAN


Menurut UU No 24/2007, pasal 55, ayat 2 Kelompok rentan dalam situasi
bencana adalah individu atau kelompok yang terdampak lebih berat diakibatkan
adanya kekurangan dan kelemahan yang dimilikinya yang pada saat bencana
terjadi menjadi beresiko lebih besar, meliputi: bayi, balita, dan anak-anak; ibu
yang sedang mengandung / menyusui; penyandang cacat (disabilitas); dan orang
lanjut usia.
Menurut Departeman Hukum dan Hak Asasi Manusia,kelompok rentan
adalah semua orang yang menghadapi hambatan atauketerbatasan dalam
menikmati standar kehidupan yang layak bagikemanusiaan dan berlaku umum
bagi suatu masyarakat yangberperadaban. Jadi kelompok rentan dapat
didefinisikan sebagaikelompok yang harus mendapatkan perlindungan dari
pemerintahkarena kondisi sosial yang sedang mereka hadapi.
Kamus Besar Bahasa Indonesia merumuskan pengertian rentan sebagai :
(1) mudah terkena penyakit dan, (2) peka, mudah merasa. Kelompok yang lemah
ini lazimnya tidak sanggup menolong diri sendiri, sehingga memerlukan bantuan
orang lain. Selain itu, kelompok rentan juga diartikan sebagai kelompok yang
mudah dipengaruhi. Pengertian kedua merupakan konsekuensi logis dari
pengertian yang pertama, karena sebagai kelompok lemah sehingga mudah
dipengaruhi.

B. Perawatan Populasi Rentan Pada Lansia


1. Definisi
Lansia merupakan salah saat kelompok yang rentan secara fisik, mental
dan ekonomik saat dan setelah bencana yang disebabkan karena penurunan
kemampuan mobilitas fisik dan atau karena mengalami masalah kesehatan kronis
(Klynman et al,2007). Di Amerika serikat, lebih dari 50% korban kematian akibat
dari badai Katrina adalah lansia dan diperkirakan sekitar 1.300 lansia yang hidup

4
mandiri sebelum kejadian badai tersebut harus dirawat dipanti jompo setelah
bencana alam itu terjadi (Powers & daily,2010).
Pasca bencana, kebutuhan lansia sering terabaikan dan mengalami
diskriminasi, contohnya dalam hal distribusi kebutuhan hidup dan finansial pasca
bencana. Hak-hak dan kebutuhan spesifik lansia kadang-kadang terlupakan yang
dapat memperparah masalah kesehatan dan kondisi depresi pada lansia tersebut
(Klynmman et al,2007).
2. Tindakan yang sesuai untuk kelompok berisiko pada lansia Pra
bencana

a. Libatkan lansia dalam pengambilan keputusan dan sosialisasi disaster


plan di rumah
b. Mempertimbangkan kebutuhan lansia dalam perencanaan penanganan
bencana.
Menurut Ida Farida (2013) Keperawatan bencana pada lansia
sebelum bencana yakni
1) Memfasilitasi rekonstruksi komunitas
Sejak sebelum bencana dilaksanakan kegiatan penyelamatan antara
penduduk dengan cepat dan akurat, dan distribusi barang bantuan
setelah itu pun berjalan secara sistematis.Sebagai hasilnya,
dilaporkan bahwa orang lansia dan penyandang cacat yang disebut
kelompok rentan pada bencana tidak pernah diabaikan, sehingga
mereka bisa hidup di pengungsian dengan tenang.
2) Menyiapkan pemanfaatan tempat pengungsian
Diperlukan upaya untuk penyusun perencanaan pelaksanaan
pelatihan praktek dan pelatihan keperawatan supaya pemanfaatan
yang realistis dan bermanfaat akan tercapai. (Farida, Ida. 2013)
Saat bencana
1) Melakukan usaha/bantuan penyelamatan yang tidka meningkatkan
risiko kerentanan lansia, misalnya meminimalkan guncangan/trauma
pada saat melakukan mobilisasi dan transportasi untuk menghindari
trauma sekunder

5
2) Identifikasi lansia dengan bantuan/kebutuhan khusus contohnya
kursi roda, tongkat, dll.
Menurut Ida Farida (2013) keperawatan lansia saat bencana adalah
1) Tempat aman
Yang diprioritaskan pada saat terjadi encana adalah
memindahkan orang lansia ke tempat yang aman. Orang lansia
sulit memperoleh informasi karena penuruman daya
pendengaran dan penurunan komunikasi dengan luar
2) Rasa setia
Selain itu, karena mereka memiliki rasa setia yang dalam pada
tanah dan ruma sendiri, maka tindakan untuk mengungsi pun
berkecenderungan terlambat dibandingkan dengan generasi yang
lain.
3) Penyelamatan darurat
(Triage, treatment, and transportation) dengan cepat. Fungsi
indera orang lansia yang mengalami perubahan fisik
berdasarkan proses menua, maka skala rangsangan luar untuk
memunculkan respon pun mengalami peningkatan sensitivitas
sehingga mudah terkena mati rasa
Pasca Bencana
1) Program inter-generasional untuk mendukung sosialisasi komunitas
dengan lansia dan mencegah isolasi sosial lansia, diantaranya:
a) Libatkan remaja dalam pusat perawatan lansia dan kegiatan-
kegiatan sosial bersama lansia untuk memfasilitasi empati dan
interaksi orang muda dan lansia (community awareness)
b) Libatkan lansia sebagai sebagai storytellers dan animator dalam
kegiatan bersama anak-anak yang diorganisir oleh agency
perlindungan anak di posko perlindunga korban bencana
2) Menyediakan dukungan sosial melalui pengembangan jaringan sosial
yang sehat di lokasi penampungan korban bencana
3) Sediakan kesempatan belajar untuk meningkatkan pengetahuan dan
skill lansia.

6
4) Ciptakan kesempatan untuk mendapatkan penghasilan secara
mandiri
5) Berikan konseling unuk meningkatkan semangat hidup dan
kemandirian lansia.
Menurut Ida Farida (2013) keperawatan bencana pada lansia
setelah bencana adalah
1) Lingkungan dan adaptasi
Dalam kehidupan di tempat pengungsian, terjadi berbagai
ketidakcocokan dalam kehidupan sehari-hari yang disebabkan
oleh fungsi fisik yang dibawa oleh setiap individu sebelum
bencana dan perubahan lingkungan hidup di tempat
pengungsian.Kedua hal ini saling mempengaruhi, sehingga
mengakibtkan penurunan fungsi fisik orang lansia yang lebih
parah lagi.
2) Manajemen penyakit dan pencegahan penyakit sekunder
Lingkungan di tempat pengungsian mengundang tidak hanya
ketidakcocokan dalam kehidupan sehari-hari bagi orang lansia,
tetapi juga keadaan yang serius pada tubuh.Seperti penumpukan
kelelahan karena kurnag tidur dan kegelisahan.
3) Orang lanjut usia dan perawatan pada kehidupan di rumah sendiri
Lansia yang sudah kembali ke rumahnya, pertama membereskan
perabotannya di luar dan dalam rumah.Dibandingkan dengan
generasi muda, sering kali lansia tidak bisa memperoleh informasi
mengenai relawan, sehingga tidak bisa memanfaatkan tenaga
tersebut dengan optimal.
4) Lanjut usia dan perawatan di pemukiman sementara
Lansia yang masuk ke pemukiman sementara terpaksa
mengadaptasikan/menyesuaikan diri lagi terhadap lingkungan
baru (lingkungan hubungan manusia dan lingkungan fisik) dalam
waktu yang singkat
5) Mental Care

7
Orang lansia mengalami penurunan daya kesiapan maupun daya
adaptasi, sehingga mudah terkena dampak secara fisik oleh
stressor.Namun demikian, orang lansia itu berkecenderungan
sabar dengan diam walaupun sudah terkena dampak dan tidak
mengekspresikan perasaan dan keluhan.
3. Perawatan Keluarga Dirumah
a. Cara Keluarga (Caregiver)
Kebutuhan Dasar Merawat lansia Kebutuhan dasar merawat lansia
pada penelitian teridentifikasi kebersihan diri (mandi, ganti baju,
kebersihan mulut, dan eliminasi), nutrisi, istirahat, mobilisasi, sosial
dan pemberian obat. Lueckenotte (2000) perawatan dasar pada lansia
berhubungan dengan aktivitas dasar sehari – hari bagi lansia yang
sebenarnya meliputi tugas perawatan pribadi setiap harinya yang
berkaitan dengan kebersihan diri, nutrisi, aktivitas lain seperti latihan
fisik yang bertujuan untuk mempertahankan kualitas hidupnya. Hasil
penelitian memaparkan lansia selain memerlukan aktivitas keseharian
juga memerlukan istirahat yang cukup dalam mendukung kualitas
hidupnya agar tetap dalam keadaan sehat. Lansia membutuhkan
aktivitas untuk bersosialisasi dengan orang lain. Lansia yang
mengalami masalah kesehatan juga memerlukan perawatan dasar lain
yang berguna untuk meningkatkan kesehatannya yaitu pemberian obat.
Didukung penelitian Stanley (2005) mengungkapkan pemberi
perawatan perlu memenuhi sebagian besar AKS (Aktivitas Kebutuhan
Sehari – hari) pada lansia. Hal tersebut menjelaskan pemberi perawatan
harus mengetahui benar tentang kebutuhan dasar pada lansia yang
dirawat sehingga lansia dapat mencapai kualitas hidup di usia senjanya.
Kebutuhan yang mendasar yang dibutuhkan lansia yang harus dipenuhi
adalah kebutuhan kebersihan diri, nutrisi, istirahat, mobilisasi atau
aktifitas fisik, kebutuhan dukungan sosial dan juga jika lansia
mengalami masalah kesehatan dukungan pengobatan harus diberikan
oleh keluarga atau pemberi perawatan.

8
b. Tujuan Merawat Lansia
Teridentifikasi dua tujuan yaitu membantu lansia dan menjaga
keamanan pada lansia.Tujuan merawat lansia yang dilakukan oleh
caregiver menurut Maryam (2008) untuk menghindari kecelakaan
dengan perbaikan lingkungan disekitar lansia, membantu lansia dalam
pemenuhan kebutuhan.Terdapat persamaan antara konsep dengan hasil
penelitian.Tujuan dalam perawatan lansia adalah membantu lansia
dalam memenuhi kebutuhannya dan menjaga lansia agar tidak
mengalami masalah karena sakit atau kecelakaan.Hal ini didukung
Sukmarini (2009) dalam Sarwendah (2013) yang menjelasakan bahwa
caregiver adalah seseorang yang memberikan bantuan kepada orang
yang mengalami ketidakmampuan dan memerlukan bantuan karena
penyakit dan keterbatasannya.Hal tersebut memaparkan tujuan
perawatan lansia yang dilakukan oleh caregiver adalah untuk membantu
lansia yang mengalami keterbatasan dan ketidakmampuan untuk
melakukan sesuatu hal.
c. Metode Merawat Lansia
Metode merawat lansia dilakukan dengan upaya peningkatan
kenyamanan lansia (menawari hal yang disukai dan penuh perhatian),
melibatkan keluarga sebagai caregiver yang lain selama perawatan, dan
membawa ke pelayanan kesehatan baik itu ke rumah sakit ataupun
puskesmas/ klinik kesehatan terdekat. Videbeck (2008) memaparkan
metode yang dapat digunakan untuk memberikan perawatan pada lansia
melalui pengobatan selain melalui pendekatan individu yang dapat
dilakukan dengan intervensi meningkatkan keamanan klien melalui
kerjasama dengan anggota keluarga yang ada sebagai caregiver.Metode
pemberian perawatan lansia dapat dilakukan dengan pengobatan lansia
dibawa ke tempat pelayanan kesehatan untuk mendapatkan pengobatan
yang sesuai dengan masalah yang dialaminya. Mengikut sertakan
anggota keluarga lainnya sebagai caregiver dapat dilakukan dalam
mengurangi beban bagi caregiver yang selama ini merawat lansia dalam

9
kurun waktu yang cukup lama, selain itu akan semakin meningkatkan
rasa kekeluargaan diantara anggota keluarga yang ada.
d. Dukungan Sosial Dalam Merawat Lansia
Keluarga yang berperan sebagai caregiver mendapatkan dukungan
dari internal yaitu suami/ istri dan juga dari eksternal yang berasal dari
kakak/ adik ipar, kakak/ adik kandung, kader lansia, dan tenaga
kesehatan yang ada. Bentuk dukungan yang didapat berupa dukungan
informal yang berasal dari kader posyandu, tenaga kesehatan baik itu
perawat maupun dokter.Friedman (1998) menjelaskan keluarga sebagai
caregiver mendapat dukungan internal seperti dukungan istri/suami,
atau dukungan saudara kandung dan dukungan eksternal yang berasal
dari luar keluarga.Bentuk dukungan teridentifikasi dukungan informal
didapatkan oleh keluarga sebagai caregiver.Menurut Suparyanto (2011)
dukungan informasional keluarga didapatkan melalui ketersediaan
nasehat atau masukan dari petugas pelayanan kesehatan
terdekat.Dukungan informal yang telah didapatkan oleh caregiver yang
sejalan dengan konsep teori adalah yang berasal dari tenaga kesehatan.
Hal tersebut tergambar pentingnya informasi tentang perawatan lansia
kepada keluarga pemberi perawatan lansia tidak hanya informasi lisan
tetapi juga informasi tulisan demi meningkatkan kualitas perawatan .

C. Perawatan Populasi Rentan Pada Disabilitas


1. Definisi
Bencana alam bisa menimbulkan korban jiwa yang tinggi pada kelompok
rentan, salah satunya penyandang disabilitas. Penyandang disabilitas adalah setiap
orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental yang dapat mengganggu
atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan
secara selayaknya, yang terdiri dari: penyandang disabilitas fisik, penyandang
disabilitas mental serta penyandang disabilitas fisik dan mental (Peraturan Daerah
Provinsi Lampung Nomor 10 Tahun 2013 tentang Pelayanan dan Pemenuhan
Hak-Hak Penyandang Disabilitas).

10
Penyandang disabilitas rentan dalam situasi bencana akibat adanya
hambatan dan kebutuhan yang dialaminya, seperti dari aspek fisik, intelektual,
mental, dan sensorik. Beragamnya hambatan yang dimiliki menyebabkan
penyandang disabilitas sering mengalami kesulitan untuk mengakses dan
menggunakan sumber daya yang pada umunya tersedia dalam penanggulangan
bencana (Wulandari, 2017).
Terdapat beberapa permasalahan yang dihadapi oleh penyandang
disabilitas ketika bertemu dengan bencana. Permasalahan tersebut terjadi pada
setiap tahapan manajemen bencana. Permasalahan tersebut antara lain: (1) belum
maksimalnya program persiapan bencana yang sensitif penyandang disabilitas, (2)
partisipasi penyandang disabilitas masih minim dalam pendidikan pegurangan
risiko bencana (PRB), (3) aksesbilitas penyandang disabilitas terhadap materi
ajar/belajar PRB, (4) penyandang disabilitas tidak bisa sepenuhnya bertindak
cepat dalam penyelamatan diri, (5) kurangnya pendataan spesifik tentang identitas
dan kondisi penyandang disabilitas, dan (6) kurangnya fasilitas dan layanan yang
aksesibel di pengungsian (Konsorsium Hak Difabel (2012, h.23-27).
Penyandang disabilitas bertemu dengan tantangan yang unik dalam setiap
tahapan manajemen bencana, hal yang terlihat adalah gangguan fisik saja namun
yang sebenarnya terjadi adalah gangguan fisik, sosial, dan ekonomi, hal tersebut
diungkapkan oleh Raja dan Narasiman (2013, h.15). Gangguan sosial terjadi
ketika lingkungan sosial dari penyandang disabilitas tidak bisa mengakomodasi
keberadaanya dan gangguan ekonomi adalah permasalahan kemiskinan yang
seringkali sudah melekat pada dirinya.
Beberapa Pengurangan Risiko Bencana (PRB) Inklusif bagi Penyandang
Disabilitas Menurut Andriani (2014, h.7-11), antara lain :
Menurut Andriani (2014, h.7-11) kegiatan dalam PRB Inklusif bagi
penyandang disabilitas antara lain:
a. Situasi Sebelum Bencana
Kegiatan yang seharusnya dilaksanakan pada situasi sebelum
bencana antara lain:

11
1) Koordinasi dan diskusi dengan komuitas/organiasi penyandang
disabilitas terkait risiko bencana dan membuat persiapan apabila
teradi bencana;
2) Membuat pemetaan kebutuhan panyandang disabilitas ada saat
bencana alam; dan
3) Melatih penyandang disabilitas dan kerabat terdekat tentang
kegiatan PRB.
b. Situasi Saat Bencana
Kegiatan yang dilakukan pada situasi saat bencana antara lain:
1) Melakukan evakuasi bagi penyandang disabilitas untuk menjauh
dari lokasi bencana;
2) Mengevakuasi penyandang disabilitas yang ditinggal oleh
keluarganya saat terjadi bencana;
3) Menampung di pengungsian;
4) Membawa korban ke rumah sakit;
5) Melakukan pendataan dan penilaian;
6) Memberikan konseling; dan
7) Memberikan terapi.
c. Early Recovery Early recovery dalam PRB inklusif bagi penyandang
disabilitas antara lain:
1) Melibatkan diri secara aktif dalam posko pemberian layanan dalam
bencana dan
2) Pemberian pelatihan penyelamatan diri bagi penyandang
disabilitas.
d. Rehabilitasi dan Rekonstruksi
Kegiatan dalam rehabilitasi dan rekonstruksi antara lain:
1) Melaksanakan penilaian kebutuhan untuk rehabilitasi dan
rekonsiliasi dalam bidang ekonomi dan sarana prasarana;
2) Konseling bagi penyandang disabilitas untuk meminimalisir
trauma;
3) Asistensi activity daily living serta sosialisasi kepada masyarakat;
dan

12
4) Asistensi pemberdayaan ekonomi
2. Tindakan yang sesuai untuk kelompok berisiko pada orang dengan
kecacatan/disabilitas
Pra bencana
a. Sediakan informasi bencana yang bisa diakses oleh orang-orang dengan
keterbatasan fisik seperti: tunarungu, tuna netra, dll
b. Perlunya diadakan pelatihan-pelatihan penanganan kegawatdaruratan
bencana bagi petugas kesehatan khusus untuk menanganni korban
dengan kebutuhan khusus (cacat)
Saat bencana
a. Sediakan alat-alat emergency dan evakuasi yang khusus untuk orang
cacat, alat bantu berjalan untuk korban dengan kecacatan, alat-alat BHD
sekali pakai, dll
b. Tetap menjaga dan meningkatkan kewaspadaan universal (universal
precaution) untuk petugas dalam melakukan tindakan
kegawatdaruratan.
Menurut Ida Farida (2013) keperawatan bencana pada penyandang
cacat yakni:
a. Bantuan evakuasi
Saat terjadi bencana, penyandang cacat membutuhkan waktu yang lama
untuk mengevakuasi diri sehingga supaya tidak terlambat dalam
mengambil keputusan untuk melakukan evakuasi, maka informasi
persiapan evakuasi dan lain-lain perlu diberitahukan kepada
penyandang cacat dan penolong evakuasi
b. Informasi
Dalam penyampaian informasi digunakan bermacam-macam alat
disesuaikan dengan ciri-ciri penyandang cacat , misalnya internet
(email, sms, dll) dan siaran televisi untuk tuna rungu; handphone yang
dapat membaca pesan masuk untuk tuna netra; HP yag dilengkapi
dengan alat handsfree untuk tuna daksa dan sebagainya.

13
Pertolongan pada penyandang cacat
a. Tunadaksa
Tunadaksa adalah kebanyakan orang yang jalannya tidak stabil dan
mudah jatuh, serta orang yang memiliki keterbatasan dalam
perpindahan atau pemakai kursi roda yang tidak dapat melangkah
sendirian ketika berada di tempat yang jalannya tidak rata dan menaiki
tangga. Ada yang menganggap kursi roda seperti satu bagian dari tubuh
sehingga cara mendorongnya harus mengecek keinginan si pemakai
kursi roda dan keluarga
b. Tuna netra
Dengan mengingat bahwa tuna netra mudah merasa takut karena
menyadari suasana aneh di sekitarnya, maka perlu diberitahukan
tentang kondisi sekitar rumah dan tempat aman untuk lari dan bantuan
untuk pindah di tempat yang tidak familiar. Pada waktu menolong
mereka untukpindah, peganglah siku dan pundak, atau genggamlah
secara lembut pergelangannya karena berkaitan dengan tinggi badan
mereka serta berjalanlah setengah langkah di depannya.
c. Tuna rungu
Beritahukan dengan senter ketikaberkunjung ke rumahnya karena tidak
dapat menerima informasi suara. Sebagai metode komunikasi, ada
bahasa tulis, bahasa isyarat, bahasa membaca gerakan mulut lawan
bicara, dll tetapi belum tentu semuanya dapat menggunakan bahasa
isyarat
d. Gangguan intelektual
Atau perkembangannya sulit dipahami oleh orang pada umunya karena
kurang mampu untuk bertanya dan mengungkapkan pendapatnya
sendiri dan seringkali mudah menjadi panik. Pada saat mereka
mengulangi ucapan dan pertanyaan yang sama dengan lawan bicara, hal
itu menandakan bahwa mereka belum mengerti sehingga gunakan kata-
kata sederhana yang mudah dimengerti (Farida, Ida. 2013).

14
Pasca bencana
a. Sedapat mungkin, sediakan fasilitas yang dapat mengembalikan
kemandirian individu dengan keterbatasan fisik di lokasi evakuasi
sementara. Contohnya: kursi roda, tongkat, dll
b. Libatkan agensi-agensi yang berfokus pada perlindungan individu-
individu dengan keterbatasan fisik
Menurut Ida Farida (2013) keperawatan bencana pada penyandang
cacat:
1) Kebutuhan rumah tangga.
Air minum, susu bayi, sanitasi, air bersih, dan sabun untuk MCK
(mandi, cuci, kakus), alat-alat untuk memasak, pakaian, selimut, dan
tempat tidur, pemukiman sementara dan kebutuhan budaya dan adat.
2) Kebutuhan kesehatan
Kebutuhan kesehatan umum – seperti perlengkapan medis (obat-
obatan, perban, dll), tenaga medis, pos kesehatan dan perawatan
kejiwaan
3) Tempat ibadah sementara
4) Keamanan wilayah
5) Kebutuhan air
6) Kebutuhan sarana dan prasarana
Kebutuhan saranan dan prasarana yang mendesak – seperti air
bersih, MCK untuk umum, jalan ke lokasi bencana, alat komunikasi
dalam masyarakat dan pihak luar, penerangan/listrik, sekolah
sementara, alat angkut/transport, gudang penyimpanan persediaan,
tempat pemukiman sementara, pos kesehatan alat dan bahan-bahan.

D. Perawatan Populasi Rentan Pada Sakit Mental


1. Definisi
Sakit Mental atau Gangguan jiwa menurut Depkes RI (2010) adalah suatu
perubahan pada fungsi jiwa yang menyebabkan adanya gangguan pada fungsi
jiwa yang menimbulkan penderitaan pada individu dan hambatan dalam
melaksanakan peran social. Sedangkan menurut (Maramis, 2010), gangguan jiwa

15
adalah gangguan alam: cara berpikir (cognitive), kemauan (volition), emosi
(affective), tindakan (psychomotor). Dimana para pengidap gangguan jwa
merupakan penyandang disabilitas atau cacat mental.
Seperti halnya manusia pada umumnya, ketika terjadi suatu bencana akan
timbul beberapa kejadian atau situasi baik psikologis maupun mental yang dialami
oleh korban, termasuk juga penyandang cacat mental seperti kepanikan yang luar
biasa.
Secara prinsip, penanggulangan bencana dilaksanakan secara cepat dan
tepat, mengutamakan priorotas, adanya koordinasi dan keterpaduan, berdaya guna
dan berhasil guna, adanya transparansi dan akuntabilitas, system kemitraan dan
pemberdayaan, non diskriminatif dan nonproletisi. Non diskriminatif disini
mengandung pengertian bahwa dalam kegiatan penanggulangan bencana, pihak
manapun baik aparat maupun masyarakat tidak boleh membeda-bedakan satu
sama lain. Baik pembagian hak maupun kewajiban dalam kegiatan
penanggulangan resiko bencana.
Di dalam UU no 24 tahun 2007 tersebut telah disebutkan bahwa dalam
penanganggulangan bencana saat tanggap darurat terdapat perlindungan terhadap
kelompok rentan dilakukan dengan memberikan prioritas kepada kelompok rentan
berupa penyelamatan, evakuasi, pengamanan, pelayanan kesehatan, dan
psikososial. Kelompok rentan tersebut antara lain bayi, balita, anak-anak, ibu yang
sedang mengandung atau menyusui, penyandang cacat, dan orang lanjut usia.
Kelompok rentan yang disebutkan dalam Undang-Undang tersebut dapat
diartikan sebagai penyandang disabilitas atau difabel yang berasal dari kata
‘different abilities’ yaitu kemampuan yang berbeda. Dimana penyandang
disabilitas adalah setiap orang yang mengalami gangguan, kelainan, kerusakan,
dan/atau kehilangan fungsi organ fisik, mental, intelektual atau sensorik dalam
jangka waktu tertentu atau permanen dan menghadapi hambatan lingkungan fisik
dan sosial. Tidak dapat dipungkiri bahwa keberadaan kaum penyandang sakit
mental dalam setiap negara pasti ada.

16
1. Tindakan yang sesuai untuk kelompok beresiko pada Pengidap
Gangguan Jiwa
Pra Bencana

a. Bantuan Evakuasi : Saat bencana terjadi, penyandang cacat


membutuhkan waktu yang lama untuk mengevakuasi diri sehingga
supaya tidak terlambat dalam mengambil keputusan untuk melakukan
evakuasi, maka informasi persiapan evakuasi dan lain-lain perlu
diberitahukan kepada penyandang cacat dan penolong evakuasi
b. Mengikutsertakan dalam PRB : partisipasi penyandang dalam
pendidikan pegurangan risiko bencana (PRB)
c. Memberikan penyandang gangguan mental terhadap materi ajar/belajar
PRB
Saat Bencana
1) Melakukan evakuasi bagi penyandang disabilitas untuk menjauh dari
lokasi bencana
2) Mengevakuasi penyandang gangguan mental yang ditinggal oleh
keluarganya saat terjadi bencana
3) Menampung di pengungsian
4) Membawa korban ke rumahsakit
5) Melakukan pendataan dan penilaian
6) Memberikan konseling
7) Memberikan terapi
Pasca Bencana
1) Konseling bagi penyandang disabilitas untuk meminimalisir trauma
2) Kebutuhan Rumah Tangga : Air minum, makanan, susu bayi, sanitasi,
air bersih dan sabun untuk MCK (mandi, cuci, kakus/jamban), alat-alat
untuk memasak, pakaian, selimut dan tempat tidur, dan permukiman
sementara
3) Kebutuhan Kesehatan : Kebutuhan kesehatan umum – seperti
perlengkapan medis (obat-obatan, perban, dll), tenaga medis, pos
kesehatan dan perawatan kejiwaan
4) Kemanan Wilayah : Kebutuhan ketentraman dan stabilitas – seperti
keamanan wilayah

17
5) Kebutuhan Air : Kebutuhan sanitasi – air dan tempat pengelolaan
limbah dan sampah
6) Sarana dan Prasarana : Kebutuhan sarana dan prasarana yang
mendesak – seperti air bersih, MCK untuk umum, jalan ke lokasi
bencana, alat komunikasi dalam masyarakat dan pihak luar,
penerangan /listrik, sekolah sementara, alat angkut/transport, gudang
penyimpanan persediaan, tempat permukiman sementara, pos
kesehatan, alat dan bahan-bahan

E. Sumber Daya yang Tersedia Dilingkungan untuk Kebutuhan Kelompok


Beresiko.

Untuk mengurangi dampak yang lebih berat akibat bencana terhadap


kelompok – kelompok beresiko saat bencana baik itu dampak jangka pendek
maupun jangka panjang, maka petugas kesehatan yang terlibat dalam penanganan
encana perlu mengidentifikasikan sumber daya apa saja yang tersedia di
lngkungan yang dapat digunakan saat bencana terjadi, diantaranya (Enarson,
2000; Federal Emergency Management Agency (FEMA), 2010; Powers & Daily,
2010; Veenema, 2007 ) :
1. Terbentuknya desa siaga dan organisasi kemasyarakatan yang terus
mensosialisasikan kesiapsiagaan terhadap bencana terutama untuk area
yang rentan terhadap kejadian bencana.
2. Kesiapan rumah sakir atau fasilitas kesehatan menerima korban bencana
dari kelompok berisiko baik itu dari segi fasilitas maupun ketenagaan
seperti : beberapa jumlah incubator untuk bayi baru lahir, tempat tidur
untuk pasien anak, ventilator anak, fasilitas persalinan, fasilitas perawatan
pasien dengan penyakit kronis, dsb
3. Adanya symbol – symbol atau bahasa yang bisa dimengerti oleh individu-
individu dengan kecacatan tentang peringatan bencana, jalur evakuasi,
lokasi pengungsian dll.
4. Adanya system support berpa konseling dari ahli-ahli voluntir yang khusus
menangani kelompok beresiko untuk mencegah dan mengidentifikasi dini

18
kondisi depresi pasca bencana pada kelompok tersebut sehingga intervensi
yang sesuai dapat diberikan untuk merawat mereka.
5. Adanya agensi-agensi baik itu dari pemerintah maupun non pemerintah
(NGO) yang membantu korban bencana terutama kelompok-kelompok
beresiko seperti : agensi perlindungan anak dan perempuan, agency
pelacakan keluarga korban bencana ( tracking centre), dll.
6. Adanya website atau homepage bencana dan publikasi penelitian yang
berisi informasi – informasi tentang bagaimana perencanaan
legawatdaruratan dan bencana pada kelompok-kelompok dengan
kebutuhan khusus dan beresiko.

19
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kamus Besar Bahasa Indonesia merumuskan pengertian rentan sebagai :
(1) mudah terkena penyakit dan, (2) peka, mudah merasa. Kelompok yang lemah
ini lazimnya tidak sanggup menolong diri sendiri, sehingga memerlukan bantuan
orang lain. Selain itu, kelompok rentan juga diartikan sebagai kelompok yang
mudah dipengaruhi. Pengertian kedua merupakan konsekuensi logis dari
pengertian yang pertama, karena sebagai kelompok lemah sehingga mudah
dipengaruhi.
Lansia merupakan salah saat kelompok yang rentan secara fisik, mental
dan ekonomik saat dan setelah bencana yang disebabkan karena penurunan
kemampuan mobilitas fisik dan atau karena mengalami masalah kesehatan kronis
(Klynman et al,2007). Di Amerika serikat, lebih dari 50% korban kematian akibat
dari badai Katrina adalah lansia dan diperkirakan sekitar 1.300 lansia yang hidup
mandiri sebelum kejadian badai tersebut harus dirawat dipanti jompo setelah
bencana alam itu terjadi (Powers & daily,2010).
Bencana alam bisa menimbulkan korban jiwa yang tinggi pada kelompok
rentan, salah satunya penyandang disabilitas. Penyandang disabilitas adalah setiap
orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental yang dapat mengganggu
atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan
secara selayaknya, yang terdiri dari: penyandang disabilitas fisik, penyandang
disabilitas mental serta penyandang disabilitas fisik dan mental (Peraturan Daerah
Provinsi Lampung Nomor 10 Tahun 2013 tentang Pelayanan dan Pemenuhan
Hak-Hak Penyandang Disabilitas).

B. Saran
Dalam penulisan makalah ini, penulis menyarankan kepada para pembaca
agar memahami secara mendalam materi yang telah dipaparkan dalam makalah
ini, karena dalam kehidupan sehari-hari hal tersebut sangat bermanfaat untuk
meningkatkan taraf hidup kelumpok rentan.

20
DAFTAR PUSTAKA

Ninda Ayu Prabasari P; Linda juwita ; Ira Ayu Maryuti.2017. Pengalaman


Keluarga Dalam Merawat Lansia Di Rumah.Surabaya

Santoso Anang Dwi, Irwan Noor, Mochamad Chazienul Ulum. DISABILITAS


DAN BENCANA (Studi tentang Agenda Setting Kebijakan Pengurangan
Risiko Bencana Inklusif Bagi Penyandang Disabilitas di Kabupaten
Klaten, Jawa Tengah, Indonesia) Jurnal Administrasi Publik (JAP), Vol.
3, No. 12, Hal. 2033-2039

Widowati Evi, Dimas Ayu Novalita. 2018. KESIAPSIAGAAN SEKOLAH


LUAR BIASA (SLB) NEGERI CILACAP DALAM MENGHADAPI
BENCANA DI KABUPATEN CILACAP. Journal of Health Education.

Farida, Ida. 2013. Manajemen Penanggulangan Bencana Kegiatan Belajar V:


Keperawatan Bencana pada Penyandang Cacat. Jakarta: Badan
Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia, Pusat
Pendidikan dan Pelatihan Tenaga Kesehatan.

Powers, R., & Daily, E., (Eds.). 2010. International Disaster Nursing. Cambridge,
UK: The World Association for Disaster and Emergency Medicine &
Cambridge University Press.

Iskandar Husein, Perlindungan Terhadap Kelompok Rentan (Wanita, Anak,


Minoritas, Suku Terasing, dll) Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia,
Makalah Disajikan dalam SeminarPembangunan Hukum Nasional ke
VIII Tahun 2003, Denpasar, Bali, 14 - 18 Juli 2003

World Health Organization (WHO) & International Council of Nursing (ICN).


2009. ICN Framework of Disaster Nursing Competencies. Geneva,
Switzerland: ICN.

Ratih Probosiwi, 2016. KETERLIBATAN PENYANDANG DISABILITAS


DALAM PENANGGULANGAN BENCANA DI YOGYAKARTA.
Journal of Health Education

21

Anda mungkin juga menyukai