PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap wilayah tempat tinggal manusia memiliki resiko bencana. Seringkali resiko
tersebut tidak terbaca oleh komunitas dan karenanya tidak dikelola dengan baik. Hal ini
menyebabkan terkadang, dan mungkin juga sering, bencana terjadi secara tak terduga-
duga. Dampak paling awal dari terjadinya bencana adalah kondisi darurat, dimana terjadi
penurunan drastis dalam kualitas hidup komunitas korban yang menyebabkan mereka
tidak mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya dengan kapasitasnya sendiri.
Kondisi ini harus bisa direspons secara cepat, dengan tujuan utama pemenuhan
kebutuhan dasar komunitas korban sehingga kondisi kualitas hidup tidak makin parah
atau bahkan bisa membaik.
Bencana harus ditangani secara menyeluruh setelah situasi darurat itu direspons.
Setiap akibat pasti punya sebab dan dampaknya, maka bencana sebagai sebuah akibat
pasti punya sebab dan dampaknya, agar penanganan bencana tidak terbatas pada simpton
simpton persoalan, tetapi menyentuh substansi dan akar masalahnya. Dengan demikian
kondisi darurat perlu dipahami sebagai salah satu fase dari keseluruhan resiko bencana
itu sendiri. Penanganan kondisi darurat pun perlu diletakkan dalam sebuah perspektif
penanganan terhadap keseluruhan siklus bencana. Setelah kondisi darurat, biasanya
diikuti dengan kebutuhan pemulihan (rehabilitasi), rekonstruksi (terutama menyangkut
perbaikan-perbaikan infrastruktur yang penting bagi keberlangsungan hidup komunitas),
sampai pada proses kesiapan terhadap bencana, dalam hal ini proses preventif.
Perbedaan mendasar ditemukan antara kerja dalam kondisi darurat dengan kerja
penguatan kapasitas masyarakat secara umum. Dalam kondisi darurat, waktu kerusakan
terjadi secara sangat cepat dan skala kerusakan yang ditimbulkan pun biasanya sangat
besar. Hal ini menyebabkan perbedaan dalam karakteristik respon kondisi darurat.
Komitmen, kecekatan dan pemahaman situasi dan kondisi bencana (termasuk konflik)
dalam rangka memahami latar belakang kebiasaan, kondisi fisik maupun mental
komunitas korban dan karenanya kebutuhan mereka, sangat dibutuhkan. Selain itu,
sebuah kondisi darurat juga tidak bisa menjadi legitimasi kerja pemberian bantuan yang
asal-asalan. Dalam hal ini perlu dipahami bahwa sumber daya sebesar apapun yang kita
miliki tidak akan cukup untuk memenuhi seluruh kebutuhan komunitas korban bencana.
Di sisi lain, sekecil apapun sumber daya yang kita miliki akan memberikan arti bila
1
didasarkan pada pemahaman kondisi yang baik dan perencanaan yang tepat dan cepat,
mengena pada kebutuhan yang paling mendesak.
Bencana, apapun sebabnya, merupakan hal yang menganggu tatanan masyarakat
dalam segala aspeknya, baik psikologis, ekonomi, sosial budaya maupun material. Jika
kita mengamini faktum bahwa setiap orang memiliki hak untuk hidup layak maka
komunitas manapun yang mengalami bencana berhak atas bantuan kemanusiaan dalam
batas-batas minimum
2
B. Tujuan
Tujuan Umum : Mahasiswa mampu memahami tentang berbagai hal yang berhubungan
dengan bencana.
Tujuan Khusus :
a. Mahasiswa mengetahui dan memahami tentang defenisi bencana, klompok rentan
bencana
b. Mahasiswa mengetahui dan memahami tentang peran perawat dalam manajemen
kejadian bencana
c. Mahasiswa mengetahui dan memahami permasalahan klompok rentan bencana
d. Mahasiswa mengetahui pengkajian keperawatan di area bencana
e. Mahasiswa dapat menyusun asuhan keperawatan pada area bencana .
3
A. Definisi Bencana
Bencana adalah suatu fenomena alam yang terjadi yang menyebabkan kerugian baik
materiil dan spiritual pada pemerintah dan masyarakat (Urata, 2008). Fenomena atau
kondisi yang menjadi penyebab bencana disebut hazard ( Urata, 2008).
Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia bencana adalah peristiwa pada
suatu wilayah yang mengakibatkan kerusakan ekologi, kerugian ekologi, kerugian hidup
bagi manusia serta menurunnya derajat kesehatan sehingga memerlukan bantuan dari
pihak luar (Effendy & Mahfudli, 2009). Disaster menurut WHO adalah setiap kejadian,
situasi, kondisi yang terjadi dalam kehidupan ( Effendy & Mahfudli, 2009).
Individu yang mengalami bencana bereaksi terhadap bencana sesuai dengan caranya
masing-masing dan antara satu individu dengan yang lainnya sangat berbeda. Setiap
bencana memiliki dampak demografik tertentu, budaya, dan riwayat kejadian
sebelumnya.
4
terdepan saat bencana yang terjadi(Power &daily,2010). Peran perawat dapat dimulai
sejak tahap mitigasi (pencegahan), tanggap darurat bencana dalam fase prehospital dan
hospital, hingga tahap recovery.
Selain menjadi korban, anak-anak juga rentan terpisah dari orang tua atau wali mereka
saat bencana terjadi. Diperkirakan sekitar 35.000 anak-anak Indonesia kehilangan satu
atau kedua orang tua mereka saat kejadian tsunami 2004. Terdapat juga laporan adanya
perdagangan anak(child-traffcking) yang dialami oleh anak-anak yang kehilangan orang
tua/wali (powers&daily,2010).
Pasca bencana, anak-anak beresiko mengalami masalah-masalah kesehatan jangka
pendek dan jangka panjang baik fisik dan psikologis karena malnutrisi, penyakit-
penyakit infeksi, kurangnya skill bertahan hidup dan komunikasi, ketidakmampuan
melindungi diri sendiri, kurangnya kekuatan fisik, imunitas dan kemampuan koping.
Kondisi tersebut dapat mengancam nyawa jika tidak diidentifikasi dan ditangani dengan
segera oleh petugas kesehatan (powes&daily 2010; Veenema,2007).
5
2. Perempuan
Diskriminasi terhadap perempuan dalam kondisi bencana telah menjadi isu viral yang
memerlukan perhatian dan penanganan khusus. Oleh karena itu, intervensi-intervensi
kemanusiaan dalam penanganan bencana yang memperhatikan standar internasional
perlindungan hak asasi manusia perlu direncanakan dalam semua stase penanganan
bencana. (Klynman,kouppari,& mukhier,2007).
Studi kasus bencana alam yang dilakukan di Bangladesh mendapati bahwa pola
kematian akibat bencana dipengaruhi oleh relasi gender yang ada, meski tidak selalu
konsisten. Pola ini menempatkan perempuan, terlebih bagi yang hamil, menyusui dan
lansia lebih beresiko karena keterbatasan mobilitas secara fisik dalam situasi
darurat(Enarson,2000; Indiriyani,2014; Klynman et al,2007).
Laopran PBB pada tahun 2001 yang berjudul “Women Disaster Reduction and
Sustainable Development” menyebutkan bahwa perempuan menerima dampak bencana
yang lebih besar. Dari 120 ribu orang yang meninggal karena badai siklon diBangladesh
tahun 1991, korban dari kaum perempuan menempati jumlah terbesar. Hal ini disebabkan
karena norma kultural membatasi akses mereka terhadap peringatan bahaya dan akses
ketempat perlindungan (Fatimah,2009 dikutip dalam Indriyani,2014).
3. Lansia
Lansia merupakan salah saat kelompok yang rentan secara fisik, mental dan ekonomik
saat dan setelah bencana yang disebabkan karena penurunan kemampuan mobilitas fisik
dan atau karena mengalami masalah kesehatan kronis (Klynman et al,2007). Di Amerika
serikat, lebih dari 50% korban kematian akibat dari badai Katrina adalah lansia dan
diperkirakan sekitar 1.300 lansia yang hidup mandiri sebelum kejadian badai tersebut
harus dirawat dipanti jompo setelah bencana alam itu terjadi (Powers & daily,2010).
6
4. Indvidu dengan keterbatan fisik (kecacatan) dan penyakit kronis
Menurut WHO, terdapat lebih dari 600 juta orang yang menderita kecacatan diseluruh
dunia atau mewakili sekitar 7-10% dari populasi global. 80% diantaranya tinggal
dinegara berkembang. Angka ini terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah
penduduk, angka harapan hidup dan kemajuan d bidang kesehatan (Klynman et al, 2007).
Di Amerika serikat, setelah kejadian banjir di grand forks, north Dakota tahun 1997,
barulah dibangun rumah perlindungan yang dapat diakses oleh korban bencana yang
menggunakan kursi roda. Pada saat terjadi bencana kebakaran di California, tahun 2003,
banyak individu-individu cacat pendengaran tidak memahami level bahaya bencana
tersebut karena kurangnya informasi yang bisa mereka pahami (powers &daily,2010).
Orang cacat, karena keterbatasan fisik yang mereka alami beresiko sangat rentan saat
terjadi bencana,Namun mereka sering mengalami diskriminasi dimasyarakat dan tidak
dilibatkan pada semua level kesiap-siagaan, mitigasi dan intervensi dan penanganan
bencana (Klynman et.al, 2007).
6. Social Economic Status (SES) minoritas dan orang yang mengalami kendala
bahasa
Kelompok dengan SES rendah yang tidak memiliki asuransi untuk mengcover kondisi
mereka setelah bencana sehingga membuat beban psikologis menjadi lebih berat.
Kelompok dengan kendala bahasa juga sangat susah dalam mengkomunikasikan hal-hal
apa yang mereka butuhkan sehingga relawan bisa membantu secara cepat dan
tepat. Keluarga yang sebelumnya sejahtera dan mengalami kebangkrutan karena
kejadian bencana dan menerima bantuan dari orang lain juga rentan untuk mengalami
stress akibat bencana.
7
7. Penduduk asli setempat (indigenous people)
Indigenous people termasuk kelompok rentan karena status mereka sebagai orang
pinggiran yang termarginalkan, kondisi fisik dan rumah yang tidak baik, problem terkait
dengan kehilangan budaya dan kesedihan yang dapat menyebabkan stress dan trauma.
Mereka juga mungkin akan dipindahkan dari “tempat penting” menurut budaya mereka.
Kerentanan adalah keadaan atau sifat (perilaku) manusia atau masyarakat yang
menyebabkan ketidakmampuan menghadapi bahaya atau ancaman dari potensi bencana
untuk mencegah, menjinakkan, mencapai kesiapan, dan menanggapi bahaya tertentu.
Dalam undang-undang penanggulangan bencana pasal 55 dan penjelasan pasal 26 ayat
1, disebutkan bahwa masyarakat rentan bencana adalah anggota masyarakat yang
membutuhkan bantuan karena keadaan yang disandangnya, diantaranya bayi, balita,
anak-anak, ibu hamil, ibu menyusui, penyandang cacat dan lanjut usia. Kerentanan ini
dapat menimbulkan beragam penyebab, mencakup:
8
9. Kerentanan fisik
Kerentanan yang dihadapi masyarakat dalam menghadapi ancaman bahaya tertentu,
misalnya kekuatan bangunan rumah bagi masyarakat yang tinggal didaerah rawan gempa
dan tanggul pengaman banjir bagi masyarakat didekat bantaran sungai.
9
6. Simbolism dari kejadian bencana (cara memaknai kejadian antara “kehendak Tuhan”
atau “manusia”)
7. Kemampuan memanage stress
8. Akumulasi dari sebelum dan sesudah bencana, seperti kepribadian seseorang ataupun
kondisi emosi individu tersebut.
1. Tindakan yang sesuai untuk kelompok berisiko pada bayi dan anak
a. Pra-bencana
1) Mensosialisasikan dan melibatkan anak-anak dalam stimulasi bencana kebakaran atau
gempa bumi
2) Mempersiapkan fasilitas kesehatan yang khusus untuk bayi dan anak pada saat
bencana
3) Perlunya diadakan pelatihan-pelatihan penanganan bencana bagi petugas kesehatan
khusus untuk menangani kelompok-kelompok berisiko, contohnya Pediatric Disaster
Life Support (PDLS).
b. Saat bencana
10
1) Mengintegrasikan pertimbangan pediatric dalam sistem triase standar yang digunakan
saat bencana.
2) Lakukan pertolongan kegawatdaruratan kepada bayi dan anak sesuai dengan
mempertimbangkan aspek tumbuh kembangnya, misalnya menggunakan alat dan
bahan khusus untuk anak dan tidak disamakan dengan orang dewasa.
3) Selama proses evakuasi, transportasi, sheltring dan dalam pemberian pelayanan
fasilitas kesehatan, hindari memisahkan anak dari orang tua, keluarga atau wali
mereka.
c. Pasca bencana
1) Usahakan kegiatan rutin sehari-hari dapat dilakukan sesegera mungkin contohnya :
waktu makan dan personal hygine teratur, tidur, bermain dan sekolah.
2) Monitor status nutrisi anak dengan pengukuran antropometri
3) Dukung dan berikan semangat kepada orang tua
4) Dukung ibu-ibu menyusui dengan dukungan nutrisi adekuat, cairan dan emosional
5) Minta bantuan dari ahli kesehatan anak yang mungkin ada dilokasi evakuasi sebagai
voluntir untuk mencegah, mengidentifikasi, mengurangi risiko kejadian depresi pada
anak pasca bencana
6) Identifikasi anak yang kehilangan orang tua dan sediakan penjaga yang terpercaya
serta lingkungan yang aman untuk mereka
7) Berkonsultasi dengan pemerintah atau NGO yang bekerja dalam pelacakan korban
bencana sebagai usaha untuk mempertemukan anaka dengan orang tua, keluarganya.
8) Libatkan agensi-agensi perlindungan anak.
2. Tindakan yang sesuai untuk kelompok berisiko pada ibu hamil dan menyusui
a. Pra-bencana
1) Melibatkan perempuan dalam penyusunan perencanaan penanganan bencana
(disaster plan)
2) Mengidentifikasi ibu hamil dan ibu menyusui sebagai kelompok rentan
3) Membuat disaster plans dirumah yang disosialisasikan kepada seluruh anggota
keluarga
4) Melibatkan petugas-petugas kesehatan reproduktif dalam mitigasi bencana.
11
b. Saat bencana
1) Melakukan usaha/ bantuan penyelamatan yang tidak meningkatkan risiko kerentanan
ibu hamil dan ibu menyusui, misalnya : meminimalkan guncangan pada saat
melakukan mobilisasi dan transportasi karena dapat meransang kontraksi pada ibu
hamil, tidak memisahkan bayi dari ibunya saat proses evakuasi.
2) Petugas bencana harus memiliki kapasitas untuk menolong korban ibu hamil dan ibu
menyusui.
c. Pasca bencana
1) Dukungan ibu-ibu menyusui dengan dukungan nutrisi adekuat, cairan dan emosional
2) Melibatkan petugas-petugas kesehatan reproduktif dirumah penampungan korban
bencana untuk menyediakan jasa konseling dan pemeriksaan kesehatan untuk ibu
hamil dan menyusui.
3) Melibatkan petugas konseling untuk mencegah, mengidentifikasi, mengurangi risiko
kejadian depresi pasca bencana.
b. Saat bencana
1) Melakukan usaha/ bantuan penyelamatan yang tidak meningkatkan risiko kerentanan
lansia, misalnya meminimalkan guncangan/trauma pada saat melakukan mobilisasi
dan transportasi untuk menghindari trauma sekunder.
2) Identifikasi lansia dengan babtuan/ kebutuhan khusus contohnya : kursi roda,
tongkat,dll.
c. Pasca Bencana
Program inter generasional untuk mendukungsosialisasi komunitas dengan lansia dan
mencegah isolasi social lansia, diantaranya :
1) Libatkan remaja dalam pusat perawatan lansia dan kegiatan-kegiatan social bersama
lansia untuk memfasilitasi empati dan interaksi orang muda dan lansia (community
awareness).
12
2) Libatkan lansia sebagai strory tellers dan animator dalam kegiatan bersama anak-anak
yang diorganisir oleh agensy perlindungan anak di posko perlindungan korban
bencana.
3) Menyediakan dukungan social melalui pengembangan jaringan social yang sehat di
lokasi penampungan korban bencana.
4) Sediakan kesempatan belajar untuk meningkatkan pengetahuan dan skill lansia.
5) Ciptakan kesempatan untuk mendapatkan penghasilan secara mandiri.
6) Berikan konseling untuk meningkatkan semangat hidup dan kemandirian lansia.
4. Tindakan yang sesuai untuk kelompok berisiko pada orang dengan kecacatan dan
penyakit kronik
a. Pra-bencana
1) Identifikasi kelompok rentan dari kelompok individu yang cacat dan berpenyakit
kronis
2) Sedangkan informasi bencana yang bisa diakses oleh orang-orang dengan
keterbatasan fisik seperti : tunarunggu, tuna netra, dll.
3) Perlunya diadakan pelatihan-pelatihan penanganan kegawatdaruratan bencana bagi
petugas kesehatan khusus untuk menangani korban dengan kebutuhan khusus (cacat
& penyakit kronis).
b. Saat bencana
1) Sediakan alat-alat emergensi dan evakuasi yang khusus untuk orang cacat dan
berpenyakit kronis (HIV/AIDS dan penyakit infeksi lainya) : alat bantu berjalan untuk
korban dengan kecacatan, alat-alah BHD sekali pakai,dll.
2) Tetap menjaga dan meningkatkan kewaspadaan universal untuk petugas dalam
melakukan tindakan kegawatdaruratan.
c. Pasca bencana
a) Sedapat mungkin, sedangkan fasilitas yang dapat mengembalikan kemandirian
individu dengan keterbatasan fisik di lokasi evakuasi sementara contohnya : kursi
roda, tongkat, dll.
b) Libatkan agensi-agensi yang berfokus pada perlindungan individu-individu dengan
keterbatasan fisik dan penyakit koronis.
13
c) Rawat korban dengan penyakit kronis sesuai dengan kebutuhannya.
14
F. Lingkungan Yang Sesuai Dengan Kebutuhan Kelompok Berisiko
Setelah kejadian bencana adalah pentingnya sesegera mungkin untuk menciptakan
lingkungan yang kondusif yang memungkinkan kelompok bersiko untuk berfungsi
secara mandiri sebagaimana sebelum kejadian bencana, diantarannya (Enarson,2000,
Federal Emergency Management Agency (FEMA),2010 ; Power & Daily,2010,
Veenema , 2007) :
1. Menciptakan kondisi / lingkungan yang memungkinkan ibu menuyusui untuk terus
memberikan ASI kepada anaknya dengan cara memberikan dukungan moril,
menyediakan konsultasi laktasi dan pencegahan depresi.
2. Membantu anak kembali melakukan aktivitas-aktivitas regular sebagaimana sebelum
kejadian bencana seperti : penjaga kebersihan diri, belajar atau sekolah dan bermain.
3. Melibatkan lansia dalam aktifitas-aktifitas social dan program lintas generasi
misalnya dengan remaja dan anak-anak untuk mengurangkan risiko isolasi social dan
depresi.
4. Menyediakan informasi dan lingkungan yang kondusif untuk individu dengan
keterbatasan fisik misalnya area evakuasi yang dapat diakses oleh mereka.
5. Adanya fasilitas-fasilitas perawatan untuk korban bencana dengan penyakit kronis
dan infeksi.
15
2. Pemenuhan kebutuhan toilet umum masyarakat saat bencana
Toilet umum dan sanitasinya yang lainya sangat diperlukan dan termasuk kebutuhan
pokok terutama untuk korban bencana yang ada didaerah pengusian dimana satu
lokasi pengungsian bisa dihuni oleh ratusan orang atau ribuan.
Kebutuhan toilet ini sangat diperlukan karena hal ini merupakan hal yang mendasar bagi
pengunsi kebersihan dan ketersedian yang cukup merupakan hal yang utama.
Pengadaan toilet umum bisa dilakukan oleh perawat dengan berkerja sama dengan
instansi terkait misalkan dengan dinas kebersihan atau instansi lainya yang dianggap
lebih focus pada hal ini. Dalan menghitung beberapa kebutuhan toilet untuk pengungsi
yang ada. Perawat juga harus mampu menilai wc sehat ( model leher angsa, ada
septiktank, jarak septikdengan sumber air minum > 10 meter, air memadai )
16
a. Lokasi
Dalam menentukan lokasi dapur umum agar memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1) Letakan dapur umum dekat dengan posko atau penampungan supaya mudah dicapai atau
dikunjungi oleh korban.
2) Hygenis lingkungan cukup memadai
3) Aman dari bencana
4) Dekat dengan transpotasi umum
5) Dekat dengan sumber air
b. Peindrustian
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pendistribusian makanan kepada korban bencana antara
lain :
1) Distribusiandilakukan dengan menggunakan kartu distribusi.
2) Lokasi atau tempat pendistribusian yang aman dan mudah dicapai oleh korban.
3) Waktu pendistribusian yang konsisten dan tepat waktu, misalnya dilakukan 2 kali sehari
makan pagi/ siang dilaksanakan jam 10.00-12 wib, makan sore/ malam 16.00-17.00 wib.
4) Pengambilan jatah sebaiknya diambil oleh kepala keluarga atau perwakilan sesuai dengan
kartu distribusi yang salah
5) Pembagian makanan bisa menggunakan daun, piring, kertas atau sesuai dengan
pertimbangan aman, cepat, praktis dan sehat.
Contoh Kartu :
Nomor Kode DU
:.....................................................................................................
Jumlah Jiwa
:...............................................................................................................
Alamat/Lokasi/Pos
:..................................................................................................
17
6. Pemenuhan Kebutuhan shelter saat Bencana
Setiap orang membutuhkan shelter tempat istirahat dan tidur agar mempertahankan
status, kesehatan pada tingkat yang optimal. Tidur dapat memperbaiki berbagai sel dalam
tubuh. Apabila kebutuhan istirahat dan tidur tersebut cukup maka jumlah energi yang di
harapkan dapat memulihkan status kesehatan dan mempertahankan kegiatan dalam
kehidupan sehari-hari terpenuhi. Selain itu orang yang mengalami kelelahan juga
memerlukan istirahat dan tidur lebih dari biasanya.shelter berfungsi sebagai tempat yang
aman untuk berkumpul dan istirahat bagi korban bencana. Shelter juga dapat berfungsi
sebagai tempat bermain untuk anak-anak untuk mengurangi stress pada anak. Perawat
harus mampu mengkaji lokasi pendirian shelter yang aman
BAB III
A. Pengkajian
1. Umum
Nama
Usia
Jenis Kelamin
Alamat
Status
Pekerjaan
Agama
2. Khusus
a. Data Subjektif
Menceritakan kejadian / periatiwa yang traumatis
Mengatakan takut atas kejadian bencana yang terjadi
Mengatakan resah saat teringat kembali peristiwa bencana yang dialaminya
Mengatakan merasa tidak berguna
Menyatakan was-was
Merasakan fikiran terganngu
18
Tidak ingin mengingat peristiwa itu kembali dengan menceritakannya lagi
Mengingkari peristiwa trauma
Merasa malu
Mengatakan setiap mengingat kejadian bencana merasa jantung berdebar-debar
b. Data Objektif
Mengasingkan diri
Menangis
Marah
Gelisah
Menghindar
Mengasingkan diri
Depresi
Sulit berkomunikasi
Keadaan mood terganggu
Sesak didada
Lemah
3. Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi yang mempengaruhi kehilangan :
a. Genetik
Individu yang dilahirkan dibesarkan dalam keluarga yang mempunyai riwayat
depresi biasanya sulit mengembangkan sikap optimis dalam menghadapi suatu
permasalahan, termasuk menghadapi kehilangan.
b. Kesehatan fisik
Individu dengan keadaan fisik sehat, cara hidup teratur, cenderung mempunyai
kemampuan mengatasi stress yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu yang
sedang mengalami gangguan fisik
c. Kesehatan mental / jiwa
Individu yang mengalami gangguan jiwa seperti depresi yang ditandai dengan
perasaan tidak berdaya pesimis dan dibayangi dengan masa depan yang suram,
biasanya sangat peka terhadap situasi kehilangan.
d. Pengalaman kehilangan di massa lalu
Kehilangan atau perpisahan dengan orang yang bermakna dimasa kanak-kanak
akan mempengaruhi individu dalam menghadapi kehilangan dimasa dewasa
19
4. Faktor Presipitasi
Stress yang nyata seperti kehilangan yang bersifat Bio-Psiko-Sosial antara lain
kehilangan kesehatan (sakit), kehilangan fungsi sseksualitas, kehilangan keluarga dan
harta benda. Individu yang kehilangan sering menunjukkan perilaku seperti menangis
atau tidak mampu menangis , marah, putus asa, kadang ada tanda upaya bunuh diri atau
melukai orang lain yang akhirnya membawa pasien dalam keadaan depresi.
5. Spiritual
a. Keyakinan terhadap Tuhan YME
b. Kehadiran ditempat Ibadah
c. Pentingna Agama dalam kehidupan pasien
d. Kepercayaan akan kehidupan setelah kematian
6. Orang-orang terdekat
a. Status perkawinan
b. Siapa orang terdekat
c. Anak-anak
d. Kebiasaan pasien dalam tugas-tugas keluarga dan fungsi-fungsinya
e. Bagaimana pengaruh orang-orang terdekat terhadap penyakit atau masalah
f. Proses interaksi apakah yang terdapat dalam keluarga
a. Gaya hidup keluarga, misal: Diet, mengikuti pengajian
7. Sosioekonomi
a. Pekerjaan: keuangan
b. Faktor-faktor lingkungan: rumah,pekeerjaan dan rekreasi
c. Penerimaan sosial terhadap penyakit / kondisi, misal : PMS,HIV,Obesitas,dll
8. Kultural
a. Latar belakang etnis
b. Tingkah laku mengusahakan kesehatan, rujuk penyakit
c. Faktor-faktor kultural yang dihubngkan dengan penyakit secara umum dan respon
terhadap rasa sakit
d. Kepercayaan mengenai perawatan dan pengobatan
20
B. Diagnosa Keperawatan
1. Berduka berhubungan dengan Aktual atau perasaan
2. Kecemasan berhubungan dengan krisis situasional, stress, perubahan status
lingkungan, ancaman kematian, kurang pengetahuan.
3. Takut berhubungan dengan perubahan status lingkungan ( bencana alam)
4. Harga diri rendah situasional berhubungan dengan kehilangan (keluarga dan harta
benda)
5. Resiko distress spiritual dengan faktor resiko perubahan lingkungan bencana alam.
21
C. Intervensi Keperawatan
perasaannya.
kehilangan dengan Menunjukkan sikap
perasaan damai menerima,ikhlas dan
Membina hubungan baru mendorong pasien untuk
yang bermakna dengan berbagi rasa.
objek atau orang yang baru. Memberikan jawaban yang
jujur terhadap pertanyaan
22
pasien tentang sakit,
pengobatan dan kematian.
Fase marah
Mengizinkan dan mendorong
pasien mengungkapkan rasa
marahnya secara verbal tanpa
melawan dengan kemarahan.
c. Fase tawar menawar
Membantu pasien
mengidentifikasi rasa
bersalah ddan perasaan
NOC : takutnya.
- Kontrol kecemasan Fase depresi
Kecemasan berhubungan - Koping Mengidentifikasi tingkat
dengan Setelah dilakukan asuhan depresi dan resiko merusak
22
23
- Gangguan tidur menunjukkan memberikan keamanan dan
- Gemetar berkurangnya kecemasan mengurangi takut
- Anoreksia, mulut kering Libatkan keluarga untuk
- Peningkatan TD, denyut nadi, mendampingi klien
RR NOC :Anxiety control Instruksikan pada pasien untuk
- Kesulitan bernafas Fear control menggunakan tehnik relaksasi
- Bingung Setelah dilakukan tindakan Dengarkan dengan penuh
- Bloking dalam pembicaraan keperawatan selama 3 kali perhatian
- Sulit berkonsentrasi pertemuan takut klien teratasi Identifikasi tingkat kecemasan
dengan kriteria hasil : Bantu pasien mengenal situasi
23
24
Sediakan perawatan yang
berkesinambungan
Kurangi stimulasi lingkungan
yang dapat menyebabkan
misinterprestasi
Dorong mengungkapkan secara
verbal perasaan, persepsi dan
rasa takutnya
Perkenalkan dengan orang yang
mengalami kejadian bencana
yang sama
Dorong klien untuk
mempraktekan tehnik relaksasi
25
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Di beberapa daerah di Indonesia merupakan daerah yang rawan bencana. Dengan
banyaknya bencana, kesiagaan dan pelaksanaan tanggap bencana harus dilakukan dengan
baik. Karena dampak yang ditimbulkan bencana tidaklah sederhana, maka penanganan
korban bencana harus dilakukan dengan terkoordinasi dengan baik sehingga korban yang
mengalami berbagai sakit baik fisik, sosial, dan emosional dapat ditangani dengan baik dan
manusiawi.
Perawat sebagai kaum yang telah dibekali dasar-dasar kejiwaan kebencanaan dapat
melakukan berbagai tindakan tanggap bencana. Seharusnya modal itu dimanfaatkan oleh
mahasiswa keperawatan agar secara aktif turut melakukan tindakan tanggap bencana.
B. Saran
Perawat adalah tenaga kesehatan yang sangat berkompeten untuk melakukan
pelayanan kesehatan di daerah yang sedang mengalami bencana, oleh karena itu
diharapkan bagi mahasiswa keperawatan maupun perawat yang sudah berpengalaman
dalam praktik pelayanan kesehatan mau untk berperan dalam penanggulangan bencana
yang ada di sekitar kita. Karena ilmu yang didapat di bangku perkuliahan sangat relevan
dengan yang terjadi di masyarakat, yaitu fenomena masalah kesehatan yang biasanya
muncul di tempat yang sedang terjadi bencana.
26
DAFTAR PUSTAKA
Online(https://id.scribd.com/upload-
document?archive_doc=374111164&escape=false&metadata=%7B%22context%22%3A%22arch
ive_view_restricted%22%2C%22page%22%3A%22read%22%2C%22action%22%3A%22downloa
d%22%2C%22logged_in%22%3Atrue%2C%22platform%22%3A%22web%22%7D) di akses pada
tgl 11/30/2019
Online(https://www.academia.edu/28844751/MAKALAH_KONSEP_AREA_BENCANA?auto=do
wnload) di akses pada tgl 11/30/2019
Online(https://ugm.ac.id/id/berita/17336-penanganan-kelompok-rentan-perlu-diprioritaskan-
saat-bencana) di akses pada tgl 11/30/2019
Online(https://www.starjogja.com/2018/10/31/kelompok-rentan-jadi-pioritas-bencana/)di
akses pada tgl 11/30/2019
Online(https://id.scribd.com/document/340027590/Perawatan-Pada-Kelompok-Rentan-Saat-
Bencana) di akses pada tgl 11/30/2019
27