Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Setiap wilayah tempat tinggal manusia memiliki resiko bencana. Seringkali resiko
tersebut tidak terbaca oleh komunitas dan karenanya tidak dikelola dengan baik. Hal ini
menyebabkan terkadang, dan mungkin juga sering, bencana terjadi secara tak terduga-
duga. Dampak paling awal dari terjadinya bencana adalah kondisi darurat, dimana terjadi
penurunan drastis dalam kualitas hidup komunitas korban yang menyebabkan mereka
tidak mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya dengan kapasitasnya sendiri.
Kondisi ini harus bisa direspons secara cepat, dengan tujuan utama pemenuhan
kebutuhan dasar komunitas korban sehingga kondisi kualitas hidup tidak makin parah
atau bahkan bisa membaik.
Bencana harus ditangani secara menyeluruh setelah situasi darurat itu direspons.
Setiap akibat pasti punya sebab dan dampaknya, maka bencana sebagai sebuah akibat
pasti punya sebab dan dampaknya, agar penanganan bencana tidak terbatas pada simpton
simpton persoalan, tetapi menyentuh substansi dan akar masalahnya. Dengan demikian
kondisi darurat perlu dipahami sebagai salah satu fase dari keseluruhan resiko bencana
itu sendiri. Penanganan kondisi darurat pun perlu diletakkan dalam sebuah perspektif
penanganan terhadap keseluruhan siklus bencana. Setelah kondisi darurat, biasanya
diikuti dengan kebutuhan pemulihan (rehabilitasi), rekonstruksi (terutama menyangkut
perbaikan-perbaikan infrastruktur yang penting bagi keberlangsungan hidup komunitas),
sampai pada proses kesiapan terhadap bencana, dalam hal ini proses preventif.
Perbedaan mendasar ditemukan antara kerja dalam kondisi darurat dengan kerja
penguatan kapasitas masyarakat secara umum. Dalam kondisi darurat, waktu kerusakan
terjadi secara sangat cepat dan skala kerusakan yang ditimbulkan pun biasanya sangat
besar. Hal ini menyebabkan perbedaan dalam karakteristik respon kondisi darurat.
Komitmen, kecekatan dan pemahaman situasi dan kondisi bencana (termasuk konflik)
dalam rangka memahami latar belakang kebiasaan, kondisi fisik maupun mental
komunitas korban dan karenanya kebutuhan mereka, sangat dibutuhkan. Selain itu,
sebuah kondisi darurat juga tidak bisa menjadi legitimasi kerja pemberian bantuan yang
asal-asalan. Dalam hal ini perlu dipahami bahwa sumber daya sebesar apapun yang kita
miliki tidak akan cukup untuk memenuhi seluruh kebutuhan komunitas korban bencana.
Di sisi lain, sekecil apapun sumber daya yang kita miliki akan memberikan arti bila

1
didasarkan pada pemahaman kondisi yang baik dan perencanaan yang tepat dan cepat,
mengena pada kebutuhan yang paling mendesak.
Bencana, apapun sebabnya, merupakan hal yang menganggu tatanan masyarakat
dalam segala aspeknya, baik psikologis, ekonomi, sosial budaya maupun material. Jika
kita mengamini faktum bahwa setiap orang memiliki hak untuk hidup layak maka
komunitas manapun yang mengalami bencana berhak atas bantuan kemanusiaan dalam
batas-batas minimum

2
B. Tujuan
Tujuan Umum : Mahasiswa mampu memahami tentang berbagai hal yang berhubungan
dengan bencana.

Tujuan Khusus :
a. Mahasiswa mengetahui dan memahami tentang defenisi bencana, klompok rentan
bencana
b. Mahasiswa mengetahui dan memahami tentang peran perawat dalam manajemen
kejadian bencana
c. Mahasiswa mengetahui dan memahami permasalahan klompok rentan bencana
d. Mahasiswa mengetahui pengkajian keperawatan di area bencana
e. Mahasiswa dapat menyusun asuhan keperawatan pada area bencana .

3
A. Definisi Bencana
Bencana adalah suatu fenomena alam yang terjadi yang menyebabkan kerugian baik
materiil dan spiritual pada pemerintah dan masyarakat (Urata, 2008). Fenomena atau
kondisi yang menjadi penyebab bencana disebut hazard ( Urata, 2008).
Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia bencana adalah peristiwa pada
suatu wilayah yang mengakibatkan kerusakan ekologi, kerugian ekologi, kerugian hidup
bagi manusia serta menurunnya derajat kesehatan sehingga memerlukan bantuan dari
pihak luar (Effendy & Mahfudli, 2009). Disaster menurut WHO adalah setiap kejadian,
situasi, kondisi yang terjadi dalam kehidupan ( Effendy & Mahfudli, 2009).

B. Identifikasi Kelompok Beresiko


Kelompok rentan sering di sebut "kelompok dengan kebutuhan khusus", "kelompok
yang beresiko", "beresiko karena kondisi fisik, psikologis, atau kesehatan social" setelah
bencana. Banyak upaya yang telah dilakukan dalam persiapan menghadapi bencana,
namun jarang yang memperhatikan kebutuhan kelompok rentan, adapun orang yang
disebut sebagai kelompok rentan adalah :
1. Orang dengan kebutuhan khusus baik secara fisik ataupun psikologis
2. Wanita
3. Anak-anak
4. Orang tua
5. Orang dipenjara
6. SES (Social Economic Status) Minoritas dan orang yang mengalami kendala bahasa.

Individu yang mengalami bencana bereaksi terhadap bencana sesuai dengan caranya
masing-masing dan antara satu individu dengan yang lainnya sangat berbeda. Setiap
bencana memiliki dampak demografik tertentu, budaya, dan riwayat kejadian
sebelumnya.

Undang-undang No.24 tahun 2007 tentang penanggulangan bencana mengartikan


bencana sebagai suatu peristiwa luar biasa yang mengganggu dan mengancam kehidupan
dan penghidupan yang dapat disebabkan oleh alam ataupun manusia, ataupun keduanya.
Untuk menurunkan dampak yang ditimbulkan akibat bencana, dibutuhkan berbagai
dukungan termasuk keterlibatan perawat yang merupakan petugas kesehatan yang
jumlahnya terbanyak didunia dan salah satu petugas kesehatan yang berada dilini

4
terdepan saat bencana yang terjadi(Power &daily,2010). Peran perawat dapat dimulai
sejak tahap mitigasi (pencegahan), tanggap darurat bencana dalam fase prehospital dan
hospital, hingga tahap recovery.

Terdapat individu atau kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat yang lebih


rentan terhadap efek lanjut dari kejadian bencana yang memerlukan perhatian dan
penanganan khusus untuk mencegah kondisi yang lebih buruk pasca bencana.
Kelompok-kelompok ini diantaranya: anak-anak, perempuan terutama ibu hamil dan
meyusui, lansia, individu-individu yang menderita penyakit kronis dan
kecacatan.identifikasi dan pemetaan kelompok beresiko melalui pengumpulan informasi
dan data demografi akan mempermudah perencanaan tindakan kesiap siagaan dalam
menghadapi kejadian bencana dimasyarakat (Morro.1999, powers &daily, 2010; world
health organization (WHO) & International Council of Nursing(ICN), 2009) :

1. Bayi dan anak-anak


Bayi dan anak-anak sering menjadi korban dalam semua tipe bencana karena
ketidakmampuan mereka melarikan diri dari daerah bahaya. Ketika Pakistan diguncang
gempa oktober 2005, sekitar 16.000 anak meninggal karena gedung sekolah mereka
runtuh. Tanah longsor yang terjadi diLeyte, Filipina, beberapa tahun lalu mengubur lebih
dari 200 anak sekolah yang tengah belajar didalam kelas (Indriyani,2014). Diperkirakan
sekitar 70% dari semua kematian akibat bencana adalah anak-anak baik itu pada bencana
alam maupun bencana yang disebabkan oleh manusia (Power&Daily, 2010).

Selain menjadi korban, anak-anak juga rentan terpisah dari orang tua atau wali mereka
saat bencana terjadi. Diperkirakan sekitar 35.000 anak-anak Indonesia kehilangan satu
atau kedua orang tua mereka saat kejadian tsunami 2004. Terdapat juga laporan adanya
perdagangan anak(child-traffcking) yang dialami oleh anak-anak yang kehilangan orang
tua/wali (powers&daily,2010).
Pasca bencana, anak-anak beresiko mengalami masalah-masalah kesehatan jangka
pendek dan jangka panjang baik fisik dan psikologis karena malnutrisi, penyakit-
penyakit infeksi, kurangnya skill bertahan hidup dan komunikasi, ketidakmampuan
melindungi diri sendiri, kurangnya kekuatan fisik, imunitas dan kemampuan koping.
Kondisi tersebut dapat mengancam nyawa jika tidak diidentifikasi dan ditangani dengan
segera oleh petugas kesehatan (powes&daily 2010; Veenema,2007).

5
2. Perempuan
Diskriminasi terhadap perempuan dalam kondisi bencana telah menjadi isu viral yang
memerlukan perhatian dan penanganan khusus. Oleh karena itu, intervensi-intervensi
kemanusiaan dalam penanganan bencana yang memperhatikan standar internasional
perlindungan hak asasi manusia perlu direncanakan dalam semua stase penanganan
bencana. (Klynman,kouppari,& mukhier,2007).

Studi kasus bencana alam yang dilakukan di Bangladesh mendapati bahwa pola
kematian akibat bencana dipengaruhi oleh relasi gender yang ada, meski tidak selalu
konsisten. Pola ini menempatkan perempuan, terlebih bagi yang hamil, menyusui dan
lansia lebih beresiko karena keterbatasan mobilitas secara fisik dalam situasi
darurat(Enarson,2000; Indiriyani,2014; Klynman et al,2007).

Laopran PBB pada tahun 2001 yang berjudul “Women Disaster Reduction and
Sustainable Development” menyebutkan bahwa perempuan menerima dampak bencana
yang lebih besar. Dari 120 ribu orang yang meninggal karena badai siklon diBangladesh
tahun 1991, korban dari kaum perempuan menempati jumlah terbesar. Hal ini disebabkan
karena norma kultural membatasi akses mereka terhadap peringatan bahaya dan akses
ketempat perlindungan (Fatimah,2009 dikutip dalam Indriyani,2014).

3. Lansia
Lansia merupakan salah saat kelompok yang rentan secara fisik, mental dan ekonomik
saat dan setelah bencana yang disebabkan karena penurunan kemampuan mobilitas fisik
dan atau karena mengalami masalah kesehatan kronis (Klynman et al,2007). Di Amerika
serikat, lebih dari 50% korban kematian akibat dari badai Katrina adalah lansia dan
diperkirakan sekitar 1.300 lansia yang hidup mandiri sebelum kejadian badai tersebut
harus dirawat dipanti jompo setelah bencana alam itu terjadi (Powers & daily,2010).

Pasca bencana, kebutuhan lansia sering terabaikan dan mengalami diskriminasi,


contohnya dalam hal distribusi kebutuhan hidup dan finansial pasca bencana. Hak-hak
dan kebutuhan spesifik lansia kadang-kadang terlupakan yang dapat memperparah
masalah kesehatan dan kondisi depresi pada lansia tersebut (Klynmman et al,2007).

6
4. Indvidu dengan keterbatan fisik (kecacatan) dan penyakit kronis
Menurut WHO, terdapat lebih dari 600 juta orang yang menderita kecacatan diseluruh
dunia atau mewakili sekitar 7-10% dari populasi global. 80% diantaranya tinggal
dinegara berkembang. Angka ini terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah
penduduk, angka harapan hidup dan kemajuan d bidang kesehatan (Klynman et al, 2007).

Di Amerika serikat, setelah kejadian banjir di grand forks, north Dakota tahun 1997,
barulah dibangun rumah perlindungan yang dapat diakses oleh korban bencana yang
menggunakan kursi roda. Pada saat terjadi bencana kebakaran di California, tahun 2003,
banyak individu-individu cacat pendengaran tidak memahami level bahaya bencana
tersebut karena kurangnya informasi yang bisa mereka pahami (powers &daily,2010).

Orang cacat, karena keterbatasan fisik yang mereka alami beresiko sangat rentan saat
terjadi bencana,Namun mereka sering mengalami diskriminasi dimasyarakat dan tidak
dilibatkan pada semua level kesiap-siagaan, mitigasi dan intervensi dan penanganan
bencana (Klynman et.al, 2007).

5. Narapidana yang dipenjara


Karena status mereka sebagai tahanan, sehingga mereka sangat tergantung dengan
pemerintah sebagai pemegang otoritas. Narapidana tidak dapat melakukan evakuasi
sendiri, mencari pertolongan medis sendiri, ataupun mencari makanan ataupun tempat
penampungan sendiri. Lebih lanjut, dalam situasi bencana yang sangat besar, kalau
narapidana melakukan semuanya sendiri ada kemungkinan penyerangan yang dilakukan
oleh sesama anggota narapida ataupun penyerangan kepada masyarakat.

6. Social Economic Status (SES) minoritas dan orang yang mengalami kendala
bahasa
Kelompok dengan SES rendah yang tidak memiliki asuransi untuk mengcover kondisi
mereka setelah bencana sehingga membuat beban psikologis menjadi lebih berat.
Kelompok dengan kendala bahasa juga sangat susah dalam mengkomunikasikan hal-hal
apa yang mereka butuhkan sehingga relawan bisa membantu secara cepat dan
tepat. Keluarga yang sebelumnya sejahtera dan mengalami kebangkrutan karena
kejadian bencana dan menerima bantuan dari orang lain juga rentan untuk mengalami
stress akibat bencana.

7
7. Penduduk asli setempat (indigenous people)
Indigenous people termasuk kelompok rentan karena status mereka sebagai orang
pinggiran yang termarginalkan, kondisi fisik dan rumah yang tidak baik, problem terkait
dengan kehilangan budaya dan kesedihan yang dapat menyebabkan stress dan trauma.
Mereka juga mungkin akan dipindahkan dari “tempat penting” menurut budaya mereka.

8. Pengungsi dan migran


Riset sebelumnya menunjukkan bahwa pengungsi yang berasal dari Negara lain
rentan untuk terkena PTSD ketika terjadi bencana. Namun penelitian terbaru
menunjukkan hal yang bertolak belakang bahwa PTSD dikalangan pengungsi rendah
meskipun menghadapi berbagai macam kejadian traumatis. Hal ini karena adanya
dukungan yang tepat membuat mereka bisa settle di Negara baru mereka, dan
memberikan kontribusi terhadap perkembangan masyarakat di Negara baru mereka
(Silove, 1999; Silove et al, 1993). Jadi hanya pengungsi minoritas saja yang mengalami
hal-hal terkait dengan PTSD dan depresi.

Memahami secara utuh batasan tentang bencana dan fokus konseptual


penanggulangan bencana adalah manusia yang potensial sebagai korban, maka 2 hal
mendasar yang perlu menjadi fokus utama adalah mengenali kelompok rentan
(vulnerable group) dan meningkatkan kapasitas masyarakat sebagai subjek
penyelenggaraan penanggulangan bencana.

Kerentanan adalah keadaan atau sifat (perilaku) manusia atau masyarakat yang
menyebabkan ketidakmampuan menghadapi bahaya atau ancaman dari potensi bencana
untuk mencegah, menjinakkan, mencapai kesiapan, dan menanggapi bahaya tertentu.
Dalam undang-undang penanggulangan bencana pasal 55 dan penjelasan pasal 26 ayat
1, disebutkan bahwa masyarakat rentan bencana adalah anggota masyarakat yang
membutuhkan bantuan karena keadaan yang disandangnya, diantaranya bayi, balita,
anak-anak, ibu hamil, ibu menyusui, penyandang cacat dan lanjut usia. Kerentanan ini
dapat menimbulkan beragam penyebab, mencakup:

8
9. Kerentanan fisik
Kerentanan yang dihadapi masyarakat dalam menghadapi ancaman bahaya tertentu,
misalnya kekuatan bangunan rumah bagi masyarakat yang tinggal didaerah rawan gempa
dan tanggul pengaman banjir bagi masyarakat didekat bantaran sungai.

10. Kerentanan ekonomi


Kemampuan ekonomi individu atau masyarakat dalam pengalokasian sumber daya
untuk pencegahan dan mitigasi serta penanggulangan bencana. Pada umumnya
masyarakat miskin atau kurang mampu lebih rentan terhadap bahaya karena tidak punya
kemampuan finansial yang memadai untuk melakukan upaya pencegahan atau mitigasi
bencana.

11. Kerentanan sosial


Kondisi sosial masyarakat dilihat dari aspek pendidikan, pengetahuan tentang
ancaman bencana dan resiko bencana serta tingkat kesehatan yang rendah juga berpotensi
meningkatkan kerentanan.

12. Kerentanan perilaku atau lingkungan


Keadaan lingkungan sekitar masyarakat tinggal. Misalnya, masyarakat yang tinggal
dilereng bukit atau lereng pegunungan rentan terhadap ancaman bencana, tanah longsor,
sedangkan masyarakat yang tinggal didaerah sulit air akan rentang terhadap bencana
kekeringan.

C. Efek dari Bencana


Karakteristik yang mempengaruhi rasa trauma :
1. Rasa horror yang terjadi ketika melihat event/kejadian tersebut
2. Durasi dari bencana
3. Kejadian yang tidak diharapkan (kejadian yang tidak ada peringatannya berdampak
lebih besar pada kondisi psikologis seseorang).
4. Rasio dampak bencana, ancaman yang dilihat dari: rasio akibat bencana, kehilangan
yang diakibatkan oleh bencana pada level komunitas
5. Perubahan sosial kultur seperti kegiatan dalam keseharian, kontrol terhadap kejadian,
dukungan sosial setelah bencana

9
6. Simbolism dari kejadian bencana (cara memaknai kejadian antara “kehendak Tuhan”
atau “manusia”)
7. Kemampuan memanage stress
8. Akumulasi dari sebelum dan sesudah bencana, seperti kepribadian seseorang ataupun
kondisi emosi individu tersebut.

D. Tindakan Yang Sesuai Untuk Kelompok Berisiko


Untuk mengurangi dampak bencana pada individu dan kelompok-kelompok rentan
diatas, petugas-petugas yang terlibat dalam perencanaan dan penanganan bencana
perlu (Morrow, 199; Powers & Daily, 2010) :
1. Mempersiapkan peralatan- peralatan kesehatan sesuai dengan kebutuhan kelompok-
kelompok rentan tersebut contohnya : ventilator untuk anak, alat bantu untuk individu
yang cacat, alat-alat bantuan persalinan, dsb.
2. Melakukan pemetaan kelompok-kelompok rentan
3. Merencanakan intervensi-intervensi untuk mengatasi hambatan informasi dan
komunikasi.
4. Menyediakan transportasi dan rumah penampungan (shelter) yang dapat diakses.
5. Menyediakan pusat bencana yang dapat diakses.

Adapun tindakan-tindakan spesifik untuk kelompok-kelompok rentan tersebut akan


diuraikan pada pembahasan berikut :

1. Tindakan yang sesuai untuk kelompok berisiko pada bayi dan anak
a. Pra-bencana
1) Mensosialisasikan dan melibatkan anak-anak dalam stimulasi bencana kebakaran atau
gempa bumi
2) Mempersiapkan fasilitas kesehatan yang khusus untuk bayi dan anak pada saat
bencana
3) Perlunya diadakan pelatihan-pelatihan penanganan bencana bagi petugas kesehatan
khusus untuk menangani kelompok-kelompok berisiko, contohnya Pediatric Disaster
Life Support (PDLS).

b. Saat bencana

10
1) Mengintegrasikan pertimbangan pediatric dalam sistem triase standar yang digunakan
saat bencana.
2) Lakukan pertolongan kegawatdaruratan kepada bayi dan anak sesuai dengan
mempertimbangkan aspek tumbuh kembangnya, misalnya menggunakan alat dan
bahan khusus untuk anak dan tidak disamakan dengan orang dewasa.
3) Selama proses evakuasi, transportasi, sheltring dan dalam pemberian pelayanan
fasilitas kesehatan, hindari memisahkan anak dari orang tua, keluarga atau wali
mereka.

c. Pasca bencana
1) Usahakan kegiatan rutin sehari-hari dapat dilakukan sesegera mungkin contohnya :
waktu makan dan personal hygine teratur, tidur, bermain dan sekolah.
2) Monitor status nutrisi anak dengan pengukuran antropometri
3) Dukung dan berikan semangat kepada orang tua
4) Dukung ibu-ibu menyusui dengan dukungan nutrisi adekuat, cairan dan emosional
5) Minta bantuan dari ahli kesehatan anak yang mungkin ada dilokasi evakuasi sebagai
voluntir untuk mencegah, mengidentifikasi, mengurangi risiko kejadian depresi pada
anak pasca bencana
6) Identifikasi anak yang kehilangan orang tua dan sediakan penjaga yang terpercaya
serta lingkungan yang aman untuk mereka
7) Berkonsultasi dengan pemerintah atau NGO yang bekerja dalam pelacakan korban
bencana sebagai usaha untuk mempertemukan anaka dengan orang tua, keluarganya.
8) Libatkan agensi-agensi perlindungan anak.

2. Tindakan yang sesuai untuk kelompok berisiko pada ibu hamil dan menyusui
a. Pra-bencana
1) Melibatkan perempuan dalam penyusunan perencanaan penanganan bencana
(disaster plan)
2) Mengidentifikasi ibu hamil dan ibu menyusui sebagai kelompok rentan
3) Membuat disaster plans dirumah yang disosialisasikan kepada seluruh anggota
keluarga
4) Melibatkan petugas-petugas kesehatan reproduktif dalam mitigasi bencana.

11
b. Saat bencana
1) Melakukan usaha/ bantuan penyelamatan yang tidak meningkatkan risiko kerentanan
ibu hamil dan ibu menyusui, misalnya : meminimalkan guncangan pada saat
melakukan mobilisasi dan transportasi karena dapat meransang kontraksi pada ibu
hamil, tidak memisahkan bayi dari ibunya saat proses evakuasi.
2) Petugas bencana harus memiliki kapasitas untuk menolong korban ibu hamil dan ibu
menyusui.

c. Pasca bencana
1) Dukungan ibu-ibu menyusui dengan dukungan nutrisi adekuat, cairan dan emosional
2) Melibatkan petugas-petugas kesehatan reproduktif dirumah penampungan korban
bencana untuk menyediakan jasa konseling dan pemeriksaan kesehatan untuk ibu
hamil dan menyusui.
3) Melibatkan petugas konseling untuk mencegah, mengidentifikasi, mengurangi risiko
kejadian depresi pasca bencana.

3. Tindakan yang sesuai untuk kelompok berisiko pada lansia


a. Pra- bencana
1) Libatkan lansia dalam pengambilan keputusan dan sosialisasi disaster plan dirumah.
2) Mempertimbangkan kebutuhan lansia dalam perencanaan penanganan bencana.

b. Saat bencana
1) Melakukan usaha/ bantuan penyelamatan yang tidak meningkatkan risiko kerentanan
lansia, misalnya meminimalkan guncangan/trauma pada saat melakukan mobilisasi
dan transportasi untuk menghindari trauma sekunder.
2) Identifikasi lansia dengan babtuan/ kebutuhan khusus contohnya : kursi roda,
tongkat,dll.

c. Pasca Bencana
Program inter generasional untuk mendukungsosialisasi komunitas dengan lansia dan
mencegah isolasi social lansia, diantaranya :
1) Libatkan remaja dalam pusat perawatan lansia dan kegiatan-kegiatan social bersama
lansia untuk memfasilitasi empati dan interaksi orang muda dan lansia (community
awareness).

12
2) Libatkan lansia sebagai strory tellers dan animator dalam kegiatan bersama anak-anak
yang diorganisir oleh agensy perlindungan anak di posko perlindungan korban
bencana.
3) Menyediakan dukungan social melalui pengembangan jaringan social yang sehat di
lokasi penampungan korban bencana.
4) Sediakan kesempatan belajar untuk meningkatkan pengetahuan dan skill lansia.
5) Ciptakan kesempatan untuk mendapatkan penghasilan secara mandiri.
6) Berikan konseling untuk meningkatkan semangat hidup dan kemandirian lansia.

4. Tindakan yang sesuai untuk kelompok berisiko pada orang dengan kecacatan dan
penyakit kronik
a. Pra-bencana
1) Identifikasi kelompok rentan dari kelompok individu yang cacat dan berpenyakit
kronis
2) Sedangkan informasi bencana yang bisa diakses oleh orang-orang dengan
keterbatasan fisik seperti : tunarunggu, tuna netra, dll.
3) Perlunya diadakan pelatihan-pelatihan penanganan kegawatdaruratan bencana bagi
petugas kesehatan khusus untuk menangani korban dengan kebutuhan khusus (cacat
& penyakit kronis).
b. Saat bencana
1) Sediakan alat-alat emergensi dan evakuasi yang khusus untuk orang cacat dan
berpenyakit kronis (HIV/AIDS dan penyakit infeksi lainya) : alat bantu berjalan untuk
korban dengan kecacatan, alat-alah BHD sekali pakai,dll.
2) Tetap menjaga dan meningkatkan kewaspadaan universal untuk petugas dalam
melakukan tindakan kegawatdaruratan.

c. Pasca bencana
a) Sedapat mungkin, sedangkan fasilitas yang dapat mengembalikan kemandirian
individu dengan keterbatasan fisik di lokasi evakuasi sementara contohnya : kursi
roda, tongkat, dll.
b) Libatkan agensi-agensi yang berfokus pada perlindungan individu-individu dengan
keterbatasan fisik dan penyakit koronis.

13
c) Rawat korban dengan penyakit kronis sesuai dengan kebutuhannya.

E. Sumber Daya Yang Tersedia Di Lingkungan Untuk Kebutuhan Kelompok


Beresiko
Untuk mengurangi dampak yang lebih berat akibat bencana terhadap kelompok-
kelompok berisiko saat bencana baik itu dalam jangka pendek maupun jangka
panjang, maka petugas kesehatan yang terlibat dalam penanganan bencana perlu
mengidentifikasi sumber daya apa saja yang tersedia dilingkungan yang dapat
digunakan saat bencana terjadi diantaranya (Enarson,2000, Federal Emergency
Management Agency (FEMA),2010 ; Power & Daily,2010, Veenema , 2007) :

1. Terbentuknya desa siaga dan organisasi kemasyarakatan yang terus mensosialisasikan


kesiapan-kesiagaan terhadap bencana terutama untuk area yang rentan terhadap
kejadian bencana.
2. Kesiapan rumah sakit atau fasilitas kesehatan menerima korban bencana dari
kelompok berisiko baik itu dari segi fasilitas maupun ketenagaan, seperti : berapa
jumlah incubator untuk bayi baru lahir , tempat tidur untuk `bayi baru lahir, tempat
tidur untuk pasien anak,ventilator anak, fasilitas persainan , pasien anak, ventilator
anak, fasilitas persalinan, fasilitas perawatan pasien dengan penyakit kronis, dsb.
3. Adanya simbol –simbol atau bahasa yang bisa dimengerti oleh individu-individu
dengan kecacatan tentang peringatan bencana, jalur evakuasi, lokasi pengungsian, dll.
4. Adanya system support berupa konseling dari ahli-ahli voluntir yang khusus
menangani kelompok berisiko untuk mencegah dan mengidentifikasi dini kondisi
depresi pasca bencana pada kelompok tersebut sehingga intervensi yang sesuai dapat
diberikan untuk merawat mereka.
5. Adanya agensi-agensi baik itu dari pemerintah maupun non pemerintah (NGO) yang
membantu korban bencana terutama kelompok-kelompok berisiko seperti : agensi
perlindungan anak dan perempuan, agency pelacakan keluarga korban bencana
(tracking center), dll.
6. Adanya website atau homepage bencana dan publikasi penelitian yang berisi
informasi-informasi tentang bagaimana perencanaan kegawat daruratan dan bencana
pada kelompok-kelompok dengan kebutuhan khusus dan berisiko.

14
F. Lingkungan Yang Sesuai Dengan Kebutuhan Kelompok Berisiko
Setelah kejadian bencana adalah pentingnya sesegera mungkin untuk menciptakan
lingkungan yang kondusif yang memungkinkan kelompok bersiko untuk berfungsi
secara mandiri sebagaimana sebelum kejadian bencana, diantarannya (Enarson,2000,
Federal Emergency Management Agency (FEMA),2010 ; Power & Daily,2010,
Veenema , 2007) :
1. Menciptakan kondisi / lingkungan yang memungkinkan ibu menuyusui untuk terus
memberikan ASI kepada anaknya dengan cara memberikan dukungan moril,
menyediakan konsultasi laktasi dan pencegahan depresi.
2. Membantu anak kembali melakukan aktivitas-aktivitas regular sebagaimana sebelum
kejadian bencana seperti : penjaga kebersihan diri, belajar atau sekolah dan bermain.
3. Melibatkan lansia dalam aktifitas-aktifitas social dan program lintas generasi
misalnya dengan remaja dan anak-anak untuk mengurangkan risiko isolasi social dan
depresi.
4. Menyediakan informasi dan lingkungan yang kondusif untuk individu dengan
keterbatasan fisik misalnya area evakuasi yang dapat diakses oleh mereka.
5. Adanya fasilitas-fasilitas perawatan untuk korban bencana dengan penyakit kronis
dan infeksi.

G. Kegiatan Pemenuhan Kebutuhan Dasar Untuk Masyarakat ( Bio,Psiko,


Social,Cultural, Dan Spritual)
1. Pemenuhan kebutuhan air bersih masyarakat saat bencana
Pada saat terjadi bencana banyak infrasktur yang rusak dengan demikian kebutuhan air
untuk kebutuhan minum dan lainya dibutuhkan segera. Perawat tempat bencana harus
bisa menilai dari air bersih layak dikonsumsi ( bersih, bening, tidak bau, dan tidak
berasa ) dan memetakan dan berkerja sama dengan instansi terkait untuk pemenuhan
kebutuhan tersebut karena jika kebutuhan air tidak terpenuhi segera di khawtrikan
resiko-resiko yang lainya akan muncul seperti resiko penyebaran penyakit dan resiko
dehidarsi pada korban bencana. Sumber air bisa di dapatkan dari hulu atau mata air di
gunung yang tidak tercemar tapi mudah akesnya atau melakukan panggilan mata air
baru,hal itu tergantung dari mana yang telah mudah dan cepat pengadaannya.

15
2. Pemenuhan kebutuhan toilet umum masyarakat saat bencana
Toilet umum dan sanitasinya yang lainya sangat diperlukan dan termasuk kebutuhan
pokok terutama untuk korban bencana yang ada didaerah pengusian dimana satu
lokasi pengungsian bisa dihuni oleh ratusan orang atau ribuan.

Kebutuhan toilet ini sangat diperlukan karena hal ini merupakan hal yang mendasar bagi
pengunsi kebersihan dan ketersedian yang cukup merupakan hal yang utama.
Pengadaan toilet umum bisa dilakukan oleh perawat dengan berkerja sama dengan
instansi terkait misalkan dengan dinas kebersihan atau instansi lainya yang dianggap
lebih focus pada hal ini. Dalan menghitung beberapa kebutuhan toilet untuk pengungsi
yang ada. Perawat juga harus mampu menilai wc sehat ( model leher angsa, ada
septiktank, jarak septikdengan sumber air minum > 10 meter, air memadai )

3. Pemenuhan kebutuhan berobat


Perawat komunitas sebagai petugas kesehatan dilapangan harus bisa melakukan
pengobatan sederahana saat bencana.

Diawali oleh tindakan tiase yang memakai kode.


a. Merah : paling penting, prioritas utama, keadaan yang mengacam kehidupan sebagian
besar pasien mengalami hipoksia, syok, trauma dada, perdarahan internal, trauma
kepala dengan kehilangan kesadaran, luka bakar derajat I-II.
b. Kuning : penting, prioritas kedua prioritas kedua meliputi injury dengan efek sistemik
namun belum jatuh kekeadaan syok karena dalam keadaan ini sebenrnya pasien masih
dapat bertahan selama 30- 60 menit. Injury tersebut antara lain fraktur tulang multipel,
fraktur terbuka, cedera medulla spinalis, laserasi, luka terbuka derajat II.
c. Hijau : prioritas ketiga yang termasuk kategori ini adalah fraktur tertutp, luka bakar
minot, minor laserasi, kontusio, abrasio, dan dislokasi.
d. Hitam : meninggal ini adalah korban bencana yang tidak dapat selamat dari bencana,
ditemukan sudah dalam keadaan meninggal.

4. Pemenuhan Kebutuhan Makanan Sehat Saat Bencana


Makanan sehat sangat diperlukan unuk peningkatan gizi supaya para korban segera sebuh
dan terbebas dari penyakit. Untuk itu perlu di buat dapur umum adapun untuk dapur
umum tersebut perlu memerhatikan :

16
a. Lokasi
Dalam menentukan lokasi dapur umum agar memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1) Letakan dapur umum dekat dengan posko atau penampungan supaya mudah dicapai atau
dikunjungi oleh korban.
2) Hygenis lingkungan cukup memadai
3) Aman dari bencana
4) Dekat dengan transpotasi umum
5) Dekat dengan sumber air

b. Peindrustian
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pendistribusian makanan kepada korban bencana antara
lain :
1) Distribusiandilakukan dengan menggunakan kartu distribusi.
2) Lokasi atau tempat pendistribusian yang aman dan mudah dicapai oleh korban.
3) Waktu pendistribusian yang konsisten dan tepat waktu, misalnya dilakukan 2 kali sehari
makan pagi/ siang dilaksanakan jam 10.00-12 wib, makan sore/ malam 16.00-17.00 wib.
4) Pengambilan jatah sebaiknya diambil oleh kepala keluarga atau perwakilan sesuai dengan
kartu distribusi yang salah
5) Pembagian makanan bisa menggunakan daun, piring, kertas atau sesuai dengan
pertimbangan aman, cepat, praktis dan sehat.

Contoh Kartu :

Nomor Dapur :........................................................................................................

Nomor Kode DU
:.....................................................................................................

Nama Kepala Keluarga


:...........................................................................................

Jumlah Jiwa
:...............................................................................................................

Alamat/Lokasi/Pos
:..................................................................................................
17
6. Pemenuhan Kebutuhan shelter saat Bencana

Setiap orang membutuhkan shelter tempat istirahat dan tidur agar mempertahankan
status, kesehatan pada tingkat yang optimal. Tidur dapat memperbaiki berbagai sel dalam
tubuh. Apabila kebutuhan istirahat dan tidur tersebut cukup maka jumlah energi yang di
harapkan dapat memulihkan status kesehatan dan mempertahankan kegiatan dalam
kehidupan sehari-hari terpenuhi. Selain itu orang yang mengalami kelelahan juga
memerlukan istirahat dan tidur lebih dari biasanya.shelter berfungsi sebagai tempat yang
aman untuk berkumpul dan istirahat bagi korban bencana. Shelter juga dapat berfungsi
sebagai tempat bermain untuk anak-anak untuk mengurangi stress pada anak. Perawat
harus mampu mengkaji lokasi pendirian shelter yang aman

BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN PASCA BENCANA

A. Pengkajian
1. Umum
 Nama
 Usia
 Jenis Kelamin
 Alamat
 Status
 Pekerjaan
 Agama
2. Khusus
a. Data Subjektif
 Menceritakan kejadian / periatiwa yang traumatis
 Mengatakan takut atas kejadian bencana yang terjadi
 Mengatakan resah saat teringat kembali peristiwa bencana yang dialaminya
 Mengatakan merasa tidak berguna
 Menyatakan was-was
 Merasakan fikiran terganngu

18
 Tidak ingin mengingat peristiwa itu kembali dengan menceritakannya lagi
 Mengingkari peristiwa trauma
 Merasa malu
 Mengatakan setiap mengingat kejadian bencana merasa jantung berdebar-debar
b. Data Objektif
 Mengasingkan diri
 Menangis
 Marah
 Gelisah
 Menghindar
 Mengasingkan diri
 Depresi
 Sulit berkomunikasi
 Keadaan mood terganggu
 Sesak didada
 Lemah
3. Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi yang mempengaruhi kehilangan :
a. Genetik
Individu yang dilahirkan dibesarkan dalam keluarga yang mempunyai riwayat
depresi biasanya sulit mengembangkan sikap optimis dalam menghadapi suatu
permasalahan, termasuk menghadapi kehilangan.
b. Kesehatan fisik
Individu dengan keadaan fisik sehat, cara hidup teratur, cenderung mempunyai
kemampuan mengatasi stress yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu yang
sedang mengalami gangguan fisik
c. Kesehatan mental / jiwa
Individu yang mengalami gangguan jiwa seperti depresi yang ditandai dengan
perasaan tidak berdaya pesimis dan dibayangi dengan masa depan yang suram,
biasanya sangat peka terhadap situasi kehilangan.
d. Pengalaman kehilangan di massa lalu
Kehilangan atau perpisahan dengan orang yang bermakna dimasa kanak-kanak
akan mempengaruhi individu dalam menghadapi kehilangan dimasa dewasa

19
4. Faktor Presipitasi
Stress yang nyata seperti kehilangan yang bersifat Bio-Psiko-Sosial antara lain
kehilangan kesehatan (sakit), kehilangan fungsi sseksualitas, kehilangan keluarga dan
harta benda. Individu yang kehilangan sering menunjukkan perilaku seperti menangis
atau tidak mampu menangis , marah, putus asa, kadang ada tanda upaya bunuh diri atau
melukai orang lain yang akhirnya membawa pasien dalam keadaan depresi.
5. Spiritual
a. Keyakinan terhadap Tuhan YME
b. Kehadiran ditempat Ibadah
c. Pentingna Agama dalam kehidupan pasien
d. Kepercayaan akan kehidupan setelah kematian
6. Orang-orang terdekat
a. Status perkawinan
b. Siapa orang terdekat
c. Anak-anak
d. Kebiasaan pasien dalam tugas-tugas keluarga dan fungsi-fungsinya
e. Bagaimana pengaruh orang-orang terdekat terhadap penyakit atau masalah
f. Proses interaksi apakah yang terdapat dalam keluarga
a. Gaya hidup keluarga, misal: Diet, mengikuti pengajian
7. Sosioekonomi
a. Pekerjaan: keuangan
b. Faktor-faktor lingkungan: rumah,pekeerjaan dan rekreasi
c. Penerimaan sosial terhadap penyakit / kondisi, misal : PMS,HIV,Obesitas,dll
8. Kultural
a. Latar belakang etnis
b. Tingkah laku mengusahakan kesehatan, rujuk penyakit
c. Faktor-faktor kultural yang dihubngkan dengan penyakit secara umum dan respon
terhadap rasa sakit
d. Kepercayaan mengenai perawatan dan pengobatan

20
B. Diagnosa Keperawatan
1. Berduka berhubungan dengan Aktual atau perasaan
2. Kecemasan berhubungan dengan krisis situasional, stress, perubahan status
lingkungan, ancaman kematian, kurang pengetahuan.
3. Takut berhubungan dengan perubahan status lingkungan ( bencana alam)
4. Harga diri rendah situasional berhubungan dengan kehilangan (keluarga dan harta
benda)
5. Resiko distress spiritual dengan faktor resiko perubahan lingkungan bencana alam.

21
C. Intervensi Keperawatan

Diagnosa Keperawatan/ Rencana keperawatan


Masalah Kolaborasi
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Berduka berhubungan dengan NOC: NIC:
aktual atau perasaan kehilangan, Kontrol Koping  Bina dan jalin hubungan saling
ditandai dengan Setelah dilakukan asuhan percaya.
DO/DS: keperawatan selama 3 kali  Identifikasi kemungkinan faktor
 penolakan terhadap pertemuan yang menghambat proses
kehilangan, diharapkan individu mengal berduka
 menangis ami proses berduka secara  Kurangi atau hilangkan faktor
 menghindar normal, melakukan koping penghambat proses berduka.
 marah terhadap kehilangan secara  Beri dukungan terhadap respon

 Mengatakan bersedih bertahap dan menerima kehilangan pasien


kehilangan sebagai bagian  Tingkatkan rasa kebersamaan
dari kehidupan yang nyata dan antara anggota keluarga.
harus dilalui, dengan kriteria  Identifikasi tingkat rasa duka
hasil: pada fase berikut:
 Individu mampu Fase pengingkaran
mengungkapkan perasaan  Memberi kesempatan kepada
duka. pasien untuk mengungkapkan
 Menerima kenyataan
21

perasaannya.
kehilangan dengan  Menunjukkan sikap
perasaan damai menerima,ikhlas dan
 Membina hubungan baru mendorong pasien untuk
yang bermakna dengan berbagi rasa.
objek atau orang yang baru.  Memberikan jawaban yang
jujur terhadap pertanyaan

22
pasien tentang sakit,
pengobatan dan kematian.
Fase marah
 Mengizinkan dan mendorong
pasien mengungkapkan rasa
marahnya secara verbal tanpa
melawan dengan kemarahan.
c. Fase tawar menawar
 Membantu pasien
mengidentifikasi rasa
bersalah ddan perasaan
NOC : takutnya.
- Kontrol kecemasan Fase depresi
Kecemasan berhubungan - Koping  Mengidentifikasi tingkat
dengan Setelah dilakukan asuhan depresi dan resiko merusak
22

krisis situasional, stress, selama 3 kali pertemuan klien diri pasien


perubahan status lingkungan, kecemasan teratasi dgn  Membantu pasien
ancaman kematian, kurang kriteria hasil: mengurangi rasa bersalah.
pengetahuan.  Klien mampu Fase penerimaan
mengidentifikasi dan  Membantu pasien untuk
DO/DS: mengungkapkan gejala menerima kehilangan yang
- Insomnia cemas tidak bisa dielakkan
- Kontak mata kurang  Mengidentifikasi, NIC :
- Kurang istirahat mengungkapkan dan Anxiety Reduction (penurunan
- Berfokus pada diri sendiri menunjukkan tehnik untuk kecemasan)
- Iritabilitas mengontol cemas  Gunakan pendekatan yang
- Takut  Vital sign dalam batas menenangkan
- Nyeri perut normal  Nyatakan dengan jelas harapan
- Penurunan TD dan denyut  Postur tubuh, ekspresi terhadap pelaku pasien
nadi wajah, bahasa tubuh dan  Temani pasien untuk
- Diare, mual, kelelahan tingkat aktivitas

23
- Gangguan tidur menunjukkan memberikan keamanan dan
- Gemetar berkurangnya kecemasan mengurangi takut
- Anoreksia, mulut kering  Libatkan keluarga untuk
- Peningkatan TD, denyut nadi, mendampingi klien
RR NOC :Anxiety control  Instruksikan pada pasien untuk
- Kesulitan bernafas Fear control menggunakan tehnik relaksasi
- Bingung Setelah dilakukan tindakan  Dengarkan dengan penuh
- Bloking dalam pembicaraan keperawatan selama 3 kali perhatian
- Sulit berkonsentrasi pertemuan takut klien teratasi  Identifikasi tingkat kecemasan
dengan kriteria hasil :  Bantu pasien mengenal situasi
23

Takut berhubungan dengan  Memiliki informasi untuk yang menimbulkan kecemasan


perubahan status lingkungan ( mengurangi takut  Dorong pasien untuk
bencana alam),  Menggunakan tehnik mengungkapkan perasaan,
ditandai dengan relaksasi ketakutan, persepsi
DS : Peningkatan  Mempertahankan  Kelola pemberian obat anti
ketegangan,panik, penurunan hubungan sosial dan fungsi cemas
kepercayaan diri, cemas peran
DO :  Mengontrol respon takut
 penurunan produktivitas
kemampuan belajar
 penurunan kemampuan
menyelesaikan masalah
 mengidentifikasi obyek
ketakutan, NIC:
 peningkatan kewaspadaan Coping Enhancement
 Anoreksia  Bina dan jalin hubungan saling
 mulut kering percaya.
 diare, mual  Sediakan reinforcement positif
 pucat, muntah ketika pasien melakukan
 perubahan tanda-tanda vital perilaku untuk mengurangi takut

24
 Sediakan perawatan yang
berkesinambungan
 Kurangi stimulasi lingkungan
yang dapat menyebabkan
misinterprestasi
 Dorong mengungkapkan secara
verbal perasaan, persepsi dan
rasa takutnya
 Perkenalkan dengan orang yang
mengalami kejadian bencana
yang sama
 Dorong klien untuk
mempraktekan tehnik relaksasi

25
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan
Di beberapa daerah di Indonesia merupakan daerah yang rawan bencana. Dengan
banyaknya bencana, kesiagaan dan pelaksanaan tanggap bencana harus dilakukan dengan
baik. Karena dampak yang ditimbulkan bencana tidaklah sederhana, maka penanganan
korban bencana harus dilakukan dengan terkoordinasi dengan baik sehingga korban yang
mengalami berbagai sakit baik fisik, sosial, dan emosional dapat ditangani dengan baik dan
manusiawi.
Perawat sebagai kaum yang telah dibekali dasar-dasar kejiwaan kebencanaan dapat
melakukan berbagai tindakan tanggap bencana. Seharusnya modal itu dimanfaatkan oleh
mahasiswa keperawatan agar secara aktif turut melakukan tindakan tanggap bencana.

B. Saran
Perawat adalah tenaga kesehatan yang sangat berkompeten untuk melakukan
pelayanan kesehatan di daerah yang sedang mengalami bencana, oleh karena itu
diharapkan bagi mahasiswa keperawatan maupun perawat yang sudah berpengalaman
dalam praktik pelayanan kesehatan mau untk berperan dalam penanggulangan bencana
yang ada di sekitar kita. Karena ilmu yang didapat di bangku perkuliahan sangat relevan
dengan yang terjadi di masyarakat, yaitu fenomena masalah kesehatan yang biasanya
muncul di tempat yang sedang terjadi bencana.

26
DAFTAR PUSTAKA

Online(https://id.scribd.com/upload-
document?archive_doc=374111164&escape=false&metadata=%7B%22context%22%3A%22arch
ive_view_restricted%22%2C%22page%22%3A%22read%22%2C%22action%22%3A%22downloa
d%22%2C%22logged_in%22%3Atrue%2C%22platform%22%3A%22web%22%7D) di akses pada
tgl 11/30/2019
Online(https://www.academia.edu/28844751/MAKALAH_KONSEP_AREA_BENCANA?auto=do
wnload) di akses pada tgl 11/30/2019
Online(https://ugm.ac.id/id/berita/17336-penanganan-kelompok-rentan-perlu-diprioritaskan-
saat-bencana) di akses pada tgl 11/30/2019
Online(https://www.starjogja.com/2018/10/31/kelompok-rentan-jadi-pioritas-bencana/)di
akses pada tgl 11/30/2019
Online(https://id.scribd.com/document/340027590/Perawatan-Pada-Kelompok-Rentan-Saat-
Bencana) di akses pada tgl 11/30/2019

27

Anda mungkin juga menyukai