Anda di halaman 1dari 29

TEKNIK KOMPLEMENTER

PADA PASIEN GAWAT DARURAT BENCANA

Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Keperawatan Bencana

Oleh

Kelompok 4

Atasya Andriani Putri Maharani Putri Anzani Yodysta Purnama Agustin

Annisa Nurzaman Neng Fitri

Edward Nuralam Neng Mita Susanti

Guatianingsih Pinanjung Ratu Arista T H

Lambang Restu Gemilang Sharah Feruzia Diwan

PRODI S1 KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SUKABUMI

TAHUN AJARAN 2020/202


KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan kita
berbagai macam nikmat, sehingga aktivitas hidup yang kita jalani ini akan selalu
mebawa keberkahan, baik kehidupan dialam dunia ini, lebi-lebih lagi pada
kehidupan akhirat kelak, sehingga semua cita-cita serta harapan yang ingin kita
capai menjadi lebih mudah dan penuh manfaat.

Terimakasih sebelumnya dan sesudahnya saya ucapkan kepada dosen serta


teman-teman sekalian yang telah membantu, baik bantuan berupa moril maupun
materil sehingga makalah ini terselesaikan dalam waktu yang telah ditentukan.
Kami menyadari sekali, didalam penyusunan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan serta banyak kekurangan-kekuranganya, baik dari segi tata bahasa
maupun dalam hal pengkonsolidasian kepada dosen serta teman-teman sekalian,
yang kadang kala hanya meturuti egiosme pribadi, untuk itu besar harapan saya
jika ada kritik dan saran yang membangun untuk lebih menyempurnakannya
dilain waktu.

Harapan yang paling besar dari penyusunan makalah ini ialah, mudah-
mudahan apa yang saya susun ini penuh manfaat, baik untuk pribadi, teman-
teman, serta orang lain yang ingin mengambil atau menyempurnakan lagi atau
mengambil hikmah dari judul ini “ Teknik Komplementer Pada Pasien Gawat
Darurat Bencana ”.

Sukabumi, 17 November 2020

Kelompok 4

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI ii

BAB I PENDAHULUAN 1

1. Latar Belakang 1

2. Rumusan Masalah 3

3. Tujuan 3

BAB II PEMBAHASAN 4

A. Pengungsi sebagai korban bencana 4

B. Pengungsi dan pemenuhan kebutuhan hidup 5

C. Dampak social psikologis korban bencana 8

D. Penanganan korban bencana 9

E. Dampak Sosial Psikologis Korban bencana 15

F. Tujuan Komplementer pada Gawat Darurat Bencana 15

G. Teknik-Teknik Komplementer pada Gawat Darurat Bencana 18

H. Evidence Based Practice pada terapi komplementer21

BAB III PENUTUP 24

A. Kesimpulan 24

I. Saran 24

DAFTAR PUSTAKA 25

ii
iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang paling rawan bencana alam di dunia
demikian menurut United Nations International Stategy for Disaster
Reduction (UNISDR; Badan PBB untuk Strategi Internasional Pengurangan
Risiko Bencana). Berbagai bencana alam mulai gempa bumi, tsunami, letusan
gunung berapi, banjir, tanah longsor, kekeringan, dan kebakaran hutan rawan
terjadi di Indonesia. Bahkan untuk beberapa jenis bencana alam, Indonesia
menduduki peringkat pertama dalam paparan terhadap penduduk atau jumlah
manusia yang menjadi korban meninggal akibat bencana alam. Inilah yang
menasbihkan Indonesia sebagai negara dengan resiko dan dampak bencana
alam tertinggi di dunia. (www.unisdr.org).
Dari berbagai jenis bencana alam, United Nations International Stategy for
Disaster Reduction (UNISDR) merangking jumlah korban pada 6 jenis
bencana alam yang meliputi tsunami, tanah longsor, banjir, gempa bumi,
angin topan, dan kekeringan. Dan dari keenam jenis bencana alam tersebut
Indonesia menduduki peringkat pertama pada dua bencana alam yakni
tsunami dan tanah longsor, peringkat ketiga pada gempa bumi, dan peringkat
keenam pada banjir. (www.unisdr.org).
Bencana alam yang terjadi biasanya akan menghilangkan banyak harta
benda dan nyawa. Hal yang timbul tidak hanya berupa kehilangan material
saja namun juga menimbulkan dampak psikologis yang luar biasa. Korban
bencana alam perlu mendapatkan perlakuan untuk keamanan mereka. Pada
UndangUndang RI No. 24 Tahun 2007 Pasal 26 menjelaskan bahwa “setiap
orang berhak mendapatkan perlindungan sosial dan rasa aman, khususnya
bagi kelompok masyarakat rentan bencana (Badan Nasional Penanggulangan
Bencana, n.d.). Kelompok rentan adalah kelompok yang paling penting untuk
diselamatkan ketika terjadi bencana, sebagaimana yang telah disebutkan

1
dalam undang-undang bahwa prioritas dalam penyelamatan korban bencana
adalah kelompok yang dikategorikan rentan misalnya wanita, lansia, anak-
anak, orang cacat, kaum pendatang, dan penduduk asli setempat (Bizzari,
2012).
Kejadian traumatik tersebut berpengaruh pada kualitas hidup anak-anak
yang mengalami bencana alam. Salah satu dampak bencana yaitu
menurunnya kualitas hidup penduduk. Hal ini dapat dilihat dari berbagai
permasalahan kesehatan masyarakat yang terjadi. Bencana memberikan
dampak yang sangat besar bagi anak-anak dan masyarakat setempat. Dampak
yang ditimbulkan bagi anak-anak yang mengalami bencana alam yaitu
menurunnya kesehatan karena kondisi lingkungan yang kurang kondusif,
mengalami rasa takut yang mendalam ketika mendapat stimulus yang
menyebabkan terjadinya bencana seperti mendengar suara hujan, mendengar
angin kencang, dan lampu yang padam tiba-tiba. Bencana gempa bumi,
banjir, longsor dan letusan gunung merapi, dalam jangka pendek dapat
berdampak pada korban meninggal, korban cidera berat yang memerlukan
perawatan intensif, peningkatan risiko penyakit menular, kerusakan fasilitas
kesehatan dan sistem penyediaan air (Pan American Health Organization,
2006).
Korban bencana alam menghadapi situasi dan kondisi yang sangat
kompleks, baik secara fisik, psikis maupun sosial. Problema paling mendasar
adalah persoalan fisik, seperti gangguan pemenuhan kebutuhan makan,
minum, tempat tinggal, kesehatan, dan pendidikan. Hal ini berawal dari, tidak
tersedia atau terbatasnya fasilitas umum, sosial dan sanitasi lingkungan yang
buruk sehingga menimbulkan ketidaknyamanan bahkan dapat menjadi
sumber penyakit. Kehilangan harta benda menyebabkan korban menjadi jatuh
miskin, apalagi sumber matapencaharian berupa lahan pertanian dan
perkebunan juga mengalami kerusakan. Kehilangan anggota keluarga,
khususnya sumber pencari nafkah keluarga, seringkali menyebabkan
timbulnya perasaan khawatir, ketakutan bahkan trauma yang berkepanjangan.
Bantuan dari berbagai sumber yang berbentuk materi mungkin dapat

2
memenuhi kebutuhan fisik para korban bencana, tetapi belum tentu dapat
menyelesaikan masalah yang dihadapi. Kehilangan orang yang dicintai,
rumah, harta benda, sawah, atau ternak yang menjadi mata pencarian, dapat
menyebabkan guncangan jiwa dan trauma hebat.

B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengungsi Sebagai Korban bencana?
2. Apa Pengungsi dan pemenuhan kebutuhan hidup?
3. Bagaimana Dampak Sosial Psikologis Korban bencana?
4. Bagaimana Penanganan Korban bencana?
5. Apa Definisi Komplementer pada Gawat Darurat Bencana?
6. Apa Tujuan Komplementer pada Gawat Darurat Bencana?
7. Apa saja Teknik-Teknik Komplementer pada Gawat Darurat Bencana?
8. Bagaimana Evidence Based Practice pada terapi komplementer?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui Pengungsi Sebagai Korban bencana
2. Untuk mengetahui Pengungsi dan pemenuhan kebutuhan hidup
3. Untuk mengetahui Dampak Sosial Psikologis Korban bencana
4. Untuk mengetahui Penanganan Korban bencana
5. Untuk mengetahui Definisi Komplementer pada Gawat Darurat Bencana
6. Untuk mengetahui Tujuan Komplementer pada Gawat Darurat Bencana
7. Untuk mengetahui Teknik-Teknik Komplementer pada Gawat Darurat
Bencana
8. Untuk mengetahui Evidence Based Practice pada terapi komplementer

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengungsi Sebagai Korban bencana


Pengungsi akibat bencana alam adalah orang-orang yang terpaksa
melarikan diri atau meninggalkan rumah mereka sebagai akibat atau dalam
rangka menghindarkan diri dari bencana alam dan berpindah ke daerah yang
lebih aman. Definisi dari United Nation Hight Commission for Refugees
(UNHCR) menyebutkan bahwa pengungsi adalah orang yang meninggalkan
tempat tinggalnya karena adanya unsur pemaksa seperti bencana alam berupa
banjir, kekeringan, kebakaran, gunung meletus, tanah longsor, gelombang
pasang air laut, tsunami, wabah penyakit dan peperangan. Tujuan orang
mengungsi adalah untuk mencari tempat yang lebih aman demi keselamatan
diri dan keluarga. Pengungsi jika dilihat dari kelompok umur dapat dibedakan
menjadi pengungsi anak-anak, pengungsi dewasa dan pengungsi lanjut usia.
Pengungsian bisa dilakukan secara individu, bersama-sama atau dalam
kelompok dengan persiapan ataupun tanpa persiapan sama sekali.
Pengungsian bisa untuk sementara waktu ketika kondisi masih dalam bahaya
dan dapat kembali ke tempat asal ketika keadaan sudah aman dan kehidupan
sudah nornal kembali. Akan tetapi pengungsian bisa terjadi dalam kurun
waktu yang lama bahkan tidak menentu karena terjadinya perubahan kondisi
tempat asal, misalnya daerahnya menjadi tidak layak huni dan termasuk zona
merah, sehingga mereka tidak mungkin bisa kembali. Dari pengertian di atas
maka pengungsi dapat dikategorikan sebagai korban bencana [ CITATION
Cha12 \l 1033 ]
Status pengungsi sering diidentikkan dengan seseorang atau sekelompok
orang yang perlu dikasihani dan dibantu karena ketidakberdayaannya,
meskipun demikian pengungsi tetap mempunyai hak asasi sebagai manusia.

4
Hak asasi manusia (HAM) pengungsi sebagaimana diatur dalam Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), Konvensi Internasional tentang
Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, serta Konvensi Internasional tentang Hak
Sipil dan Politik, adalah hak untuk memeluk agama, bebas dari perbudakan,
bebas dari penyiksaan, meminta dan menerima perlindungan bantuan
humaniter, kebebasan berpindah, rasa aman, pendidikan serta memperoleh
informasi tentang keberadaan sanak saudara.
B. Pengungsi dan Pemenuhan Kebutuhan Hidup
Pengungsi sebagai manusia, baik sebagai individu maupun sebagai
kelompok masyarakat yang sedang menghadapi masalah, mempunyai
kebutuhan hidup yang harus dipenuhi. Apabila kebutuhan hidup itu tidak
dapat terpenuhi dalam kurun waktu yang lama maka akan menjadi masalah
sosial, sehingga manusia dan masyarakat tidak dapat melaksanakan fungsi
sosialnya. Kebutuhan dasar manusia menurut Elizabeth Nicolds (1965: 59)
meliputi:
a. Rasa aman (security) dari ancaman lingkungan manusia dan alam serta
rasa aman dari gangguan penyakit.
b. Kasih sayang (affection) baik dari keluarga maupun masyarakat
lingkungannya.
c. Mencapai cita-cita (achievment) dalam kondisi kehidupan sesuai yang
diinginkan.
d. Penerimaan (acceptance) eksistensi diri ditengah masyarakat sekitarnya.
LP Getubig dan Sonke Schmidt (1992) mengemukakan bahwa
individu dan kelompok orang atau masyarakat dapat dikatakan aman
secara sosial (sosially secured) apabila terpenuhi kebutuhan hidupnya
dalam aspek:
a. Pendapatan yang tetap dan cukup (adequate and stable income)
b. Kesehatan (health care)
c. Makan cukup gizi (good nutrion)
d. Rumah tempat tinggal (shelter)
e. Pendidikan (education)

5
f. Air bersih (clean water)
g. Sanitasi (sanitation)
h. Penyantunan anak dan lanjut usia (child and old age care)

Sementara Laird dan Laird (dalam Sumarnonugroho, 1984:


6) mengemukakan kebutuhan dasar hidup manusia meliputi:

a. Hidup
b. Merasa aman
c. Penghargaan atas eksistensi dirinya
d. Melakukan pekerjaan yang disenangi.

Selanjutnya aspek kebutuhan dasar hidup manusia menurut


Maslow adalah:

a. Kebutuhan fisik seperti makan, minum, dan udara untuk


bernafas.
b. Rasa aman.
c. Menyayangi dan disayangi
d. Penghargaan diri
e. Aktualisasi diri.

Kebutuhan dasar manusia tersebut di atas dalam kondisi yang


normal dapat dengan mudah terpenuhi apabila alam dan lingkungan
manusia mendukung, dalam arti sedang tidak terjadi bencana. Sebaliknya
apabila alam dan lingkungan tidak mendukung karena sedang terjadi
bencana maka kebutuhan dasar manusia itu kadang-kadang sulit terpenuhi,
maka untuk dapat terpenuhinya kebutuhan dasar hidup, manusia tersebut
memerlukan intervensi dari pihak lain. Dalam hal ini manusia sebagai
pengungsi memerlukan bantuan orang lain agar tetap dapat bertahan hidup
di tempat pengungsian.

6
Dalam panduan pengungsi internal yang dikeluarkan oleh PBB
Koordinator Urusan Kemanusiaan (OCHA), kebutuhan perlindungan bagi
pengungsi meliputi lima prinsip yaitu:

a. Perlindungan umum meliputi hak memperoleh persamaan


perlakuan hukum, kebebasan bersuara, perlindungan dari
tindak diskriminasi, dan perlindungan khusus terutama untuk
pengungsi anakanak, ibu hamil, perempuan kepala rumah
tangga, lanjut usia serta orang cacat.
b. Perlindungan terhadap kemungkinan paksaan jadi pengungsi
karena diskriminasi warna kulit, pembersihan etnis, agama dan
politik.
c. Perlindungan selama masa pengungsian internal dari tindak
genoside, pembunuhan, penculikan, penahanan, kekerasan,
perampokan, penyanderaan, pemerkosaan, penghukuman kerja,
penyiksaan, pencacatan, perbudakan, eksploitasi, pelecehan
seksual, pengekangan gerak, pemaksaan ikut bertikai,
penurunan martabat, moral dan mental. Pengungsi juga
memperoleh hak untuk mengetahui tentang keberadaan
keluarganya dan dipertemukan kembali, pemakaman yang
layak apabila meninggal, memperoleh informasi tentang
pilihan hidup yang lebih baik, pergi ke negara lain yang
dipandang aman dan mencari suaka ke negara lain.
d. Bantuan kemanusiaan berupa makanan, pakaian, kesehatan
atau obat-obatan, pendidikan, hiburan, dan pelayanan
administrasi kependudukan. Pemerintah dan pihak swasta harus
menjamin kelancaran dan keamanan dalam menyalurkan
bantuan kemanusiaan tersebut sehingga terhindar dari
gangguan pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab dan
berbagai hambatan birokrasi.
e. Bantuan pemulangan, relokasi dan integrasi dengan masyarakat
tempat pengungsi berada. (Gunanto Surjono, dkk. 2004: 7).

7
Lima prinsip di atas telah mencakup kebutuhan dasar
manusia baik fisik, psikis maupun sosial.

C. Dampak Sosial Psikologis Korban bencana


Peristiwa bencana membawa dampak bagi warga masyarakat
khususnya yang menjadi korban. Beberapa permasalahan yang dihadapi
korban bencana yaitu :
a. Kehilangan tempat tinggal untuk sementara waktu atau bisa terjadi
untuk seterusnya,karena merupakan kawasan rawan bencana (termasuk
dalam zona merah).
b. Kehilangan mata pencaharian karena kerusakan lahan pertanian dan
hancurnya tempat usaha.
c. Berpisah dengan kepala keluarga karena ayah atau suami banyak yang
memilih untuk tetap tinggal di rumah dengan alasan menjaga rumah,
harta benda dan tetap bekerja sebagai petani, berkebun atau peternak.
d. Pemenuhan kebutuhan dasar berupa makan, minum, tempat tinggal
sementara atau penampungan, pendidikan, kesehatan dan sarana air
bersih yang tidak memadai. Tidak tersedia atau terbatasnya fasilitas
umum dan fasilitas sosial.
e. Terganggunya pendidikan anak-anak yang tidak bisa sekolah karena
kerusakan sarana dan prasarana sekolah.
f. Risiko timbulnya penyakit-penyakit ringan (batuk, flu) ataupun penyakit
menular (misalnya diare) karena kondisi lingkungan dan tempat
penampungan yang kurang bersih dan tidak kondusif serta sarana
pelayanan kesehatan yang kurang memadai.
g. Terganggunya fungsi dan peran keluarga karena dalam satu tempat
penampungan tinggal beberapa keluarga sekaligus. Tidak optimalnya
pelaksanaan fungsi dan peran keluarga serta kemungkinan-kemungkinan

8
hilangnya pengendalian diri dapat menimbulkan potensi konflik dengan
sesama pengungsi akibat jenuh, tidak terpenuhinya kebutuhan hidup.
h. Hilangnya harga diri dan kemampuan baik sebagai individu maupun
sebagai keluarga karena di tempat pengungsian mereka menerima belas
kasihan dari pihak lain dan bahkan seringkali menjadi tontonan. Kecewa
pada pemerintah atau pihak-pihak lain yang tidak dapat meminimalisir
kerusakan yang ditimbulkan oleh letusan gunung berapi dan kecewa
terhadap pelayanan yang diberikan oleh pemerintah yang berpotensi
menjadi aksi sosial.
i. Terhambatnya pelaksanaan fungsi dan peran sosial dalam kekerabatan
serta pelaksanaan tugas-tugas kehidupan dalam kemasyarakatan,
misalnya: kegiatan arisan, kegiatan adat atau budaya yang tidak dapat
dilaksanakan di lokasi pengungsian.
j. Kejenuhan akibat ketidakpastian berapa lama harus mengungsi, perasaan
tidak berdaya, ketakutan dan bahkan perasaan putus asa menghadapi
kemungkinan bencana yang tidak mungkin dihindari (tidak dapat
melawan kehendak Tuhan). Akibatnya timbul perasaan marah, stres atau
frustrasi dengan situasi dan kondisi yang serba tidak menentu, trauma,
putus asa, merasa tidak berdaya dan ketidakpastian terhadap masa
depannya.
k. Berfikir tidak realistis dan mencari kekuatan supra natural untuk
mencegah terjadinya bencana. Kekecewaan spiritual yaitu kecewa pada
Tuhan karena diberi ujian atau hukuman bahkan cobaan kepada orang-
orang yang merasa dirinya sudah melaksanakan ibadah sesuai ajaran
agama. (Marjono, 2010).
D. Penanganan Korban bencana
Pelayanan sosial pengungsi merupakan tindakan yang dilakukan oleh
pemerintah, pihak swasta dalam skala internasional, nasional ataupun tingkat
lokal untuk memberi perlindungan hukum, keamanan, pemenuhan kebutuhan
pangan, pakaian, shelter, obatobatan, pelayanan administratif kependudukan,
reintegrasi dengan keluarga dan relokasi. Menurut Allen Pansus dan Anne

9
Minahan (dalam Gunanto Surjono, dkk., 2004), pelayanan sosial ditujukan
untuk menolong orang-orang yang mengalami permasalahan sehari-hari
dalam keluarga, anakanak yang mengalami hambatan belajar di sekolah,
orang yang mengalami kesulitan dalam mencari pekerjaan guna menghidupi
dirinya dan beberapa kondisi kehidupan traumatis seperti kedukaan,
perpisahan dengan keluarga, menderita suatu penyakit dan masalah keuangan
sebagai penopang hidup.
Demikian juga Sukamdi (dalam Gunanto Surjono, 2004)
mengemukakan bahwa tindakan pelayanan kepada pengungsi adalah untuk:
a. Proteksi, khususnya terhadap perempuan, anak-anak dan lanjut usia.
b. Pemberian fasilitas untuk kembali ke pemukiman asal perantauan atau
lokasi baru.
c. Menyelesaikan akar permasalahan penyebab pengungsian agar
dikemudian hari tidak terjadi masalah pengungsian yang sama.
Selanjutnya Eddy Ch Papilaya (2003) mengemukakan bahwa
pemberdayaan pengungsi meliputi tiga hal pokok, yaitu:
a. Pendidikan dan pembangkitan kesadaran.
Pendidikan dan pembangkitan kesadaran mencakup tiga unsur
yaitu:
1) Pendidikan formal terutama bagi pengungsi anakanak agar
tidak terlalu tertinggal dengan pendidikan anak-anak lain
yang bukan pengungsi,
2) Pendidikan informal untuk pengungsi dewasa yang bisa
berlangsung setiap waktu dengan tujuan untuk
menanamkan nilai, pengetahuan, keterampilan, akses
informasi usaha ekonomis produktif dengan memanfaatkan
sumber alam, manusia dan sosial sekitarnya. Pendidikan
informal dapat dilakukan melalui pendampingan,
bimbingan dan konsultasi,
3) Pendidikan non-formal yang berorientasi pada
pemberdayaan hukum, demokrasi, ekonomi produktif,

10
advokasi pemenuhan hak azasi kehidupan dan kekerasan
gender.
b. Pelibatan Kebijakan dan Perencanaan Elitis
Dalam hal ini untuk mempengaruhi kebijakan elit
pengambil keputusan mempunyai kompetensi dalam sektor
keamanan, sistem ekonomi, penyediaan akses lembaga keuangan,
fasilitas informasi, kesehatan, kesejahteraan sosial, layanan
administrasi kependudukan, dan penyediaan sarana sekolah formal.
Kebijakan dan perencanaan elitis digunakan untuk menghindari
permasalah lanjut, seperti stres berkepanjangan, kekecewaan,
frustrasi, tindak negatif, pemiskinan, pembodohan, dan
ketertinggalan sebagai akibat lama mengungsi tanpa intervensi dari
pihak pengambil kebijakan pemerintah. Hal ini dimaksudkan untuk
menghindari kemungkinan terjadinya masyarakat yang
dimarginalkan, sosial cost atau generation lost.
c. Aksi Sosial Politik
Aksi sosial politik dilakukan dengan menjunjung tinggi
prinsip partisipatif dalam masyarakat pengungsi sendiri, mulai dari
perencanaan, identifikasi masalah, penentuan skala prioritas,
tujuan, implementasi dan pemantauan, serta evaluasi akhir dalam
proses rehabilitasi pengungsi.
Program pemberdayaan bagi pengungsi tidak dapat tercapai
secara maksimal apabila dilaksanakan di tempat pengungsian, akan
lebih baik apabila dilaksanakan di tempat asal apabila
memungkinkan atau di tempat baru yang lebih aman.
Pemberdayaan masyarakat pengungsi tidak cukup dilakukan
pemerintah saja, tetapi harus melibatkan pihak lain seperti swasta,
LSM, masyarakat lingkungan di mana pengungsi berada, baik
secara perorangan maupun terorganisir yang bekerja sama atas
nama kemanusiaan (for the sake of humanisme). (Eddy Ch.
Papilaya, 2003). Menurut panduan pengungsi yang dikeluarkan

11
oleh PBB (OCHA) intervensi kepada pengungsi mengandung
prinsip tidak ada larangan secara formal bagi lembaga manapun
yang akan memberikan bantuan kemanusiaan kepada pengungsi.
Fancois J. Tunner (dalam Gunanto Surjono, dkk., 2004:10)
mengemukakan bahwa dalam penanganan pengungsi tidak ada satu
aspek penanganan yang ditekankan dan didominasikan
(overstressed and dominated) tetapi semua unsur harus bekerja
sama saling mengisi kompleksitas kebutuhan pengungsi. Unsur
pelayanan sosial pokok yang harus dilakukan bersama seperti
pemenuhan kebutuhan makan, kesehatan, pakaian,
keamanan/pendidikan, relokasi dan perlindungan hukum.
Sedangkan unsur penunjang meliputi publikasi, simpati masyarakat
lingkungan dan semangat hidup dari pengungsi sendiri.
Langkah yang dilakukan dalam upaya penanganan dampak
sosial psikologis korban antara lain:
a. Advokasi, yaitu melindungi dan mengupayakan kepastian
mengenai pemenuhan kebutuhan dasar pengungsi secara layak
dan memadai.
b. Intervensi keluarga. Keluarga-keluarga pengungsi yang
kehilangan kepala keluarganya perlu mendapatkan pelayanan
khusus karena (barangkali) seorang istri atau ibu harus
mengambil alih tanggung jawab sebagai kepala keluarga
sekaligus pencari nafkah. Pengertian, dukungan dan partisipasi
semua anggota keluarga sangat dibutuhkan. Agar masa transisi
peran tersebut dapat dilaksanakan dengan baik diperlukan
dukungan dari berbagai pihak sehingga fungsi keluarga dapat
pulih kembali dan stabilisasi peran keluarga dapat dicapai.
c. Terapi kritis.
Tidak sedikit masyarakat yang menolak untuk direlokasi,
tidak puas dan merasa tidak berdaya dengan situasi dan kondisi
baru yang berbeda dengan keseharian mereka sebelumnya.

12
Perasaan-perasaan tersebut seringkali menimbulkan gangguan
psikis, seperti kecemasan dan insomnia, stres, frustrasi dan
selalu ada kemungkinan timbul aksi sosial atau konflik.
Layanan ini diberikan kepada individu-individu yang
mengalami stress atau trauma karena kejadian bencana itu
sendiri, karena kehilangan harta benda atau karena kehilangan
anggota keluarganya. Terapi yang dilakukan antara lain
pengungkapan perasaan-perasaan negatif yang dilanjutkan
dengan pembelajaran sederhana mengenai cara membangun
perasaan-perasaan yang positif dan bekerja bersama-sama
dengan kelompok untuk menginventarisasi hal-hal positif yang
dapat dilakukan di daerah yang baru dan menyusun rencana
kegiatannya.
d. Membangun partisipasi Pengungsi perlu dilibatkan dalam
berbagai kegiatan di barak-barak pengungsian (dapur umum,
latihan keterampilan dan kegiatan lain) untuk mengalihkan
perasaan-perasaan kontra produktif, dan dalam menyusun
rencana recovery.
e. Mediasi dan fasilitasi relokasi dengan penyuluhan terhadap
masyarakat di daerah tujuan yang baru agar dapat menerima
kehadiran para pengungsi yang direlokasi ke daerah mereka.
(Marjono, 2010).

Selain langkah-langkah tersebut dukungan sosial dari keluarga atau


sesama pengungsi sangat membantu korban untuk bisa
menyesuaikan diri terhadap kondisi yang dialami saat ini.
Pengungsi yang mengalami gangguan penyesuaian diri biasanya
mengalami insomnia, hipertensi dan psikosomatis. Hal ini
ditunjukkan dengan keinginan untuk segera pulang ke rumah, tidak
betah tinggal di pos pengungsian, tidak mau makan dan tidak mau
bicara. Untuk kasus yang berat, biasanya mereka mengalami
ketakutan secara terus menerus, sering menangis, dan mengalami

13
halusinasi. Mereka kebanyakan juga mengalami insomnia, tidak
tenang dan cemas secara berlebihan.

Penanganan masalah sosial psikologis pengungsi pada


dasarnya untuk membantu manusia yang sedang mengalami
kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidup bagi diri dan
keluarganya, karena adanya faktor penghambat seperti terjadinya
bencana sehingga harus mengungsi di tempat yang dianggap aman.
Oleh karena itu dalam memberikan pelayanan sosial atau intervensi
harus menggunakan pendekatan kemanusiaan agar tidak
menyinggung perasaan orang-orang yang diberi pelayanan. Allen
Pancus dan Anne Minahan yang dikutip Gunanto Surjono, dkk.,
2004 mengemukakan bahwa untuk dapat melakukan penyelesaian
masalah sosial dengan baik harus melibatkan sistem sumber
(resources system) yang meliputi:

a. Sumber informal, berasal dari keluarga, teman, tetangga dan


masyarakat sekitar yang diberikan secara spontan.
b. Sumber formal, berasal dari organisasi (pemerintah atau
swasta) baik yang menyandang masalah sebagai anggota
organisasi bersangkutan maupun bukan anggota (di luar)
organisasi.
c. Sumber sosial, berasal dari organisasi yang dibentuk secara
khusus untuk memberikan intervensi pertolongan pada saat
khusus dan tertentu (given situation).

Dalam praktek penggalian sumber tersebut di atas diperlukan


kerjasama secara terpadu untuk saling melengkapi agar misi
pelayanan sosial dapat dilaksanakan tepat sasaran, tercapai tujuan
dan sesuai harapan. Kementerian Sosial dalam penanganan korban
bencana alam membedakan empat tahapan kegiatan yaitu tahap
pencegahan dan kesiapsiagaan, tanggap darurat, rehabilitasi sosial
serta sosialisasi dan rujukan. Dalam setiap tahapan menekankan

14
pada adanya koordinasi antar instansi terkait (Dinas Sosial,
BNPB, Dinas Kesehatan) dengan unsur masyarakat, LSM dan
dunia usaha dalam satu komando. Tanggap darurat adalah
kegiatan memobilisasi dan meningkatkan kemampuan masyarakat
dalam mengkonsolidasikan diri melalui penyediaan sarana dan
prasarana penanganan korban bencana alam. Dalam penelitian ini
yang menjadi fokus bahasan adalah upaya penanganan dampak
sosial psikologis dalam hal pemenuhan kebutuhan fisik, psikis dan
sosial ketika korban bencana masih berada di tempat pengungsian
atau dibatasi pada tahap tanggap darurat.

E. Definisi Komplementer pada Gawat Darurat Bencana


Keperawatan komplementer adalah cabang ilmu keperawaratan yang
menerapkan pengobatan non konvensional yang ditujukan untuk
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat meliputi upaya promotif,
preventif, kuratif dan rehabilitatif yang berfungsi sebagai terapi suportif
untuk mengontrol gejala, meningkatkan kualitas hidup, dan berkontribusi
terhadap penatalaksanaan pasien secara keseluruhan, diperoleh melalui
Pendidikan terstruktur dengan kualitas, keamanan dan efektifitas yang
tinggi berlandaskan ilmu pengetahuan biomedik tapi belum diterima dalam
kedokteran konvensional [ CITATION Rez19 \l 1033 ].
Pengobatan komplementer juga dapat digunakan dalam penangan
kasus-kasus kegawatdaruratan di lapangan, baik rumah sakit maupun saat
menangani kasus bencana alam. Sebagai tenaga kesehatan, perawat
mempunyai peranan pentingdalam Sistem Penanggulangan
Kegawatdaruratan Terpadu (SPGDT), baik padafase pre disaster, disaster
ataupun pasca disaster. Maka, melalui body of knowledge-nya yakni dalam
hal keperawatan komplementer, perawat akan melakukan intervensi berupa
keperawatan komplementer [ CITATION Rak15 \l 1033 ].
F. Tujuan Komplementer pada Gawat Darurat Bencana
Alasan yang paling umum oarang menggunakan terapi komplementer
adalah untuuk meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan. Terapi

15
komplementer bertujuan untuk mengurangi stres, meningkatkan kesehatan,
mencegah penyakit,menghindari efek samping, gejala-gejala dan
mengontrol serta menyembuhkan penyakit. Adapun upaya pencegahan
dan penanganan penyakit kegawat daruratan dalam keperawatan
komplementer beserta contohnya adalah sebagai berikut [ CITATION Rez19 \l
1033 ] :
1. Upaya Promotif
Secara umum, upaya promotif dilakukan untuk meningkatkan
Kesehatan individu, keluarga, kelompok dan masyarakat dengan jalan
memberikan:
1) Penyuluhan kesehatan masyarakat
2) Peningkatan gizi
3) Pemeliharaan kesehatan perseorangan
4) Pemeliharaan kesehatan lingkungan
5) Olahraga secara teratur
6) Rekreasi
7) Pendidikan seks
Dalam hal ini upaya promotif yang dilakukan pada
kegawatdaruratan keperawatan komplementer khususnya pada penyakit
hipertensi adalah pemberian Health Education agar mampu menjaga
kesehatannya dengan mandiri pada klien dan keluarga yang memiliki
risiko tinggi terhadap penyakit
2. Upaya Preventif
Secara umum, upaya preventif ditujukan untuk mencegah
terjadinya penyakit dan gangguan terhadap kesehatan terhadap individu,
keluarga, kelompok dan masyarakat melalui kegiatan :
1) Imunisasi massal terhadap bayi, balita serta ibu hamil
2) Pemeriksaan kesehatan secara berkala melalui Posyandu, Puskesmas
maupun kunjungan rumah
3) Pemberian vitamin A dan yodium melalui Posyandu, Puskesmas
ataupun di rumah

16
4) Pemeriksaan dan pemeliharaan kehamilan, nifas dan meyusui.
Upaya preventif yang dilakukan pada kegawatdaruratan
keperawatan komplementer khususnya pada penyakit hipertensi adalah
melakukan pengecekan tekanan darah secara berkala di pelayanan
kesehatan baik puskesmas maupun tempat praktik perawat/bidan,
menjaga asupan makanan terutama kolesterol (Makanan
berlemak/berminyak) dan garam, olahraga teratur, dan menjaga berat
badan.
3. Upaya Kuratif
Secara umum, upaya kuratif ditujukan untuk merawat dan
mengobati anggota-anggota keluarga, kelompok dan masyarakat yang
menderita penyakit atau masalah kesehatan, melalui kegiatan:
1) Perawatan orang sakit di rumah (home nursing)
2) Perawatan orang sakit sebagai tindak lanjut perawatan dari
Puskesmas dan rumah sakit.
3) Perawatan ibu hamil dengan kondisi patologis di rumah, ibu bersalin
dan nifas.
4) Perawatan payudara
5) Perawatan tali pusat bayi baru lahir
Upaya kuratif yang dilakukan pada kegawatdaruratan
keperawatankomplementer khususnya pada penyakit hipertensi adalah
dengan pemberian asupan seledri, melon, daun salam, belimbing buluh,
ataupun timun yang dapatdimakan langsung atau diolah menjadi jus.
Kemudian penyakit hipertensi jugadapat ditangani dengan bekam dan
akupresure.
4. Upaya Rehabilitatif
Upaya rehabilitatif merupakan upaya pemulihan kesehatan
bagipenderita-penderita yang dirawat di rumah, maupun terhadap
kelompok-kelompok tertentu yang menderita penyakit yang sama,
misalnya Kusta, TBC,cacat fisik dan lainnya, dilakukan melalui kegiatan:

17
1) Latihan fisik, baik yang mengalami gangguan fisik
sepertipenderita Kusta, patah tulang mapun kelainan bawaan
2) Latihan-latihan fisik tertentu bagi penderita-penderita
penyakittertentu, misalnya TBC, latihan nafas dan batuk, penderita
stroke: fisioterapi manual yang mungkin dilakukan oleh perawat.
3) Upaya rehabilitatif yang dilakukan pada kegawatdaruratan
keperawatan komplementer khususnya pada penyakit stroke adalah
dengan dilakukannya massage atau pemijatan, latihan ROM aktif
maupun pasif pada fase pemulihan stroke untuk melemaskan oto-
otot yang kaku.
5. Upaya Resosiliatif
Upaya resosialitatif adala upaya mengembalikan individu, keluarga
dankelompok khusus ke dalam pergaulan masyarakat, diantaranya
adalah kelompok-kelompok yang diasingkan oleh masyarakat karena
menderita suatupenyakit, misalnya penyakit kusta, AIDS, atau
kelompok-kelompok masyarakat khusus seperti Wanita Tuna Susila
(WTS), tuna wisma dan lain-lain. Disamping itu, upaya resosialisasi
meyakinkan masyarakat untuk dapatmenerima kembali kelompok yang
mempunyai masalah kesehatan tersebut dan menjelaskan secara benar
masalah kesehatan yang mereka derita. Hal initentunya
membutuhkan penjelasan dengan pengertian atau batasan-
batasanyang jelas dan dapat dimengerti.
Menurut Purwanto (2013) tujuan terapi komplementer secara
umum adalah :
1) Memperbaiki fungsi dan sistem kerja organ-organ tubuh secara
menyeluruh
2) Meningkatkan sistem kekebalan tubuh terhadap penyakit
3) Menstimulasi dan mengaktifkan mekanisme penyembuhan alam
tubuh
Terapi komplementer bertujuan untuk memperbaiki fungsi dari
sistem-sistem tubuh, terutama sistem kekebalan dan pertahanan tubuh

18
agar tubuh dapat menyembuhkan dirinya sendiri yang sedang sakit,
karena tubuh kita sebenarnya mempunyai kemampuan untuk
menyembuhkan dirinya sendiri, asalkan kita mau mendengarkannya dan
memberikan respon dengan asupan nutrisi yang baik dan lengkap serta
perawatan yang tepat.
G. Teknik-Teknik Komplementer pada Gawat Darurat Bencana
Terapi komplementer dan alternatif sebagai upaya pengembangan terapi
tradisional dan ada yang diintegrasikan dengan terapi modern yang dapat
mempengaruhi keseimbangan diri individu dari aspek biologis, psikologis,
dan spiritual (Widyatuti W, 2008). Terapi komplementer dan alternative ini
mengaplikasikan dari berbagai teori keperawatan seperti teori transcultural
nursing dan teori caring.
The National Center for Complementary and Alternative Medicine
(NCCAM) dalam Stuart G.W., Keliat B.A, Pasaribu J., (2016) di AS telah
mengembangkan system klasifikasi empat domain utama terapi
komplementer dan alternative seperti berikut:
a. Sistem Medikal Keseluruhan, contoh terapi Ayurveda, naturopati,
pengobatan tradisional cina, homeopati

b. Tindakan pikiran-tubuh, contoh meditasi, hipnotis, doa, yoga, petunjuk


gambar, biofeedback, seni, music dan terapi dansa.

c. Terapi biologis, contoh terapi herbal, diet khusus, orthomolecular dan


terapi biologis individu

d. Metode manipulative tubuh, contoh chiropractic, pijat dan kerja tubuh,


refleksologi

e. Terapi Energi, contoh Qigong, Reiki, terapi sentuhan, elektromagnet

Aplikasi terapi modalitas dan komplementer yaitu penerapan terapi


Relaksasi Otot Progresif (PMR). Terapi Relaksasi Otot Progresif merupakan
terapi yang menggabungkan tindakan pikiran dan tubuh dimana terapi itu
dilakukan dengan proses mengencangkan dan merelaksasikan sekelompok

19
otot untuk mendapatkan kontrol atas masalah yang diatasinya yang dapat
merangsang pikiran dan ketegangan otot. Terapi ini juga menerapkan tehnik
imajinasi terpimpin, latihan napas berulang, latihan autogenenik dan
biofeedback Ray A.C.M, Saldanha D. Bandopadhyay AK., (2014).
Terapi SEFT (Spiritual Emotional Freedom Tecnique). Terapi SEFT ini
adalah terapi pengabungan antara pikiran-tubuh dan manipulative tubuh serta
terapi energi. Berbagai penelitian telah dikembangkan di dalam negeri oleh
perawat dan terapi SEFT ini terbukti dapat diaplikasikan dalam praktek
keperawatan. Hal ini dapat dibuktikan dari hasil penelitian yang telah
dilakukan oleh Astuti RT, Amin M.K, Purbo N., (2017).
Terapi komplementer ada yang invasif dan noninvasif. Contoh terapi
komplementer invasif adalah akupuntur dan cupping (bekam basah) yang
menggunakan jarum dalam pengobatannya. Sedangkan jenis non-invasif
seperti terapi energi (reiki, chikung, tai chi, prana, terapi suara), terapi
biologis (herbal, terapi nutrisi, food combining, terapi jus, terapi urin,
hidroterapi colon dan terapi sentuhan modalitas; akupresur, pijat bayi,
refleksi, reiki, rolfing, dan terapi lainnya (Hitchcock et al., 1999).
National Center for Complementary/ Alternative Medicine (NCCAM)
membuat klasifikasi dari berbagai terapi dan sistem pelayanan dalam lima
kategori:
1. Kategori pertama, mind-body therapy yaitu memberikan intervensi
dengan berbagai teknik untuk memfasilitasi kapasitas berpikir yang
mempengaruhi gejala fisik dan fungsi tubuh misalnya perumpamaan
(imagery), yoga, terapi musik, berdoa, journaling, biofeedback,
humor, tai chi, dan terapi seni.
2. Kategori kedua, Alternatif sistem pelayanan yaitu sistem pelayanan
kesehatan yang mengembangkan pendekatan pelayanan biomedis
berbeda dari Barat misalnya pengobatan tradisional Cina, Ayurvedia,
pengobatan asli Amerika, cundarismo, homeopathy, naturopathy.

20
3. Kategori ketiga dari klasifikasi NCCAM adalah terapi biologis, yaitu
natural dan praktik biologis dan hasil-hasilnya misalnya herbal,
makanan).
4. Kategori keempat adalah terapi manipulatif dan sistem tubuh. Terapi
ini didasari oleh manipulasi dan pergerakan tubuh misalnya
pengobatan kiropraksi, macam-macam pijat, rolfing, terapi cahaya
dan warna, serta hidroterapi.
5. Kategori kelima adalah terapi energi yaitu terapi yang fokusnya
berasal dari energi dalam tubuh (biofields) atau mendatangkan energi
dari luar tubuh misalnya terapetik sentuhan, pengobatan sentuhan,
reiki, external qi gong, magnet. (Snyder & Lindquis, 2002).
H. Evidance Based Practice
EBP: Pengaruh Terapi Akupunktur Terhadap Intensitas Nyeri Pada Klien
Dengan Nyeri Kepala Primer
P : Pasien dengan kondisi gawat darurat bencana

I : Terapi akupuntur terhadap inttensitas nyeri pada klien denga nyeri kepala
primer

C : Akupuntur merupakan Teknik yang sederhana, hanya mengguunakan


jarum khusus serta dapat menunjukkan efek positif dalam waktu yang relative
singkat. Jarum yang ditusukkan akan merangssang hipotalamus pituitary
untuk melepaskan beta-endorfin yang berefek dalam mengurangi nyeri

O : Terdapat pengaruh terapi akupunturterhadap penurunan intensitas nyeri


pada klien nyeri kepala gawat darurat bencana

T : Masa perawatan sedang terjadi bencana atau pasca bencana.

Hasil penelitian dalam jurnal :

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa terdapat penurunan


intensitas nyeri setelah diberikan terapi akupunktur. Intensitas nyeri responden
sebelum diberikan terapi akupunktur didapatkan rerata skala nyeri sebesar
5,29 berdasarkan kategori nyeri maka sebagian besar responden sebelum

21
diberikan terapi akupunktur mengalami nyeri sedang (4-6). Setelah diberikan
terapi akupunktur didapatkan rerata skala nyeri sebesar 3,40 berdasarkan
kategori nyeri maka sebagain besar responden setelah diberikan terapi
akupunktur mengalami nyeri ringan (1-3) [ CITATION Put16 \l 1033 ]

Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa terapi akupunktur


efektif dalam menurunkan nyeri. Nyeri kepala primer merupakan suatu nyeri
kepala yang belum jelas terdapat kelainan anatomi, kelainan struktur atau
sejenisnya. Faktor pencetus yang dapat menimbulkan nyeri kepala primer
seperti stres, latihan fisik, diet, alkohol, dan hormone. Nyeri kepala primer
dapat ditangani dengan menggunakan terapi akupunktur. Terapi akupunktur
merupakan terapi penusukan jarum di daerah kepala yang mengalami nyeri
dan titik-titik di daerah tubuh yang mempengaruhi nyeri kepala primer.

Rangsangan dari penusukan jarum akupunktur akan diteruskan ke Peri


Aqueductal Grey matter di otak tengah, kemudian melalui jalur nucleus raphe
magnus yang bersifat serotoninergik merangsang stalked cell mengeluarkan
enkafalin yang akan menghambat substansia gelatinosa untuk menyalurkan
hantaran nyeri. Nucleus paragigantocellularis di medula oblongata yang
bersifat noradrenergic melalui locus cereleus menghambat nyeri. Penjaruman
juga akan mengaktifkan nucleus arcuatus di hipotalamus sehingga melepaskan
betaendorfin yang akan menghambat impuls nyeri melalui jalur periaqueductal
grey, selain itu beta-endorfin juga masuk sirkulasi darah dan cairan
serebrospinal sehingga menyebabkan analgesia fisiologik. Sel marginal akan
memberi cabang ke subnucleus reticularis dorsalis di medula oblongata, yang
akan menghambat impuls nyeri (Kartika, 2011).

Terapi akupunktur akan menstimulasi serabut-A akan mengakibatkan


modulasi sensori pada bagian ujung dorsal di tingkat segmental yang saling
terkait melalui pelepasan met-enkefalin. Pemberian stimulus nyeri seperti
jarum terhadap kontrol inhibitor nyeri yang difus akan mengakibatkan efek
analgetik yang sifatnya heterosegmental. Jalur spinotalamus dan spinoretikular
juga distimulasi pada bagian ujung dorsal melalui otak bagian tengah,

22
bersinap di dalam periquaduktal abu-abu, selanjutnya menstimulasi serabut
inhibitor desenden yang mempengaruhi proses aferen. Efek analgetik
heterosgmental (pada masingmasing tingkatan di seluruh tubuh) dapat dicapai.
Noradrenalin dan serotonin merupakan neurotransmitter kunci yang
bertanggung jawab terhadap modulasi nyeri. Adanya pelepasan zat enkefalin,
dinorfin dan beta-endorfin, yang memberikan stimulus reseptor opioid.
Regulasi produksi opioid endogen terhadap pengalaman sensasi perasaan
nyaman dapat menciptakan suatu mekanisme untuk menghasilkan efek yang
terus-menerus atau secara permanen (Jevuska, 2012).

23
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Keperawatan komplementer adalah cabang ilmu keperawaratan
yang menerapkan pengobatan non konvensional yang ditujukan untuk
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat meliputi upaya promotif,
preventif, kuratif dan rehabilitatif yang berfungsi sebagai terapi suportif
untuk mengontrol gejala, meningkatkan kualitas hidup, dan berkontribusi
terhadap penatalaksanaan pasien secara keseluruhan, diperoleh melalui
Pendidikan terstruktur dengan kualitas, keamanan dan efektifitas yang
tinggi berlandaskan ilmu pengetahuan biomedik tapi belum diterima
dalam kedokteran konvensional [ CITATION Rez19 \l 1033 ].
B. Saran

Setelah membaca makalah ini diharapkan mahasiswa pada


khususnya dan pembaca pada umumnya mengetahui tentang teknik
komplementer pada pasien gawat daruart bencana. Kritik dan saran yang
membangun sangat kelompok harapkan demi tercapainya kesempurnaan
makalah selanjutnya.

24
DAFTAR PUSTAKA

Rakhmawati, R., Putra, K. R., Perdana, F. B., & Hardiyanto. (2015). METODE
KEPERAWATAN KOMPLEMENTER HIPNOTERAPI UNTUK
MENURUNKAN EFEK STRESS PASCA TRAUMA TINGKAT
SEDANG PADA FASE REHABILITASI SISTEM
PENANGGULANGAN KEGAWATDARURATAN. JURNAL
KEPERAWATAN, 178-184.

Rezpector, D. (2019). Pencegahan Dan Penanganan Kegawatdaruratan Dengan


Terapi Komplementer.

Rusmiyati, C. (2012). Penanganan Dampak Sosial sikologis Korban Bencana


Merapi. 97-10; Vol. 17; No. 02.

Yoga, P. P., Yanti, N. L., & Suardana, I. W. (2016). Pengaruh Terapi Akupuntur
Teradap Intensitas Nyeri Pada Klien Dengan Nyeri Kepala Primer. Jurnal
Keperawatan COPING NERS, 54-59.

25

Anda mungkin juga menyukai