Anda di halaman 1dari 85

HUBUNGAN TINDAKAN PERAWAT TENTANG

TERAPI CAIRAN INTRAVENA DENGAN KEJADIAN


PLEBITIS DI RUANG RAWAT INAP DEWASA
RSUD CIBABAT KOTA CIMAHI

SKRIPSI

OLEH

ADE SUMINTRA

NPM. 213215022

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN (S.1)

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

JENDRAL ACHMAD YANI CIMAHI

2017

1
HUBUNGAN TINDAKAN PERAWAT TENTANG
TERAPI CAIRAN INTRAVENA DENGAN KEJADIAN
PLEBITIS DI RUANG RAWAT INAP DEWASA
RSUD CIBABAT KOTA CIMAHI

SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu Syarat untuk mencapai gelar sarjana Keperawatan (S-1)

OLEH

ADE SUMINTRA

NPM.213215022

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN (S.1)

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

JENDRAL ACHMAD YANI CIMAHI

2017
PENGESAHAN

Skripsi ini telah dipertahankan dan di perbaiki sesuai dengan masukan


Dewan Penguji Skripsi Program Studi Ilmu Keperawatan
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Jendral Achmad Yani Cimahi
Pada tanggal 18 Juli 2017
“Hubungan Tindakan Perawat tentang Terapi Cairan Intravena

dengan Kejadian Plebitis di Ruang Rawat Inap Dewasa RSUD Cibaba

Nama Mahasiswa : Ade Sumintra

NPM : 213215022

Mengesahkan
Program Studi Ilmu Keperawatan
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Jenderal Achmad Yani Cimahi

Pembimbing I Pembimbing II

Galih Jatnika,S.Kep.,Ners.,Mkes AIFO Rini Mulyati S.Kep.,Ners.,M.Kep

Penguji I Penguji II

M. Budi Santoso, S.Kep.,Ners,M.Kep Suharjiman, S.Kp.,M.Kep

Mengetahui

Program Studi Ilmu Keperawatan


Ketua,

Ahmad Setya, S.Kp,.MPH

ii
PERNYATAAN

Saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “HUBUNGAN TINDAKAN


PERAWAT TENTANG TERAPI CAIRAN INTRAVENA DENGAN KEJADIAN
PLEBITIS DI RUANG RAWAT INAP RSUD CIBABAT” ini sepenuhnya karya
sendiri. Tidak ada bagian di dalamnya yang merupakan plagiat dari karya orang
lain dan saya tidak melakukan penjiplakan atau pengutipan dengan cara – cara
yang tidak sesuai dengan etika keilmuan yang berlaku dalam masyarakat
kelimuan.

Atas pernyataan ini saya siap menanggung resiko/ sanksi yang dijatuhkan
kepada saya apabila dikemudian hari ditemukan adanya pelanggaran terhadap
etika keilmuan dalam karya saya ini atau klaim dari pihak lain terhadap keaslian
karya saya.

Cimahi, Juli 2017

Yang membuat pernyataan

Ade Sumintra

iii
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN (S1)
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN JENDRAL ACHMAD YANI 2017

ADE SUMINTRA
HUBUNGAN TINDAKAN PERAWAT TENTANG TERAPI CAIRAN INTRAVENA
DENGAN KEJADIAN PLEBITIS DI RUANG RAWAT INAP RSUD CIBABAT
CIMAHI
xiii + 71 halaman + 6 tabel + 3 gambar + 9 lampiran

ABSTRAK

Pelayanan keperawatan di rumah sakit merupakan bagian dari pelayanan


kesehatan secara keseluruhan, bahkan sebagian salah satu faktor penentu bagi
mutu pelayanan dan citra rumah sakit di mata masyarakat. Salah satu pelayanan
dalam bidang keperawatan adalah pemberian terapi cairan intravena, selain
memberikan manfaat terapi ini juga memiliki efek samping yaitu plebitis. Angka
kejadian plebitis merupakan salah satu indikator mutu asuhan keperawatan.
Kejadian plebitis pada pasien rawat inap di RSUD Cibabat dalam enam bulan
terakhir mencapai 5,29% darti 2379 kejadian plebitis. Salah satu permasalahan
utama yaitu terus meningkatnya kejadian plebitis yang dirawat inap, padahal
upaya penangangan infeksi nosokomial terus di galakan oleh pihak rumah sakit.
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan tindakan perawat dengan
kejadian plebitis di Ruang rawat Inap RSUD Cibabat.
Jenis penelitian ini menggunakan deskriptif korelatif dengan metode
pendekatan cross sectional. Analisis data yang digunakan adalah univariat untuk
melihat distribusi frekuensi dan bivariat untuk melihat hubungan (chi-square).
Jumlah sampel adalah 48 responden. Teknik pengambilan sampel secara non-
probability sampling dengan teknik purposive sampling.
Hasil penelitian di dapatkan Tindakan perawat (p value 0,001) memiliki hubungan
bermakna dengan kejadian plebitis.
Penelitian ini menyarankan kepada petugas kesehatan untuk diadakan kembali
review tentang terapi cairan, baik dalam bentuk pelatihan maupun seminar, serta
memonitoring pelaksanaan standar operasional prosedur secara berkala.

Kata kunci : Plebitis , Terapi Cairan intravena


Kepustakaan : 33, 2005 - 2017

iv
STUDY OF NURSING SCIENCE PROGRAM (S1)
HEALTH SCIENCE COLLEGE OF JENDERAL ACHMAD YANI CIMAHI 2017

ADE SUMINTRA
RELATION NURSING ACTION ABOUT THERAPY INTRAVENA THERAPY
WITH PLEBITIS INCIDENT IN INPATIENT ROOM RSUD CIBABAT CIMAHI
xiii + 71 page + 6 tables + 3 pictures + 9 attachments

ABSTRACT

Nursing services in hospitals are part of the overall health service, even in part
one of the decisive factors for service quality and hospital image in the eyes of
the public. One service in the field of nursing is the provision of intravenous fluid
therapy, in addition to providing benefits of this therapy also has side effects of
plebitis. The occurrence of plebitis is one indicator of nursing care quality. The
incidence of plebitis in hospitalized patients at RSUD Cibabat in the last six
months reached 5.29% from 2379 cases of plebitis. One of the main problems is
the increasing incidence of hospitalized plebitis, whereas efforts to handle
nosocomial infections continue to be encouraged by the hospital.The purpose of
this study to determine the relation Action nurse with plebitis occurrence in the
Inpatient Room RSUD Cibabat.
This type of research uses descriptive correlative with cross sectional approach
method. The data analysis used is univariate to see the frequency distribution
and bivariate to see the relationship (chi-square). The number of samples was 48
respondents. Sampling technique with non-probability sampling with purposive
sampling technique.
The result of research, nurse action (p value 0,001) has significant relation with
plebitis Incedent.
This research suggests nurses to re-review the fluid overview, both in the form of
training and seminars, and monitor the implementation of standard operating
procedures periodically.

Keywords: Plebitis, inravenous fluid therapy


Literature: 33, 2005 - 2017

v
KATA PENGANTAR

Puji serta syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat dan rahmat-

Nya, peneliti dapat menyelesaikan Skripsi yang berjudul “Hubungan Tindakan

Perawat tentang Terapi Cairan Intravena dengan Kejadian Plebitis di Ruang

Rawat Inap RSUD Cibabat”. Skripsi ini disusun guna memenuhi salah satu

syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Keperawatan pada Program Studi Ilmu

Keperawatan di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Jenderal Achmad Yani Cimahi

Tahun 2017.

Keberhasilan dalam penyusunan skripsi ini tak lepas dari dukungan dan bantuan

serta dorongan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, peneliti menyampaikan

ucapan terima kasih kepada :

1. Gunawan Irianto, dr,M.Kes(MARS), selaku Ketua Sekolah Tinggi Ilmu

Kesehatan Jenderal Achmad Yani Cimahi

2. Trias Nugrahadi, dr,Sp.KN, selaku direktur RSUD Cibabat yang telah

memberikan ijin untuk melaksanakan Penelitian.

3. Ahmad Setya, S.Kp,.MPH, sebagai Ketua Program Studi S1 Keperawatan

4. Galih Jatnika, S.Kep.,Ners.,M.Kes AIFO sebagai pembimbing I dalam

penyusunan skripsi ini yang telah banyak memberi pengarahan, bimbingan

dan dukungan kepada peneliti.

5. Rini Mulyati, S.Kep.,Ners.,M.Kep sebagai pembimbing II dalam

penyusunan skripsi ini yang telah banyak memberi pengarahan, bimbingan

dan dukungan kepada peneliti.

vi
6. Kedua orang tua, yang selalu memberikan motivasi dan dorongan baik

moril maupun materil sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini

dengan baik dan lancar.

7. Seluruh rekan mahasiswa S1 Keperawatan Non Reguler

8. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini yang

tidak bisa peneliti sebutkan satu persatu.

Peneliti menyadari dalam penyusunan skripsi ini masih jauh dari kata sempurna.

Oleh karena itu, peneliti mengharapkan segala kritik dan saran yang bersifat

membangun demi perbaikan di masa yang akan datang.

Akhir kata, peneliti berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi peneliti

dan pembaca serta bagi perkembangan ilmu keperawatan.

Cimahi, Juli 2017

Peneliti

vii
DAFTAR ISI

PENGESAHAN ........................................................................................................ ii

ABSTRAK ............................................................................................................... iv

ABSTRACT .............................................................................................................. v

KATA PENGANTAR ............................................................................................... vi

DAFTAR ISI .......................................................................................................... viii

DAFTAR TABEL ..................................................................................................... xi

DAFTAR GAMBAR ................................................................................................ xii

DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................ xiii

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................... 1

A. Latar Belakang ............................................................................................... 1


B. Rumusan Masalah ......................................................................................... 8
C. Tujuan Penelitian ........................................................................................... 8
1. Tujuan Umum ................................................................................................ 8
2. Tujuan Khusus. .............................................................................................. 8
D. Manfaat Penelitian ......................................................................................... 9
1. Manfaat Teoritis ............................................................................................. 9
2. Manfaat Praktis .............................................................................................. 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................ 11

A. Konsep Dasar Terapi Intra Vena .................................................................. 11


1. Definisi terapi intravena/ infus ...................................................................... 11
2. Tujuan Pemberian Terapi Intravena (Infus) .................................................. 12
3. Anatomi Fisiologi dan Pengkajian Akses Vaskular ....................................... 12
4. Indikasi dan Kontra indikasi Pemberian Terapi Intravena ............................. 14
5. Jenis Cairan dan Efeknya terhadap Tubuh................................................... 15
6. Komplikasi Terapi Intravena (Infus) .............................................................. 17
7. Teknik Pemasangan Infus ........................................................................... 20
8. Tindakan Perawatan Pada Pasien yang Dilakukan Pemasangan Infus ........ 22
B. Konsep Plebitis ........................................................................................... 23

viii
1. Definisi Plebitis ............................................................................................. 23
2. Penyebab Plebitis ........................................................................................ 24
3. Derajat Plebitis ............................................................................................ 25
4. Faktor yang mempengaruhi terjadinya plebitis ............................................. 28
C. Konsep Perilaku .......................................................................................... 30
1. Pengertian Perilaku ...................................................................................... 30
2. Domain Perilaku ........................................................................................... 30
a. Tindakan atau Praktik .................................................................................. 31
b. Standar Operasional Prosedur (SOP) .......................................................... 33
D. Kerangka teori ............................................................................................. 35
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ..................................................................... 36

A. Metodologi Penelitian ................................................................................... 36


1. Paradigma Penelitian ................................................................................... 36
2. Rancangan Penelitian .................................................................................. 38
3. Hipotesis Penelitian ...................................................................................... 38
4. Variabel Penelitian ....................................................................................... 38
5. Definisi Operasional ..................................................................................... 39
B. Populasi dan Sampel Penelitian .................................................................. 40
1. Populasi ....................................................................................................... 40
2. Sampel......................................................................................................... 40
C. Pengumpulan Data ...................................................................................... 42
1. Teknik Pengumpulan Data ........................................................................... 42
2. Instrumen Penelitian .................................................................................... 44
3. Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian ........................................ 44
a. Uji Validitas .................................................................................................. 44
b. Uji Reliabilitas .............................................................................................. 45
D. Prosedur Penelitian ..................................................................................... 45
E. Pengolahan dan Analisis Data..................................................................... 47
1. Pengolahan Data ......................................................................................... 47
2. Analisis Data ................................................................................................ 48
F. Etika Penelitian ........................................................................................... 51
G.Lokasi dan Waktu Penelitian ........................................................................ 53

ix
BAB VI HASIL PENELITIAN .................................................................................. 54

A. Hasil penelitian ............................................................................................. 54


1. Analisis Univariat......................................................................................... 54
2. Analisis Bivariat ........................................................................................... 56
B. Pembahasan ................................................................................................ 57
BAB V SIMPULAN DAN SARAN ........................................................................... 67

A. Simpulan ...................................................................................................... 67
B. Saran ........................................................................................................... 67
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 69

LAMPIRAN

x
DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 2.1 Skala Plebitis .............................................................................. 26

Tabel 2.2 Visual Infusion Phlebitis (VIP) Score Oleh Andrew


Jackson....................................................................................... 26

Tabel 3.1 Definisi Operasional Hubungan tindakan perawat tentang terapi


cairan intravena dengan kejadian
plebitis.......................................................................................... 39

Tabel 4.1 Distribusi frekuensi gambar tindakan perawat tentang terapi


cairan intravena di ruang rawat inap RSUD Cibabat................... 54

Tabel 4.2 Distribusi frekuensi gambaran kejadian Plebitis di ruang rawat


inap RSUD Cibabat..................................................................... 55

Tabel 4.3 Hubungan Tindakan perawat tentang terapi cairan intravena


dengan kejadian plebitis di ruang rawat inap RSUD
Cibabat......................................................................................... 56

xi
DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 2.1 Skore Visual Plebitis.................................................................... 27

Gambar 2.2 Kerangka Teori............................................................................ 35

Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian....................................................... 37

xii
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Lembar Persetujuan (Informed Consent)

Lampiran 2 Standar Operasional Prosedur Pemasangan Infus

Lampiran 3 Visual Infusion Phlebitis

Lampiran 4 Hasil Uji Statistik Univarat dan Bivariat

Lampiran 5 Surat Permohonan Izin Penelitian

Lampiran 6 Surat Keterangan Ethical Clearence

Lampiran 7 Surat Rekomendasi dari Pusat Studi Statistik (LPPM)

Lampran 8 Lembar Monitoring konsultasi Bimbingan

Lampiran 9 Surat Balasan Penelitian dari RSUD Cibabat

xiii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang

menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna

yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat

dan bagian yang integral dari keseluruhan sistem pelayanan kesehatan

(UU No.44 tentang Rumah Sakit, 2009). Pelayanan kesehatan di

pengaruhi oleh beberapa faktor yang mendukung dan saling

berkesinambungan. Salah satunya faktornya adalah pelayanan

keperawatan yang di berikan oleh perawat.

Pelayanan Keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan

profesional yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan

yang didasarkan pada ilmu dan kiat Keperawatan ditujukan kepada

individu, keluarga, kelompok, atau masyarakat, baik sehat maupun sakit.

(UU No. 38 tentang keperawatan, 2014)

Pelayanan keperawatan di rumah sakit merupakan bagian dari

pelayanan kesehatan secara keseluruhan, bahkan sebagian salah satu

faktor penentu bagi mutu pelayanan dan citra rumah sakit di mata

masyarakat. Melihat keadaan yang ada ternyata kegiatan pelayanan

keperawatan di rumah rakit sesungguhnya terpusat pada ruang rawat

inap, dimana perawatan pasien dilakukan selama 24 jam secara terus

menerus dengan penerapan suatu konsep pelayanan profesional yaitu

proses asuhan keperawatan oleh pelaksana keperawatan.

1
2

Salah satu pelayanan kesehatan dalam bidang asuhan

keperawatan adalah pemberian terapi pengobatan di rumah sakit

biasanya berupa terapi parenteral ataupun terapi peroral, dimana

pemberian terapi intravena salah satunya diberikan obat lewat

pemasangan infus. Untuk itu pemberian terapi intravena saat ini

merupakan yang paling banyak digunakan untuk mengatasi berbagai

kondisi pasien.

Terapi intravena atau infus adalah terapi yang bertujuan untuk

mensuplai cairan melalui vena ketika pasien tidak mampu mendapatkan

makanan, cairan, elektrolit lewat mulut, untuk menyediakan kebutuhan

garam untuk menjaga keseimbangan cairan, untuk menyediakan

kebutuhan gula (glukosa/dekstrosa) sebagai bahan bakar untuk

metabolisme, dan untuk menyediakan beberapa jenis vitamin yang

mudah larut melalui intravena serta menyediakan medium untuk

pemberian obat secara intravena (Smeltzer, 2007).

Terapi infus memberikan banyak manfaat bagi sebagian besar

pasien. Namun akibat prosedur pemasangan yang kurang tepat, posisi

yang salah, serta kegagalan dalam menembus vena menimbulkan

ketidaknyamanan pada pasien. Selain menimbulkan ketidaknyamanan,

pemberian terapi infus juga dapat memberikan komplikasi baik komplikasi

lokal maupun sistemik. Komplikasi lokal terdiri dari plebitis, infiltrasi,

ektravasasi. Semetara komplikasi sistemik antara lain emboli udara,

kelebihan cairan, reaksi alergi dan sepsis (Gabriel dan Hnaskin. 2007).

Plebitis adalah reaksi inflamasi yang terjadi pada pembuluh darah

vena yang ditandai dengan nyeri, kemerahan, bengkak, panas, indurasi


3

(pengerasan) pada daerah tusukan, dan pengerasan sepanjang

pembuluh darah vena (Alexander, et al., 2010). Plebitis dapat di ukur

dengan skala plebitis atau dengan visual infusoin plebitis score yang di

kembangkan oleh Andrew Jackson. Skala plebitis yang direkomendasikan

oleh Infusion Nursing Standard of Practice (2006) terdiri dari lima dengan

skala 0 sampai dengan 4, dimana skala 0 menunjukkan tidak terjadi

plebitis sedangkan skala 4 menunjukkan derajat plebitis yang paling

berat.

Plebitis dapat menyebabkan trombus yang selanjutnya menjadi

trombophlebitis, trombophlebitis adalah peradangan dinding vena dan

biasanya disertai pembentukan bekuan darah. Perjalanan penyakit ini

bersifat jinak namun jika trombus terlepas kemudian diangkut dalam

aliran darah dan masuk ke jantung maka dapat menimbulkan gumpalan

darah seperti katup bola yang bisa menyumbat atrioventikular jantung

secara mendadak dapat menimbulkan kematian. Hal ini menjadikan

plebitis sebagai salah satu permasalahan yang penting untuk dibahas di

samping plebitis juga sering ditemukan dalam proses keperawatan

(Brunner dan Suddart, 2008).

Angka kejadian plebitis merupakan salah satu indikator mutu

asuhan keperawatan yang diperoleh dari perbandingan jumlah kejadian

plebitis dengan jumlah pasien yang mendapat terapi infus (Direktorat

Pelayanan Keperawatan & Medik Depkes RI & PERDALIN, 2007).

Infusion Nursing Standards of Practice (INS) (2006) merekomendasikan

bahwa level plebitis yang harus dilaporkan adalah level 2 atau lebih.

Angka kejadian yang direkomendasikan oleh Infusion Nurses Society


4

(INS) adalah 5% atau kurang. Angka kejadian plebitis lebih dari 5%, maka

data harus dianalisis kembali terhadap derajat plebitis dan kemungkinan

penyebabnya untuk menyusun pengembangan rencana peningkatan

kinerja perawat (Alexander, et al., 2010).

Angka kejadian plebitis di Indonesia sendiri belum ada angka yang

pasti, hal ini kemungkinan disebabkan karena penelitian yang berkaitan

dengan insiden kejadian plebitis dan publikasinya masih jarang.

Penelitian tentang plebitis yang dipublikasikan di Indonesia antara lain

penelitian yang dilakukan Mulyani dan Prajoko. Penelitian Prajoko (2007),

yang berjudul faktor resiko terjadinya phlebitis pada pemasangan infus

didapatkan 24 penderita diamati selama 3 hari dalam 15 hari terdapat 8

orang (33,33%) yang menderita phlebitis dengan gejala klinis (gatal,

merah, bengkak, nyeri tekan, panas > 38 derajat celcius).

Hasil penelitian Mulyani (2010), yang menyatakan rata-rata

kejadian plebitis waktu ≥ 24 jam dan ≤ 72 jam setelah pemasangan terapi

intravena. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lokasi pemasangan infus

terletak pada vena sefalika tidak terjadi phlebitis sebanyak 11 responden

(91,7%). Sedangkan lokasi pemasangan infus terletak pada vena

metacarpal dan terjadi phlebitis sebanyak 20 responden (41,7%).

Hasil penelitian Priyanto (2013) diketahui bahwa kejadian phlebitis

pada hari pertama pemasangan kateter intravena sebanyak 2 kejadian

plebitis (2,5%). Kejadian plebitis pada hari kedua pemasangan kateter

intravena sebanyak 3 kejadian plebitis (3,7%). Kejadian phlebitis pada

hari ketiga pemasangan kateter intravena sebanyak 6 kejadian phlebitis


5

(7,4%). Secara keseluruhan kejadian phlebitis yang diamati dari 81

responden terdapat 11 kejadian phlebitis (13,6%).

Karakteristik angka kejadian plebitis yang terjadi berdasarkan

penyebabnya masih variatif, penyebab yang sering terjadi pada pasien

sering dipengaruhi diantaranya adalah faktor usia, penyakit kronis (misal

diabetes mellitus, hipertensi, gagal ginjal kronik, kanker), jenis cairan

yang diberikan (osmolaritas cairan), juga teknik pemasangan yang salah

serta masih ditemukan petugas yang tidak melakukan dressing atau

perawatan luka infus yang seharusnya dilakukan setiap hari. (Agustin,

2013).

Tindakan merupakan suatu gerak kegiatan yang sengaja

dilakukan dengan tujuan tertentu berbentuk rangkaian siklus kegiatan

(Arikunto, 2006). Tindakan seorang perawat dalam memberikan terapi

cairan intravena menajdi ujung tombak dalam pecegahan terjadinya

infeksi nosokomial, khususnya plebitis pada area pemasangan terapi

cairan intravena. Perawat yang melakukan penatalaksanaan terapi

intravena seyogyanya dapat menampilkan tindakan untuk mengikuti

prosedur pemasangan infus yang benar sehingga mengurangi risiko

komplikasi dan ketidaknyamanan pada pasien akibat prosedur

pemasangan yang salah. perawat yang melakukan tindakan yang sesuai

dengan standar operasional prosedur akan meningkatkan kewaspadaan

dalam keselamatan pasien (patient safety) dan akan mengurangi

terjadinya kerugian bagi pasien selama pengobatan dan perawatan.

Salah satu tindakan patient safety dalam penatalaksanaan terapi

cairan intravena adalah melakukan tindakan pemasangan infus


6

berdasarkan Standar Operasional Prosedur (SOP) yang sudah

ditetapkan. Terjadinya komplikasi plebitis, bengkak, dan trauma akibat

pemasangan infus yang berulang-ulang, tidak melaksanakan cuci tangan

dengan benar dan pemasangan yang tidak memperhatikan teknik aseptik,

akibat tindakan pemasangan infus yang tidak mengutamakan patient

safety. Hal ini menyebabkan pasien akan dirugikan, karena rentang waktu

rawat inap pasien akan bertambah panjang.

Keterlibatan perawat dalam pemberian terapi infus memiliki

implikasi tanggung jawab dalam mencegah terjadinya komplikasi plebitis

dan ketidaknyamanan pada pasien, terutama dalam hal keterampilan

pemasangan kanula secara aseptik dan tepat, sehingga mengurangi

risiko terjadinya kegagalan pemasangan, selain itu juga harus menguasai

tentang regimen pengobatan.

RSUD Cibabat adalah rumah sakit negeri kelas B non Pendidikan

yang pada tahun 2017 telah terakreditasi paripurna dan memiliki 16

pelayanan mempunyai visi RSUD Terdepan dan Kreatif dalam Pelayanan

Kesehatan dengan misi meningkatkan sumber daya manusia secara

berkesinambungan sesuai kebutuhan pelayanan, meningkatkan

kepercayaan masyarakat terhadap pelayanan rumah sakit, meningkatkan

dan mengembangkan sarana dan prasarana sesuai kebutuhan dan

perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). RSUD Cibabat

Cimahi mampu memberikan pelayanan kedokteran spesialis dan

subspesialis meskipun masih terbatas dan juga menampung pelayanan

rujukan dari rumah sakit kabupaten. Kapasitas tempat tidur raawat inap
7

291 tempat tidur, lebih banyak dibanding setiap rumah sakit di Jawa Barat

yang tersedia rata-rata 68 tempat tidur rawat inap.

Hasil studi pendahuluan yang dilakukan penulis pada bulan Maret

2017 dipeoleh data angka kejadian plebitis di RSUD Cibabat masih di

atas standar INS, yaitu 5,29% dari 2379 pemasangan infus pada bulan

Juli hingga Desember tahun 2106. Kejadian Plebitis yang dilaporkan

tersebut adalah plebitis yang sudah tahap lanjut yang sudah mencapai

derajat II. Data jumlah kejadian plebitis diruang rawat inap dewasa RSUD

Cibabat nilai tertinggi di sumbang oleh ruangan E2 dengan presentase 26

%, senjutnya D3 23 %, C3 19,4 %, E3 19 % dan D2 16% dari 126

kejadian plebitis selama satu semester.

Sesuai dengan hasil wawancara dengan salah seorang kepala

ruangan didapatkan data bahwa laporan kejadian plebitis yang dilaporkan

adalah kejadian infus macet dan rembes dengan berbagai kondisi

misalnya disertai bengkak, panas, dan pasien sudah minta untuk segera

dilepas karena merasa tidak nyaman. Lebih lanjut dikatakan bahwa

sebenarnya rumah sakit sudah mengeluarkan aturan penggantian infus

setiap 3 hari, namun di ruangan belum dilakukan secara rutin oleh

perawat dengan alasan belum terjadi komplikasi plebitis dan aliran infus

masih baik, penggantian infus justru dilakukan jika sudah terjadi plebitis

atau aliran infus sudah macet. Berdasarkan hasil wawancara kepada 15

orang perawat tentang komplikasi plebitis, mereka mengetahui tentang

plebitis adalah pembengkakan di daerah insersi yang disertai dengan

infus yang tidak dapat mengalir, tetapi mengatakan belum mengenal

derajat plebitis secara pasti, karena yang biasa dilakukan di ruangan


8

adalah jika infus macet, maka harus segera diganti, dan hal tersebut

dilaporkan sebagai kejadian plebitis. Berdasarkan pengamatan penulis

diperoleh gambaran pelaksanaan pemasangan infus yang dilakukan

perawat di ruangan belum dilakukan secara optimal, dikarenakan

terbatasnya fasilitas yang disediakan oleh rumah sakit, lupa untuk cuci

tangan sebelum melakukan tindakan karena terburu – buru, desinfeksi

kulit tidak adekuat (kadang menyentuh kembali kulit yang sudah

didesinfeksi karena ragu dengan vena yang akan di tusuk) dan kadang

menutup tempat insersi hanya dengan plester. Melihat angka kejadian

plebitis yang masih tinggi, dan pentingnya perawat dalam mencegah

kejadian plebitis dan meningkatkan kenyamanan pasien, mendorong

penulis untuk melakukan penelitian tentang hubungan tindakan perawat

tentang terapi cairan intravena dengan kejadian plebitis di RSUD Cibabat.

B. Rumusan Masalah

“ Adakah Tindakan perawat tentang terapi cairan intravena dengan

kejadian plebitis di RSUD Cibabat ?”

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara

tindakan perawat tentang terapi cairan intravena dengan kejadian

plebitis di RSUD Cibabat.

2. Tujuan Khusus.

a) Diketahuinya Tindakan perawat tentang terapi di Rawat

Inap dewasa RSUD Cibabat.


9

b) Diketahuinya angka kejadian plebitis pada pasien Rawat

Inap dewasa RSUD Cibabat

c) Diketahuinya Hubungan Tindakan perawat tentang terapi

cairan intravena dengan kejadian plebitis di ruang rawat

inap dewasa RSUD Cibabat.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan mampu mengantisipasi dan

menurunkan angka kejadian plebitis dan hasil penelitian ini dapat

memberikan justifikasi bahwa tindakan perawat tentang

penatalaksanaan terapi infus adalah hal yang sangat penting

dalam mencegah kejadian plebitis.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Profesi Perawat

Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi

tentang jumlah kejadian plebitis sehingga perawat yang

bertugas dapat mengevaluasi tindakan pemberain terapi

intravena yang telah dilakukan.

b. Bagi RSUD Cibabat Cimahi

Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi atau

masukan kepada institusi pelayanan keperawatan tentang

kinerja perawat terutama dalam penatalaksanaan terapi

infus sehingga dapat dijadikan masukan dalam menyusun

perencanaan terutama untuk meningkatkan kinerja


10

perawat dalam penatalaksanaan terapi cairan intravena

sehingga dapat meningkatkan mutu pelayanan

keperawatan yang menjadi salah satu penilaian akreditasi

rumah sakit.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar Terapi Intra Vena

1. Definisi terapi intravena/ infus

Terapi intravena/ infus adalah pemberian sejumlah cairan ke

dalam tubuh, melalui sebuah jarum, ke dalam pembuluh vena (pembuluh

balik) untuk menggantikan kehilangan cairan atau zat -zat makanan dari

tubuh (Darmadi, 2010).

Terapi intravena (IV) digunakan untuk memberikan cairan ketika

pasien tidak dapat menelan, tidak sadar, dehidrasi atau syok, untuk

memberikan garam yang diperlukan untuk mempertahankan

keseimbangan elektrolit, atau glukosa yang diperlukan untuk metabolisme

dan memberikan medikasi (Perry & Potter, 2006)

Pemasangan infus merupakan memasukan cairan atau obat

langsung ke dalam pembuluh darah vena dalam jumlah dan waktu

tertentu dengan menggunakan infus set. Metode yang efisien dan efektif

memberikan cairan secara langsung ke kompartemen cairan intravaskular

dan menggantikan kehilangan elektrolit (Kozier et all, 2010)

Pemasangan infus merupakan memberikan cairan melalui

intravena kepada pasien yang membutuhkan cairan elektrolit dan

pemberian obat dengan segera (Brunner & Suddart, 2007)

11
12

Berdasarkan beberapa sumber diatas, dapat disimpulkan bahawa

terapi intravena/infus adalah terapi yang digunakan untuk memasukan

cairan, obat dan nutrisi kedalam pembuluh darah vena dalam jumlah dan

waktu tertentu untuk penggantian cairan, pemberian obat, dan pemberian

nutrisi dengan segera.

2. Tujuan Pemberian Terapi Intravena (Infus)

Tujuan pemberian terapi intravena adalah memberikan atau

menggantikan cairan tubuh yang mengandung air, elektrolit, vitamin,

protein, lemak, dan kalori, yang tidak dapat dipertahankan secara

adekuat melalui oral, memperbaiki keseimbangan asam - basa,

memperbaiki volume komponen - komponen darah, memberikan jalan

masuk untuk pemberian obat - obatan kedalam tubuh, memonitor

tekanan vena sentral (CVP), memberikan nutrisi pada saat sistem

pencernaan mengalami gangguan (Perry & Potter, 2006)

3. Anatomi Fisiologi dan Pengkajian Akses Vaskular

Mekanisme transport tubuh, disebut sistem sirkulasi, memiliki 2

bagian, yaitu sistem kardiopulmonal dan sistem sistemik. Sistem

sirkulasi, terutama vena perifer, sering digunakan untuk pemberian

terapi intravena. Fungsi vena hampir sama dengan arteri, tetapi lebih

tipis dan kurang berotot (Philips, 2005).

Seperti halnya pembuluh darah arteri, vena terdiri atas tiga

lapisan, yaitu tunika intima, tunika media, dan tunika adventitia.

Beberapa vena memiliki katup, dimana katup ini berfungsi mencegah


13

refluks darah ke bagian distal, terutatama melawan gravitasi saat vena

mengangkut darah, seperti pada ektremitas bawah (Philips, 2005).

Banyak tempat yang dapat digunakan untuk terapi IV, tetapi

kemudahan akses dan potensi bahaya berbeda di antara tempat -

tempat ini. Tempat insersi kanula intravena umumnya pada ektremitas

atas. Pada ekstremitas bawah sangat tidak dianjurkan karena

meningkatkan risiko terjadinya tromboplebitis. Kalaupun digunakan,

vena ini merupakan cara terakhir dan dapat dilakukan hanya dengan

program medik dokter (Daugherty, 2008)

Menurut Perry & Potter (2006) vena- vena tempat pemasangan

infus : Vena Metakarpal, vena sefalika, vena basilica, vena sefalika

mediana, vena basilika mediana, vena antebrakial mediana.

Lokasi tempat insersi juga sangat menentukan. Selain itu perlu

dipertimbangkan ukuran vena yang digunakan, jika untuk terapi cairan

isotonik dapat menggunakan vena yang ukuran kecil. Tetapi jika

pasien mendapat program terapi obat yang bersifat iritatif atau

mendapat terapi cairan hipertonis, maka perlu dipertimbangkan untuk

memilih vena yang ukurannya lebih besar (Philips, 2005)

Daugherty (2008) mengatakan vena sephalika merupakan vena

dengan ukuran besar. Berdasarkan ukuran dan posisinya, maka vena

ini dapat menjadi pilihan terbaik untuk pemberian tranfusi karena

ukuran venanya siap untuk mengakomodasi kateter yang berukuran

besar, dan berdasarkan posisinya yang berada di lengan bawah. Vena

basilaris sering di abaikan karena posisinya yang tidak menarik

perhatian yaitu pada perbatasan ulnaris dan lengan bawah. Kanulasi


14

yang dilakukan dapat menjadi canggung karena posisinya tersebut,

dan mobilitas serta kecenderungan memiliki banyak katup (Daugherty

2008).

4. Indikasi dan Kontra indikasi Pemberian Terapi Intravena

Indikasi pada pemberian terapi intravena : pada seseorang

dengan penyakit berat, pemberian obat melalui intravena langsung

masuk ke dalam jalur peredaran darah. Misalnya pada kasus infeksi

bakteri dalam peredaran darah (sepsis). Sehingga memberikan

keuntungan lebih dibandingkan memberikan obat oral. Namun sering

terjadi, meskipun pemberian antibiotika intravena hanya di indikasikan

pada infeksi serius, rumah sakit memberikan antibiotika jenis ini tanpa

melihat derajat infeksi. Antibiotika oral (dimakan biasa melalui mulut)

pada kebanyakan pasien dirawat di rumah sakit dengan infeksi bakteri,

sama efektifnya dengan antibiotika intravena, dan lebih

menguntungkan dari segi kemudahan administrasi rumah sakit, biaya

perawatan, dan lamanya perawatan.

Obat tersebut memiliki bioavailabilitas oral (efektivitas dalam

darah jika dimasukkan melalui mulut) yang terbatas. Atau hanya

tersedia dalam sediaan intravena (sebagai obat suntik). Misalnya

antibiotika golongan aminoglikosida yang susunan kimiawinya

“polications” dan sangat polar, sehingga tidak dapat diserap melalui

jalur gastrointestinal (di usus hingga sampai masuk ke dalam darah).

Maka harus dimasukkan ke dalam pembuluh darah langsung.

Pasien tidak dapat minum obat karena muntah, atau memang

tidak dapat menelan obat (ada sumbatan di saluran cerna atas). Pada
15

keadaan seperti ini, perlu dipertimbangkan pemberian melalui jalur lain

seperti rektal (anus), sublingual (di bawah lidah), subkutan (di bawah

kulit), dan intramuskular (disuntikkan di otot). Kesadaran menurun dan

berisiko terjadi aspirasi (tersedak obat masuk ke pernapasan),

sehingga pemberian melalui jalur lain dipertimbangkan. Kadar puncak

obat dalam darah perlu segera dicapai, sehingga diberikan melalui

injeksi bolus (suntikan langsung ke pembuluh balik/vena). Peningkatan

cepat konsentrasi obat dalam darah tercapai, misalnya pada orang

yang mengalami hipoglikemia berat dan mengancam nyawa, pada

penderita diabetes mellitus. Alasan ini juga sering digunakan untuk

pemberian antibiotika melalui infus/suntikan, namun perlu di ingat

bahwa banyak antibiotika memiliki bioavalaibilitas oral yang baik, dan

mampu mencapai kadar adekuat dalam darah untuk membunuh

bakteri. (Perry & Potter, 2006).

Kontraindikasi pada pemberian terapi intravena: Inflamasi

(bengkak, nyeri, demam) dan infeksi di lokasi pemasangan infus.

Daerah lengan bawah pada pasien gagal ginjal, karena lokasi ini akan

digunakan untuk pemasangan fistula arteri- vena (A-V shunt) pada

tindakan hemodialisis (cuci darah). Obat- obatan yang berpotensi iritan

terhadap pembuluh vena kecil yang aliran darahnya lambat (misalnya

pembuluh vena di tungkai dan kaki) (Darmadi, 2008).

5. Jenis Cairan dan Efeknya terhadap Tubuh

Sebelum melakukan penatalaksanaan terapi Intravena, hal -

hal yang harus diperhatikan dan harus menjadi pertimbangan adalah

jenis larutan yang akan diberikan tujuan terapi, lamanya terapi


16

intravena yang diharapkan, keadaan umum pasien, riwayat penyakit

sebelumnya, dan kondisi vena yang digunakan (Weinstein, 2006).

Jenis cairan berdasarkan osmolalitas (tonycity) yang mengacu

pada pengaruh konsentrasi dan tekanan osmotic terhadap partikelyang

terlarut di dalamnya. Jenis cairan dibagi menjadi dua yaitu cairan

kristaloid dan cairan koloid. Cairan kristaloid merupakan salah satu

jenis cairan yang sering digunakan dalam pemberian terapi cairan Intra

vena. Sementara cairan koloid adalah cairan yang dapat meningkatkan

tekanan osmotik intravaskuler karena bersifat menarik cairan ke dalam

ruang vaskuler. Cairan kristaloid diklasifikasikan menjadi cairan

isotonik, cairan hipotonik dan cairan hipertonik (Smetlzer & Bare, 2013)

Cairan yang diklasifikasikan isotonik mempunyai osmolalitas

total yang mendekati cairan ekstraseluler (250 – 375 mOsm/l) dan

tidak menyebabkan sel darah merah mengkerut atau membengkak.

Cairan isotonik akan meningkatkan volume cairan ekstraseluler.

Contoh cairan isotonik adalah cairan dekstrosa 5%, Natrium Clorida

(NaCl 0,9%), dan larutan Ringer Lactate (RL). Namun pemberian

dektrose 5% tidak boleh diberikan pada pasien stroke, terutama pada

fase akut, karena cairan tersebut akan berubah menjadi hipotonik

setelah masuk ke dalam tubuh. Hal ini dapat memperberat terjadinya

edema seluler, terutama pada sel otak.

Cairan hipotonik adalah cairan yang mempunyai osmolalitas

lebih rendah dibandingkan dengan cairan ekstraseluler (< 250

mOsm/l). Salah satu tujuan cairan hipotonik adalah untuk

menggantikan cairan seluler, karena larutan ini bersifat hipotonis


17

dibandingkan dengan plasma. Tujuan lainnya adalah untuk

menyediakan air bebas untuk ekskresi sampah tubuh. Natrium Clorida

berkekuatan menengah (NaCl 0,45%) sering digunakan Infus larutan

hipotonik yang berlebihan dapat menyebabkan depresi cairan

intravaskuler, penurunan tekanan darah, edema seluler, dan

kerusakan sel.

Cairan hipertonik mempunyai osmolalitas totalnya melebihi

osmolalitas CES (> 375 mOsm/l) sehingga bila cairan ini diberikan

melalui intravena akan menyebabkan meningkatnya osmolalitas

serum, menarik cairan sel dan interstitial ke dalam ruang vaskuler.

Contohnya NaCl 3%, NaCl 5%, total parenteral yang berisi dekstrosa

20% 50 %, protein, vitamin, dan mineral. Cairan ini harus diberikan

perlahan untuk mencegah terjadinya kelebihan sirkulasi cairan

(overload). Pemberian cairan hipertonik yang memiliki osmolalitas lebih

dari 600 mOsm/l perlu dipertimbangkan untuk diberikan melalui vena

yang besar, midline catheter atau melalui vena sentral. (Smetlzer &

Bare, 2013).

6. Komplikasi Terapi Intravena (Infus)

Beberapa komplikasi yang dapat terjadi dalam pemasangan

infus ( Darmadi, 2010)

a. Komplikasi lokal

Komplikasi lokal pada terapi intravena meliputi :

1) Hematoma, yakni darah mengumpul dalam jaringan tubuh

akibat pecahnya pembuluh darah arteri vena, atau kapiler,


18

terjadi akibat penekanan yang kurang tepat saat memasukkan

jarum, atau “tusukan” berulang pada pembuluh darah.

2) Infiltrasi, yakni masuknya cairan infus ke dalam jaringan sekitar

(bukan pembuluh darah), terjadi akibat ujung jarum infus

melewati pembuluh darah.

3) Plebitis, atau bengkak (inflamasi) pada pembuluh vena, terjadi

akibat infus yang dipasang tidak dipantau secara ketat dan

benar

4) Trombosis adalah pembentukan gumpalan darah dalam

pembuluh darah. Hal ini disebabkan oleh trauma yang

menyebabkan kerusakan lapisan endotel. Pembuluh darah

sehingga platelet dan fibrin serta sel darah merah dapat

menempel yang mengakibatkan terjadinya sumbatan aliran

darah.

5) Tromboplebitis merupakan proses inflamasi lanjut pada

pembuluh vena disertai dengan terbentuknya trombusdan

inflamasi lanjut. Sering disebut sebagai gejala sisa plebitis.

Edema, nyeri pada tempat tusukan dan sepanjang vena,

tempat insersi teraba hangat, dan sianosis pada ekstremitas

merupakan tanda yang biasanya muncul.

b. Komplikasi Sistemik

Komplikasi sistemik meliputi:

1) Septikemia terjadi jika kuman pathogen masuk ke dalam

sirkulasi pasien. Hal ini terjadi karena infeksi sistemik yang

terjadi akibat kurangnya tehnik aseptik atau kontaminasi alat


19

infus dan tempat kateter yang disebabkan karena alat yang tidak

diganti secara rutin. Ditandai dengan demam, tremor, sakit

kepala, dan kelemahan umum Lebih lanjut, jika tidak segera

diatasi maka pasien akan mengalami infeksi yang berat sampai

dengan terjadi kolaps vaskuler dan kematian.

2) Emboli yaitu penyumbatan yang tiba - tiba dari pembuluh darah

vena oleh bekuan darah atau benda asing lain seperti udara ke

dalam aliran darah. Ditandai dengan palpitasi, kelemahan,

dyspneu, tachipneu, cyanosis, wheezing, batuk, edema paru

distensi vena jugularis, hipotensi, perubahan status mental,

cemas, sampai dengan koma.

3) Kelebihan cairan (fluid overload) Biasanya disebabkan karena

infus yang berlebihan sehingga menyebabkan meningkatnya

tekanan darah dan tekanan vena sentral. Ditandai dengan sakit

kepala, gelisah, tachycardia, berat badan meningkat, batuk,

edema, sesak, distensi vena jugularis.

4) Edema paru dapat terjadi karena kelebihan cairan (fluid

overload) yang diakibatkan oleh terlalu cepatnya cairan infus

yang mengakibatkan peningkatan vena sentral sampai

menimbulkan edema paru.

5) Shock speed merupakan reaksi sistemik yang terjadi ketika

substansi atau benda asing masuk melalui cairan infus kedalam

sistem sirkulasi. Hal ini biasanya terjadi sebagai efek samping

pemberian obat atau bolus ke dalam intravena.


20

6) Reaksi alergi yaitu respon lokal atau respon general yang terjadi

akibat alergi terhadap obat, agen desinfektan, zat yang

terkandung dalam cairan infus serta bahan baku alat kateter

intravena yang digunakan.

7. Teknik Pemasangan Infus

Teknik pemasangan infus yang diadopsi dari Kozier et all

(2010) Perry&Potter (2010) adalah sebagai berikut :

a. Persiapan

1) Periksa order pemberian meliputi jenis, volume, dan durasi

pemberian cairan

2) Kaji riwayat keperawatan masa lalu untuk mengantisipasi

resiko terjadinya infeksi

3) Periksa peralatan yang meliputi cairan infus, infus set,

kateter intravena, cairan antiseptik, balutan semi permiabel,

sarung tangan torniquet, gunting plester, perlak, dan tiang

infus.

b. Pelaksanaan

1) Cuti tangan dengan antiseptik

2) Pilih infus set yang sesuai dan regangkan setelah infus set

dikeluarkan dari kemasan

3) Kencangkan lem infus set.

4) Tusukan ujung tabung infus set kedalam kontainer cairan

5) Gantungkan kontainer cairan

6) Lepaskan klem infus set dan isi selang infus dengan cairan
21

7) Pasang label dari kertas yang berisi tulisan tanggal, jam

dan pemasangan infus di infus set.

8) Posisikan klien dalam posisi duduk atau berbaring

9) Pilih dan tentukan lokasi yang akan dijadikan insersi kateter

10) Pasang torniquet sekitar 5 -10 cm dari vena yang akan

dipasang infus

11) Cuci tangan dengan antiseptik dan gunakan sarung tangan

12) Berikan anti mikroba seperti betadhin atau alkohol untuk

membersihkan kulit yang dimulai dari tengah menuju keluar

sekitar 5 – 10 cm

13) Biarkan antiseptik sampai kering.

14) Gunakan ibu jari untuk meregangkan dan menstabilkan

vena.

15) Posisikan kateter dengan lubang menghadap ke atas.

16) Beritahu klien bahwa anak dilakukan penusukan.

17) Masukan kateter kedalam vena, setelah keluar darah tarik

jarum keluar.

18) Lepaskan torniquet.

19) Tempatkan plester menutupi ujung kanul.

20) Lepaskan klem dan biarkan cairan infus menetes.

21) Lepaskan sarung tangan.

22) Berikan antiseptik pada lokasi insersi dan balutan

23) Fiksasi kateter dengan bentuk menyilang dibawah kanul

lalu tutup dengan balutan transparan.

24) Atur kecepatan tetesan cairan infus.


22

25) Dokumentasi tindakan pemasangan infus.

8. Tindakan Perawatan Pada Pasien yang Dilakukan Pemasangan

Infus

a. Observasi dan dokumentasi

Pemasangan terapi intravena merupakan tanggung jawab

dokter, sedangkan perawat bertanggung jawab untuk memeonitor

dan mempertahankan pemasangan infus. (Kozair et all, 2010).

Perawat melakukan observasi terhadap lokasi pemasangan infus

dan aliran cairan setiap jam, kecuali pada kondisi kritis observasi

dilakukan setiap 15 menit. Perawat harus mendokumentasikan

kondisi dan lokasi pemasangan infus, tetesan infus, data klinis

klien meliputi tanda – tanda vital, penampilan dan respon terhadap

terapi yang akan diberikan (Timby, 2009)

b. Mengganti Balutan

Mengganti balutan infus dilakukan dengan prinsip steril.

Frekuensi penggantian balutan disesuaikan dengan jenis balutan

yang digunakan. Balutan diganti berdasarkan kebijakan dari

pengendalian infeksi yaitu setiap 24 – 72 jam (Timby, 2009).

c. Mengganti set infus

Set infus diganti setiap 48 – 72 jam kecuali untuk

parenteral nutrisi diganti setiap 24 jam (Timby, 2009).

d. Mengganti lokasi pemasangan

untuk menghindari komplikasi maka lokasi diganti atau

dipindahkan berdasarkan rekomendasi dari The Central Disease


23

Control (CDC) menganjurkan bahwa infus harus dipindahkan

setiap 72 – 96 jam atau lebih bila kemungkinan terjadi komplikasi.

B. Konsep Plebitis

1. Definisi Plebitis

Menurut Infusion Nursing Society (INS, 2006) plebitis

merupakan peradangan pada tunika intima pembuluh darah vena,

yang sering dilaporkan sebagai komplikasi pemberian terapi infus.

Peradangan didapatkan dari mekanisme iritasi yang terjadi pada

endhothelium tunika intima vena, dan perlekatan tombosit pada area

tersebut.

Plebitis adalah reaksi inflamasi yang terjadi pada pembuluh

darah vena yang ditandai dengan nyeri, kemerahan, bengkak, panas,

indurasi (pengerasan) pada daerah tusukan, dan pengerasan

sepanjang pembuluh darah vena (Alexander, et al., 2010).

Plebitis adalah inflamasi lapisan vena dimana sel endotelia

dinding vena mengalami iritasi dan permukaan sel menjadi kasar,

sehingga memungkinkan platelet menempel dan kecenderungan

terjadi inflamasi penyebab plebitis (Philips, 2005).

Berdasarkan pengertian di atas dapat dijelaskan bahwa plebitis

merupakan inflamasi yang terjadi pada lapisan dalam pebuluh darah

vena sebagai akibat iritasi endotel yang disebabkan baik penyebab

mekanik maupun penyebab lainnya, dimana tanda utamanya adalah

nyeri tekan pada tempat insersi disertai kemerahan, bengkak, panas,

sampai terjadi indurasi.


24

2. Penyebab Plebitis

Menurut INS (2006) faktor yang dapat menyebabkan plebitis

adalah: kimia, mekanik, dan bacterial.

a. Chemical Phlebitis (Plebitis kimia)

Kejadian plebitis ini dihubungkan dengan bentuk respon

yang terjadi pada tunika intima vena dengan bahan kimia yang

menyebabkan reaksi peradangan. Reaksi peradangan dapat

terjadiakibat dari jenis cairan yang diberikan atau bahan material

kateter yang digunakan. pH darah normal terletak antara 7,35 –7,45

dan cenderung basa. PH cairan yang diperlukan dalam pemberian

terapi adalah 7 yang berarti adalah netral. Ada kalanya suatu

larutan diperlukan konsentrasi yang lebih asam untuk mencegah

terjadinya kristalisasi dekstrosa dalam proses sterilisasi autoclaf,

jadi larutan yang mengandung glukosa, asam amino, dan lipid yang

biasa digunakan dalam nutrisi parenteral lebih bersifat flebitogenik.

b. Mechanical Phlebitis (Plebitis Mekanik)

Plebitis mekanikal sering dihubungkan dengan pemasangan

atau penempatan katheter intravena. Penempatan katheter pada

area fleksi lebih sering menimbulkan kejadian plebitis oleh karena

pada saat ekstremitas digerakkan katheter yang terpasang ikut

bergerak dan menyebabkan trauma pada dinding vena.

Penggunaan ukuran katheter yang besar pada vena yang kecil juga

dapat mengiritasi dinding vena.sehingga mudah terjadi plebitis

(Darmawan, 2008).
25

c. Backterial Phlebitis (Plebitis Bakteri)

Plebitis bakterial adalah peradangan vena yang

berhubungan dengan adanya kolonisasi bakteri yang disebabkan

karena tehnik aseptik/perawatan infus yang tidak baik. Aseptik

dressing/perawatan infus adalah perawatan pada tempat

pemasangan infus terhadap pasien yang terpasang infus untuk

mencegah terjadinya infeksi (Darmawan, 2008). Aseptik dressing

yang pernah dilakukan berdasarkan laporan dari The Centers for

Disease Control and Prevention (CDC) tahun 2002 dalam artikel

intravaskuler catheter-related infection in adult and pediatric kuman

yang sering dijumpai pada pemasangan katheter infus adalah

stapylococus dan bakteri gram negatif, tetapi dengan epidemic HIV /

AIDS infeksi oleh karena jamur dilaporkan meningkat. Vena

katheter pada area fleksi lebih sering menimbulkan kejadian plebitis,

oleh karena jamur dilaporkan meningkat.

3. Derajat Plebitis

Plebitis diklasifikasikan sesuai dengan faktor penyababnya.

Skala plebitis yang direkomendasikan oleh Infusion Nursing Standard

of Practice (2006) terdiri dari lima dengan skala 0 sampai dengan 4,

dimana skala 0 menunjukkan tidak terjadi plebitis sedangkan skala 4

menunjukkan derajat plebitis yang paling berat. Berikut adalah tabel

yang menunjukkan skala plebitis yang direkomendasikan oleh Infusion

Nursing Standard of Practice


26

Tabel 2.1 Skala Plebitis

Skala Kriteria klinis

0 Tidak ditemukan gejala klinis

1 Eritema pada daerah insersi dengan atau tanpa nyeri

2 Nyeri pada daerah insersi disertai dengan eritema dan/atau

edema

3 Nyeri pada daerah insersi disertai dengan eritema,

pembentukan lapisan,

dan/atau pengerasan sepanjang vena.

4 Nyeri pada daerah insersi disertai dengan eritema,

pembentukan lapisan, pengerasan sepanjang vena

sepanjang > 1 inchi, dan/atau keluaran purulen

Sumber: Infusion Nurse Society: Standard of Practice, (2006)

dalam Alexander, et al. (2010)

Sedangkan skor visual untuk plebitis telah dikembangkan oleh

Andrew Jackson (1998) dan RCN (2005) dalam Daugherty (2008)

adalah sebagai berikut:

Tabel 2.2 Visual Infusion Phlebitis (VIP) Score Oleh Andrew Jackson

VISUAL INFUSION PHLEBITIS (VIP) SCORE

OBSERVASI SKOR PENANGANAN

IV line tampak sehat 0 Tidak ada tanda plebitis


* Observasi dan dokumentasikan
pada
setiap sift

Salah satu tanda - tanda 1 Kemungkinan tanda - tanda awal


berikut jelas: plebitis
* Sedikit nyeri dekat IV line * Observasi dan dokumentasikan
atau pada
* Sedikit kemerahan dekat IV setiap sift
27

line
Dua dari tanda berikut jelas: 2 Stadium dini plebitis
*Nyeri pada IV line * Pindahkan dan ganti kanula ke area
* Kemerahan penusukan yang lain
* Pembengkakan

Tiga Atau lebih dari tanda 3 Plebitis


berikut jelas: * Pindahkan dan ganti kanula ke area
* Nyeri di sepanjang kanula penusukan yang lain
* Kemerahan * Kirim pus swab ke lab.
* Pembengkakan * Rawat luka di area insersi
* Pireksia (suhu tubuh >37,8)
* Keluar cairan/pus

Semua tanda - tanda berikut 4 Stadium lanjut plebitis


jelas: * Pindahkan dan ganti kanula ke area
* Nyeri di sepanjang kanula penusukan yamg lain
* Kemerahan * Jika suhu > 37,8 mengambil kultur
* Pembengkakan darah
*Pireksia (suhu tubuh>37,8) * Kirim pusswab ke lab.
*Keluar cairan/pus * Beri informasi kepada dokter
* Vena teraba keras * Rawat luka di area insersi

Gambar 2.1 Skor Visual Plebitis

Sumber:http://www.otsuka.co.id/files/Image/Skorind.jpg&imgrefurl;Daugherty

(2008)
28

Dougherty (2008) mengatakan bahwa untuk mendeteksi

adanya plebitis, maka semua pasien yang terpasang infus harus

diobservasi terhadap tanda plebitis sedikitnya 1 x 24 jam. Observasi

juga dilakukan ketika memberikan obat intravena, mengganti cairan

infus, dan terhadap perubahan kecepatan tetesan infus. Plebitis dapat

dicegah dengan menggunakan teknik aseptik selama pemasangan,

menggunakan ukuran kateter dan ukuran jarum yang sesuai dengan

ukuran vena, mempertimbangkan komposisi cairan dan medikasi

ketika memilih daerah penusukan, mengobservasi tempat penusukan

akan adanya komplikasi apapun setiap jam, dan menempatkan kateter

atau jarum dengan baik.

4. Faktor yang mempengaruhi terjadinya plebitis

Menurut Perry & Potter 2005 faktor yang mempengaruhi terjadinya

plebitis, diantaranya adalah:

a. Usia

pertahanan terhadap infeksi dapat berubah sesuai usia. Pada

pasien neonatus sangat rentan terhadap infeksi. Menurut WHO

(2009) sebagian besar infeksi neonatus lanjut di dapat di rumah

sakit melalui pemberian cairan intravena, kurangnya tindakan

aseptik untuk semua prosedur dan tindakan menyuntik yang kurang

bersih. Pada neonatus keadaan banyak bergerak dapat

mengakibatkan vena kateter bergeser dan hal ini yang bisa

menyebabkan plebitis.
29

b. Status nutrisi

Pada pasien dengan gizi buruk mempunyai vena yang tipis

sehingga mudah rapuh, selain itupada gizi buruk daya tahan

tubuhnya kurang sehingga jika terjadi luka mudah terkena infeksi.

c. Stress

Tubuh berespon terhadap stress dan emosi atau fisik melalui

adaptasi imun. Rasa takut akan cedera tubuh dan nyeri sering

terjadi diantara anak - anak, konsekuensi rasa takut ini dapat sangat

mendalam dimana anak - anak yang mengalami lebih banyak rasa

takut dan nyeri karena pengobatan akan merasa lebih takut

terhadap nyeri dan cenderung menghindari perawatan medis,

dengan menghindari pelaksanaan pemasangan infus/berontak saat

dipasang bisa mengakibatkan plebitis karena pemasangan yang

berulang dan respon imun yang menurun.

d. Keadaan vena

Kondisi vena yang kecil dan vena yang sering terpasang infus

mudah mengalami plebitis.

e. Faktor penyakit

Penyakit yang diderita pasien dapat mempengaruhi terjadinya

plebitis, misalnya pada pasien Diabetes Militus (DM) yang

mengalami aterosklerosisakan mengakibatkan aliran darah ke

perifer berkurang sehingga jika terdapat luka mudah mengalami

infeksi.
30

C. Konsep Perilaku

1. Pengertian Perilaku

Perilaku merupakan hasil dari segala macam pengalaman serta

interaksi manusia dengan lingkungannya yang terbentuk dalam wujud

pengetahuan, sikap dan tindakan. Perilaku manusia merupakan respon

atau reaksi seseorang terhadap stimulus yang berasal dari luar maupun

dari dalam dirinya (Notoatmodjo, 2007).

Perilaku adalah totalitas dari penghayatan dan reaksi seseorang

yang langsung terlihat atau yang tidak tampak, timbulnya perilaku akibat

interelasi simulus internal dan eksternal yang diproses melalui kognitif,

afektif, dan motorik. (Pieter , 2010)

2. Domain Perilaku

Menurut Bloom, seperti yang dikutip Notoatmodjo (2007)

membagi perilaku dalam tida domain (ranah kawasan) meskipun

kawasan tersebut tidak mempunyai batasan yang jelas dan tegas,

pembagian kawasan ini dilakukan untuk kepentingan tujuan pendidikan

yaitu mengembangkan atau meningkatkan tiga doamin perilaku

tersebut yang terdiri dari ranah kognitif (kognitif domain) ranah affektif

(affectife domain) dan ranah psikomotor (psicomotor domain). Dalam

perkembangan selanjutnya oleh para ahli pendidikan dan untuk

kepentingan pengukuran hasil, ketiga domain tersebut saalh satunya

adalah tindakan :
31

a. Tindakan atau Praktik

Tindakan merupakan suatu gerak kegiatan yang sengaja

dilakukan dengan tujuan tertentu yang dalam penelitian

berbentuk rangkaian siklus kegiatan. (Arikunto 2006)

Sikap adalah kecendrungan untuk bertindak (praktik).

Sikap belum tentu terwujud dalam tindakan, sebab untuk

terwujudnya tindakan perlu faktor lain, diantaranya fasilitas atau

sarana dan prasarana (Notoatmodjo, 2010)

1) Tindakan dapat dibagi kedalam beberapa tingkatan,

diantaranya :

a) Praktik terpimpin (guided response) apabila subjek atau

seseorang telah melakukan sesuatu tapi masih

tergantung pada tuntunan atau menggunakan panduan

b) Praktik secara mekanis (mechanism) apabila seseorang

telah melakukan atau mempraktikan sesuatu hal secara

otomatis maka disebut praktik atau tindakan mekanis.

c) Adopsi (adoption) adalah suatu tindakan atau praktik

yang sudah berkembang artinya apa yang dilakukan tidak

sekedar rutinitas atau mekanisme saja tetapi sudah

dilakukan modifikasi atau tindakan atau perilaku yang

berkualitas.

2) Pengukuran Tindakan

Mengukur perilaku terbuka, praktek atau tindakan relatif

lebih mudah bila dibandingkan dengan mengukur perilaku

tertutup (pengetahuan dan sikap). Sebab praktik atau tindakan


32

mudah diamati secara konkret dan langsung maupun melalui

pihak ketiga. Secara garis besar mengukur perilaku dapat

dilakukan melalui dua metode, yakni :

a) Langsung

Mengukur perilaku terbuka secara langsung berarti

peneliti langsung mengamati dan mengobservasi perilaku

subjek yang diteliti.

b) Tidak langsung

Pengukuran perilaku secara tidak langsung ini berarti

peneliti tidak secara langsung mengamati perilaku orang

yang diamati. Oleh sebab itu pengukuran secara tidak

langsung ini dapat dilakukan dengan cara yakni :

(1) Metode mengingat kembali atau recall, metoda ini

dilakukan dengan cara responden atau subjek

penelitian diminta mengingat kembali terhadap

perilaku atau tindakan beberapa waktu yang lalu.

(2) Melalui orang ketiga atau orang lain yang dekat

dengan subjek atau responden, pengukuran

perilaku terhadap seseorang atau responden

dilakukan oleh orang terdekat dengan responden

yang diteliti.

(3) Melalui indikator (hasil perilaku) responden,

pengukuran ini dilakukan melalui indikator hasil

perilaku orang yang diamati (Notoatmodjo, 2010).


33

b. Standar Operasional Prosedur (SOP)

Pengertian SOP Suatu standar / pedoman tertulis yang

dipergunakan untuk mendorong dan menggerakkan suatu

kelompok untuk mencapai tujuan organisasi (Sailendra, 2015).

Standar operasional prosedur merupakan tatacara atau tahapan

yang dibakukan dan yang harus dilalui untuk menyelesaikan suatu

proses kerja tertentu (Perry dan Potter (2005). SOP infus adalah

langkah-langkah prosedur untuk memasukkan cairan secara

parenteral dengan menggunakan intravenous kateter melalui

intravena.

(1) Tujuan Standar Operasional Prosedur

a) Petugas / pegawai menjaga konsistensi dan tingkat

kinerja petugas / pegawai atau tim dalam organisasi

atau unit kerja.

b) Mengetahui dengan jelas peran dan fungsi tiap-tiap

posisi dalam organisasi

c) Memperjelas alur tugas, wewenang dan tanggung

jawab dari petugas/pegawai terkait.

d) Melindungi organisasi/unit kerja dan petugas/pegawai

dari malpraktek atau kesalahan administrasi lainnya.

e) Untuk menghindari kegagalan/kesalahan, keraguan,

duplikasi dan inefisiensi


34

(2) Fungsi Standar Operasional Prosedur

Fungsi Standar Operasional Prosedur antara lain :

a) Memperlancar tugas petugas/pegawai atau tim/unit

kerjab. Sebagai dasar hukum bila terjadi

penyimpangan.

b) Mengetahui dengan jelas hambatan-hambatannya dan

mudah dilacak.

c) Mengarahkan petugas/pegawai untuk sama-sama

disiplin dalam bekerja.

d) Standar Operasional Prosedur harus sudah ada

sebelum suatu pekerjaan dilakukan dan SOP

digunakan untuk menilai apakah pekerjaan tersebut

sudah dilakukan dengan baik atau tidak

e) SOP yang baik akan menjadi pedoman bagi

pelaksana, menjadi alat komunikasi dan pengawasan

dan menjadikan pekerjaan diselesaikan secara

konsisten

f) Para pegawai akan lebih memiliki percaya diri dalam

bekerja dan tahu apa yang harus dicapai dalam setiap

pekerjaan dan juga bisa dipergunakan sebagai salah

satu alat trainning dan bisa digunakan untuk mengukur

kinerja pegawai (Saliendra, 2015).


35

D. Kerangka teori

Pasien mendapatkan Faktor Perawat


Faktor Pasien
terapi intravena/infus

Umur dan Ukuran Pengetahuan tentang


vena pasien terapi intravena

Riwayat Penyakit Sikap perawat

Kondisi vena pasien Keterampilan/


tindakan

Faktor Mekanik
1. Ukuran kanula
2. Lokasi terlalu
dekat
persendian 1. Hand higiene
3. Tidak terampil Faktor Infeksi
yang kurang
saat 2. Bahan atau alat
memasang terkontaminasi
3. Teknik aseptik
Faktor Kimia yang buruk
1. Jenis cairan
2. pH cairan/obat
3. bahan/ material
kateter Inflamasi lapisan
Endotelia vena

PLEBITIS

Gambar 2.2 Kerangka teori


Sumber : Alexander, et al. (2010); Philips, 2005; Ignatavicius &Workman,
2010;Daugherty, 2008;Royal College of Nursing, 2005; Peterson & Bredow, 2004;
Notoatmodjo,2010
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Metodologi Penelitian

1. Paradigma Penelitian

Terapi terapi infus (intravena) merupakan terapi medis yang

dilakukan secara invasif dengan menggunakan metode yang efektif

untuk mensuplai cairan, elektrolit, nutrisi dan obat melalui pembuluh

darah atau intravascular (Perry&Potter, 2006). Penatalaksanaan

terapi infus merupakan salah satu keterampilan yang harus dimiliki

oleh seorang perawat. Keterampilan ini meliputi pemasangan,

perawatan, monitoring yang dilakukan secara rutin terutama tanda -

tanda infeksi lokal atau plebitis, serta pendidikan kesehatan kepada

pasien berkaitan dengan terapi intravena menjadi hal yang harus

diperhatikan.

Tindakan perawat dalam penatalaksanaan terapi infus,

memegang peran utama terhadap terjadinya flebitis karena perawat

berada pada garis paling depan dalam pencegahan infeksi ini. Akibat

pemasangan yang kurang tepat dapat menimbulkan ketidaknyamanan

pada pasien salah satunya terjadinya plebitis.

Plebitis adalah reaksi inflamasi yang terjadi pada pembuluh

darah vena yang ditandai dengan nyeri, kemerahan, bengkak, panas,

36
37

indurasi (pengerasan) pada daerah tusukan, dan pengerasan

sepanjang pembuluh darah vena (Alexander, et al., 2010).

Namun demikian, selain tindakan perawat yang berhubungan

dengan angka kejadian plebitis, ada faktor lain yang berhubungan

dengan kejadian plebitis yaitu usia pasien, jenis kelamin pasien,

riwayat penyakit pasien, lokasi pemasangan, ukuran kanula, dan jenis

cairan. Adapun kerangka konsep penelitian berdasarkan uraian di

atas adalah sebagai berikut :

variavel independen

Faktor perawat
tentang terapi infus :

Pengetahuan dan Variabel dependen


sikap perawat

Kejadian Plebitis
Tindakan perawat

Variabel perancu

Umur pasien

Riwayat Penyakit pasien

Keterangan : Area penusukan, jenis


cairan
= variabel yang di teliti
Ukuran kateter iv
= variabel tidak di teliti

Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian

Sumber : (Perry & Potter, 2006; Notoatmodjo, 2007; Daugherty,


2008; Alexander, et al., 2010)
38

2. Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian ini observasional dengan metode studi

deskriptif korelatif pendekatan menggunakan Cross sectional, yaitu

rancangan penelitian, yaitu suatu metode penelitian yang dilakukan

untuk mencari hubungan variabel bebas (Tindakan perawat tentang

terapi cairan intravena) dengan variabel terikat (kejadian plebitis),

dimana antara variabel bebas dan terikat di ukur dalam waktu yang

bersamaan (Notoatmodjo, 2010; Arikunto, 2010).

3. Hipotesis Penelitian

Hipotesis adalah perkiraan atau dugaan sementara terhadap

variabel-variabel yang menjadi fokus penelitian (Sugiyono, 2014).

Adapun hipotesis yang peneliti ajukan adalah sebagai berikut :

a. Ha (Hipotesis alternatif) : Ada hubungan antara tindakan

perawat tentang terapi cairan infus dengan kejadian plebitis di

ruang rawat inap RSUD Cibabat.

4. Variabel Penelitian

Variabel penelitian adalah objek yang diteliti atau yang menjadi

titik perhatian suatu penelitian (Arikunto, 2010). Adapun variabel dalam

penelitian ini adalah :

a. Variabel bebas/independen (independent variable) yaitu sebab atau

yang mempengaruhi variabel lainnya (variabel terikat/dependen)

dan tidak tergantung pada variabel lainnya (Budiman, 2011).

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah tindakan perawat

tentang terapi cairan intravena


39

b. Variabel terikat (dependent variable) yaitu variabel yang

terpengaruh atau menjadi akibat dari variabel bebas atau

tergantung pada variabel lain (variabel bebas). Variabel terikat

dalam penelitian ini adalah kejadian plebitis.

5. Definisi Operasional

Definisi operasional adalah mendefinisikan variabel secara

operasional berdasarkan karakteristik yang diamati, sehingga

memungkinkan peneliti untuk melakukan observasi atau pengukuran

terhadap suatu objek atau fenomena. Definisi operasional ditentukan

berdasarkan parameter yang dijadikan ukuran dalam penelitian

(Hidayat, 2011).

Adapun definisi operasional dan cara pengukurannya dapat dilihat

pada tabel 3.1

Tabel. 3.1 Definisi Operasional


Hubungan tindakan perawat tentang terapi cairan intravena dengan
kejadian plebitis

No Variabel Definisi Definisi Alat Ukur Kategori Skala Ukur

Konseptual Operasional

a. Tindakan Tindakan Serangkaian SOP 0 = Tidak Nominal


sikap yang kegiatan sesuai
cenderung yang jika salah
untuk dilakukan satu/lebih
bertindak oleh perawat tidak
(praktik) saat dilakukan
(Notoatmodjo. pemberan dengan
2010) terapi cairan SOP di
intravena, RSUD
mulai dari cibabat
persiapan
sampai 1=Sesuai
evaluasi. dengan
standar
operasio
nal
prosedur
di RSUD
Cibabat
40

Plebitis
2 Plebitis adalah Peradangan Vip score 0= Nominal
reaksi yang terjadi Tidak
inflamasi yang pada pembuluh terjadi
terjadi pada darah dengan plebitis
pembuluh tanda
darah vena kemerahan, 1=
yang ditandai nyeri, bengkak, terjadi
dengan nyeri, pengerasan plebitis
kemerahan, sepanjang vena,
bengkak, dan demam
panas,
indurasi
(pengerasan)
pada daerah
tusukan, dan
pengerasan
sepanjang
pembuluh
darah vena
(Alexander, et
al., 2010).

B. Populasi dan Sampel Penelitian

1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang

diteliti (Notoatmodjo, 2010). Dalam penelitian ini yang menjadi populasi

adalah jumlah perawat pelaksana di ruangan rawat inap dewasa

(ruangan E3, E2, C3, D2, D3) RSUD Cibabat yang berjumlah 90 orang.

2. Sampel

Sampel adalah sebagian yang diambil dari populasi objek yang

akan diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi. Teknik sampling

dalam penelitian ini yaitu dengan menggunakan Purposive sampling

yaitu teknik sampling yang digunakan peneliti jika peneliti mempunyai

pertimbanngan - pertimbangan tertentu di dalam pengambilan

sampelnya atau penentuan sampel untuk tujuan tertentu (Nurssalam,


41

2014). Sampel yang akan digunakan dalam penelitian ini, yaitu sampel

perawat pelaksana yang memenuhi kriteria inklusi.

Kriteria inklusi sampel perawat pada penelitian iniadalah:

a. Perawat pelaksana Ruang rawat inap dewasa RSUD cibabat

b. Pendidikan D3 Keperawatan minimal 1 tahun kerja.

c. Bersedia menjadi responden yang dibuktikan dengan surat

kesediaan menjadi responden.

Kriteria eklusi sampel pada penelitian ini adalah :

a. Perawat pelaksana yang sedang libur atau cuti

b. Perawat pelasana yang belum satu tahun bekerja.

Adapun menurut Nursalam (2014) jumlah sampel dalam

penelitian ini ditentukan dengan rumus :

N
n=
1 + N(d)2

Keterangan :

n = Jumlah Sampel

N = Jumlah Populasi

d = Tingkat signifikasi (p) 0,1

Dalam penelitian ini jumlah populasinya adalah 90 orang, jadi N =

90 orang, jadi jumlah sampel adalah :

N
n=
1 + N(d)2

90
=
1 + 90(0,1)2
42

90
=
1 + 90(0,01)

90
=
1 + 0,9

90
=
1,9

= 47,36 dibulatkan menjadi 48 orang

C. Pengumpulan Data

1. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dapat dilakukan dalam berbagai setting,

berbagai sumber dan berbagai cara. Bila dilihat dari setting-nya, data

dapat dikumpulkan pada alamiah, laboratorium, di rumah dan

lainnya. Bila dilihat dari sumber menggunakan sumber primer dan

sumber sekunder. Bila dilihat dari segi cara dapat dilakukan dengan

wawancara, kuesioner, observasi, dan gabungan ketiganya

(Sugiyono, 2011). Teknik yang digunakan untuk mendapatkan data

yang akurat dalam penelitian ini yaitu dengan menggunakan

kuesioner dan lembar observasi. Pada penelitian ini digunakan

lembar observasi dan lembar SOP.

Prosedur pengumpulan data yang dilaksanakan oleh peneliti

adalah sebagai berikut:

a. Prosedur Administratif

1) Mengajukan ijin penelitian ke RSUD Cibabat

2) Menyiapkan kelengkapan data, lembaar obervasi VIP dan SOP.


43

b. Prosedur Teknis

Prosedur teknis yang dilakukan di RSUD Cibabat

1) Koordinasi dengan kepala bidang keperawatan, diklat

keperawatan dan ketua Pokja PPIRS tentang persiapan

pelaksanaan penelitian

2) Melakukan pertemuan dengan kepala ruangan yang dipakai

untuk pengambilan data

3) Pengambilan data di ruangan yang telah di sepakati

4) Peneliti melakukan identifikasi calon responden dengan

mengumpulkan data perawat pelaksana di seluruh ruangan

yang dipakai guna memudahkan peneliti dalam proses

pengumpulan data.

5) Setelah data dirasa cukup, maka peneliti mulai melakukan

survey untuk mendapatkan informasi pasien yang akan

dipasang infus di ruangan, kemudian menanyakan siapa

perawat yang memasangnya atau dengan mengecek buku

dokumentasi pemasangan infus yang dilakukan di ruangan.

6) Kemudian peneliti memiti izin/inform consent pada kepala

ruangan dan perawat pelaksana yang akan menajdi responden.

7) Kemudian perawat mengamati proses pemasangan infus mulai

dari persiapan hingga terminasi dan melakukan pengisian

lembar observasi berupa SOP pemasangan infus, dan di

lakukan oservasi selama dua kali pemasangan infus pada

responden yang sama. Hingga keseluruhan perawat di lakukan


44

observasi dan di ambil hasil pertama pengamatan karena lebih

objektif.

8) Peneliti juga melakukan pertemuan dengan pasien yang

dipasang infus untuk mengetahui apakah terjadi tanda – tanda

plebitis

9) Pada hari ketiga peneliti melakukan observasi terhadap area

pemasangan infus kemudian mencatat hasil yang ditemukan.

10) Setelah melakukan observasi area pemasangan, kemudian

peneliti mencatat hasil yang didapatkan dari obsevasi pada

tempat pemasangan infus

11) Jika sudah lengkap, maka data dikumpulkan untuk dianalisis.

2. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian adalah alat-alat yang digunakan untuk

pengumpulan data. Sumber instrumen yang dikumpulkan dapat

berupa data primer dari responden secara langsung melalui

kuesioner (Notoatmodjo, 2010).pada penelitian ini tindakan perawat

menggunakan standar operasional prosedur yang sudah baku dan

untuk plebitis menggunakan lembar observasi VIP .

3. Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian

a. Uji Validitas

Uji validitas dilakukan untuk menguji kevalidan setiap item

pernyataan dalam kuesioner tentang pengetahuan dan sikap. Hal ini

untuk mengetahui apakah kuesioner yang disusun oleh peneliti

mampu mengukur apa yang hendak diukur atau tidak. Oleh karena
45

itu, perlu dilakukan uji korelasi antara skor (nilai) tiap-tiap item

(pernyataan) yang ada dalam kuesioner. Bila semua pertanyaan

mempunyai korelasi yang bermakna, maka semua item pernyataan

yang ada di dalam kuesioner dapat mengukur konsep yang diukur

(Notoatmodjo, 2010). Pada penelitian ini tidak di lakukan uji validitas

karena intrumen yang di gunakan sudah baku.

b. Uji Reliabilitas

Reliabilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana

suatu instrumen cukup dapat dipercaya untuk digunakan sebagai

alat pengumpul data (Arikunto, 2010). Hal tersebut menunjukkan

apakah hasil pengukuran itu tetap konsisten apabila dilakukan dua

kali atau lebih terhadap gejala yang sama dengan menggunakan

alat ukur yang sama. Pertanyan dinyatakan reriabel jika jawaban

seseorang terhadap pertanyaan konsisten atau stabil dari waktu ke

waktu. Pada penelitian ini tidak di lakukan uji reliabilitas karena

intrumen yang di gunakan sudah baku

D. Prosedur Penelitian

1. Tahap persiapan

a. Peneliti mencari fenomena/masalah penelitian yang sedang terjadi di

masyarakat dimulai pada tanggal 3 februari 2017

b. Peneliti menentukan judul penelitian Hubungan Tindakan Perawat

tentang Terapi cairan Intravena dengan Kejadian Plebitis di Ruang

Rawat Inap RSUD Cibabat

c. Peneliti memilih tempat penelitian yang dilaksanakan di RSUD

Cibabat.
46

d. Peneliti melakukan studi pendahuluan pada tanggal 15 Maret 2017

dengan teknik wawancara secara random kepada 15 perawat

pelaksana tentang kemampuan terapi cairan intravena.

e. Peneliti melakukan studi kepustakaan melalui buku-buku sumber,

jurnal, atau internet tentang hal-hal yang berkaitan dengan masalah

penelitian pada bulan Maret 2017

f. Peneliti menyusun proposal penelitian dan instrumen penelitin pada

tanggal 4 Maret - April 2017

g. Peneliti melaksanakan seminar proposal pada 17 april 2017

h. Peneliti melakukan perbaikan seminar proposal pada bulan Mei

sampai Juni 2017.

2. Tahap pelaksanaan

a. Peneliti mengajukan izin penelitian ke Direktur RSUD Cibabat

b. Peneliti melakukan pengumpulan data dengan menggunakan

lembar observasi dari hasil observasi vip pasca pemasangan infus

3. Peneliti melakukan pengolahan dan analisa data menggunakan

program komputer dan spss pada tanggal 3 juni samapai 16 juni 2107

4. Tahap akhir

a. Peneliti menyusun laporan hasil penelitian dan menginterpretasikan

data yang didapat pada tanggal 16 - 20 juni 2107

b. Peneliti akan menyajikan /presentasi hasil penelitian pada bulan 18

Juli 2017.

c. Peneliti akan melakukan perbaikan hasil penelitian pada bulan Juli.


47

E. Pengolahan dan Analisis Data

1. Pengolahan Data

Dalam melakukan analisis, pertama yang harus dilakukan adalah

mengolah data. Tujuannya adalah untuk mengubahnya menjadi suatu

informasi. Informasi dipergunakan untuk proses pengambilan

keputusan, terutama dalam menguji hipotesis. Menurut Hidayat (2011),

langkah - langkah yang harus dilakukan dalam mengolah data antara

lain :

a. Editing

Editing adalah memeriksa kembali kebenaran data perilaku

responden tentang terapi cairan infus, yang diperoleh atau

dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner.

b. Coding

Coding adalah proses mengkode dan mengklasifikasi data, juga

memberikan kode untuk masing - masing pernyataan terhadap data

yang diperoleh dari sumber data yang telah diperiksa

kelengkapannya. Pada tahap ini merupakan suatu proses

penyusunan secara sistematis data mentah kedalam bentuk yang

sudah di baca untuk pengolahan data. Adapun proses memberi kode

adalah sebagai berikut :

Pada variabel independent tentang tindakan perawat :

Tindakan : 0 kode tindakan tidak sesuai SOP dan 1

kode tindakan sesuai SOP.

Pada variabel dependent tentang kejadian plebitis : 1 kode tidak

terjadi plebitis dan 0 kode untuk terjadi plebitis


48

c. Skoring

Merupakan tahapan menilai untuk masing masing pertanyaan

yang dilakukan dengan menjumlahkan hasil yang didapat dari semua

pertanyaan.

Pada variabel independent grupkan tindakan dan dependent Plebitis.

1) Tindakan menggunakan pilihan “Sesuai dengan SOP” kode

angka 1 dan “tidak sesuai SOP” kode angka 0.

2) Plebitis menggunakan pilihan “tidak ada tanda plebitis” kode

angka 0 dan kode angka 1 “plebitis”.

d. Entri Data

Entri data adalah memasukan data yang telah dikumpulkan ke

dalam sistem komputer dan selanjutnya dibuat tabel distribusi

frekuensi sederhana.

e. Melakukan Teknik Analisis

Teknik analisis yang akan digunakan dalam penelitian ini yaitu

dengan menggunakan statistik deskriptif. Statistik deskriptif adalah

statistika yang meringkas, menyajikan dan mendeskripsikan suatu

data mengenai motivasi. Dalam penelitian ini peneliti akan melakukan

analisa data dengan program komuterisasi.

2. Analisis Data

Analisa data adalah kegiatan yang sangat penting dalam suatu

penelitian yang tujuannya untuk memecahkan masalah penelitian

(Setiadi, 2013).
49

1) Analisa Univariat

Analisa univariat adalah analisis secara deskriptif untuk melihat

distribusi frekuensi dan presentase dari masing – masing variabel.

Pada analisis univariat ini, peneliti menyajikan dan mendeskripsikan

hasil data penelitian berupa nilai tabel distribusi frekuensi

menggunakan rumus presentase distribusi proporsi untuk variabel

penelitian berikut :

𝑓
𝑝= × 100 %
𝑛

Keterangan :

p = persentasi responden

f = jumlah responden yang termasuk dalam kriteria

n = jumlah keseluruhan responden (Arikunto, 2006 )

Untuk komposisi proporsi responden dari setiap kategori di

deskriptifkan sebagai berikut :

1) 0% = tidak seorang pun dari responden

2) 1%-25% = sebagian kecil dari responden

3) 26%-49% = hampir setengahnya

4) 50% = setengah responden

5) 51%-76% = sebagian besar dari responden

6) 77%-99% = hampir semua responden

7) 100% = seluruh responden


50

2) Analisa Bivariat

Analisa bivariat yaitu analisa untuk mencari hubungan

(korelasi) antar dua variabel yang menjadi fokus penelitian, atau

mencari korelasi antara faktor resiko dengan efek yang mungkin

terjadi (Notoatmodjo, 2010). Dalam penelitian ini analisis bivariat

dilakukan untuk mengetahui hubungan antara tindakan perawat

dengan kejadian plebitis. Uji statistik yang digunakan adalah chi

square, uji chi square digunakan untuk menguji hipotesis bila dalam

populasi terdiri atas dua atau lebih kelas dimana datanya berbentuk

kategorik. Rumus dasar Chi Square seperti dibawah ini (Sugiyono,

2007) Adapun rumusnya yaitu :

(𝑓𝑜 − 𝑓𝑒)2
𝑥2 = ∑
𝑓𝑒

Keterangan :

𝑥2 =
Nilai chi square

𝑓𝑜 = frekuensi yang diobservasi

𝑓𝑒 = frekuensi yang diharapkan

Adapun rumus mencari frekuensi teoritis (fe) :

(∑ 𝑓𝑘) × (∑ 𝑓𝑏)
𝑓𝑒 =
∑𝑇

Keterangan :

fe = frekuensi yang diharapkan

∑ 𝑓𝑘 = jumlah frekuensi pada kolom

∑ 𝑓𝑏 = jumlah frekuensi pada baris

∑𝑇 = jumlah keseluruhan baris atau kolom


51

Uji kemaknaan dilakukan dengan menggunakan 𝛼 = 0,05 dan

Confidence Interval (CI) 95 %, dengan ketentuan bila :

1) p value > 0,05 berarti H0 gagal ditolak (p > 𝛼 ). Uji statistik

menunjukan tidak ada hubungan

2) p value ≤ 0,05 berarti H0 ditolak (p ≤ 𝛼 ). Uji statistik

menunjukan ada hubungan

F. Etika Penelitian

Menurut (Hidayat, 2011), dalam melakukan penelitian perlu

diperhatikan masalah etika yang bertujuan untuk mencegah timbulnya

masalah etik selama penelitian berlangsung, yang meliputi :

1. Persetujuan (Informed Concent)

Informed concent merupakan bentuk persetujuan antara peneliti

dengan responden penelitian dengan memberikan lembar

persetujuan. Informed concent diberikan sebelum penelitian

dilakukan yang bertujuan agar responden memahami maksud dan

tujuan dari penelitian. Jika responden bersedia, maka mereka harus

menandatangani lembar persetujuan dan apabila responden tidak

bersedia maka peneliti harus menghormati keputusan responden dan

haknya sebagai pasien. Dalam penelitian ini setelah dilakukan

informed consent, 48 responden menyetujuan dan menandatangani

surat persetujuan yang di berikan oleh peneliti.

2. Tanpa nama (Anonimity)

Anonimity adalah etika dengan cara memberi kode nomor

responden pada hasil penelitian dan hanya menuliskan hasil


52

penelitiannya saja. Dalam penelitian ini dari 48 responden hanya

menyertakan inisial nama.

3. Kerahasiaan (Confidentiality)

Confidentiality merupakan masalah etika dengan menjamin

kerahasiaan hasil penelitian, baik informasi maupun masalah-

masalah lainnya hanya data tertentu yang akan dilaporkan pada hasil

riset penelitian.

4. Keadilan dan Inklusivitas (Justice and inclusiveness)

Prinsip keadilan mempunyai makna keterbukaan dan adil.

Penelitian harus dilakukan secara jujur, hati – hati, profesional,

berperikemanusiaan, dan memperhatikan faktor-faktor ketepatan,

keseksamaan, kecermatan, intimitas, psikologis, serta perasaan

religius responden. Prinsip keadilan menekankan sejauh mana

kebijakan penelitian membagikan keuntungan dan beban secara

merata atau menurut kebutuhan, kemampuan, kontribusi, dan pilihan

bebas masyarakat. Misalnya dalam prosedur penelitian, peneliti

mempertimbangkan aspek keadilan gender dan hak responden untuk

mendapatkan perlakuan yang sama, baik sebelum, selama, maupun

sesudah berpartisipasi dalam penelitian.

5. Memperhitungkan manfaat dan kerugian yang ditimbulkan (Balancing

harm and Benefits).

Peneliti harus melaksanakan penelitian sesuai dengan prosedur

penelitian agar hasilnya bermanfaat semaksimal mungkin bagi

responden dan dapat digeneralisasikan di tingkat populasi. Peneliti

juga harus meminimalisasi dampak yang merugikan responden.


53

Apabila intervensi penelitian berpotensi mengakibatkan cedera atau

stres tambahan, maka responden dikeluarkan dari kegiatan penelitian

untuk mencegah terjadinya cedera, kesakitan, stres, maupun

kematian.

G. Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian ini dilakukan di RSUD Cibabat pada tanggal 3

juni sampai 16 Juni 2017


BAB IV

HASIL PENELITIAN

A. Hasil penelitian

Bab ini menyajikan hasil penelitian tentang hubungan tindakan

perawat tentang terapi cairan intravena dengan kejadian plebitis dan di

Ruang Rawat Inap RSUD Cibabat, terhadap 48 responden yang

dilaksanakan selama kurun waktu 2 minggu, dimulai tanggal 3 juni – 16

Juni 2011. Penyajian data hasil penelitian ini terdiri dari analisa univariat,

bivariat yang sebelumnya telah dilakukan pengolahan data dengan

menggunakan uji statistik yang telah ditentukan dengan menggunakan

perangkat komputer. Adapun secara lengkap hasil penelitian disajikan

sebagai berikut:

1. Analisis Univariat

a. Gambaran tindakan perawat tentang terapi cairan intravena di di

Ruang Rawat Inap Dewasa RSUD Cibabat.

Tabel 4.1 Distribusi frekuensi Tindakan perawat tentang terapi


cairan intravena di Ruang Rawat Inap Dewasa RSUD
Cibabat.
Variabel Kategori Responden Presentase

Sikap Tidak sesuai 25 52,1 %


SOP

Sesuai SOP 23 47, 9%


Total 48 100%

54
55

Berdasarkan tabel 4.1 diatas di dapatkan dari 48 responden,

25 responden atau sebagian besar (52,1%) responden memberikan

terapi cairan intravena tidak sesuai dengan Standar Operasional

Prosedur. Dan 23 responden (47,9%) memberikan terapi cairan

itravena sesuai dengan Standar Operasional Prosedur.

b. Gambaran kejadian Plebitis di Ruang Rawat Inap RSUD Cibabat

Tabel 4.2 Distribusi frekuenasi kejadian plebitis di Ruang


Rawat Inap RSUD Cibabat
Variabel Kategori Responden Presentase

Sikap Plebitis 26 54,2 %

Tidak Plebitis 22 45, 8%


Total 48 100%

Berdasarkan tabel 4.2 diatas di dapatkan dari 48

responden, 26 responden sebagian besar (54,2%) terjadi plebitis

pada pemberian terapi cairan intravena. Dan 22 responden

(44,8%) tidak terjadi plebitis pada pemberian terapi cairan

intravena.
56

2. Analisis Bivariat

Analisis bivariat dilakukan sebagai penilaian awal untuk melihat

hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen.

Hasil dari analisis bivariat dapat dilihat pada tabel berikut ini :

a. Hubungan Tindakan tentang terapi cairan intravena dengan

kejadian plebitis di Ruang Rawat Inap RSUD Cibabat

Tabel 4.3 Hubungan Tindakan tentang terapi cairan intravena


dengan kejadian plebitis di Ruang Rawat Inap RSUD
Cibabat.

Kejadian Plebitis Total

Tindakan Plebitis Tidak plebitis p Value

n % N % n %

Tidak sesuai 20 80% 5 20% 25 100%

SOP
0,001
Sesuai SOP 6 26,1% 17 73,9% 23 100%

Total 26 54,2% 22 45,8% 48 100%

Berdasarkan tabel 4.7 di dapatkan dari 48 responden

diketahui bahwa 17 responden yang melakukan tindakan pemberian

terapi cairan intravena sesuai dengan SOP, dan sebagian besar

(73,9%) tidak terjadi plebitis saat memberikan terapi cairan

intravena, sedangkan dari 20 responden yang melakukan tindakan

pemberian terapi cairan intravena tidak sesuai dengan SOP, hampir

seluruh dari responden (80%) terjadi plebitis saat memberikan

terapi cairan intravena.

Hasil uji statistik didapatkan p Value = 0,001 <𝛼 (0,05), artinya

H0 ditolak dengan demikian terdapat hubungan antara Tindakan


57

perawat dengan kejadian plebitis di Ruang Rawat Inap RSUD

Cibabat.

B. Pembahasan

Pada bagian ini akan diuraikan mengenai pembahasan hasil

penelitian dari pengolahan data statistik, mengenai Hubungan Tindakan

Perawat tentang terapi cairan intravena dengan kejadian plebitis di Ruang

Rawat Inap RSUD Cibabat

1. Gambaran Tindakan perawat tentang terapi cairan intravena di

Ruang Rawat Inap RSUD Cibabat.

Hasil penelitian berdasarkan tabel 4.1 yang dilakukan terhadap 48

responden perawat di ruang rawat inap di RSUD Cibabat menunjukkan

bahwa lebih dari setengah responden melakukan permberian terapi

cairan intravena tidak sesuai dengan standar operasional prosedur.

Sesuai dengan teori Notoatmodjo Tindakan adalah kecendrungan

untuk bertindak (praktik). Sikap yang didasari oleh pengetahuan yang

baik belum tentu terwujud dalam tindakan, sebab untuk terwujudnya

tindakan perlu faktor lain, diantaranya fasilitas atau sarana dan prasarana

yang disediakan oleh rumah sakit.

Hasil penelitian di dapatkan perawat yang melakukan tindakan

dan patuh dalam melaksanakan SOP pemberian terapi cairan intravena

diantaranya peralatan yang dibawa saat pemasangan infus sudah sesuai,

perawat melaksanakan prosedur sesuai dengan tahap pra interaksi,

tahap orientasi, tahap kerja dan tahap terminasi. Responden melakukan

tindakan dalam prosedur pemberian terapi cairan intravena sesuai

dengan SOP di RSUD Cibabat meliputi perawat melakukan teknik cuci


58

tangan yang baik, mengatur tetesan infus dengan benar sesuai

kebutuhan pasien, melakukan fiksasi dengan benar serta melakukan

pemasangan dengan teknik aseptik dan teknik pemasangan intravena

kateter yang baik.

Hasil observasi tindakan pemasangan infus yang dilakukan di

RSUD Cibabat ada yang tidak patuh dalam melaksanakan SOP

pemasangan infus diantaranya saat pemasangan infus banyak yang tidak

menggunakan perlak dan responden tidak diberikan disinfektan pada

area tusukan hanya langsung diplester saja dan tidak melakukan cuci

tangan yang benar sebelum melakukan tindakan.

Hasil penelitian didapatkan ada perawat yang tidak

melaksanakan tindakan sesuai SOP pemasangan infus hal ini

dikarenakan perawat beranggapan jika sesuai SOP membutuhkan waktu

yang lama, perawat tergesa-gesa saat pemberian terapi cairan intravena

serta banyaknya pasien yang membuat perawat tidak patuh. Hal ini

sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Andares (2009),

menunjukkan bahwa perawat kurang memperhatikan kesterilan luka pada

pemasangan infus. Perawat biasanya langsung memasang infus tanpa

memperhatikan tersedianya bahan - bahan yang diperlukan dalam

prosedur tindakan tersebut, tidak tersedia handscoon, kain kasa steril,

alkohol, pemakaian yang berulang pada selang infus yang tidak steril.

Hasil penelitian Mulyani (2011), yang melakukan penelitian dengan judul

Tinjauan Pelaksanaan Standar Operasional Prosedur (SOP)

Pemasangan Infus Pada Pasien Di Instalasi Gawat Darurat (IGD) RS

PKU Muhammadiyah Gombong menunjukan perawat cenderung tidak


59

patuh pada persiapan alat dan prosedur pemasangan infus yang prinsip.

Hasil penelitian terhadap 12 perawat pelaksana yang melakukan

pemasangan infus, perawat yang tidak patuh sebanyak 12 orang atau

100% dan yang patuh sebanyak 0 atau 0%. Hasil penelitian Pasaribu

(2008), yang melakukan analisa pelaksanaan pemasangan infus di ruang

rawat inap Rumah Sakit Haji Medan menunjukan bahwa pelaksanaan

pemasangan infus yang sesuai Standar Operasional Prosedur katagori

baik 27 %, sedang 40 % dan buruk 33 %. Tindakan merupakan bagian

dari perilaku individu yang bersangkutan untuk mentaati atau mematuhi

sesuatu, sehingga tindakan perawat dalam melaksanakan SOP

pemasangan infus tergantung dari perilaku perawat itu sendiri. Perilaku

kepatuhan dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor yang

mempengaruhi tindakan yang sesuai dengan SOP dapat dikategorikan

menjadi faktor intrernal yaitu karakterisitk perawat itu sendiri (umur, jenis

kelamin, agama, pendidikan, status perkawinan, kepribadian, sikap,

kemampuan, persepsi dan motivasi) dan faktor eksternal (karakteristik

organisasi, karakteristik kelompok, karakteristik pekerjaan, dan

karakteristik lingkungan).

2. Gambaran kejadian plebitis di Ruang Rawat Inap RSUD Cibabat

Hasil penelitian yang dilakukan terhadap 48 responden pasien di

ruang rawat inap di RSUD Cibabat menunjukkan lebih dari setengahnya

responden (54,2%) mengalami plebitis. Plebitis merupakan inflamasi vena

yang disebabkan oleh iritasi kimia maupun mekanik. Hal ini ditunjukkan

dengan adanya daerah yang merah, nyeri dan pembengkakan di daerah

penusukan atau sepanjang vena.


60

Pemberian terapi cairan intravena digunakan untuk mengobati

berbagai kondisi penderita di semua lingkungan perawatan di rumah sakit

dan merupakan salah satu terapi utama. Tetapi karena terapi ini diberikan

secara terus-menerus dan dalam jangka waktu yang lama tentunya akan

meningkatkan kemungkinan terjadinya komplikasi dari pemasangan infus,

salah satunya adalah infeksi (Hinlay, 2006). Salah satu infeksi yang

sering ditemukan dirumah sakit adalah infeksi nosokomial. Infeksi

nosokomial tersebut diakibatkan oleh prosedur diagnosis yang sering

timbul diantaranya plebitis.

Keberhasilan pengendalian infeksi nosokomial pada tindakan

pemberian terapi cairan intravena bukanlah ditentukan oleh canggihnya

peralatan yang ada, tetapi ditentukan oleh perilaku petugas dalam

melaksanakan perawatan klien secara benar (Andares, 2009). Plebitis

dikarateristikkan dengan adanya dua atau lebih tanda nyeri, kemerahan,

bengkak, indurasi dan teraba mengeras di bagian vena yang terpasang

kateter intravena. Hal ini menjadiakan plebitis sebagai salah satu

pemasalahan yang penting untuk dibahas di samping plebitis juga sering

ditemukan dalam proses keperawatan.

Dalam penelitian ini plebitis terjadi karena adanya mikroorganisme

atau bakteri yang masuk melalui lubang tusukan kateter infus dan ada

perawat yang tidak patuh dalam melaksanakan SOP pemberian terapi

cairan intravena karena kejadian plebitis sangat di pengaruhi oleh

ketepatan dalam melaksakan pemberian terapi cairan intravena kurang

dilakukan atau tidak sesuai SOP yang ada di rumah sakit tersebut.
61

Hasil penelitian didapatkan responden yang tidak mengalami

plebitis setelah 1 - 2 hari dipasang infus tidak terdapat tanda - tanda

kemerahan ditempat penyuntikan, responden tidak merasakan nyeri, dan

tidak adanya tanda bengkak disekitar tempat pemasangan infus.

Sedangkan hasil penelitian ada responden yang mengalami plebitis

dengan tanda - tanda bengkak pada tempat pemasangan infus dan

responden merasakan nyeri ditempat pemasangan infus. Banyak hal

yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya plebitis diantaranya

mencegah plebitis bakteri dengan cara perawat melakukan cuci tangan

sebelum memasang infus, selalu waspada dan melakukan pemasangan

infus dengan tindakan aseptik, rotasi kateter yaitu melakukan

penggantian kateter setiap 72 - 96 jam untuk membatasi potensi infeksi,

melakukan aseptic dressing dan melakukan kecepatan pemberian infus

(Darmawan, 2008).

Hasil penelitian ini yang dilakukan oleh Mulyani (2010), yang

menyatakan rata-rata kejadian plebitis waktu ≥ 24 jam dan ≤ 72 jam

setelah 49 pemasangan terapi intravena. Dan hasil penelitian

menunjukkan bahwa lokasi pemasangan infus terletak pada vena sefalika

dan tidak terjadi phlebitis sebanyak 11 responden (91,7%). Sedangkan

lokasi pemasangan infus terletak pada vena metacarpal dan terjadi

phlebitis sebanyak 20 responden (41,7%).

Di dukung oleh penelitian Gayatri dan Handayani (2003)

menyatakan bahwa 35% dan 60 responden mengalami plebitis dengan

jenis kelamin rata - rata lak i- laki. Semakin jauh jarak pemasangan terapi

intravena dan sendi maka resiko terjadinya plebitis akan semakin


62

meningkat. Hal ini dapat disebabkan karena kurangnya fiksasi dan

dekatnya persambungan selang kanul dengan persendian lainnya. Hal

utama yang perlu diperhatikan sebaiknya jarak pemasangar infus minimal

3-7 cm dan persendian. plebitis yang terjadi dalarn penelitian termasuk

plebitis mekanik.

3. Hubungah Tindakan perawat tentang terapi cairan intravena dengan

kejadian plebitis di Rang Rawat Inap RSUD Cibabat

Hasil uji statistik didapatkan p Value = 0,001 <𝛼 (0,05), artinya H0

ditolak dengan demikian terdapat hubungan antara tindakan perawat

dengan kejadian plebitis di Ruang Rawat Inap RSUD Cibabat.

Berdasarkan data yang sudah didapatkan diketahui bahwa

dengan tindakan perawat yang tidak sesuai denngan SOP pemberian

terapi cairan intravena menyebabkan terjadinya plebitis. Hal ini terjadi

karena yang berkontribusi dengan kejadian plebitis salah satunya adalah

teknik aseptik (cuci tangan dan memakai sarung tangan) dan ini telah

diatur dalam SOP pemasangan infus. Dengan perawat yang tidak

melaksanakan tidak sesuai SOP pembemberian terapi cairan intravena

(melakukan teknik aseptik) maka transmisi mikroorganisme pada daerah

penusukan infus akan terjadi sehingga terjadi plebitis pada pasien yang

dilakukan pemasangan infus oleh perawat Brunner & Suddarth (2005).

Pada hasil penelitian masih terdapat responden yang patuh dalam

menjalankan SOP pemasangan infus namun terjadi plebitis. Hal ini dapat

dikarenakan beberapa faktor antara lain jenis cairan intravena, lokasi

pemasangan infus, dan ukuran kateter. Selain itu juga terdapat

responden yang tidak patuh dalam menjalankan SOP pemasangan infus


63

namun tidak terjadi plebitis. Hal ini dapat dilihat dari hasil lembar

observasi prosedur tindakan pemasangan infus. Didapatkan bahwa

perawat melakukan prosedur tindakan pada poin - poin yang penting,

namun tidak melakukan tindakan pada poin awal dan akhir pelaksanaan

prosedur seperti memperkenalkan diri, dan menutup tirai. Dengan

demikian hal ini tidak berpengaruh pada kejadian plebitis.

Hal ini sejalan dengan penelitian Ince (2010) berdasarkan data

yang sudah didapatkan diketahui bahwa dengan kepatuhan perawat

dalam melaksanakan SOP pemasangan infus tidak terjadi phlebitis.

Dengan perawat patuh pada SPO pemasangan infus (melakukan teknik

Kepatuhan Kejadian Phlebitis Total X 2 p Terjadi Tidak value terjadi Patuh

5 (9,6%) 47 (90,4%) 52 (100%) 23,6 41 0,000 Tidak patuh 14 (63,6%) 8

(36,4%) 22 (100%) Total 19 (25,7%) 55 (74,3%) 74 (100%) aseptik) maka

transmisi mikroorganisme pada daerah penusukan infus tidak terjadi

sehingga tidak terjadi phlebitis pada pasien yang dilakukan pemasangan

infus oleh perawat.

Terjadinya infeksi nosokomial dipengaruhi oleh banyak faktor

(multifaktorial), baik faktor yang ada dalam diri (badan, tubuh) penderita

sendiri, maupun faktor yang berada disekitarnya. Setiap faktor tersebut

hendaknya dicermati, diwaspadai dan dianggap berpotensi. Dengan

mengenal faktor yang berpengaruh merupakan modal awal upaya

pencegahan terjadinya infeksi plebitis. Peranan tenaga keperawatan yang

berkaitan dengan upaya pencegahan terjadinya plebitis cukup besar

karena perawat dituntut untuk berperilaku sesuai diagnosis ataupun

standar pelaksanaan tugas. Kemampuan perawat untuk mencegah


64

transmisi infeksi dirumah sakit dan upaya pencegahan adalah tingkat

pertama dalam pemberian pelayanan bermutu. Perawat berperan dalam

pencegahan terjadinya plebitis, hal ini disebabkan perawat merupakan

salah satu anggota tim kesehatan yang berhubungan langsung dengan

klien dan bahan infeksius diruang rawat. Perawat juga bertanggung jawab

menjaga keselamatan klien dirumah sakit melalui pencegahan

kecelakaan, cidera, trauma, dan melalui penyebaran infeksi nosokomial.

Aktifitas perawat yang tinggi dan cepat, hal ini menyebabkan perawat

kurang memperhatikan tehnik septik dalam melakukan tindakan

keperawatan (Potter, 2005). Tenaga kesehatan wajib menjaga kesehatan

dan keselamatan dirinya dan orang lain serta bertanggung jawab sebagai

pelaksana kebijakan yang ditetapkan Rumah Sakit. Tenaga kesehatan

juga bertanggung jawab dalam menggunakan sarana yang disediakan

dengan baik dan benar serta memelihara sarana agar selalu siap dipakai.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar perawat

tidak melaksanakan sesuai dengan SOP, hal ini terjadi karena sebagian

besar perawat lupa mencuci tangan sebelum melakukan tindakan

keperawatan, memegang kembali area yang telah di desinfeksi karena

merasa ragu ragu dalam menentukan vena yang akan di lakukan

penusukan, perawat terkadang tidak menggunakan sarung tangan sekali

pakai bila menangani eksudat, Hasil penelitian sejalan dengan penelitian

yang dilakukan oleh Yulia (2009) yang menyatakan bahwa ketrampilan

baik dalam pencegahan infeksi nosokomial sebanyak 4%, dan

ketrampilan kurang 17,6%.


65

Hasil penelitian ini didapatkan ada perawat yang tidak

melaksanakan tindakan sesuai SOP pemasangan infus hal ini

dikarenakan perawat beranggapan jika sesuai SOP membutuhkan waktu

yang lama, perawat tergesa - gesa saat pemberian terapi cairan intravena

serta banyaknya pasien yang membuat perawat tidak patuh. Hal ini

sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Andares (2009),

menunjukkan bahwa perawat kurang memperhatikan kesterilan luka pada

pemasangan infus. Perawat biasanya langsung memasang infus tanpa

memperhatikan tersedianya bahan-bahan yang diperlukan dalam

prosedur tindakan tersebut, tidak tersedia handscoon, kain kasa steril,

alkohol, pemakaian yang berulang pada selang infus yang tidak steril.

Hasil penelitian Mulyani (2011), yang melakukan penelitian dengan judul

Tinjauan Pelaksanaan Standar Operasional Prosedur (SOP)

Pemasangan Infus Pada Pasien Di Instalasi Gawat Darurat (IGD) RS

PKU Muhammadiyah Gombong menunjukan perawat cenderung tidak

patuh pada persiapan alat dan prosedur pemasangan infus yang prinsip.

Hasil penelitian terhadap 12 perawat pelaksana yang melakukan

pemasangan infus, perawat yang tidak patuh sebanyak 12 orang atau

100% dan yang patuh sebanyak 0 atau 0%. Hasil penelitian Pasaribu

(2008), yang melakukan analisa pelaksanaan pemasangan infus di ruang

rawat inap Rumah Sakit Haji Medan menunjukan bahwa pelaksanaan

pemasangan infus yang sesuai Standar Operasional Prosedur katagori

baik 27 %, sedang 40 % dan buruk 33 %. Tindakan yang sesuai dengan

SOP merupakan bagian dari perilaku individu yang bersangkutan untuk


66

mentaati atau mematuhi sesuatu, sehingga Tindakan yang sesuai dengan

SOP pemasangan infus tergantung dari tindakan perawat itu sendiri


BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap 48

responden perawat di Ruang rawat inap RSUD, maka dapat disimpulkan

sebagai berikut :

1. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap 48 responden

perawat di Ruang Rawat Inap RSUD Cibabat didapatkan 25 responden

tidak memberikan terapi cairan intravena sesuai dengan SOP, hal ini

menunjukan sebagian besar (52,1%) responden memberikan terapi

cairan intravena tidak sesuai dengan Standar Operasional Prosedur.

2. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap 48 responden , 26

responden mengalami plebitis, menunjukkan bahwa sebagian besar

responden mengalami plebitis (54,2%).

3. Ada hubungan antara Tindakan tentang terapi cairan intravena dengan

kejadian plebitis di ruang rawat inap RSUD Cibabat, dengan p value =

0,001

B. Saran

1. Bagi Teoritik

Hasil penellitian ini dapat digunakan untuk pengembangan Ilmu

Keperawatan khususnya di bidang Keperawatan Medikal Bedah dan dapat

dijadikan sebagai materi untuk perkuliahan kepada mahasiswa tentang

hubungan tindakan perawat tentang kejadian plebitis.

67
68

2. Bagi Praktis

a. Bagi RSUD Cibabat

Pentingnya di adakan kembali review tentang terapi cairan

intravena baik dalam bentuk seminar, maupun pelatihan. Serta lebih

mensosialisaikan kembali dan pengontrolan kembali tentang (five

moment) cuci tangan yang benar sebelum dan sesudah tindakan.

b. Bagi Keperawatan

1) Monitoring penatalaksanaan SOP pemberian terapi cairan intravena

oleh perawat pelaksana, dengan cara meningkatkan kegiatan

supervisi oleh kepala ruangan.

2) Melaksanakan kegiatan pelatihan tentang pemberian terapi cairan

intravena bagi perawat pelaksana yang bertujuan meningkatkan

kinerja perawat terutama dalam prosedur pemasangan dan

perawatan infus sesuai standar sehingga mengurangi terjadinya

komplikasi dan tetap mempertahankan kenyamanan pasien

c. Bagi penelitian selanjutnya

1) Penelitian lanjutan dapat dilakukan terutama tentang Faktor -

faktor yang menyebabkan plebitis, misalnya pengaruh

penggantian balutan berkala terhadap kejadian plebitis

2) Penelitian selanjutnya diharapkan dapat melanjutkan analisis

sampai dengan analisis multivariat sehingga dapat diketahui

faktor yang paling dominan yang berhubungan dengan kejadian

Plebitis
DAFTAR PUSTAKA

Alexander, M, Corrigan, A, Gorski, L, Hankins, J., & Perucca, R. (2010). Infusion


nursing society, Infusion nursing: An evidence-based approach.Third
Edition. St. Louis: Dauders Elsevier.

Anderas. (2009). faktor faktor yang berhubungan dengan pelaksanaan standar


prosedur operasional pemasangan infus oleh perawat pelaksana di
irna(penyakit dalam rsup. Dr. M djamil padang.

Arikunto, S. (2010). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta : PT.


Rineka Cipta

Azwar, S. (2011). Sikap manusia teori dan pengukurannya edisi 2. Yogyakarta :


Pustaka Pelajar.

Darmadi.,(2008). Infeksi Nosokomial: Problematika dan Pengendaliannya.


Jakarta: Salemba Medika

Darmawan. (2008). Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta : Salemba Medika.

Daugherty, L. (2008). Peripheral cannulation.Nursing Standard, . Philadelphiaa:


FA Davis Company.

Departemen Kesehatan RI & Perhimpunan Pengendalian Infeksi Indonesia


(PERDALIN). (2007). Pedoman manajerial pencegahan dan
pengendalian infeksi di rumah sakit dan fasilitas pelayanan
kesehatan lainnya. Jakarta.

Direktorat Pelayanan Keperawatan & Medik. (2002). Standar tenaga


keperawatan dirumah sakit.Cetakan I. Jakarta: Depkes RI.

Dougherty, L., Bravery, K., Gabriel, J., Kayley, J., Malster, M., Scales, K., &
Inwood, S. (2010).Standards for Infusion therapy: The RCN IV
therapy forum.

Gabriel, J., Bravery, K., Dougherty, L., Kayley, J., Malster, M., & Scales,
K.(2005). Vascular access: Indication and implication for patient care.
Nursing Standard,19(26), 45-52

Gayatri, D.,&Handayani, H.(2008). Hubungan jarak pemasangan terapi intravena


daripersendian terhadap waktu terjadinya flebitis.Jurnal Keperawatan
Indonesia,11(1), 1-5.

Hinlay. (2006). Terapi Intravena pada pasien di rumah sakit. Yogyakarta: Nuha
Medika.

69
70

Infusion nurse society (2011). Journal of infus nursing. Infus standard of


practicevol. 34 1S.Philadelpia : lippincott. William &wilkins

Maria, Ince. (2012). Kepatuhan perawat dalam melaksanakan standar prosedur


operasional pemasangan infus terhadap phlebitis

Mulyani. (2011). Tinjauan pelaksanaan standar operasional prosedur (SOP)


pemasangan infus pada pasien di Instalasi Gawat Darurat (IGD) RS
PKU Muhammadiyah, Gombong.

Notoatmodjo, S. (2005). Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasi. Jakarta: PT.


Rineka Cipta

(2007). Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta : PT. Rineka


Cipta

(2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : PT. Rineka


Cipta

(2010). Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasinya. Jakarta : PT.


Rineka Cipta

Nursalam. (2014). Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan Pendekatan Praktis


Edisi 3. Jakarta : Salemba Medika

Pasaribu. (2006). Analisis pelaksanaan standar operasional prosedur


pemasangan infuse terhadap kejadian phlebitis di ruang rawat inap RS
Haji Medan.

Philips, L.D. (2005). Manual of iv therapeutics. FourthEdition. Philadelphiaa: FA


Davis Company.

Pieter, Herry Zen. (2010). Pengantar Psikologi dalam Keperawatan. Jakarta :


kencana pranada media

Potter, P.A, Perry, A.G(2005).Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep,


Proses, dan Praktik.Edisi 4.Volume 2.Alih Bahasa : Renata
Komalasari,dkk. Jakarta: EGC.

Riyanto, A. (2011). Pengolahan dan Analisis Data Kesehatan. Yogyakarta : Nuha


Medika

Robinson, J. M., & Saputra, L. (2014). Buku Ajar Visual Nursing Jilid Satu.
Tangerang Selatan: Binarupa Aksara Publisher.

Sailendra, Annie. 2015. Langkah-Langkah Praktis Membuat SOP. Cetakan


Pertama. Trans Idea Publishing, Yogyakarta.

Setiadi. (2013). Konsep dan Praktik Penulisan Riset Keperawatan. Yogyakarta :


Graha Ilmu
71

Smeltzer,C,S & Bare, G, B (2007).Brunner& Suddart Textbook Of Medical –


surgery nursing 11th ed. lippincott. William &wilkins

Sugiyono. (2014). Metodologi Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D. Jakarta


: Alfabeta

Timby,B,K, (2009) Fundamental Nursing Skill And Consept 9th Edition.


Philadelpia. lippincott. William &wilkins

Wahyunah. (2011). Hubungan pengetahuan perawat tentang terapi infus dengan


kejadian phlebitis dan kenyamanan pasien di ruang rawat inap
RSUD Indramayu. Tesis Magister tidak diterbitkan. Universitas
Indonesia, Jakarta : Indonesia

Anda mungkin juga menyukai