TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Cedera
merupakan penyebab utama kematian pada masa anak dan mewakili salah satu
penyebab yang paling penting dalam tingkat morbiditas dan mortalitas yang dapat
yang dialami oleh anak merupakan suatu hal yang paling membahayakan. Cedera
dapat terjadi akibat beberapa kejadian seperti tenggelam, kecelakaan lalu lintas,
jatuh dan terbakar, kecelakaan karena keracunan, dan cedera ini dapat menjadi
konsekuensi dari suatu kejadian bencana alam seperti gempa bumi atau badai.
Fakto risiko yang dapat menjadi masalah utama pada anak adalah
lingkungan rumah yang buruk, ruangan bermain yang kurang memadai, pajanan
sampah dan bahan-bahan kimia. Pengurangan risiko pada kejadian cedera ini
11
12
Menurut Jusuf dan Amri (2008) cedera dibagi menjadi tiga kelompok
yaitu kelompok dengan cedera ringan yang tanpa pelayanan medis tidak akan
mengancam jiwanya, kelompok dengan cedera sedang atau berat yang jika diberi
sangat berat atau parah yang walaupun diberi pertolongan tidak akan dapat
menyelamatkannya.
Klasifikasi cedera menurut Giam & The (1992, dalam Graha &
ringan, cedera sedang, dan cedera berat. Cedera ringan atau tingkat pertama di
tandai dengan robekan yang hanya dapat dilihat dengan mikroskop, dengan
keluhan minimal dan hanya sedikit saja atau tidak menganggu penampilan
individu yang berangkutan, misalnya lecet dan memar, cedera sedang atau tingkat
dua ditandai dengan kerusakan jaringan nyeri, bengkak, merah atau panas, dengan
robek, atau strain otot, ligamen robek atau sprain, dan cedera berat atau tingkat
ketiga ditandai dengan robekan lengkap atau hampir lengkap dari otot, ligamen
atau fraktur dari tulang yang memerlukan istirahat total dari pengobatan intensif.
Menurut Giam & The (1992, dalam Graha & Priyonloadi, 2009),
cedera yang disebabkan oleh benturan dengan orang lain atau benda, dan cedera
intrinsik terjadi seluruhnya dari dalam tubuh sendiri, misalnya suatu robekan
sedangkan kejadian cedera lainnya sering terjadi di luar rumah seperti tempat
bermain, sekolah,
atau lokasi lainnya (Bánfai et al, 2015). Menurut Kuschithawati, Megasari, &
Nawi (2007), jenis cedera yang sering dialami oleh anak adalah tergores (31,2%),
diikuti dengan memar (21,1%), dan terkilir (15,2%), sedangkan cedera yang
jarang terjadi pada anak adalah patah tulang (1,1%). Terdapat perbedaan
terjadinya cedera ringan dan berat terhadap laki-laki dan perempuan. Cedera luka
bakar, memar, tergores, luka robek, terkilir, patah tulang, dan kecelakaan lalu
lintas lebih sering terjadi pada anak laki-laki, sedangkan cedera karena tergigit
dan kemasukan benda asing banyak terjadi pada anak perempuan. Jenis cedera
yang lebih dominan pada laki-laki adalah luka robek (61,9%), patah tulang (61%),
Menurut Pierce dan Neil (2006), luka bakar merupakan respon kulit dan
terjadinya luka bakar yaitu trauma suhu panas yang kering (api dan logam panas)
atau lembab (cairan atau gas panas), listrik, bahan panas, dan radiasi.
umur 4 tahun dapat dicegah. Kebanyakan luka bakar yang terjadi pada anak balita
dan pra- sekolah disebabkan oleh cairan dan minyak panas. Luka bakar yang
disebabkan oleh api lebih sering terjadi pada anak berusia 5-14 tahun.
tulang. Patah tulang ditandai dengan rasa nyeri sedang dan terus menerus,
pada tindakan pertolongan patah tulang dan justru mengakibatkan kondisi korban
menjadi lebih
parah, hal ini dikarenakan kurangnya pengetahuan tentang fraktur atau patah
Menurut Purwoko dan Satyanegara (2007), fraktur atau patah tulang bisa
bersifat patahan sebagian atau patahan utuh pada tulang yang disebabkan oleh
terutama pada bagian sikut. Hal ini berkaitan dengan prilaku anak yang impulsif,
dimana mereka akan mengalami patah tulang dan cedera jaringan lunak. Fraktur
bisa menjadi hal yang mengkhawatirkan jika terjadi kerusakan pada masa
pertumbuhan anak, karena hal ini dapat menyebabkan pertumbuhan yang tidak
Yang harus diperhatikan pada anak ketika terjadinya patah tulang yaitu
adanya nyeri tusuk ketika ditekan pada daerah cedera, pembengkakan, adanya
kelainan bentuk pada daerah cedera seperti adanya pembengkokan, dan hilangnya
tulang harus dilakukan dengan sangat berhati-hati. Gerakan pada tulang yang
patah dapat menyebabkan kerusakan jaringan ataupun pembulu darah yang ada
merusak kulit diatasnya. Fraktur ada yang komplet, artinya keutuhan tulangnya
terputus, atau tidak komplet. Bila trauma itu sampai menghancurkan tulang
menjadi tiga atau lebih fragmen atau keping, disebut fraktur kominut. Pada fraktur
impak, ada fragmen yang terpendam dalam substansi yang lain. Ada lagi fraktur
kompresi, dimana tulang itu hancur, umumnya mengenai tulang vertebra. Lain
lagi fraktur depresi, umumnya pada tulang tengkorak, yang masuk ke dalam.
2.1.3.3 Memar
Menurut Purwoko (2007), memar terjadi ketika pembuluh darah kecil dan
sel-sel lain pecah dibawah kulit dan berdarah kedalam otot serta jaringan lunak
lain. Pada awalnya, area memar akan terlihat kemerahan dan mengalami
atau ungu. Ketika darah sudah terserap dalam beberapa hari, area ini akan berubah
menjadi kuning dan memudar. Anak yang mempunyai motorik yang aktif,
terutama terlibat dalam permainan yang keras, anak sering mengalami memar
(kontusio).
parah, terjadi di bagian kepala rawan (atas telinga atau kepala belakang) dan
terjadi pembengkakan parah, segera bawa anak ke rumah sakit (Swasanti & Putra,
2013).
Risiko utama dari gigitan hewan adalah infeksi, termasuk infeksi rabies.
Rabies merupakan virus yang terdapat di dalam ludah hewan yang terinfeksi dan
ditularkan pada manusia melalui gigitan. Penyakit ini dapat mempengaruhi otak
dan sistem saraf, untuk memastikan anak terinfeksi dengan virus ini yaitu dengan
rabies yang diberikan dalam satu seri dari lima suntikan (Puwoko, 2007). Gigi
hewan yang tajam dapat membawa kuman jauh ke dalam kulit anak. Luka gigitan
Terkilir atau keseleo pergelangan kaki adalah cedera jaringan lunak yang
disebabkan oleh kerusakan pada satu atau lebih ligamen dari sendi pergelangan
kaki. Lama pemulihan cedera terkilir dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor
termasuk usia, indeks masa tubuh, dan karakteristik termasuk jenis terkilir, dan
2.1.3.6 Keracunan
keracunan yang disengaja. Secara alami, anak-anak mempunyai rasa ingin tahu,
menjelajah di sekitar rumah. setiap tahun terdapat jutaan panggilan untuk pusat
kendali racun atau dapat disebut juga sebagai pusat informasi racun, ribuan anak-
anak dirawat di unit gawat darurat karena mereka telah secara tidak sengaja
mengacu pada cedera yang dihasilkan dari terkena zat exsogenous yang
membantu untuk mengurangi risiko keracunan yang tidak disengaja maupun yang
disengaja.
kelamin merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya cedera pada
anak–anak, anak laki-laki lebih sering mengalami cedera karena adanya perbedaan
perilaku, sehingga paparan terhadap risiko menjadi lebih besar. Selain itu, anak
perempan memiliki kemapuan motorik lebih halus daripada laki - laki. Cedera
terjadi pada anak laki, sedangkan cedera karena tergigit dan kemasukan benda
asing banyak terjadi pada anak perempuan (Kuschithawati, Magetsari, & Nawi.
2007). Hasil studi yang dilakukan di Provinsi Shandong, China tingkat kejadian
cedera lebih tinggi pada anak laki-laki (81,1 per 1000) dibandingkan perempuan
(54,1 per 1000), sehingga kejadian cedera lebih tinggi anak laki-laki daripada
Menurut Wong (2008), memberikan tiga macam pola asuh yang harus
dari dua model yang ekstrem. Mereka mengarahkan perilaku dan sikap anak
peraturan keluarga. Kontrol orang tua kuat dan konsisten tetapi disertai dengan
pada penarikan rasa cinta atau takut pada hukuman. Orang tua membantu
perasaan bersalah atau malu untuk melakuakan hal yang salah, bukan karena takut
tertangkap atau takut dihukum. Standar realistis orang tua dan harapan yang
masuk akal menghasilkan anak dengan harga diri tinggi dan sangat interaktif
demokratis. Orang tua tidak membuat batasan yang kaku dan memaksa, tetapi
orang tua
dengan anak. Orang tua saling membagi kekuasaan dan kedua orang tua menjadi
pemimpin tetapi mendengarkan apa yang dipikirkan oleh anak (Wong, 2008).
Otoriter atau diktator, orang tua mencoba untuk mengontrol perilaku dan sikap
anak melalui perintah yang tidak boleh di bantah. Mereka menetapkan aturan atau
standar perilaku yang dituntut untuk diikuti dan tidak boleh dipertanyakan.
dengan standar orang tua. Otoritas orang tua dilakukan dengan penjelasan yang
sedikit dan keterlibatan anak yang sedikit dalam mengambil keputusan. Pesannya
penarikan diri dari rasa cinta dan pengakuan. Latihan yang hati-hati sering kali
pemalu, menyadari diri sendiri, cepat lelah, dan tunduk. Mereka cenderung lebih
sopan, setia, jujur, dan dapat di andalkan tetapi mudah dikontrol. Perilaku-
perilaku ini lebih terlihat ketika penggunaan kekuasaan orang tua disertai dengan
pengawasan ketat dan tingkat kasih sayang yang masuk akal. Jika tidak,
anggapan bahwa seorang anak dilahirkan seperti sebuah kuntum bunga, yang
hanya memerlukan kasih sayang yang lembut dan dukungan untuk mekar menjadi
setangkai bunga yang indah. Anak-anak yang hidup dalam filosofi ini cenderung
untuk
mendapatkan apa yang mereka inginkan dan segala pekerjaan dikerjakan untuk
mereka. Banyak dari mereka menjadi orang yang berpusat kepada dirinya sendiri
dan puas terhadap diri sendiri sehingga kurang bertanggung jawab secara sosial
Orang tua dengan pola permisif percaya bahwa ekspresi-ekspresi yang tak
terstruktur dan bebas akan memberikan anak kebebasan untuk dapat menarik
menemukan bahwa bimbingan yang tidak cukup membuat anak-anak tidak tahu
aturan untuk diri mereka sendiri dan harus belajar cara yang sulit melalui cara
mencoba-coba (trial and error). Meskipun orang tua permisif mungkin sangat
salah tentang diri mereka sendiri dirumah, namun akhirnya menemukan bahwa
didalam kehidupan nyata, teman sebaya dan guru tidaklah sebaik orang tua
mereka. Orang tua yang menggunakan pola permisif memiliki perhatian terhadap
yang tidak jelas, pujian-pujian, orang tua lebih memberi pengawasan yang lebih
pengawasan yang cukup darinya. Orang tua cenderung tidak menegur atau
memperingatkan anak apabila anak sedang dalam bahaya, dan sangat sedikit
bimbingan yang diberikan oleh orang tua. Orang tua seringkali mengidolakan
anak mereka sendiri dan percaya bahwa anak mereka akan menemukan cara
mereka sendiri jika dibiarkan sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa anak-anak
harus membuat aturan mereka sendiri. Akan tetapi, cara mencoba-coba adalah
bimbingan orang tua. Dalam kenyataannya, jika mereka tidak mempunyai garis
pedoman atau batasan-batasan, mereka dapat merasa bahwa orang tua mereka
tidak benar- benar peduli terhadap mereka atau masa depan mereka, dukungan
semata adalah tidak cukup. Dibawah filosofi permisif, orang tua seringkali gagal
Pola asuh permisif akan menghasilkan anak yang impulsif, agresif, tidak
patuh, manja, kurang mandiri, mau menang sendiri, kurang percaya diri, dan
Kata laissez faire berasal dari Bahasa Perancis yang berarti membiarkan
(leave alone). Dalam istilah pendidikan, laissez faire adalah suatu sistim di mana
asuhan ini ditandai dengan adanya kebebasan tanpa batas pada anak untuk
Orang tua tidak pernah memberi aturan dan pengarahan kepada anak. Semua
keputusan diserahkan kepada anak tanpa pertimbangan orang tua. Anak tidak tahu
apakah perilakunya benar atau salah karena orang tua tidak pernah membenarkan
keinginanya sendiri, tidak peduli apakah hal itu sesuai dengan norma masyarakat
atau tidak. Pada pola asuh ini anak dipandang sebagai makhluk hidup yang
berpribadi bebas. Anak adalah subjek yang dapat bertindak dan berbuat menurut
hati nuraninya. Orang tua membiarkan anaknya mencari dan menentukan sendiri
apa yang
diinginkannya. Kebebasan sepenuhnya diberikan kepada anak. Orang tua seperti
ini cenderung kurang perhatian dan acuh tak acuh terhadap anaknya. Metode
karena ia diperlakukan terlalu baik oleh orang tuanya, akan menemukan banyak
masalah ketika dewasa. Dalam perkawinan dan pekerjaan, anak-anak yang manja
laku mereka. Ketika mereka kecewa mereka menjadi gusar, penuh kebencian, dan
Adapun ciri-ciri pola asuh laissez faire adalah membiarkan anak bertindak sendiri
tanpa memonitor dan membimbingnya. Mendidik anak acuh tak acuh, bersikap
pasif dan masa bodoh. Mengutamakan kebutuhan material saja, membiarkan saja
apa yang dilakukan anak (terlalu memberikan kebebasan untuk mengatur diri
tua), keakraban dan hubungan yang hangat dalam keluarga sangat kurang.
laissez faire membuat anak merasa boleh berbuat sekehendak hatinya. Anak
memang memiliki rasa percaya yang lebih besar, kemampuan sosial baik, dan
tingkat depresi lebih rendah. Tapi juga akan lebih mungkin terlibat dalam
kenakalan remaja dan memiliki prestasi yang rendah di sekolah. Anak tidak
Menurut Sofyani (2009, dalam Ayu, 2014) banyak orang mengira bahwa
rumah merupakan tempat yang paling aman untuk melindungi anak-anak dari
bahaya dan kejahatan dari luar. Akan tetapi, banyak yang tidak sadar bahwa
sebenarnya cedera ringan maupun berat justru banyak terjadi di dalam rumah.
Lingkungan rumah dilihat dari tiga kriteria yaitu keamanan di dalam rumah dan
Keamanan di dalam rumah dinilai dari ada tidaknya pegangan pada tangga
di dalam rumah, perkakas atau barang tersimpan ditempatnya dan dapat dijangkau
oleh anak atau tidak (Kuschithawati, Magetsari, & Nawi. 2007). Selain itu
menurut Susanti (2015), rumah yang aman adalah rumah yang memiliki lantai dan
karpet yang terpasang dengan baik, permukaan bath-tup atau shower yang tidak
licin.
melibatkan anak dibawah usia 5 tahun. Banyak kecelakaan yang bisa dicegah bila
bahwa jendela-jendela tertutup dan tidak dapat dimasuki anak, tidak pernah
memasukkan bahan pemutih ke dalam botol yang biasanya berisi minuman yang
tidak berbahaya, tidak pernah mengatakan kepada anak bahwa obat-obatan dan
rumah teman atau kerabat, dan meminta izin memindahkan benda-benda yang
(Purwoko, 2015).
Menurut Purwoko (2005), Keamanan tempat di dalam rumah yaitu:
Anak tangga bukan tempat bermain yang aman bagi anak, keseimbangan
seorang anak belum cukup matang untuk membuat anak mampu menuruni anak
tangga dengan aman, yang perlu diperhatikan adalah pastikan mainan tidak
di lorong rumah atau tempat dimana anak anda akan turun jika terbangun di
malam hari, jangan membiarkan anak bermain di tangga karena jarak antar teralis
pada pagar sisinya bisa cikup lebar bagi anak untuk menyelipkan tubuhnya,
memasang pagar pengaman pada kaki dan puncak tangga dengan jarak antar
teralis vertikal pada pagar pengaman ini paling sedikit 10 cm, periksa keamanan
pagar sisi tangga secara teratur, pastikan bahwa pegangan tangannya kuat dan
tidak longgar, periksa karpet pada anak tangga misalnya karpet yang longgar,
2. Pintu depan
membuka pintu jika ada yang mengetuk, letakkan gagang pintu pada tempat yang
tidak terjangkau oleh anak-anak jika anak dapat menjangkau gagang pintu maka
pasang selot tambahan di tempat yang lebih tinggi dan selalu pasang selot
tersebut.
3. Lantai
Lantai ubin yang dipoles atau divernis dapat membahayakan anak. Sebaiknya
pada lantai letakkan jala-jala antilicin di bawah karpet yang mudah lepas, lantai
lorong harus bebas dari mainan dan tumpukan barang-barang, periksa karpet
secara teratur untuk melihat adanya lubang yang dapat menyebabkan kaki anak
tersangkut.
4. Dapur
Dapur merupakan salah satu tempat untuk menghabiskan waktu dengan anak.
Kesibukan yang tiada hentinya dan kegiatan memasak dapat menyebabkan dapur
menjadi tempat yang berbahaya misalnya tempat sampah, jangan biarkan anak-
anak mengaduk isi tempat sampah, letakkan kaleng yang berisi benda tajam, tutup
kaleng, dan pecahan kaca kedalam tempat sampah utama di luar rumah, simpan
5. Ruang duduk
dari bahaya. Jangan meletakkan mainan di tempat yang tinggi karena anak akan
sehingga anak tidak dapat tersandung atau menariknya, menutup semua stop
6. Kamar anak
bantal atau guling sebagai pinggiran anak agar tidak terjatuh, sebaiknya ketika
menggunakan tempat tidur susun di beri batas pinggir tempat tidur, jangan
membiarkan anak bermain di atas tempat tidur susun. Pada bagian jendela kamar
pastikan anak tidak dapat memanjat keluar kamar karena berisiko untuk jatuh.
7. Kamar mandi
Oleh karena itu selalu tutup pintu kamar mandi agar anak tidak ingin
memasukinya,
dibagian dalam pintu pasang selot di tempat yang tinggi untuk mencegah anak
atau sekitar rumah. Keamanan di luar rumah, seperti pencahayaan yang adekuat,
selain itu cedera pada anak–anak bisa terjadi dimana saja antara lain dirumah,
disekolah, di tempat lainnya atau lebih dari satu tempat dan kejadian cedera dapat
terjadi pada waktu kapan saja (Kuschithawati, Magetsari, & Nawi. 2007).
(6,3%), sehingga lokasi atau tempat yang paling sering dan berisiko cedera
mereka. Fokus pada kegiatan umum seperti bermain (34,5%), berjalan (22,1%),
melakukan olahraga dan kegiatan lainnya (17,6%) (Shi et al, 2014). Menurut
Purwoko (2005) Anak berusia 3 tahun dapat belajar bahwa trotoar itu aman dan
jalan itu berbahaya. Anak berusia 5 tahun dapat belajar cara menyeberang jalan
tetapi anak belum dapat mempraktekkan sendiri tanpa di dampingi oleh orang
dewasa.
pencegahan berupa pengawasan dapat dilakuan oleh orang tua, karena anak tidak
memperhatikan bahaya. perlindungan anak dan edukasi orang tua adalah kunci
penentu pencegahan cedera. Pengawasan dari orang tua dinilai dari anak di
izinkan
atau tidak bermain di dapur, di parit, korek api, danada atau tidaknya pengawasan
orang tua yaitu sikap orang tua berpengaruh terhadap risiko cedera pada anak,
dimana sikap orang tua akan menentukan bagaimana orang tua akan bertindak
berada di dekat anak, dan melihat anak dari jendela ketika bermain diluar (Barton
anak- anak memiliki tingkat risiko yang lebih tinggi untuk terjadi cedera karena
kurangnya pengawasan (Shi et al, 2014). Menurut whaley & Wong’s (1991),
faktor risiko lain yang menyebabkan cedera pada anak yaitu ketidakpedulian
orang tua pada anak, usia ibu muda, pengetahuan orang tua, dan stress keluarga.
satu rentang perubahan perkembangan anak yang dimulai dari bayi hingga remaja.
Masa anak merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan yang dimulai dari
masa neonatus (0-28 hari), masa bayi (29 hari-1 tahun), masa anak (1-2 tahun),
masa pra sekolah (3-6 tahun), masa sekolah (6-12 tahun), masa remja (12-18
perkembangan fisik dan kognitifnya yang semakin halus. Pada usia 4 sampai 5
tahun mereka hanya memerlukan sedikit bantuan, jika perlu, untuk berpakaian,
makan, atau ke toilet. Mereka juga dapat dipercaya untuk mematuhi peringatan
bahaya, meskipun anak usia 3 atau 4 tahun kadang-kadang masih melebihi batas.
keluarga dan budaya. Namun, pada akhir masa kanak-kanak awal mereka mulai
nilai-nilai kelompok sebayanya dan figur otoritas lain. Akibatnya, mereka kurang
berkeinginan untuk mematuhi peraturan keluarga. Anak usia pra sekolah menjadi
termuda masih tetap sulit dan memerlukan persiapan yang sesuai (Wong, 2008).
1. Perkembangan Fisik
Pada akhir usia tiga tahun, seoranga anak memiliki tinggi tiga kaki dan 6
inci lebih tinggi saat ia berusia 5 tahun. Berat badannya kira-kira 15 kg dan
diharapkan menjadi 20 kg saat berusia 5 tahun. Tentu ada perbedaan berat dan
tinggi badan pada setiap anak dikarenakan faktor keturunan, efek dari pemberian
nutrisi, dan faktor lain yang dimiliki anak dalam riwayat hidupnya. Anak laki-laki
akan lebih tinggi dan lebih berat daripada anak perempuan, namun hal ini juga
anak. Dalam usia ini otot-otot anak menjadi lebih kuat dan tulang-tulang tumbuh
menjadi besar dan keras. Otak pun telah berkembang sekitar 75% dari berat otak
usia dewasa. Gigi masih merupakan gigi susu dan akan berganti pada
2. Perkembangan Motorik
melompat, naik sepeda roda tiga, mendorong, menarik, memutar, dan berbagai
mencoba berbagai kegiatan dengan keyakinan yang besar akan keterampilan yang
puzzle. Mereka juga bisa menggunakan balok-balok dalam berbagai ukuran dan
bersembunyi dari sesuatu. Pada saat anak berusia 5 tahun, belajar permainan lebih
Sehingga yang cocok pada usia ini permainan yang merangsang kegemaran
2001).
3. Perkembangan Intelektual
anak. Rasa takut muncul dari apa saja yang mengancam ataupun dari hal-hal yang
tidak biasa. Dengan meningkatnya kesadaran diri seorang anak, anak mudah
untuk takut. Rasa takut muncul pada kebanyakan anak usia empat tahun atau lima
meningkatnya rasa takut pada usia ini. Marah seringkali terjadi pada usia kanak-
kanak pertama. Setiap hal yang mengurangi rasa senang anak, konflik dan frustasi
Emosi iri dan cemburu juga sering muncul pada usia tiga sampai empat
tahun. Hal ini timbul karena anak tidak memiliki hal-hal yang dimiliki oleh teman
sebayanya. Bisa terjadi juga karena setiap anak menginginkan mendapat perhatian
dan afeksi. Rasa ingin tahu merupakan kondisi emosional yang baik dari anak.
Ada dorongan pada anak untuk mengeksplorasi dan belajar hal-hal yang baru.
Yang perlu ditekankan bahwa rasa ingin tahu tersebut terkendali, jangan sampai
mekanika yang ada disekitarnya. Usia tiga tahun anak mulai banyak bertanya dan
mencapai puncaknya
pada usia sekitar 6 tahun. Untuk itu usia 3-6 tahun disebut pula sebagai
4. Perkembangan Sosial
Pada usia 3-6 tahun, anak belajar menjalin kontak sosial dengan orang-
orang yang ada diluar rumah, terutama dengan anak sebayanya. Untuk itulah pada
rentang usia ini disebut dengan Pregang Age. Guru mendorong anak untuk
melakukan kontak sosial dengan anak lain dengan cara bermain dan bicara
2001).
Pada awalnya anak bergaul dengan siapa saja yang dipilihnya untuk bisa
untuk bermain dengan temannya yang sama jenis kelaminnya. Pada anak usia pra-
lain. Biasanya orang dewasa yang menemani bermain tidak betul-betul bermain
sehingga bisa dikatakan anak bermain sendiri (Akbar & Hawadi, 2001).
Kebutuhan yang kuat untuk berteman jika terpenuhi, akan diganti oleh
anak sesuai dengan umurnya. Pada anak pra-sekolah, teman penggantinya adalah
nyata memiliki nama, ciri-ciri fisik dan kemampuan yang normal yang dimiliki anak
sebaya. Biasanya, anak cenderung senang dengan teman khayal ini, karena adanya
perbedaan dalam status soaial kehidupan. Usia yang biasa untuk berteman khayal
adalah tiga sampai empat tahun dan diatas usia itu, anak biasanya menggantikan
seluruh bagian sel di seluruh bagian tubuh selama sel-sel tersebut membelah diri
masa percepatan dan masa perlambatan. Peristiwa pertumbuhan anak terjadi pada
besarnya, jumlah, ukuran didalam tingkat sel, organ maupun individu, sedangkan
dunia. Setiap tahap dikaitkan dengan usia dan terdiri atas cara yang jelas dan
yaitu :
1. Tahap sensori motor (umur 0-2 tahun), pada tahap ini anak dapat menerima
Pada masa ini semua benda yang dilihat, dirasakan, disentuh maupun didengar
oleh anak akan diarahkan ke mulut karena rasa keingintahuannya, ini
2. Tahap praoperasional (umur 2-7 tahun), pada tahap ini anak belum mampu
penelitian piaget anak selalu menunjukkan sifat egois seperti anak selalu ingin
memilih sesuatu atau mendapatkan ukuran yang lebih besar meskipun isi
didalamnya sedikit. Pada masa ini pikiran anak bersifat transduktif, dimana
menganggap semua sama, seperti seorang pria didalam keluarga adalah ayah
maka semua pria adalah ayah, pikiran yang kedua bersifar animisme, bahwa
selalu memperhatikan benda mati, seperti ketika anak terbentur benda mati
3. Tahap kongkret (7-11 tahun), pada tahap ini anak sudah berfikir secara nyata
dalam membuat konsep atau hipotesa dan pada masa ini anak dapat
menyamakan argumen dengan orang lain. Sifat egois pada anak sudah mulai
mendapatkan rasa keinginannya. Sifat pikiran pada anak usia ini adalah
4. Formal atau operasional (11 tahun keatas) pada tahap ini pola pikir anak sudah
akan dapat dilihat dari meningkatnya berat badan rata-rata 2 kg dan tinggi badan
rata-rata 6,75-7,50 setiap tahunnya, terlihat kurus akan tetapi aktifitas motoriknya
tinggi,
sistem tubuh yang sudah mencapai kematangan seperti berjalan, melompat, dan
kesulitan untuk makan, proses eleminasi pada anak sudah mulai menunjukkan
dan terlihat anak tidak mampu menilai sesuatu berdasarkan apa yang dilihat, anak
2007).
dan motorik halus. Motorik kasar pada anak prasekolah tidak lagi hanya berdiri
dan bergerak, melainkan akan menggerakkan anggota tubuh lebih percaya diri dan
membawa mereka lebih aktif lagi dimana dengan rasa ingin tahunya untuk ingin
Dari beberapa penelitian menyatakan bahwa usia anak 3-5 tahun adalah
usia dimana anak memiliki tingkat aktivitas yang tinggi, sehingga mereka tidak
ingin diam ketika makan maupun tidur karena aktivitas yang tinggi dan
perkembangan otot-otot besar, seperti pada lengan dan kaki (Santrock, 2011).
menggoyangkan jari kaki, menggambarkan dua atau tiga bagian, memilih garis
yang lebih panjang, menggambar orang, melepas objek dari jari lurus, mampu
menempatkan
objek kedalam wadah, makan sendiri, minum dari cangkir dengan bantuan,
ini di fasilitasi oleh panduan antisipasi yang teapat di area yang telah di
beraliran listrik diganti dengan penjelasan verbal tentang mengapa ada bahaya dan
Selama periode ini juga terjadi transisi emosi antara orang tua dan anak .
meskipun anak masih terikat pada orang tua mereka dan menerima semua nilai
dan kepercayaan orang tua, mereka mendekati periode kehidupan ketika mereka
sebaya. Memasuki sekolah menandai perpisahan dari rumah bagi orang tua
maupun bagi anak. Orang tua perlu bantuan dalam menyesuaikan perubahan ini,
terutama bila ibu tel;ah memusatkan pada aktivitas kewajiban rumah tangga.
Ketika anak prasekolah mulai masuk sekolah dasar, ibu mungkin perlu mencari
karier. Dengan cara ini semua anggota keluarga menyesuaikan diri terhadap
1. Usia 3 tahun
memperluas hubungan
5. Mendorong orang tua untuk memberikan pilihan jika anak tidak yakin
tahun akan berubah ke perilaku agresif, diluar batas pada usia 4 tahun
11. Menekan perlunya perlindungan dan edukasi anak utuk mencegah cedera.
2. Usia 4 tahun
orang tua
menyeramkan.
tahun
3. Usia 5 tahun
lingkungan sekolah.
3. Memastikan bahwa imunisasi tepat waktu sebelum memasuki sekolah.
2.4 Identifikasi Faktor Penyebab Terjadinya Cedera pada Anak Usia 3-6
Tahun
terjadinya cedera pada anak usia sekolah dasar. Tujuan dari penelitian ini adalah
mengidentifikasi jenis cedera dan faktor risiko terjadinya cedera pada anak–anak
sekolah dasar di yogyakarta. Penelitian ini merupakan studi cross sectional yang
(pengambilan sampel melalui beberapa tahap). Hasil penelitian ini memiliki prevalensi
cedera sebesar 42,56 % (luka ringan 36,89% dan luka parah 5,7%). Faktor terkait
dengan kejadian cedera pada anak–anak sekolah dasar yaitu jenis kelamin dan
lingkungan rumah. Jenis cedera yang sering terjadi pada anak–anak sekolah dasar
adalah tergores, memar, terkilir, gigitan hewan, luka bakar, kecelakaan lalu lintas,
patah tulang dan terkena serpihan kecil yang dapat melukai anggota tubuh.
kesehatan yang serius di masyarakat terutama bagi anak-anak dan risiko yang
sering terjadi pada anak laki-laki daripada anak perempuan. Responden pada
penelitian ini berjumlah 170 anak yang pernah mengalami cedera, usia 3 sampai 6
tahun (89 anak laki-laki dan 81 anak perempuan) di ukur secara tidak langsung
dalam dilakukan selama 2 kali yang diisi oleh orang tua mereka. Hasil dari
penelitian menunjukkan bahwa perilaku risiko cedera pada anak laki-laki dan
anak prasekolah
mengidentifikasi kejadian dan faktor risiko cedera pada anak-anak pra sekolah
usia 0-
6 tahun di negara Cina. Metode yang digunakan yaitu penelitiaan secara acak
dilakukan di kota Shenzhen yang terletak di Cina bagian selatan. Target populasi
dalam penelitian ini yaitu anak-anak usia 0-6 tahun di kota Shenzhen. Hasil
kejadian cedera adalah 3,4%. Setelah dilakukan penyesuaian untuk semua variabel
yang dipilih. Faktor risiko pada anak-anak meliputi pekerjaan ayah, anak yang
terlalu aktif, penyimpanan barang yang membahayakan bagi anak, dan faktor
permasalahan yang ada dirumah tentang keamanan bagi anak-anak berusia 24-30
bulan dan 36-42 bulan. Peneliti melakukan penelitian utuk mengetahui bagaimana
hubungan strategi gaya pembelajaran orang tua dan penilaian terkait dengan
faktor- faktor risiko cedera yang tidak disengaja pada anak-anak. Metode yang
struktur keamanan yang berkaitan dengan jatuh, luka bakar, luka, keracunan,
sesak nafas, dan tersedak. Ibu melakuakan identifikasi trhadap anakmya yang
berkaitan dengan masalah keamanan, jenis cedera yang terjadi, dan sejauh mana
tentang masalah keamanan dirumah tidak bervariasi sesuai dengan umur anak, ibu
pengasuhan yang menekankan ekspresi diri dan aturan sendiri. Dengan demikian,
digunakan oleh ibu untuk mengatasi bahaya dirumah. Namun, tipe dari strategi
dapat mempengaruhi risiko cedera pada anak-anak telah menarik perhatian dalam
beberapa waktu dan mempunyai kemajuan yang telah di buat baru-baru ini untuk
pengawasan dan penurunan risiko cedera, tetapi juga menunjukkan bahwa sifat
Tujuan penelitian untuk menelusuri apakah dan bagaimana risiko cedera anak-
anak yang bervariasi sesuai dengan pengawasan yang berbeda (misalnya, ibu vs
ayah vs kakak) dan bagaimana hubungan ini berubah sebagai suatu fungsi dari
sangat penting dalam penelitian ini yang dapat mendukung program dalam