Disusun Oleh :
a. Anatomi
b. Fisiologis Tulang
Tulang adalah jaringan hidup dengan matriks protein kolagen yang telah
diresapi oleh garam-garam menirel khususnya fropat dan kalsium. Tulang
menyokong tubuh dan memegang peranan penitng pada homeostatis
mineral. Protein dalam serabut-serabut kolagen yang membentuk matriks
tulang adalah kompleks. Jumlah yang dekat dari protein dan mineral
keduanya harus tersedia untuk mempertahankan struktur tulang yang
normal (Ganong,1983).
Tulang dewasa terdiri dari 30% bahan organic (hidup) dan 70% endapan
garam. Bahan organic tersebut matriks, dan terdiri lebih dari 90% serat
kolagen dan kurang dari 10% potroglikan (protein plus poloskarida).
Deposit garam terutama adalah kalsium dan fospat, dengan sedikit
natrium, kalium karbonat dan ion magnesium. Garam-garam menutupi
matriks dan berkaitan dengan serat kolagen melalui proteoglikan. Adanya
bahan organic menyebabkan tulang memiliki kekuatan tensil (resistensi
terhadap tarikan yang meregangkan). Sedangkan garam-garam
menyebabkan tulang memiliki kekuatan kompresi (kemampuan menahan
tekanan) (Crowing, 2000).
Sel-sel disebut secara masal di sumsum tulang merah. Pada waktu
kelahiran, tulang spongiosa yang pada usia ini terbatas jumlahnya dan
rongga-ronggaa sumsum tulang-tulang panjang berisi sumsung tulang
merah meluas ke dalamnya, tetapi menyurut dari rongga-rongga semsum
untuk digantikan oleh sumsung kuning di dalam tulang-tulang anggota
badan, setelah itu sumsung merah hanya terbatas pada rangka aksial
tulang tengkorak, ruas tulang belakang, iga, sternum, tulang panggung,
dan ujung atas femur dan humerus (Basmaijan, 1997).
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas tulang atau
tulang rawan umumnya dikarenakan rudapaksa (Mansjoer, 2008). Fraktur
dapat menyebabkan nyeri terus menerus, rasa nyeri bisa timbul hampir
pada setiap area fraktur. Bila tidak diatasi maka dapat menimbulkan efek
yang akan mengganggu proses penyembuhan dan dapat meningkatkan
angka mordibitas dan mortalitas, untuk itu perlu penanganan yang lebih
efektif untuk meminimalkan nyeri yang dialami pasien (Potter & Perry,
2005).
World Health Organization (WHO) mencatat pada tahun 2011-2012
terdapat 5,6 juta orang meninggal dunia dan 1,3 juta orang menderita
fraktur akibat kecelakaan lalu lintas. Penyebab terbanyak fraktur adalah
kecelakaan, baik itu kecelakaan kerja, kecelakaan lalu lintas dan
sebagainya. Di Indonesia angka kejadian patah tulang atau insiden fraktur
cukup tinggi, berdasarkan data dari Departemen Kesehatan RI tahun
2013 didapatkan sekitar 8 juta orang mengalami kejadian fraktur dengan
jenis fraktur yang berbeda dan penyebab yang berbeda. Dari hasil survey
tim Depkes RI didapatkan 25% penderita fraktur yang mengalami
kematian, 45% mengalami catat fisik, 15% mengalami stress psikologis
seperti cemas atau bahkan depresi, dan 10% mengalami kesembuhan
dengan baik (Depkes RI, 2013).
Dampak yang timbul pada pasien dengan fraktur yaitu dapat mengalami
perubahan pada bagian tubuh yang terkena cedera, merasakan cemas
akibat rasa sakit dan rasa nyeri yang dirasakan, resiko terjadinya infeksi,
resiko perdarahan, gangguan integritas kulit, serta berbagai masalah yang
mengganggu kebutuhan dasar lainnya. Selain itu fraktur juga dapat
menyebabkan kematian (Septiani, 2015).
c. Kebutuhan Dasar Manusia (Sesuai Sistem)
Kebutuhan dasar manusia merupakan suatu hal yang harus dipenuhi untuk
meningkatkan derajat kesehatan. Menurut Abraham Maslow manusia
mempunyai lima kebutuhan yang membentuk tingkatan yang dikenal
dengan Hirarki Maslow. Lima kebutuhan Maslow disusun berdasarkan
kebutuhan yang paling penting hingga tidak terlalu krusial, adapun
kebutuhan yang dimaksud meliputi : kebutuhan fisiologis, kebutuhan dan
keselamatan, kebutuhan cinta dan memiliki, kebutuhan harga diri dan
kebutuhan aktualisasi diri.
Tulang memiliki tekstur yang keras dan sangat padar, tidak seperti organ
lain dalam tubuh. Hal ini karena tulang berfungsi untuk melindungi
organ-organ penting di dalam tubuh, seperti otak, paru-paru, dan jantung.
Selain itu, ada banyak fungsi tulang sebagai sistem rangka manusia, di
antaranya adalah untuk menopang dan memberi bentuk tubuh, menunjang
pergerakan tubuh, memproduksi sel darah, dan juga untuk menyimpan
mineral.
Tipe-tipe tulang di dalam tubuh manusia berdasarkan bentuknya, tulang
terbai menjadi empat macam, yaitu tulang pipih, tulang panjang, tulang
pendek, dan dan tulang tidak beraturan (irreguler). Gangguan dan
kelainan pada sistem rangka di antaranya fraktur, osteomielitis, rakitis,
osteoporosis, akromegali, fibrous dysplasia, osteogenesis imperfecta, dan
juga kanker tulang.
Tulang akan kehilangan kekuatannya seiring dengan bertambahnya usia.
Oleh karena itu dpenting untuk selalu menjaga kekuatan tulang dan
kesehatan sistem rangka tubuh dengan melakukan beberapa cara seperti
mengonsumsi makanan tinggi kalium, memenuhi kebutuhan vitamin D,
memakai perlidungan saat berkendara dan berolahraga, berolahraga
secara rutin, serta menghindari rokok dan minuman beralkohol. Dengan
sistem rangka yang sehat, tubuh akan lebih kuat bahkan saat memasuki
usia lanjut. Oleh karena itu, sistem rangka penting untuk selalu dijaga
kesehatannya.
2. Konsep dasar penyakit
a. Definisi
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas tulang atau
tulang rawan umumnya dikarenakan rudapaksa (Mansjoer, 2008). Fraktur
adalah rupturnya kontinuitas struktur dari tulang atau kartilago dengan
tanpa disertai subluksasi fragmen yang terjadi karena trauma atau
aktivitas fisik dengan tekanan yang berlebihan (Ningsih, 2011).
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tualng, retak atau patahnya tulang
yang utuh, yang biasanya disebabkan rudakpaksa/tenaga fisik yang
ditentukan jenis dan luasnya (Lukman & Ningsih, 2009). Fraktur tulang
adalah patah pada tulang. Istilah yang digunakan untuk menjelaskan
berbagai jenis fraktur tulang antara lain fraktur inkomplit, fraktur simple
dan fraktur compound ( Elizabet J. Crowin, Phd, MSN, CNP, 2008).
Fraktur dibedakan menjadi:
1. Fraktur Tertutup adalah fraktur dengan kulit yang tidak tembus oleh
fragmen tulang, sehingga tempat fraktur tidak tercemar oleh lingkungan.
2. Fraktur Terbuka adalah fraktur dengan kulit ekstremitas yang terlibat
telah tembus, dan terdapat hubungan antara fragmen tulang dan dunia
luar. Karena adanya perlukaan kulit. Fraktur terbuka dibagi atas 3 derajat,
yaitu:
a. Grade I : sakit jelas dan sedikit kerusakan kulit, luka <1 cm, kerusakan
jaringan, tidak ada tanda luka remuk, fraktur sederhana, komunikatif
ringan, kontaminasi minimal.
b. Grade II : Fraktur terbuka dan sedikit kerusakan kulit, laserasi <1 cm,
kerusakan jaringan lunak tidak luas, flap, komunikatif sedang,
kontaminasi sedang.
c. Garde III : Banyak sekali jenis kerusakan kulit, otot jaringan saraf dan
pembuluh darah serta luka sebesar 6-8 cm. (Sjamsuhidayat, 2010 dalam
wijaya & putri, 2013)
b. Etologi
Etilogi fraktur berdasarkan klasifikasinya antara lain :
1. Cedera Traumatik
Cedera traumatik pada tulang dapat disebabkan oleh:
a. Cedera langsung berarti pukulan langsung terhadap tulang sehingga
tulang patah secara spontan. Pemukulan biasanya menyebabkan
fraktur melintang dan kerusakan pada kulit diatasnya.
b. Cedara tidak langsung berarti pukulan langsung berada jauh dari
lokasi benturan, misalnya jatuh dengan tangan berjulur dan
menyebabkan fraktur klavikula.
c. Fraktur yang disebakan kontraksi keras yang mendadak dari otot
yang kuat.
2. Fraktur Patologik
Dalam hal ini kerusakan tulang akibat proses penyakit dimana dengan
trauma minor dapat menyebabkan fraktur, seperti:
a. Tumor tulang (jinak dan ganas), yaitu pertumbuhan jaringan baru
yang tidak terkendali dan progresif.
b. Infeksi seperti mosteomyelitis, dapat terjadi sebagai akibat dari
infeksi akut atau dapat timbul sebagai salah satu proses yang
progresif, lambat dan sakit nyeri.
c. Rakhitis merupakan suatu penyakit tulang yang disebabkan oleh
defisiensi Vitamin D.
d. Stress tulang seperti pada penyakit polio dan orang yang bertugas
di kemiliteran. Sachdeva, 2002 dalam Kristiyansari, 2012)
G3 pola tidur
tidur
d. Manifestasi Klinis
1. Nyeri karena kerusakan jaringan dan perubahan struktur yang
meningkat karena penekanan sisi-sisi fraktur dan pergerakan bagian
fraktur.
2. Deformitas (perubahan struktur dan bentuk) disebakan oleh
ketergantungan fungsional otot pada kesetabilan otot.
3. Pembengkakan akibat vasodilatasi, eksudasi plasma dan adanya
peningkatan leukosit pada jaringan disekitar tulang.
4. Saat ektremitas diperiksa di tangan, teraba adanya derik tulang
dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu
dengan lainnya.
5. Kurang sensasi yang dapat terjadi karena adanya gangguan saraf,
dimana saraf ini dapat terjadi atau terputus oleh fragmen tulang.
6. Hilangnya atau berkurangnya fungsi normal karena ketidakstabilan
tulang, nyeri atau spasme otot.
7. Krepitasi sering terjadi karena pergerakan bagian fraktur sehingga
menyebabkan kerusakan jaringan sekitarnya.
8. Pergerakan abnormal.
9. Spasme otot karena tingkat kecatatan, kekuatan otot yang sering
disebabkan karena tulang menekan otot. (Mansjoer, Arif, 2014)
f. Penatalaksanaan
Prinsip menangani fraktur adalah mengembalikan posisi patahan ke
posisi semula dan mempertahankan posisi itu selama masa
penyembuhan patah tulang. Cara pertama penanganan adalah proteksi
saja tanpa reposisi atau imobilisasi, misalnya menggunakan mitela.
Biasanya di lakukan pada fraktur iga dan fraktur klavikula pada anak.
Cara kedua adalah imobilisasi luar tanpa reposisi, biasanya di lakukan
pada patah tulang tungkai bawah tanpa dislokasi. Cara ketiga adalah
reposisi dengan cara manipulasi yang diikuti dengan imobilisasi,
biasanya di lakukan pada patah tulang radius distal. Cara keempat adalah
reposisi dengan traksi secara terus menerus selama masa tertentu. Hal ini
dilakukan pada patah yang apabila direposisi akan terdislokasi di dalam
gips. Cara kelima berupa reposisi yang diikuti imobilisasi dengan fiksasi
luar. Cara keenam berupa reposisi secara non-operatif diikuti dengan
pemasangan fiksator tulang secara operatif. Cara ketujuh berupa reposisi
secara operatif diikuti dengan fiksasi interna yang bisa disebut dengan
ORIF (Open Reduction Internal Fixation). Cara yang terakhir berupa
eksisi figmen patahan tulang dengan prostesis (Sjamsuhidayat dkk,
2010)
1. Penatalakasanaan Konservatif
a. Proteksi adalah proteksi fraktur yang mencegah trauma lebih lanjut
dengan cara memberikan sling (mitela) pada anggota gerak atas atau
tongkat apada anggota gerak bawah.
b. Imobilisasi dengan bidang eksterna. Imobilisasi pada fraktur dengan
bidai eksterna hanya memberikan imobilisasi. Biasanya menggunakan
gips atau macam-macam bidai dari plastik atau metal.
c. Reduksi tertutup dengan menggunakan manipulasi dan imobilisasi
ekterna dengan menggunakan gips. Reduksi tertutup yang diartikan
manipulasi dilakukan dengan pembiusan umum dan lokal.
d.Reduksi tertutup dengan traksi kontinu dan counter traksi, tindakan ini
mempunyai tujuan utama, yaitu beberapa reduksi yang bertahap
imobilisasi.
2. Penatalaksanaan Pembedahan
a. Reduksi tertutup dengan fiksasi perkuatan atau K-Wire.
b.Reduksi terbuka dengan fiksasi internal dan fiksasi eksternal tulang
h. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri fisik, spasme otot, gerakan
fragmen tulang, edema, cedera jaringan lunak, pemasangan traksi,
cedera otot, cedera medulla spinalis, fraktur.
b. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan fraktur terbuka,
pemasangan traksi (pen, kawat, sekrup).
c. Hamabatan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan rangka
neuromuscular, nyeri, gangguan musculoskeletal, gangguan
neuromuscular, kenggenan memulai pergerakan, terapirestriktif
(imobilisasi).
d. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan neuromuscular
dan penurunan kekuatan otot.
e. Resiko infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan
primer, perubahan sirkulasi, kadar gula darah yang tinggi, prosedur
invasive dan kerusakan kulit.
f. Resiko syok hipovolemik berhubungan dengan kehilangan volume
darah akibat trauma (fraktur).
g. Gangguan pola tidur berhubungan dengan halangan lingkungan, trauma,
imobilisasi.
h. Gangguan body image berhubungan dengan deformitas tulang
i. Perencanaan Keperawatan
a. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri fisik, spasme otot, gerakan
fragmen tulang, edema, cedera jaringan lunak, pemasangan traksi.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam nyeri
dapat terkontrol.
Kriteria Hasil: Skala nyeri menurun, ekspresi wajah tidak menahan
nyeri, tanda-tanda vital normal.
Intervensi:
1) Kaji secara menyeluruh tentang nyeri termasuk lokasi, durasi,
frekuensi, intensitas, dan faktor penyebab.
2) Observasi isyarat non verbal dari ketidaknyamanan terutama jika
tidak dapat berkomunikasi secara efektif.
3) Berikan informasi tentang nyeri seperti penyebab nyeri, berapa lama
akan berakhir dan antisipasi ketidaknyamanan dari prosedur.
4) Berikan posisi yang nyaman
5) Ajarkan teknik non farmakologi (misalnya: relaksasi, guide, imagery,
terapi musik, distraksi)
6) Kolaborasikan pemberian analgetik
b. Resiko infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan
primer, perubahan sirkulasi, kadar gula darah yang tinggi, prosedur
invasive dan kerusakan kulit.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam
resiko infeksi dapat terkontrol.
Kriteria Hasil: Mampu mengidentifikasi potensial resiko infeksi, tidak
ada tanda-tanda infeksi.
Intervensi:
1) Monitor tanda dan gejala infeksi
2) Pertahankan tehnik isolasi yang sesuai
3) Bersihkan lingkungan dengan baik setelah digunakan untuk pasien
4) Berikan terapi antibiotik yang sesuai
5) Ajarkan pasien dan anggota keluarga mengenai bagaimana
menghindari infeksi
6) Ajarkan pasien dan anggota keluarga mengenai bagaimana tanda dan
gejala infeksi
7) Pastikan perawatan luka yang tepat dorong intake nutrisi yang tepat
c. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan rangka
neuromuscular, nyeri, gangguan musculoskeletal, gangguan
neuromuscular, kenggenan memulai pergerakan, terapirestriktif
(imobilisasi).
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam
mobilitas fisik dapat terkontrol.
Kriteria Hasil: Keseimbangan penampilan memposisikan tubuh, mampu
menggerakan sendi dan otot secara perlahan.
Intervensi:
1) Monitor pasien dalam menggunakan alat bantujalan yang lain
2) Bantu pasien untuk menggunakan fasilitas alat bantu jalan dan cegah
kecelakaan atau jatuh.
3) Instruksikan pasien/pemberi pelayanan ambulansi tentang teknik
ambulansi.
4) Tempatkan tempat tidur pada posisi yang mudah dijangkau/diraih
pasien.
5) Kolaborasikan dengan fisioterapi tentang rencana ambulansi sesuai
kebutuhan
d. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan fraktur terbuka,
pemasangan traksi (pen, kawat, sekrup).
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam
gangguan integritas kulit teratasi.
Kriteria Hasil: Lesi dikulit tidak melebar, warna kulit tidak pucat, kulit
elastis
Intervensi:
1) Observation ekstremitas oedema, ulserasi, kelembaban
2) Monitor warna kulit, temperature, elastisitas.
3) Monitor kondisi insisi bedah
4) Monitor kulit pada daerah kerusakan dan kemerahan
5) Berikan perawatan luka yang teratur
e. Gangguan pola tidur berhubungan dengan halangan lingkungan, trauma,
imobilisasi.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 pola tidur
kembali normal.
Kriteria Hasil: Tidur 7-8 jam per hari, tidak ada gangguan tidur.
Intervensi:
1) Obseravsi faktor penyebab
2) Posisikan pasien memfasilitasi kenyamanan (imobilisasi bagian tubuh
yang nyeri)
3) Jelaskan pentingnya tidur yang adekuat
4) Ciptakan lingkungan yang nyaman, tenang dan mendukung
5) Ajarkan klien atau orang terdekat tentang faktor lain yang dapat
menyebabkan gangguan pola tidur
f. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan neuromuscular
dan penurunan kekuatan otot.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam
defisist perawatan diri teratasi.
Kriteria Hasil: personal hygine baik.
Intervensi:
1) Kaji kemampuan untuk menggunakan alat bantu
2) Kaji kondisi kulit
3) Ajarkan pasien/keluarga penggunaan metode alternatif untuk mandi
dan hygine mulut
4) Libatkan keluarga dalam penentuan rencana
g. Resiko syok hipovolemik berhubungan dengan kehilangan volume
darah akibat trauma (fraktur).
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam tidak
terjadi syok hipovolemik.
Kriteria Hasil: turgor kulit baik, tidak ada tanda-tanda dehidrasi, TTV
normal, keseimbangan cairan ditubuh.
Intervensi:
1) Kaji TTV
2) Observasi tanda - tanda dehidrasi
3) Monitor adanya sumber kehilangan cairan
4) Dukung asupan cairan oral
5) Berikan cairan IV isotonic yang diresepkan
6) Kolaborasi dalam pemberian transfusi, pemberian koagulantia dan
uterotonika
h. Gangguan body image berhubungan dengan perubahan fungsi tubuh.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam.
Kriteria Hasil: Body image positif, mampu mengidentifikasi kekuatan
personal, mendiskripsikan secara manual perubahan fungsi tubuh.
Intervensi:
1) Kaji secara verbal dan non verbal respon klien terhadap tubuhnya
2) Monitor frekuensi mengkritik dirinya jelaskan tentang pengobatan,
perawatan, kemajuan dan prognosis penyakit
3) Identifikasi arti pengurangan melalui pemakaian alat bantu
4) Berikan penilaian mengenai pemahaman pasien terhadap proses
penyakit
5) Bantu pasien untuk mendiskusikan perubahan (bagian tubuh)
disebabkan adanya penyakit atau pembedahan dengan cara yang tepat
6) Dorong klien mengungkapkan perasaannya
DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddarth. 2013. Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 12. Jakarta: EGC
Muttaqin, Arif. 2012. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan
Sistem Kardiovaskular Dan Hematologi. Jakarta: Salemba Medika
Anna Budi Keliat, Dkk. 2018. Nanda-I Diagnosa Keperawatan Definisi Dan
Klasifikasi 2018-2020. EGC: Jakarta