Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN INDIVIDU

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN


PASIEN DENGAN FRAKTUR

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Laporan Individu


Praktek Klinik Keperawatan Medikal Bedah II

Oleh :

Nama : FITRI MULYANINGSIH


NIM : P17210184110

PRODI D-III KEPERAWATAN MALANG


JURUSAN KEPERAWATAN
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG
TAHUN AJARAN 2020/2021
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Pendahuluan dan Asuhan Keperawatan pada Pasien


dengan Diagnosa Medis …………………. Di ………………..
periode ……… s/d ………... Tahun Ajaran 2020/2021

Telah disetujui pada tanggal …… Bulan ……………Tahun……..

Malang,
Preceptor Akademik

…………………………
NIP.
LAPORAN PENDAHULUAN
FRAKTUR

A. Pengertian
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan
luasnya. Fraktur dapat disebabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk dan
kontraksi otot ekstrem. Saat tulang patah, jaringan disekitar akan terpengaruh, yang
dapat mengakibatkan edema pada jaringan lunak, dislokasi sendi, kerusakan saraf.
Organ tubuh dapat mengalami cedera akibat gaya yang disebabkan oleh fraktur atau
akibat fragmen tulang (Brunner & Suddart, 2013).
Fraktur menurut Smeltzer (2013) adalah terputusnya kontiunitas tulang dan
ditentukan sesuai jenis nya. Fraktur adalah terputusnya kontiunitas tulang, retak atau
patah pada tulang yang utuh, yang biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga
fisik yang ditentukan jenis dan luasnya trauma.
Fraktur ekstremitas adalah fraktur yang terjadi pada tulang yang membentuk
lokasi ekstremitas atas (tangan, pergelangan tangan, lengan, siku, lengan atas dan
bahu) dan ekstremitas bawah (pinggul, paha, lutut, kaki bagian bawah, pergelangan
kaki) (UT Southwestern Medical Center, 2016).

B. Etiologi
Penyebab fraktur adalah trauma, yang dibagi atas trauma langsung, trauma tidak
langsung, dan trauma ringan. Trauma langsung yaitu benturan pada tulang, biasanya
penderita terjatuh dengan posisi miring dimana daerah 7 trokhater mayor langsung
terbentur dengan benda keras (jalanan). Trauma tak langsung yaitu titik tumpuan
benturan dan fraktur berjauhan, misalnya jatuh terpeleset di kamar mandi. Trauma
ringan yaitu keadaan yang dapat menyebabkan fraktur bila tulang itu sendiri sudah
rapuh atau underlying eases atau fraktur patologis. Menurut Wahid (2013),
penyebab fraktur meliputi :
1. Kekerasan Langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya kekerasan.
Fraktur demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis patah melintang atau
miring.
2. Kekerasan Tidak Langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari
tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian yang paling lemah
dalam jalur hantaran vektor kekerasan.
3. Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan dapat berupa
pemuntiran, penekukan, dan penekanan, kombinasi dari ketiganya dan penarikan.

C. Klasifikasi
Klasifikasi fraktur menurut (Wahid, 2013) adalah :
1. Berdasarkan komplit atau ketidakkomplitan fraktur.
a. Fraktur komplit, bila garis patah melalui seluruh penampang tulang atau
melalui kedua korteks tulang seperti terlihat pada foto.
b. Fraktur inkomplit, bila garis patah tidak melalui seluruh penampang tulang
seperti:
c. Hairline fracture/stress fracture adalah salah satu jenis fraktur tidak lengkap
pada tulang. Hal ini disebabkan oleh ‘stres yang tidak biasa atau berulang-
ulang’ dan juga karena berat badan terus menerus pada pergelangan kaki
atau kaki.
d. Buckle atau torus fracture, bila terjadi lipatan dari satu korteks dengan
kompresi tulang spongiosa dibawahnya.
e. Green stick fracture, mengenai satu korteks dengan angulasi korteks lainnya
yang terjadi pada tulang panjang.
2. Berdasarkan bentuk garis patah dan hubungannya dengan mekanisme trauma.
a. Fraktur transversal: fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan
merupakan akibat trauma angulasi atau langsung.
b. Fraktur oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut terhadap
sumbu tulang dan merupakan akibat trauma angulasi juga.
c. Fraktur spiral: fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral yang
disebabkan trauma rotasi.
d. Fraktur kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma tarikan atau traksi otot
pada insersinya pada tulang.
e. Fraktur avulsi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang
mendorong tulang kearah permukaan lain.
3. Berdasarkan jumlah garis patah.
a. Fraktur komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling
berhubungan.
b. Fraktur segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tetapi tidak
berhubungan.
c. Fraktur multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tetapi tidak pada
tulang yang sama.
4. Berdasarkan pergeseran fragmen tulang.
a. Fraktur undisplaced (tidak bergeser): garis patah lengkap tetapi kedua
fragmen tidak bergeser dan periosteum masih utuh.
b. Fraktur displace (bergeser): terjadi pergeseran fragmen tulang juga disebut
lokasi fragmen.
5. Berdasarkan posisi fraktur.
Sebatang tulang terbagi menjadi 3 bagian yaitu 1/3 proksimal, 1/3 medial, dan
1/3 distal
6. Berdasarkan sifat fraktur (luka yang ditimbulkan).
a. Fraktur terbuka (open/Compound), bila terdapat hubungan antar hubungan
antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan kulit.
b. Fraktur tertutup (closed), dikatakan tertutup bila tidak terdapat hubungan
antara fragmen tulang dengan dunia luar, disebut dengan fraktur bersih
(karena kulit masih utuh) tanpa komplikasi. Pada fraktur tertutup ada
klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan jaringan lunak sekitar
trauma, yaitu:
(1) Tingkat 0 : fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera
jaringan lunak sekitarnya.
(2) Tingkat 1 : fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan
jaringan subkutan.
(3) Tingkat 2 : fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak
bagian dalam dan pembengkakan.
(4) Tingkat 3 : Cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang
nyata dan ancaman sindroma kompartement.

D. Patofisiologi
Fraktur adalah gangguan pada tulang yang disebabkan oleh trauma langsung,
tidak langsung, kontraksi otot dan kondisi patologis. Pergeseran fragmen tulang
akibat fraktur dapat menimbulkan nyeri akut. Hal ini juga dapat menyebabkan
tekanan pada sumsum tulang lebih tinggi dari kapiler lalu melepaskan katekolamin
yang dapat mengakibatkan metabolisme asam lemak yang menyebabkan emboli dan
penyumbatan pembuluh darah. Spasme otot dapat meningkatkan tekanan kapiler
lalu menyebabkan protein plasma hilang karena pelepasan histamine yang akhirnya
menyebabkan edema. Pergeseran fragmen tulang mengakibatkan gangguan fungsi
ekstremitas. Laserasi kulit dapat menyebabkan infeksi, putusnya arteri atau vena
saat terjadi fraktur dapat menyebabkan kehilangan volume cairan (perdarahan) yang
berakibat terjadi syok hipovolemik. Proses pemulihan fraktur menurut Muttaqin,
(2013) meliputi:

1. Fase Inflamasi
Fase inflamasi terjadi segera setalah luka dan berakhir 3-4 hari, dua proses
utama yang terjadi pada fase ini yaitu hemostasis dan fagositosis. Hemostasis
(penghentian perdarahan) terjadi akibat fase kontriksi pembuluh darah besar
didaerah luka. Bekuan darah dibentuk oleh trombosit yang menyiapkan matriks
fibrin yang menjadi kerangka bagi pengambilan sel. Fagositosis merupakan
perpindahan sel, leokosit ke daerah interestisial. Tempat ini di tempati oleh
makrofag yang keluar dari monosit selama kurang lebih 24 jam setelah cedera.
Makrofag juga mengeluarkan faktor angiogenesis yang merangsang pembentukan
ujung epitel diakhir pembuluh darah akan mempercepat proses penyembuhan.
2. Fase Polifrasi
Fase polifrasi yaitu sel-sel berpolifrasi dari lapisan dalam periosteum sekitar lokasi
fraktur sel-sel ini menjadi osteoblast, sel ini aktif tumbuh kearah fragmen tulang dan
juga terjadi di jaringan sumsum tulang. Fase ini terjadi setelah hari ke-2 pasca
fraktur.
3. Fase Pembentukan Kallus
Pada fase ini pertumbuhan jaringan berlanjut dan lingkaran tulang rawan
tumbuh mencapai sisi lain sampai celah sudah terhubungkan. Fragmen patahan
tulang dihubungkan dengan jaringan fibrus. Diperlukan waktu 3 sampai 4 minggu
agar fragmen tulang tergabung dalam tulang rawan atau jaringan fibrus. Secara
klinis fragmen tulang sudah tidak bisa digerakkan lagi.
4. Fase Konsolidasi
Pada fase ini kallus mengeras dan terjadi proses konsolidasi, fraktur teraba telah
menyatu secara bertahap menjadi tulang mature. Fase ini terjadi pada minggu ke 3-
10 setelah fraktur.
5. Fase Remodeling
Pada fase remodeling ini perlahan-lahan terjadi resorpsi secara osteoklastik dan
osteoblastik pada tulang serta kallus eksterna secara perlahan-lahan menghilang.
Kallus intermediet berubah menjadi tulang yang kompak dan kallus bagian dalam
akan mengalami peronggaan untuk membentuk sumsum. Pada fase remodeling ini
dimulai dari minggu ke 8-12.

E. Tanda dan Gejala


Tanda dan gejala yang muncul pada klien fraktur yaitu tidak dapat menggunakan
anggota gerak, nyeri pembengkakan, terdapat trauma (kecelakaan lalu lintas), jatuh
dari ketinggian atau jatuh dikamar mandi pada orang tua, penganiayaan, tertimpa
benda berat, kecelakaan kerja, trauma olah raga, gangguan fungsio anggota gerak,
deformitas, kelainan gerak keluar, krepitasi atau datang dengan gejala-gejala lain
(NANDA, 2015).
F. Pathway

Pathway fraktur
(Sumber : Nurarif Dan Kusuma, 2015)

G. Pemeriksaan Penunjang
Menurut (Rasjad, Chairuddin. 2012), pemeriksaan penunjang fraktur berupa :

1. Pemeriksaan radiologis (rontgen), pada daerah yang dicurigai fraktur, harus


mengikuti aturan role of two, yang terdiri dari :
• Mencakup dua gambaran yaitu anteroposterior (AP) dan lateral.
• Memuat dua sendi antara fraktur yaitu bagian proximal dan distal.
• Memuat dua extremitas (terutama pada anak-anak) baik yang cidera
maupun yang tidak terkena cidera (untuk membandingkan dengan yang
normal)
• Dilakukan dua kali, yaitu sebelum tindakan dan sesudah tindakan.
2. CT scan : pemeriksaan bidang tertentu tulang yang terkena dan dapat
memperlihatkan jaringan lunak atau cedera ligament atau tendon.
3. X - Ray : menentukan lokasi, luas, batas dan tingkat fraktur.
4. Pemeriksaan laboratorium, meliputi:
• Darah rutin,
• Faktor pembekuan darah,
• Golongan darah (terutama jika akan dilakukan tindakan operasi),
• Urinalisa,
• Kreatinin (trauma otot dapat meningkatkan beban kreatinin untuk aliren
ginjal).
5. Pemeriksaan arteriografi dilakukan jika dicurigai telah terjadi kerusakan
vaskuler akibat fraktur tersebut.

H. Penatalaksanaan Medis
Prinsip penanganan fraktur meliputi :
1. Rekognisi (Pengenalan )
Riwayat kecelakaan, derajat keparahan, harus jelas untuk menentukan diagnosa
dan tindakan selanjutnya. Contoh pada tempat fraktur tungkai akan terasa
nyeri sekali dan bengkak. Kelainan bentuk yang nyata dapat menentukan
diskontinuitas integritas rangka.
2. Reduksi
Reduksi fraktur berarti mengembalikan fragmen tulang pada
kesejajarannya dan rotasi anatomis. Reduksi tertutup, mengembalikan fragmen
tulang keposisinya (ujung-ujungnya saling berhubungan) dengan manipulasi dan
traksi manual. Alat yang digunakan biasanya traksi, bidai dan alat yang lainnya.
Reduksi terbuka, dengan pendekatan bedah. Alat fiksasi interna dalam bentuk pin,
kawat, sekrup, plat, paku .
Ada dua jenis reposisi, yaitu reposisi tertutup dan reposisi terbuka. Reposisi
tertutup dilakukan pada fraktur dengan pemendekan, angulasi atau displaced.
Biasanya dilakukan dengan anestesi lokal dan pemberian analgesik. Selanjutnya
diimobilisasi dengan gips. Bila gagal maka lakukan reposisi terbuka dikamar operasi
dengan anestesi umum.Kontra indikasi reposisi tertutup:
a. Jika dilakukan reposisi namun tidak dapat dievaluasi
b. Jika reposisi sangat tidak mungkin dilakukan
c. Jika fraktur terjadi karena kekuatan traksi, misalnya displaced patellar
fracture.
3. Retensi (Imobilisasi)
Imobilisasi dapat dilakukan dengan metode eksterna dan interna
mempertahankan dan mengembalikan fungsi status neurovaskuler selalu dipantau
meliputi peredaran darah, nyeri, perabaan, gerakan. Perkiraan waktu imobilisasi
yang dibutuhkan untuk penyatuan tulang yang mengalami fraktur adalah sekitar 3
bulan.
Kebanyakan fraktur ekstremitas dapat diimobilisasi dengan dengan gips
fiberglas atau dengan brace yang tersedia secara komersial. Pemasangan gips yang
tidak tepat bisa menimbulkan tekanan kuIit, vascular, atau saraf. Semua pasien
fraktur diperiksa hari berikutnya untuk menilai neurology dan vascular.
Bila traksi digunakan untuk reduksi, maka traksi juga bertindak sebagai
imobilisasi dengan ektremitas disokong di atas ranjang atau di atas bidai sampai
reduksi tercapai. Kemudian traksi diteruskan sampai ada penyembuhan yang
mencukupi, sehingga pasien dapat dipindahkan memakai gips/brace.
4. Rehabilitasi
Menghindari atropi dan kontraktur dengan fisioterapi. Segala upaya diarahkan
pada penyembuhan tulang dan jaringan lunak. Reduksi dan imobilisasi harus
dipertahankan sesuai kebutuhan. Pengembalian secara bertahap pada aktivitas
semula diusahakan untuk sesuai batasan. Fiksasi interna memungkinkan mobilisasi
lebih awal (NANDA, 2015).
I. Konsep Dasar Keperawatan
1. Fokus Pengkajian
Menurut (Nurarif & Hardhi, 2015) pengkajian merupakan tahap awal dan
landasan dalam proses keperawatan, untuk itu diperlukan kecermatan dan
ketelitian tentang masalah-masalah klien sehingga dapat memberikan arah
terhadap tindakan keperawatan. Keberhasilan proses keperawatan sangat
bergantuang pada tahap ini. Tahap ini terbagi atas:
 Data Subjektif
o Anamnesa :
1) Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai,
status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no.
register, tanggal MRS, diagnosa medis.
2) Keluhan Utama
Biasanya klien dengan fraktur akan mengalami nyeri saat beraktivitas /
mobilisasi pada daerah fraktur tersebut
3) Riwayat Penyakit Sekarang
Pada klien fraktur / patah tulang dapat disebabkan oleh trauma /
kecelakaan, degeneratif dan pathologis yang didahului dengan perdarahan,
kerusakan jaringan sekitar yang mengakibatkan nyeri, bengkak, kebiruan,
pucat / perubahan warna kulit dan kesemutan.
4) Riwayat Penyakit Dahulu
Pada klien fraktur pernah mengalami kejadian patah tulang atau tidak
sebelumnya dan ada / tidaknya klien mengalami pembedahan perbaikan dan
pernah menderita osteoporosis sebelumnya
5) Riwayat Penyakit Keluarga
Pada keluarga klien ada / tidak yang menderita osteoporosis, arthritis dan
tuberkolosis atau penyakit lain yang sifatnya menurun dan menular
o Pola-pola Fungsi Kesehatan
1. Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketakutan akan terjadinya kecacatan pada
dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk membantu
penyembuhan tulangnya. Selain itu, pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup
klien seperti penggunaan obat steroid yang dapat mengganggu metabolisme
kalsium, pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu keseimbangannya
dan apakah klien melakukan olahraga atau tidak
2. Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan sehari-
harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya untuk membantu
proses penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi klien bisa
membantu menentukan penyebab masalah muskuloskeletal dan
mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat terutama kalsium
atau protein dan terpapar sinar matahari yang kurang merupakan faktor
predisposisi masalah muskuloskeletal terutama pada lansia. Selain itu juga
obesitas juga menghambat degenerasi dan mobilitas klien.
3. Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur tidak ada gangguan pada pola eliminasi, tapi
walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau feces
pada pola eliminasi alvi. Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji frekuensi,
kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini juga dikaji ada
kesulitan atau tidak.
4. Pola Tidur dan Istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal ini
dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu juga, pengkajian
dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan
kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur.
5. Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk kegiatan
klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh orang
lain.
6. Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat.
Karena klien harus menjalani rawat inap
7. Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakuatan akan
kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk
melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang
salah (gangguan body image)
8. Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal
fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul gangguan. begitu juga pada
kognitifnya tidak mengalami gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri
akibat fraktur
9. Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan
seksual karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa
nyeri yang dialami klien. Selain itu juga, perlu dikaji status perkawinannya
termasuk jumlah anak, lama perkawinannya
10. Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu
ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme
koping yang ditempuh klien bisa tidak efektif.
11. Pola Tata Nilai dan Keyakinan
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah dengan
baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan karena nyeri
dan keterbatasan gerak klien.

 Data obyektif
1. keadaan Umum: apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis tergantung
pada keadaan klien.
2. Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi maupun
bentuk.
3. pemeriksaan fisik :
a. Sistem Integumen : Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma
meningkat, bengkak, oedema, nyeri tekan.
b. Kepala : Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada
penonjolan, tidak ada nyeri kepala.
c. Leher : Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek
menelan ada.
d. Muka : Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan
fungsi maupun bentuk. Tak ada lesi, simetris, tak oedema.
e. Mata : Terdapat gangguan seperti konjungtiva anemis (jika terjadi
perdarahan)
f. Telinga : Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada
lesi atau nyeri tekan.
g. Hidung : Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung
h. Mulut dan Faring : Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi
perdarahan, mukosa mulut tidak pucat.
i. Thoraks : Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.
j. Paru :
• Inspeksi Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung pada
riwayat penyakit klien yang berhubungan dengan paru.
• Palpasi Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.
• Perkusi Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan lainnya.
• Auskultasi Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara tambahan
lainnya seperti stridor dan ronchi.
k. Jantung
• Inspeksi Tidak tampak iktus jantung.
• Palpasi Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
• Auskultasi Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.34
l. Abdomen
• Inspeksi Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
• Palpasi Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba.
• Perkusi Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.
• Auskultasi Peristaltik usus normal ± 20 kali/menit.
m. Inguinal-Genetalia-Anus : Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe,
tak ada kesulitan BAB.

2. Fokus Diagnosa
a. Nyeri Akut b.d Agen cedera fisik di tandai dengan pasien tampak meringgis,
gelisah.
b. Resiko Infeksi b.d kerusakan integritas kulit.
c. Gangguan Mobilitas Fisik b.d kerusakan integritas struktur tulang di tandai
dengan pasien nyeri saat bergerak.
d. Gangguan integritas kulit/jaringan b.d kelembabpan di tantai dengan klien
tanpak nyeri, perdarahan, kemerahan
e. Risiko Disfungsi Neorovaskuler perifer b.d fraktur, penekanan klinis
(balutan)
f. Resiko pedarahan b.d trauma dan tindakan pembedahan
g. Kurang pengetahuan b.d kurang terpapar informasi di tandai dengan klien
tanpak menunjukan prilaku tidak sesuai dengan anjuran dan menunjukan
prilaku berlebihan

3. Fokus Intervensi
a. Nyeri Akut b.d Agen cedera fisik di tandai dengan pasien tampak meringgis,
gelisah.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan Keperawatan 3x24 jam diharapkan nyeri
menurun
Kriteria hasil : Tingkat Nyeri
• Keluhan nyeri menurun (5)
• Gelisah menurun (5)
• Meringis menurun (5)
• Kesulitan tidur menurun (5)
• Pola tidur membaik (5)
Kontrol Nyeri
• Kemampuan mengunakan teknik non-farmakologis meningkat (5)
• Dukungan orang terdekat meningkat (5)
• Pengunaan analgetik menurun (5)
Penyembuhan luka
• Pembentukan jaringan parut menurun.
• Peradangan luka menurun (5)
• Peningkatan suhu kulit menurun (5)
• Infeksi menurun (5)
Intervensi :
1. Observasi
• Identifikasi local, karakteristik,durasi,frekuensi, kualitas, intensitas nyeri,
• Identifikasi nyeri.
• Identifikasi respon nyeri non verbal.
• Identifikasi factor yang memperberat dan memperingan nyeri.
• Monitor efek samping penggunaan analgetik.
2. Terapeutik
• Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri (mis.tarik
napas dalam, kompres hanagat/dingin)
• Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri
• Fasilitasi istirahat dan tidur.
• Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam
• pemilihan strategy meredakan nyeri.
3. Edukasi
• Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri.
• Jelaskan strategi meredakan nyeri.
• Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri.
• Anjurkan mengunakan analgetik secara tepat.
• Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi nyeri.
4. Kolaborasi
• Kolaborasi pemberian analgetik .

b. Resiko Infeksi b.d kerusakan integritas kulit.


Tujuan : Setelah dilakukan tintdakan keperawatan selama 3x24 jam maka
integritas kulit meningkat
Kriteria hasil : Tingkat Nyeri
• Nyeri menurun (5)
• Kemerahan menurun (5)
• Bengkak menurun(5)
• Integritas kulit dan jaringan
• Perfusi jaringan meningkat (5)
• Kerusakan jaringan menurun (5)
• Kerusakan lapisan kulit menurun (5)
• Nyeri menurun (5)
• Suhu kulit membaik (5)
Intervensi :
1. Observasi
• Monitor tanda dan gejala infeksi local dan sistemik.
2. Terapeutik
• Batasi jumlah pengunjung.
• Berikan perawatan kulit pada area edema
• Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien dan lingkungan
pasien.
• Pemberian teknik aseptik pada pasien beresiko tinggi.
3. Edukasi
• Jelaskan tanda dan gejala infeksi.
• Ajarkan cara mencuci tangan dengan benar.
• Ajarkan etika batuk.
• Ajarkan cara memeriksa kondisi luka atau luka operasi.
• Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi.
• Anjurkan meningkatkan asupan cairan.
4. Kolaborasi
• Kolaborasi pemberian imunisasi, jika perlu

c. Gangguan Mobilitas Fisik b.d kerusakan integritas struktur tulang di tandai


dengan pasien nyeri saat bergerak.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x 24 jam maka
mobilitas disik meninggkat.
Kriteria hasil :
• Pergerakan eksremitas meningkat (5)
• Nyeri menurun (5)
• Kecemasan menurun (5)
• Gerakan terbatas menurun (5)
Intervensi :
1. Observasi
• Identifikasi kebutuhan dilakukan pembidaian.(fraktur).
• Monitor bagian distal area cidera.
• Monitor adanya adanya pedarahan pada daerah cidera.
2. Terapeutik
• Identifikasi material bidai yang sesuai.
• Tutup luka terbuka dengan balutan.
• Atasi perdarahan sebalum bidai di pasang.
• Berikan bantalan pada bidai.
• Imobilisasi sendi di atas dan di bawah area cidera.
• Topang kaki mengunakan penyangga kaki.
• Tempatkan eksremitas yang cidera dalam posisi fungsional.
• Pasang bidai pada posisi tubuh seperti saat di temukan .
• Gunakan kedua tanagan untuk menopang area cedera.
• Gunakan kain gendong secara tepat •
3. Edukasi
• Jelaskan tujuan dan langkah-langkah prosedur sebelum pemasangan bidai
• Anjurkan membatasi gerak pada area cedera

d. Gangguan integritas kulit/jaringan b.d kelembabpan di tantai dengan klien


tanpak nyeri, perdarahan, kemerahan
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x 24 jam gangguan
integritas kulit menurun
Kriteria hasil : Integritas Kulit dan Jaringan
• Perfusi jaringan meningkat (5)
• Kerusakan jaringan menurun (5)
• Kerusakan lapisan kulit menurun (5)
• Nyeri menurun (5)
• Pedarahan menurun (5)
• Kemerahan menurun (5)
• Nekrosis menurun (5)
• Suhu kulit membaik (5)
Penyembuhan luka.
• Penyatuan kulit meningkat (5)
• Penyatuan tepi luka meningkat (5)
• Pembentukan jaringan parut menurun (1)
• Edema pada sisi luka menurun (5)
Intervensi :
1. Observasi
• Monitor karakteristik luka (dranase, warna, ukuran, bau)
• Monitor tanda-tanda infeksi.
2. Terapeutik
• Lepaskan balutan dan plaster secara perlahan.
• Cukur rambut di sekitar luka, jika perlu
• Bersihkan dengan NACL atau pembersih nontoksik, sesuai kebutuhan
• Bersihkan jaringan nekrotik.
• Berikan salep yang sesuai dengan luka / lesi, jika perlu
• Bersihkan jaringan nekrotik.
• Pasang balutan sesuai jenis luka.
• Pertahankan teknik steril saat perawatan luka.
• Ganti balutan sesuai dengan jumlah eksudat dan drenase.
• Jadwalkan perubahan posisi setiap 2 jam atau sesuai dengan kondisi
pasien.
• Berikan diet dengan kalori 30-35 kkl/kg / hari dan protein 1,25-1,5
g/kgBB/hari.
• Berikan suplemen vitamin dan mineral , sesuai indikasi.
• Berikan terapi TENS , jika perlu
3. Edukasi
• Jelaskan tanda dan gejala infeksi.
• Anjurkan mengkonsumsi makanan tinggi kalori dan protein.
• Ajarkan perawatan luka secara mandiri.
4. Kolaborasi
• Kolaborasi prosedur debridement (mis, enzimatik, biologis, mekanis)
• Kolaborasi pemberian antibiotik,jika perlu.

e. Risiko Disfungsi Neorovaskuler perifer b.d fraktur, penekanan klinis (balutan)


Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x 24 jam maka
resiko disfungsi neorovaskuler perifer menurun.
Kriteria hasil : Neurovaskuler perifer
• Sirkulasi arteri meningkat (5)
• Sirkulasi vena meningkat (5)
• Pergerakan eksremitas meningkat (5)
• Nyeri menurun (5)
• Pedarahan menurun (5)
• Nadi membaik (5)
• Suhu tubuh membaik (5)
• Warna kulit membaik (5)
Perfusi perifer
• Penyembuhan luka membaik (5)
• Edema perifer menurun (5)
• Nyeri eksremitas menurun (5)
• Nekrosis menurun (5)
Intervensi :
1. Observasi
• Periksa sirkulasi perifer secara menyeluruh (mis, pulsasi perifer, edema,
warna, dan suhu eksremitas)
• Monitor nyeri pada daerah yang terkena
• Monitor tanda-tanda penurunan sirkulasi vena .(mis, bengkak ,nyeri,
peningkatan nyeri pada posisi tergantung, nyeri menetap saat hangat,
mati rasa, pembesaran vena superfesial, merah, hangat, perubahan warna
kulit)
2. Terapeutik
• Tinggikan daerah yang cidera 20 derjat di atas jantung.
• Lakukan rentang gerak aktif dan pasif.
• Ubah posisi setiap 2 jam. Missal : mika, miki
• Hindari akses intravena antekubiti.
• Hindari memijat atau mengompres otot yang cidera.
3. Edukasi
• Jelaskan mekanisme terjadinya embili perifer.
• anjurkan menghindari maneuver valsava.
• Ajarkan cara mencegah emboli perifer. (mis, hindari imobilisasi jangka
panjang).
• Ajarkan pentingnya antikoagulan selama 3 bulan. Kolaborasi
4. Kolaborasi pemberian antikoagulan.
• Kolaborasi pemberian prometazim intravena dalam NaCL 0,9% 25-50
secara lambat dan hindari pengenceran kuran dari 10 cc

f. Resiko pedarahan b.d trauma dan tindakan pembedahan


Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x 24 jam maka
penyembuhan luka meningkat.
Kriteria hasil : penyembuhan luka
• Penyembuhan kulit meningkat (5)
• Penyatuan tepi luka meningkat (5)
• Nyeri menurun (5)
• Infeksi menurun (5)
Tingkat luka
• Kelembapan kulit menurun (1)
• Pedarahan pasca operasi menurun (1)
• Tekanan darah membaik (5)
• Suhu tubuh membaik (5)
• Pedarahan pasca operasi menurun (1)
• Tekanan darah membaik (5)
• Suhu tubuh membaik (5)
Intervensi :
1. Observasi
• Monitor tanda dan gejala pendarahan.
• Monitor hematokrik/hemoglobin sebelum dan setelah kehilangan
darah. • Monitor tanda-tanda vital ortostatik.
• Monitor koagulasi. Terapeutik
• Pertahankan bed rest selama pedarahan.
• Batasi tindakan infasif.
• Gunakan kasur pencegah decubitus.
• Hindari pengukuran suhu rektal
2. Edukasi
• Jelaskan tanda dan gejala pedarahan.
• Anjurkan mengunakan kaus kaki saat ambulasi.
• Anjurkan meningkatkan asupan cairan untuk menghindari konstipasi.
• Anjurkan menghindari aspirin atau antikuagula.
• Anjurkan meningkatkan asupan makanan dan vitamin k.
• Anjurkan segera melapor jika terjadi pedarahan.
3. Kolaborasi
• Kolaborasi pemberian obat pengontrol perdarahan.
• Kolaborasi pemberian produk darah.

g. Kurang pengetahuan b.d kurang terpapar informasi di tandai dengan klien


tanpak menunjukan prilaku tidak sesuai dengan anjuran dan menunjukan
prilaku berlebihan
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam maka
pengetahuan meningkat .
Kriteria hasil :
• Prilaku sesuai anjuran meningkat (5)
• Kemampuan menjelaskan tentang suatu topik meningkat (5)
• Menjalani pemeriksaan yang tidak tepat menurun (5)
• Perilaku membaik (5)
Tingkat kepatuhan
• Verbalisasi kemauan mematuhi prokram atau pengobatan meningkat
(5)
• Resiko komlikasi penyakit menurun (5)
• Perilaku menjalankan anjuran membaik (5)
Intervensi :
1. Observasi
• Identifikasi kesiapan dan kemampuan menerima informasi.
• Identifikasi factor-faktor yang dapat meningkatkan dan menurunkan
motifasi prilaku hidup bersih dan sehat.
2. Terapeutik
• Sediakan materi dan media pendidikan kesehatan.
• Jadwalkan pendidikan kesehatan.
• Berikan kesempatan untuk bertanya.
3. Edukasi
• Jelaskan factor resiko yang dapat mempengaruhi kesehtan.
• Ajarkan perilaku hidup sehat dan bersih.
• Ajarkan strategi yang dapat di gunakan untuk meningkatkan perilaku
hidup sehat dan bersih.
DAFTAR PUSTAKA

Eko. S. 2019. Asuhan Keperawatan Tn. S Dengan Open Fraktur Manus IV Distal Di
Ruang Cempaka Rumah Sakit Tk. II Dr. Soedjono Magelang . Prodi DIII
Keperawatan Poltekkes Yogyakarta

Fajar. W. 2019. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Tn.T Dengan Fraktur Tibia Fibula Di
Ruang Ambun Suri Lantai 1 RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi . Padang :
Prodi DIII Keperawatan STIKES Perintis Padang

Nadila, P. 2019. Asuhan Keperawatan pada klien Dengan Fraktur Ekstremitas Bawah
Di Ruang Cempaka RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda. Samarinda :
Prodi DIII Keperawatan Poltekkes Kalimantan Timur

PPNI. (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Definisi dan indikator

Diagnostik. Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI

PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Definisi dan Tindakan


Keperawatan. Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI

PPNI (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.

Trisnawati,Maylan. 2017 Asuhan Keperawatan Resiko Infeksi Pada Ny.A Dengan


Pasca Operasi Hernia Inguinalis Lateral Sinistra Hari Ke-3 di RSUD Pandan
Arang Boyolali. Boyolali: Prodi DIII Keperawatan Fakultas Keperawatan
Universitas Ngudi Waluyo.

Anda mungkin juga menyukai