Anda di halaman 1dari 26

UNIVERSITAS INDONESIA

LAPORAN PENDAHULUAN MINGGU KE-1

CEDERA SPINALIS (SPINAL CORD INJURY)

APLIKASI I ( SISTEM MUSKULOSKELETAL)

DI GEDUNG PROF. SOELARTO LANTAI 4

RSUP. FATMAWATI

Oleh

Destiawan Eko Utomo

NPM : 1606947295

PROGRAM MAGISTER KEPERAWATAN


PEMINATAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS INDONESIA
2017
LAPORAN PENDAHULUAN

CEDERA SPINALIS (SPINAL CORD INJURY)

1.1  DEFINISI CEDERA SPINALIS

Trauma medulla spinalis atau Spinal Cord Injury (SCI) didefinisikan sebagai cidera atau
kerusakan pada medulla spinalis yang menyebabkan perubahan fungsional, baik secara
mental maupun permanen, pada fungsi motorik, sensorik, atau otonom. Trauma pada medulla
spinalis dapat bervariasi dari trauma ekstensi fiksasi ringan yang terjadi akibat benturan
secara mendadak sampai yang menyebabkan transeksi lengkap dari medulla spinalis dengan
quadriplegia (Fransiska B. Batticaca 2008).

Cedera medula spinalis (CMS) atau spinal cord injury (SCI ) ditandai dengan adanya
tetralegia atau paraplegia, parsial atau komplit, dan tingkatan atau level tergantung area
terjadinya lesi atau CMS. Tetraplegia atau quadriplegia adalah kehilangan fungsi sensorik
dan motorik di segmen servikal medulla spinalis. Sedangkan paraplegia adalah gangguan
fungsi sensorik dan motorik di segmen thorakal, lumbal dan sakrum ( Kirshblum &
Benevento, 2009).

Cedera Medula Spinalis adalah cedera yang mengenai Medula Spinalis baik itu bagian
servikalis, torakalis, lumbal maupun sakral akibat dari suatu trauma yang mengenai tulang
belakang. (Arif Muttaqin,2008).

 
2.2  ETIOLOGI CEDERA SPINALIS

Menurut Arif Muttaqin (2008) penyebab dari cidera medulla spinalis adalah :

a.       otomobil, industri

Kecelakaan yang hebat dapat menyebabkan suatu benturan dari organ tubuh salah satu yang
terjadi adalah cidera tulang belakang secara langsung yang mengenai tulang belakang dan
melampui batas kemampuan tulang belakang dalam melindungi saraf –saraf yang berada
didalamnya.

b.      Terjatuh, olahraga

Peristiwa jatuh karena suatu kegiatan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
terjadinya cidera salah satunya karena kegiatan olahraga yang berat contohnya adalah
olahraga motor GP , lari, lompat.

c.       Luka tusuk, tembak

Luka tusuk pada abdomen atau tulang belakang dapat dikatakan menjadi faktor terjadinya
cidera karena terjadi suatu perlukaan atau insisi luka tusuk atau luka tembak.

d.      Tumor

Tumor merupakan suatu bentuk peradangan. jika terjadi komplikasi pada daerah tulang
belakang spinal. Ini merupakan bentuk cidera tulang belakang. Medulla Spinalis

2.3  PATOFISIOLOGI CEDERA SPINALIS

Menurut Arif Muttaqin 2008, kerusakan medulla spinalis berkisar dari komosis sementara
(dimana pasien sembuh sempurna) sampai kontusio, laserasi, dan kompresi substansi medulla
(baik salah satu atau dalam kombinasi), sampai transeksi lengkap medulla (yang membuat
pasien paralisis di bawah tingkat cedera). Bila hemoragi terjadi pada daerah medulla spinalis
darah dapat merembes ke ekstradural, subdural atau daerah subarakhnoid pada kanal spinal.
Segera setelah terjadi kontusion atau robekan akibat cedera, serabut-serabut saraf mulai
membengkak dan hancur. Sirkulasi darah ke substansi grisea medulla spinalis menjadi
terganggu. Tidak hanya hal ini saja yang terjadi pada cedera pembuluh darah medulla
spinalis, tetapi proses patogenik dianggap menyebabkan kerusakan yang terjadi pada cedera
medulla spinalis akut. Suatu rantai sekunder kejadian-kejadian yang menimbulkan iskemia,
hipoksia, edema, dan lesi-lesi hemoragi, yang pada gilirannya mengakibatkan mielin dan
akson. Reaksi sekunder ini, diyakini menjadi penyebab prinsip degenerasi medulla spinalis
pada tingkat cedera, sekarang dianggap reversibel 4 sampai 6 jam setelah cedera. Untuk itu
jika kerusakan medulla tidak dapat diperbaiki, maka beberapa metode mengawali pengobatan
dengan menggunakan kortikosteroid dan obat-obat antiinflamasi lainnya yang dibutuhkan
untuk mencegah kerusakan sebagian dari perkembangannya, masuk kedalam kerusakan total
dan menetap

 2.4  TANDA DAN GEJALA CEDERA SPINALIS

1.      Menurut Diane C. Baughman (2000) tanda dan gejala Medula Spinalis Meliputi :

a)    Nyeri akut pada belakang leher, yang menyebar sepanjang saraf yang terkena

b)   Paraplegia

c)    Tingkat neurologic

d)   Paralisis sensorik motorik total

e)    Kehilangan kontrol kandung kemih (refensi urine, distensi kandung kemih)

f)    Penurunan keringat dan tonus vasomotor

g)   Penurunan fungsi pernafasan

h)   Gagal nafas

i)     Pernafasan dangkal

2.      Menurut  ENA, (2000 tanda dan gejala Medula Spinalis Meliputi :

a.    Penggunaan otot-otot pernafasan

b.   Pergerakan dinding dada

c.    Hipotensi

d.   Bradikardi
e.    Kulit teraba hangat dan kering

f.     Poikilotermi (ketidakmampuan mengatur suhu tubuh)

g.    Kehilangan sebagian atau seluruh kemampuan gerak

h.   Kehilangan sensasi

i.      Terjadi paralisis, paraparesis, paraplegi, guadriparalesis, guadriparaplegia

j.     Adanya spasme otot dan kekakuan

3.      Menurut Brunner dan Suddarth, (2001) tanda dan gejala Medula Spinalis Meliputi :

a.    nyeri akut pada belakang leher, yang menyebar sepanjang saraf yang terkena

b.    paraplegia

c.    tingkat neurologik

d.   paralisis sensorik motorik total

e.    kehilangan kontrol kandung kemih (refensi urine, distensi kandung kemih)

f.     penurunan keringat dan tonus vasomotor

g.    penurunan fungsi pernafasan

h.    Kelemahan motorik ekstermitas atas lebih besar dari ekstermitas bawah

4.      Menurut campbell( 2004) tanda dan gejala Medula Spinalis Meliputi :

a)      Kelemahan otot

b)      Deformitas tulang belakang

c)      Nyeri

d)     Perubahan bentuk pada tulang servikal

e)      Kehilangan kontrol eliminasi dan feses

f)       Terjadi gangguan ereksi penis (priapism)

 
2.5  PENATALAKSANAAN CEDERA MEDULA SPINALIS (FASE AKUT)

Menurut Francisca B. Batticaca,(2008) penatalaksanaan Medula Spinalis Meliputi:

1.   Terapi dilakukan untuk mempertahankan fungsi neurologis yang masih ada,
memaksimalkan pemulihan neurologis, tindakan atas cidera lain, yang menyertai, mencegah,
serta mengobati komplikasi dan kerusakan neural lebih lanjut. Reabduksi atas subluksasi
(dislokasi sebagian pada sendi di salah satu tulang-ed). Untuk mendekompresi koral spiral
dan tindakan imobilisasi tulang belakang untuk melidungi koral spiral.

2.   Operasi lebih awal sebagai indikasi dekompresi neural, fiksasi internal, atau debrideben
luka terbuka.

3.   Fikasi internal elekif dilakukan pada klien dengan ketidakstabilan tulang belakang, cidera
ligaemn tanpa tanpa fraktur, deformitas tulang belakang progresif, cidera yang tak dapat
direbduksi, dan fraktur non-union.

4.   Terapi steroid, nomidipin, atau dopamine untuk perbaiki aliran darah koral spiral. Dosis
tertinggi metil prednisolon/bolus adalah 3mg/kgBB diikuti 5,4 mg/kgBB/jam untuk 23 jam
berikutnya. Bila diberikan dalam 8 jam sejak cedera akan memperbaiki pemulihan
neurologis. Gangliosida mungkin juga akan memperbaiki pemulihan setelah cedera koral
spiral.

5.   Penilaian keadaan neurologis setiap jam, termasuk pengamatan fungsi sensorik, motorik,
dan penting untuk melacak deficit yang progresif atau asenden.

6.   Mempertahankan perfusi jaringan yang adekuat, fungsi ventilasi, dan melacak keadaan
dekompensasi.

7.   Pengelolaan cedera stabil tanpa deficit neurologis seperti angulasi atau baji dari bahan
luas tulang belakang, fraktr psoses transverses, spinosus, dan lainnya, tindakannya
simptomatis (istirahat baring hingga nyeri berkurang), imobilisasi dengan fisioterapi untuk
pemulihan kekuatan otot secara bertahap.

8.   Cedera tak stabil disertai deficit neurologis. Bila terjadi pergeseran, fraktur memerlukan
reabduksi dan posisi yang sudah baik harus dipertahankan.
a)   Metode reabduksi antara lain : · Transaksi memakai sepit (tang) metal yang dipasang
pada tengkorak. Beban 20kg tergantung dari tingkat ruas tulang belakang, ulai sekitar 2,5 kg
pada fraktur C1. · Manipulasi dengan anestesi umum · Reabduksi terbuka melalui operasi

b)   Metode imobilisasi antara lain : · Ranjang khusus, rangka, atau selubung plester. ·
Transaksi tengkorak perlu beban sedang untuk memperahankan cedera yang sudah
direabduksi. · Plester paris dan splin eksternal lain. · Operasi.

9.   Cedera stabil disertai deficit neurologis. Bila fraktur stabil, kerusakan neurologis
disebabkan oleh:

a)   Pergeseran yang cukup besar yang terjadi saat cedera menyebabkan trauma langsung
terhadap koral spiral atau kerusakan vascular.

b)   Tulang belakang yang sebetulnya sudah rusak akibat penyakit sebelumnya seperti
spondiliosis servikal.

c)   Fragmen tulang atau diskus terdorong ke kanal spiral.

10.  Pengelolaan kelompok ini tergantung derajat kerusakan neurologis yang tampak pada
saat pertama kali diperiksa:

a)      Transeksi neurologis lengkap terbaik dirawat konservatif

b)      Cedera di daerah servikal, leher di mobilisasi dengan kolar atau sepit (kapiler) dan di
beri metal prednisolon.

c)      Pemeriksaan penunjang MRI.

d)     Cedera neurologis tak lengkap konservatif.

e)      Bila terdapat atau didasari kerusakan adanya spondiliosis servikal, ttraksi tengkorak,
dan metal prednisolon.

f)       Bedah bila spondiliosis sudah ada sebelumnya.

g)      Bila tak ada perbaikan atau ada perbaikan tetapi keadaan memburuk maka lakukan
mielografi.
h)      Cedera tulang tak stabil.

i)        Bila lesinya total, dilakukan reabduksi yang diikuti imobilisasi. Melindungi imobiisasi
seperti penambahan perawatan paraplegia.

j)        Bila deficit neurologis tak lengkap, dilakukan reabduksi, diikuti imobilisasi untuk
sesuai jenis cederanya.

k)      Bila diperlukan operasi dekompresi kanal spiral dilakukan pada saat yang sama.

Cedera yang menyertai dan komplikasi: · cedera mayor berupa cedera kepala atau otak,
toraks, berhubungan dengan ominal, dan vascular. · cedera berat yang dapat menyebabkan
kematian, aspirasi, dan syok. (Fransisca B. Batticaca 2008).

2.6   PEMERIKSAN DIAGNOSTIK CEDERA SPINALIS

1.      Pemeriksaan diagnostik yang dapat dilakukan pada pasien fraktur lumbal menurut
Mahadewa dan Maliawan, (2009) adalah :

a.      Foto Polos

Pemeriksaan foto yang terpenting adalah AP Lateral dan Oblique view. Posisi lateral dalam
keadaan fleksi dan ekstensi mungkin berguna untuk melihat instabilitas ligament. Penilaian
foto polos, dimulai dengan melihat kesegarisan pada AP dan lateral, dengan identifikasi tepi
korpus vertebrae, garis spinolamina, artikulasi sendi facet, jarak interspinosus. Posisi oblique
berguna untuk menilai fraktur interartikularis, dan subluksasi facet.

b.      CT Scan

CT scan baik untuk melihat fraktur yang kompleks, dan terutama yang mengenai elemen
posterior dari medulla spinalis. Fraktur dengan garis fraktur sesuai bidang horizontal, seperti
Chane fraktur, dan fraktur kompresif kurang baik dilihat dengan CT scan aksial. Rekonstruksi
tridimensi dapat digunakan untuk melihat pendesakan kanal oleh fragmen tulang, dan melihat
fraktur elemen posterior.
c.       MRI

MRI memberikan visualisasi yang lebih baik terhadap kelainan medulla spinalis dan struktur
ligament. Identifikasi ligament yang robek seringkali lebih mudah dibandingkan yang utuh.
Kelemahan pemakaian MRI adalah terhadap penderita yang menggunakan fiksasi metal,
dimaka akan memberikan artefact yang mengganggu penilaian fisik. Kombinasi antara foto
polos, CT Scan dan MRI, memungkinkan kita bias melihat kelainan pada tulang dan struktur
jaringan lunak (ligament, diskus dan medulla spinalis).

d.      Elektromiografi dan Pemeriksaan Hantaran Saraf

Kedua prosedur ini biasannya dikerjakan bersama-sama satu sampai dua minggu setelah
terjadinya trauma. Elektromiografi dapat menunjukan adanya denerfasi pada ekstremitass
bawah. Pemeriksaan pada otot paraspinal dapat membedakan lesi pada medulla spinalis atau
cauda equine, dengan lesi pada pleksus lumbal atau sacral

2.      Sedangkan menurut Arif Mutaqim, (2005) pemeriksaan radiologi yang dapat dilakukan


adalah sebagai berikut:

a.       Pemeriksaan Rontgen

Pada pemeriksaan Rontgen, rnanipulasi penderita harus dilakukan secara hati-hati. Pada


fraktur C-2, pemeriksaan posisi AP dilakukan secara khusus dengan membuka mulut.
Pemeriksaan posisi AP secara lateral dan kadang-kadang oblik dilakukan untuk menilai hal-
hal sebagai berikut.

1.Diameter anteroposterior kanal spinal.

2.Kontur, bentuk, dan kesejajaran vertebra.

3.Pergerakan fragmen tulang dalam kanal spinal.

4.Keadaan simetris dari pedikel dan prosesus spinosusKetinggian ruangan diskus


intervertebralisPembengkakanjaringan lunak.
b.      Pemeriksaan CT-scan terutama untuk melihat fragmentasi dan pergeseran fraktur dalam
kanal spinal.

c.       Pemeriksaan CT-scan dengan mielografi.

d.      Pemeriksaan MRI terutama untuk melihat jaringan lunak, yaitu diskus intervertebralis


dan ligamentum flavum serta lesi dalam sumsum medulla spinalis.

2.7  KOMPLIKASI CEDERA SPINALIS

1.      Neurogenik shock

Syok Neurogenik adalah kondisi medis yang ditandai dengan ketidakcukupan aliran darah ke
tubuh yang disebabkan karena gangguan sistem saraf yang mengendalikan konstriksi dari
pembuluh-pembuluh darah. Gangguan ini menyebabkan kehilangan sinyal saraf tiba-tiba,
yang menyebabkan terjadinya relaksasi dan pelebaran pembuluh-pembuluh darah

2.      Hipoksia.

Hipoksia merupakan kondisi di mana berkurangnya suplai oksigen ke jaringan di bawah level


normal yang tentunya tidak dapat memenuhi kebutuhan tubuh.

3.      Hipoventilasi

Hipoventilasi adalah kurangnya ventilasi dibandingkan dengan kebutuhan metabolik,


sehingga terjadi peningkatan PCO2 dan asidosis respiratorik

4.      Instabilitas spinal

Instabilitas spinal adalah hilangnya kemampuan jaringan lunak pada spinal (contoh : ligamen,
otot dan diskus) untuk mempertahankan kontrolintersegmental saat terjadinya beban atau
stress fisiologis.
5.      Orthostatic Hipotensi

Hipotensi ortostatik adalah penurunan tekanan darah yang terjadi tiba-tiba saat berubah posisi
dari telentang ke posisi duduk atau tegak. Hal ini lebih sering pada pasien yang mengambil
obat antihipertensi. Gejala seperti lemah tiba-tiba, pusing, terasa pingsan dan pingsan dapat
terjadi.

6.      Ileus Paralitik

Ileus paralitik adalah keadaan abdomen akut berupa kembung distensi usus karena usus tidak
dapat   bergerak (mengalami dismolititas).

7.      Infeksi saluran kemih

Infeksi Saluran Kemih adalah infeksi bakteri yang mengenai bagian dari saluran kemih.
Ketika mengenai saluran kemih bawah dinamai sistitis (infeksi kandung kemih) sederhana,
dan ketika mengenai saluran kemih atas dinamai pielonefritis (infeksi ginjal).

8.      Kontraktur

Kontraktur adalah hilangnya atau kurang penuhnya lingkup gerak sendi secara pasif maupun
aktif karena keterbatasan sendi, fibrosis jaringan penyokong, otot dan kulit.

9.      Dekubitus

Dekubitus adalah kerusakan/kematian kulit sampai jaringan dibawah kulit, bahkan menembus
otot sampai mengenai tulang akibat adanya penekanan pada suatu area secara terus menerus
sehingga mengakibatkan gangguan sirkulasi darah setempat. Dekubitus atau luka tekan
adalah kerusakan jaringan yang terlokalisir yang disebabkan karena adanya kompresi
jaringan yang lunak diatas tulang yang menonjol (bony prominence) dan adanya tekanan dari
luar dalam jangka waktu yang lama.

10.  Inkontinensia blader

Inkontinensia urine merupakan eliminasi urine dari kandung kemih yang tidak terkendali atau
terjadi di luar keinginan. (Brunner&Suddarth, 2002).
11.  Konstipasi (Fransisca B. Batticaca 2008)

Konstipasi adalah kondisi tidak bisa buang air besar secara teratur atau tidak bisa sama sekali.
Jika mengalaminya, Anda biasanya akan mengalami gejala-gejala tertentu. Misalnya tinja
Anda menjadi keras dan padat dengan ukuran sangat besar atau sangat kecil.

2.8  DIAGNOSA BANDING CEDERA SPINALIS

1.      Herniasi Discus Lumbalis

Herniasi diskus lumbal atau hernia nucleus pulposus sering terjadi pada pria dewasa dengan
insiden puncak decade ke 4 dan ke 5. Kelainan ini dapat terjadi pada individu yang bekerja
membungkuk dan mengangkat berat. Keluhan utama :

a.    Nyeri punggung bawah yang onsetnya perlahan-lahan

b.   Bersifat tumpul atau terasa tidak enak

c.    Sering intermiten

d.   Kadang-kadang nyeri tersebut onsetnya mendadak dan berat

e.    Nyeri terjadi akibat regangan ligamentum longitudinalis posterior karena diskus tidak
memiliki serabut nyeri, nyeri tersebut khas yaitu diperhebat oleh aktifitas atau pengerahan
tenaga serta mengejan.

f.    Batuk atau bersin

g.   Nyeri menghilang bila berbaring pada sisi yang tidak terkena dengan tungkai yang sakit
di fleksikan

h.   Sering terdapat spasme reflek otot-otot parapetebra menyebabkan nyeri dan pasien tidak
bisa berdiri secara pe.nuh

i.      Nyeri pinggul pada sisi posterior atau posterolatral paha serta tungkai sisi yang terkena
(skiatika/iskialia)
j.     Rasa baal dan kesemutan menjalar pada sebagian kaki

2.      Kompresi Medula Spinalis

Dalam keadaan normal, medula spinalis dilindungi oleh kolumna spinalis yang memiliki
struktur seperti tulang, tetapi penyakit tertentu dapat mekenan medula spinalis dan
mengganggu fungsi normalnya. Lokasi dari kerusakan pada medula spinalis menentukan otot
dan sensase yang terkena. Kelemahan atau kelumpuhan serta berkurangnya atau hilangnya
rasa cenderung terjadi dibawah daerah yang mengalami cedera. Penekanan medula spinalis
yang berjalan paling lambat biasanya merupakan akibat dari kelainan pada tulang yang
disebabkan oleh artrits degenerativa atau tumor yang pertumbuhannya sangat lambat.
Penderita tidak merasakan nyeri atau nyeri bersifat ringan, perubahan rasa (misalnya
kesemutan) dan kelemahan berkembang dalam beberapa bulan.

3.   PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan fisik mengacu pada pengkajian B1-B6 dengan pengkajian focus ditujukan pada
gejala-gejala yang muncul akibat cedera medulla spinalis.

Keadaan umum : (Arif muttaqin 2008) Pada keadaan cidera tulang belakang umumnya tidak
mengalami penurunan kesadaran. Adanya perubahan pada tanda-tanda vital, meliputi
bradikardi dan hipotensi.

B1 (BREATHING)

Perubahan pada sistem pernapasan bergantung pada gradasi blok saraf parasimpatis klien
mengalami kelumpuhan otot otot pernapasan dan perubahan karena adanya kerusakan jalur
simpatetik desending akibat trauma pada tulang belakang sehingga mengalami terputus
jaringan saraf di medula spinalis, pemeriksaan fisik dari sistem ini akan didapatkan hasil
sebagai berikut inspeksi umum didapatkan klien batuk peningkatan produksi sputum, sesak
napas.dst

B2 (BLOOD)
Pengkajian pada sistem kardiovaskuler didapatkan rejatan syok hipovolemik yang sering
terjadi pada klien cedera tulang belakang. Dari hasil pemeriksaan didapatkan tekanan darah
menurun nadi bradikardi dan jantung berdebar-debar. Pada keadaan lainnya dapat
meningkatkan hormon antidiuretik yang berdampak pada kompensasi tubuh.

B3 (BRAIN)

Pengkajian ini meliputi tingkat kesadaran, pengkajian fungsi serebral dan pengkajian saraf
kranial. Pengkajian tingkat kesadaran : tingkat keterjagaan klien dan respon terhadap
lingkungan adalah indikator paling sensitif untuk disfungsi sistem persyarafan. Pengkajian
fungsi serebral : status mental observasi penampilan, tingkah laku nilai gaya bicara dan
aktivitas motorik klien Pengkajian sistem motorik : inspeksi umum didapatkan kelumpuhan
pada ekstermitas bawah, baik bersifat paralis, paraplegia, maupun quadriplegia Pengkajian
sistem sensori : ganguan sensibilitas pada klien cedera medula spinalis sesuai dengan segmen
yang mengalami gangguan.

B4 (BLADDER)

Kaji keadaan urine meliputi warna ,jumlah,dan karakteristik urine, termasuk berat jenis urine.
Penurunan jumlah urine dan peningkatan retensi cairan dapat terjadi akibat menurunnya
perfusi pada ginjal. Bila terjadi lesi pada kauida ekuina kandung kemih dikontrol oleh pusat
(S2-S4) atau dibawah pusat spinal kandung kemih akan menyebabkan interupsi hubungan
antara kandung kemih dan pusat spinal.

B5 (BOWEL)

Pada keadaan syok spinal, neuropraksia sering didapatkan adanya ileus paralitik, dimana
klinis didapatkan hilangnya bising usus, kembung,dan defekasi, tidak ada. Hal ini merupakan
gejala awal dari tahap syok spinal yang akan berlangsung beberapa hari sampai beberapa
minggu.

B6 (BONE)

Paralisis motorik dan paralisis organ internal bergantung pada ketinggian lesi saraf yang
terkena trauma. Gejala gangguan motorik sesuai dengan distribusi segmental dari saraf yang
terkena.disfungsi motorik paling umum adalah kelemahan dan kelumpuhan.pada saluran
ekstermitas bawah. Kaji warna kulit, suhu, kelembapan, dan turgor kulit dst.

4. pemeriksaan Diagnostik

a)    Laboratorium

b)   Radiologi

c)    Neurofisiologi klinik

1.      EMG

2.      NCV

3.      SSEP

d)   MRI

e)    CT Scan

3.2 DIAGNOSA KEPERAWATAN

Menurut Arif Muttaqim, (2008) diagnosa keperawatan yang muncul pada Cedera Medula
Spinalis adalah sebagai berikut:

1)            Ketidakefektifan pola napas yang berhubungan dengan kelemahan otot-otot


pernapasan atau kelumpuhan otot diafragma.

2)            Ketidakefektifan pembersihan jalan napas yang berhubungan dengan penumpukan


sputum, peningkatan sekresi sekret, dan penurunan kemampuan batuk (ketidakmampuan
batuk/batuk efektif).

3)            Penurunan perfusi jaringan perifer yang berhubungan dengan penurunan curah


jantung akibat hambatan mobilitas fisik.

4)            Nyeri berhubungan dengan kompresi saraf, cedera neuromuskular, dan refleks
spasme otot sekunder.
5)             Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan
dengan kemampuan mencerna makanan dan peningkatan kebutuhan metabolisme

6)            Risiko tinggi trauma yang berhubungan dengan penurunan kesadaran dan hambatan
mobilitas fisik.

7)            Hambatan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kerusakan neuromuskular.

8)            Perubahan pola eliminasi urine yang berhubungan dengan kelumpuhansaraf


perkemihan.

9)            Gangguan eliminasi alvi/konstipasi yang berhubungan dengan gangguan persarafan


pada usus dan rektum.

10)        Defisit perawatan diri yang berhubungan dengan kelemahan fisik ekstremitas bawah.

11)         Risiko infeksi yang berhubungan dengan penurunan sistem imunprimer (cedera pada
jaringan paru, penurunan aktivitas silia bronkus), malnutrisi, dan tindakan invasif.

12)        Risiko kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan imobilisasidan tidak
adekuatnya sirkulasi perifer.

13)        Perubahan persepsi sensori yang berhubungan dengan disfungsipersepsi spasial dan
kehilangan sensori.

14)        Ketidakefektifan koping yang berhubungan dengan prognosis kondisisakit, program


pengobatan, dan lamanya tirah baring.

15)        Ansietas yang berhubungan dengan krisis situasional, ancaman terhadap konsep diit,
dan perubahan status kesehatan/status ekonomi/fungsi peran.

16)        Ansietas keluarga yang berhubungan dengan keadaan yang kritispada klien.

17)        Risiko ketidakpatuhan terhadap penatalaksanaan yang berhubungan dengan


ketegangan akibat krisis situasional.

3.3  PERENCANAAN KEPERAWATAN

Menurut Arif Muttaqin (2008) tujuan perencanaan dan implementasi dapat mencakup
perbaikan pola pernapasan, perbaikan mobilitas, pemeliharaan integritas kulit,
menghilangkan retensi urine, perbaikan fungsi usus, peningkatan rasa nyaman, dan tidak
terdapatnya komplikasi.

Diagnosa Keperawatan/ Masalah Kolaborasi


RenScana keperawatan

Tujuan dan Kriteria Hasil


Intervensi
Rasionalisasi
Gangguan mobilitas fisik yang berhubungan dengan gangguan neuromuskular

Batasan karakteristik :

a)      Penurunan waktu reaksi

b)      kesulitan membolak balik posisi

c)      melakukan aktivitas lain sebagai pengganti pergerakan

d)     dispnea setelah beraktivitas

e)      perubahan cara berjalan

f)       gerakan bergetar

g)      keterbatasan pengetahuan melakukan ketrampilan motorik halus

h)      keterbatasan melakukan ketrampilan motorik kasar

i)        keterbatasan rentang pergerakan sendi

j)        tremor akibat pergerakan

k)      ketidak stabilan postur

l)        pergerakan lambat

m)    pergerakan tidak terkoordinasi


NOC :

a)   Joint  Movement : Active

b)    Mobility Level

c)   Self care : ADLs

d)  Transfer performance

Criteria Hasil :

·   Klien meningkat dalam aktivitas fisik

·   Mengerti tujuan dari peningkatan mobilitas


·   Memverbalisasikan perasaan dalam meningkatkan kekuatan dan kemampuan berpindah

·   Memperagakan penggunaan alat Bantu untuk mobilisasi (walker)


NIC :

Exercise therapy : ambulation

1.Monitoring vital sign sebelm/sesudah latihan dan lihat respon pasien saat latihan

2.Konsultasikan dengan terapi fisik tentang rencana ambulasi sesuai dengan kebutuhan

3.Bantu klien untuk menggunakan tongkat saat berjalan dan cegah terhadap cedera

4.Ajarkan pasien atau tenaga kesehatan lain tentang teknik ambulasi

5.Kaji kemampuan pasien dalam mobilisasi

6.Latih pasien dalam pemenuhan kebutuhan ADLs secara mandiri sesuai kemampuan

7.Dampingi dan Bantu pasien saat mobilisasi dan bantu penuhi kebutuhan ADLs ps.

8 .Berikan alat Bantu jika klien memerlukan.

9.Ajarkan pasien bagaimana merubah posisi dan berikan bantuan jika diperlukan
1.   Mengetahui tingkat kemampuan klien dalam melakukan aktivitas.

2.  Menurunkan rsiko terjadinya iskemia jaringan akibat sirkulassi darah yang jelek pada
daerah yang tertekan.

4     Gerakan aktif memberikan massa, tonus, dan kekuatan otot serta memperbaiki fungsi
jantung dan pernafasan.

5     Otot volumter akan kehilangan tonus dan kekuatanya bila tidahk dilatih untuk digerakan

6     Telapak kaki dalam posisi 90 derajat dalam mencegah footdrop.

7     Deteksi dini adanya gangguan sirkulai dan hilangnya sensasi resiko tinggi kerusakan
integritass kulit kemungkinan komplikasi imobilisasi.

8     Untuk memelihara fleksibelitas sendi sesui kemampuan.

9     Mempertahankan posisi tulang belakang tetap rata.

10    Dilakukan untuk menegakan postur ddan menguatkan otot-otot spinal.

11    Peningkatan kemampuan dalam mobilisasi ekstremitas dapat ditingkatkan dengan


latihan fisik dari tim fisio terapis.
Risiko trauma berhubungan dengan penurunan kesadaran, kerusakan mobilitas fisik

 
Faktor-faktor risiko

Internal:

1.   Kelemahan

2.   penglihatan menurun

3.   penurunan sensasi taktil

4.   penurunan koordinasi otot, tangan dan mata

5.   kurangnya edukasi keamanan

6.   keterbelakangan  mental

Eksternal:

Lingkungan
NOC :

1.   Knowledge : Personal Safety

2.   Safety Behavior : Fall Prevention

3.   Safety Behavior : Fall occurance

4.   Safety Behavior : Physical Injury

5.   Tissue Integrity: Skin and Mucous Membran

Kriteria hasil :

a)      Pasien terbebas dari trauma fisik

b)      Lingkungan rumah aman

c)      Perilaku pencegahan jatuh

d)     Dapat medeteksi resiko

e)      Pengendalian resiko : penggunaan alcohol, penggunaan narkoba, pencahayaan sinar


matahari

f)       Pengetahuan keamanan terhadap anak

g)      Pengetahuan personal sefty


h)      Dapat memproteksi terhadap kekerasan
NIC :

Environmental Management safety

a)   Sediakan lingkungan yang aman untuk pasien

b)   Identifikasi  kebutuhan keamanan pasien, sesuai     dengan kondisi fisik dan fungsi
kognitif  pasien dan riwayat penyakit terdahulu pasien

c)   Menghindarkan lingkungan yang berbahaya (misalnya memindahkan perabotan)

d)  Memasang side rail tempat tidur

e)   Menyediakan tempat tidur yang nyaman dan bersih

f)    Menempatkan saklar lampu ditempat yang mudah dijangkau pasien.

g)   M embatasi pengunjung

h)   Memberikan penerangan yang cukup

i)     Menganjurkan keluarga untuk menemani pasien.

j)     Mengontrol lingkungan dari kebisingan

k)   Memindahkan barang-barang yang dapat membahayakan

l)     Berikan penjelasan pada pasien dan keluarga atau pengunjung adanya perubahan status
kesehatan dan penyebab penyakit.
RASIONAL :

a)   Meminimalkan rangsang nyeri akibat gesekan antara fragmen tulang dengna jaringan
lunak di sekitarnya.

b)   Menghindari tekanan yang berlebih yang menonjol

c)   Mencegah perubahan posisi dengan tetap mempertahankan kenyamanan dan keamanan.

d)  Bila fase edema telah lewat, kemungkinan bebat menjadi longer dapat terjadi.

e)   Antibiotik bersifat bakte-riosida/baktiostatika untuk membunuh/menghambat


perkembangan kuman

f)    Menilai perkembangan masalah klein.


Gangguan eliminasi alvi (konstipasi) ygang berhubungan dengan gangguan persarafan pada
usus dan rektum, imobilisasi, intake cairan yang tidak adekuat

 
Batasan Karakeristik :

·         Nyeri abdomen

·         Nyeri tekan abdomen dengan teraba resistensi otot

·         Nyeri tekan abdomen tanpa teraba resistensi otot

·         Anoraksia

·         Penampilan tidak khas pada lansia

·         Borbogirigmi

·         Darah merah pada feces

·         Perubahan pada pola defekasi

·         Penurunan frekuensi

·         Penurunan volume feces

·         Distensi abdomen

·         Rasa rektal penuh

·         Rasa tekanan rektal

·         Keletihan umum

·         Feces keras dan berbentuk

·         Sakit kepala

·         Bising usus hiperaktif

·         Bising usus hipo aktif

·         Peningkatan tekanan abdomen

·         Tidak dapat makan, mual

·         Rembesan feces cair nyeri pada saat defekasi

·         Masa abdomen yang dapat diraba adnya feces lunak

·         Perkusi abdomen pekak

·         Sering flatus


·         Mengejan pada saat defekasi

·         Tidak dapat mengeluarkan feces

·         Muntah

 
NOC :

·      Bowel elimination

·      Hydration

Kriteria Hasil

·         Mempertahankan bentuk fases lunak setiap 1-3 hari

·         Bebas dari ketidaknyamanan dan konstipasi

·         Mengidentifikasi indicator ntuk menjega konstipasi

·         Fases lunak dan berbentuk


NIC :

Constipation/Impaction Management

·      Monitor tanda dan gejala konstipasi

·      Monitor bising usus

·      Monitor fases : frekwensi, konsistensi, volume

·      Konsultasi dengan dokter tentang penurunan dan peningkatan bising usus

·      Monitor tanda dan gejala rupture usus/peritoritis

·      Jelaskan etiologi dan nasionalisasi tindakan terhadap pasien

·      Identifikasi factor penyebab dan konstribusi konstipasi

·      Dukung intake cairan

·      Kolaborasikan pemberian laksatif

·      Pantau tanda-tanda dan gejala konstipasi dan inpaksi

·      Memantau gerakan usus, termasuk konsistensi frekuensi, bentuk, volume dan warna
·      Memantau bising usus

·      Konsultasikan dengan dokter tentang penurunan/tentang kenaikan bising usus

·      Pantau tanda-tanda dan gejala pecahnya usus

·      Jelaskan etiologi masalah dan pemikiran tindakan untuk pasien

·      Meyusun jadwal ke toilet

·      Mendorong meningkatkan asupan cairan kecuali dikontraindikasikan

·      Evaluasi profil obat untuk efek samping gastrointestinal

·      Anjurkan pasien/keluarga untuk mencatat warna, volume, frekuensi dan konsistensi tinja

·      Ajarkan pasien/keluarga bagaimana untuk menjaga buku harian makanan

·      Anjurkan pasien/keluarga untuk idiet tinggi serat

·      Anjurkan pasien/keluarga pada penggunaan yang tepat dari obat pencahar

·      Anjurkan pasien/keluarga pada hubungan asupan diet, olahraga dan cairan sembelit

·      Menyarankan pasien untuk berkonsultasi dengan dokter jika sembelit terus ada

·   Menginformasikan pasien prosedur penghapusan manual dari tinja jika perlu

·   Lepaskan impaksi tinja secara manual, jika perlu

·   Timbang pasien secara teratur

·   Ajarkan pisen atau keluarga tentang proses pencernaan yang normal

·   Ajarkan pasien atau keluarga tentang kerangka waktu untuk resolusi sembelit
RASIONAL :

·      Klien dan keluarga akan mengerti tentang penyebab obstipasi.

·      Perdarahan gastrointestinal dan lambung mungkin terjadi akibat trauma dan stress.

·      Bising usus menandakan sifat aktifitas peristaltic. Penurunan bising usus mungkin ada
selama syok spinal.

·      Dien seimbang tinggi kandungan serat merangsang peristaltic dan eliminasi regular.

·      Masukan cairan adeuat membantu mempertahankan konsistensi feces yang sesui pada
usus dan membantu eliminasi regular.
·      Aktifitas fisik regular membantu eliminasi dengan memperbaikei tonus otot abdomen
dan merangsang nafsu makan dan peristaltic.

·      Pelunak feces meningkatkan efisiensi pembasahan air usus, yang melunakan massa feces
dan membantu eliminasi.
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth, 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8 Vol. 3 . Jakarta :
EGC.

Mansjoer, A. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2. Edisi 3 Jakarta : FKUI

Muttaqin, arif. 2008. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persarafan.
Jakarta. Salemba Medika. Batticaca, F. 2008. Asuhan Keperawatan Klien
dengan Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta. Salemba Medika. Riyawan.com
| Kumpulan Artikel & Makalah Farmasi Keperawatan

Irapanussa, Frans. 2012. Diagnosis Dan Diagnosis Banding Cedera Spinalis. Maluku.

Setiawan, Iwan & Intan Mulida. 2010. Cedera Saraf Pusat Dan Asuhan Keperawatannya.
Yogyakarta. Nuha Medika

Snell RS. Neuroanatomi klinik untuk mahasiswa kedokteran. Jakarta: EGC; 2007. h. 20, 190.

Setiadi (2012), Konsep & Penulisan Asuhan Keperawatan, Yogyakarta: Graha Ilmu

 
 

Anda mungkin juga menyukai