Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

TENTANG “ LUMBAL CANAL STENOSIS (LCS) ”


DI RUANG TULIP 3 RSUD SIDOARJO

Oleh :
MELLYA PUSPITASARI
NIM. 2032000020

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS KESEHATAN UNIVERSITAS NURUL JADID
PAITON PROBOLINGGO
2021
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN
TENTANG “ LUMBAL CANAL STENOSIS (LCS) ”
DI RUANG TULIP 3 RSUD SIDOARJO

Sidoarjo, 15 Juni 2021


Mahasiswa

Mellya Puspitasari
NIM. 2032000020

Mengetahui,

Pembimbing Akademis Pembimbing Ruangan

Kepala Ruangan
LEMBAR KONSUL

No Tanggal Keterangan Paraf


TINJAUAN TEORI
LUMBAL CANAL STENOSIS

1. KONSEP LUMBAL CANAL STENOSIS


A. DEFINISI
Kanalis spinalis atau kanalis vertebralis merupakan rongga di dalam
tulang belakang yang dilalui oleh medula spinalis (Rahayu, 2014).
Terdapat tiga bagian dari kanal spinal yaitu, bagian atas atau spinal
servikal, bagian tengah yang disebut dengan spina toraks, dan spina
lumbar yang berada di bawah. Stenosis spinal adalah penyempitan
abnormal pada kanal tulang belakang (kanal spinalis) yang mungkin
terjadi di salah satu daerah tulang belakang. Penyempitan ini
menempatkan tekanan pada saraf dan sumsum tulang belakang dan dapat
menyebabkan nyeri (Rahayu, 2014).
Lumbal spinal canal stenosis atau lumbal kanal stenosis adalah
merupakan penyempitan osteoligamentous kanalis vertebralis dan atau
foramen intervertebralis yang menghasilkan penekanan pada akar saraf
sumsum tulang belakang. Penyempitan kanal tulang belakang atau sisi
kanal yang melindungi saraf sering mengakibatkan penekanan dari akar
saraf sumsum tulang belakang. Saraf menjadi semakin terdesak karena
diameter kanal menjadi lebih sempit. Prevalensinya 5 dari 1000 orang
diatas usia 50 tahun di Amerika. Pria lebih tinggi insidennya dari pada
wanita, dan paling banyak mengenai L4-L5 dan L3-L4.
Stenosis tulang belakang lumbal (penyempitan pada ruang saraf)
adalah penyakit yang terutama mengenai usia paruh baya dan usia lebih
tua, dan terjadi akibat penyempitan kanal spinal secara perlahan, mulai
dari gangguan akibat penebalan ligamen kuning, sendi faset yang
membesar, dan diskus yang menonjol. Biasanya seseorang dengan stenosis
tulang belakang memiliki keluhan khas nyeri yang luar biasa pada tungkai
atau betis dan punggung bagian bawah bila berjalan. Hal ini biasanya
terjadi berulang kali dan hilang dengan duduk atau bersandar. Saat tulang
belakang dibungkukkan, akan tersedia ruang yang lebih luas bagi kanal
spinal, sehingga gejala berkurang. Meskipun gejala dapat muncul akibat
penyempitan kanal spinal, tidak semua pasien mengalami gejala. Belum
diketahui mengapa sebagian pasien mengalami gejala dan sebagian lagi
tidak. Karena itu, istilah stenosis tulang belakang bukan merujuk pada
ditemukannya penyempitan kanal spinal, namun lebih pada adanya nyeri
tungkai yang disebabkan oleh penekanan saraf yang terkait.
Lumbar spinal stenosis adalah spinal stenosis pada daerah lumbal,
yaitu ruang di dalam tulang punggung bagian bawah yang membawa saraf
ke kaki. Bagian ini sangat sempit. Selama bertahun-tahun, tulang dan
jaringan di sekitar kanal tumbuh, menyebabkan kanal menjadi lebih sempit
dari waktu ke waktu. Penyempitan ini menekan saraf sehingga dapat
menyebabkan nyeri punggung, paratyphi C, paratifoid biasanya lebih
ringan, dengan gambaran klinis sama. ( Widodo Djoko, 2016 ).

B. ETIOLOGI
Ada 3 faktor yang berkontribusi terhadap lumbal spinal canal stenosis,
antara lain:
a. Pertumbuhan berlebih pada tulang.
b. Ligamentum flavum hipertrofi
c. Prolaps diskus
Sebagian besar kasus stenosis kanal lumbal adalah karena progresif
tulang dan pertumbuhan berlebih jaringan lunak dari arthritis. Risiko
terjadinya stenosis tulang belakang meningkat pada orang yang:
a. Terlahir dengan kanal spinal yang sempit
b. Jenis kelamin wanita lebih beresiko daripada pria
c. Usia 50 tahun atau lebih (osteofit atau tonjolan tulang berkaitan dengan
pertambahan usia).
d. Pernah mengalami cedera tulang belakang sebelumnya) (Rahayu,
2014)..
C. MANIFESTASI KLINIS
Gejala yang dirasakan tiap pasien berbeda tergantung pola dan
distribusi stenosis. Gejala bisa berhubungan dengan satu akar saraf pada
satu level. Adapun manifestasi kliniknya adalah:
a. Kebanyakan pasien mengeluh pada nyeri pinggang bawah (95%)
b. Nyeri pada ekstremitas bawah (71%) berupa rasa terbakar yang sifatnya
hilang timbul, kesemutan, berat, geli di posterior atau posterolateral
tungkai
c. Kelemahan (33%) yang menjalar ke ekstremitas bawah memburuk
dengan berdiri lama, beraktivitas, atau ekstensi lumbal yang biasanya
berkurang pada saat duduk, berbaring, dan posisi fleksi lumbal.
D. PATOFISIOLOGI
Tiga komponen biokimia utama diskus intervertebralis adalah air,
kolagen, dan proteoglikan, sebanyak 90-95% total volume diskus. Kolagen
tersusun dalam lamina, membuat diskus mampu berekstensi dan membuat
ikatan intervertebra. Proteoglikan berperan sebagai komponen
hidrodinamik dan elektrostatik dan mengontrol turgor jaringan dengan
mengatur pertukaran cairan pada matriks diskus. Komponen air memiliki
porsi sangat besar pada berat diskus, jumlahnya bervariasi tergantung
beban mekanis yang diberikan pada segment tersebut. Sejalan dengan
pertambahan usia cairan tersebut berkurang, akibatnya nukleus pulposus
mengalami dehidrasi dan kemampuannya mendistribusikan tekanan
berkurang, memicu robekan pada annulus.
Kolagen memberikan kemampuan peregangan pada diskus. Nucleus
tersusun secara eksklusif oleh kolagen tipe-II, yang membantu
menyediakan levelhidrasi yang lebih tinggi dengan memelihara cairan,
membuat nucleus mampu melawan beban tekan dan deformitas. Annulus
terdiri dari kolagen tipe-II dan kolagen tipe-I dalam jumlah yang sama,
namun pada orang yang memasuki usia 50 tahun atau lebih tua dari 50
tahun kolagen tipe-I meningkat jumlahnya pada diskus.
Proteoglikan pada diskus intervertebralis jumlahnya lebih kecil
dibanding pada sendi kartilago, proteinnya lebih pendek, dan jumlah rantai
keratin sulfat dan kondroitin sulfat yang berbeda. Kemampatan diskus
berkaitan dengan proteoglikan, pada nuleus lebih padat daripada di
annulus. Sejalan dengan penuaan, jumlah proteoglikan menurun dan
sintesisnya juga menurun. Annulus tersusun atas serat kolagen yang
kurang padat dan kurang terorganisasi pada tepi perbatasannya dengan
nukleus dan membentuk jaringan yang renggang dengan nukleus pulposus.
Patofisiologi nyeri tidak semata-mata diakibatkan oleh kompresi akar
saraf spinalis atau cauda equina, beberapa penelitian menyebutkan bahwa
nyeri diakibatkan oleh klaudikasi neurogenik. Harus ada inflamasi dan
iritasi pada akar saraf agar gejala muncul pada ekstremitas bawah.
Kompresi pada akaf saraf normal memunculkan gejala paraestesia, defisit
sensoris, penurunan motorik, dan reflex abnormal, tapi nyeri biasanya
tidak timbul. Iritasi dan inflamasi bisa juga terjadi selama pergerakan
ekstremitas bawah atau spina saat saraf dipaksa untuk memanjang dan
menyimpang dari posisi istirahatnya.
E. PATHWAY

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Diagnosis spinal stenosis biasanya ditegakkan secara klinis. Penting
selama evaluasi klinis untuk menyingkirkan adanya penyakit pembuluh
darah perifer (berkurangnya aliran darah ke tungkai) sebagai kemungkinan
diagnosis. Pemeriksaan untuk memastikan stenosis tulang belakang
mencakup :
a. Sensasi kulit, kekuatan otot, dan refleks
b. Romberg tes, uji pinggul ekstensi dan tes fungsi neuromuskuler
c. Foto polos x-ray Lumbosacral
Merupakan penilaian rutin untuk pasien dengan back pain. Dibuat
dalam posisi AP lateral dan obliq, dengan tampak gambaran kerucut
lumbosacral junction, dan spina dalam posisi fleksi dan ekstensi.
Diharapkan untuk mendapat informasi ketidakstabilan segmen maupun
deformitas.
d. MRI (Magnetic Resonance Imaging).
MRI adalah pemeriksaan gold standar diagnosis lumbal stenosis
dan perencanaan operasi. Kelebihannya adalah bisa mengakses jumlah
segmen yang terkena, serta mengevaluasi bila ada tumor, infeksi bila
dicurigai. Selain itu bisa membedakan dengan baik kondisi central
stenosis dan lateral stenosis.
e. CT Scan dapat menunjukkan taji tulang apapun yang dapat menempel
ke tulang punggung dan mengambil ruang di sekitar saraf tulang
belakang.
f. EMG (Elektromiogram).
Dilakukan jika ada kekhawatiran tentang masalah neurologis. Ini
dilakukan untuk memeriksa apakah jalur motor saraf bekerja dengan
benar.
g. Somatosensori (SSEP) tes.
Tes ini dilakukan untuk mencari lebih tepatnya di mana saraf
tulang belakang tertekan. SSEP digunakan untuk mengukur sensasi
saraf. Impuls sensorik perjalanan saraf, menginformasikan tentang
sensasi tubuh seperti rasa sakit, suhu, dan sentuhan.
h. Tes darah untuk menentukan apakah gejala disebabkan dari kondisi
lain, seperti arthritis atau infeksi.
G. PENATALAKSANAAN
a. Terapi Konservatif Apabila tidak terdapat keterlibatan saraf berat atau
progresif, kita dapat menangani stenosis tulang belakang menggunakan
tindakan konservatif berikut ini:
1) Obat antiinflamasi nonsteroid untuk mengurangi inflamasi dan
menghilangkan nyeri
2) Analgesik untuk menghilangkan nyeri
3) Blok akar saraf dekat saraf yang terkena untuk menghilangkan nyeri
sementara
4) Program latihan dan/atau fisioterapi untuk mempertahankan gerakan
tulang belakang, memperkuat otot perut dan punggung, serta
membangun stamina, Semua hal tersebut membantu menstabilkan
tulang belakang. Beberapa pasien dapat didorong untuk mencoba
aktivitas aerobik dengan gerak progresif perlahan seperti berenang
atau menggunakan sepeda latihan.
5) Korset lumbal untuk memberikan dukungan dan membantu pasien
mendapatkan kembali mobilitasnya. Pendekatan ini terkadang
digunakan pada pasien dengan otot perut yang lemah atau pasien
berusia lanjut dengan degenerasi beberapa tingkat. Korset hanya
dapat digunakan sementara, karena penggunaan jangka panjang
dapat melemahkan otot punggung dan perut.
6) Akupuntur dapat menstimulasi lokasi-lokasi tertentu pada kulit
melalui berbagai teknik, sebagian besar dengan memanipulasi jarum
tipis dan keras dari bahan metal yang memenetrasi kulit.
b. Terapi operatif
Indikasi operasi adalah gejala neurologis yang bertambah berat,
defisit neurologis yang progresif, ketidak mampuan melakukan
aktivitas sehari-hari dan menyebabkan penurunan kualitas hidup, serta
terapi konservatif yang gagal. Prosedur yang paling standar dilakukan
adalah laminektomi dekompresi. Tindakan operasi bertujuan untuk
dekompresi akar saraf dengan berbagai tekhnik sehingga diharapkan
bisa mengurangi gejala pada tungkai bawah dan bukan untuk
mengurangi LBP (low back pain), walaupun pasca operasi gejala LBP
akan berkurang secara tidak signifikan.
H. KOMPLIKASI
Karena lumbar stenosis lebih banyak mengenai populasi lanjut usia
maka kemungkinan terjadi komplikasi pasca operasi lebih tinggi dari pada
orang yang lebih muda. Selain itu juga lebih banyak penyakit penyerta
pada orang lanjut usia yang akan mempengaruhi proses pemulihan pasca
operasi. Komplikasi dibagi menjadi empat grup yaitu , infeksi, vaskuler,
kardiorespirasi, dan kematian. Kematian berkorelasi dengan usia dan
penyakit komorbid. Peningkatan resiko komplikasi yang berkaitan dengan
fusi meliputi infeksi luka, DVT (deep vein thrombosis) atau emboli paru,
kerusakan saraf. Komplikasi pada graft, dan kegagalan pada instrumen.
Komplikasi laminektomi bisa terjadi fraktur pada facet lumbar, dan
spondilolistesis postoperatif.

2. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


A. Pengkajian Keperawatan
Pengkajian preoperasi dilakukan sebagai langkah pertama proses
keperawatan perioperatif di ruang operasi yang disusun agar perawat dan
pasien dapat merencanakan hasil pascaoperasi yang maksimal. Pengkajian
praoperasi meliputi riwayat kesehatan atau medis, riwayat
psikososialspiritual, pemeriksaan fisik, pengkajian kognitif dan uji
diagnostik (Black & Hawks, 2014). Pada fase preoperatif perawat juga
harus melakukan pemeriksaan atau sign in yang hasilnya
didokumentasikan pada surgical safety ceklist. Pengkajian preoperatif
yang dilakukan yaitu sebagai berikut:
a. Pengkajian Psikologis, meliputi perasaan takut/cemas dan keadaan
emosi pasien.
b. Pengkajian Fisik, pengkajian tanda-tanda vital : tekanan darah, nadi,
pernafasan, suhu, dan nyeri
c. Sistem integument, apakah pasien pucat, sianosis dan adakah penyakit
kulit di area badan.
d. Sistem Kardiovaskuler, apakah ada gangguan pada sisitem
cardiovaskuler, validasi apakah pasien menderita penyakit jantung,
kebiasaan minum obat jantung sebelum operasi, Kebiasaan merokok
dan minum alcohol, adanya Oedema, Irama dan frekuensi jantung yang
abnormal.
e. Sistem pernafasan, Apakah ada masalah pada sistem pernapasan
pasien?
f. Sistem gastrointestinal
g. Sistem reproduksi, apakah pasien mengalami masalah reproduksi?
h. Sistem muskuloskeletal, pada kasus SCSL perlu diketahui apakah
pasien mengalami kelemahan atau nyeri pada ekstremitas khususnya
ekstermitas bawah?
i. Dilakukan sign in menggunakan Surgical Patient Safety Cheklist.
Pengkajian Intraoperatif, Pada fase intra operatif selain memberikan
asuhan keperawatan perawat khususnya perawat sirkulator bertugas untuk
melakukan time out dan sign out. Pengkajian yang dilakukan di fase
intraoperasi ini lebih kompleks dan harus dilakukan secara cepat dan
ringkas agar segera dilakukan intervensi keperawatan yang sesuai dengan
kondisi pasien. Hal-hal yang dikaji selama dilaksanakannya operasi bagi
pasien yang diberi anaesthesi total adalah yang bersifat fisik saja,
sedangkan pada pasien yang diberi anaesthesilokal ditambah dengan
pengkajian psikososial. Hal yang sangat perlu diperhatikan pada fase
intraoperatif yaitu validasi identitas dan prosedur jenis pembedahan yang
akan dilakukan, serta konfirmasi kelengkapan data penunjang laboratorium
dan radiologi (Mutaqqin, Arif, & Kumala, 2009).
Secara umum yang perlu dikaji adalah :
a. Pengkajian mental, bila pasien diberi anaesthesi lokal;
b. Pengkajian fisik, tanda-tanda vital (bila terjadi ketidak normalan maka
perawat harus memberitahukan ketidak normalan tersebut kepada ahli
bedah).
c. Pemasukan dan pengeluaran cairan.
d. Dilakukannya time out dan sign out.
Pengkajian Postoperatif Fokus pengkajian pascaoperasi mencangkup:
breathing (nafas), blood (darah), brain (otak), bladder (kandung kemih),
bowel (usus), dan bone (tulang). Tindakan keperawatan yang dilakukan
oleh perawat terdiri dari delapan tindakan yang harus dilakukan yaitu,
pengelolaan jalan napas, monitor sirkulasi, monitor cairan dan elektrolit,
monitor suhu, menilai aldrete score, pengelolaan keamanan dan
kenyamanan pasien (Majid, et. al, 2011).
Uraian pengkajian pada fase intraoperatf yaitu sebagai berikut:
a. Status respirasi, meliputi: kebersihan jalan nafas, kedalaman
pernafasaan, kecepatan dan sifat pernafasan dan bunyi nafas;
b. Status sirkulasi, meliputi: nadi, tekanan darah, suhu dan warna kulit;
c. Status neurologis, meliputi tingkat kesadaran;
d. Suhu tubuh;
e. Kondisi luka: panjang luka, kebersihan balutan, dan perdarahan;
f. Nyeri: jika pasien sudah bisa merasakan nyeri post anastesi maka nyeri
dikaji secara komprehensif
g. Gastrointenstinal: mengkaji adanya mual muntah post anastesi
h. Cairan dan elektrolit: mengkaji pemasukan cairan dan pengeluaran
cairan;
Data yang diperoleh atau dikaji tergantung pada tempat terjadinya,
beratnya, apakah akut/kronik, pengaruh terhadap struktur di sekelilingnya
dan banyaknya akar saraf yang terkompresi (tertekan). Adapun pengkajian
keperawatan meliputi:
a. Aktivitas / Istirahat
1) Gejala
a) Meliputi riwayat pekerjaan yang perlu mengangkat benda berat,
duduk, mengemudi dalam waktu lama.
b) Membutuhkan papan/matras yang keras selam tidur
c) Penurunan rentang gerak dari ekstremitas pada salah satu bagian
tubuh
d) Tidak mampu melakukan aktivitas yang biasanya dilakukan
2) Tanda
a) Atrofi otot pada bagian yang terkena
b) Gangguan dalam berjalan
b. Eliminasi
1) Gejala
a) Konstipasi, mengalami kesulitan dalam defekasi
b) Adanya inkontinensia/retensi urine
c. Ego
1) Gejala
a) Ketakutan akan timbulnya paralisis, ansietas masalah pekerjaan,
finansial keluarga
2) Tanda
a) Tampak cemas, depresi, menghindar dari keluarga/orang terdekat
d. Neurosensori
1) Gejala
a) Kesemutan, kekakuan, kelemahan dari tangan/kaki
2) Tanda
a) Penurunan reflex tendon dalam, kelemahan otot, hipotonia. Nyeri
tekan/spasme otot paravertebralis. Penurunan persepsi nyeri
(sensori).
e. Nyeri / Kenyamanan
1) Gejala
a) Nyeri seperti tertusuk pisau, yang akan semakin memburuk
dengan adanya batuk, bersin, membengkokkan badan,
mengangkat, defekasi, mengangkat kaki atau fleksi pada leher,
nyeri yang tidak ada hentinya atau adanya episode nyeri yang
lebih berat secara intermiten, nyeri yang menjalar ke kaki, bokong
(lumbal) atau bahu/lengan, kaku pada leher (servikal).
2) Tanda
a) Sikap: dengan cara bersandar dari bagian tubuh yang terkena.
Perubahan cara berjalan, berjalan dengan terpincang-pincang,
pinggang terangkat pada bagian tubuh yang terkena. Nyeri pada
palpasi.
f. Keamanan
Gejala adalah Adanya riwayat masalah punggung yang baru saja terjadi
B. Diagnosa Keperawatan
Masalah keperawatan pada pasien dengan Lumbal Canal Stenosis
(PPNI, 2017) :
a. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik (D.0077)
b. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan integritas
struktur tulang (D.0054)
c. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan penurunan mobilitas
(D.0129)
d. Ansietas berhubungan dengan krisis situasi (D.0080)
C. Intervensi Keperawatan
Intervensi Keperawatan dilakukan berdasarakan Standar Intervensi
Keperawatan Indonesia (Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018) dengan kriteria
28 hasil berdasarkan Standar Luaran Keperawatan Indonesia (Tim Pokja
SLKI DPP PPNI, 2019) :
a. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik (D.0077).
1) Tujuan umum : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan
ekspetasi tingkat nyeri menurun.
2) Kriteria hasil :
a) Kemampuan menuntaskan aktivitas meningkat
b) Keluhan nyeri menurun
c) Meringis menurun
d) Sikap protektif menurun
e) Gelisah menurun
f) Kesulitan tidur menurun
g) Menarik diri menurun
h) Berfokus pada diri sendiri menurun
i) Diaforesis menurun
j) Perasaan depresi (tertekan ) menurun
k) Perasaan takut mengalami cedera berulang menurun
l) Anoreksia menurun
m)Perineum terasa tertekan menurun
n) Terus teraba membulat menurun
o) Ketegangan otot menurun
p) Pupil dilatasi menurun
q) Muntah menurun mual menurun
r) Frekuensi nadi membaik
s) Pola nafas membaik
t) Tekanan darah membaik
u) Proses berpikir membaik
v) Fokus membaik
w) Fungsi berkemih membaik
x) Perilaku membaik
y) Nafsu makan membaik
z) Pola tidur membaik
3) Intervensi : Manajemen nyeri (I.08238)
- Observasi
a) Identifikasi lokasi, karekteristik, durasi, frekuensi, kualitas,
intensitas nyeri
b) Identifikasi skala nyeri
c) Identifikasi respons nyeri non verbal
d) Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri.
e) Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri.
f) Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon nyeri.
g) Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup
h) Monitor keberhasilan terapi komplementer yang sudah
diberikan
i) Monitor efek samping penggunaan analgesic
- Terapeutik
a) Berikan teknik non farmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
(mis. TENS, hypnosis, akupresur, terapi music, biofeedback,
terapi pijat, aromaterapi, teknik imajinasi terbimbing, kompres
hangat/dingin, terapi bermain)
b) Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri (mis. suhu
ruangan, pencahayaan, kebisingan)
c) Fasilitasi istirahat dan tidur
d) Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan
strategi meredakan nyeri
- Edukasi
a) Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
b) Jelaskan strategi meredakan nyeri
c) Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
d) Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat
e) Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi
f) Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu
b. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan
integritas struktur tulang (D.0054)
1) Tujuan umum : setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan
mobilitas fisik meningkat.
2) Kriteria hasil :
a) Pergerakan ekstermitas meningkat
b) Kekuatan otot meningkat
c) Rentang gerak (ROM) meningkat
d) Nyeri menurun
e) Kecemasan menurun
f) Kaku sendi menurun
g) Gerakan tidak teroordinasi menurun
h) Gerakan terbatas menurun
i) Kelemahan fisik menurun
3) Intervensi : Dukungan Ambulasi (I.06171)
- Observasi
a) Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik lainnya.
b) Identifikasi toleransi fisik melakukan ambulasi.
c) Monitor frekuensi jantung dan tekanan darah sebelum memulai
ambulasi.
d) Monitor kondisi umum selama melakukan ambulasi.
- Terapeutik
a) Fasilitasi aktivitas ambulasi dengan alat bantu (mis.
Tongkat,kruk)
b) Fasilitas melakukan mobilitas fisik, jika perlu
c) Libatkan keluarga untuk membantu pasien dalam meningkat
ambulasi.
- Edukasi
a) Jelaskan tujuan dan prosedur ambulasi.
b) Anjurkan melakukan ambulasi dini.
c) Ajarkan ambulasi sederhana yang harus dilakukan (mis.
Berjalan dan tempat tidur ke kursi roda, berjalan dari tempat
tidur ke kamar mandi, berjalan sesuai toleransi).
c. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan penurunan
mobilitas (D.0129)
1) Tujuan umum : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan
ekspetasi integritas kulit dan jaringan meingkat.
2) Kriteria hasil :
a) Elastisitas meningkat
b) Hidrasi meningkat
c) Perfusi jaringan meningkat
d) Kerusakan jaringan menurun
e) Kerusakan lapisan kulit menurun
f) Nyeri menurun
g) Perdarahan menurun
h) Kemerahan menurun
i) Hematoma menurun
j) Pigmentasi abnormal menurun
k) Jaringan parut menurun
l) Nekrosis menurun
m)Abrasi kornea menurun
n) Suhu kulit membaik
o) Sensasi membaik
p) Tekstur membaik
q) Pertumbuhan rambut membaik
3) Intervensi : Perawatan luka (I.14564)
- Observasi
a) monitor karakteristik luka
b) monitor tanda-tanda infeksi
- Terapeutik
a) lepaskan balutan dan plester secara perlahan
b) cukur rambut di sekitar daerah luka, jika perlu
c) bersihkan dengan cairan NaCl atau pembersih nontoksik
sesuai kebutuhan
d) bersihkan jaringan nekrotik
e) berikan salep yang sesuai ke kulit/lesi, jika perlu
f) pasang balutan sesuai jenis luka
g) pertahankan teknik steril saat melakukan perawatan luka
h) ganti balutan sesuai jumlah eksudat dan drainase
i) jadwalkan perubahan posisi setiap 2 jam atau sesuai kondisi
pasien
j) berikan diet dengan kalori 30-35 kkal/kgBB/hari dan protein
1,25-1,5 gram/kgBB/hari
k) Berikan suplemen vitamin dan mineral
l) berikan terapi tens, jika perlu
- Edukasi
a) Jelaskan tanda dan gejala infeksi
b) anjurkan mengkonsumsi makanan tinggi kalori dan protein
c) ajarkan prosedur perawatan luka secara mandiri Kolaborasi
d) kolaborasi prosedur debridement, jika perlu
e) kolaborasi pemberian antibiotik, jika perlu
d. Ansietas berhubungan dengan krisis situasi (D.0080)
1) Tujuan umum : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan
ansietas menurun.
2) Kriteria hasil :
a) Prilaku gelisah menurun
b) Pola tidur membaik
3) Intervensi :
- Observasi
a) Identifikasi saat tingkat ansietas berubah
b) Monitor tanda tanda ansietas
- Terapeutik
a) Pahami situasi yang membuat ansietas
b) Dengarkan dengan penuh perhatian
c) Gunakan pendekatan yang tenang dan meyakinkan
- Edukasi
a) Anjurkan keluarga untuk tetap bersama pasien, jika perlu
b) Latih teknik relaksasi
c) Kolaborasi pemberian obat anti ansietas, jika perlu.
D. Implementasi
Implementasi adalah pengolahan dan perwujudan dari rencana
keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan. Tindakan
keperawatan perawat berfokus pada keseimbangan fisiologis dengan
membantu pasien dalam keadaan sehat maupun sakit sehingga dapat
menigkatkan kualitas hidup pasien. Jenis tindakan yang telah disusun pada
tahap perencanaan. Pada implementasi ini terdiri dari tindakan mandiri,
saling ketergantungan atau kolaborasi dan tindakan rujukan/
ketergantungan. Implementasi tindakan keperawatan disesuaikan dengan
rencana tindakan keperawatan. Sebelum melaksanakan tindakan yang
sudah direncanakan, perawat perlu memvalidasi dengan singkat apakah
rencana tindakan masih sesuai dan dibutuhkan pasien sesuai dengan
kondisi saat ini (Desmawati, 2019)
E. Evaluasi
Evaluasi adalah tahap terakhir dari proses keperawatan yang bertujuan
untuk menilai hasil akhir dari seluruh tindakan keperawatan yang telah
dilakukan (Bararah & Jauhar, 2013).
DAFTAR PUSTAKA

Bararah & Jauhar. (2013). Karya Tulis Ilmiah Asuhan Keperawatan Pasien
Dengan lumbal canal stenosis Di Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Wahab
Sjahranie Samarinda.
Desmawati. (2019). Teori Model Konseptual Keperawatan.
Rahayu. (2014). Kamus Kesehatan. Jakarta : Mahkota Kita
Tim pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Diagnosa Keperawataan Indonesia.
Jakarta Selatan. Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional
Indonesia
Tim pokja SDKI DPP PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawataan Indonesia.
Jakarta Selatan. Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional
Indonesia
Tim pokja SDKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawataan
Indonesia. Jakarta selatan. Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat
Nasional Indonesia
Widodo Joko. 2016. Buku Ajar Penyakit Dalam. Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai