Oleh :
MELLYA PUSPITASARI
NIM. 2032000020
Mellya Puspitasari
NIM. 2032000020
Mengetahui,
Kepala Ruangan
LEMBAR KONSUL
B. ETIOLOGI
Ada 3 faktor yang berkontribusi terhadap lumbal spinal canal stenosis,
antara lain:
a. Pertumbuhan berlebih pada tulang.
b. Ligamentum flavum hipertrofi
c. Prolaps diskus
Sebagian besar kasus stenosis kanal lumbal adalah karena progresif
tulang dan pertumbuhan berlebih jaringan lunak dari arthritis. Risiko
terjadinya stenosis tulang belakang meningkat pada orang yang:
a. Terlahir dengan kanal spinal yang sempit
b. Jenis kelamin wanita lebih beresiko daripada pria
c. Usia 50 tahun atau lebih (osteofit atau tonjolan tulang berkaitan dengan
pertambahan usia).
d. Pernah mengalami cedera tulang belakang sebelumnya) (Rahayu,
2014)..
C. MANIFESTASI KLINIS
Gejala yang dirasakan tiap pasien berbeda tergantung pola dan
distribusi stenosis. Gejala bisa berhubungan dengan satu akar saraf pada
satu level. Adapun manifestasi kliniknya adalah:
a. Kebanyakan pasien mengeluh pada nyeri pinggang bawah (95%)
b. Nyeri pada ekstremitas bawah (71%) berupa rasa terbakar yang sifatnya
hilang timbul, kesemutan, berat, geli di posterior atau posterolateral
tungkai
c. Kelemahan (33%) yang menjalar ke ekstremitas bawah memburuk
dengan berdiri lama, beraktivitas, atau ekstensi lumbal yang biasanya
berkurang pada saat duduk, berbaring, dan posisi fleksi lumbal.
D. PATOFISIOLOGI
Tiga komponen biokimia utama diskus intervertebralis adalah air,
kolagen, dan proteoglikan, sebanyak 90-95% total volume diskus. Kolagen
tersusun dalam lamina, membuat diskus mampu berekstensi dan membuat
ikatan intervertebra. Proteoglikan berperan sebagai komponen
hidrodinamik dan elektrostatik dan mengontrol turgor jaringan dengan
mengatur pertukaran cairan pada matriks diskus. Komponen air memiliki
porsi sangat besar pada berat diskus, jumlahnya bervariasi tergantung
beban mekanis yang diberikan pada segment tersebut. Sejalan dengan
pertambahan usia cairan tersebut berkurang, akibatnya nukleus pulposus
mengalami dehidrasi dan kemampuannya mendistribusikan tekanan
berkurang, memicu robekan pada annulus.
Kolagen memberikan kemampuan peregangan pada diskus. Nucleus
tersusun secara eksklusif oleh kolagen tipe-II, yang membantu
menyediakan levelhidrasi yang lebih tinggi dengan memelihara cairan,
membuat nucleus mampu melawan beban tekan dan deformitas. Annulus
terdiri dari kolagen tipe-II dan kolagen tipe-I dalam jumlah yang sama,
namun pada orang yang memasuki usia 50 tahun atau lebih tua dari 50
tahun kolagen tipe-I meningkat jumlahnya pada diskus.
Proteoglikan pada diskus intervertebralis jumlahnya lebih kecil
dibanding pada sendi kartilago, proteinnya lebih pendek, dan jumlah rantai
keratin sulfat dan kondroitin sulfat yang berbeda. Kemampatan diskus
berkaitan dengan proteoglikan, pada nuleus lebih padat daripada di
annulus. Sejalan dengan penuaan, jumlah proteoglikan menurun dan
sintesisnya juga menurun. Annulus tersusun atas serat kolagen yang
kurang padat dan kurang terorganisasi pada tepi perbatasannya dengan
nukleus dan membentuk jaringan yang renggang dengan nukleus pulposus.
Patofisiologi nyeri tidak semata-mata diakibatkan oleh kompresi akar
saraf spinalis atau cauda equina, beberapa penelitian menyebutkan bahwa
nyeri diakibatkan oleh klaudikasi neurogenik. Harus ada inflamasi dan
iritasi pada akar saraf agar gejala muncul pada ekstremitas bawah.
Kompresi pada akaf saraf normal memunculkan gejala paraestesia, defisit
sensoris, penurunan motorik, dan reflex abnormal, tapi nyeri biasanya
tidak timbul. Iritasi dan inflamasi bisa juga terjadi selama pergerakan
ekstremitas bawah atau spina saat saraf dipaksa untuk memanjang dan
menyimpang dari posisi istirahatnya.
E. PATHWAY
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Diagnosis spinal stenosis biasanya ditegakkan secara klinis. Penting
selama evaluasi klinis untuk menyingkirkan adanya penyakit pembuluh
darah perifer (berkurangnya aliran darah ke tungkai) sebagai kemungkinan
diagnosis. Pemeriksaan untuk memastikan stenosis tulang belakang
mencakup :
a. Sensasi kulit, kekuatan otot, dan refleks
b. Romberg tes, uji pinggul ekstensi dan tes fungsi neuromuskuler
c. Foto polos x-ray Lumbosacral
Merupakan penilaian rutin untuk pasien dengan back pain. Dibuat
dalam posisi AP lateral dan obliq, dengan tampak gambaran kerucut
lumbosacral junction, dan spina dalam posisi fleksi dan ekstensi.
Diharapkan untuk mendapat informasi ketidakstabilan segmen maupun
deformitas.
d. MRI (Magnetic Resonance Imaging).
MRI adalah pemeriksaan gold standar diagnosis lumbal stenosis
dan perencanaan operasi. Kelebihannya adalah bisa mengakses jumlah
segmen yang terkena, serta mengevaluasi bila ada tumor, infeksi bila
dicurigai. Selain itu bisa membedakan dengan baik kondisi central
stenosis dan lateral stenosis.
e. CT Scan dapat menunjukkan taji tulang apapun yang dapat menempel
ke tulang punggung dan mengambil ruang di sekitar saraf tulang
belakang.
f. EMG (Elektromiogram).
Dilakukan jika ada kekhawatiran tentang masalah neurologis. Ini
dilakukan untuk memeriksa apakah jalur motor saraf bekerja dengan
benar.
g. Somatosensori (SSEP) tes.
Tes ini dilakukan untuk mencari lebih tepatnya di mana saraf
tulang belakang tertekan. SSEP digunakan untuk mengukur sensasi
saraf. Impuls sensorik perjalanan saraf, menginformasikan tentang
sensasi tubuh seperti rasa sakit, suhu, dan sentuhan.
h. Tes darah untuk menentukan apakah gejala disebabkan dari kondisi
lain, seperti arthritis atau infeksi.
G. PENATALAKSANAAN
a. Terapi Konservatif Apabila tidak terdapat keterlibatan saraf berat atau
progresif, kita dapat menangani stenosis tulang belakang menggunakan
tindakan konservatif berikut ini:
1) Obat antiinflamasi nonsteroid untuk mengurangi inflamasi dan
menghilangkan nyeri
2) Analgesik untuk menghilangkan nyeri
3) Blok akar saraf dekat saraf yang terkena untuk menghilangkan nyeri
sementara
4) Program latihan dan/atau fisioterapi untuk mempertahankan gerakan
tulang belakang, memperkuat otot perut dan punggung, serta
membangun stamina, Semua hal tersebut membantu menstabilkan
tulang belakang. Beberapa pasien dapat didorong untuk mencoba
aktivitas aerobik dengan gerak progresif perlahan seperti berenang
atau menggunakan sepeda latihan.
5) Korset lumbal untuk memberikan dukungan dan membantu pasien
mendapatkan kembali mobilitasnya. Pendekatan ini terkadang
digunakan pada pasien dengan otot perut yang lemah atau pasien
berusia lanjut dengan degenerasi beberapa tingkat. Korset hanya
dapat digunakan sementara, karena penggunaan jangka panjang
dapat melemahkan otot punggung dan perut.
6) Akupuntur dapat menstimulasi lokasi-lokasi tertentu pada kulit
melalui berbagai teknik, sebagian besar dengan memanipulasi jarum
tipis dan keras dari bahan metal yang memenetrasi kulit.
b. Terapi operatif
Indikasi operasi adalah gejala neurologis yang bertambah berat,
defisit neurologis yang progresif, ketidak mampuan melakukan
aktivitas sehari-hari dan menyebabkan penurunan kualitas hidup, serta
terapi konservatif yang gagal. Prosedur yang paling standar dilakukan
adalah laminektomi dekompresi. Tindakan operasi bertujuan untuk
dekompresi akar saraf dengan berbagai tekhnik sehingga diharapkan
bisa mengurangi gejala pada tungkai bawah dan bukan untuk
mengurangi LBP (low back pain), walaupun pasca operasi gejala LBP
akan berkurang secara tidak signifikan.
H. KOMPLIKASI
Karena lumbar stenosis lebih banyak mengenai populasi lanjut usia
maka kemungkinan terjadi komplikasi pasca operasi lebih tinggi dari pada
orang yang lebih muda. Selain itu juga lebih banyak penyakit penyerta
pada orang lanjut usia yang akan mempengaruhi proses pemulihan pasca
operasi. Komplikasi dibagi menjadi empat grup yaitu , infeksi, vaskuler,
kardiorespirasi, dan kematian. Kematian berkorelasi dengan usia dan
penyakit komorbid. Peningkatan resiko komplikasi yang berkaitan dengan
fusi meliputi infeksi luka, DVT (deep vein thrombosis) atau emboli paru,
kerusakan saraf. Komplikasi pada graft, dan kegagalan pada instrumen.
Komplikasi laminektomi bisa terjadi fraktur pada facet lumbar, dan
spondilolistesis postoperatif.
Bararah & Jauhar. (2013). Karya Tulis Ilmiah Asuhan Keperawatan Pasien
Dengan lumbal canal stenosis Di Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Wahab
Sjahranie Samarinda.
Desmawati. (2019). Teori Model Konseptual Keperawatan.
Rahayu. (2014). Kamus Kesehatan. Jakarta : Mahkota Kita
Tim pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Diagnosa Keperawataan Indonesia.
Jakarta Selatan. Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional
Indonesia
Tim pokja SDKI DPP PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawataan Indonesia.
Jakarta Selatan. Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional
Indonesia
Tim pokja SDKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawataan
Indonesia. Jakarta selatan. Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat
Nasional Indonesia
Widodo Joko. 2016. Buku Ajar Penyakit Dalam. Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.