Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA TN “W” DENGAN

DIAGNOSA NON HEMORAGIK STROKE DI RUANG ANGGREK


RSUD KOTA KENDARI

OLEH

MUH.RIFAL
N.202201037

CI LAHAN CI INSTITUSI

PROGRAM STUDI PROFESI NERS ANGKATAN XIII


FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MANDALA WALUYA
KENDARI TAHUN 2022
LAPORAN PENDAHULUAN
NON HEMORAGIK STROKE (NHS)
A. KONSEP MEDIS
A. Definisi
Menurut WHO stroke adalah adanya tanda-tanda klinik yang berkembang
cepat akibat gangguan fungsi otak fokal (atau global) dengan gejala-gejala yang
berlangsung selama 24 jam atau lebih yang menyebabkan kematian tanpa adanya
penyebab lain yang jelas selain vaskuler. (Hendro Susilo, 2000).
Sedangkan menurut Pahria, (2004) Stroke Non Haemoragik adalah cedera
otak yang berkaitan dengan obstruksi aliran darah otak terjadi akibat pembentukan
trombus di arteri cerebrum atau embolis yang mengalir ke otak dan tempat lain di
tubuh.
Stroke nonhemoragik adalah stroke yang disebabkan karena sumbatan pada
arteri sehingga suplai glukosa dan oksigen ke otak berkurang dan terjadi kematian
sel atau jaringan otak yang disuplai.
B. Etiologi
Menurut Baughman, C Diane.dkk (2000) stroke biasanya di akibatkan dari
salah satu tempat kejadian, yaitu:
1. Trombosis (Bekuan darah di dalam pembuluh darah otak atau leher).
2. Embolisme serebral (Bekuan darah atau material lain yang di bawa ke otak
dari bagian otak atau dari bagian tubuh lain).
3. Hemorargik cerebral (Pecahnya pembuluh darah serebral dengan perlahan ke
dalam jaringan otak atau ruang sekitar otak). Akibatnya adalah gangguan
suplai darah ke otak , menyebabkan kehilangan gerak, pikir, memori, bicara,
atau sensasi baik sementara atau permanen.
Penyebab lain terjadinya stroke non hemoragik adalah :
1. Aterosklerosis
Terbentuknya aterosklerosis berawal dari endapan ateroma (endapan lemak)
yang kadarnya berlebihan dalam pembuluh darah. Selain dari endapan lemak,
aterosklerosis ini juga mungkin karena arteriosklerosis, yaitu penebalan
dinding arteri (tunika intima) karena timbunan kalsium yang kemudian
mengakibatkan bertambahnya diameter pembuluh darah dengan atau tanpa
mengecilnya pembuluh darah.
2. Infeksi
Peradangan juga menyebabkan menyempitnya pembuluh darah, terutama yang
menuju ke otak.
3. Obat-obatan
Ada beberapa jenis obat-obatan yang justru dapat menyebabkan stroke seperti:
amfetamin dan kokain dengan jalan mempersempit lumen pembuluh darah
ke otak.
4. Hipotensi
Penurunan tekanan darah yang tiba-tiba bisa menyebabkan berkurangnya aliran
darah ke otak, yang biasanya menyebabkan seseorang pingsan. Stroke bisa
terjadi jika hipotensi ini sangat parah dan menahun.
Sedangkan faktor resiko pada stroke (Baughman, C Diane.dkk, 2000):
1. Hipertensi merupakan faktor resiko utama.
2. Penyakit kardiovaskuler (Embolisme serebral mungkin berasal dari jantung).
3. Kadar hematokrit normal tinggi (yang berhubungan dengan infark cerebral).
4. Kontrasepsi oral, peningkatan oleh hipertensi yang menyertai usia di atas 35
tahun dan kadar esterogen yang tinggi.
5. Penurunan tekanan darah yang berlebihan atau dalam jangka panjang dapat
menyebabkan iskhemia serebral umum.
6. Penyalahgunaan obat tertentu pada remaja dan dewasa muda.
7. Konsultan individu yang muda untuk mengontrol lemak darah, tekanan
darah, merokok kretek dan obesitas.
8. Mungkin terdapat hubungan antara konsumsi alkohol dengan stroke.
C. Manifestasi klinik
Menurut Smeltzer dan Bare, (2002) Stroke menyebabkan berbagai deficit
neurologik, gejala muncul akibat daerah otak tertentu tidak berfungsi akibat
terganggunya aliran darah ke tempat tersebut, bergantung pada lokasi lesi
(pembuluh darah mana yang tersumbat), ukuran area yang perfusinya tidak
adekuat, dan jumlah aliran darah kolateral (sekunder atau aksesori). Gejala
tersebut antara lain :
a. Umumnya terjadi mendadak, ada nyeri kepala
b. Parasthesia, paresis, Plegia sebagian badan
c. Stroke adalah penyakit motor neuron atas dan mengakibatkan kehilangan
control volunter terhadap gerakan motorik. Di awal tahapan stroke, gambaran
klinis yang muncul biasanya adalah paralysis dan hilang atau menurunnya
refleks tendon dalam.
d. Dysphagia
e. Kehilangan komunikasi
f. Gangguan persepsi
g. Perubahan kemampuan kognitif dan efek psikologis
h. Disfungsi Kandung Kemih
D. Patofisiologi
Infark serebral adalah berkurangnya suplai darah ke area tertentu di otak.
Luasnya infark hergantung pada faktor-faktor seperti lokasi dan besarnya
pembuluh daralidan adekdatnya sirkulasi kolateral terhadap area yang disuplai
oleh pembuluh darah yang tersumbat. Suplai darah ke otak dapat berubah (makin
lambat atau cepat) pada gangguan lokal (trombus, emboli, perdarahan, dan spasme
vaskular) atau karena gangguan umum (hipoksia karena gangguan pant dan
jantung). Aterosklerosis sering sebagai faktor penyebab infark pad-a otak.
Trombus dapat berasal dari plak arterosklerotik, atau darah dapat beku pada area
yang stenosis, tempat aliran darah mengalami pelambatan atau terjadi turbulensi
(Muttaqin, 2008).
Trombus dapat pecah dari dinding pembuluh darah terbawa sebagai emboli
dalam aliran darah. Trombus mengakihatkan iskemia jaringan otak yang disuplai
oleh pembuluh darah yang bersangkutan dan edema dan kongesti di sekitar area.
Area edema ini menyebabkan disfungsi yang lebih besar daripada area infark itu
sendiri. Edema dapat berkurang dalam beberapa jam atau kadang-kadang sesudah
beberapa hari. Dengan berkurangnya edema klien mulai menunjukkan perbaikan.
Oleh karena trombosis biasanya tidak fatal„ jika tidak terjadi perdarahan masif.
Oklusi pada pembuluh darah serebral oleh embolus menyebabkan edema dan
nekrosis diikuti trombosis. Jika terjadi septik infeksi akan meluas pada dinding
pembuluh darah maka akan terjadi abses atau ensefalitis, atau jika sisa infeksi
berada pada pembuluh darah yang tersumbat . menyebabkan dilatasi aneurisma
pembuluh darah. Hal ini akan menyebabkan perdarahan serebral, jika aneurisma
pecah atau ruptur (Muttaqin, 2008).
Perdarahan pada otak disebabkan oleh ruptur arteriosklerotik clan hipertensi
pembuluh darah. Perdarahan intraserebral yang sangat luas akan lebih sering
menyebabkan kematian di bandingkan keseluruhan penyakit serebro vaskulai;
karena perdarahan yang luas terjadi destruksi massa otak, peningkatan tekanan
intrakranial dan yang lebih berat dapat menyebabkan herniasi otak pada falk
serebri atau lewat foramen magnum (Muttaqin, 2008).
Kematian dapat disebabkan oleh kompresi batang otak, hernisfer otak, dan
perdarahan batang otak sekunder atau ekstensi perdarahan ke batang otak.
Perembesan darah ke ventrikel otak terjadi pada sepertiga kasus perdarahan otak
di nukleus kaudatus, talamus, dan pons (Muttaqin, 2008).
Jika sirkulasi serebral terhambat, dapat berkembang anoksia serebral:
Perubahan yang disebabkan oleh anoksia serebral dapat reversibel untuk waktu 4-
6 menit. Perubahan ireversibel jika anoksia lebih dari 10 menit. Anoksia serebral
dapat terjadi oleh karena gangguan yang bervariasi salah satunya henti jantung
(Muttaqin, 2008).

E. Pathway

F. Komplikasi
Komplikasi pada stroke non hemoragik adalah:
1. Berhubungan dengan imobilisasi: infeksi pernafasan, nyeri pada daerah
tertekan, konstipasi.
2. Berhubungan dengan paralise: nyeri punggung, dislokasi sendi, deformitas,
terjatuh.
3. Berhubungan dengan kerusakan otak: epilepsy, sakit kepala.
4. Hidrosefalus
G. Penatalaksanaan
Menurut Smeltzer dan Bare, (2002) penatalaksanaan stroke dapat dibagi
menjadi dua, yaitu :
a. Phase Akut :
1) Pertahankan fungsi vital seperti : jalan nafas, pernafasan, oksigenisasi dan
sirkulasi.
2) Reperfusi dengan trombolityk atau vasodilation : Nimotop. Pemberian ini
diharapkan mencegah peristiwa trombolitik / emobolik.
3) Pencegahan peningkatan TIK. Dengan meninggikan kepala 15-30
menghindari flexi dan rotasi kepala yang berlebihan, pemberian
dexamethason.
4) Mengurangi edema cerebral dengan diuretik
5) Pasien di tempatkan pada posisi lateral atau semi telungkup dengan kepala
tempat tidur agak ditinggikan sampai tekanan vena serebral berkurang
b. Post phase akut
1. Pencegahan spatik paralisis dengan antispasmodik
2. Program fisiotherapi
3. Penanganan masalah psikososial
H. Pemeriksaan penunjang
Menurut Muttaqin, (2008), pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan ialah
sebagai berikut :
a. Angiografi serebral
Membantu menentukan penyebab dari stroke secara spesifik seperti
perdarahan arteriovena atau adanya ruptur dan untuk mencari sumber
perdarahan seperti aneurisma atau malformasi vaskular.

b. Lumbal pungsi
Tekanan yang meningkat dan disertai bercak darah pada carran lumbal
menunjukkan adanya hernoragi pada subaraknoid atau perdarahan pada
intrakranial. Peningkatan jumlah protein menunjukkan adanya proses
inflamasi. Hasil pemeriksaan likuor merah biasanya dijumpai pada perdarahan
yang masif, sedangkan perdarahan yang kecil biasanya warna likuor masih
normal (xantokrom) sewaktu hari-hari pertama.
c. CT scan.
Pemindaian ini memperlihatkan secara spesifik letak edema, posisi
henatoma, adanya jaringan otak yang infark atau iskemia, dan posisinya secara
pasti. Hasil pemeriksaan biasanya didapatkan hiperdens fokal, kadang
pemadatan terlihat di ventrikel, atau menyebar ke permukaan otak.
d.   MRI
MRI (Magnetic Imaging Resonance) menggunakan gelombang
magnetik untuk menentukan posisi dan besar/luas terjadinya perdarahan otak.
Hasil pemeriksaan biasanya didapatkan area yang mengalami lesi dan infark
akibat dari hemoragik.
e. USG Doppler
Untuk mengidentifikasi adanya penyakit arteriovena (masalah sistem
karotis).
f. EEG
Pemeriksaan ini berturuan untuk melihat masalah yang timbul dan
dampak dari jaringan yang infark sehingga menurunnya impuls listrik dalam
jaringan otak.

B. KONSEP KEPERAWATAN
A. Pengkajian
Menurut Muttaqin, (2008) anamnesa pada stroke meliputi identitas klien,
keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit
keluarga, dan pengkajian psikososial.
a. Identitas Klien
Meliputi nama, umur (kebanyakan terjadi pada usia tua), jenis kelamin,
pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam MRS, nomor
register, dan diagnosis medis.
b. Keluhan utama
Sering menjadi alasan klien untuk meminta pertolongau kesehatan adalah
kelemahan anggota gerak sebelah badan, bicara pelo, tidak dapat berkomunikasi,
dan penurunan tingkat kesadaran.
c. Riwayat penyakit sekarang
Serangan stroke hemoragik sering kali berlangsung sangat mendadak, pada saat
klien sedang melakukan aktivitas. Biasanya terjadi nyeri kepala, mual, muntah
bahkan kejang sampai tidak sadar, selain gejala kelumpuhan separuh badan atau
gangguan fungsi otak yang lain.
Adanya penurunan atau perubahan pada tingkat kesadaran disebabkan perubahan
di dalam intrakranial. Keluhari perubahan perilaku juga umum terjadi. Sesuai
perkembangan penyakit, dapat terjadi letargi, tidak responsif, dan konia.
d. Riwayat penyakit dahulu
Adanya riwayat hipertensi, riwayat stroke sebelumnya, diabetes melitus, penyakit
jantung, anemia, riwayat trauma kepala, kontrasepsi oral yang lama, penggunaan
obat-obat anti koagulan, aspirin, vasodilator, obat-obat adiktif, dan kegemukan.
Pengkajian pemakaian obat-obat yang sering digunakan klien, seperti pemakaian
obat antihipertensi, antilipidemia, penghambat beta, dan lainnya. Adanya riwayat
merokok, penggunaan alkohol dan penggunaan obat kontrasepsi oral. Pengkajian
riwayat ini dapat mendukung pengkajian dari riwayat penyakit sekarang dan
merupakan data dasar untuk mengkaji lebih jauh dan untuk memberikan tindakan
selanjutnya.
e. Riwayat penyakit keluarga
Biasanya ada riwayat keluarga yang menderita hipertensi, diabetes melitus, atau
adanya riwayat stroke dari generasi terdahulu.
f. Pengkajian psikososiospiritual
Pengkajian psikologis klien stroke meliputi bebera pa dimensi yang
memungkinkan perawat untuk rnemperoleh persepsi yang jelas mengenai status
emosi, kognitif, dan perilaku klien. Pengkajian mekanisme koping yang
digunakan klien juga penting untuk menilai respons emosi klien terhadap
penyakit yang dideritanya dan perubahan peran klien dalam keluarga dan
masyarakat serta respons atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya, baik
dalam keluarga ataupun dalam masyarakat.
g. Pemeriksaan Fisik
Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan-keluhan klien,
pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung data dari pengkajian
anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan secara per sistem (B1-B6)
dengan fokus pemeriksaan fisik pada pemeriksaan B3 (Brain) yang terarah dan
dihubungkan dengan keluhan-keluhan dari klien.
1) B1 (Breathing)
Pada inspeksi didapatkan klien batuk, peningkatan produksi sputum,
sesak napas, penggunaan otot bantu napas, dan peningkatan frekuensi
pernapasan. Auskultasi bunyi napas tambahan seperti ronkhi pada klien
dengan peningkatan produksi sekret dan kemampuan batuk yang menurun
yang sering didapatkan pada klien stroke dengan penurunan tingkat kesadaran
koma.
Pada klien dengan tingkat kesadaran compos mends, pengkajian
inspeksi pernapasannya tidak ada kelainan. Palpasi toraks didapatkan taktil
premitus seimbang kanan dan kiri. Auskultasi tidak didapatkan bunyi napas
tambahan.
2) B2 (Blood)
Pengkajian pada sistem kardiovaskular didapatkan renjatan (syok
hipovolemik) yang sering terjadi pada klien stroke. Tekanan darah biasanya
terjadi peningkatan dan dapat terjadi hipertensi masif (tekanan darah >200
mmHg).
3) B3 (Brain)
Stroke menyebabkan berbagai defisit neurologis, bergantung pada
lokasi lesi (pembuluh darah mana yang tersumbat), ukuran area yang
perfusinya tidak adekuat, dan aliran darah kolateral (sekunder atau aksesori).
Lesi otak yang rusak tidak dapat membaik sepenuhnya. Pengkajian B3
(Brain) merupakan pemeriksaan fokus dan lebih lengkap dibandingkan
pengkajian pada sistem lainnya.
4) B4 (Bladder)
Setelah stroke klien mungkin mengalami inkontinensia urine
sementara karena konfusi, ketidakmampuan mengomunikasikan kebutuhan,
dan ketidakmampuan untuk mengendalikan kandung kemih karena
kerusakan kontrol motorik dan postural. Kadang kontrol sfingter urine
eksternal hilang atau berkurang. Selama periode ini, dilakukan kateterisasi
intermiten dengan teknik steril. Inkontinensia urine yang berlanjut
menunjukkan kerusakan neurologis luas.
5) B5 (Bowel)
Didapatkan adanya keluhan kesulitan menelan, nafsu makan
menurun, mual muntah pada fase akut. Mual sampai muntah disebabkan oleh
peningkatan produksi asam lambung sehingga menimbulkan masalah
pemenuhan nutrisi. Pola defekasi biasanya terjadi konstipasi akibat
penurunan peristaltik usus. Adanya inkontinensia alvi yang berlanjut
menunjukkan kerusakan neurologis luas.
6) B6 (Bone)
Stroke adalah penyakit UMN dan mengakibatkan kehilangan kontrol
volunter terhadap gerakan motorik. Oleh karena neuron motor atas
menyilang, gangguan kontrol motor volunter pada salah satu sisi tubuh dapat
menunjukkan kerusakan pada neuron motor atas pada sisi yang berlawanan
dari otak. Disfungsi motorik paling umum adalah hemiplegia (paralisis pada
salah satu sisi) karena lesi pada sisi otak yang berlawanan. Hemiparesis atau
kelemahan salah satu sisi tubuh, adalah tanda yang lain. Pada kulit, jika klien
kekurangan 02 kulit akan tampak pucat dan jika kekurangan cairan maka
turgor kulit akan buruk. Selain itu, perlu juga dikaji tanda-tanda dekubitus
terutama pada daerah yang menonjol karena klien stroke mengalami masalah
mobilitas fisik.
Adanya kesulitan untuk beraktivitas karena kelemahan, kehilangan
sensori atau paralise/ hemiplegi, serta mudah lelah menyebabkan masalah
pada pola aktivitas dan istirahat.
7) Pengkajian Tingkat Kesadaran
Kualitas kesadaran klien merupakan parameter yang paling mendasar
dan parameter yang paling penting yang membutuhkan pengkajian. Tingkat
keterjagaan klien dan respons terhadap lingkungan adalah indikator paling
sensitif untuk disfungsi sistem persarafan. Beberapa sistem digunakan untuk
membuat peringkat perubahan dalam kewaspadaan dan keterjagaan.
Pada keadaan lanjut tingkat kesadaran klien stroke biasanya berkisar
pada tingkat letargi, stupor, dan semikomatosa. Jika klien sudah mengalami
koma maka penilaian GCS sangat penting untuk menilai tingkat kesadaran
klien dan bahan evaluasi untuk pemantauan pemberian asuhan.
8) Pengkajian Fungsi Serebral
Pengkajian ini meliputi status mental, fungsi intelektual, kemampuan
bahasa, lobus frontal, dan hemisfer.
9) Status Menta
Observasi penampilan, tingkah laku, nilai gaya bicara, ekspresi wajah,
dan aktivitas motorik klien. Pada klien stroke tahap lanjut biasanya status
mental klien mengalami perubahan.
10) Fungsi Intelektual
Didapatkan penurunan dalam ingatan dan memori, baik jangka pendek
maupun jangka panjang. Penurunan kemampuan berhitung dan kalkulasi.
Pada beberapa kasus klien mengalami brain damage yaitu kesulitan untuk
mengenal persamaan dan perbedaan yang tidak begitu nyata.
11) Kemampuan Bahasa
Penurunan kemampuan bahasa tergantung daerah lesi yang
memengaruhi fungsi dari serebral. Lesi pada daerah hemisfer yang dominan
pada bagian posterior dari girus temporalis superior (area Wernicke)
didapatkan disfasia reseptif, yaitu klien tidak dapat memahami bahasa lisan
atau bahasa tertulis. Sedangkan lesi pada bagian posterior dari girus frontalis
inferior (area Broca) didapatkan disfagia ekspresif, yaitu klien dapat
mengerti, tetapi tidak dapat menjawab dengan tepat dan bicaranya tidak
lancar. Disartria (kesulitan berbicara), ditunjukkan dengan bicara yang sulit
dimengerti yang disebabkan oleh paralisis otot yang bertanggung jawab
untuk menghasilkan bicara. Apraksia (ketidakmampuan untuk melakukan
tindakan yang dipelajari sebelumnya), seperti terlihat ketika klien mengambil
sisir dan berusaha untuk menyisir rambutnya.
h. Pengkajian Saraf Kranial
Menurut Muttaqin, (2008) Pemeriksaan ini meliputi pemeriksaan saraf kranial I-
X11.
1) Saraf I: Biasanya pada klien stroke tidak ada kelainan pada fungsi
penciuman.
2) Saraf II. Disfungsi persepsi visual karena gangguan jaras sensori primer di
antara mata dan korteks visual. Gangguan hubungan visual-spasial
(mendapatkan hubungan dua atau lebih objek dalam area spasial) sering
terlihat pada Mien dengan hemiplegia kiri. Klien mungkin tidak dapat
memakai pakaian tanpa bantuan karena ketidakmampuan untuk
mencocokkan pakaian ke bagian tubuh.
3) Saraf III, IV, dan VI. Jika akibat stroke mengakibatkan paralisis, pada
4) Satu sisi otot-otot okularis didapatkan penurunan kemampuan gerakan
konjugat unilateral di sisi yang sakit.
5) Saraf V. Pada beberapa keadaan stroke menyebabkan paralisis saraf
trigenimus, penurunan kemampuan koordinasi gerakan mengunyah,
penyimpangan rahang bawah ke sisi ipsilateral, serta kelumpuhan satu sisi
otot pterigoideus internus dan eksternus.
6) Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah asimetris, dan
otot wajah tertarik ke bagian sisi yang sehat.
7) Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi.
8) Saraf IX dan X. Kemampuan menelan kurang baik dan kesulitan membuka
mulut.
9) Saraf XI. Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius.
10) Saraf XII. Lidah simetris, terdapat deviasi pada satu sisi dan fasikulasi, serta
indra pengecapan normal.
i. Pengkajian Sistem Motorik
Stroke adalah penyakit saraf motorik atas (UMN) dan mengakibatkan
kehilangan kontrol volunter terhadap gerakan motorik. Oleh karena UMN
bersilangan, gangguan kontrol motor volunter pada salah satu sisi tubuh dapat
menunjukkan kerusakan pada UMN di sisi ng berlawanan dari otak.
1) Inspeksi Umum. Didapatkan hemiplegia (paralisis pada salah satu sisi) karena
lesi pada sisi otak yang berlawanan. Hemiparesis atau kelemahan salah satu
sisi tubuh adalah tanda yang lain.
2) Fasikulasi. Didapatkan pada otot-otot ekstremitas.
3) Tonus Otot. Didapatkan meningkat.
B. Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan merupakan suatu penilaian klinis mengenai respons
klien terhadap suatu masalah kesehatan atau proses kehidupan yang dialaminya baik
yang berlangsung aktual maupun potensial. Diagnosa keperawatan bertujuan untuk
mengidentifikasi respon klien individu, keluarga dan komunitas terhadap yang
berkaitan dengan kesehatan. Proses penegakan diagnosa (diagnostic process)
merupakan suatu proses yang sistemasis yang terdiri atas tiga tahap yaitu analisa data,
identifikasi masalah dan perumusan diagnosa. Diagnosis keperawatan memiliki dua
komponen utama yaitu masalah (problem) yang merupakan label diagnosis
keperawatan yang menggambarkan inti dari respons klien terhadap kondisi kesehatan,
dan indikator diagnostik. Indikator diagnostik terdiri atas penyebab, tanda/gejala dan
faktor risiko. Pada diagnosis aktual, indikator diagnostik hanya terdiri atas penyebab
dan tanda/gejala. Diagnosa keperawatan yang diambil dalam masalah ini adalah
gangguan mobilitas fisik. Gangguan mobilitas fisik merupakan keterbatasan dalam
gerakan fisik dari satu atau lebih ekstremitas secara mandiri. Gangguan mobilitas fisik
termasuk jenis kategori diagnosis keperawatan negatif. Diagnosis negatif
menunjukkan bahwa klien dalam kondisi sakit sehingga penegakkan diagnosis ini
akan mengarah ke pemberian intervensi keperawatan yang bersifat penyembuhan
(Tim Pokja SDKI PPNI, 2017)
Penyebab terjadinya gangguan mobilitas fisik antara lain kerusakan integritas
struktur tulang, perubahan metabolism, ketidakbugaran fisik, penurunan kendali otot,
penurunan massa otot, penurunan kekuatan otot, keterlambatan perkembangan,
kekakuan sendi, kontraktur, malnutrisi, gangguan muskuluskeletal, gangguan
neuromuscular, indeks masa tubuh di atas persentil ke75 sesuai usia, efek agen
farmakologis, program pembatasan gerak, nyeri, kurang terpapar informasi tentang
aktivitas fisik, kecemasan, gangguan kognitif, keengganan melakukan pergerakan,
gangguan sensori persepsi. Tanda dan gejala mayor gangguan mobilitas fisik secara
subjektif yaitu mengeluh sulit menggerakkan ekstremitas, dan secara objektif yaitu
kekuatan otot menurun dan rentang gerak (ROM) menurun (Tim Pokja SDKI PPNI,
2017). Tanda dan gejala mayor minor dari gangguan mobilitas fisik secara subjektif
yaitu nyeri saat bergerak, enggan melakukan pergerakan, merasa cemas saat bergerak,
secara objektif yaitu sendi kaku, gerakan tidak terkoordinasi, gerakan terbatas, fisik
lemah. Kondisi klinis yang terkait dengan gangguan mobilitas fisik yaitu stroke,
cedera medulla spinalis, trauma, fraktur, osteoarthritis, osteomalasia, ostemalasia dan
keganasan (Tim Pokja SDKI PPNI, 2017).
C. Perencanaan keperawatan
Setelah merumuskan diagnosa dilanjutkan dengan perencanaan dan aktivitas
keperawatan untuk mengurangi, menghilangkan serta mencegah masalah keperawatan
klien. Intervensi keperawatan merupakan segala treatment yang dikerjakan oleh
perawat yang didasarkan pada pengetahuan dan penilaian klinis untuk mencapai
luaran (outcome) yang di harapkan (Tim Pokja SIKI PPNI, 2018)
Luaran (Outcome) Keperawatan merupakan aspek-aspek yang dapat
diobservasi dan diukur meliputi kondisi, perilaku, atau persepsi pasien, keluarga atau
komunitas sebagai respon terhadap intervensi keperawatan. Luaran keperawatan
menunjukkan status diagnosis keperawatan setelah dilakukan intervensi keperawatan.
Hasil akhir intervensi keperawatan yang terdiri dari indikator-indikator atau kriteria-
kriteria hasil pemulihan masalah. Terdapat dua jenis luaran keperawatan yaitu luaran
positif (perlu ditingkatkan) dan luaran negatif (perlu diturunkan) (Tim Pokja SLKI
PPNI, 2018). Adapun komponen luaran keperawatan diantaranya label (nama luaran
keperawatan berupa kata-kata kunci informasi luaran), ekspetasi (penilaian terhadap
hasil yang diharapkan, meningkat, menurun, atau membaik), kriteria hasil
(karakteristik pasien yang dapat diamati atau diukur, dijadikan sebagai dasar untuk
menilai pencapaian hasil intervensi, menggunakan skor 1-3 pada pendokumentasian
computer-based). Ekspetasi luaran keperawatan terdiri dari ekspetasi meningkat yang
artinya bertambah baik dalam ukuran, jumlah, maupun derajat atau tingkatan,
menurun artinya berkurang baik dalam ukuran, jumlah maupun derajat atau tingkatan,
membaik artinya menimbulkan efek yang lebih baik, adekuat, atau efektif. Pemilihan
luaran keperawatan tetap harus didasarkan pada penilaian klinis dengan
mempertimbangkan kondisi pasien, keluarga, kelompok, atau komunitas (Tim Pokja
SLKI DPP PPNI, 2018). Intervensi keperawatan memiliki tiga komponen yaitu label,
definisi dan tindakan (Tim Pokja SIKI PPNI, 2018). Label merupakan kata kunci
untuk memperoleh informasi mengenai intervensi keperawatan. Label terdiri atas satu
atau beberapa kata yang diawali dengan kata benda (nomina) yang berfungsi sebagai
deskriptor atau penjelas dari intervensi keperawatan. Terdapat 18 deskriptor pada
label intervensi keperawatan yaitu dukungan, edukasi, kolaborasi, konseling,
konsultasi, latihan, manajemen, pemantauan, pemberian, pemeriksaan, pencegahan,
pengontrolan, perawatan, promosi, rujukan, resusitasi, skrining dan terapi. Definisi
merupakan komponen yang menjelaskan tentang makna dari tabel intervensi
keperawatan. Tindakan adalah rangkaian perilaku atau aktivitas yang dikerjakan oleh
perawat untuk mengimplementasikan intervensi keperawatan. Tindakan-tindakan
pada intervensi keperawatan terdiri atas tindakan observasi, tindakan terapeutik,
tindakan edukasi dan tindakan kolaborasi (Tim Pokja SIKI PPNI, 2018). Klasifikasi
intervensi keperawatan gangguan mobilitas fisik termasuk dalam kategori fisiologis
yang merupakan intervensi keperawatan yang ditujukan untuk mendukung fungsi
fisik dan regulasi homeostatis dan termasuk dalam subkategori aktivitas dan istirahat
yang memuat kelompok intervensi untuk memnfasilitasi pasien dalam meningkatkan
aktivitas pergerakan fisik. Sebelum menentukan perencanaan keperawatan, perawat
terlebih dahulu menetapkan tujuan. Dalam hal ini tujuan yang diharapkan pada klien
dengan gangguan mobilitas fisik yaitu : pergerakan ekstremitas meningkat, kekuatan
otot meningkat, rentang gerak (ROM) meningkat, nyeri menurun, kecemasan
menurun, kaku sendi menurun, gerakan tidak terkoordinasi menurun, gerakan terbatas
menurun, kelemahan fisik menurun. Setelah menetapkan tujuan dilanjutkan dengan
perencanaan keperawatan. Rencana keperawatan pada pasien dengan gangguan
mobilitas fisik antara lain : dukungan mobilisasi dan pengaturan posisi
D. Implementasi keperawatan
Implementasi keperawatan merupakan sebuah fase dimana perawat
melaksanakan rencana atau intervensi yang sudah dilaksanakan sebelumnya.
Berdasarkan terminologi SIKI, implementasi terdiri atas melakukan dan
mendokumentasikan yang merupakan tindakan khusus yang digunakan untuk
melaksanakan intervensi (Tim Pokja SIKI PPNI, 2018). Implementasi keperawatan
membutuhkan fleksibilitas dan kreativitas perawat. Sebelum melakukan tindakan,
perawat harus mengetahui alasan mengapa tindakan tersebut dilakukan. Implementasi
keperawatan berlangsung dalam tiga tahap. Fase pertama merupakan fase persiapan
yang mencakup pengetahuan tentang validasi rencana, implementasi rencana,
persiapan pasien dan keluarga. Fase kedua merupakan puncak implementasi
keperawatan yang berorientasi pada tujuan. Fase ketiga merupakan transmisi perawat
dan pasien setelah implementasi keperawatan selesai dilakukan (Asmadi, 2008).
E. Evaluasi keperawatan
Evaluasi keperawatan merupakan tindakan akhir dalam proses keperawatan
(Tarwoto & Wartonah, 2015). Evaluasi dapat berupa evaluasi struktur, proses dan
hasil. Evaluasi terdiri dari evaluasi formatif yaitu menghasilkan umpan balik selama
program berlangsung. Sedangkan evaluasi sumatif dilakukan setelah program selesai
dan mendapatkan informasi efektivitas pengambilan keputusan (Deswani, 2011).
Evaluasi asuhan keperawatan didokumentasikan dalam bentuk SOAP. Data Subjektif
(S) dimana perawat menemui keluhan pasien yang masih dirasakan setelah diakukan
tindakan keperawatan, O (Objektif) adalah data yang berdasarkan hasilpengukuran
atau observasi perawat secara langsung pada pasien dan yangdirasakan pasien setelah
tindakan keperawatan, A (Assesment) yaitu interpretasi makna data subjektif dan
objektif untuk menilai sejauh mana tujuan yang telah ditetapkan dalam rencana
keperawatan tercapai. Dapat dikatakan tujuan tercapai apabila pasien mampu
menunjukkan perilaku sesuai kondisi yang ditetapkan pada tujuan, sebagian tercapai
apabila perilaku pasien tidak seluruhnya tercapai sesuai dengan tujuan, sedangkan
tidak tercapai apabila pasien tidak mampu menunjukkan perilaku yang diharapkan
sesuai dengan tujuan, dan yang terakhir adalah planning (P) merupakan rencana
tindakan berdasarkan analisis. Jika tujuan telah dicapai, maka perawat akan
menghentikan rencana dan apabila belum tercapai, perawat akan melakukan
modifikasi rencana untuk melanjutkan rencana keperawatan pasien. Evaluasi ini
disebut juga evaluasi proses (Dinarti,2013). Evaluasi yang diharapkan sesuai dengan
masalah yang pasien hadapi yang telah dibuat pada perencanaan tujuan dan kriteria
hasil. Evaluasi penting dilakukan untuk menilai status kesehatan pasien setelah
tindakan keperawatan. Selain itu juga untuk menilai pencapaian tujuan, baik tujuan
jangka panjang maupun jangka pendek, dan mendapatkan informasi yang tepat dan
jelas untuk meneruskan, memodifikasi, atau menghentikan asuhan keperawatan yang
diberikan (Deswani, 2011)
DAFTAR PUSTAKA

Wilkinson, Judith.(2008). Buku Saku Diagnosis Keperawatan Edisi 7. Penerbit Buku


Kedokteran (EGC). Jakarta
Herdman, T.Heather (2011).NANDA International Diagnosis Keperawatan Definisi
dan Klasifikasi 2009-2011. Penerbit Buku Kedokteran (EGC). Jakarta
Brunner and Suddarth, 2002. Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8 volume 2 Penerbit
Jakarta: EGC
http://adf.ly/4282932/banner/http://zallien.blogspot.com/2012/08/askep-stroke-non-
hemoragik-snh.html
Doengoes, Marilynn E, Jacobs, Ester Matasarrin. Rencana asuhan keperawatan:
pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien. 2000.
Jakarta : penerbit Buku Kedokteran EGC
Tim Pokja SDKI PPNI, 2017
Tim Pokja SLKI DPP PPNI, 2018
Tim Pokja SIKI PPNI, 2018

Anda mungkin juga menyukai