Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN STROKE NON HEMORAGIK


DENGAN GANGGUAN KEBUTUHAN AKTIVITAS DI RSUD RAA
SOEWONDO PATI

DISUSUN OLEH :

BAGUS INDRA SAPUTRA

P1337420119005

PROGAM STUDI D III JURUSAN KEPERAWATAN SEMARANG

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SEMARANG

2021
A. Gangguan Mobilitas Fisik Pada Pasien Stroke Non Hemoragik

1. Stroke Non Hemoragik


Stroke non hemoragik ialah tersumbatnya pembuluh darah yang
menyebabkan aliran darah ke otak sebagian atau keseluruhan terhenti
(Nuratif & Kusuma, 2015). Adanya penumpukan aterosklerosis pada
dinding pembuluh darah atau bekuan darah yang menyumbat suatu
pembuluh darah ke otak sehingga pasokan oksigen dan nutrisi tidak dapat
dikirim darah ke otak, kondisi seperti ini dapat menimbulkan kerusakan sel
otak (Wiwit, 2010). Stroke non hemoragik dapat berupa iskemia atau
emboli dan trombosis serebral, biasanya terjadi saat setelah lama
beristirahat, baru bangun tidur atau di pagi hari (Wijaya & Putri, 2013).
Tidak terjadi perdarahan namun terjadi iskemia yang menimbulkan
hipoksia dan selanjutnya dapat timbul edema sekunder (Wijaya & Putri,
2013). Penyakit motor neuron ini dapat mengakibatkan kehilangan konrol
volunter serta disfungsi gerakan motorik yaitu, hemiplegia, hemiparesis,
dan menurunnya tonus otot abnormal (Wijaya & Putri, 2013).

2. Etiologi stroke non hemoragik


Menurut Muttaqin (2008), terdapat beberapa keadaan yang dapat
menyebabkan terjadi stroke non hemoragik, diantara :

a. Trombosis Serebri

Trombosis Serebri adalah penyumbatan pembuluh darah otak oleh


thrombus yang dapat menyebabkan iskemik atau infark jaringan otak
sehingga timbul gejala disfungsi otak lokal dengan defisit neurologi
(Winasis, 2007).

b. Emboli Serebri

Emboli Serebri adalah kondisi dimana aliran darah terhambat karena


benda asing (embolus), seperti bekuan darah didalam aliran darah yang
dapat menghambat pembuluh darah (Muttaqin, 2008).
c. Iskemia

Iskemia pada otak terjadi dimana pasokan darah pada arteri otak terhambat
sehingga mengakibatkan sel otak kekurangan oksigen dan dapat
berkembang menjadi kerusakan atau kematian sel otak (Winasis, 2007).

Stroke non hemoragik disebabkan karena adanya penyumbatan pada


pembuluh darah yang menuju ke otak. Sumbatan ini dapat disebabkan oleh
dua hal, yang pertama adalah karena adanya penebalan pada dinding
pembuluh darah yang disebut dengan atheroschlerosis dan bekuan darah
yang bercampur lemak yang menempel pada dinding pembuluh darah,
yang dikenal dengan istilah thrombus.Yang kedua adalah tersumbatnya
pembuluh darah otak oleh emboli, yaitu bekuan darah yang berasal dari
thrombus di jantung (Mulyatsih & Arizia, 2008).

3. Tanda dan Gejala Stroke Non Hemoragik


Menurut Indrawati (2016), gejala dan tanda stroke sering muncul secara
tiba-tiba dan cepat. Oleh karena itu penting mengenali tanda-tanda atau
gejala stroke. Beberapa gejala stroke non hemoragik antara lain sebagai
berikut Indrawati (2016).

a. Nyeri kepala hebat secara tiba-tiba


b. Pusing, yakni merasa benda-benda disekitarnya berputar atau merasa
goyang bila bergerak atau biasanya disertai mual dan muntah
c. Bingung, terjadi gangguan orientasi ruang, waktu atau personal
d. Pengelihatan kabur atau ketajamanpengelihatan menurun, bisa pada
salah satu mata ataupun kedua mata
e. Kesulitan bicara secara tiba-tiba, mulut terlihat tertarik ke satu sisi
atau “perot”
f. Kehilangan keseimbangan, limbung, atau jatuh
g. Rasa kebas, yakni mati rasa, atau kesemutan pada satu sisi tubuh
h. Kelemahan otot-otot pada satu sisi tubuh.
Berdasarkan gejala dan tanda serta waktu terjadinya serangan, dapat
diperkirakan letak kerusakan jaringan otak serta jenis stroke yang
menyerang yakni :

a. Kesemutan atau kelemahan otot pada sisi kanan tubuh menunjukkan


terjadinya gangguan pada otak belahan kiri
b. Kehilangan keseimbangan menunjukkan gangguan terjadi di pusat
keseimbangan, yakni antara lain daerah otak kecil (cerrebellum).
Serangan stroke yang terjadi saat penderita sedang istirahat atau tidur
umumnya adalah stroke iskemik. Gejala munculnya secara bertahap
dan kesadaran umum baik, kecuali iskemiknya terjadi karena
sumbatan embolus yang berasal dari jantung maka gejala muncul
mendadak dan sering disertai nyeri kepala.

4. Faktor Resiko Yang Mempengaruhi Stroke Non Hemoragik


Faktor resiko adalah hal-hal yang meningkatkan kecenderungan seseorang
untuk mengalami stroke. Penelusuran faktor resiko penting dilakukan agar
dapat menghindari dan mencegah serangan stroke (Indrawati, 2016). Ada
dua faktor resiko yang mempengaruhi stroke non hemoragik diantaranya
faktor resiko yang dapat dikontrol dan faktor resiko yang tidak dapat
dikontrol (Indrawati, 2016).

Faktor resiko yang dapat di kontrol menurut Indrawati (2016) yaitu :

a. Pernah terserang stroke, seseorang yang pernah mengalami stroke,


termasuk TIA, rentan terserang stroke berulang. Seseorang yang
pernah mengalami TIA akan sembilan kali lebih beresiko mengalami
stroke dibandingkan yang tidak mengalami TIA.
b. Hipertensi, merupakan faktor risiko tunggal yang paling penting
untuk stroke iskemik maupun stroke perdarahan. Pada keadaan
hipertensi, pembuluh darah mendapat tekanan yang cukup besar. Jika
proses tekanan berlangsung lama, dapat menyebabkan kelemahan
pada dinding pembilih darah sehingga menjadi rapuh dan mudah
pecah. Hipertensi juga dapat menyebabkan arterosklerosis dan
penyempitan diameter pembuluh darah sehingga mengganggu aliran
darah ke jaringan otak.
c. Penyakit jantung, beberapa penyakit jantung, antara lain fibrilasi
atrial (salah satu jenis gangguan irama jantung), penyakit jantung
koroner, penyakit jantung rematik, dan orang yang melakukan
pemasangan katup jantung buatan akan meningkatkan resiko stroke.
Stroke emboli umumnya disebabkan kelainan kelaianan jantung
tersebut.
d. Diabetes melitus (DM), seseorang dengan diabetes melitus rentan
untuk menjadi ateroklerosis, hipertensi, obesistas, dan gangguan
lemak darah. Seseorang yang mengidap diabetes melitus memiliki
resiko dua kali lipat dibandinkan mereka yang tidak mengidap DM.
e. Hiperkolesterolemia, dapat menyebabkan arterosklerosis yang dapat
memicu terjadinya penyakit jantung koroner dan stroke itu sendiri.
f. Merokok, perokok lebih rentan terhadap terjadinya stroke
dibandingkan mereka yang bukan perokok. Hal tersebut disebabkan
oleh zat nikotin yang terdapat di dalam rokok membuat kerja jantung
dan frekuensi denyut jantung serta tekanan darah meningkat. Nikotin
juga mengurangi kelenturan arteri yang dapat menyebabkan
aterosklerosis.
g. Gaya hidup, diet tinggi lemak, aktivitas fisik kurang, serta stres
emosional dapat meningkatkan risiko terkena stroke. Seseorang yang
sering mengonsumsi makanan tinggi lemak dan kurang melakukan
aktivitas fisik rentan mengalami obesitas, diabetes melitus,
aterosklerosis, dan penyakit jantung. Seseoraang yang sering
mengalami stres emosional juga dapat mempengaruhi jantung dan
pembuluh darah sehingga berpotensi meningkatkan resiko serangan
stroke.
Menurut Indrawati (2016) Ada beberapa faktor resiko terkena stroke yang
tidak dapat di kontrol maupun dimodifikasi. Faktor-faktor tersebut antara
lain :

a. Usia, resiko mengalamai stroke meningkat seiring bertambahnya


usia. Resiko semakin meningkat setelah usia 55 tahun. Usia
terbanyak terkena serangan stroke adalah usia 65 tahun ke atas. Dari
2065 pasien stroke akut yang dirawat di 28 rumah sakit di Indonesia,
35,8% berusia diatas 65 tahun dan 12,9% kurang dari 45 tahun.
b. Jenis kelamin, stroke menyerang laki-laki 19% lebih banyak
dibandingkan Perempuan Ras, stroke lebih banyak menyerang dan
menyebabkan kematian pada ras kulit hitam, Asia, dan kepulauan
Pasifik, serta Hispanik dibandingkan kulit putih. Pada kulit hitam
diduga karena angka kejadian hipertensi yang tinggi serta diet tinggi
garam.
c. Genetik, resiko stroke meningkat jika ada orang tua atau saudara
kandung yang mengalami stroke atau TIA.
5. Path Way Stroke Non Hemoragik

Gambar 1 : Pathway SNH (Soekamtis, 2016).


6. Patofisiologi Stroke Non Hemoragik
Ketidakadekuatan sirkulasi aliran darah yang terjadi pada penyakit stroke
non hemoragik disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu trombosis dan
emboli. Stroke non hemoragik yang disebabkan oleh thrombosis terjadi
karena adanya aterosklerosis yaitu mengerasnya pembuluh darah dan
berkurangnya elastisitas dinding pembuluh darah sehingga mengakibatkan
penyempitan pada arteri (Sudoyo, 2009). Trombosit selanjutnya akan
melekat pada permukaan plak bersama dengan fibrin, perlekatan
trombosit secara perlahan akan mengakibatkan membesarnya ukuran
plak sehingga terbentuk trombus (Sudoyo, 2009). Faktor berikutnya
yaitu adanya emboli dimana pembuluh darah otak mengalami
penyumbatan oleh bekuan darah, lemak, dan udara yang pada umumnya
berasal dari thrombus (Mutaqqin, 2008). Trombus dan emboli didalam
pembuluh darah akan terlepas dan terbawa hingga terperangkap dalam
pembuluh darah distal, lalu menyebabkan pengurangan aliran darah yang
menuju ke otak sehingga sel otak akan mengalami kekurangan nurisi
dan juga oksigen, sel otak yang mengalami kekurangan oksigen dan
glukosa akan terjadi hipoksia serebral sehingga dapat menyebabkan
kerusakan pada jaringan otak yang disebut dengan umbra (Esther, 2010).
Umbra itu sendiri dapat mengakibatkan gangguan sistem motorik,
sensorik, fungsi luhur, dan fungsi vegetatif. Gangguan system motorik itu
meliputi hemiplegi dan tetraplegia (Schmitz, 2008). Menurut Smeltzer
(2008), lokasi kerusakan gangguan sistem motorik (hemiplegi) yaitu
terjadi pada kawasan pyramidal sesisi. Sistem pyramidal atau biasa yang
disebut traktus kortikospinalis merupakan jalur neuron tunggal yang keluar
dari kortek serebri menuju ke medula spinalis tanpa membentuk sinaps.
Fungsi utama dari sistem ini adalah untuk melakukan gerakan volunter dan
gerakan terampil dibawah kontrol kesadaran. Sistem piramidal membawa
input dari area motorik primer, area premotor, areamotorik tambahan.
Impuls yang dimunculkan oleh kortek motorik berasal dari impuls yang
diterima dari kortek sensorik yang menerima stimulus astu rangsang yang
diterima oleh sarafsensorik yang berada di perifer. Serabut saraf
piramidalis menyilang ke sisi yang berlawanan pada medula oblongata.
Apabila ada kerusakan pada kawasan pyramidal maka kerusakan akan
bersifat kontralateral. Kerusakan pyramidal sesisi itu dapat menyebabkan
hemiplegia yaitu paralisis pada salah satu sisi karena lesi pada sisi otak
yang berlawanan atau hemiparesis yaitu kelemahan salah satu sisi tubuh
yang akan selalu diikuti dengan beberapa kelainan pada saraf lainnya,
diantaranya :
a. Kelainan syaraf ke-III (Okulomotorius) yaitu terjadi paralise musculus
rectus medialis dimana didapatkan bola mata tidak dapat digerakkan
kearah nasal, bayangan kontra lateral dari gambar sebenarrnya (bila
melihat kearah yang sehat), paralise musculus rectus superior dimana
bola mata jatuh kebawah abduksi minimal bola mata yang paralitik
tidak dapat digerakkan keatas, bayangan pada sisi kolateral bila bola
mata menatap benda yang lebih tinggi dari bidang mata, bila bola mata
digerakkan keatas/kesamping bayangan akan menjauh dari gambar
sebenarnya, paralisis musculus rectus inferior didapatkan bola mata
tidak dapat di gerakkan kebawah dan samping. Posisi bola mata
terangkat dan berputar kedalam.
b. Kelainan pada saraf ke VI (Abdusen) yaitu paralise musculus lateralis
didapatkan bola mata pada lesi akan bersikap konvergensi, bola mata
tidak dapat digerakkan ke lateral, bayangan jatuh disebelah lateral dari
benda sebenarnya (bila melihat kearah lesi).
c. Kelainan saraf ke VII (Facialis) umumnya lesi terjadi pada capsula
interna. Dimana terjadi kerusakan untuk mengatur pergerakan otot-otot
pada wajah yang akan tertarik ke sisi yang sehat.
d. Kelainan saraf ke XII (Hipoglosus) biasanya sering terjadi pada
perifer, maka atrofi otot lidah dengan cepat.
Lokasi kerusakan gangguan motorik (tetraplegia) yaitu terjadi pada
kawasan pyramidal bilateral atau segmen C5. Lesi pada medulla
spinalis pada segmen C5 dapat mengakibatkan kelumpuhan UMN
pada otot-otot dibawah segmen C5 yaitu, otot kedua lengan (C6-C8),
otot thoraks, dan otot abdominal, serta otot tungkai bawah. Kondisi
yang terjadi disebut tetraplegia. Lesi pada segmen C5 juga akan
merusak lintasan asenden dan desenden lain sehingga motor neuron
juga ikut rusak, maka tingkat kelumpuhan ini bersifat Lower Motoric
Neuron (LMN) dimana terjadi plegiyang sifatnya flaccid karena
lintasan somatosensorik dan lintasan autonomy neurovegetatif asenden
dan desenden terputus. Sehingga berakibat pasien akan mengalami
gangguan sensibilitas (tidak dapat merasakan apa-apa) dan
mengakibatkan rusaknya lintasan neurovegetatif yang menimbulkan
gangguan fungsi sistem urinaria yaitu terjadinya inkontinensia alvi
atau inkontinensia urin. Lokasi kerusakan ketiga yaitu pada segmen
lumbal yang menyebabkan paraplegia sehingga didapatkan tanda
hipertonia pada otot abdomen, reflek dinding perut meningkat,
kelumpuhan kedua tungkai secara lengkap. Apabila kerusakan pada
sistem saraf pusat yang mengatur fungsi motorik atau sistem
neuromuskuloskeletal itu terjadi, penderita akan mengalami kesulitan
saat berjalan karena mengalami gangguan pada kekuatan otot,
keseimbangan dan koordinasi gerak sehingga menyebabkan seseorang
mengalami gangguan mobilitas fisik (Nurarif, 2015).

7. Pemeriksaan Penunjang
Terdapat beberapa pemeriksaan yang perlu dilakukan untuk membantu
menegakan diagnosa pada pasien stroke (Muttaqin, 2008), diantaranya :

a. Pemeriksaan Diagnostik
1) Angiografi Serebri
Angiografi serebri adalah prosedur yang melibatkan pencintraan
sinar-x untuk menghasilkan gambar pembuluh darah otak.
Pemeriksaan ini dapat mendeteksi adanya gangguan atau penyakit
pada pembuluh darah otak, seperti aneurisma dan arterosklerosis
(plak) (Windi, 2018).
2) Lumbal Pungsi
Lumbal pungsi adalah pengambilan cairan serebrospinal untuk
pemeriksaan adanya penyakit pada otak dan tulang belakang
(Suharsono, 2014).
3) CT Scan
CT scan adalah suatu teknik pemeriksaan diagnostik imaging atau
pencitraan yang menggunakan teknologi computer berbasis x-ray
untuk memdeteksi adanya kerusakan otak (Ardiyanto, 2014).
4) Magnetic Imaging Resonance (MRI)
Magnetic Imaging Resonance (MRI) adalah suatu teknik pemeriksaan
diagnostik imaging atau pencitraan yang menggunakan teknologi
magnet dan gelombang radio untuk mendapatkan hasil gambar organ
lebih rinci (Felayani, 2019).
5) USG Doppler
USG doppler adalah alat pemeriksaan kesehatan menggunakan
gelombang suara berfrekuensi tinggi untuk memantau kondisi aliran
darah dan pembuluh darah (Rodiani, 2019).
6) EEG
Elektroensefalografi adalah alat untuk merekam elektrik disepanjang
kulit kepala yang dihasilkan dari arus ion didalam neuro otak
(Multajam, 2016).

b. Pemeriksaan Laboratorium
1) Gula Darah Sewaktu

Pemeriksaan gula darah bertujuan untuk memeriksa kadar glukosa


pada tubuh yang biasanya digunakan untuk mendiagnosis dan
memantau penyakit diabetes (Kustaria, 2017)

2) Kreatinin Fosfokinase

Kreatinin fosfokinase (CPK) merupakan enzim yang ditemukan dalam


konsentrasi tinggi pada otot jantung dan otot rangka, dan dalam
konsentrasi rendah dalam pembuluh darah, jika konsentrasi CPK
tinggi dalam darah maka mengindikasikan ada cedera pada otak (Sari,
2018)

3) Kolesterol

Tes kolestrol disebut juka pemeriksaan profil lipid adalah pemeriksaan


medis berupa tes darah untuk mengukur jumlah total zat
lemak(kolestrol dan trigliserida) dalam darah (Listyaningrum, 2019)

4) Hematokrit

Hematokrit adalah kadar sel darah merah dalam darah yang dapat
menjadi pertanda ada tidaknya penyakit tertentu (Mayangsari, 2017).

8. Penatalaksanaan Stroke Non Hemoragik

a. Pengobatan Farmakologis
Penatalaksanaan stroke non hemoragik dapat dilakukan dengan
pengobatan konservatif dan pengobatan pembedahan (Muttaqin, 2008)

1) Pengobatan Konservatif
a) Dapat diberikan histamin, aminophilin, asetazolamid, papaverin
intraarterial.
b) Pemberian antitrombosit karena trombosit memainkan peran
sangat penting dalam pembentukan thrombus dan embolisasi.
Antiagregasi thrombosis seperti aspirin dapat diberikan untuk
digunakan sebagai penghambat reaksi pelepasan agregasi
thrombosis yang terjadi setelah ulserasi atheroma.
c) Antikoagulan dapat diberikan untuk mencegah terjadinya atau
memberatnya thrombosis atau embolisasi dari tempat lain dalam
system kardiovaskular.
2) Pengobatan Pembedahan
a) Endosteroktomi karotis dilakukan dengan tujuan untuk
membentuk kembali arteri karotis, yaitu dengan membuka arteri
karotis di leher.
b) Revaskularisasi merupakan tindakan pembedahan yang dilakukan
dengan tujuan untuk memperbaiki aliran darah arteri coroner yang
tersumbat atau menyempit sehingga darah bisa mengalir lancer
kembali.
c) Evaluasi bekuan darah dilakukan pada stroke akut.

b. Pengobatan Nonfarmakologis
Dalam pengobatan non farmakologis dapa dilakukan tindakan terapi fisik,
okupasi, wicara dan psikologi, serta telaah social dalam membantu
memulihkan keadaan pasien (Nurarif dan Kusuma, 2015).
1) Fase akut Terapi yang bisa diberikan kepada pasien yaitu, seperti
berikut:
1. Letakan kepala pasien pada posisi 30o, kepala dan dada pada
satu bidang, ubah posisi tidur setiap 2 jam.
2. Bebaskan jalan nafas, beri terapi oksigen 1-2 liter/menit sampai
didapatkan analisa gas darah.
3. Monitor jantung dan tanda-tanda vital, pemeriksaan EKG .
4. Evaluasi status cairan dan elektrolit.
5. Kontrol kejang jika ada dengan pemberian antikonvulsan,
dan cegah resiko injury.Lakukan pemasangan NGT untuk
mengurangi kompresi lambung dan pemberian makanan .
6. Cegah emboli paru dan tromboplebitis dengan antikoagulan.
7. Monitor tanda-tanda neurologi seperti tingkat kesadaran,
keadaan pupil, fungsi sensorik dan motorik, nervus kranial dan
refleks.
2) Tahap rehabilitasi
Salah satu terapi yang dapat diberikan pada pasien stroke dalam masa
rehabilitasi adalah dengan memberikan terapi Range of Motion
(ROM). Range of Motion (ROM) adalah latihan yang dapat dilakukan
untuk mempertahankan atau memperbaiki tingkat kemampuan
pergerakan sendi untuk meningkatkan massa otot dan tonus otot
(Potter & Perry, 2009). Melakukan ROM dapat membantu untuk
meningkatkan dan mempertahankan kekuatan otot, mempertahankan
fungsi jantung, dan mencegah berbagai komplikasi seperti nyeri
karena tekanan, kontraktur, tromboplebitis, dan dekubitus (Potter &
Perry, 2009). Memberikan terapi mobilisasi perlu dilakukan sedini
mungkin agar dapat meningkatkan kekuatan otot karena dapat
membantu pemulihan fisik yang lebih cepat dan optimal. Serta dapat
mecegah terjadinya kontraktur dan memberikan dukungan psikologis
pada pasien streoke beserta keluarganya (Gofir, 2009). Range Of
Motion dibagi menjadi dua yaitu ROM aktif dan pasif. ROM
aktif yaitu gerakan yang dilakukan oleh pasien dengan menggunakan
energi sendiri. Perawat memberikan motivasi, dan membimbing
pasien dalam melaksanakan pergerakan sendiri secara mandiri sesuai
dengan rentang gerak sendi normal (pasien aktif). Sedangkan ROM
pasif merupakan latihan pergerakan dimana pasien tidak dapat
menggerakkan persendiannya secara mandiri melainkan di gerakan
orang lain dalam hal ini dapat dilakukan oleh perawat, terapis,
keluarga pendamping yang menggerakkan persendian pasien sesuai
rentan geraknya (Indrawati, 2008). Dalam tulisan ini fokus yang
diamatati yaitu pemberian terapi ROM pasif pasa pasien stroke.
Berdasarkan hasi penelitian Anggraini, dkk (2018) dengan judul
“Pengaruh ROM (Range of Motion) Terhadap Kekuatan Otot
Ekstremitas Pada Pasien Stroke Non Hemoragik” yang melakukan
penelitian dengan menggunakan terapi ROM pasif pada pasien stroke
menunjukan adanya peningkatan kekuatan otot dan kemampuan
fungsional secara signifikan. Idealnya terapi ROM pasif ini
dilakukan sekali sehari dengan melakukan gerakan sebanyak 10
hitungan. Latihan dilakukan dengan waktu 30 menit , dimulai dengan
latihan secara perlahan dan betahap. Usahakan untuk mencapai
gerakan penuh tapi jangan memaksakan gerakan pada pasien.
Hentikan gerakan apabila pasien merasa nyeri, dan segera
konsultasikan ke tenaga kesehatan apabila berlanjut. Lakukan terapi
dengan hati-hati sera lihat respon pasien setelah terapi dilakukan
(Anggraini, dkk 2018). Selain itu, posisi yang tepat bagi penderita
stroke juga sangat penting. Penderita stroke mengalami kelemahan
serta kekakuan yang biasanya membutuhkan untuk memperoleh
kesejajaran tubuh yang tepat selama berada di tempat tidur atau
tempat duduk. Menurut Potter & Perry (2010), banyak alat bantu yang
dapat digunakan untuk mempertahankan kesejajaran tubuh klien,
diantaranya :
1. Gunakan bantal untuk membantu mempertahankan kesejajaran
tubuh klien. Bantal tebal untuk diletakan di bawah kepala klien untuk
meningkatkan fleksi. Gunakan bantal tipis di bawah bagian ketiak
untuk membantu menyangga bahu yang jatuh dan di bagian tubuh
yang menonjol tidak adekuat untuk melindungi kulit dan jaringan
akibat tekanan.
2. Papan kaki atau footboard dapat digunakan dengan meletakannya
tegak lurus dengan matras, sejajar dan menyentuh permukaan baawah
kaki. Papan kaki ini digunakan untuk mencegah footdrop dengan
mempertahankan kaki dalam posisi dorsifleksi.
3. Trochanter roll dapat digunakan untuk mencegah rotasi luar pada
tungkai ketika klien berada dalam posisi supine. Selimut ini diletakan
di bawah bokong dan kemudian digulung berlawanan dengan jalan
jarum jam.
4. Gulungan tangan atau hand roll digunakan untuk mempertahankan
ibu jari sedikit adduksi dan berada berlawanan dengan jari jari.
5. Pembebat peregelangan tangan atau hand wrist splints adalah
pembentuk untuk mempertahankan kesejajaran ibu jari yang tepat
dengan sedikit adduksi dan pergelangan tangan sedikit dorsifleksi
6. Trapeze bar adalah alat bantu berbentuk segitiga yang dapat turun
dengan aman di atas kepala yang diraih di tempat tidur. Hal ini
memungkinkan klien dapat menarik dengan ektremitas atasnya untuk
memudahkan memindahkan klien dari tempat tidur ke kursi roda atau
untuk melakukan latihan lengan atas.

c. Peran Keluarga dalam Proses Rehabilitasi Pasca Stroke


Peran dan fungsi keluarga sangat penting saat salah satu anggota
keluarganya mengalami stroke. Peran serta keluarga yang merawat dan
mendampingi pasien dapat menentukan keberhasilan dari terapi yang
dilakukan. Dimana peran keluarga diharapkan dapat meningkatkan
perawatan bagi pasien stroke guna meminimalkan terjadinya kecacatan
fisik dan ketergantungan pasien stroke dalam memenuhi
kebutuhannya sehari-hari pada anggota keluarga yang sakit
(Tumenggung, 2013). Penderita pasca stroke bisa kembali
mempunyai peran dan kontribusi yang positif dalam kehidupan
sosial atau dalam keluarga. Selain keinginan yang kuat dari diri
sendirinya untuk mencapai kesembuhan bagi pasien stroke, ada satu
faktor paling penting, yaitu keluarga. Peran serta keluarga yang
merawat dan mendampingi pasien ternyata sangat menentukan
keberhasilan program terapi pemulihan yang diberikan. Hal ini penting
mengingat interaksi antara pasien dan keluarga memang memiliki waktu
relatif lebih banyak. Untuk itu sangat perlu proses edukasi tentang tata
cara merawat pasien stroke di rumah yang lebih dalam bagi keluarga
pasien pasca stroke. Menurut Tumenggung (2013) Beberapa hal yang
dapat dilakukan keluarga untuk membantu pasien stroke adalah :
1. Berikan dukungan dan perhatian penuh pada pasien stroke.
2. Keluarga membuat catatan tentang obat, kegiatan, dan kemajuan
yang telah dilakukan pasien
3. Motivasi untuk keluarga dan pasien pasca stroke diantaranya adalah
dengan memberi obat secara teratur. Jangan menghentikan dan
mengubah dosis obat tanpa petunjuk dokter.
4. Bantu kebutuhan pasien, perbaiki kondisi fisik dengan latihan teratur di
rumah, motivasi pasien agar tetap bersemangat dalam latihan terapi
fisik, periksa tekanan darah secara teratur, dan lainnya
5. Keluarga dapat minta bantuan layanan perawatan atau terapi
(fisioterapi, okupasi, dan bicara). Bila kondisi pasien stroke
membaik, ajak bergabung dengan komunitas.
6. Adanya komunitas dapat menjadi wadah sharing sesama penderita
stroke, dan berbagai kegiatan positif lainnya.
7. Sebaiknya ajak pasien ke luar rumah untuk beraktivitas agar tidak
selalu berada di rumah. Bila hanya di rumah dan tidak melakukan
apapun, kemungkinan besar kondisinya akan semakin parah.
8. Berikan tanggung jawab untuk melakukan pekerjaan ringan di rumah
bila sudah memungkinkan. Misalnya saja untuk mengambil obat,
makan, membersihkan kamar sendiri dan lainnya.

9. Gangguan Mobilitas Fisik


Gangguan mobilitas fisik adalah keterbatasan pada pergerakan fisik dari
satu atau lebih ekstremitas secara mandiri (SDKI, 2017). Gangguan
mobilitas fisik dapat terjadi karena adanya penurunan kendali otot,
penurunan massa otot, penurunan kekuatan otot (SDKI, 2017). Tanda dan
gejala pada gangguan mobilitas fisik (SDKI, 2017) adalah :

a. Kesulitan menggerakan ekstremitas


b. Penurunan Kekuatan otot
c. Penurunan Rentang Gerak (ROM)
d. Nyeri saat bergerak
e. Sendi kaku
f. Gerakan tidak terkoordinasi
g. Gerakan terbatas
h. Fisik lemah

10. Penatalaksanaan Gangguan Mobilitas Fisik Dengan Latihan Teknik


Penguatan Sendi
Latihan penguatan sendi adalah teknik menggerakan tubuh aktif atau pasif
untuk mempertahankan atau mengembalikan meningkatkan fleksibilitas
sendi (SIKI, 2018). Latihan penguatan sendi dapat dilakukan dengan 2
cara, yaitu latihan penguatan sendi pasif dan aktif. Latihan penguatan sendi
pasif adalah latihan yang di lakukan pasien dengan bantuan perawat pada
setiap-setiap gerakan. Indikasi latihan pasif adalah pasien semikoma dan
tidak sadar, pasien dengan keterbatasan mobilisasi tidak mampu
melakukan beberapa atau semua latihan rentang gerak dengan mandiri,
pasien tirah baring total atau pasien dengan paralisis ekstermitas total.
Latihan penguatan sendi aktif adalah Perawat memberikan motivasi, dan
membimbing klien dalam melaksanakan pergerakan sendi secara mandiri
sesuai dengan rentang gerak sendi normal. Hal ini untuk melatih
kelenturan dan kekuatan otot serta sendi dengan cara menggunakan otot-
ototnya secara aktif. Sendi yang digerakkan pada Latihan penguatan sendi
aktif adalah sendi di seluruh tubuh dari kepala sampai ujung jari kaki oleh
klien sendiri secara aktif (Suratun, 2008).

Anda mungkin juga menyukai