oleh
Widhi Cahya Kurniawan, S.Kep.
NIM 202311101181
Jember, 2021
TIM PEMBIMBING
Pembimbing Akademik Pembimbing Klinik
Stase Keperawatan Medikal Bedah Ruang Melati RSD dr. Soebandi
FKep Universitas Jember Kabupaten Jember
Mengetahui,
Kepala Ruang Melati RSD dr. Soebandi
Kabupaten Jember
LEMBAR PENGESAHAN..........................................................................................ii
DAFTAR ISI................................................................................................................iii
1.2 Definisi...........................................................................................................3
1.3 Epidemiologi..................................................................................................4
1.4 Etiologi..........................................................................................................4
1.5 Komplikasi....................................................................................................5
1.9 Penatalaksanaan...........................................................................................8
2.1 Pengkajian.................................................................................................100
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................17
1
1. Otak besar
Cerebrum atau otak besar meliputi 85% bagian otak. Saat manusia berpikir,
memori jangka pendek dan panjang yang tersimpan merupakan peran dari otak
besar tersebut (Yueniwati, 2017). Otak besar ini juga mengatur pergerakan otot
yang dikendalikan secara sadar (Yueniwati, 2017). Otak besar terdiri dari belahan
kanan dan kiri. Belahan otak kanan mengendalikan bagian tubuh kiri. Sebaliknya,
bagian otak kiri mengendalikan bagian tubuh sebelah kanan.
belakang batak otak dan tepat di bawah lobus oksipital) dekat ujung leher atas,
otak kecil merupakan komponen otak terbesar kedua (Yueniwati, 2017). Otak
kecil atau cerebellum ini juga merupakan pusat kendali koordinasi anggota tubuh,
yaitu dengan cara menerima informasi dari otak besar dan panca indera melalui
saraf tulang belakang. Selain mempengaruhi gerakan anggota tubuh, otak kecil
juga mengontrol fungsi otomatis tubuh, seperti menjaga keseimbangan pada
kemampuan berjalan, koordinasi otot dan gerakan tubuh, serta mengatur posisi
tubuh (Yueniwati, 2017).
3. Batang otak
Batang otak atau brainsteam terdiri atas mesensefalon, pons, dan medula
oblongata. Letaknya berada di bawah otak besar dan di depan otak kecil. Area
dalam batang otak berfungsi untuk mengontrol beberapa hal penting utamanya
fungsi vital dalam tubuh, seperti: kesadaran, detak jantung, gerakan refleks,
pergerakan usus, pernapasan, dan tekanan darah (Faculty of Medicine Hasanuddin
University, 2016). Batang otak memiliki sekumpulan saraf yang berfungsi
mengendalikan berbagai bagian kepala dan leher khususnya gerakan mata,
sensasi, dan pergerakan wajah, gerakan menelan serta batuk (Yueniwati, 2017).
1.2 Definisi
Cedera otak adalah proses patologis jaringan otak yang bukan bersifat
degeneratif ataupun kongenital, melainkan akibat kekuatan mekanis dari luar yang
menyebabkan gangguan fisik, fungsi kognitif, dan psikososial (Valadka, 1996
dalam Rizal, 2018). Gangguan ini dapat bersifat menetap atau sementara dan
disertai hilangnya atau berubahnya tingkat kesadaran (Valadka, 1996 dalam Rizal,
2018). Menurut Brain Injury Association of America (BIAA) mengemukakan
bahwa cedera otak traumatis (Traumatic Brain Injury/TBI) didefinisikan sebagai
pukulan atau sentakan ke kepala atau cedera kepala yang mengganggu fungsi
otak. Tidak semua pukulan atau goncangan di kepala menghasilkan cedera otak,
tergantung dari tingkat keparahan cedera.
Cedera otak sedang (COS) adalah istilah yang digunakan ketika seseorang
mengalami perubahan fungsi otak lebih dari beberapa menit setelah trauma (UAB,
2020). COS apabila dilakukan pemeriksaan neurologis akan didapatkan hasil GCS
4
9- 12, kehilangan kesadaran atau amnesia retrograd lebih dari 30 menit tetapi
kurang dari 24 jam. Menururt American Association of Neurological Surgeons
(2020), pasien dengan cedera kepala sedang kemungkinan 60% akan sembuh
secara positif dan diperkirakan 25% tersisa mengalami tingkat kecacatan sedang,
dan lainnya akan memiliki tingkat kecacatan yang parah. Pasien dengan cedera
otak traumatis sedang memiliki variabilitas yang besar dalam keparahan cedera
dan perjalanan fase akut (Lund dkk., 2016). Mereka mungkin mengalami cedera
intra dan ekstrakranial yang dapat menyebabkan cedera otak sekunder selama fase
akut tersebut.
1.3 Epidemiologi
Cedera otak traumatis/TBI adalah masalah kesehatan masyarakat global,
World Health Organization memaparkan bahwa TBI akan menjadi penyebab
utama ketiga kematian dan kecacatan di seluruh dunia pada tahun 2020
(Watanitanon dkk., 2019). Di India dan negara berkembang lainnya, cedera kepala
juga masih menjadi penyebab utama mortalitas dan disabilitas, yaitu diperkirakan
sebanyak 1,5-2 juta orang terkena cedera kepala setiap tahunnya (Gururaj dkk.,
2005 dalam Callosum, 2014). Sedangkan di Indonesia sendiri, data epidemiologi
cedera kepala belum tersedia secara nasional, data epidemiologi didapatkan antara
lain dari bagian saraf Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia / RS Cipto
Mangunkusumo bahwa pada tahun 2004, yaitu sebanyak 367 kasus cedera kepala
ringan, 105 kasus cedera kepala sedang, dan 25 kasus cedera kepala berat.
Sedangkan pada tahun 2005 didapatkan 422 kasus cedera kepala ringan, 130
kasus cedera kepala sedang, dan 20 kasus cedera kepala berat (Akbar, 2008 dalam
(Callosum, 2014).
1.4 Etiologi
Cedera otak traumatis biasanya disebabkan oleh pukulan atau cedera
traumatis lainnya pada kepala. Tingkat kerusakan dapat bergantung pada beberapa
faktor, termasuk sifat cedera dan kekuatan benturan. Peristiwa umum yang
menyebabkan cedera otak traumatis (MayoClinic Staff, 2021), meliputi:
1. Jatuh. Jatuh dari tempat tidur atau tangga, menuruni tangga, saat mandi, dan
jatuh lainnya adalah penyebab paling umum dari cedera otak traumatis
5
secara keseluruhan, terutama pada orang dewasa yang lebih tua dan anak
kecil.
2. Kecelakaan. Tabrakan yang melibatkan mobil, sepeda motor, atau sepeda -
dan pejalan kaki yang terlibat dalam kecelakaan tersebut - adalah penyebab
umum cedera otak traumatis.
3. Kekerasan. Luka tembak, kekerasan dalam rumah tangga, pelecehan anak
dan serangan lainnya adalah penyebab umum. Sindrom bayi terguncang
adalah cedera otak traumatis pada bayi yang disebabkan oleh guncangan
hebat.
4. Cedera olahraga. Cedera otak traumatis dapat disebabkan akibat sejumlah
olahraga, termasuk sepak bola, tinju, baseball, lacrosse, skateboard, hoki,
dan olahraga berdampak tinggi atau ekstrem lainnya. Ini sangat umum di
kalangan remaja.
5. Ledakan dan cedera pertempuran lainnya. Ledakan eksplosif adalah
penyebab umum cedera otak traumatis pada personel militer aktif. Meski
bagaimana kerusakan terjadi belum dipahami dengan baik, banyak peneliti
percaya bahwa gelombang tekanan yang melewati otak secara signifikan
dapat mengganggu fungsi otak.
6. Cedera otak traumatis juga terjadi akibat luka tembus, pukulan hebat di
kepala dengan pecahan peluru atau puing, dan jatuh atau benturan tubuh
dengan benda setelah ledakan.
1.5 Komplikasi
Menurut Ginsberg (2008) dalam Permatasari (2015) menyebutkan bahwa
komplikasi dari cedera kepala antara lain:
1. Kebocoran cairan serebrospinal.
Hal ini dapat terjadi mulai dari saat cedera. Komplikasi ini dapat ditangani
dengan terapi infeksi, namun juga dibutuhkan reparasi bedah untuk robekan
dura. Eksplorasi bedah juga diperlukan jika terjadi kebocoran cairan
serebrospinal persisten.
2. Epilepsy pascatrauma.
6
Terjadi pada pasien yang mengalami kejang awal (dalam minggu pertama
setelah cedera), amnesia pascatrauma yang lama (lebih dari 24 jam), fraktur
depresi cranium, atau hematoma cranial.
3. Kejang
4. Herniasi otak
5. Infeksi sistemik
1.6 Patofisiologi
Ainsworth (2020) menjelaskan terkait patofisiologi dari cedera kepala. TBI
dapat dibagi menjadi 2 kategori, cedera otak primer dan cedera otak sekunder.
Cedera otak primer diartikan sebagai cedera awal pada otak sebagai akibat
langsung dari trauma. Ini adalah cedera struktural awal yang disebabkan oleh
benturan pada otak. Sedangkan, cedera otak sekunder didefinisikan sebagai cedera
berikutnya pada otak setelah serangan awal. Cedera otak sekunder dapat terjadi
akibat hipotensi sistemik, hipoksia, peningkatan TIK, atau sebagai akibat biokimia
dari serangkaian perubahan fisiologis yang dipicu oleh trauma awal. Perawatan
cedera kepala diarahkan untuk mencegah atau meminimalkan cedera otak
sekunder.
Trauma kepala yang disebabkan oleh benda tumpul dan benda tajam atau
kecelakaan di ekstra kranial atau kulit kepala, tulang kranial, dan juga intra
kranial atau di jaringan otak dapat mengakibatkan perdarahan, sehingga akan
mengalami perubahan sirkulasi CSF (cairan serebrospinal) dan terjadi
peningkatan TIK. Perlu diperhatikan bahwa otak berada di dalam tengkorak,
wadah yang kaku dan tidak elastis. Karena otak ditempatkan di dalam wadah yang
tidak elastis ini, hanya sedikit peningkatan volume di dalam kompartemen
intrakranial yang dapat ditoleransi. Peningkatan ICP (tekanan intrakranial) adalah
kondisi yang perlu diwaspadai karena dapat menyebabkan penurunan CPP
(tekanan perfusi otak) dan penurunan CBF (aliran darah otak), yang jika cukup
parah dapat menyebabkan iskemia serebral. Peningkatan ICP yang parah sangat
berbahaya karena selain menimbulkan risiko iskemia yang signifikan, ICP yang
tidak terkontrol dapat menyebabkan pembengkakakn otak/herniasi. Herniasi
7
Suplai darah ke otak Terputusnya jaringan Terputusnya kontinuitas Ruptur pembuluh Perdarahan jaringan otak
Fraktur tulang
menurun otot, kulit, dan vaskuler tulang darah vena
Cerebral hematoma
iskemia Perdarahan, Perobekan arteri Subdural
hematon, keruskan Nyeri Akut
meningea media hematoma Disfungsi
jaringan Defisit Neurologi
Hipoksia batang otak
Hematoma Tekanan
Perfusi perifer Perubahan Sirkulasi Gangguan Kerusakan
Resiko Syok epidural hidrostatik
tidak efektif CSF persepsi saraf motorik
meningkat
sensori
Distres spiritual
PH arteri Mual muntah Harga diri rendah
Penurunan
meningkat situasional
reflek batuk
4. Terapi medikamentosa:
a) Obat anti kejang
Profilaksis anti kejang efektif diberikan pada 1 minggu pertama pasca
trauma. Alternatif obat yang efektif adalah phenytoin dan levetiracetam.
Pengobatan profilaksis anti kejang sebaiknya tidak rutin dilakukan
setelah 7 hari pasca trauma karena tidak menurunkan resiko kejang fase
lanjut pasca trauma. Pemberian profilaksis fenitoin efektif untuk
mencegah kejang fase dini pasca trauma. Penggunaan obat anti kejang
tidak direkomendasikan untuk pencegahan kejang pasca trauma tipe
lanjut (late type) karena sudah terbentuk fokus epilepsi. Diperbolehkan
untuk menggunakan obat anti kejang sebagai profilaksis terhadap
terjadinya kejang pasca trauma tipe dini yang terjadi dalam 7 hari pasca
trauma (early type) pada pasien yang mempunyai resiko tinggi untuk
terjadi kejang pasca trauma.
b) Obat analgesic
Ketorolac dan acetaminophen dapat digunakan pada pasien trauma
kepala. Ketorolac hanya boleh diberikan maksimal 5 hari.
c) Obat simtomatik melalui IV
Obat-obatan NSAID atau antidepresan lainnya
5. Pembedahan dilakukan bila terjadi pada tulang tengkorak dan laserasi
6. Pengunaan terapi komplementer seperti : teknik distraksi napas dalam,
guided imagery, hipnosis 5 jari, terapi musik, terapi benson, akupuntur, dan
akupresur untuk mengurangi nyeri dan manajemen stres
11
2.1 Pengkajian
a) Identitas Klien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama, pedidikan, pekerjaan, alamat,
status perkawinan, suku bangsa, nomor rekam medis, tanggal untuk rumah
sakit dan diagnosa medis
b) Keluhan Utama
Berisi data subjektif yang dirasakan pasien ketika masuk rumah sakit
c) Riwayat penyakit sekarang
Pasien mengalami penurunan kesadaran, mual muntah, nyeri kepala,
kelemahan, perdarahan, fraktur tengkorak, amnesia sesaat, gangguan
pendengaran, gangguan penciuman.
d) Riwayat penyakit terdahulu
Pasien pernah mengalami penyakit system syaraf. Riwayat trauma
terdahulu, riwayat penyakit darah, dan riwayat penyakit sistemik.
e) Riwayat penyakit keluarga
Adanya riwayat penyakit menular
f) Pemeriksaan Fisik
Vital Sign
Tekanan darah :menunjukan normal hingga abnormal
Suhu : berada pada rentang hipertermi > 380C
Nadi : takikardi
RR : normal hingga abnormal
Kesadaran : somnolen hingga koma
GCS : 9-12
Keadaan umum
1. Status gizi : pasien megalami kegemukan, normal, atau kurus
2. Sikap : pasien menunjukkan menahan nyeri pada area kepala jika
terjadi peningkatan TIK atau fraktur tengkorak
12
Pemeriksaan fisik
1. B1 ( Breating )
Inspeksi : pasien terlihat menggunakan otot bantu nafas. Pernafasan
terlihat chyne stokes. Terlihat peningkatan frekuensi nafas.
Auskultasi: Terdapat bunyi stridor yang diakibatkan lidah jatuh
kebelakang ketika penurunan kesadaran ataupun kejang. Terdengar
suara ronchi akibat penumpukan sputum pada jalan nafas
Perkusi : Terdapat bunyi redup jika terdapat odeme paru
Palpasi : Tidak terdapat benjolan atau masa pada thorak
2. B2 ( Blood )
Inspeksi : pasien telihat pucat, sianosis jika terjadi gangguan perfusi.
Terdapat perdarahan pada area kepala dengan fraktur dan tanpa fraktur
akibat kerusakan jaringan. Auskultasi : terdengar bunyi jantung s1 s2
tunggal.
Perkusi : Tidak terdapat bunyi redup
Palpasi: terjadi peningkatan frekuensi nadi, nadi teraba lemah,
disritmia. Tidak terdapat pembesaran vena juularis.
3. B3 ( Brain )
Inspeksi : terjadi penurunan kesadaran, bingung. Respon pupil
menunjukan mengecil menandakan disfungsi enchepalo dan gangguan
metabolisme. Terlihat sulit menggerakan bagian tubuh sebagian
tergantung bagian otak mana yang mengalami cidera.
Palpasi : terdapat benjolan berupa hematoma karena adanya internal
bledding. Terdapat nyeri tekan pada bagian yang mengalami luka
4. B4 ( Blader )
Inspeksi : tidak terdapat luka pada area blader. Pasien mengalami
oliguria pada pasien dengan gangguan perfusi hingga ke ginjal akibat
adanya gangguan metabolisme. Terjadi inkontinensia urin akibat
gangguan sistem syaraf
Palpasi : teraba keras apabila terjadi retensi urin atau pun bendungan
urin
13
Analisis Data
Tanggal/Jam :
KEMUNGKINAN Paraf &
NO DATA PENUNJANG MASALAH
ETIOLOGI Nama
1. DS : Meningioma Risiko Perfusi
- keluarga mengatakan klien Serebral Tidak Widi
kadang merespon dengan Cedera otak Efektif
menggerakkan jari
Sakit kepala kronis
DO :
- Klien ketika dipanggil namanya Penurunan sirkulasi
menjawab tetapi suara tidak jelas darah ke otak
- Keadaan umum : lemah
- GCS : 10 Risiko Perfusi Serebral
- Somnolen Tidak Efektif
- Klien tirah baring
- TD :1400/90 mmHg Nadi : 105
kali/menit RR : 25 kali/menit S :
37 0C
o
intracranial C, Nadi 105 x/menit, dan RR
5. Mendokumentasikan hasil 25 x/menit
pemantauan 3. Klien Somnolen tidak dapat
6. Menjelaskan tujuan dan menjawab pertanyaan dengan
prosedur pemantauan baik
Informasikan hasil 4. Klien tirah baring
pemantauan 5. Hasil pemantauan
terdokumentasikan
6. Keluarga paham dengan hasil
pemantauan.
DAFTAR PUSTAKA