1. Anggik prahesti
2. Devi oktania
3. Dian fitria agustina
4. Fera ardelia
5. Mita nur faiqotunnisa
6. M. Alfian nur majid
7. Naimatul faridha
8. Putri nofitasari
9. Ririn ayu sofiya ningsih
10. Vera zulfi nofita sari
Puji syukur penulis panjatkan Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan berkat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
laporan ini yang berkenaan tentang Makalah “MANAJEMEN GANGGUAN SISTEM
MUSKULOSKELETAL DAN EVIDENCE BASE PRACTICE DALAM
PENATALAKSANAANYA.”
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang
telah memberikan masukan, dorongan dan bimbingan kepada penulis dalam menyusun
makalah ini baik dari segi moril dan materil.
Dalam penyusunan makalah ini, penulis menyadari masih jauh dari kesempurnaan,
untuk itu sangat diharapkan saran dan kritik yang sifatnya konstruktif dari semua pihak untuk
perbaikan makalah ini.
Akhirnya penulis berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi yang membaca dan
bagi pengembangan ilmu keperawatan.
Penulis
BAB I
PEMBUKAAN
Menurut Ganong (2010), perempuan dewasa memiliki massa tulang yang lebih sedikit
daripada pria dewasa, dan setelah menopause mereka mulai kehilangan tulang lebih cepat
daripada pria. Akibatnya perempuan lebih rentang menderita ospteoporosis serius. Penyebab
utama berkurangnya tulang setelah menopause adalah defesiensi hormone estrogen. Pada
osteoporosis, matriks dan mineral tulang hilang, hingga massa dan kekuatan tulang, dengan
peningkatan fraktur. Osteoporosis sering menimbulkan fraktur kompresi pada vertebra
torakalis. Terdapat penyempitan diskus vertebra, apabila penyebaran berlanjut keseluruh
korpus vertebra akan menimbulkan kompresi vertebra dan terjadi gibus. Fraktur kolum
femur sering terjadi pada usia di atas 60 tahun dan lebih sering pada perempuan, yang
disebabkan oleh penuaan dan osteoporosis pascamenopause. Kolaps bertahap tulang vertebra
mungkin tidak menimbulkan gejala, namun terlihat sebagai kifosis progresif. Kifosis dapat
mengakibatkan pengurangan tinggi badan. Pada beberapa perempuan dapat kehilangan
tinggi badan sekitar 2,5-15 cm, akibat kolaps vertebra.
Evidence-Based Nursing Practice adalah suatu kerangka kerja bagi perawat yang
mengintegrasikan hasil penelitian terbaik dengan pengalaman klinik dan keyakinan serta
nilai-nilai yang dianut oleh pasien untuk memutuskan suatu asuhan keperawatan bagi pasien
(Panagiari, 2008).Sebelum membuat keputusan klinik yang terbaik bagi pasien, perawat
harus mempertimbangkan dan mengacu pada hasil-hasil penelitian terkini dan
terbaik.Menurut Sackettt, Rosenberg, Gray, Haynes, & Richardson (1996, dalam Ligita,
2014) hasil-hasil penelitian tidak dapat berdiri sendiri sebagai bukti ilmiah tunggal, namun
harus disertai dengan pengalaman praktik terbaik yang dilakukan oleh perawat.
Di Indonesia, kebijakan penggunaan hasil penelitian terdapat pada perumusan kompetensi
dalam SK No. 045/U/2002 Kepmendiknas Tentang Kurikulum Inti Pendidikan Tinggi Tahun
2002 pasal 2 yang menyebutkan bahwa kompetensi hasil didik suatu program studi terdiri
atas kompetensi utama, kompetensi pendukung, dan kompetensi lainnya yang bersifat khusus
dan gayut dengan kompetensi utama. Dalam penjelasannya, kompetensi utama mahasiswa
setelah menyelesaikan pendidikan Ners adalah mampu melakukan praktek keperawatan
individu, keluarga, kelompok, dan komunitas yang berfokus pada keselamatan pasien
berbasis pada bukti-bukti ilmiah (Nursing Practice Focused on Patient Safety and Evidence
Based).Selain itu juga terdapat dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun
2014 Tentang Keperawatan Pasal 2 huruf B yang menyatakan bahwa Praktik Keperawatan
berasaskan nilai ilmiah. Dalam penjelasannya disebutkan bahwa praktik keperawatan harus
didasarkan pada ilmu pengetahuan dan tehnologi yang diperoleh baik melalui penelitian,
pendidikan maupun pengalaman praktik.
PEMBAHASAN
A. DEFINISI OSTEOPOROSIS
Osteoporosis adalah suatu kondisi berkurangnya massa tulang secara nyata
yang berakibat pada rendahnya kepadatan tulang, sehingga tulang menjadi keropos
dan rapuh. “Osto” berarti tulang, sedangkan “porosis” berarti keropos. Tulang yang
mudah patah akibat Osteoporosis adalah tulang belakang, tulang paha, dan tulang
pergelangan tangan (Endang Purwoastuti : 2009) .
Osteoporosis yang dikenal dengan keropos tulang menurut WHO adalah
penyakit skeletal sistemik dengan karakteristik massa tulang yang rendah dan
perubahan mikroarsitektur dari jaringan tulang dengan akibat meningkatnya fragilitas
tulang dan meningkatnya kerentanan terhadap tulang patah. Osteoporosis adalah
kelainan dimana terjadi penurunan massa tulang total (Lukman, Nurma Ningsih :
2009).
B. KLASIFIKASI OSTEOPOROSIS
Klasifikasi osteoporosis dibagi ke dalam dua kelompok yaitu osteoporosis
primer dan osteoporosis sekunder. Osteoporosis primer terdapat pada wanita
postmenopause (postmenopause osteoporosis) dan pada laki-laki lanjut usia (senile
osteoporosis). Penyebab osteoporosis belum diketahui dengan pasti. Sedangkan
osteoporosis sekunder disebabkan oleh penyakit yang berhubungan dengan Kelainan
endokrin misalnya Chusing’s disease, hipertiriodisme, hiperparatiriodisme,
hipogonadisme, kelainan hepar, gagal ginjal kronis, kurang gerak, kebiasaan minum
alcohol, pemakaian obatobatan/kortikosteroid, kelebihan kafein, dan merokok
(Lukman, Nurma Ningsih : 2009).
membagi osteoporosis menjadi osteoporosis postmenopause (Tipe I), Osteoporosis
involutional (Tipe II), osteoporosis idiopatik, osteoporosis juvenil dan osteoporosis
sekunder.
1) Osteoporosis Postmenopause (Tipe I) Merupakan bentuk yang paling sering
ditemukan pada wanita kulit putih dan Asia. Bentuk osteoporosis ini disebabkan oleh
percepatan resopsi tulang yang berlebihan dan lama setelah penurunan sekresi hormon
estrogen pada masa menopause.
2) Osteoporosis involutional (Tipe II) Terjadi pada usia diatas 75 tahun pada
perempuan maupun laki-laki. Tipe ini diakibatkan oleh ketidakseimbangan yang
samar dan lama antara kecepatan resorpsi tulang dengan kecepatan pembentukan
tulang.
3) Osteoporosis idiopatik Adalah tipe osteoporosis primer yang jarang terjadi pada
wanita premenopouse dan pada laki-laki yang berusi di bawah 75 tahun. Tipe ini tidak
berkaitan dengan penyebab sekunder atau faktor resiko yang mempermudah
timbulnya penurunan densitas tulang.
4) Osteoporosis juvenil Merupakan bentuk yang paling jarang terjadi dan bentuk
osteoporosis yang terjadi pada anak-anak prepubertas. 5) Osteoporosis sekunder.
Penurunan densitas tulang yang cukup berat untuk menyebabkan fraktur atraumatik
akibat faktor ekstrinsik seperti kelebihan kortikosteroid, atraumatik reumatoid,
kelainan hati/ ginjal kronis, sindrom malabsorbsi, mastisitosis sistemik,
hipertiriodisme , varian status hipogonade dan lain-lain.
C. ETIOLOGI OSTEOPOROSIS
3) Terapi non-hormonal
Terapi hormone selama ini memang dianggap sebagai jalan yang paling baik
untuk mengobati osteoporosis. Namun, karena banyaknya efek samping yang dapat
ditimbulkan dan tidak dapat diterapkan pada semua pasien osteoporosis, maka
sekarang mulai dikembangkan terapi non-hormonal.
a) Bisfosfonat Bisfosfonat
merupakan golongan obat sintetis yang saat ini sangat dikenal dalam pengobatan
osteoporosis non-hormonal. Efek utama dari obat ini adalah menonaktifkan sel-sel
penghancur tulang (osteoclast) sehingga penurunan massa tulang dapat dihindari.
Obat-obat yang termasuk golongan bisfosfonat adalah etidronat dan alendronat.
b) Etidronat.
Etidronat adalah obat golongan bisfosfonat pertama yang biasa digunakan dalam
pengobatan osteoporosis. Obat ini diberikan dalam bentuk tablet dengan dosis satu
kali sehari selama dua minggu. Penggunaan obat ini harus dikombinasikan dengan
konsumsi suplemen kalsium. Namun, perlu diperhatikan agar konsumsi suplemen
kalsium harus dihindari dalam waktu dua jam sebelum dan sesudah
mengkonsumsi etidronat karena dapat mengganggu penyerapannya. Kadang kala
konsumsi etidronat memberikan efek samping,tetapi relative kecil. Misalnya
timbul mual, diare, ruam kulit dan lain-lain.
c) Alendronat Alendornat mempunyai fungsi dan peran yang serupa dengan
etidronat, perbedaannya adalah pada penggunaannya tidak perlu dikombinasikan
dengan konsumsi suplemen kalsium, tetapi bila asupan kalsium masih rendah,
pemberian kalsium tetap dianjurkan. Efek samping yang mungkin ditimbulkan
pada konsumsi alendronat adalah timbulnya diare, rasa sakit dan kembung pada
perut, serta gangguan pada tenggorokan.
4) Terapi alamiah Terapi alamiah adalah terapi yang diterapkan untuk mengobati
osteoporosis tanpa menggunakan obat-obatan atau hormone. Terapi ini berhubungan
dengan gaya hidup dan pola konsumsi. Beberapa pencegahan yang dapat diberikan
yaitu dengan berolahraga secara teratur, hindari merokok, hindari minuman
beralkohol dan menjaga pola makan yang baik.
F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Sebenarnya langkah terbaik dalam penanganan osteoporosis adalah pencegahan
karena bila sudah terkena susah, bahkan tidak dapat dipulihkan. Seyogyanya, sedini
mungkin dilakukan diagnosis untuk mendeteksi keadaan massa tulang sebelum
terjadi akibat yang lebih fatal seperti terjadinya patah tulang . penilaian langsung
tulang untuk mengetahui ada tidaknya osteoporosis dapat dilakukan dengan berbagai
cara , yaitu sebagai berikut :
• Pemeriksaan radiologic
• Pemeriksaan radioisotope
• Pemeriksaan Quantitative
• Magnetic resonance imaging (MRI)
• Quantitative Ultra Sound (QUS)
• Densitometer (X-ray absorptiometry)
• Tes darah dan urine
G. ASUHAN KEPERAWATAN OSTEOPOROSIS
a. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut b.d fragmen tulang dan spasme otot
2. Hambatan mobilitas fisik b.d disfungsi sekunder skeletal
b. Intervensi
No. Dx NOC NIC
1. Nyeri akut b.d ❖ Pain level Pain mangement
fragmen tulang dan ❖ Pain control ❖ Lakukan pengkajian
spasme otot nyeri secara
❖ Comfort level
Kriteria hasil : komprehens if
termasuk lokasi,
❖ Mampu mengontrol
karakteristik , durasi,
nyeri (tahu penyebab
frekuensi, kualitas dan
nyeri, mampu
faktor presipitasi
menggunakan tehnik
❖ Observasi reaksi
nonfarmakologi untuk
mengurangi nyeri, mencari nonverbal dari
Level I merupakan level tertinggi dimana hasil dari evidence tersebut dapat
dianggap paling kuat,sedangkan level VI merupakan level terendah tingkat
dimana evidence di level inidianggap paling lemah untuk digunakan dalam EBP.
K. EVIDENCE BASED PRACTICE DALAM PRAKTIK KEPERAWATAN
Dalam praktik keperawatan yang mendasari praktiknya sesuai dengan ilmu
pengetahuan, konsep Evidence Based Practice sangat diperlukan untuk dapat mencapai
patient outcomes, menghindari intervensi yang tidak perlu dan tidak sesuai dan tentu saja
mengurangi/menghindari komplikasi hasil dari perawatan dan juga pengobatan.
Keterangan :
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Beberapa faktor resiko Osteoporosis antara lain yaitu : usia, genetik, defisiensi
kalsium, aktivitas fisik kurang, obat-obatan (kortikosteroid, anti konvulsan, heparin,
siklosporin), merokok, alcohol serta sifat fisik tulang (densitas atau massa tulang) dan lain
sebagainya.