Anda di halaman 1dari 16

MANAJEMEN GANGGUAN SISTEM MUSKULOSKELETAL

DAN EVIDENCE BASE PRACTICE DALAM


PENATALAKSANAANYA

Di susun oleh kelompok 1:

1. Anggik prahesti
2. Devi oktania
3. Dian fitria agustina
4. Fera ardelia
5. Mita nur faiqotunnisa
6. M. Alfian nur majid
7. Naimatul faridha
8. Putri nofitasari
9. Ririn ayu sofiya ningsih
10. Vera zulfi nofita sari

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KUDUS


S1- KEPERAWTAN
TAHUN AJARAN 2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan berkat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
laporan ini yang berkenaan tentang Makalah “MANAJEMEN GANGGUAN SISTEM
MUSKULOSKELETAL DAN EVIDENCE BASE PRACTICE DALAM
PENATALAKSANAANYA.”

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang
telah memberikan masukan, dorongan dan bimbingan kepada penulis dalam menyusun
makalah ini baik dari segi moril dan materil.

Dalam penyusunan makalah ini, penulis menyadari masih jauh dari kesempurnaan,
untuk itu sangat diharapkan saran dan kritik yang sifatnya konstruktif dari semua pihak untuk
perbaikan makalah ini.

Akhirnya penulis berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi yang membaca dan
bagi pengembangan ilmu keperawatan.

Kudus, 23 September 2019

Penulis
BAB I

PEMBUKAAN

1.1 LATAR BELAKANG

Osteoporosis adalah suatu problem klimakterium yang serius. Di amerika serikat


dijumpai satu kasus osteoporosis di antara dua sampai tiga wanita pascamonopause. Massa
tulang pada manusia mencapai maksimum pada usia sekita 35 tahun, kemudian terjadi
penurunan massa tulang secara eksponensial. Penurunan massa tulang ini berkisar antara 3-
5% setiap decade, sesuai dengan kehilangan massa otot dan hal ini di alami baik pada pria
dan wanita. Pada masa klimakterium, penurunan massa tulang pada wanita lebih mencolok
dan dapat mencapai 2-3% setahun secara eksponensial. Pada usia 70 tahun kehilangan
massa tulang pada wanita ini baru mencapai 25% (Gonta,P.2009).

Menurut Ganong (2010), perempuan dewasa memiliki massa tulang yang lebih sedikit
daripada pria dewasa, dan setelah menopause mereka mulai kehilangan tulang lebih cepat
daripada pria. Akibatnya perempuan lebih rentang menderita ospteoporosis serius. Penyebab
utama berkurangnya tulang setelah menopause adalah defesiensi hormone estrogen. Pada
osteoporosis, matriks dan mineral tulang hilang, hingga massa dan kekuatan tulang, dengan
peningkatan fraktur. Osteoporosis sering menimbulkan fraktur kompresi pada vertebra
torakalis. Terdapat penyempitan diskus vertebra, apabila penyebaran berlanjut keseluruh
korpus vertebra akan menimbulkan kompresi vertebra dan terjadi gibus. Fraktur kolum
femur sering terjadi pada usia di atas 60 tahun dan lebih sering pada perempuan, yang
disebabkan oleh penuaan dan osteoporosis pascamenopause. Kolaps bertahap tulang vertebra
mungkin tidak menimbulkan gejala, namun terlihat sebagai kifosis progresif. Kifosis dapat
mengakibatkan pengurangan tinggi badan. Pada beberapa perempuan dapat kehilangan
tinggi badan sekitar 2,5-15 cm, akibat kolaps vertebra.

Evidence-Based Nursing Practice adalah suatu kerangka kerja bagi perawat yang
mengintegrasikan hasil penelitian terbaik dengan pengalaman klinik dan keyakinan serta
nilai-nilai yang dianut oleh pasien untuk memutuskan suatu asuhan keperawatan bagi pasien
(Panagiari, 2008).Sebelum membuat keputusan klinik yang terbaik bagi pasien, perawat
harus mempertimbangkan dan mengacu pada hasil-hasil penelitian terkini dan
terbaik.Menurut Sackettt, Rosenberg, Gray, Haynes, & Richardson (1996, dalam Ligita,
2014) hasil-hasil penelitian tidak dapat berdiri sendiri sebagai bukti ilmiah tunggal, namun
harus disertai dengan pengalaman praktik terbaik yang dilakukan oleh perawat.
Di Indonesia, kebijakan penggunaan hasil penelitian terdapat pada perumusan kompetensi
dalam SK No. 045/U/2002 Kepmendiknas Tentang Kurikulum Inti Pendidikan Tinggi Tahun
2002 pasal 2 yang menyebutkan bahwa kompetensi hasil didik suatu program studi terdiri
atas kompetensi utama, kompetensi pendukung, dan kompetensi lainnya yang bersifat khusus
dan gayut dengan kompetensi utama. Dalam penjelasannya, kompetensi utama mahasiswa
setelah menyelesaikan pendidikan Ners adalah mampu melakukan praktek keperawatan
individu, keluarga, kelompok, dan komunitas yang berfokus pada keselamatan pasien
berbasis pada bukti-bukti ilmiah (Nursing Practice Focused on Patient Safety and Evidence
Based).Selain itu juga terdapat dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun
2014 Tentang Keperawatan Pasal 2 huruf B yang menyatakan bahwa Praktik Keperawatan
berasaskan nilai ilmiah. Dalam penjelasannya disebutkan bahwa praktik keperawatan harus
didasarkan pada ilmu pengetahuan dan tehnologi yang diperoleh baik melalui penelitian,
pendidikan maupun pengalaman praktik.

1.2 RUMUSAN MASALAH


1. Untuk mengetahui pengetian terkait osteoporosis?
2. Apa etiologi dan klasifikasi terkait osteoporosis?
3. Apa tanda dan gejala terkait osteoporosis?
4. Apa penatalaksanaan dan pemeriksaan penunjang terkait osteoporosis?
5. Bagaimana konsep asuhan keperawatan yang akan diberikan pada klien dengan
osteoporosis?
6. Apa itu Evidence Based Practice?
7. Bagaimana sejarah Evidence Based Practice?
8. Bagaimana langkah-langkah Evidence Based Practice?
9. Bagaimana tingkatan Evidence Based Practice?
10. Bagaimana Evidence Based Practice dalam praktik keperawatan?
1.3 TUJUAN PENULIS
1. Untuk mengetahui pengetian terkait osteoporosis.
2. Untuk mengetahui etiologi dan klasifikasi terkait osteoporosis.
3. Untuk mengetahui tanda dan gejala terkait osteoporosis.
4. Untuk mengetahui penatalaksanaan dan pemeriksaan penunjang terkait
osteoporosis .
5. Untuk mengetahui konsep asuhan keperawatan yang akan diberikan pada klien
dengan osteoporosis.
6. Mengetahuui apa itu Evidence Based Practice
7. Mengetahui bagaimana sejarah Evidence Based Practice
8. Mengetahui bagaimana langkah-langkah Evidence Based Practice
9. Mengetahui bagaimana tingkatan Evidence Based Practice
10. Mengetahui bagaimana Evidence Based Practice dalam praktik keperawatan
BAB II

PEMBAHASAN

A. DEFINISI OSTEOPOROSIS
Osteoporosis adalah suatu kondisi berkurangnya massa tulang secara nyata
yang berakibat pada rendahnya kepadatan tulang, sehingga tulang menjadi keropos
dan rapuh. “Osto” berarti tulang, sedangkan “porosis” berarti keropos. Tulang yang
mudah patah akibat Osteoporosis adalah tulang belakang, tulang paha, dan tulang
pergelangan tangan (Endang Purwoastuti : 2009) .
Osteoporosis yang dikenal dengan keropos tulang menurut WHO adalah
penyakit skeletal sistemik dengan karakteristik massa tulang yang rendah dan
perubahan mikroarsitektur dari jaringan tulang dengan akibat meningkatnya fragilitas
tulang dan meningkatnya kerentanan terhadap tulang patah. Osteoporosis adalah
kelainan dimana terjadi penurunan massa tulang total (Lukman, Nurma Ningsih :
2009).
B. KLASIFIKASI OSTEOPOROSIS
Klasifikasi osteoporosis dibagi ke dalam dua kelompok yaitu osteoporosis
primer dan osteoporosis sekunder. Osteoporosis primer terdapat pada wanita
postmenopause (postmenopause osteoporosis) dan pada laki-laki lanjut usia (senile
osteoporosis). Penyebab osteoporosis belum diketahui dengan pasti. Sedangkan
osteoporosis sekunder disebabkan oleh penyakit yang berhubungan dengan Kelainan
endokrin misalnya Chusing’s disease, hipertiriodisme, hiperparatiriodisme,
hipogonadisme, kelainan hepar, gagal ginjal kronis, kurang gerak, kebiasaan minum
alcohol, pemakaian obatobatan/kortikosteroid, kelebihan kafein, dan merokok
(Lukman, Nurma Ningsih : 2009).
membagi osteoporosis menjadi osteoporosis postmenopause (Tipe I), Osteoporosis
involutional (Tipe II), osteoporosis idiopatik, osteoporosis juvenil dan osteoporosis
sekunder.
1) Osteoporosis Postmenopause (Tipe I) Merupakan bentuk yang paling sering
ditemukan pada wanita kulit putih dan Asia. Bentuk osteoporosis ini disebabkan oleh
percepatan resopsi tulang yang berlebihan dan lama setelah penurunan sekresi hormon
estrogen pada masa menopause.
2) Osteoporosis involutional (Tipe II) Terjadi pada usia diatas 75 tahun pada
perempuan maupun laki-laki. Tipe ini diakibatkan oleh ketidakseimbangan yang
samar dan lama antara kecepatan resorpsi tulang dengan kecepatan pembentukan
tulang.
3) Osteoporosis idiopatik Adalah tipe osteoporosis primer yang jarang terjadi pada
wanita premenopouse dan pada laki-laki yang berusi di bawah 75 tahun. Tipe ini tidak
berkaitan dengan penyebab sekunder atau faktor resiko yang mempermudah
timbulnya penurunan densitas tulang.
4) Osteoporosis juvenil Merupakan bentuk yang paling jarang terjadi dan bentuk
osteoporosis yang terjadi pada anak-anak prepubertas. 5) Osteoporosis sekunder.
Penurunan densitas tulang yang cukup berat untuk menyebabkan fraktur atraumatik
akibat faktor ekstrinsik seperti kelebihan kortikosteroid, atraumatik reumatoid,
kelainan hati/ ginjal kronis, sindrom malabsorbsi, mastisitosis sistemik,
hipertiriodisme , varian status hipogonade dan lain-lain.

C. ETIOLOGI OSTEOPOROSIS

Osteoporosis postmenopouse terjadi karena kekurangan estrogen (hormon utama pada


wanita), yang membantu mengatur pengangkutan kalsium ke dalam tulang pada
wanita. Biasanya gejala timbul pada wanita yang berusia diantara 51-75 tahun, tetapi
bisa mulai muncul lebih cepat ataupun lebih lambat. Tidak semua wanita memiliki
resiko yang sama untuk menderita osteoporosis postmenopouse, pada wanita kulit
putih dan daerah timur lebih mudah menderita penyakit ini daripada wanita kulit
hitam (Lukman, Nurma Ningsih : 2009).
Osteoporosis senilis kemungkinan merupakan akibat dari kekurangan kasium yang
berhubungan dengan usia dan ketidakseimbangan diantara kecepatan hancurnya
tulang dan pembentukan tulang yang baru. Senilis yaitu keadaan penurunan masa
tulang yang hanya terjadi pada usia lanjut. Penyakit ini biasanya terjadi pada usia
diatas 70 tahun dan dua kali lebih sering menyerang wanita. Wanita sering kali
menderita osteoporosis senilis dan postmenopouse (Lukman, Nurma Ningsih : 2009).
D. PATHOFISIOLOGI OSTEOPOROSIS
Patofisiologi Osteoporosis Genetik, nutrisi, gaya hidup (misal merokok,
konsumsi kafein, dan alkohol), dan aktivitas mempengaruhi puncak massa tulang.
Kehilangan masa tulang mulai terjadi setelah tercaipainya puncak massa tulang. Pada
pria massa tulang lebih besar dan tidak mengalami perubahan hormonal mendadak.
Sedangkan pada perempuan, hilangnya estrogen pada saat menopouse dan pada
ooforektomi mengakibatkan percepatan resorpsi tulang dan berlangsung terus selama
tahun-tahun pasca menopouse (Lukman, Nurma Ningsih : 2009).
Demikian pula, bahan katabolik endogen (diproduksi oleh tubuh) dan eksogen
dapat menyebabkan osteoporosis. Penggunaan kortikosteroid yang lama, sindron
Cushing, hipertiriodisme dan hiperparatiriodisme menyebabkan kehilangan massa
tulang. Obat- obatan seperti isoniazid, heparin tetrasiklin, antasida yang mengandung
alumunium, furosemid, antikonvulsan, kortikosteroid dan suplemen tiroid
mempengaruhi penggunaan tubuh dan metabolisme kalsium. Imobilitas juga
mempengaruhi terjadinya osteoporosis. Ketika diimobilisasi dengan gips, paralisis
atau inaktivitas umum, tulang akan diresorpsi lebih cepat dari pembentukannya
sehingga terjadi osteoporosis.
E. PENATALAKSANAAN OSTEOPOROSIS
Pengobatan osteoporosis yang telah lama digunakan yaitu terapi medis yang lebih
menekankan pada pengurangan atau meredakan rasa sakit akibat patah tualng. Selain
itu, juga dilakukan terapi hormone pengganti (THP) atau hormone replacement
therapy (HRT) yaitu menggunakan estrogen dan progresteron. Terapi lainnya yaitu
terapi non hormonal antara lain suplemen kalsium dan vitamin D.
1) Terapi medis. Sebenarnya belum ada terapi yang secara khusus dapat
mengembalikan efek dari osteoporosis. Hal yang dapat dilakukan adalah upaya-upaya
untuk menekan atau memperlambat menurunnya massa tulang serta mengurangi rasa
sakit.
a. Obat pereda sakit Pada tahap awal setelah terjadinya patah tulang, biasanya
diperlukan obat pereda sakit yang kuat, seperti turunan morfin. Namun, obat
tersebut memberikan efek samping seperti mengantuk, sembelit dan linglung.
Bagi yang mengalami rasa sakit yang sangat dan tidak dapat diredakan dengan
obat pereda sakit, dapat diberikan suntikan hormone kalsitonin. Bila rasa sakit
mulai mereda, tablet pereda rasa sakit seperti paracetamol atau codein ataupun
kombinasi keduanya seperti co-dydramol, co- codramol, atau co-proxamol
bagi banyak pasien cukup memadai untuk menghilangkan rasa sakit sehingga
pasien dapat melakukan aktivitas sehari-hari.

2) Terapi hormone pada wanita

Osteoporosis memang tidak dapat disembuhkan, semua upaya


pengobatan hanya dimaksudkan untuk mencegah kehilangan massa tulang
yang lebih besar. Namun, demikian, pengobatan masih perlu dilakukan pada
kasus osteoporosis berat untuk mencegah terjadinya patah tulang. Obat-obat
untuk mencegah penurunan massa tulang biasanya bekerja lambat dan efeknya
kurang terasa sehingga banyak pasien penderita osteoporosis merasa putus asa
dan menghentikan pengobatan. Hal tersebut sangat tidak baik karena
pengobatan jangka panjang diperlukan untuk dapat secara maksimal menekan
laju penurunan massa tulang dan patah tulang.
Terapi hormone pada wanita diberikan pada masa pramenopause.
Lamanya pemberian terapi hormone sulit ditentukan. Yang jelas jika ingin
terhindar dari osteoporosis, terapi hormone dapat terus dilakukan. Sebagian
dokter menganjurkan untuk dilakukan terapi hormone seumur hidup semenjak
menopause pada wanita yang mengalami osteoporosis. Namun, sebagian juga
berpendapat bahwa penggunaan terapi hormone sebaiknya dihentikan setelah
penggunaan selama 5-10 tahun untuk menghindari kemungkinan terjadinya
kanker.
a. Hormone Replacement Theraphy (HRT)
Hormone Replacement Theraphy (HRT) atau terapi hormone
pengganti (THP) menggunakan hormone estrogen atau kombinasi estrogen
dan progesterone. Hormone-hormon tersebut sebenarnya secara alamiah
diproduksi oleh indung telur, tetapi produksinya semakin menurun selama
menopause sehingga perlu dilakukan HRT.
Penggunaan estrogen memang efektif dalam upaya pengobatan dan
pencegahan osteoporosis. Namun, tidak terlepas dari kemungkinan
terjadinya efek samping berupa munculnya kanker endometrium (dinding
rahim). Dengan adanya hormone tersebut akan merangsang pertumbuhan
sel-sel di dinding rahim yang apabila pertumbuhannya terlalu pesat dapat
berkembang menjadi kanker ganas. Oleh karena itu, penggunaan estrogen
biasanya di kombinasikan dengan progesterone untuk mengurangi resiko
tersebut.
Efek lain yang juga dapat timbul dalam pemberian terapi hormone,
diantaranya adalah pembesaran payudara, kembung, retensi cairan, mual,
muntah, sakit kepala, gangguan pencernaan, dan gangguan emosi. Namun,
demikian, efek tersebut biasanya hanya terjadi pada awal terapi dan
kondisi berangsur membaik dengan sendirinya. Dapat juga dilakukan
pemberian hormone estrogen dan progesterone secara bertahap, dosis kecil
diberikan pada awal terapi dilihat dulu reaksinya terhadap tubuh. Bila
dosis dapat diterima tubuh, dosis kemudian dinaikkan secara bertahap.
b. Kalsitonin.
Selain hormone estrogen dan progesterone, hormone lain yang biasa
digunakan dalam pencegahan dan pengobatan osteoporosis adalah
kalsitonin. Kalsitonin turut menjaga kestabilan struktur tulang dengan
mengaktifkan kerja sel osteoblast dan menekan kinerja sel osteoclast.
Kalsitonin juga berperan dalam mengurangi rasa sakit yang mungkin
timbul pada keadaan patah tulang. Hormone ini secara normal dihasilkan
oleh kelenjar tiroid yang memiliki sifat meredakan rasa sakit yang cukup
ampuh. Kalsitonin biasanya diberikan dalam bentuk suntikan yang
diberikan setiap hari atau dua hari sekali selama dua atau tiga minggu.
Hormone ini juga dapat menimbulkan efek samping berupa rasa mual dan
muka merah, mungkin pula terjadi muntah dan diare serta rasa sakit pada
bekas suntikan.
c. Testosterone Testosterone adalah hormone yang biasa dihasilkan oleh
tubuh pria. Penggunaan hormone testosterone pada wanita dengan
osteoporosis pasca menopause mampu menghambat kehilangan massa
tulang. Namun, dapat muncul efek maskulinasi seperti penambahan
rambut secara berlebihan di dada, kaki, tangan, timbulnya jerawat dimuka
dan pembesaran suara seperti yang biasa terjadi pada pria.

3) Terapi non-hormonal

Terapi hormone selama ini memang dianggap sebagai jalan yang paling baik
untuk mengobati osteoporosis. Namun, karena banyaknya efek samping yang dapat
ditimbulkan dan tidak dapat diterapkan pada semua pasien osteoporosis, maka
sekarang mulai dikembangkan terapi non-hormonal.

a) Bisfosfonat Bisfosfonat
merupakan golongan obat sintetis yang saat ini sangat dikenal dalam pengobatan
osteoporosis non-hormonal. Efek utama dari obat ini adalah menonaktifkan sel-sel
penghancur tulang (osteoclast) sehingga penurunan massa tulang dapat dihindari.
Obat-obat yang termasuk golongan bisfosfonat adalah etidronat dan alendronat.
b) Etidronat.
Etidronat adalah obat golongan bisfosfonat pertama yang biasa digunakan dalam
pengobatan osteoporosis. Obat ini diberikan dalam bentuk tablet dengan dosis satu
kali sehari selama dua minggu. Penggunaan obat ini harus dikombinasikan dengan
konsumsi suplemen kalsium. Namun, perlu diperhatikan agar konsumsi suplemen
kalsium harus dihindari dalam waktu dua jam sebelum dan sesudah
mengkonsumsi etidronat karena dapat mengganggu penyerapannya. Kadang kala
konsumsi etidronat memberikan efek samping,tetapi relative kecil. Misalnya
timbul mual, diare, ruam kulit dan lain-lain.
c) Alendronat Alendornat mempunyai fungsi dan peran yang serupa dengan
etidronat, perbedaannya adalah pada penggunaannya tidak perlu dikombinasikan
dengan konsumsi suplemen kalsium, tetapi bila asupan kalsium masih rendah,
pemberian kalsium tetap dianjurkan. Efek samping yang mungkin ditimbulkan
pada konsumsi alendronat adalah timbulnya diare, rasa sakit dan kembung pada
perut, serta gangguan pada tenggorokan.

4) Terapi alamiah Terapi alamiah adalah terapi yang diterapkan untuk mengobati
osteoporosis tanpa menggunakan obat-obatan atau hormone. Terapi ini berhubungan
dengan gaya hidup dan pola konsumsi. Beberapa pencegahan yang dapat diberikan
yaitu dengan berolahraga secara teratur, hindari merokok, hindari minuman
beralkohol dan menjaga pola makan yang baik.

F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Sebenarnya langkah terbaik dalam penanganan osteoporosis adalah pencegahan
karena bila sudah terkena susah, bahkan tidak dapat dipulihkan. Seyogyanya, sedini
mungkin dilakukan diagnosis untuk mendeteksi keadaan massa tulang sebelum
terjadi akibat yang lebih fatal seperti terjadinya patah tulang . penilaian langsung
tulang untuk mengetahui ada tidaknya osteoporosis dapat dilakukan dengan berbagai
cara , yaitu sebagai berikut :
• Pemeriksaan radiologic
• Pemeriksaan radioisotope
• Pemeriksaan Quantitative
• Magnetic resonance imaging (MRI)
• Quantitative Ultra Sound (QUS)
• Densitometer (X-ray absorptiometry)
• Tes darah dan urine
G. ASUHAN KEPERAWATAN OSTEOPOROSIS
a. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut b.d fragmen tulang dan spasme otot
2. Hambatan mobilitas fisik b.d disfungsi sekunder skeletal
b. Intervensi
No. Dx NOC NIC
1. Nyeri akut b.d ❖ Pain level Pain mangement
fragmen tulang dan ❖ Pain control ❖ Lakukan pengkajian
spasme otot nyeri secara
❖ Comfort level
Kriteria hasil : komprehens if
termasuk lokasi,
❖ Mampu mengontrol
karakteristik , durasi,
nyeri (tahu penyebab
frekuensi, kualitas dan
nyeri, mampu
faktor presipitasi
menggunakan tehnik
❖ Observasi reaksi
nonfarmakologi untuk
mengurangi nyeri, mencari nonverbal dari

bantuan) ketidaknya manan

❖ bahwa ❖ Gunakan teknik


Melaporkan
nyeri berkurang dengan komunikasi terapeutik
menggunakan manajemen untuk mengetahui
nyeri pengalaman nyeri
pasie
❖ Mampu mengenali
nyeri (skala, intensitas,
frekuensi dan tanda nyeri
2. Hambatan mobilitas ❖ join movement : active Execise therapy :
fisik b.d disfungsi ❖ mobility Level ambulation
sekunder skeletal • monitoring vital sign
❖ transfer perfomance
sebelum/ses udah
kriteria Hasil :
latihan dan lihat respon
❖ klien meningkat dalam
pasien saat latihan
aktivitas fisik
• konsultasika n
❖ mengerti tujuan dari
peningkatan mobilitas dengan terapi fisik
❖ memverbalisasik an tentang rencana
perasaan dalam ambulasi sesuai
meningkatkan kekuatan dengan kebutuhan
dan kemampuan berpindah • bantu klien untuk
menggunakan tongkat
saat berjalan dan cegah
terhadap cedera
• ajarkan pasien atau
tenaga kesehatan lain
tentang teknik
ambulasi
• kaji kemampuan
pasien dalam
mobilisasi

H. DEFINISI EVIDENCE BASED PRACTICE


EBP didefinisikan sebagai intervensi dalam perawatan kesehatan yang
berdasarkan pada fakta terbaik yang didapatkan. EBP merupakan proses yang
panjang, adanya fakta dan produk hasil yang membutuhkan evaluasi berdasarkan hasil
penerapan pada praktek lapangan. (Gerrish & Clayton, 2009)
EBP menyebabkan terjadinya perubahan besar pada literatur, merupakan
proses yang panjang dan merupakan aplikasi berdasarkan fakta terbaik untuk
pengembangan dan peningkatan pada praktek lapangan.Pencetus dalam penggunaan
fakta menjadi pedoman pelaksanaan praktek dalam memutuskan untuk
mengintegrasikan keahlian klinikal individu dengan fakta yang terbaik berdasarkan
penelitian sistematik.
Evidence based practice atau EBP adalah salah satu komponen penting dalam
praktek keperawatan dewasa ini. EBP membantu menggeser paradigma keperawatan
dari praktik berbasis tradisi atau kebiasaan menjadi berbasis bukti ilmiah. Dalam
penerapan EBP diperlukan komitmen,kritical thingking,kreatifitas dan keinginan
untuk berubah.Evidence yang digunakan pada EBP dapat dari penelitian kuantitatif
atau kualitatif atau bahkan dari laporan kasus,namun masing-masing memiliki
kekuatan yang berbeda-beda. Penelitian tentang pasien hemodialisis talah banyak
dilakukan namun penerapan hasil-hasil penelitan tersebut di Indonesia masih terbilang
rendah. Pasien hemodialisis mengalami berbagai masalah kesehatan yang komplek
dan perlu penanganan yang tepat dan terpadu dari perawat dan tenaga kesehatan
lainnya. Perlu usaha dan kerja keras serta komitmen dari perawat dan komunitas
keperawatan untuk menjadikan EBP sebagai pendekatan dalam memperbaiki dan
meningkatkan kualitas asuhan keperawatan. (Goode & Piedalue, 2011)
I. LANGKAH-LANGKAH EVIDENCE BASED PRACTICE
Langkah-langkah melakukan EBP menurut AMSN (2013) adalah sebagai berikut :
1. Mengkaji kondisi praktik dan merumuskan pertanyaan yang berasal dari masalah
yang ditemukan dari hasil pengkajian.
2. Mencari dan mengumpulkan most relevance and best evidence untuk menjawab
pertanyaan yang diajukan. Evidence yang dicari adalah hasil penelitian yang
tersedia dan dapat dipercaya dan relevan dengan masalah yang ditemukan.
3. Menilai dan mengkritisi evidence yang sudah ditemukan.
4. Membuat perencanaanpenerapan evidence yang ditemukan diintegrasikan
dengan keahlian klinis dan disesuaikan dengan nilai-nilai dan kesukaan pasien.
5. Mengimplemasikan perencanaan yang telah dibuat.
6. Mengevaluasikan keefektifan / dampak / outcome dari hasil implementasikan.
J. TINGKAT EVIDENCE BASED PRACTICE
Ada 6 level evidence menurut Melnyk &Overholt (2009) yaitu:
1. Level I,atau level tertinggi,berupa Systematic reviews atau meta analysis of
multiple RCT’s.
2. Level II,berupa oe well designed RCT.
3. Level III,yaitu Quasi-experimental studies.
4. Level IV,yaitu non experimental studies,dapat berupa deskriptif atau
kualitatif.
5. Level V,yaitu dapat berupa case reports,program evaluation,narrative literature
review.
6. Level VI,yaitu opinion of respected authorities.

Level I merupakan level tertinggi dimana hasil dari evidence tersebut dapat
dianggap paling kuat,sedangkan level VI merupakan level terendah tingkat
dimana evidence di level inidianggap paling lemah untuk digunakan dalam EBP.
K. EVIDENCE BASED PRACTICE DALAM PRAKTIK KEPERAWATAN
Dalam praktik keperawatan yang mendasari praktiknya sesuai dengan ilmu
pengetahuan, konsep Evidence Based Practice sangat diperlukan untuk dapat mencapai
patient outcomes, menghindari intervensi yang tidak perlu dan tidak sesuai dan tentu saja
mengurangi/menghindari komplikasi hasil dari perawatan dan juga pengobatan.

Keterangan :

Mengkonversi kebutuhan informasi menjadi pertanyaanklinik


1. ASK
yang bisa dipertanggungjawabkan
2. ACQUIRE Lacak bukti terbaik untuk menjawab pertanyaan
3. APPRAISE Secara kritis menilai bukti validitas, dampak, dan penerapan
Mengintegrasikan bukti ke dalam pengambilan keputusan klinis
4. APPLY
anda
Evaluasi langkah 1-4 dan cari cara untuk meningkatkan waktu
5. AUDIT
berikutnya

BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Osteoporosis merupakan kondisi terjadinya penurunan densitas/ matriks/massa tulang,


peningkatan prositas tulang, dan penurunan proses mineralisasi deisertai dengan kerusakakn
arsitektur mikro jaringan tulang yang mengakibatkan penurunan kekokohan tulang sehingga
tulang menjadi mudah patah.

Beberapa faktor resiko Osteoporosis antara lain yaitu : usia, genetik, defisiensi
kalsium, aktivitas fisik kurang, obat-obatan (kortikosteroid, anti konvulsan, heparin,
siklosporin), merokok, alcohol serta sifat fisik tulang (densitas atau massa tulang) dan lain
sebagainya.

Berdasarkan pembahasan diatas, konsep Evidence Based Practice sangat diperlukan


untuk dapat mencapai patient outcomes, menghindari intervensi yang tidak perlu dan tidak
sesuai dan tentu saja mengurangi/menghindari komplikasi hasil dari perawatan dan juga
pengobatan.Namun dalam pelaksanaan dan penerapan Evidence Based Practice tidaklah
mudah, hambatan utama dalam pelaksanaannya yaitu kurangnya pemahaman dan referensi
yang dapat digunakan sebagai pedoman pelaksanaan penerapan Evidence Based Practice.

Anda mungkin juga menyukai