TRAUMA MAXILOFACIAL
Disusun Oleh :
KELOMPOK 2
1. Anastasia Holo
2. Andyka Rifky M. (201801009)
3. Anggi Ajeng P. (201801011)
4. Anggita Restiana E. (201801012)
5. Anggelia Permata K (201801013)
6. Della Tiyatama A.P (201801029)
7. Deva Friyanti (201801030)
8. Dewi Damayanti (201801031)
9. Wulan Marifatus S. (201801103)
10. Yovira Dyantika (201801104)
11. Yurike Erwinda P (201801105)
12. Yusiana Achmadi (201801106)
Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Tidak lupa kami haturkan
sholawat dan salam kepada junjungan nabi besar Muhammad SAW yang telah mengantarkan
kita ke zaman yang terang benderang.
Makalah ini kami buat guna memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Gawat Darurat
prodi Sarjana Keperawatan tingkat III Stikes Karya Husada Kediri, makalah ini telah kami
susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai sumber dan berbagai pihak
sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan terima
kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari itu semua, penulis dengan tangan terbuka menerima kritik maupun saran
yang sifatnya membangun dari berbagai pihak demi menyempurnakan makalah ini.Akhir
kata kami berharap makalah “Makalah Kegawatdaruratan Trauma Maxilofacial” ini dapat
menjadi bahan informasi dan penunjang bagi kita semua.
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
Trauma Maxilofacial berarti cedera pada wajah atau tulang maksilofasial. Trauma
wajah termasuk pada kulit, tulang kepala, hidung dan sinus, rongga mata, gigi dan bagian
lain dari mulut. Wajah merupakan bagian tubuh yang sering mengalami trauma, karena
tidak terlindungi oleh organ lain. Trauma Maxilofacial dapat terjadi akibat kecelakaan
lalulintas, kelalaian pekerjaan dan kecelakaan waktu olahraga. Frekuensi kasus terbanyak
terutama pada anak laki-laki usia remaja.
Trauma Maxilofacial ini dapat berupa trauma tersendiri atau disertai dengan trauma
organ tubuh lainnya. Hal yang paling sering terjadi adalah adanya epistaksis, diplopia,
hipestesi sampai anestesi dan perdarahan subkonjungtiva. Setiap Trauma juga dapat
menyebabkan kebocoran LCS atau cairan serebrospinalis. Sejalan dengan perkembangan
dunia teknologi transportasi yang demikian pesatnya, tampak bahwa angka kejadian
trauma pada tubuh manusia mempunyai kecenderungan untuk terus meningkat.
Pembangunan jalan bebas hambatan, bertambahnya jumlah kendaraan, kurang disiplinnya
pengguna jalan menyebabkan trauma akibat kecelakaan lalulintas menempati urutan
pertama sebagai penyebab trauma pada manusia.
TINJAUAN PUSTAKA
Trauma maksilofasial adalah suatu ruda paksa yang mengenai wajah dan jaringan
sekitarnya. Trauma pada jaringan maksilofasial dapat mencakup jaringan lunak dan
jaringan keras. Yang dimaksud dengan jaringan lunak wajah adalah jaringan lunak yang
menutupi jaringan keras wajah. Sedangkan yang dimaksud dengan jaringan keras wajah
adalah tulang kepala (Ariwibowo, 2008).
Fraktur NOE meliputi 5% dari keseluruhan fraktur maksilofasial pada orang dewasa.
Kebanyakan fraktur NOE merupakan fraktur tipe I. Fraktur tipe III merupakan fraktur
yang paling jarang dan terjadi pada 1-5% dari seluruh kasus fraktur NOE (Nguyen,
2010).
2. Fraktur Zigomatikomaksila
Zygomaticomaxillary complex (ZMC) mempunyai peran penting pada struktur,
fungsi, dan estetika penampilan dari wajah. ZMC memberikan kontur pipi normal dan
memisahkan isi orbita dari fossa temporal dan sinus maksilaris. Zigoma merupakan
tempat melekat dari otot maseter, oleh karena itu kerusakannya akan berpengaruh
terhadap proses mengunyah (Tollefson, 2013). Fraktur ZMC menunjukkan kerusakan
tulang pada empat dinding penopang yaitu zygomaticomaxillary, frontozygomatic,
zygomaticosphenoid, dan zygomaticotemporal. Fraktur ZMC merupakan fraktur
kedua tersering pada fraktur maksilofasial setelah fraktur nasal (Meslemani, 2012).
Klasifikasi pada fraktur ZMC yang sering digunakan adalah klasifikasi Knight dan
North. Klasifikasi ini turut mencakup tentang penanganan terhadap fraktur ZMC.
Klasifikasi tersebut dibagi menjadi enam yaitu (Meslemani, 2012) :
a) Kelompok 1 : Fraktur tanpa pergeseran signifikan yang dibuktikan secara klinis
dan radiologi
b) Kelompok 2: Fraktur yang hanya melibatkan arkus yang disebabkan oleh gaya
langsung yang menekuk malar eminence ke dalam
c) Kelompok 3: Fraktur yang tidak berotasi
d) Kelompok 4: Fraktur yang berotasi ke medial
e) Kelompok 5: Fraktur yang berotasi ke lateral
f) Kelompok 6: Fraktur kompleks yaitu adanya garis fraktur tambahan sepanjang
fragmen utama
3. Fraktur Nasal
Tulang nasal merupakan tulang yang kecil dan tipis dan merupakan lokasi fraktur
tulang wajah yang paling sering. Fraktur tulang nasal telah meningkat baik dalam
prevalensi maupun keparahan akibat peningkatan trauma dan kecelakaan lalu lintas
(Baek, 2013). Fraktur tulang nasal mencakup 51,3% dari seluruh fraktur maksilofasial
(Haraldson, 2013). Klasifikasi frakt ur tulang nasal terbagi menjadi lima yaitu (Ondik,
2009) :
a) Tipe I: Fraktur unilateral ataupun bilateral tanpa adanya deviasi garis tengah
b) Tipe II: Fraktur unilateral atau bilateral dengan deviasi garis tengah
c) Tipe III: Pecahnya tulang nasal bilateral dan septum yang bengkok dengan
penopang septal yang utuh
d) Tipe IV: Fraktur unilateral atau bilateral dengan deviasi berat atau rusaknya garis
tengah hidung, sekunder terhadap fraktur septum berat atau dislokasi septum
e) Tipe V: Cedera berat meliputi laserasi dan trauma dari jaringan lunak, saddling
dari hidung, cedera terbuka, dan robeknya jaringan
Gambar 3. Klasifikasi Fraktur Nasal (Ondik, 2009)
Ada dua tipe fraktur maksila non Le Fort lain relatif umum. Yang pertama
adalah fraktur karena trauma tumpul yang terbatas dan sangat terfokus yang
menghasilkan segmen fraktur yang kecil dan terisolasi. Sering kali, sebuah palu atau
instrumen lain sebagai senjata penyebab. Alveolar ridge, dinding anterior sinus
maksila dan nasomaxillary junction merupakan lokasi yang umum pada cedera ini.
Yang kedua adalah fraktur karena gaya dari submental yang diarahkan langsung ke
superior dapat mengakibatkan beberapa fraktur vertikal melalui beberapa tulang
pendukung horizontal seperti alveolar ridge, infraorbital rim, dan zygomatic arches
(Moe, 2013).
5. Fraktur Mandibula
Mandibula mengelilingi lidah dan merupakan satu-satunya tulang kranial yang
bergerak. Pada mandibula, terdapat gigi-geligi bagian bawah dan pembuluh darah,
otot, serta persarafan. Mandibula merupakan dua buah tulang yang menyatu menjadi
satu pada simfisis (Stewart, 2008). Mandibula terhubung dengan kranium pada
persendian temporomandibular joint (TMJ). Fungsi yang baik dari mandibula
menentukan gerakan menutup dari gigi. Fraktur mandibula dapat mengakibatkan
berbagai variasi dari gangguan jangka pendek maupun panjang yaitu nyeri TMJ,
gangguan mengatupkan gigi, ketidakmampuan mengunyah, gangguan salivasi, dan
nyeri kronis. Fraktur mandibula diklasifikasikan sesuai dengan lokasinya dan terdiri
dari simfisis, badan, angulus, ramus, kondilar, dan subkondilar (Stewart, 2008).
Gambar 5. Lokasi fraktur mandibular (stewart, 2008)
2.4 SOP/Algorithm Penatalaksanaan Kegawatan Trauma Maxilofacialis
Trauma Maxillofacial
Stabilisasi Pasien
Identifikasi Trauma
Reposisi
Rehabilitasi
Posisi yang baik dan nyaman
Dukungan fragmen tulang
Control rasa sakit
Tindakan Operatif
2.5 Pemeriksaan Diagnostik Trauma Maxilofacialis
1. X-ray Skull AP/Lat, Water’s View
Fisikawan Jerman yang pertama sekali menemukan X-ray adalah Wilhelm
Rontgen pada tahun 1895. Sampai beberapa tahun yang lalu, sinar-X konvensional
merupakan standar pencitraan untuk trauma kranioserebral. Saat ini, computed
tomography (CT) menjadi metode pencitraan utama, seiring dengan meningkatnya
teknologi pengembangan multislice CT. Sinar-X konvensional relatif sensitif terhadap
fraktur atap tengkorak, tetapi tidak sensitif terhadap fraktur dasar tengkorak dan
tulang wajah. CT scan memungkinkan diagnosis yang tepat dari semua jenis fraktur
tulang wajah dan dasar tengkorak, dan memberikan informasi tentang perdarahan
intrakranial dan cedera otak mayor. Pada pasien multi-trauma, CT dapat diperluas ke
tulang leher jika perlu. Dengan demikian, sinar X-konvensional tidak lagi digunakan
dalam kasus trauma kepala atau pasien multitrauma; CT scan sudah secara luas
diterima sebagai metode pencitraan utama pilihan (Treumann, 2010).
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Trauma Maxilofasialis merupakan cedera pada wajah atau tulang maxillofacial pada
jaringan keras dan jaringan lunak. Penyebab trauma maxillofacial bervariasi, mencakup
kcelakaan lalu lintas, terjatuh, olah raga. Penderita fraktur maxillofacial ini terbanyak
pada laki-laki usi remaja. Dalam menegakkan sebuah kejadian yang dicurigai dengan
fraktur maxillofacial, dapat dilakukan pemerilsaan fisik dan pemeriksaan penjunjang.