Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

KLIEN DENGAN TRAUMA WAJAH (MAKSILOFASIAL)


RUANG IGD RSUD WAHIDIN SUDIROHUSODO

KOTA MOJOKERTO

Oleh :
Faris Aditiya P, S.Kep
NIM. 1401.14901.016

PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN WIDYAGAMA HUSADA
MALANG
2015

LEMBAR PENGESAHAN LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN


KEPERAWATAN KLIEN DENGAN TRAUMA WAJAH (MAKSILOFASIAL)
RUANG IGD RSUD WAHIDIN SUDIROHUSODO

KOTA MOJOKERTO

Laporan Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Profesi Ners


Disetujui Pada :
Hari

Tanggal

Mahasiswa

Faris Aditiya P, S.Kep


NIP. 1401.14901.016

Pembimbing Institusi

Pembimbing Klinik

NIP.

NIP.
Kepala Ruangan

NIP.

LP Trauma Maxilofacial. Faris Aditiya P, S.Kep

LAPORAN PENDAHULUAN
TRAUMA WAJAH (MAKSILOFASIAL)
1. Definisi Trauma Maksilofasial
Fraktur maksilofasial ialah fraktur yang terjadi pada tulang-tulang
pembentuk wajah. Berdasarkan anatominya wajah atau maksilofasial dibagi
menjadi tiga bagian, ialah sepertiga atas wajah, sepertiga tengah wajah, dan
sepertiga bawah wajah. Bagian yang termasuk sepertiga atas wajah ialah tulang
frontalis, regio supra orbita, rima orbita dan sinus frontalis. Maksila, zigomatikus,
lakrimal, nasal, palatinus, nasal konka inferior, dan tulang vomer termasuk ke
dalam sepertiga tengah wajah sedangkan mandibula termasuk ke dalam bagian
sepertiga bawah wajah.
Trauma pada jaringan maksilofasial dapat mencakup jaringan lunak dan
jaringan keras. Yang dimaksud dengan jaringan lunak wajah adalah jaringan
lunak yang menutupi jaringan keras wajah. Sedangkan yang dimaksud dengan
jaringan keras wajah adalah tulang kepala yang terdiri dari : tulang hidung, tulang
arkus zigomatikus, tulang mandibula, tulang maksila, tulang rongga mata, gigi,
tulang alveolus. Yang dimaksud dengan trauma jaringan lunak adalah:
- Abrasi kulit, tusukan, laserasi, tato
- Cedera saraf, cedera saraf fasial
- Cedera kelenjar paratiroid atau duktus Stensen
- Cedera kelopak mata
- Cedera telinga
- Cedera hidung
2. Anatomi Maksilofasial
Pertumbuhan kranium terjadi sangat cepat pada tahun pertama dan kedua
setelah lahir dan lambat laun akan menurun kecepatannya. Pada anak usia 4-5
tahun, besar cranium sudah mencapai 90% cranium dewasa. Maksilofasial
tergabung dalam tulang wajah yang tersusun secara baik dalam membentuk
wajah manusia. Daerah maksilofasial dibagi menjadi 3 bagian. Bagian pertama
adalah wajah bagian atas, di mana patah tulang melibatkan frontal dan sinus.
Bagian kedua adalah midface tersebut. Midface dibagi menjadi bagian atas dan
bawah. Para midface atas adalah di mana rahang atas Le Fort II dan III Le Fort
fraktur terjadi dan / atau di mana patah tulang hidung, kompleks nasoethmoidal
atau zygomaticomaxillary, dan lantai orbit terjadi. Bagian ketiga dari daerah
maksilofasial adalah wajah yang lebih rendah, di mana patah tulang yang
terisolasi ke rahang bawah.

LP Trauma Maxilofacial. Faris Aditiya P, S.Kep

Tulang pembentuk wajah pada manusia bentuknya lebih kecil dari tengkorak
otak. Didalam tulang wajah terdapat rongga-rongga yang membentuk rongga mulut
(cavum oris), dan rongga hidung (cavum nasi) dan rongga mata(orbita).
a. Bagian hidung terdiri atas :
Os Lacrimal (tulang mata) letaknya di sebelah kiri/kanan pangkal hidung
disudut mata. Os Nasal (tulang hidung) yang membentuk batang hidung
sebelah atas. Dan Os Konka nasal (tulang karang hidung), letaknya di dalam
rongga hidung dan bentuknya berlipat-lipat. Septum nasi (sekat rongga
hidung) adalah sambungan dari tulang tapis yang tegak.
b. Bagian rahang terdiri atas tulang-tulang seperti :
Os Maksilaris (tulang rahang atas), Os Zigomaticum, tulang pipi yangterdiri
dari dua tulang kiri dan kanan. Os Palatum atau tulang langit-langit, terdiri
dari dua dua buah tulang kiri dan kanan. Os Mandibularis atau tulang rahang
bawah, terdiri dari dua bagian yaitu bagian kiri dan kanan yang kemudian
bersatu di pertengahan dagu. Dibagian depan dari mandibula terdapat
processus coracoids tempat melekatnya otot.
3. Facial danger zones (Zona bahaya wajah)
Secara anatomi, wajah memiliki beberapa serabut-serabut saraf yang tersebar di
beberapa lokasi di wajah, ada 7 lokasi-lokasi penting di sekitar wajah yang
apabila terjadi trauma atau kesalahan dalam penanganan trauma maksilofasial
akan berakibat fatal, lokasi-lokasi tersebut disebut dengan facial danger zone.
4. Epidemiologi
Dari data penelitian itu menunjukan bahwa kejadian trauma maksilofasial sekitar
6% dari seluruh trauma yang ditangani oleh SMF Ilmu Bedah RS Dr.Soetomo.
Kejadian fraktur mandibula dan maksila terbanyak diantara 2 tulang lainnya,
yaitu masing-masing sebesar 29,85 %, disusul fraktur zigoma 27,64 % dan fraktur
nasal 12, 66 %. Penderita fraktur maksilofasial ini terbanyak pada laki-laki usia
produktif,yaitu usia 21-30 tahun, sekitar 64,38 % disertai cedera di tempat lain,
dan trauma penyerta terbanyak adalah cedera otak ringan sampai berat, sekitar
56%. Penyebab terbanyak adalah kecelakaan lalu lintas dan sebagian besar adalah
pengendara sepeda motor.
5. Etiologi Trauma Maksilofasial
Trauma wajah di perkotaan paling sering disebabkan oleh perkelahian, diikuti
oleh kendaraan bermotor dan kecelakaan industri. Para zygoma dan rahang
adalah tulang yang paling umum patah selama serangan. Trauma wajah dalam
pengaturan masyarakat yang paling sering adalah akibat kecelakaan kendaraan

LP Trauma Maxilofacial. Faris Aditiya P, S.Kep

bermotor, maka untuk serangan dan kegiatan rekreasi. Kecelakaan kendaraan


bermotor menghasilkan patah tulang yang sering melibatkan midface, terutama

Penyebab pada orang dewasa


Kecelakaan lalu lintas

Persentase (%)
40-45

Penganiayaan / berkelahi

10-15

Olahraga

5-10

Jatuh
Lain-lain

5
5-10

pada pasien yang tidak memakai sabuk pengaman mereka. Penyebab penting lain
dari trauma wajah termasuk trauma penetrasi, kekerasan dalam rumah tangga,
dan pelecehan anak-anak dan orang tua.
Bagi pasien dengan kecelakaan lalu lintas yang fatal menjadi masalah karena
harus rawat inap di rumah sakit dengan cacat permanen yang dapat mengenai
ribuan orang per tahunnya. Berdasarkan studi yang dilakukan, 72% kematian
oleh trauma maksilofasial paling banyak disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas
(automobile).
Berikut ini tabel etiologi trauma maksilofasial :

Penyebab pada orang anak

Persentase (%)

Kecelakaan lalu lintas

10-15

Penganiayaan / berkelahi

5-10

Olahraga (termasuk naik sepeda)

50-65

Jatuh

5-10

6. Klasifikasi Trauma Maksilofasial

LP Trauma Maxilofacial. Faris Aditiya P, S.Kep

Trauma maksilofasial dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu trauma


jaringan keras wajah dan trauma jaringan lunak wajah. Trauma jaringan lunak
biasanya disebabkan trauma benda tajam, akibat pecahan kaca pada kecelakaan
lalu lintas atau pisau dan golok pada perkelahian.
a. Trauma jaringan lunak wajah
Luka adalah kerusakan anatomi, diskontinuitas suatu jaringan oleh karena
trauma dari luar.
Trauma pada jaringan lunak wajah dapat diklasifikasikan berdasarkan :
Berdasarkan jenis luka dan penyebab:
- Ekskoriasi
- Luka sayat, luka robek , luka bacok
- Luka bakar
- Luka tembak
Berdasarkan ada atau tidaknya kehilangan jaringan
- Dikaitkan dengan unit estetik
b. Trauma jaringan keras wajah
Klasifikasi trauma pada jaringan keras wajah di lihat dari fraktur tulang yang
terjadi dan dalam hal ini tidak ada klasifikasi yg definitif. Secara umum
dilihat dari terminologinya, trauma pada jaringan keras wajah dapat
diklasifikasikan berdasarkan:
Dibedakan berdasarkan lokasi anatomic dan estetika
- Berdiri Sendiri : fraktur frontal, orbita, nasal, zigomatikum,
-

maxilla, mandibulla, gigi dan alveolus


Bersifat Multiple : Fraktur kompleks zigoma, fronto nasal

dan fraktur kompleks mandibular


Berdasarkan Tipe fraktur :
- Fraktur simple
Merupakan fraktur sederhana, liniear yang tertutup misalnya
pada kondilus, koronoideus, korpus dan mandibula yang tidak
bergigi. Fraktur tidak mencapai bagian luar tulang atau rongga
mulut. Termasukgreenstik fraktur yaitu keadaan retak tulang,
-

terutama pada anak dan jarang terjadi.


Fraktur kompoun
Fraktur lebih luas dan terbuka atau berhubungan dengan jaringan
lunak. Biasanya pada fraktur korpus mandibula yang mendukung
gigi, dan hampir selalu tipe fraktur kompoun meluas dari
membran periodontal ke rongga mulut, bahkan beberapa luka

yang parah dapat meluas dengan sobekan pada kulit.


Fraktur komunisi
Benturan langsung terhadap mandibula dengan objek yang tajam
seperti peluru yang mengakibatkan tulang menjadi bagian bagian
yang kecil atau remuk. Bisa terbatas atau meluas, jadi sifatnya

LP Trauma Maxilofacial. Faris Aditiya P, S.Kep

juga seperti fraktur kompoun dengan kerusakan tulang dan


jaringan lunak.
Fraktur patologis
keadaan tulang yang lemah oleh karena adanya penyakit penyakit
tulang, seperti Osteomyelitis, tumor ganas, kista yang besar dan
penyakit tulang sistemis sehingga dapat menyebabkan fraktur
spontan.
7. Lokasi Anatomis Fraktur Maksilofasial
a. Fraktur Sepertiga Bawah Wajah (Fonseca, 2005)
Mandibula termasuk kedalam bagian sepertiga bawah wajah.
Klasifikasi fraktur berdasarkan istilah :
Simple atau Closed : merupakan fraktur yang tidak menimbulkan
luka terbuka keluar baik melewati kulit, mukosa, maupun membran
periodontal.
Compound atau Open : merupakan fraktur yang disertai dengan luka
luar termasuk kulit, mukosa, maupun membran periodontal , yang
berhubungan dengan patahnya tulang.
Comminuted : merupakan fraktur dimana tulang hancur menjadi
serpihan.
Greenstick : merupakan fraktur dimana salah satu korteks tulang
patah, satu sisi lainnya melengkung. Fraktur ini biasa terjadi pada
anak-anak.
Pathologic : merupakan fraktur yang terjadi sebagai luka yang cukup
serius yang dikarenakan adanya penyakit tulang.
Multiple : sebuah variasi dimana ada dua atau lebih garis fraktur pada
tulang yang sama tidak berhubungan satu sama lain.
Impacted : merupakan fraktur dimana salah satu fragmennya
terdorong ke bagian lainnya.
Atrophic : merupakan fraktur yang spontan yang terjadi akibat dari
atropinya tulang, biasanya pada tulang mandibula orang tua.
Indirect : merupakan titik fraktur yang jauh dari tempat dimana
terjadinya luka.
Complicated atau Complex : merupakan fraktur dimana letaknya
berdekatan dengan jaringan lunak atau bagian-bagian lainnya,
bisa simple atau compound.

LP Trauma Maxilofacial. Faris Aditiya P, S.Kep

Klasifikasi Fraktur Mandibula berdasarkan lokasi anatominya:


Midline : fraktur diantara incisal sentral
Parasymphyseal : dari bagian distal symphysis hingga tepat pada
garis alveolar yang berbatasan dengan otot masseter (termasuk
sampai gigi molar 3)
Symphysis : berikatan dengan garis vertikal sampai distal gigi
kaninus
Angle : area segitiga yang berbatasan dengan batas anterior otot
masseter hingga perlekatan poesterosuperior otot masseter (dari
mulai distal gigi molar 3)
Ramus : berdekatan dengan bagian superior angle hingga
membentuk dua garis apikal pada sigmoid notch
Processus Condylus : area pada superior prosesus kondilus
hingga regio ramus
Processus Coronoid : termasuk prosesus koronoid pada superior
mandibula hingga regio ramus
Processus Alveolaris : regio yang secara normal terdiri dari gigi.
b. Fraktur Sepertiga Tengah Wajah
Sebagian besar tulang tengah wajah dibentuk oleh tulang maksila,
tulang palatina, dan tulang nasal. Tulang-tulang maksila membantu dalam
pembentukan tiga rongga utama wajah : bagian atas rongga mulut dan nasal
dan juga fosa orbital. Rongga lainnya ialah sinus maksila. Sinus maksila
membesar sesuai dengan perkembangan maksila orang dewasa. Banyaknya
rongga di sepertiga tengah wajah ini menyebabkan regio ini sangat rentan
terkena fraktur.
Fraktur tulang sepertiga tengah wajah berdasarkan klasifikasi Le Fort :
Fraktur Le Fort tipe I (Guerins)
Fraktur Le Fort I merupakan jenis fraktur yang paling sering terjadi,
dan menyebabkan terpisahnya prosesus alveolaris dan palatum
durum. Fraktur ini menyebabkan rahang atas mengalami pergerakan
yang

disebut floating

jaw.

Hipoestesia

nervus

infraorbital

kemungkinan terjadi akibat dari adanya edema.


Fraktur Le Fort tipe II
Fraktur Le Fort tipe II biasa juga disebut dengan fraktur piramidal.
Manifestasi dari fraktur ini ialah edema di kedua periorbital, disertai

LP Trauma Maxilofacial. Faris Aditiya P, S.Kep

juga dengan ekimosis, yang terlihat seperti racoon sign. Biasanya


ditemukan juga hipoesthesia di nervus infraorbital. Kondisi ini dapat
terjadi karena trauma langsung atau karena laju perkembangan dari
edema. Maloklusi biasanya tercatat dan tidak jarang berhubungan
dengan open bite. Pada fraktur ini kemungkinan terjadinya
deformitas pada saat palpasi di area infraorbital dan sutura
nasofrontal. Keluarnya cairan cerebrospinal dan epistaksis juga dapat
ditemukan pada kasus ini.

Fraktur Le Fort II (Fonseca, 2005)


Fraktur Le Fort III
Fraktur ini disebut juga fraktur tarnsversal. Fraktur Le Fort III
(gambar 2.6) menggambarkan adanya disfungsi kraniofasial. Tanda
yang terjadi pada kasus fraktur ini ialah remuknya wajah serta
adanya mobilitas tulang zygomatikomaksila kompleks, disertai pula
dengan keluarnya cairan serebrospinal, edema, dan ekimosis
periorbital.

Fraktur Le Fort III (Fonseca, 2005)


c. Fraktur Sepertiga Atas Wajah
Fraktur sepertiga atas wajah mengenai tulang frontalis, regio supra orbita,
rima orbita dan sinus frontalis. Fraktur tulang frontalis umumnya

LP Trauma Maxilofacial. Faris Aditiya P, S.Kep

10

bersifat depressedke dalam atau hanya mempunyai garis fraktur linier yang
dapat meluas ke daerah wajah yang lain.
8. Patofisiologi Trauma Maksilofasial
Kehadiran energi kinetik dalam benda bergerak adalah fungsi dari massa
dikalikan dengan kuadrat kecepatannya. Penyebaran energi kinetik saat deselerasi
menghasilkan kekuatan yang mengakibatkan cedera. Berdampak tinggi dan
rendah-dampak kekuatan didefinisikan sebagai besar atau lebih kecil dari 50 kali
gaya gravitasi. Ini berdampak parameter pada cedera yang dihasilkan karena
jumlah gaya yang dibutuhkan untuk menyebabkan kerusakan pada tulang wajah
berbeda regional. Tepi supraorbital, mandibula (simfisis dan sudut), dan tulang
frontal memerlukan kekuatan tinggi-dampak yang akan rusak. Sebuah dampak
rendah-force adalah semua yang diperlukan untuk merusak zygoma dan tulang
hidung.
Patah

Tulang Frontal :

ini terjadi

akibat dari

pukulan

berat pada dahi. Bagiananterior dan / atau posterior sinus frontal mungkin
terlibat. Gangguan lakrimasi mungkin dapat terjadi jika dinding posterior sinus
frontal retak. Duktus nasofrontal sering terganggu.
Fraktur Dasar Orbital : Cedera dasar orbital dapat menyebabkan suatu fraktur
yang terisolasi atau dapat disertai dengan fraktur dinding medial. Ketika kekuatan
menyerang pinggiran orbital, tekanan intraorbital meningkat dengan transmisi ini
kekuatan

dan

merusak bagian-bagian terlemah

dari dasar dan

dinding

medial orbita. Herniasi dari isi orbit ke dalam sinus maksilaris adalah mungkin.
Insiden cedera okular cukup tinggi, namun jarang menyebabkan kematian.
Patah Tulang Hidung: Ini adalah hasil dari kekuatan diakibatkan oleh trauma
langsung.
Fraktur

Nasoethmoidal (noes): akibat perpanjangan

kekuatan

trauma dari

hidung ke tulang ethmoid dan dapat mengakibatkan kerusakan pada canthus


medial, aparatus lacrimalis, atau saluran nasofrontal.
Patah tulang lengkung zygomatic: Sebuah pukulan langsung ke lengkung
zygomatic

dapat

mengakibatkan

fraktur

terisolasi

melibatkan

jahitan

zygomaticotemporal.
Patah Tulang Zygomaticomaxillary kompleks (ZMCs): ini menyebabkan patah
tulang dari trauma langsung. Garis fraktur jahitan memperpanjang melalui
zygomaticotemporal, zygomaticofrontal, dan zygomaticomaxillary dan artikulasi

LP Trauma Maxilofacial. Faris Aditiya P, S.Kep

11

dengan tulang sphenoid. Garis fraktur biasanya memperpanjang melalui foramen


infraorbital dan lantai orbit. Cedera mata serentak yang umum.
Fraktur mandibula: Ini dapat terjadi di beberapa lokasi sekunder dengan bentuk
U-rahang dan leher condylar lemah. Fraktur sering terjadi bilateral di lokasi
terpisah dari lokasi trauma langsung.
Patah tulang alveolar: Ini dapat terjadi dalam isolasi dari kekuatan rendah
energi langsung atau dapat hasil dari perpanjangan garis fraktur melalui bagian
alveolar rahang atas atau rahang bawah
Fraktur

Panfacial:

Ini

biasanya

sekunder

mekanisme kecepatan tinggi

mengakibatkan cedera pada wajah atas, midface, dan wajah yang lebih rendah
9. Manifestasi Klinis
Gejala klinis gejala dan tanda trauma maksilofasial dapat berupa :
Dislokasi, berupa perubahan posisi yg menyebabkan maloklusi terutama pada
fraktur mandibular
Pergerakan yang abnormal pada sisi fraktur
Rasa nyeri pada sisi fraktur
Perdarahan pada daerah fraktur yang dapat menyumbat saluran napas
Pembengkakan dan memar pada sisi fraktur sehingga dapat menentukan
lokasi daerah fraktur
Krepitasi berupa suara pada saat pemeriksaan akibat pergeseran
Laserasi yg terjadi pada daerah gusi, mukosa mulut dan daerah sekitar fraktur
Diskolorisasi perubahan warna pada daerah fraktur akibat pembengkakan
Numbness, kelumpuhan dari bibir bawah, biasanya bila fraktur terjadi
dibawah nervus alveolaris
Pada fraktur orbita dapat dijumpai penglihatan kabur atau ganda, penurunan
pergerakan bola mata dan penurunan visus
10. Pemeriksaan Penunjang
a. Wajah Bagian Atas :
-

CT-scan 3D dan CBCT-scan 3D (Cone Beam CT-scan 3D)

CT-scan aksial koronal

Imaging Alternatif diantaranya termasuk CT Scan kepala dan X-ray


kepala

b. Wajah Bagian Tengah :


-

CT-scan 3D dan CBCT-scan 3D (Cone Beam CT-scan 3D)

CT scan aksial koronal

LP Trauma Maxilofacial. Faris Aditiya P, S.Kep

12

Imaging Alternatif diantaranya termasuk radiografi posisi waters dan


posteroanterior (Caldwells), Submentovertek (Jughandles)

c. Wajah Bagian Bawah :


-

CT-scan 3D dan CBCT-scan 3D

Panoramic X-ray

Imaging Alternatif diagnostik mencakup posisi:


Posteroanterior (Caldwells)
Posisi lateral (Schedell)
Posisi towne

11. Penatalaksanaan Medis


Penatalaksanaan saat awal trauma pada cedera kepala dan wajah selain
dari factor mempertahankan fungsi ABC (airway, breathing, circulation) dan
menilai status neurologis (disability, exposure), maka factor yang harus
diperhitungkan pula adalah mengurangi iskemia serebri yang terjadi. Keadaan ini
dapat dibantu dengan pemberian oksigen dan glukosa sekalipun pada otak yang
mengalami trauma relative memerlukan oksigen dan glukosa yang lebih rendah.
Selain itu perlu pula dikontrol kemungkinan tekanan intracranial yang
meninggi disebabkan oleh edema serebri. Sekalipun tidak jarang memerlukan
tindakan operasi, tetapi usaha untuk menurunkan tekanan intracranial ini dapat
dilakukan

dengan

cara

menurunkan

PaCO 2 dengan

hiperventilasi

yang

mengurangi asidosis intraserebral dan menambah metabolisme intraserebral.


Adapun usaha untuk menurunkan PaCO2 ini yakin dengan intubasi endotrakeal,
hiperventilasi. Tin membuat intermittent iatrogenic paralisis. Intubasi dilakukan
sedini mungkin kepala klien-lkien yang koma untuk mencegah terjadinya
PaCO2 yang meninggi. Prinsip ABC dan ventilasi yang teratur dapat mencegah
peningkatan tekanan intracranial.
Penatalaksanaan konservatif meliputi :
Bedrest total
Observasi tanda-tanda vital (GCS dan tingkat kesadaran).
Pemberian obat-obatan: Dexmethason / kalmethason sebagai pengobatan
anti-edema serebral, dosis sesuai dengan berat ringannya trauma.
Terapi hiperventilasi (trauma kepala berat), untuk mengurangi vasodilatasi.
Pengobatan anti-edema dengan larutan hipertonis, yaitu manitol 20%, atau
glukosa 40%, atau gliserol 10%.

LP Trauma Maxilofacial. Faris Aditiya P, S.Kep

13

Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (pensilin) atau untuk infeksi
anaerob diberikan metronidasol.
Makanan atau cairan. Pada trauma ringan bila muntah-muntah tidak dapat
diberikan apa-apa,hanya cairan infuse dextrose 5%, aminofusin, aminofel (18
jam pertama dari terjadinya kecelakaan), 2-3 hari kemudian diberikan
makanan lunak.
Pada trauma berat. Karena hai-hari pertama didapat klien mengalami
penurunan kesadaran dan cenderung terjadi retensi natrium dan elektrolit
maka hari-hari pertama (2-3 hari) tidak terlalu banyak cairan. Dextosa 5% 8
jam pertama, ringer dextrosa 8 jam kedua, dan dextrose 5% 8 jam ketiga,
pada hari selanjutnya bila kesadaran rendah maka makanan diberikan melalui
nasogastric tube (2500-300 TKTP). Pemberian protein tergantung dari nilai
urenitrogennya.
12. Komplikasi
-

Perdarahan ulang

Kebocoran cairan otak

Infeksi pada luka atau sepsis

Timbulnya edema serebri

Timbulnya edema pulmonum neurogenik, akibat peninggian TIK

Nyeri kepala setelah penderita sadar

Konvulsi

13. Asuhan Keperawatan


Pengkajian
Data dasar pengkajian pasien tergantung tipe,lokasi dan keparahan cedera dan
mungkin di persulit oleh cedera tambahan pada organ vital
-

Aktifitas dan istirahat


Gejala

: merasa lemah,lelah,kaku hilang keseimbangan

Tanda

: Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, ataksia cara berjalan

tidak tegap, masalah dlm keseimbangan, cedera/trauma ortopedi, kehilangan


tonus otot.
-

Sirkulasi

LP Trauma Maxilofacial. Faris Aditiya P, S.Kep

14

Gejala

: Perubahan tekanan darah atau normal, Perubahan frekuensi

jantung (bradikardia, takikardia yang diselingi bradikardia disritmia)


-

Integritas ego
Gejala

: Perubahan tingkah laku atau kepribadian

Tanda

:Cemas,mudah tersinggung,delirium,agitasi,bingung,depresi

Eliminasi
Gejala

: Inkontensia kandung kemih/usus mengalami gangguan fungsi

Makanan/cairan
Gejala

: mual,muntah dan mengalami perubahan selera

Tanda

: muntah,gangguan menelan

Neurosensori
Gejala

:Kehilangan kesadaran sementara,amnesia seputar kejadian,

vertigo,

sinkope,tinitus,kehilangan

pendengaran,

Perubahan

dalam

penglihatan seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan sebagain lapang


pandang, gangguan pengecapan dan penciuman
Tanda

: Perubahan kesadran bisa sampai koma, perubahan status

mental, perubahan pupil, kehilangan penginderaan, wajah tdk simetris,


genggaman lemah tidak seimbang, kehilangan sensasi sebagian tubuh
-

Nyeri/kenyamanan
Gejala

: Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yg berbeda biasanya

lama
Tanda

: Wajah menyeringai, respon menarik pada rangsangan nyeri,

nyeri yang hebat,merintih

Pernafasan
Tanda

Perubahan

pola

nafas,

nafas

berbunyi,

stridor,

tersedak,ronkhi,mengi
-

Keamanan
Gejala

: Trauma baru/trauma karena kecelakaan

Tanda

: Fraktur/dislokasi,gangguan penglihatan

Kulit : laserasi,abrasi,perubahan warna,tanda batle disekitar telinga,adanya


aliran cairan dari telinga atau hidung

Gangguan kognitif

Gangguan rentang gerak

LP Trauma Maxilofacial. Faris Aditiya P, S.Kep

15

Demam

Diagnosa Keperawatan
-

Ketidakefektifan pola pernapasan yang berhubungan dengan sumbatan jalan


nafas karena trauma cavum nasi, kompresi tulang frontalis, maksilaris.

Risiko tinggi peningkatan tekanan intracranial yang berhubungan dengan


desak ruang sekunder dari kompresi korteks serebri dari adanya perdarahan
baik bersifat intraserebral hematoma.

Tidak efektif kebersihan jalan napas yang berhubungan dengan penumpukan


sputum, peningkatan sekresi sekret, penurunan batuk sekunder akibat nyeri
dan keletihan, adanya jalan napas buatan pada trakea, ketidakmampuan
batuk/batuk efektif.

Perubahan kenyamanan: nyeri akut yang berhubungan dengan trauma


jaringan dan refleks spasme otot sekunder.

Perubahan perfusi serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah


(nemongi, nemotuma), edema serebral ; penurunan TD sistemik / hipoksia.

Rencana Keperawatan

DX 1 : Ketidakefektifnya pola pernapasan yang berhubungan dengan sumbatan jalan


nafas karena trauma cavum nasi, kompresi tulang frontalis, maksilaris.
Tujuan : Dalam waktu 30 menit setelah intervensi adanya peningkatan, pola napas
kembali efektif.
Kriteria hasil : Memperlihatkan frekuensi pernapasan yang efektif, mengalami perbaikan
pertukaran gas-gas pada paru, adaptif mengatasi faktor-faktor penyebab.
Intervensi
Rasional
Mandiri

LP Trauma Maxilofacial. Faris Aditiya P, S.Kep

16

Taruhlah kantung resusitasi disamping Kantung resusitasi/manual ventilasi sangat


tempat tidur dan manual ventilasi untuk berguna
sewaktu-waktu dapat digunakan.
Monitoring
Observasi

ulang

fungsi

untuk

mempertahankan

fungsi

pernapasan.

pernapasan, Distress pernapasan dan perubahan pada tanda

dispnea, atau perubahan tanda-tanda vital.

vital dapat terjadi sebagai akibat stress


fisiologi dan nyeri atau dapat menunujukkan

terjadinya syok sehubungan dengan hipoksia.


Perhatikan letak dan fungsi ventilator Memerhatikan letak dan fungsi ventilator
secara rutin.
Pengecekan

sebagai kesiapan perawat dalam memberikan


konsentrasi

oksigen, tindakan pada penyakit primer setelah menilai

memeriksa tekanan oksigen dalam tabung, hasil diagnostik dan menyediakan sebagai
monitor manometer untuk menganalisis cadangan.
batas/kadar oksigen.
Mengkaji tidal volume (10-15 ml/kg).
periksa fungsi spirometer.
Kolaborasi dengan tim kesehatan lain :

Kolaborasi dengan tim kesehatan lain untuk

Dengan dokter, radiologi, dan fisioterapi.

mengevaluasi perbaikan kondisi klien atas

Pemberian analgesic.

pengembangan parunya.

Konsul foto thoraks.

DX 2 : Resiko tinggi peningkatan TIK yang berhubungan dengan desak ruang sekunder
dari kompresi korteks serebri dari adanya perdarahan baik bersifat intraserebral
hematoma, subdural hematoma, dan epidural hematoma.
Tujuan : dalam waktu 30 menit tidak terjadi peningkatan TIK pada klien.
Kriteria hasil : klien tidak gelisah, klien tidak mengeluh nyeri kepala, mual-mual dan
muntah, GCS 4, 5, 6, tidak terdapat papiledema. TTV dalam batas normal ( TD: 120/80
mmhg, HR : 80-100x/menit, RR : 16-20x/menit), Keringat dingin (-), Akral hangat
Intervensi
Rasionalisasi
Mandiri
Kaji

ulang

situasi/keadaan
koma/penurunan

faktor

penyebab

dari Deteksi

dini

untuk

memprioritaskan

individu/penyebab intervensi, mengkaji status neurologis/ tandaperfusi

jaringan

dan tanda kegagalan untuk menentukan perawatan

kemungkinan penyebab peningkatan TIK.


Monitor tanda-tanda vital tiap 30 menit

kegawatan atau tindakan pembedahan.


Suatu keadaan normal bila sirkulasi serebral

LP Trauma Maxilofacial. Faris Aditiya P, S.Kep

17

terpelihara dengan baik atau fluktuasi ditandai


dengan tekanan darah sistemik, penurunan
dari autoregulator kebanyakan merupakan
tanda penurunan difusi local vaskularisasi
darah serebral. Dengan peningkatan tekanan
darah (diastolic) maka dibarengi dengan
peningkatan
Adanya

tekanan

darah

peningkatan

bradikardi,

disritmia,

intrakrinial.

tekanan
dispnea

darah,

merupakan

tanda terjadinya peningkatan TIK.


Evaluasi pupil, amati ukuran, dan reaksi Reaksi pupil dan pergerakan kembali dari bola
terhadap cahaya bila diperlukan.

mata

merupakan

tanda

dari

gangguan

nervus/saraf jika batang otak terkoyak. Reaksi


pupil

diatur

oleh

(okulomotorik)
keseimbangan

saraf

yang
antara

III

cranial

menunjukkan
parasimpatis

dan

simpatis. Respon terhadap cahaya merupakan


kombinasi fungsi dari saraf cranial II dan III.
Monitor temperatur dan pengaturan suhu Panas merupakan refleks dari hipotalamus.
lingkungan.

Peningkatan

kebutuhan

metabolism

dan

O2 akan menunjang peningkatan TIK/ ICP


(Intracranial Pressure).
Pertahankan kepala/ leher pada posisi yang Perubahan kepala pada satu sisi dapat
netral, usahakan dengan sedikit bantal. menimbulkan penekanan pada vena jugularis
Hindari penggunaan bantal yang tinggi dan
pada kepala. Dengan sudut 30 derajat.
Palpasi

pada

menghambat

aliran

darah

otak

(menghambat drainase pada vena serebral),

untuk itu dapat meningkatkan TIK


pembesaran/pelebaran Dapat meningkatkan repons otomatis yang

bladder, pertahankan drainase urine secara potensial menaikkan TIK.


paten jika di gunakan dan juga monitor
terdapatnya konstipasi.
Berikan penjelasan pada klien (jika sadar) Meningkatkan

kerja

dan keluarga tentang sebab-sebab TIK meningakatkan

perawatan

meningkat dan efek TIK meningkat.


Observasi tingkat kesadaran dengan GCS.

mengurangi kecemasan.
Perubahan
kesadaran

sama
klien

dalam
dan

menunjukkan

peningkatan TIK dan berguna menentukan


lokasi dan perkembangan penyakit.

LP Trauma Maxilofacial. Faris Aditiya P, S.Kep

18

Kolaborasi :
Pemberian O2 sesuai indikasi.

Mengurangi

hipoksemia,

dimana

dapat

meningkatkan vasodilatasi serebral, volume


Kolaborasi

untuk

tindakan

darah, dan menaikkan TIK.


operatif Tindakan pembedahan untuk evakuasi darah

evakuasi darah dari dalam intracranial.

dilakukan bila kemungkinan terdapat tandatanda deficit neurologis yang menandakan

Berikan cairan intravena sesuai indikasi


(cairan kristaloid.

peningkatan ntrakranial.
Pemberian cairan mungkin di inginkan untuk
mengurangi

edema

serebral,

peningkatan

minimum pada pembuluh darah, tekanan

darah dan TIK.


Berikan obat osmosis diuretic contohnya : Diuretic mungkin digunakan pada fase akut
manitol, furoscide.

untuk mengalirkan air dari sel otak dan

mengurangi edema serebral dan TIK.


Berikan steroid contohnya : dexamethason, Untuk menurunkan inflamasi (radang) dan
methyl prenidsolon.
mengurangi edema jaringan.
Berikan analgesic narkotik contoh : kodein Mungkin di indikasikan untuk mengurangi
apabila diperlukan.

nyeri dan obat ini berefek negatif pada TIK


tetapi dapat digunakan dengan tujuan untuk

mencegah dan menurunkan sensasi nyeri.


Monitor hasil laboratorium sesuai dengan Membantu memberikan informasi tentang
indikasi seperti prothrombin, LED.

efektifitas pemberian obat.

DX 3 : Tidak efektif bersihan jalan napas yang berhubungan dengan adanya jalan napas
buatan pada trakea, peningkatan sekresi sekret, dan aspirasi cairan lambung
Tujuan : Dalam waktu 30 menit terdapat perilaku peningkatan keefektifan jalan napas.
Kriteria hasil : Bunyi napas terdengar bersih, ronkhi tidak terdengar, tracheal tube bebas
sumbatan, menunjukkan batuk yang efektif, tidak ada lagi penumpukan sekret di saluran
pernapasan.
Intervensi

Rasional

Mandiri
Lakukan
diperlukan,

penghisapan
batasi

durasi

lender

jika Pengisapan lendir tidak selamanya dilakukan

pengisapan terus-menerus,

dan

durasinya

pun

dapat

dengan 15 detik atau lebih. Gunakan dikurangi untuk mencegah bahaya hipoksia.
kateter pengisap yang sesuai, cairan Diameter kateter pengisap tidak boleh lebih
fisiologis steril.

dari 50% diameter endotracheal/tracheostomy

Berikan oksigen 100% sebelum dilakukan tube untuk mencegah hipoksia.

LP Trauma Maxilofacial. Faris Aditiya P, S.Kep

19

pengisapan

dengan

ambu

bag Dengan

(hiperventilasi).

membuat

hiperventilasi

melalui

pemberian oksigen 100% dapat mencegah


terjadinya

atelektasis

dan

mengurangi

terjadinya hipoksia.
Monitoring
Kaji ulang keadaan jalan napas

Obstruksi mungkin dapat disebabkan oleh


akumulasi

sekret,

sisa

cairan

mucus,

perdarahan, bronkhospasme, dan/atau posisi


dari endotracheal/tracheostomy tube yang
berubah.
Evaluasi pergerakan dada dan auskultasi Pergerakan dada yang simetris dengan suara
suara napas pada kedua paru (bilateral).

napas yang keluar dari paru-paru menandakan


jalan

napas

tidak

terganggu.menandakan

adanya aspirasi cairan lambung.


Monitor letak/posisi endotracheal tube. Endotracheal tube dapat saja masuk ke dalam
Beri tanda batas bibir.

bronchus kanan, menyebabkan obstruksi jalan

Lekatkan tube secara hati-hati dengan napas ke paru-paru kanan dan mengakibatkan
memakai perekat khusus.
Mohon

bantuan

perawat

klien mengalami pneumothoraks.


lain

ketika

memasang dan mengatur posisi tube.


Kolaborasi dengan dokter, radiologi, dan Ekspektoran
fisioterapi.

mengeluarkan

untuk
lendir

memudahkan
dan

mengevaluasi

Pemberian ekspektoran.

perbaikan kondisi klien atas pengembangan

Pemberian antibiotic.

parunya.

Konsul foto thoraks


Berikan obat-obat bronchodilator sesuai Mengatur ventilasi dan melepaskan sekret
indikasi

seperti

aminophilin,

meta- karena relaksasi muscle/bronchospasme.

proterenol sulfat (alupent), adoetharine


hydrochloride (bronkosol).
DX 4 : Nyeri akut yang berhubungan dengan trauma jaringan dan refleks spasme otot
sekunder.
Tujuan : Dalam waktu 30 menit nyeri berkurang/hilang.
Kriteria hasil : Secara subjektif melaporkan nyeri berkurang atau dapat diadaptasi, dapat
mengidentifikasi aktivitas yang meningkatkan atau menurunkan nyeri, klien tidak gelisah.
Intervensi
Rasional
Mandiri
Berikan kesempatan waktu istirahat bala Istirahat akan merelaksasikan semua jaringan

LP Trauma Maxilofacial. Faris Aditiya P, S.Kep

20

terasa nyeri dan berikan posisi yang sehingga akan meningkatkan kenyamanan.
nyaman misalnya ketika tidur, belakangnya
dipasang bantal kecil.
Monitoring
Jelaskan dan bantu klien dengan tindakan Pendekatan dengan menggunakan relaksasi
pereda nyeri nonfarmakologi dan non- dan
invasif.

nonfarmakologi

lainnya

telah

menunujukkan keefektifan dalam mengurangi


nyeri.

KIE
Ajarkan relaksasi :
Teknik-teknik
ketegangan

Akan melansarkan peredaran darah sehingga


untuk

otot

rangka,

menurunkan kebutuhan O2 oleh jaringan akan terpenuhi


yang

dapat dan akan mengurangi nyerinya.

menurunkan intensitas nyeri dan juga


tingkatkan relaksasi masase.
Kolaborasi dengan dokter,

pemberian Analgetik memblok lintasan nyeri, sehingga

analgetik.

nyeri akan berkurang.

DX 5 : Perubahan perfusi serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah


(nemongi, nemotuma), edema serebral ; penurunan TD sistemik / hipoksia.
Tujuan : Dalam waktu 30 menit fungsi serebral membaik, penurunan fungsi neurologis
dapat d minimalkan /distabilkan.
Kriteria hasil : mempertahankan tingkat kesadaran biasanya/membaik, fungsi kognitif dan
motorik/sensorik, mendemonstrasikan vital sign yang stabil dan tidak ada tanda-tanda
peningktan TIK,
Intervensi
Monitoring

Rasional

Kaji ulang tanda-tanda vital

Mengkaji adanya kecenderungan pada tingkat

klien

kesadaran dan potensial peningkatan TIK dan


bermanfaat dalam menentukan lokasi,

Monitor tekanan darah, catat adanya

perluasan dan perkembangankerusakan ssp.


Peningkatan tekanan darah sistemik yang

hipertensi sistolik secara teratur tiap 30

diikuti penurunan tekanan darah sistolik (nadi

menit dan tekanan nadi yang semakin

yang

meningkat pada klien yang mengalami

membesar) merupakan tanda terjadinya

trauma multiple.

peningkatan TIK, juga diikuti ( yang


berhubungan
dengan trauma kesadaran.Hipovolumia/ Ht

LP Trauma Maxilofacial. Faris Aditiya P, S.Kep

21

(yang berhubungan dengan trauma multiples)


dapat
Monitor Heart Rate, catat adanya

mengakibatkan kerusakan / iskemik serebral.


Perubahan pada ritme (paling sering

bradikardi, takikardi atau bentuk disritmia bradikardia) dan disritmia dapat timbul yang
lainya.

encerminkan
adanya depresi / trauma pada batang otak pada
pasien yang tidak mempunyai kelainan jantung

Monitor pernafasan meliputi pola dan

sebelumnya.
Nafas tidak teratur menunjukkan adanya

ritme, seperti periode apnea setelah

gangguan

hiperventilasi

serebral/ peningkatan TIK dan memerlukan

(pernafasan cheyne stokes).

intervensi lebih lanjut termasuk kemungkinan

Kaji ulang perubahan pada penglihatan

dukungan nafas buatan.


Gangguan penglihatan dapat diakibatkan oleh

( penglihatan kabur, ganda, lap. Pandang

kerusakan mikroskopik pada otak,

menyempit.

merupakan konsekuensi terhadap keamanan

Pertahankan kepala / leher pada posisi

dan juga akan mempngaruhi pilihan intervensi


Kepala yang miring pada salah satu sisi

tengah/ pada posisi netral. Sokong dengan menekan vena jugularis dan menghambat
handuk kecil /

aliran darah lain yang selanjutnya akan

bantal kecil. Hindari pemakaian bantal

meningkat TIK.

besar pada kepala


Kolaborasi Tinggikan kepala pasien 15

Meningkatkan aliran balik vena dari kepala,

45o sesuai indikasi / yang dapat

sehingga mengurangi kongesti dan edema

ditoleransi.
/ resiko terjadinya peningkatan TIK.
Kolaborasi pemberian O2 tambahan sesuai Menurunkan hipoksemia yang mana dapat
Indikasi

menaikkan vasodilatasi dan vol darah serebral

yang meningkatkan TIK.


Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi - Untuk menurunkan air dari sel otak,
:
- Diuretik

menurunkan edema otak TIK.


-

- Steroid
- Analgetik sedang
- Sedatif

Menurunkan inflasi, yang


selanjutnya menurunkan edema jaringan.

Menghilangkan nyeri dan dapat berakibat


pada TIK tetapi harus digunakan
dengan hasil untuk mencegah gangguan
pernafasan.

LP Trauma Maxilofacial. Faris Aditiya P, S.Kep

22

Untuk mengendalikan kegelisahan agitas

LP Trauma Maxilofacial. Faris Aditiya P, S.Kep

23

DAFTAR PUSTAKA
Smeltzer, Suzanne C. Brenda G.Bare. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner dan Suddarth. Edisi 8. Jakarta:EGC
Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta: Salemba Medika
M.Taylor, Cynthia., Ralph, Sheila. 2012. Diagnosis Keperawatan dengan Rencana
Asuhan. Jakarta:EGC

Sofii I, Dachlan I. Correlation

between midfacial fractures and intracranial

lesion in mild and moderate

head injury patients. Available at:

http://bedahugm.com/Correlation-between-midfacial-fractures-andintracranial-lesion-in-mild-and-moderate-head-injury-patients.php.
Accesed on August 28, 2010.
Dwidarto D. Affandi M.
panfascial
Fracture

Pengelolaan deformitas dentofasial pasca fraktur

(Management of the Dentofacial Defomity Post Panfacial


:

Case

Report).

http://www.pdgionline.com/web/index.

php

Available

at:

?option=co

ntent

&task=category&sectionid=4&id=10&Itemid=26. Accesed on August


28,2010.
Tucker MR, Ochs MW. Management
al. contemporary oral and

of facial fractures. Dalam : Peterson lj et

maxillofacial surgery. St louis:

mosby co.

2003
Prasetiyono A. Penanganan

fraktur arkus dan kompleks zigomatikus.

Indonesian journal of oral and

maxillofacial surgeons. Feb 2005 no 1

tahun IX hal 41-50

LP Trauma Maxilofacial. Faris Aditiya P, S.Kep

24

WOC

Kulit kepala

Trauma Kepala dan Wajah

Tulang kepala dan wajah

Jaringan otak

Hematoma pada kulit

Fr. Linear, fr. Comminuted, fr.


Depressed, fr. basis

Komusio, hematoma, edema,


kontusio

Cedera otak

TIK

Gangguan kesadaran,
gangguan TTV, kelainan
neurologis

Cedera otak primer (Ringan,


sedang, berat)

Respon fisiologis otak


Hipoksemia serebral
Cedera otak sekunder
Kelainan metabolisme
Kerusakan sel otak

Gangguan autoregulasi

O2 gangguan
metabolisme

Aliran darah ke otak

Produksi asam laktat

Edema otak

rangsangan simpatis

Stress lokalis

tahanan vascular sistemik

katekolamin, sekresi
asam lambung

tek.pembuluh darah
pulmonal

Mual, muntah

tekanan hidrostatik

Intake nutrisi
tidak adekuat

Kebocoran cairan
kapiler

Edema paru
Gangguan perfusi
jaringan serebral

Gangguan perfusi jaringan

Curah jantung

Difusi O2 terhambat

Gangguan pola nafas

LP Trauma Maxilofacial. Faris Aditiya P, S.Kep

Hipoksemia, hiperkapnea

Anda mungkin juga menyukai