Anda di halaman 1dari 23

28

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Trauma maksilofasial merupakan trauma fisik yang dapat

mengenai jaringan keras dan lunak wajah. Penyebab trauma maksilofasial

bervariasi, mencakup kecelakaan lalu lintas, kekerasan fisik, terjatuh,

olahraga dan trauma akibat senjata api. Trauma pada wajah sering

mengakibatkan terjadinya gangguan saluran pernafasan, perdarahan, luka

jaringan lunak, hilangnya dukungan terhadap fragmen tulang dan rasa sakit
(1)
.

Cedera maksilofasial, juga disebut sebagai trauma wajah, meliputi

cedera pada wajah, mulut dan rahang. Sebagian besar fraktur yang terjadi

pada tulang rahang akibat trauma maksilofasial dapat dilihat jelas dengan

pemeriksaan dan perabaan serta menggunakan penerangan yang baik.

Trauma pada rahang mengakibatkan terjadinya gangguan saluran

pernafasan, perdarahan, luka jaringan lunak, kurangnya dukungan terhadap

fragmen tulang dan rasa sakit. Namun trauma pada rahang jarang

menimbulkan syok dan bila hal tersebut terjadi mungkin disebabkan

adanya komplikasi yang lebih parah, seperti pasien dengan kesadaran

menurun tidak mampu melindungi jalan pernafasan dari darah, patahan

gigi (1).
28

Kecelakaan lalu lintas adalah penyebab dengan persentae yang

tinggi terjadinya kecacatan dan kematian orang dewasa secara umum

dibawah usia 50 tahun dan angka terbesar biasanya mengenai batas usia

21-30 tahun. Beradsarkan studi yang dikakukan, 72% kematian oleh

trauma maksilofasial paling banyak disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas.

Pasien dengan kecelakaan lalu lintas yang fatal harus menjalani rawat inap

di rumah sakit dan dapat mengalami cacat permanen. Oleh karena itu,

diperlukan perawatan kegawatdaruratan yang tepat dan secepat mungkin


(1)
.

Kegawatdaruratan trauma maksilofasial merupakan suatu

penatalaksanaan tindakan darurat pada orang yang baru saja mengalami

trauma pada daerah maksilofasial. Penatalaksanaan kegawatdaruratan pada

trauma maksilofasial oleh dokter umum hanya mencakup bantuan hidup

dasar yang berguna menurunkan tingkat kecelakaan dan kematian pasien

sampai diperolehnya penanganan selanjutnya di rumah sakit. Oleh karena

itu, para dokter umum harus mengetahui prinsip dasar ATLS (Advance

Trauma Life Support) yang merupakan prosedur-prosedur penanganan

pasien yang mengalami kegawatdaruratan (1).

Prinsip-prinsip untuk mengobati patah tulang wajah adalah sama

seperti untuk patah lengan atau kaki. Bagian-bagian dari tulang harus

berbaris (dikurangi) dan ditahan dalam posisi cukup lama untuk waktu

penyembuhanya. Ini mungkin membutuhkan enam minggu atau lebnih

tergantung pada usia pasien dan kompleksitas fraktur itu (1).


28

Menghindari cedera merupakan hal yang terbaik, ahli bedah mulut

dan maksilofasial menganjurkan penggunaan sabuk pengaman mobil,

penjaga pelindung mulut, dan masker yang tepat dan helm untuk semua

orang yang berpartisipasi dalam kegiatan atletik di tingkat manapun (1).

1.2 Tujuan

1. Manfaat Teroritis

Penulisan referat ini diharapkan dapat menambah kajian tentang

trauma maksilofasial.

2. Manfaat Praktis

Hasil penulisan referat ini dapat digunakan sebagai masukan bagi:

a. Penulis

Dapat mengembangkan dan mengasah kemampuan dalam

penulisan referat, serta dapat meningkatkan pengetahuan tentang

trauma maksilofasial.

b. Institusi

Sebagai bahan dasar atau referensi untuk pengembangan penulisan

selanjutnya.
28

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Trauma Maksilofasial

Cedera atau trauma pada daerah wajah memiliki signifikansi yang

tinggi karena berbagai alasan. Daerah wajah memberikan perlindungan

terhadap kepala dan memiliki peran penting dalam penampilan. Daerah

maksilofasial berhubungan dengan sejumlah fungsi penting seperti

penglihatan, penciuman, pernafasan, berbicara, dan juga memakan.

Fungsi-fungsi ini sangat terpengaruh pada cedera dan berakibat kepada

kualitas hidup yang buruk (2).

Trauma maksilofasial mencakup cedera jaringan lunak dan tulang-

tulang yang membentuk struktur maksilofasial. Tulang-tulang tersebut

antara lain: tulang nasoorbitoetmoid, tulang zigomatikomaksila, tulang

nasal, tulang maksila, tulang mandibula (2).

2.2 Anatomi Maksilofasial

Pertumbuhan kranium terjadi sangat cepat pada tahun pertama dan

kedua setelah lahir dan lambat laun akan menurun kecepatannya. Pada

anak usia 4-5 tahun, besar kranium sudah mencapai 90% kranium dewasa.

Maksilofasial tergabung dalam tulang wajah yang tersusun secara baik

dalam membentuk wajah manusia (2).

Daerah maksilofasial dibagi menjadi 3 bagian. Bagian pertama

adalah wajah bagian atas, di mana patah tulang melibatkan daerah frontal

dan sinus. Bagian kedua adalah midface. Midface dibagi menjadi bagian
28

atas dan bawah. Para midface atas adalah di rahang atas dimana fraktur Le

Fort II dan III terjadi. Bagian ketiga dari daerah maksilofasial adalah

wajah yang lebih rendah, di mana patah tulang yang terisolasi ke rahang

bawah (2).

Gambar 1. Anatomi maksilofasial(2)

Tulang pembentuk wajah pada manusia bentuknya lebih kecil dari

tengkorak otak. Didalam tulang wajah terdapat rongga-rongga yang

membentuk rongga mulut, rongga hidung dan rongga mata (2).

2.3 Epidemiologi Trauma Maksilofasial

Trauma meliputi 9% dari kematian di dunia, salah satunya adalah

trauma maksilofasial dan 12% dari beban penyakit di dunia pada tahun

2000. Lebih dari 90% kematian di dunia akibat trauma terjadi di negara

berkembang (2).

Pasien pria merupakan pasien dengan trauma maksilofasial

tersering yaitu sebanyak 75,9% di India. Hasil serupa juga didapatkan dari

penelitian di Israel sebanyak 74,2% dan Iran dengan proporsi 4,5 banding
28

1 untuk pria. Usia dekade ketiga mendominasi pasien dengan trauma

maksilokranial. Di Indonesia, pasien trauma maksilofasial dengan jenis

kelamin pria mewakili 81,73% dari jumlah kasus (2).

2.4 Etiologi Trauma Maksilofasial

Dalam empat dekade terakhir, kejadian fraktur maksilofasial terus

meningkat disebabkan terutama akibat peningkatan kecelakaan lalu lintas

dan kekerasan. Hubungan penggunaan alkohol, obat-obatan, mengemudi

mobil, dan peningkatan kekerasan merupakan penyebab utama terjadinya


(3)
fraktur maksilofasial . Kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab

tertinggi dari fraktur maksilofasial. Di India, 74,3 % fraktur maksilofasial

disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, diikuti oleh penyebab lain yaitu

terjatuh dari ketinggian, kekerasan, kecelakaan kerja,dan akibat senjata api


(3)
.

2.5 Klasifikasi Fraktur Maksilofasial

Trauma maksilofasial dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu

trauma jaringan keras wajah dan trauma jaringan lunak wajah. Trauma

jaringan lunak biasanya disebabkan trauma benda tajam, akibat pecahan

kaca pada kecelakaan lalu lintas atau pisau dan golok pada perkelahian (3).

2.5.1 Trauma Jaringan Lunak Wajah

Luka adalah kerusakan anami, diskontinuitas suatu jaringan

oleh karena trauma dari luar. Trauma pada jaringan lunak wajah

dapat diklasifikasikan berdasarkan (3):

1. Berdasarkan jenis luka dan penyebab:


28

a. Eksoriasi

b. Luka sayat, luka robek, luka bacok

c. Luka bakar

d. Luka tembak

2. Berdasarkan ada atau tidaknya kehilangan jaringan

3. Dikaitkan dengan unit estetik

Menguntungkan atau tidak menguntungkan, dikaitkan dengan garis

Langer.

Penilaian awal dan penatalaksanaan

Evaluasi dan penanganan cedera jaringan lunak secara dini

mutlak perlu untuk mendapatkan hasil kosmetik dan fungsional

yang memuaskan dalam rekontruksi wajah. Pemeriksaan fisik awal

termasuk evaluasi lengkap dari seluruh luka meskipun jika perlu

dilakukan anestesi lokal ataupun umum. Perhatian khusus harus

diberikan untuk memastikan luas cedera pada daerah-daerah di

sekitar mata daerah nasolakrimalis di dekat ataupun melibatkan

saraf facsialis dan disekitar duktus parotis. Semua jaringan harus

ditangani dengan sangat hati-hati dan semua benda asing

dikeluarkan dengan irigasi memakai garam steril mungkin

diperlukan penyikatan dengan sikat bedah untuk mencegah

pembentukan tato yaitu bilamana debris ataupun kotoran telah

melekat dalam kulit. Debridement wajah harus dibuat seminimal


28

mungkin. Karena wajah yang kaya suplai darah, maka fragmen-

fragmen kecil jaringan akan mati pada bagian tubuh lainnya dapat

bertahan hidup pada wajah. Laserasi harus dijahit menurut lapisan

anatomi diulai pada bagian dalam luka dengan benang yang dapat

diserap dan diteruskan hingga ke permukaan dimana dibuat jahitan

subkutan berupa jahitan permanen ataupun benang yang dapat

diserap jahitan subkutikular ataupun kulit yang permanen dapat

dipakai untuk menutup kulit dan perlu diangkat. Penutupan kulit

perlu dilakukan dengan cermat dan halus agar parut minimal.

Setelah ditutup maka laserasi wajah dapat disokong dengan plester

penutup kulit selama beberapa minggu atau bulan untuk

meminimalkan pembentukan jaringan parut. Untuk memberikan

antibiotik tergantung pada kasusnya apakah terkontaminasi

tertunda ditutup dan pertimbangan lainnya. Luka yang

terkontaminasi luas atau luka yang mencapai tulang perlu diatasi

dengan antibiotik (3).

2.6.2 Trauma Jaringan Keras Wajah

Klasifikasi trauma pada jaringan keras wajah dilihat dari fraktur

tulang yang terjadi (3):

a. Fraktur Tulang Hidung

Pada trauma muka paling sering terjadi fraktur hidung.

Diagnosis fraktur hidung dapat dilakukan dengan inspeksi,

palpasi dan pemeriksaan hidung bagian dalam dilakukan


28

dengan rinoskopi anterior, biasanya ditandai oleh adanya

pembengkakan mukosa hidung, terdapatnya bekuan dan

kemungkinan adanya robekan pada mukosa septum, hematoma

septum, dislokasi atau deviasi pada septum.

Arah gaya cedera pada hidung menentukan pola fraktur.

Bila arahnya dari depan akan menyebabkan fraktur sederhanan

pada tulang hidung yang kemudian dapat menyebabkan tulang

hidung menjadi datar secara keseluruhan. Bila arahnya dari

lateral dapat menekan hanya salah satu tukang hidung namun

dengan kekuatan yang cukup, kedua tulang dapat berpindah

tempat. Gaya lateral dapat menyebabkan fraktur septum parah

dan dislokasi tulang rawan berbentuk segi empat.

Gambaran klinis yang biasa ditemukan pada pasien dengan

riwayat trauma pada hidung atau wajah, antara lain:

- Epistaksis

- Perubahan bentuk hidung

- Obstruksi jalan napas

Pemeriksaan penunjang berupa foto os nasal, foto

sinusparanasal posisi Waters dan juga bila perlu dapat

dilakukan pemeriksaan CT Scan untuk melihat fraktur hidung

atau kemungkinan fraktur penyerta lainnya.

Klasifikasi fraktur tulang nasal terbagi menjadi lima yaitu


(3)
:
28

1. Tipe I: Fraktur unilateral ataupun bilateral tanpa adanya


deviasi garis tengah

2. Tipe II: Fraktur unilateral atau bilateral dengan deviasi garis


tengah

3. Tipe III: Pecahnya tulang nasal bilateral dan septum yang

bengkok dengan penopang septal yang utuh

4. Tipe IV: Fraktur unilateral atau bilateral dengan deviasi berat

atau rusaknya garis tengah hidung, sekunder terhadap fraktur

septum berat atau dislokasi septum

5. Tipe V: Cedera berat meliputi laserasi dan trauma dari jaringan

lunak, saddling dari hidung, cedera terbuka, dan robeknya

jaringan

Gambar 2. Klasifikasi Fraktur Nasal (3).

Untuk memperbaiki patah pada tulang hidung tersebut, tindakan

yang dapat dilakukan ialah (4):


28

1. Reduksi tertutup, yang dilakukan dengan analgesia lokal atau analgesia

lokal dengan sedasi ringan.

Indikasi:

a. Fraktur sederhana tulang hidung

b. Fraktur sederhana septum hidung

Reduksi tertutup paling baik dilakukan 1-2 jam sesudah trauma karena

pada waktu tersebut oedem yang terjadi mungkin sangat sedikit.

2. Reduksi terbuka, dilakukakn dengan sedasi yang kuat atau analgesi umum.

Indikasi:

a. Fraktur dislokasi ekstensif tulang dan septum hidung

b. Fraktur septum terbuka

c. Fraktur dislokasi septum kaudal

d. Persisten deformitas setelah reduksi tertutup

b. Fraktur Tulang Zigoma dan Arkus Zigoma

1. Fraktur Zigoma

Fraktur tulang zigoma atau tulang malar selalu disebabkan oleh

kekerasan langsung. Tulang ini biasanya ke belakang atau ke medial

menuju antrum maksila sehingga berdampak disana. Fraktur sering

berupa communited fracture dan mungkin memiliki ekstensi sepanjang

dasar dari rongga orbita atau rima orbita (4).

Tulang zigoma ini dibentuk oleh bagian-bagian yang berasal

dari tulang temporal, tulang frontal, tulang sfenoid dan tulang maksila.
28

Bagian-bagian dari tulang yang membentuk zigoma ini memberikan

sebuah penonjolan pada pipi dibawah mata sedikit ke arah lateral.

Fraktur tulang zigoma ini agak berbeda dengan fraktur tripod atau

trimalar (4).

Gejala dari fraktur zigoma antara lain adalah (4):

1. Pipi menjadi lebih rata (jika dibandingkan dengan sisi kontralateral

atau sebelum trauma)

2. Diplopia atau terbatasnya gerakan bola mata

3. Edema periorbita dan ekimosis

4. Perdarahan subkonjungtiva

5. Enoftalmus

6. Ptosis

7. Karena kerusakan saraf infra-orbita

8. Terbatasnya gerakan mandibula

9. Emfisema subkutis

10. Epistaksis karena perdarahan yang terjadi pada antrum

Penanggulangan fraktur tulang zigoma (4):

a. Reduksi tidak langsung dari tulang zigoma

Pada cara ini reduksi fraktur dilakukan melalui sulkus

gingivobukalis. Dibuat sayatan kecil pada mukosa bukal di

belakang tuberositas maksila. Elevator melengkung dimasukan di

belakang tuberositas tersebut dan dengan sedikit tekanan tulang


28

zygoma yang fraktur dikembalikan pada tempatnya. Cara reduksi

fraktur ini mudah dikerjakan dan memberi hasil yang baik.

b. Reduksi terbuka dari tulang zigoma

Tulang zigoma yang patah harus ditanggulangi dengan

reduksi terbuka dengan menggubakan kawat atau mini plate.

Laserasi yang timbul di atas zigoma dapat dipakai sebagai marka

untuk melakukan insisi permulaan pada reduksi terbuka tersebut.

Adanya fraktur pada rima orbita inferior, dasar orbita, dapat

direkontruksi dengan melakukan insisi di bawah palpebra inferior

untuk mencapai fraktur di sekitar tulang orbita tersebut. Tindakan

ini harus dilakukan hati-hati karena dapat merusak bola mata.

2. Fraktur arkus zigoma

Arkus zigoma merupakan bagian dari sub unit wajah yang dikenal

sebagai zygomaticomaxillary complex (ZMC), yang memiliki 4 fusi

tulang dengan tengkorak. Fraktur arkus zigoma tidak sulit untuk

dikenal sebab pada tempat ini timbul rasa nyeri waktu bicara atau

mengunyah. Kadang-kadang timbul trismus. Gejala ini timbul karena

terdapatnya perubahan letak dari arkus zigoma terhadap prosesus

koroid dan otot temporal. Fraktur arkus zigoma yang tertekan atau

terdepresi dapat dengan mudah dikenal dengan palpasi (4).

Terdapatnya fraktur arkus zigoma yang ditandai dengan perubahan

tempat dari arkus dapat ditanggualngi dengan melakukan elevasi arkus

zigoma tersebut. Pada tindakan reduksi ini kadang-kadang diperlukan


28

reduksi terbuka selanjutnya dipasang kawat baja atau mini plate pada

arkus zigoma yang patah tersebut. Insisi pada reduksi terbuka

dilakukan di atas arkus zigoma, diteruskan ke bawah sampai ke bagian

zigoma preurikuler (4).

3. Fraktur Maksila dan Le Fort

Maksila mewakili jembatan antara basal kranial di superior dan

lempeng oklusal gigi di inferior. Hubungan yang erat dengan rongga

mulut, rongga hidung, dan orbita dan sejumlah struktur yang

terkandung di dalamnya dan melekat dengan maksila merupakan

struktur yang penting baik secara fungsional maupun kosmetik.

Fraktur pada tulang-tulang ini memiliki potensi yang mengancam

nyawa (5).

Klasifikasi fraktur maksila yang paling utama dilakukan oleh Rene

Le Fort pada tahun 1901 di Perancis. Klasifikasi Le Fort terbagi

menjadi tiga yaitu (5):

a. Le Fort I

Garis fraktur horizontal memisahkan bagian bawah dari

maksila, lempeng horizontal dari tulang palatum, dan sepertiga inferior

dari sphenoid pterygoid processes dari dua pertiga superior dari wajah.

Seluruh arkus dental maksila dapat bergerak atau teriris. Hematoma

pada vestibulum atas (Guerin’s sign) dan epistaksis dapat timbul.

b. Le Fort II
28

Fraktur dimulai inferior ke sutura nasofrontal dan memanjang

melalui tulang nasal dan sepanjang maksila menuju sutura

zygomaticomaxillary, termasuk sepertiga inferomedial dari orbita.

Fraktur kemudian berlanjut sepanjang sutura zygomaticomaxillary

melalui lempeng pterygoid.

c. Le Fort III

Pada fraktur Le Fort III, wajah terpisah sepanjang basal

tengkorak akibat gaya yang langsung pada level orbita. Garis fraktur

berjalan dari regio nasofrontal sepanjang orbita medial melalui fissura

orbita superior dan inferior, dinding lateral orbita, melalui sutura

frontozygomatic. Garis fraktur kemudian memanjang melalui sutura

zygomaticotemporal dan ke inferior melalui sutura sphenoid dan

pterygomaxillary.

Gambar 3. Klasifikasi Le Fort (5).

Ada dua tipe fraktur maksila non Le Fort lain relatif umum.

Yang pertama adalah fraktur karena trauma tumpul yang terbatas


28

dan sangat terfokus yang menghasilkan segmen fraktur yang kecil

dan terisolasi. Sering kali, sebuah palu atau instrumen lain sebagai

senjata penyebab. Alveolar ridge, dinding anterior sinus maksila

dan nasomaxillary junction merupakan lokasi yang umum pada

cedera ini. Yang kedua adalah fraktur karena gaya dari submental

yang diarahkan langsung ke superior dapat mengakibatkan

beberapa fraktur vertikal melalui beberapa tulang pendukung

horizontal seperti alveolar ridge, infraorbital rim, dan zygomatic

arches (5).

Fiksasi dari segmen fraktur yang tidak stabil menjadi

struktur yang stabil adalah tujuan pengobatan bedah definitif pada

fraktur maksila. Prinsip ini tampak sederhana namun menjadi lebih

kompleks pada pasien dengan fraktur luas. Fiksasi yang dipakai

pada fraktur maksila ini berupa (5):

a. Fiksasi inter maksilar menggunakan kawat baja untuk mengikat

gigi.

b. Fiksasi inter maksilar menggunakan kombinasi dari reduksi

terbuka dan pemasangan kawat baja atau mini plate.

c. Fiksasi denga pin.

Penanggulangan fraktur maksila sangat ditekankan agar

rahang atas dan rahang bawah dapat menutup. Dilakukan fiksasi

intermaksilar sehingga oklusi gigi menjadi sempurna.


28

4. Fraktur Tulang Orbita

Fraktur maksila sangat erat hubunganya dengan timbulnya

fraktur orbita terutama pada penderita yang menaiki kendaraan

bermotor. Orbita dibentuk oleh 7 tulang wajah, yaitu tulang frontal,

tulang zigoma, tulang maksila, tulang lakrimal, tulang etmoid,

tulang sphenoid dan tulang palatina (6).

Gambar 4. Orbita mensch (6).

Di dalam orbita, selain bola mata, juga terdapat otot-otot

ekstraokuler, syaraf, pembuluh darah, jaringan ikat, dan jaringan

lemak, yang kesemuanya ini berguna untuk menyokong fungsi

mata. Orbita merupakan pelindung bola mata terhadap pengaruh

dari dalam dan belakang, sedangkan dari depan bola mata

dilindungi oleh palpebra. Dasar orbita yang tipis mudah rusak oleh

trauma langsung terhadap bola mata, berakibat timbulnya fraktur

blow out dengan herniasi isi orbita ke dalam antrum maksilaris.

Infeksi dalam sinus sphenoidalis dan ethmoidalis dapat mengikis


28

dinding medialnya yang setipis kertas (lamina papyracea) dan

mengenai isi orbita (6).

Fraktur orbita ini menimbulkan gejala-gejala berupa (6):

1. Enoftalmus

2. Eksoftalmus

3. Diplopia

4. Asimetris pada muka

Kelainan ini tidak lazim terdapat pada blow out fracture dari

dasar orbita. Kelainan ini sangat spesifik terdapat pada fraktur yang

meliputi pinggir orbita inferior atau fraktur yang menyebabkan

dislokasi zigoma.

5. Gangguan saraf sensoris

Hipestesia dan anestesia dari saraf sensoris nervus infraorbitalis

berhubungan erat dengan fraktur yang terdapat pada dasar orbita.

Bila pada fraktur timbul kelainan ini, sangat mungkin sudah

mengenai kanalis infraorbitalis. Selanjutnya gangguan fungsi

nervus infraorbitalis sangat mungkin disebabkan oleh timbulnya

kerusakan pada rima orbita.

5. Fraktur Mandibula

Mandibula mengelilingi lidah dan merupakan satu-satunya

tulang kranial yang bergerak. Pada mandibula, terdapat gigi-geligi

bagian bawah dan pembuluh darah, otot, serta persarafan.


28

Mandibula merupakan dua buah tulang yang menyatu menjadi satu

pada simfisis (7).

Mandibula terhubung dengan kranium pada persendian

temporomandibular joint (TMJ). Fungsi yang baik dari mandibula

menentukan gerakan menutup dari gigi. Fraktur mandibula dapat

mengakibatkan berbagai variasi dari gangguan jangka pendek

maupun panjang yaitu nyeri TMJ, gangguan mengatupkan gigi,

ketidakmampuan mengunyah, gangguan salivasi, dan nyeri kronis.

Fraktur mandibula diklasifikasikan sesuai dengan lokasinya dan

terdiri dari simfisis, badan, angulus, ramus, kondilar, dan

subkondilar (7).

Gambar 5. Lokasi fraktur mandibula(8)

Diagnosis fraktur mandibula tidak sulit, ditegakan

berdasarkan adanya riwayat kerusakan rahang bawah dengan

memperhatikan gejala sebagai berikut (8):

a. Pembengkakan, ekimosis ataupun laserasi pada kulit yang meliputi

mandibula
28

b. Rasa nyeri yang disebabkan kerusakan pada nervus alveolaris

inferior

c. Anestesia dapat terjadi pada satu bibir bawah, pada gusi atau pada

gigi dimana nervus alveoralis inferior menjadi rusak.

d. Maloklusi, adanya fraktur mandibula sangat serng menimbulkan

maloklusi

e. Gangguan morbilitas atau adanya krepitasi

f. Rasa nyeri saat menguyah

g. Gangguan jalan nafas, kerusakan hebat pada mandibula

menyebabkan perubahan posisi, trismus, hematoma, serta edema

pada jaringan lunak.

Dingman mengklasifikasi fraktur mandibula secara simpel dan

praktis.

Mandibula dibagi menjadi 7 regio (8):

a. Badan atau korpus mandibula

b. Simfisis mandibula

c. Angulus mandibula

d. Ramus mandibula

e. Prosesus koronoid

f. Prosesus kondilus

g. Prosesus alveolaris
28

Fraktur yang terjadi dapat pada satu, dua atau lebih pada

regio mandibula ini. Frekuensi tersering terjadinya fraktur ialah

prosesus konsilus kemudian diikuti oleh korpus mandibula,

angulus mandibula, simfisis mandibula, prosesus alveolaris, ramus

mandibula dan prosesus koronoid (8).

Perbaikan fraktur mandibula menerapkan prinsip-prinsip

umum pembidaian mendibula dengan geligi utuh terhadap maksila.

Lengkung gelihi atas biasanya diikatkan pada lengkung gigi bawah

memakai batang-batang lengkung ligasi dengan kawat. Batang-

batang lengkung ini memiliki kait kecil yang dpat menerima

simpai kawat atau elastis guna mengikatkan lengkung gigi atas ke

lengkung gigi bawah. Fraktur mandibula lebih kompleks mungkin

memerlukan reduksi terbuka dan pemasangan kawat atau pelat

secara langsung pada fragmen-fragmen guna mencapai stabilitas,

disamping melakukan fiksasi intermaksilaris dengan batang-batang

lengkung (8).

2.6 Penegakan Diagnosis

2.6.1 Anamnesa

Mendapatkan informasi tentang alergi, obat, status tetanus,

riwayat medis dan bedah masa lalu, merupakan hal yang paling

terakhir, dan peristiwa seputar cedera. Aspek yang perlu

dipertimbangkan adalah sebagai berikut (8):

a. Bagaimana mekanisme cedera?


28

b. Apakah pasien kehilangan kesadaran atau mengalami perubahan

status mental?

Jika demikian, untuk waktu berapa lama?

c. Apakah terdapat gangguan penglihatan? Kilatan cahaya, fotofobia,

diplopia, pandangan kabur, nyeri, atau perubahan dengan gerakan

mata?

d. Apakah pasien mengalami tinitus atau vertigo?

e. Apakah pasien memiliki kesulitan bernapas melalui hidung?

f. Apakah pasien memiliki manifestasi berdarah atau yang jelas

cairan dari hidung atau telinga?

g. Apakah pasien memiliki kesulitan membuka atau menutup mulut?

h. Apakah ada rasa sakit atau kejang otot?

i. Apakah pasien dapat menggigit tanpa rasa sakit, dan pasien merasa

seperti kedudukan gigi tidak normal?

j. Apakah ada daerah mati rasa atau kesemutan pada wajah?


28

DAFTAR PUSTAKA

1. Soepardi, A. Trauma Muka dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan

Telinga, Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Ed. 6. Jakarta:

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007

2. Reksoprodjo. Kumpulan Ilmu Bedah. Jakarta: Binarupa Aksara.

2008

3. Bailey. Ilmu Bedah Gawat Darurat Ed. II. Yogyakarta: Gajah

Mada University Press. 2011

4. Mansjoer, A. Kapita Selekta Kedokteran Jilid II. Ed 3. Media

Aesculapius. 2014

5. Sjamsuhidajat, S. Buku Ajar Ilmu Bedah. Ed 2. Jakarta: Penerbit

Buku Kedokteran EGC. 2015

6. Oetomo, K. Trauma Maxillofacial dalam: Bedah Gawat Darurat.

Surabaya: RSUD Haji. 2010

7. Syamsudin. Masalah Anestesia pada Trauma Maksilofasial.

Jakarta. 2011

Anda mungkin juga menyukai