PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Trauma maksilofasial merupakan trauma fisik yang dapat mengenai
jaringan keras dan jaringan lunak wajah. Penyebab trauma maksilofasial
berfariasi mencakup kecelakaan lalu lintas, kekerasan fisik, terjatuh, olahraga,
dan trauma senjata api. Sebagian besar fraktur yang terjadi pada tulang
rahang akibat trauma maksilolasial dapat dilihat jelas dengan pemeriksaan
dan perabaan serta menggunakan penerangan yang baik.
Trauma pada wajah sering mengakibatkan terjadinya gangguan
saluran pernapasan, perdarahan, luka jaringan lunak, hilangnya dukungan
terhadap fragmen tulang dan rasa sakit. Namun, trauma pada rahang jarang
menimbulkan syok dan bila hal itu terjadi mungkin disebabkan adanya
komplikasi yang lebih parah, seperti pasien dengan batas kesadaran yang
menurun tidak mampu melindungi jalan pernafasan dari darah, patahan gigi
dan gigi tiruan. Oleh karena itu, diperlukan perawatan kegawatdaruratan yang
tepat secepat mungkin.
Trauma maksilofasial termasuk cedera pada salah satu struktur tulang
ataupun kulit dan jaringan lunak pada wajah. Setiap bagian pada wajah
mungkin dapat terpengaruh. Gigi dapat lepas atau goyang. Mata dengan otot-
ototnya, saraf dan pembuluh darahnya mungkin mengalami cedera sehingga
dapat mengalami gangguan penglihatan, diplopia, pergeseran posisi dari bola
mata dan juga seperti halnya rongga mata yang dapat retak oleh pukulan yang
kuat. Kerusakan jaringan lunak seperti edema, kontusio, abrasi, laserasi dan
avulsi. Rahang bawah atau mandibula dapat mengalami dislokasi. Meskipun
dilengkapi oleh otot-otot yang kuat untuk mengunyah, rahang termasuk tidak
stabil bila di bandingkan dengan tulang-tulang lainnya sehingga dengan
mudah mengalami dislokasi dari sendi temporomandibular yang menempel
ke tengkorak.
Kejadian-kejadian seperti disebut diatas, mengharuskan kita untuk
melakukan pemeriksaan yang lebih lengkap, konsultasi kepada bagian yang
terkait karena trauma dapat menjadi kasus yang kompleks dan mungkin
diperlukan keterlibatan multi spesialis dalam manajemennya.
B. Rumusan Masalah
1. Jelaskan anatomi fisiologi maksilofasial?
2. Jeleaskan defenisi trauma maksilofasial?
3. Jelaskan etiologi trauma maksilofasial?
4. Jelaskan klasifikasi trauma maksilofasial?
5. Jelaskan manifestasi klinik trauma maksilofasial?
6. Jelaskan pemeriksaan klinik trauma maksilofasial?
7. Jelaskan pemeriksaan penunjang trauma maksilofasial?
8. Jelaskan penatalaksanaan trauma maksilofasial?
9. Jelaskan komplikasi trauma maksilofasial?
10. Jelaskan asuhan keperawatan pasien dengan trauma maksilofasial?
C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui dan memahami konsep medis dan konsep keperawatan
pasien dengan trauma maksilofasial
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui anatomi fisiologi maksilofasial
b. Untuk mengetahui defenisi trauma maksilofasial
c. Untuk mengetahui etiologi trauma maksilofasial
d. Untuk mengetahui klasifikasi trauma maksilofasial
e. Untuk mengetahui manifestasi klinis trauma maksilofasial
f. Untuk mengetahui pemeriksaan klinik trauma maksilofasial
g. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang trauma maksilofasial
h. Untuk mengetahui penatalaksanaan trauma maksilofasial
i. Untuk mengetahui komplikasi trauma maksilofasial
j. Untuk mengetahui asuhan keperawatan pasien dengan trauma
maksilofasial
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Anatomi Maksilofasial
Pertumbuhan kranium terjadi sangat cepat pada tahun pertama dan
kedua setelah lahir dan lambat laun akan menurun kecepatannya. Pada anak
usia 4-5 tahun, besar kranium sudah mencapai 90% kranium dewasa.
Maksilofasial tergabung dalam tulang wajah yang tersusun secara baik dalam
membentuk wajah manusia (Mansjoer, 2000).
Tulang pembentuk wajah pada manusia bentuknya lebih kecil dari
tengkorak otak. Didalam tulang wajah terdapat rongga-rongga yang
membentuk rongga mulut (cavum oris), dan rongga hidung (cavum nasi) dan
rongga mata (orbita). Tengkorak wajah dibagi atas dua bagian: (Mansjoer,
2000).
a. Bagian hidung terdiri atas:
Os Lacrimal (tulang mata) letaknya disebelah kiri/kanan pangkal
hidung di sudut mata. Os Nasal (tulang hidung) yang membentuk batang
hidung sebelah atas. Dan Os Konka nasal (tulang karang hidung),
letaknya di dalam rongga hidung dan bentuknya berlipat-lipat. Septum
nasi (sekat rongga hidung) adalah sambungan dari tulang tapis yang
tegak (Boeis, 2002).
b. Bagian rahang terdiri atas tulang-tulang seperti :
Os Maksilaris (tulang rahang atas), Os Zigomaticum, tulang pipi
yang terdiri dari dua tulang kiri dan kanan. Os Palatum atau tulang langit-
langit, terdiri dari dua buah tulang kiri dan kanan. Os Mandibularis atau
tulang rahang bawah, terdiri dari dua bagian yaitu bagian kiri dan kanan
yang kemudian bersatu di pertengahan dagu. Dibagian depan dari
mandibula terdapat processus coracoid tempat melekatnya otot (Boeis,
2002).
B. Defenisi Trauma Maksilofasial
Trauma maksilofasial adalah suatu ruda paksa yang mengenai wajah
dan jaringan sekitarnya. Trauma pada jaringan maksilofasial dapat mencakup
jaringan lunak dan jaringan keras. Yang dimaksud dengan jaringan lunak
wajah adalah jaringan lunak yang menutupi jaringan keras wajah. Sedangkan
yang dimaksud dengan jaringan keras wajah adalah tulang kepala
(Ariwibowo, 2008).
C. Etiologi Trauma Maksilofasial
Penyebab trauma maksilofasial bervariasi, mencakup kecelakaan lalu
lintas, kekerasan fisik, terjatuh, olah raga dan trauma akibat senjata api.
Kecelakaan lalu lintas adalah penyebab utama trauma maksilofasial yang
dapat membawa kematian dan kecacatan pada orang dewasa secara umum
dibawah usia 50 tahun dan angka terbesar biasanya terjadi pada pria dengan
batas usia 21-30 tahun. Bagi pasien dengan kecelakaan lalu lintas yang fatal
menjadi masalah karena harus rawat inap di rumah sakit dengan cacat
permanen yang dapat mengenai ribuan orang per tahunnya. Berdasarkan studi
yang dilakukan, 72% kematian oleh trauma maksilofasial paling banyak
disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas (Ghazali 2007).
D. Klasifikasi Trauma Maksilofasial
Trauma maksilofasial dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu
trauma jaringan keras wajah dan trauma jaringan lunak wajah. Trauma
jaringan lunak biasanya disebabkan trauma benda tajam, akibat pecahan kaca
pada kecelakaan lalu lintas atau pisau dan golok pada perkelahian (Ghazali,
2007).
a. Trauma Jaringan Lunak Wajah Luka adalah kerusakan anatomi,
diskontinuitas suatu jaringan oleh karena trauma dari luar. Trauma pada
jaringan lunak wajah dapat diklasifikasikan berdasarkan (Wim de Jong,
2000):
1) Berdasarkan jenis luka dan penyebab
a) Ekskoriasi
b) Luka sayat (vulnus scissum), luka robek (vulnus laceratum), luka
tusuk (vulnus punctum)
c) Luka bakar (combustio)
d) Luka tembak (Vulnus Sclopetorum)
2) Berdasarkan ada atau tidaknya kehilangan jaringan Skin Avulsion &
Skin Loss
3) Dikaitkan dengan unit estetik. Menguntungkan atau tidak
menguntungkan, dikaitkan dengan garis Langer.
4) Berdasarkan Derajat Kontaminasi
a) Luka Bersih. Luka sayat elektif. Steril potensial terinfeksi. Tidak
ada kontak dengan orofaring, traktus respiratorius, traktur
elementarius, dan traktur genitourinarius.
b) Luka Bersih Tercemar. Luka sayat elektif. Potensial terinfeksi:
Spillage minimal, Flora normal. Kontak dengan orofaring,
traktus respiratorius, traktus elementarius, dan traktur digestifus.
Proses penyembuhan lebih lama.
c) Luka Tercemar. Potensi terinfeksi Spillage traktus elementarius.
Luka trauma baru: laserasi, fraktur terbuka dan luka penetrasi.
d) Luka Kotor. Akibat pembedahan yang sangat terkontaminasi.
Perforasi viscera, abses dan trauma lama.
5) Klasifikasi Lain.
a) Luka dengan pergeseran flap pedicle (trapp door).
b) Luka Tusukan (puncture).
c) Luka pada kulit yang berhubungan dengan mukosa secara
langsung.
b. Trauma Jaringan Keras Wajah Klasifikasi trauma pada jaringan keras
wajah di lihat dari fraktur tulang yang terjadi dan dalam hal ini tidak ada
klasifikasi yang definitif. Secara umum dilihat dari terminologinya
trauma pada jaringan keras wajah dapat diklasifikasikan berdasarkan
(Padersen, 2007):
1) Dibedakan berdasarkan lokasi anatomis dan estetik.
a) Bersifat single : Fraktur frontal, orbita, nasal, zigomatikum,
maxilla, mandibula, gigi dan alveolus.
b) Bersifat multiple : Fraktur kompleks zigoma, fronto nasal dan
fraktur kompleks mandibular
2) Dibedakan berdasarkan kekhususan (Padersen, 2007)
a) Fraktur Dinding Orbita
Fraktur dinding orbital adalah terputusnya kontinuitas
antara jaringan-jaringan pada dinding orbital dengan atau tanpa
keterlibatan tulang-tulang di daerah sekitarnya. Faktor penyebab
bervariasi. Kecelakaan lalu lintas merupakan faktor etiologi yang
dominan yang bertanggung jawab menyebabkan terjadinya
fraktur dinding inferior orbita. Faktor lain fraktur dinding inferior
orbita adalah akibat perkelahian. Selain itu, bisa juga diakibatkan
karena senjata yang tumpul atau tajam. Faktor etiologi lain yang
mengakibatkan fraktur dinding inferior orbital adalah kecelakaan
pekerjaan, contohnya jatuh dari tempat yang tinggi atau alat yang
jatuh ke kepala atau kecelakaan ketika berolahraga terutamanya
olahraga seperti tinju, kriket, hoki serta sepak bola, tembakan
serta gigitan hewan.
Terdapat dua teori yang dapat menjelaskan terjadinya
fraktur dinding inferior orbita, atau fraktur blow-out. Teori yang
predominan mengatakan bahwa fraktur ini disebabkan kenaikan
tekanan intraorbita yang terjadi secara mendadak apabila suatu
objek yang lebih besar dari diameter orbita rim memukul. Teori
yang kedua menyatakan bahwa suatu objek yang mengenai orbita
dengan keras akan mengakibatkan daya yang menekan pada
inferior orbita rim dan seterusnya akan merusak dinding inferior
orbita. Teori ini juga menjelaskan bagaimana fraktur blow-in
terjadi. Fujino dan Makino menyokong teori ini. Mereka percaya
bahwa penyebab utama mekanisme terjadinya fraktur adalah daya
yang mengenai orbita rim. Derajat peningkatan tekanan orbital
kemudiannya yang menentukan jaringan orbital didorong ke
dalam orbita atau ke sinus maksila.
Fraktur pureblow-out biasanya terjadi apabila suatu objek
tumpul yang lebih besar dari diameter orbital rim seperti tinju,
siku, bola baseball, bola tenis, atau bola hoki. Isi orbita akan
terkompresi ke posterior, mengarah ke arah apeks orbita. Oleh
karena bagian posterior orbita tidak bisa mengakomodasi
peningkatan volume jaringan ini, tulang orbita akan patah di titik
yang paling lemah yaitu pada dinding inferiornya. Jika daya
terjadi dari objek yang lebih kecil dari diameter orbital rim, bola
mata akan ruptur atau isi orbital mengalami kerusakan tanpa
terjadinya fraktur.
Teori yang kedua menyatakan bahwa suatu objek yang
mengenai orbita dengan keras akan mengakibatkan daya yang
menekan pada inferior orbita rim dan seterusnya akan merusak
dinding inferior orbita. Teori ini juga menjelaskan bagaimana
fraktur blow-in terjadi. Fujino dan Makino menyokong teori ini.
Mereka percaya bahwa penyebab utama mekanisme terjadinya
fraktur adalah daya yang mengenai orbita rim. Derajat
peningkatan tekanan orbita kemudiannya yang menentukan
jaringan orbita didorong ke dalam orbita atau ke sinus maksila.
Basis orbita atau orbita rim pada bagian atas terdiri dari lengkung
supraorbita dari tulang frontal, zigoma dan maksila dibawahnya;
zigoma pada bagian lateral, dan prosesus frontal maksila pada
bagian medial. Dinding orbita ini merupakan tulang yang relatif
tipis.
Orbita kemudian terbagi lagi dalam empat bagian: atap,
dinding medial, dinding lateral dan lantai (dinding inferior). Atap
orbita hampir seluruhnya terdiri dari dataran orbital dari tulang
frontal, dan pada posteriornya terdiri dari greater wing of
sphenoid. Dinding medial, yaitu dinding yang paling tipis
terbentuk dari prosesus frontal maksila dan tulang lakrimal yang
sama -sama membentuk lekuk lakrimal. Di belakang crest
lakrimal posterior adalah lamina papyracea tulang ethmoid yang
sangat tipis dan lesser wing of sphenoid dan foramen optik.
Dinding inferior yang berbentuk segitiga terdiri dari tulang
zigomatik, prosesus orbita dari tulang palatinal dan sebagian
besar dari dataran orbita maksila yang terletak di anterior pada
fisur orbita inferior. Bagian dari maksila ini merupakan bagian
yang paling sering terlibat di fraktur blow-out pada dinding
inferior orbita. Dinding lateral orbita pula terdiri dari prosesus
frontal dari zigoma dan tulang frontal pada anterior, serta greater
wing of sphenoid pada posterior.
Bola mata biasanya sedikit keluar dari orbita rim dan bola
mata terikat oleh ligamen Lockwood dari tuberkulum Whitnall
yang terletak dibawah sutura zigomatikofrontal pada dinding
dalam orbita rim. Bola mata adalah relatif kuat dan terisi dengan
humor vitreous yang tahan terhadap tekanan. Kavitas orbital
selebihnya terisi dengan lemak. (Thomas, 2007)
Secara umum, fraktur orbita dibagi kepada dua kategori
yang luas. Yang pertama merupakan fraktur yang secara relatif
eksternal dan melibatkan orbita rim serta tulang-tulang yang
berdekatan, sebagai contoh fraktur pada nasoethmoid
(nasoorbital) dan fraktur malar. Yang kedua adalah fraktur yang
melibatkan tulang secara internal di dalam kavitas orbita. Fraktur
ini terjadi tanpa (atau sedikit) penglibatan orbita rim. Fraktur
seperti ini biasanya disebut fraktur blow-out atau blow-in. Istilah
blow-out ini digunakan oleh Converse dan Smith (1950) untuk
menggambarkan fraktur pada dinding inferior orbita yang
mengarah ke bawah dan memasuki sinus maksilaris mengarah ke
atas, memasuki orbita. Sebaliknya blowin merupakan fraktur
yang tanpa melibatkan orbital rim, fraktur ini dipanggil pure
blow-out. Jika orbita rim terlibat, maka orbita rim dikenali
sebagai impure blowout. Dalam kasus ini, lemak orbita dan otot
masuk ke dalam sinus maksilaris, menghasilkan enophthalmus.
Jika otot rektus inferior dan oblique inferior juga terlibat dalam
hal ini, pergerakan bola mata akan menjadi terbatas. Ini dikenal
sebagai diplopia (Thomas, 2007).
b) Fraktur Zygoma (Thomas, 2007)
Perbaikan fraktur komplek zigoma sering dilakukan secara
elektif. Fraktur arkus yang terisolasi bisa diangkat melalui
pendekatan Gillies klasik. Fraktur Le FortI, Le Fort II, dan Le
Fort III (Thomas, 2007).
i. Fraktur Le Fort I
Fraktur Le Fort I dapat terjadi sebagai suatu kesatuan
tunggal atau bergabung dengan fraktur – fraktur Le Fort II dan
III. Pada Fraktur Le Fort I, garis frakturnya dalam jenis fraktur
transversus rahang atas melalui lubang piriform di atas alveolar
ridge, di atas lantai sinus maksilaris, dan meluas ke posterior
yang melibatkan pterygoid plate. Fraktur ini memungkinkan
maksila dan palatum durum bergerak secara terpisah dari
bagian atas wajah sebagai sebuah blok yang terpisah tunggal.
Fraktur Le Fort I ini sering disebut sebagai fraktur
transmaksilari. Pemeriksaan klinis pada fraktur Le Fort I
dilakukan dalam dua pemeriksaan yakni secara ekstra oral dan
intra oral. Pada pemeriksaan ekstra oral, pemeriksaan
dilakukan dengan visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi
dapat terlihat adanya edema pada bibir atas dan ekimosis.
Sedangkan secara palpasi terdapat bergeraknya lengkung
rahang atas. Pada pemeriksaan intra oral, pemeriksaan
dilakukan secara visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi
dapat terlihat adanya open bite anterior. Sedangkan secara
palpasi terdapat rasa nyeri. Selanjutnya pemeriksaan fraktur Le
Fort I dilakukan dengan foto rontgen dengan proyeksi wajah
anterolateral.
ii. Fraktur Le Fort II (Thomas, 2007) Fraktur Le Fort II lebih
jarang terjadi, dan mungkin secara klinis mirip dengan fraktur
hidung. Bila fraktur horizontal biasanya berkaitan dengan
tipisnya dinding sinus, fraktur piramidal melibatkan sutura-
sutura. Sutura zigomatikomaksilaris dan nasofrontalis
merupakan sutura yang sering terkena. Seperti pada fraktur Le
Fort I, bergeraknya lengkung rahang atas, biasa merupakan
suatu keluhan atau ditemukan saat pemeriksaan. Derajat
gerakan sering tidak lebih besar dibanding fraktur Le Fort I,
seperti juga gangguan oklusinya tidak separah pada Le Fort I.
Pemeriksaan klinis pada fraktur Le Fort II dilakukan dalam
dua pemeriksaan yakni secara ekstra oral dan intra oral. Pada
pemeriksaan ekstra oral, pemeriksaan dilakukan dengan
visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat pupil
cenderung sama tinggi, ekimosis dan edema periorbital.
Sedangkan secara palpasi terdapat tulang hidung bergerak
bersama dengan wajah tengah, mati rasa pada daerah kulit
yang dipersarafi oleh nervus infraorbitalis. Pada pemeriksaan
intra oral, pemeriksaan dilakukan secara visualisasi dan
palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat adanya gangguan
oklusi tetapi tidak separah jika dibandingkan dengan fraktur Le
Fort I. Sedangkan secara palpasi terdapat bergeraknya
lengkung rahang atas. Pemeriksaan selanjutnya dilakukan
dengan pemeriksaan dengan foto rontgen proyeksi wajah
anterolateral, foto wajah polos dan CT scan.
iii. Fraktur Le Fort III (Thomas, 2007)
Le Fort III adalah Fraktur kraniofasial disjunction,
merupakan cedera yang parah. Bagian tengah wajah benar-
benar terpisah dari tempat perlekatannya yakni basis kranii.
Fraktur ini biasanya disertai dengan cedera kranioserebral,
yang mana bagian yang terkena trauma dan besarnya tekanan
dari trauma yang bisa mengakibatkan pemisahan tersebut,
cukup kuat untuk mengakibatkan trauma intrakranial.
Pemeriksaan klinis pada fraktur Le Fort III dilakukan
secara ekstra oral. Pada pemeriksaan ekstra oral, pemeriksaan
dilakukan dengan visualisasi. Secara visualisasi dapat terlihat
pembengkakan pada daerah kelopak mata, ekimosis periorbital
bilateral. Usaha untuk melakukan tes mobilitas pada maksila
akan mengakibatkan pergeseran seluruh bagian atas wajah.
Pemeriksaan selanjutnya dilakukan dengan pemeriksaan foto
rontgen proyeksi wajah anterolateral, foto wajah polos dan CT
scan.Perawatan Fraktur Maksila (Thomas, 2007)
Perawatan pada masing-masing fraktur maksilofasial itu
berbeda satu sama lain. Oleh sebab itu perawatannya akan
dibahas satu per satu pada masingmasing fraktur maksilofasial.
Tetapi sebelum perawatan defenitif dilakukan, maka hal yang
pertama sekali dilakukan adalah penanganan kegawatdaruratan
yakni berupa pertolongan pertama (bantuan hidup dasar) yang
dikenal dengan singkatan ABC. Apabila terdapat perdarahan
aktif pada pasien, maka hal yang harus dilakukan adalah
hentikanlah dulu perdarahannya. Bila pasien mengeluh nyeri
maka dapat diberi analgetik untuk membantu menghilangkan
rasa nyeri. Setelah penanganan kegawatdaruratan tersebut
dilaksanakan, maka perawatan defenitif dapat dilakukan
Pada fraktur Le Fort I dirawat dengan menggunakan arch
bar, fiksasi maksilomandibular, dan suspensi kraniomandibular
yang didapatkan dari pengawatan sirkumzigomatik. Apabila
segmen fraktur mengalami impaksi, maka dilakukan
pengungkitan dengan menggunakan tang pengungkit, atau
secara tidak langsung dengan menggunakan tekanan pada
splint/arch bar.
Sedangkan perawatan pada fraktur Le Fort II serupa
dengan fraktur Le Fort I. Hanya perbedaannya adalah perlu
dilakukan perawatan fraktur nasal dan dasar orbita juga.
Fraktur nasal biasanya direduksi dengan menggunakan
molding digital dan splinting.
Selanjutnya, pada fraktur Le Fort III dirawat dengan
menggunakan arch bar, fiksasi maksilomandibular,
pengawatan langsung bilateral atau pemasangan pelat pada
sutura zigomatikofrontalis dan suspensi kraniomandibular pada
prosessus zigomatikus ossis frontalis.
iv. Fraktur segmental mandibula.
c) Berdasarkan Tipe fraktur.(Thomas, 2007, Grabb and Smith 2007)
i. Fraktur simpel.
Merupakan fraktur sederhana, liniear yang tertutup misalnya
pada kondilus, koronoideus, korpus dan mandibula yang tidak
bergigi. Fraktur tidak mencapai bagian luar tulang atau
rongga mulut. Termasuk greenstik fraktur yaitu keadaan retak
tulang, terutama pada anak dan jarang terjadi.
ii. Fraktur Compound
Fraktur lebih luas dan terbuka atau berhubungan dengan
jaringan lunak.
iii. Biasanya pada fraktur korpus mandibula yang mendukung
gigi, dan hampir selalu tipe fraktur kompound meluas dari
membran periodontal ke rongga mulut, bahkan beberapa luka
yang parah dapat meluas dengan sobekan pada kulit.
iv. Fraktur kominutif.
Benturan langsung terhadap mandibula dengan objek yang
tajam seperti peluru yang mengakibatkan tulang menjadi
bagian yang kecil atau remuk. Bisa terbatas atau meluas, jadi
sifatnya juga seperti fraktur kompoun dengan kerusakan tulang
dan jaringan lunak.
v. Fraktur patologis. Keadaan tulang yang lemah oleh karena
adanya penyakit penyakit tulang, seperti Osteomyelitis, tumor
ganas, kista yang besar dan penyakit tulang sistemis sehingga
dapat menyebabkan fraktur spontan.
d) Perluasan tulang yang terlibat.
i. Komplit, fraktur mencakup seluruh tulang.
ii. Tidak komplit, seperti pada greenstik, hair line, dan kropresi
(lekuk).
iii. Konfigurasi (garis fraktur).
i) Tranversal, bisa horizontal atau vertikal.
ii) Oblique (miring).
iii) Spiral (berputar).
iv) Comunitif (remuk).
iv. Hubungan antar Fragmen
i) Displacement, disini fragmen fraktur terjadi perpindahan
tempat.
ii) Undisplacement, bisa terjadi berupa : oAngulasi / bersudut.
o Distraksi. o Kontraksi. o Rotasi / berputar. o Impaksi /
tertanam. Inspeksi Secara sistematis bergerak dari atas ke
bawah : a. Deformitas, memar, abrasi, laserasi, edema. b.
luka tembus. c. Asimetris atau tidak. d. Adanya Maloklusi /
trismus, pertumbuhan gigi yang abnormal. e. Otorrhea /
Rhinorrhea f. Telecanthus, Battle's sign, Raccoon's sign. g.
Cedera kelopak mata. h. Ecchymosis, epistaksis i. Defisit
pendengaran. j. Perhatikan ekspresi wajah untuk rasa nyeri,
serta rasa cemas.
1) Palpasi
a) Periksa kepala dan wajah untuk melihat adanya lecet, bengkak,
ecchymosis, jaringan hilang, luka, dan perdarahan, Periksa luka
terbuka untuk memastikan adanya benda asing seperti pasir, batu
kerikil.
b) Periksa gigi untuk mobilitas, fraktur, atau maloklusi. Jika gigi
avulsi, mengesampingkan adanya aspirasi.
c) Palpasi untuk cedera tulang, krepitasi dan mati rasa, terutama di
daerah pinggiran supraorbital dan infraorbital, tulang frontal,
lengkungan zygomatic dan pada artikulasi zygoma dengan tulang
frontal, temporal dan rahang atas.
d) Periksa mata untuk memastikan adanya exophthalmos atau
endophthalmos, menonjol lemak dari kelopak mata, ketajaman
visual, kelainan gerakan okular, jarak interpupillary dan ukuran
pupil, bentuk, dan reaksi terhadap cahaya, baik langsung dan
konsensual.
e) Perhatikan sindrom fisura orbital superior, ophthalmoplegia,
ptosis dan proptosis.
f) Balikkan kelopak mata dan periksa benda asing atau adanya
laserasi.
g) Memeriksa ruang anterior untuk mendeteksi adanya perdarahan,
seperti hyphema.
h) Palpasi daerah orbital medial. Kelembutan mungkin menandakan
kerusakan pada kompleks nasoethmoidal.
i) Lakukan tes palpasi bimanual hidung. bius dan tekan intranasal
terhadap lengkung orbital medial. Secara bersamaan tekan
canthus medial. Jika tulang bergerak, berarti adanya kompleks
nasoethmoidal yang retak.
j) Lakukan tes traksi, Pegang tepi kelopak mata bawah dan tarik
terhadap bagian medialnya. Jika "tarikan" tendon terjadi, bisa
dicurigai gangguan dari canthus medial.
k) Periksa hidung untuk telecanthus (pelebaran sisi tengah hidung)
atau dislokasi. Palpasi untuk kelembutan dan krepitasi.
l) 12. Periksa septum hidung untuk hematoma, massa menonjol
kebiruan, laserasi pelebaran mukosa, fraktur atau dislokasi dan
rhinorrhea cairan cerebrospinal.
m) Periksa untuk laserasi liang telinga, kebocoran cairan
serebrospinal, integritas membran timpani, hemotympanum,
perforasi atau ecchymosis daerah mastoid (Battle sign).
n) Periksa lidah dan mencari luka intraoral, ecchymosis atau
bengkak. Secara bimanual meraba mandibula dan memeriksa
tanda-tanda krepitasi atau mobilitas.
o) Tempatkan satu tangan pada gigi anterior rahang atas dan yang
lainnya di sisi tengah hidung. Gerakan hanya gigi menunjukkan
fraktur le fort I. Gerakan di sisi hidung menunjukkan fraktur Le
Fort II atau III.
p) Memanipulasi setiap gigi individu untuk bergerak, rasa sakit,
ginggiva dan pendarahan intraoral, air mata, atau adanya
krepitasi.
q) Lakukan tes gigit pisau. Minta pasien untuk menggigit keras
pada pisau. Jika rahang retak pasien tidak dapat melakukan ini
dan akan mengalami rasa sakit.
r) Meraba seluruh bagian mandibula dan sendi temporomandibular
untuk memeriksa nyeri, kelainan bentuk atau ecchymosis.
s) Palpasi kondilus mandibula dengan menempatkan satu jari di
saluran telinga eksternal sementara pasien membuka dan
menutup mulut. Rasa sakit atau kurang gerak kondilus
menunjukkan fraktur.
t) Periksa paresthesia atau anestesi saraf.
2) Menilai dan mengevaluasi integritas saraf kranial II - VIII (Boeis,
2002)
a) N. Opticus (II), ketajaman Visual, bidang visual, refleks cahaya.
b) N. Occulomotorius (III), ukuran pupil, bentuk, keseimbangan,
reflek motorik tungkai, reflek cahaya langsung dan tak
langsung, ptosis.
c) N. occulomotorius (III), N. Trochlear (IV), N. Abducens (VI),
diplopia.
d) N. Trigeminal (V)
i. Tes sensorik, sentuh di dahi, bibir atas dan dagu di garis
tengah. Bandingkan satu sisi ke sisi lain untuk membuktikan
adanya defisit sensorik.
ii. Tes motorik, merapatkan gigi dan rahang lalu bergerak ke
lateral.
e) N. Facial (VII)
i. Area temporal, menaikkan alis, dahi dikerutkan.
ii. Area zygomatic, memejamkan mata sampai tertutup rapat.
iii. Area buccal, mengerutkan hidung, "membusungkan" pipi.
iv. Area marjinal mandibula, mengerutkan bibir.
v. Area cervical, menarik leher (saraf otot platysma, namun
fungsi ini tidak terlalu penting peranannya dalam kehidupan
sehari-hari).
vi. N. Vestibulocochlearis (VIII), pendengaran, keseimbangan,
gosok jari atau berbisik di samping setiap telinga pasien. Jika
terjadi gangguan konduktif, akan terdengar lebih keras pada
sisi yang terkena.
E. Manifestasi Klinis
Gejala klinis gejala dan tanda trauma maksilofasial dapat berupa
(Grabb and Smith 2007; Thomas, 2007)
1. Dislokasi, berupa perubahan posisi yg menyebabkan maloklusi terutama
pada fraktur mandibula.
2. Pergerakan yang abnormal pada sisi fraktur.
3. Rasa nyeri pada sisi fraktur.
4. Perdarahan pada daerah fraktur yang dapat menyumbat saluran napas.
5. Pembengkakan dan memar pada sisi fraktur sehingga dapat menentukan
lokasi daerah fraktur.
6. Krepitasi berupa suara pada saat pemeriksaan akibat pergeseran dari ujung
tulang yang fraktur.
7. Laserasi yg terjadi pada daerah gusi, mukosa mulut dan daerah sekitar
fraktur.
8. Diskolorisasi perubahan warna pada daerah fraktur akibat pembengkakan
9. Numbness, kelumpuhan dari bibir bawah, biasanya bila fraktur terjadi di
bawah nervus alveolaris.
10. Pada fraktur orbita dapat dijumpai penglihatan kabur atau ganda,
penurunan pergerakan bola mata dan penurunan visus
F. Pemeriksaan Klinik
Sebelum memulai pemeriksaan klinik pada daerah mulut dan
maksilofasial harus dipastikan bahwa cedera sistemik lain telah dievaluasi
misalnya cedera spina servikal atau trauma dada. Pemeriksaan neurologi
sesuai dengan Glasgow Coma Scale (GCS) untuk mengetahui status
neurologi pasien. Jika pasien menderita cedera multipel, konsultasi dan
pemeriksaan yang adekuat harus dilakukan sebelum pasien menjalani operasi
bedah mulut dan maksilofasial. Indikasi untuk melakukan konsultasi pada
trauma mulut dan maksilofasial adalah sesuai.
Indikasi untuk Konsultasi pada Trauma Mulut dan Maksilofasial
1. Spesialis mata
a. Kebutaan atau keterbatasan penglihatan
b. Laserasi pada bola mata atau laserasi besar pada kelopak mata
c. Trauma langsung pada bola mata
d. Amnesia
e. Trauma wajah kominuted
2. Ahli bedah plastik-mata
a. Defek besar pada jaringan lunak di region periorbita
b. Defek pada kelopak mata lebih besar dari setengah kelopak
3. Ahli bedah THT
a. Masalah pendengaran pasca trauma yang berhubungan dengan
trauma
b. Defek besar pada telinga luar
c. vertigo
4. Ahli bedah saraf
a. Masalah intrakranial: perdarahan dan/atau udara di spasia intrakranial
b. Cairan serebrospinal (otorhrhea/rhinorrhea)
Pemeriksaan klinis dilakukan diseluruh wajah yang terlihat, meliputi
mandibula, maksila, krista zigomatikoalveolaris, cincin orbita, sutura
frontozigomatikus, prosesus zigomatikus, atap orbita,, hidung, telinga, daerah
sendi rahang, dan keseluruhan daerah intraoral.
1. Pemeriksaan leher dan kepala
Merupakan pemeriksaan awal dan sering kali sangat bermanfaat.
Luka-luka pada wajah dicatat mengenai lokasi, panjang, kedalaman dan
kemungkinan terlibatnya struktur dibawahnya seperti arteri, saraf, dan
glandula saliva. Edema fasial diobservasi, dan dievaluasi karena ini bisa
merupakan tempat yang terkena benturan/ trauma atau merupakan tanda
adanya kerusakan struktur dibawahnya misalnya hematom, fraktur atau
keduanya, setiap deformitas tulang yang nyata, perdarahan atau
kebocoran cairan serebrospinal hendaknya dicatat.
Palpasi secara hati-hati dimulai dari bagian belakang kepala dan
cranium diselidiki akan adanya luka serta injuri tulang. Kemudian jari-jari
dirabakan pelanpelan diatas tulang zigomatik dan lengkungnya, dan
disekeliling pinggiran orbita. Tempat-tempat yang terasa lunak,
deformitas step, dan mobilitas yang tidak normal hendaknya diperhatikan.
2. Pemeriksaan syaraf-syaraf cranial
Nervus cranialis (III, IV, V, VI,VII) dites untuk mengetahui
apakah terjadi palsi, dapatkah pasien mengangkat alis dan meretraksi
sudut mulut, apakah bola mata bisa bergerak bebas, dan apakah pupil
bereaksi terhadap sinar. Kelopak mata dipisahkan secara hati-hati,
pembukaan mata merupakan alat pemeriksaan yang berharga untuk
menentukan tingkat kesadaran dan dinilai berdasarkan kemampuan pasien
membuka matanya jika diberi stimulasi tertentu, termasuk stimulasi
menyakitkan jika diperlukan. Apabila bila pasien sadar, penglihatan diuji
pada masing-masing mata. Kemudian pasien diminta mengikuti jari
dokter klinik dengan matanya dan diminta memberi tahu jika terjadi
diplopia (penglihatan dobel). Dan dibuat catatan kalau terjadi perubahan
ukuran pada kedua pupil, dan reflex terhadap cahaya juga harus diuji.
3. Pemeriksaan wajah bagian tengah
Pemeriksaan regio atas dan tengah wajah dipalpasi untuk melihat
adanya kerusakan di daerah sekitar kening, rima orbita, area nasal atau
zigoma. Penekanan dilakukan pada area tersebut secara hati-hati untuk
mengetahui kontur tulang yang mungkin sulit diprediksi ketika adanya
edema di area tersebut. Untuk melihat adanya fraktur zigomatikus
kompleks, jari telunjuk dimasukan ke vestibula maksila kemudian palpasi
dan tekan kearah superior lateral. Jaringan lunak yang menutupi digeser
dan sutura dipalpasi apakah terjadi kelainan atau tidak. Cincin
infraorbitali dipalpasi dari medial ke lateral untuk mengevaluasi sutuira
zygomaticomaxillaris. Bagian-bagian yang mengalami nyeri tekan dan
baal akan dicatat, karena hal ini menunjukkan adanya fraktur atau cedera
pada syaraf. Arkus zigomatikus dipalpasi bilateral dan diamati apakah
terdapat tanda-tanda asimetri dari aspek posterior atau superior.
Vestibulum nasi juga diperiksa karena bisa terjadi pergeseran septum dan
adanya perdarahan arau cairan.
4. Pemeriksaan Mandibula
Lokasi mandibula terhadap maksila dievaluasi apakah tetap
digaris tengah, terjadi pergeseran lateral atau inferior. Pergerakan
mandibula juga dievaluasi dengan cara memerintahkan pasien melakukan
gerakan-gerakan tertentu, dan apabila ada penyimpangan dicatat. Kisaran
gerak dievaluasi pada semua arah dan jarah interinsisal dicatat. Apabila
ada meatus acusticus externus penuh dengan darah dan cairan, jari
telunjuk dapat dimasukkan dengan telapak mengarah ke bawah dan
kedepan untuk melakukan palpasi terhadap caput condylus pada saat
istirahat dan bergerak. Pada fraktur subcondylus tertentu, bisa dijumpai
adanya nyeri tekan yang amat sangat atau caput mandibula tidak
terdeteksi. Tepi inferior dan posterior mandibula dipalpasi mulai dari
processus condylaris sampai ke symphisis mandibula. Pemeriksaan
mandibula dengan cara palpasi ekstraoral semua area inferior dan lateral
mandibula serta sendi temporomandibular. Pemeriksaan oklusi untuk
melihat adanya laserasi pada area gingiva dan kelainan pada bidang
oklusi. Untuk menilai mobilisasi maksila, stabilisasi kepala pasien
diperlukan dengan menahan kening pasien menggunakan salah satu
tangan. Kemudian ibu jari dan telunjuk menarik maksila secara hati-hati
untuk melihat mobilisasi maksila.
5. Pemeriksaan mulut
Oklusi adalah hal pertama dilihat secara intraoral, dataran oklusal
dari maksila dan mandibula diperiksa continuitas, dan adanya step
deformitas. Bagian yang giginya mengalami pergerakan karena trauma
atau alveoli yang kosong karena gigi avulsi juga dicatat. Apabila pasien
menggunakan protesa, maka protesa tersebut harus dilepas dan diperiksa
apakah ada kerusakann atau tidak. Jaringan lunak mulut diperiksa dalam
kaitannya dengan luka, kontinuitas, abrasi, ekimosis, dan hematom. Lidah
disisihkan, sementara itu dasar mulut dan orofaring diperiksa, apakah
terdapat serpihan-serpihan gigi, restorasi, dan beku darah. Arkus
zygomatikus dan basisnya dipalpasi bilateral. Maksila harus dicoba
digerakkan dengan memberi tekanan pada prosesus alveolaris sebelah
anterior dengan tetap menahan kepala. Dan gigi-gigi dan prosesus
alveolaris dipalpasi untuk mengetahui nyeri tekan atau mobilitas.
G. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Radiografis
Pada pasien dengan trauma wajah, pemeriksaan radiografis
diperlukan untuk memperjelas suatu diagnosa klinis serta untuk
mengetahui letak fraktur. Pemeriksaan radiografis juga dapat
memperlihatkan fraktur dari sudut dan perspektif yang berbeda.
Pemeriksaan radiografis pada mandibula biasanya memerlukan foto
radiografis panoramic view, open-mouth Towne’s view, postero-anterior
view, lateral oblique view. Biasanya bila foto-foto diatas kurang
memberikan informasi yang cukup, dapat juga digunakan foto oklusal dan
periapikal. Computed Tomography (CT) scans dapat juga memberi
informasi bila terjadi trauma yang dapat menyebabkan tidak
memungkinkannya dilakukan teknik foto radiografis biasa. Banyak pasien
dengan trauma wajah sering menerima atau mendapatkan CT-scan untuk
menilai gangguan neurologi, selain itu CTscan dapat juga digunakan
sebagai tambahan penilaian radiografi. Pemeriksaan radiografis untuk
fraktur sepertiga tengah wajah dapat menggunakan Water’s view, lateral
skull view, posteroanterior skull view, dan submental vertex view.
NO Pemeriksaan Radiologis Indikasi
1 Foto dental Trauma dan fraktur dental
2 Foto oklusal a. Fraktur sagital rahang atas
b. Luksasi benda asing
(pecahan gigi, bahan
tambalan dan gigi palsu) ke
jaringan lunak
3 Ortopantomogram/OPG a. Trauma dental
b. Fraktur dentoalveolar
c. Fraktur rahang bawah,
termasuk fraktur kondilus
d. Fraktur rahang atas.
4 Subokzipitofrontal dengan mulut a. Fraktur rahang bawah
terbuka (Clementschitsch) atau b. Fraktur kondilus
Mandibula PA c. Pada dugaan terdapat fraktur
rahang bawah dan atau
fraktur kondilus, maka
pembuatan foto clemi wajib
dilakukan
5 Waters/sinus maksilaris a. Fraktur wajah
oksipitonasal b. Fraktur orbita
6 Submentobregmatikal Fraktur arkus zigomatikus
(Henkeltopf)
7 Tomografi Komputer (scan CT), a. Politrauma
termasuk Cranial Computer b. Fraktur wajah
Tomografi (CCT) dan juga scan c. Fraktur orbita (potongan
CT dengan rekonstruksi 3D koronal)
d. Fraktur rahang atas
kompleks
e. Fraktur rahang bawah
kompleks
f. Fraktur dasar tengkorak,
sinus frontalis
g. Trauma cranium
8 MRI a. Politrauma
b. Trauma saraf dan jaringan
lunak (misalnya n.opticus
diskus artikularis)
2. Pemeriksaan Laboratorium
Walaupun perdarahan yang tertunda jarang menimbulkan masalah
yang serius, tetapi karena diperlukan untuk tindakan bedah pada waktu
selanjutnya, maka sebagian besar trauma orofasial mayor harus dilakukan
pemeriksaan golongan darah untuk keperluan transfusi. Namun selain itu
juga diperlukan pemeriksaan darah rutin yang meliputi :
a. Hemoglobin / Haemoglobin (Hb)
Nilai normal dewasa pria 13.5-18.0 gram/dL, wanita 12-16
gram/dL, wanita hamil 10-15 gram/dL Hb yang rendah (<10 gram/dL)
biasanya dikaitkan dengan pendarahan berat. Bisa juga karena
penyalit tertentu yaitu leukemia leukemik, lupus eritematosus
sistemik, dan obat-obatan seperti obat antikanker, asam asetilsalisilat,
rifampisin, primakuin, dan sulfonamid. Ambang bahaya adalah Hb <
5 gram/dL.
b. Hematokrit (Ht)
c. Leukosit: hitung leukosit (leukocyte count) dan hitung jenis
(differential count) Nilai normal 4500-10000 sel/mm3. Segala macam
infeksi menyebabkan leukosit naik; baik infeksi bakteri, virus, parasit,
dan sebagainya. Kondisi lain yang dapat menyebabkan leukositosis
yaitu:
1) Anemia hemolitik
2) Sirosis hati dengan nekrosis
3) Stres emosional dan fisik (termasuk trauma dan habis berolahraga)
4) Keracunan berbagai macam zat
5) Obat: allopurinol, atropin sulfat, barbiturat, eritromisin,
streptomisin, dan sulfonamid. Leukosit rendah (disebut juga
leukopenia) dapat disebabkan oleh agranulositosis, anemia
aplastik, AIDS, infeksi atau sepsis hebat, infeksi virus (misalnya
dengue), keracunan kimiawi, dan postkemoterapi. Penyebab dari
segi obat antara lain antiepilepsi, sulfonamid, kina, kloramfenikol,
diuretik, arsenik (terapi leishmaniasis), dan beberapa antibiotik
lainnya.
d. Hitung trombosit / platelet count Nilai normal dewasa 150.000-
400.000 sel/mm3. Penurunan trombosit (trombositopenia) dapat
ditemukan pada demam berdarah dengue, anemia, luka bakar, malaria,
dan sepsis. Nilai ambang bahaya pada <30.000 sel/mm3. Peningkatan
trombosit (trombositosis) dapat ditemukan pada penyakit keganasan,
sirosis, polisitemia, ibu hamil, habis berolahraga, penyakit
imunologis, pemakaian kontrasepsi oral, dan penyakit jantung.
Biasanya trombositosis tidak berbahaya, kecuali jika >1.000.000
sel/mm3.
e. Laju endap darah (LED) / erythrocyte sedimentation rate (ESR) Nilai
normal dewasa pria <15 mm/jam pertama, wanita <20 mm/jam
pertama. LED yang meningkat menandakan adanya infeksi atau
inflamasi, penyakit imunologis, gangguan nyeri, anemia hemolitik,
dan penyakit keganasan. LED yang sangat rendah menandakan gagal
jantung dan poikilositosis.
f. Hitung eritrosit Nilai normal dewasa wanita 4.0-5.5 juta sel/mm3,
pria 4.5-6.2 juta sel/mm3. Peningkatan jumlah eritrosit ditemukan
pada dehidrasi berat, diare, luka bakar, perdarahan berat, setelah
beraktivitas berat, polisitemia, anemia sickle cell. Penurunan jumlah
eritrosit ditemukan pada berbagai jenis anemia, kehamilan, penurunan
fungsi sumsum tulang, malaria, mieloma multipel, lupus, konsumsi
obat (kloramfenikol, parasetamol, metildopa, tetrasiklin, INH, asam
mefenamat)
H. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan awal pada pasien dengan kecurigaan trauma
maksilofasial yaitu meliputi :
1. Periksa kesadaran pasien.
2. Perhatikan secara cermat wajah pasien : Apakah asimetris atau tidak.
Apakah hidung dan wajahnya menjadi lebih pipih.
3. Apakah ada hematoma :
a. Fraktur zigomatikus
Terjadi hematoma yang mengelilingi orbita, berkembang secara cepat
sebagai permukaan yang bersambungan secara seragam. Periksa
mulut bagian dalam dan periksa juga sulkus bukal atas apakah ada
hematoma, nyeri tekan dan krepitasi pada dinding zigomatikus.
b. Fraktur nasal
Terdapat hematoma yang mengelilingi orbita, paling berat ke arah
medial.
c. Fraktur Orbita
Apakah mata pasien cekung kedalam atau kebawah. Apakah sejajar
atau bergeser. Apakah pasien bisa melihat. Apakah dijumpai diplopia
Hal ini karena : o Pergeseran orbita o Pergeseran bola mata o Paralisis
saraf ke VI o Edema
d. Fraktur pada wajah dan tulang kepala. Raba secara cermat seluruh
bagian kepala dan wajah : nyeri tekan, deformitas, iregularitas, dan
krepitasi. Raba tulang zigomatikus, tepi orbita, palatum dan tulang
hidung, pada fraktur Le Fort tipe II atau III banyak fragmen tulang
kecil sub cutis pada regio ethmoid. Pada pemeriksaan ini jika rahang
tidak menutup secara sempurna berarti pada rahang sudah terjadi
fraktur.
e. Cedera saraf. Uji anestesi pada wajah (saraf infra orbita) dan geraham
atas (saraf gigi atas).
f. Cedera gigi. Raba giginya dan usahakan menggoyangkan gigi
bergerak abnormal dan juga disekitar
I. Komplikasi
Komplikasi awal fraktur maksila dapat berupa pendarahan ekstensif
serta gangguan pada jalan nafas akibat pergeseran fragmen fraktur, edema,
dan pembengkakan soft tissue. Infeksi pada luka maksilari lebih jarang
dibandingkan pada luka fraktur mandibula. Padahal luka terkontaminasi saat
tejadi cedera oleh segmen gigi dan sinus yang juga mengalami fraktur.
Infeksi akibat fraktur yang melewati sinus biasanya tidak akan terjadi
kecuali terdapat obstruksi sebelumnya. Pada Le Fort II dan III, daerah
kribiform dapat pula mengalami fraktur, sehingga terjadi rhinorrhea cairan
serebrospinal. Selain itu, kebutaan juga dapat terjadi akibat pendarahan dalam
selubung dural nervus optikus. Komplikasi akhir dapat berupa kegagalan
penyatuan tulang yang mengalami fraktur, penyatuan yang salah, obstruksi
sistem lakrimal, anestesia/hipoestesia infraorbita, devitalisasi gigi,
ketidakseimbangan otot ekstraokuler, diplopia, dan enoftalmus. Kenampakan
wajah juga dapat berubah (memanjang, retrusi).
J. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Maksilofasial Injury
1. Aktivitas dan istirahat
Gejala : Kelemahan, kelelahan, malaise, cepat lelah. Insomnia, tidak tidur.
Merasa gelisah dan ansietas. Pembatasan aktivitas/kerja sehubungan
dengan efek proses penyakit. kelemahan dan/atau keletihan, perubahan
pada pola istirahat dan jam kebiasaan tidur pada malam hari, adanya
faktor-faktor yang mempengaruhi tidur misal nyeri, ansietas, berkeringat
malam.
2. Sirkulasi
Tanda : Takikardia (respon terhadap demam, dehidrasi, proses inflamasi
dan nyeri). Kemerahan, area ekimosis (kekurangan vitamin K). Tekanan
darah hipertensi, termasuk postural. Kulit/membran mukosa : turgor
buruk, kering, bibir pecah-pecah (dehidrasi/malnutrisi).
3. Integritas ego
Gejala : Ansietas, ketakutan misalnya : perasaan tak berdaya/tak ada
harapan. Faktor stress akut/kronis misalnya: hubungan dengan keluarga
dan pekerjan, pengobatan yang mahal.
Tanda : Menolak, perhatian menyempit, depresi.
4. Neurosensori
Gejala : gangguan pendengaran dan penghidu, adanya pusing, sinkope
5. Pernapasan:
Gejala: Pada pemeriksaan penunjang dapat terlihat adanya sumbatan
seperti massa.
6. Makanan dan cairan
Gejala : Penurunan lemak, tonus otot dan turgor kulit buruk. Membran
mukosa bibir pucat; luka, inflamasi rongga mulut. Intake kurang adekuat
akibat lesi.
7. Tanda : Penurunan berat badan, tidak toleran terhadap diit/sensitive; buah
segar/sayur, produk susu, makanan berlemak.
8. Hygiene
Tanda : Ketidakmampuan mempertahankan perawatan diri. Stomatitis
menunjukan kekurangan vitamin. Bau badan.
9. Nyeri dan kenyamanan
Gejala : Nyeri/nyeri tekan pada perawatan ganti verban (mungkin hilang
dengan defekasi), titik nyeri berpindah, nyeri tekan (atritis). nyeri terjadi
pada bagian nasofaring, terasa panas.
Tanda : Nyeri tekan pada bagian wajah OS. Nasal, superaorbital, maxilla.
10. Keamanan
Gejala : Peningkatan suhu 39-40°Celcius (eksaserbasi akut). Penglihatan
kabur akibat hematom neurologik, alergi terhadap makanan/produk susu
(mengeluarkan histamine kedalam usus dan mempunyai efek inflamasi).
11. Tanda : Lesi kulit mungkin ada misalnya : eritema nodusum (meningkat,
nyeri tekan, kemerahan dan membengkak) pada tangan, muka; pioderma
ganggrenosa (lesi tekan purulen/lepuh dengan batas keunguan) pada paha,
kaki dan mata kaki.
12. Seksualitas
Gejala : Frekuensi menurun/menghindari aktivitas seksual.
13. Interaksi sosial
Gejala : Masalah hubungan/peran sehubungan dengan kondisi. Ketidak
mampuan aktif dalam sosial.
Pemeriksaan fisik
a. Inspeksi : Pada bagian wjah terdapat lesi gusi berdarah wajah kemerahan,
terdapat luka akibat goresan vulnus dan terlihat pada wajah epistaksis.
b. Palpasi : nyeri tekan supraorbital akibat open rewind, selain itu terasa
nyeri apabila ditekan.
Pemeriksaan THT:
a. Otoskopi : Liang telinga, membran timpani
b. Rinoskopia anterior : Pada tumor endofilik tak jelas kelainan di rongga
hidung, mungkin hanya banyak sekret. Pada tumor eksofilik, tampak
tumor di bagian belakang rongga hidung, tertutup sekret mukopurulen,
fenomena palatum mole negative.
c. Rinoskopia posterior : Pada tumor indofilik tak terlihat masa, mukosa
nasofaring tampak agak menonjol, tak rata dan paskularisasi meningkat.
Pada tumor eksofilik tampak masa kemerahan.
d. Faringoskopi dan laringoskopi : Kadang faring menyempit karena
penebalan jaringan retrofaring; reflek muntah dapat menghilang.
e. X – foto : tengkorak lateral, dasar tengkorak, CT Scan.
Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri akut berhubungan dengan trauma fraktur pada bagian wajah supra
orbita
b. Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan intake yang tidak
adekuat terutama lesi pada bagian mulut.
c. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan tubuh.
d. Ansietas atau kecemasan berhubungan dengan perubahan status
kesehatan.
Rencana Keperawatan
NO Diagnosa NOC NIC
1 Nyeri akut berhubungan Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji keluhan nyeri,
dengan trauma fraktur keperawatan selama 3x24 catat lokasi, lamanya,
pada bagian wajah supra jam diharapkan nyeri intensitas.
berkurang atau hilang yang 2. Pantau tanda-tanda
orbita
ditandai dengan indicator: vital.
1. Wajah klien tidak 3. Ajarkan pada pasien
meringis lagi teknik nafas dalam
2. Skala nyeri 2 (0-10) 4. Berikan tindakan
kenyamanan misalnya
masase
5. Penatalaksanaan
pemberian obat
analgetik.
2 Nutrisi kurang dari Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji pola makan klien.
kebutuhan berhubungan keperawatan selama 3x24 2. Jelaskan pada klien
dengan intake yang tidak jam diharapkan kebutuhan bahwa pentingnya
kebutuhan nutrisi
adekuat terutama lesi nutrisi klien terpenuhi yang
3. Anjurkan pada klien
pada bagian mulut. dibuktikan dengan untuk memakan
indikator: makanan dalam
1. Keadaan umum baik keadaan hangat.
I. IDENTITAS
A. KLIEN
Nama : Tn.’’N’’
Tempat/tanggal lahir (umur) : 01-08-1993 (25 Tahun, 4 Bulan, 9 hari)
Jenis kelamin : Laki-laki
Status perkawinan : Belum kawin
Agama/suku : Islam
Warga negara : Indonesia
Bahasa yang digunakan : Indonesia
Pendidikan : SD
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Griya Suding Mandiri Blok A 18
B. PENANGGUNG JAWAB
Nama : Ny. A
Alamat : Sudiang
Hubungan dengan klien : Sepupu
B. PENGUKURAN
1. Tingi Badan : 175 cm.
2. Berat Badan : 80 kg
3. Indeks Masa Tubuh : 26,122 kg/m2
C. GENOGRAM
GI
GII
GIII
Keterangan:
: Laki-laki
: Perempuan
: Sudah meninggal
: Klien
: Garis keturunan
Generasi I : Kakek dan nenek klien sudah meninggal. Keluarga
mengatakan sebelumnya tidak ada riwayat kecelakan
kerja pada keluarga
Generasi II : Ayah klien adalah anak ke 2 dari 7 bersaudara. Ibu
klien adalah anak pertama dari 4 bersaudara.
Keluarga mengatakan baik ayah maupun ibu tidak
ada yang memiliki riwayat kecelakaan pada saat
kerja.
Generasi III : Klien adalah anak ke 2 dari 3 bersaudara. Kakak
dan adik klien juga tidak memiliki riwayat
kecelakaan pada saat kerja.
Keterangan :
5 : Mampu menggerakkan persendian dalam lingkup gerak
penuh, mampu melawan gaya gravitasi, mampu melawan
dengan tahan penuh.
4 : Mampu menggerakkan persendian dengan gaya gravitasi,
mampu melawan dengan tahan sedang.
3 : Hanya mampu melawan gaya gravitasi
2 : Tidak mampu melawan gaya gravitasi (gerakan pasif)
1 : Tidak ada kontraksi otot
Refleks fisiologis : Positif
Refleks patologis : Negatif
Clubbing finger : Negatif
Varices tungkai : Negatif
4) Columna vertebralis
Inspeksi kelainan bentuk : Tidak ada kelainan.
Palpasi
Nyeri tekan : Negatif.
N.III-IV_VI : tidak ada masalah.
N.VIII : Pendengaran baik
N.XI : tidak ada keluhan
Kaku kuduk : Negatif
Skala Jatuh Morse
Pendengaran
a. Pina : Simetris
b. Canalis : Ada serumen
c. N. I : Mampu membedakan bau, minyak angin
dan pewangi (parfum)
d. N. II : Pandangan normal
e. N. IV sensorik : Mampu melirik kenan dan kekiri
f. N. VII sensorik : Mampu mengespresikan wajah tersenyum
dan sedih
g. N. VIII pendengaran : Mampu mendengarkan dengan baik,
K. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan Lab.
b. Terapi Medis
No Catatan Pengobatan
1. Ringer laktat 28 tpm
2. Ceftriaxone 1 gr/ 12 jam/ IV
3. Ketorolac 30 mg/ 8 jam/IV
4. Ranitidin 50gr/ 12 jam/ IV
KLASIFIKASI DATA
ANALISA DATA
DIAGNOSA KEPERAWATAN
No Diagnosa Keperawatan
1 Domain 12: Kenyamanan
Kelas 1. Kenyamanan fisik
00132
Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik (trauma)
2 Domain 11: Keamanan/perlindungan
Kelas 1. Cedera fisik
00081
Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan benda
asing dalam jalan nafas (lendir dan darah)
3 Domain 2: Nutrisi
Kelas 1. Makan
00002
Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan ketidakmampuan makan dan mencerna makanan
RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN
EVALUASI KEPERAWATAN