Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PENDAHULUAN

TRAUMA WAJAH

Di Susun Oleh :

Nama: Fransiska Minggu Molan

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN STELLA MARIS MAKASSAR


PROGRAM PROFESI NERS

T.A 2020/2021
Konsep Dasar Medik
Trauma Wajah

A. Defenisi Trauma Wajah (Maksilofasial)


Trauma pada regio maksilofacial mempengaruhi sebanyak 80% pasien
dengan cedera multipel. Secara umum, kasus trauma wajah berhubungan
dengan kecelakaan bermotor, tetapi dengan sosialisasi dan penekanan pada
strategi pencegahan seperti air bag dan sabuk pengaman. Perawat gawat
darurat harus dapat mengevaluasi derajat cedera dengan riwayat yang ada,
mencari inkonsistensi, dan menggunakan berbagai kesempatan untuk memulai
percakapan dengan pasien tentang penghentian siklus kekerasan.
Trauma pada ragio wajah mempuyai pengaruh yang luas pada individu :
− Wajah merupakan bagian awal dari saluran pernapasan dan
gastrointestinal, trauma pada wajah sering mempengaruhi kedua
sistem tersebut.
− Wajah secara langsung berada didepan kranium dan disangga oleh
leher, pada umumnya trauma serebral dan trauma medula spinalis
berhubungan dengan trauma facial.
− Wajah merupakan tempat dari kelima perasa (perasa, penciuman,
penglihatan) dan dan berhubungan erat dengan pendengaran dengan
sentuhan; demikian juga, wajah berperan dalam kemampuan bicara.
Oleh karena itu, trauma wajah dapat berpengaruh buruk dalam
interaksi dengan bahasa.
− Wajah merupakan bagian penting dari identitas seseorang, pasien
dengan trauma facial secara signifikan akan meninggalkan dampak
psikologis panjang setelah trauma awal (Amelia, K., & dkk. (2018).
Trauma wajah (maksilofasial) merupakan suatu ruda paksa yang mengenai
wajah dan jaringan sekitarnya. Trauma pada maksilofasial dapat
diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu trauma jaringan keras wajah dan
trauma jaringan lunak wajah. Yang dimaksud dengan jaringan lunak wajah
adalah jaringan yang menutupi jaringan keras wajah, sedangkan jaringan keras
wajah adalah tulang yang terdapat diwajah , yang diantaranya terdiri dari
tulang hidung, tulang zigoma, tulang mandibulla, dan tulang maksila menurut
(Dhillon,G., & dkk. (2013).

B. Etiologi
Pada umumnya penyebab trauma wajah disebabkan oleh kecelakaan
bermotor, kekerasan, cedera saat berolahraga, trauma penitrasi, terjatuh,
perkelahian dan kecelakaan industri. Terpeleset, dan terjatuh sering terjadi
pada anak-anak dan orang tua. Sementara kekerasan dan dan kecelakaan lalu
lintas merupakan penyebab cedera pada individu yang berusia 15-50 tahun.
Trauma wajah dalam masyarakat yang paling sering adalah akibat
kecelakaan kendaraan bermotor. Kecelakaan kendaraan bermotor
menghasilkan patah tulang yang sering melibatkan midface, terutama pada
pasien yang tidak memakai sabuk pengaman mereka.
Berikut ini tabel etiologi trauma maksilofasial :
Penyebab pada orang dewasa Persentase (%)
Kecelakaan lalu lintas 40-45
Penganiayaan atau berkelahi 10-15
Olahraga 5-10
Jatuh 5
Lain-lain 5-10

Penyebab pada anak Presentase %


Kecelakaan lalu lintas 10-15
Penganiaan atau berkelahi 5-10
Olahraga (termasuk naik sepeda) 50-60
Jatuh 5-10
C. Klasifikasi
Trauma maksilofasial dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian yaitu
trauma jaringan keras wajah dan trauma jaringan lunak wajah. Trauma
jaringan lunak biasanya disebabkan trauma benda tajam, akibat pecahan kaca
pada kecelakaan lalu lintas atau pisau dan golok pada perkelahian.
1. Trauma jaringan lunak wajah
Luka adalah kerusakan anatomi, diskontinuitas suatu jaringan oleh karena
trauma dari luar.
Trauma pada jaringan lunak wajah dapat diklasifikasikan berdasarkan :
a. Jenis luka dan penyebab :
1) Ekskorasi
2) Luka sayat, luka robek, luka bacot
3) Luka bakar
4) Luka tembak
b. Berdasarkan ada tidaknya kehilangan jaringan :
1) Dikaitkan dengan unit estetik.

2. Trauma jaringan keras wajah


Klasifikasi trauma pada jaringan keras wajah dilihat dari fraktur tulang yang
terjadi dan dalam hal ini tidak ada klasifikasi yang defenitif. Secara umum
dilihat dilihat dari dari terminologinya, trauma pada jaringan keras wajah
dapat diklasifikasikan berdasarkan :
1) Dibedakan berdasarkan lokasi anatomi dan estetika
2) Berdiri sendiri : fraktur frontal, orbita, nasal, zigomatikum,
maxilla, mandibulla, gigi dan alveolus.
3) Bersifat multipel : fraktur kompleks zigoma, fraktur nasal, dan
fraktur kompleks mandibula.
2) Berdasarkan tipe fraktur :
a. Fraktur simpel
Merupakan fraktur sederhana, linear yang tertutup misalnya pada
kondilus, koronoideus, korpus dan mandibulla yang tidak bergigi.
Fraktur tidak mencapai bagian luar tulang atau rongga mulut.
Termasuk greenstik fraktur yaitu keadaan retak tulang, terutama
pada anak dan jarang terjadi.
b. Fraktur kompoun
Fraktur lebih luas dan terbuka atau berhubungan dengan jaringan
lunak. Biasanya pada fraktur koprpus mandibula yang mendukung
gigi, dan hampir selalu tipe fraktur komponen meluas dari
membran periodontal ke rongga mulut, bahkan beberapa luka
yang parah dapat meluas dengan sobekan pada kulit.
c. Fraktur komunisi
Benturan langsung pada mandibula dengan objek yang tajam
seperti peluru yang mengakibatkan tulang menjadi bagian yang
kecil atau remuk. Bisa terbatas atau meluas, jadi sifatnya juga
seperti fraktur kompoun dengan kerusakan tulang dan jaringan
lunak.
d. Fraktur patologis
Keadaan tulang yang lemah oleh karena adanya penyakit tulang
seperti Osteomyelitis, tumor ganas, kista yang besar dan penyakit
tulang sistemis sehingga dapat menyebabkan fraktur spontan.

D. Patofisiologi
Kehadiran energi kinetik dalam benda bergerak adalah fungsi dari massa
dikalikan dengan kuadrat kecepatannya. Penyebaran energi kinetik saat
deselerasi menghasilkan kekuatan yang mengakibatkan cedera. Berdampak
tinggi dan rendah dampak kekuatan didefenisikan sebagai besar atau kecil dari
50 kali gaya gravitasi. Ini berdampak parameter pada cedera yang dihasilakan
karena jumlah gaya yang dibutuhkan untuk menyebabkan kerusakan pada
tulang wajah berbeda regional. Tepi supraobital, mandibula (simfisis dan
sudut), dan tulang frontal memerlukan kekuatan tinggi-dampak yang akan
rusak. Sebuah dampak rendah-force adalah semua yang diperlukan untuk
merusak zygoma dan tulang hidung.
Patah Tulang Frontal : ini terjadi akibat dari pukulan berat pada dahi. Bagian
anterior dan posterior sinus frontal. Gangguan lakrimasi mungkin terjadi jika
dinding posterior sinus frontal retak. Duktus nasofrontal sering terganggu.
Fraktur Dasar Orbital : cedera dasar orbital dapat menyebabkan suatu
fraktur yang terisolasi atau dapat disertai dengan fraktur dinding medial.
Ketika kekuatan menyerang pinggiran orbital, tekanan intraorbital meningkat
dengan transmisi ini kekuatan dan merusak bagian-bagian terlemah dari dasar
dan dinding media orbita.
Patah Tulang Hidung : ini adalah hasil dari kekuatan diakibatkan oleh trauma
lansung.
Fraktur Nasoethmoidal (noes) : akibat perpanjangan kekuatan trauma dari
hidung ke tulang ethmoid dan dapat mengakibatkan kerusakan pada canthus
medial, aparatus lacrimalis, atau saluran nasofrontal.
Patah Tulang Lengkung Zygomatic : sebuah pukulan langsung ke lengkung
zygomatic dapat mengakibatkan fraktur terisolasi melibatkan jahitan
zygomaticotemporal.
Patah Tulang Zygomaticomaxillary kompleks (ZMCs) : menyebabkan
patah tulang dari trauma langsung. Garis fraktur jahitan memperpanjang
melalui zygomaticootemporal, dan zygomaticomaxillary dan artikulasi dengan
tulang sphenoid. Garis fraktur biasanya memperpanjang melalui foramen
infraorbital dan lantai orbit. Cedera mata serentak yang umum.
Fraktur Mandibula : ini dapat terjadi di beberapa lokasi sekunder dengan
bentuk U-rahang dan leher condylar lemah. Fraktur sering terjadi bilateral di
lokasi terpisah dari lokasi trauma langsung.
Patah Tulang alveolar : ini terjadi dalam isolasi dari kekuatan rendah energi
langsung atau dapat hasil dari perpanjangan garis fraktur melalui bagian
alveolar rahang atas atau rahang bawah.
Fraktur Panfacial : ini biasanya sekunder mekanisme kecepatan tinggi
mengakibatkan cedera pada wajah atas, midface, dan wajah yang lebih rendah.
E. Manifestasi klinis
Tanda trauma maksilofasial dapat berupa :
3. Dislokasi, berupa perubahan posisi yang menyebabkan maloklusi terutama
pada fraktur mandibula.
4. Pergerakan yang abnormal pada sisi fraktur.
5. Rasa nyeri pada sisi fraktur
6. Perdarahan pada daerah fraktur yang dapat menyumbat saluran napas.
7. Pembengkakan dan memar pada sisi fraktur sehingga dapat menentukan
lokasi daerah fraktur.
8. Krepitasi berupa suara pada saat pemeriksaan akibat pergeseran.
9. Laserasi yang terjadi pada daerah gusi, mukosa mulut dan daerah sekitar
fraktur.
10. Diskolorisasi perubahan warna pada daerah fraktur akibat pembengkakan.
11.Numbness, kelumpuhan dari bibir bawah, biasanya bila fraktur terjadi
dibawah nervus alveolaris.
12.Pada fraktur orbita dapat dijumpai penglihatan kabur atau ganda, penurunan
pergrrakan bola mata dan penurunan visus.

F. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan saat awal trauma pada cedera kepala dan wajah selain dari
faktor mempertahankan fungsi ABC dan menilai status neurologis (disabilitty,
expousure), maka faktor yang harus diperhitungkan pula adalah mengurangi
iskemia serebri yang terjadi. Keadaan ini dapat dibantu dengan pemberian
oksigen dan glukosa sekalipun pada otak yang mengalami trauma relative
memerlukan oksigen dan glukosa yang lebih rendah.
Selain itu pula yang dikontrol kemungkinan tekanan intrakranial yang
meninggi disebabkan oleh edema serebri. Sekalipun tidak jarang memerlukan
tindakan operasi, tetapi usah untuk menurunkan tekanan intrakranial ini dapat
dilakukan dengan cara menurunkan PaCO2 dengan hiperventilasi yang
mengurangi asidosis intraserebral dan menambah metabolisme intraserebral.
Adapun usaha untuk menurunkan PaCO2 ini yakni dengan intubasi
endotrakeal, hiperventilasi. Intubasi dilakukan sedini mungkin kepada klien
yang koma untuk mencegah terjadinya PaCO2 yang meninggi. Prinsip ABC
dan ventilasi yang teratur dapat mencegah peningkatan tekanan intrakranial.
Penatalaksanaan Konservatif meliputi :
1) Bedrest total
2) Observasi tanda-tanda vital (GCS dan tingkat kesadaran)
3) Pemberian obat-obatan : Dexamethason / kalmethason sebagai
pengobatan anti-edema serebral, dosis sesuai dengan berat ringannya
trauma.
4) Terapi hiperventilasi (trauma kepala berat), untuk mengurangi
vasodilitasi.
5) Pengobatan anti-edema dengan larutan hipertonis, yaitu manitol 20%,
atau glukosa 40% atau gliserol 10%.
6) Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (pensilin) atau untuk
infeksi anaerob diberikan metronidasol.
7) Makananan atau cairan. Pada trauma ringan bila muntah-muntah tidak
dapat diberikan apa-apa, hanya cairan infus dextrose 5%, aminosufin,
aminofel (18 jam pertama dari terjadinya kecelakaan), 2-3 hari
kemudian diberikan makanan lunak.
8) Pada trauma berat. Karena hari-hari pertama didapatkan pasien
mengalami penurunan kesadaran dan cenderung terjadi retensi natrium
dan elektrolit maka hari-hari pertama (2-3 hari) tidak terlalu banyak
cairan. Dexstosa 5% 8 jam pertama, ringer dextrosa 8 jam kedua, dan
dextrose 5% 8 jam ketiga, pada hari selanjutnya bila kesadran rendah
maka makanan diberikan melalui nasogastric tube (2500-300 TKTP).
Pemberian protein tergantung dari nilai urenitrogennya.
G. Pemeriksaan Diagnostik
1. Wajah Bagian Atas :
1) CT-scan 3D dan CBCT-scan 3D (Cone Beam CT-scan 3D)
2) CT-scan aksial koronal
3) Imaging Alternatif diantaranya termasuk CT scan kepala dan X-ray
kepala.
2. Wajah Bagian Tengah :
1) CT-scan 3D dan CBCT-scan 3D (Cone Beam CT-scan 3D)
2) CT-scan aksial koronal
3) Imaging Alternatif diantaranya termasuk radiografi posisi waters dan
posteroanterior (caldwells), submentovertek (jughanles).
3) Wajah Bagian Bawah :
1) CT-scan 3D dan CBCT-scan 3D
2) Panoramic X-ray
3) Imaging Alternatif diagnostik mencakup posisi
: Posteroanterior (caldwells)
Posisi lateral (schedell)
Posisi towne

H. Komplikasi
1) Perdarahan ulang
2) Kebocoran cairan otak
3) Infeksi pada luka atau sepsis
4) Timbulnya edema serebri
5) Timbulnya edema pulmonum neurogenik, akibat peninggian TIK
6) Nyeri kepala setelah penderita sadar
7) Konvulsi.
Konsep Dasar Medis
Trauma Wajah

1. Pengkajian Gawat Darurat


A. Pengkajian Primer
Pengkajian pada pasien dengan trauma maksilofacial dan okular tidak tidak berbeda dengan pengkajian pasien dengan trauma pada
sistem tubuh yang lain. Pengkajian ABC (airway, breathing,circulation) menjadi prioritas. Tabel 40-1 menggambarkan pengkajian
primer pada pasien dengan trauma wajah (Amelia, K., & dkk. (2018).

Tabel 40-1 PENGKAJIAN PRIMER PASIEN DENGAN TRAUMA WAJAH


KATEGORI PERTIMBANGAN INTERVENSI
Airway dan proteksi Banyak faktor yang membuat pasien menjadi sulit atau Intervensi untuk melindungi jalan napas
tulang servikal mustahil untuk mempertahankan jalan napas : harus mencakup berbagai hal berikut :
1. Fraktur mandibula mungkin dapat 1. Suction oral, endotrakeal, dan hidung
menyebabkan kehilangan kemampuan untuk diperlukan.
menggerakkan lidah, membuat kesulitan 2. Menempatkan passien untuk tetap
menelan atau bahkan obstruksi trakea oleh tegak bila memungkinkan akan
lidah. meningkatkan kenyamanan pasien,
2. Fraktur maksila dapat menyebabkan palatum memfasilitasi kemampuan pasien
tidak stabil, menurunkan kemampuan pasien
untuk menelan. Palatum yang mengalami untuk mempertahankan jalan napas,
pergeseran parah dapat menyebabkan obstruksi dan memberikan posisi lebih tinggi
jalan napas. agar struktur jalan napas tetap
3. Avulsi jaringan, darah, fragmen gigi, edema dan terbuka.
benda asing seperti gigi palsu atau pecahan 3. Mengurangi pembentukan edema
benda asing. Perubahan kemampuan untuk dengan kompres es ke wajah dan
menelan atau meludah dapat memperparah tempatkan pasien untuk
masalah diatas. mempertahankan posisi tegak.
4. Keterlibatan neurologis dapat mengakibatkan 4. Intubasi dini jika pasien tidak mampu
penurunan tingkat kesadaran, lebih lanjut dapat melindungi kepatenan jalan napasnya
mengurangi kemampuan pasien melindungi atau jika edema dijalan napas
jalan napasnya sendiri. cenderung meningkat.
Kekuatan yang signifikan diperlukan untuk 5. Pemasangan blin airway devices
menyebabkan trauma maksilofasial. Kekuatan yang seperti combitubes, king airways,
sama ini dapat menyebabkan leher yang akan atau laryngeal mask airways untuk
terlontar secara kuat.sebanyak 19,3% pasien dengan melindungi jalan napas sampai
trauma maksilofasial akan terjadi bersamaan dengan tersedia perawatan defenitif.
trauma leher dan tulang belakang. 6. Alat-alat tersebut sementara dapat
sebagai tanda untuk perdarahan di
nasofaring posterior.
7. Cricothyrotomy atau trakeastomi jika
saluran napas bagian atas rusak pada
titik dimana kepatenan jalan napas
tidak lagi bisa dipertahankan.
Prosedur untuk melinsungi tulang
belakang leher harus dijadikan SOP
institusi termasuk imobilisasi in-line
dengan servikal collar dan penahanan
kepala yang sesuai pasien sadar dengan
trauma maksilofasial mungkin tidak
dapat bernapas dalam posisi semula
dalam hal ini, lindungi tulang pada posisi
dimana pasien menemukan posisi
termudah untuk bernapas sampai jalan
napas alternatif
tersedia.
Breathing Trauma maksilofasial dapat mempengaruhi Intervensi untuk mendukung pernapasan
kemampuan pasien bernapas dalam berbagai cara : adalah sebagai berikut :
1. Menelan darah meningkatkan isi lambung dan 1. Berikan oksigen tambahan yang
dapat meningkatkan resiko aspirasi. sesuai dengan cedera.
2. Hilangnya integritas jaringan atau integritas 2. Berikan bag maskventiation pada saat
tulang atau wajah yang lebih rendah dapat yang tepat.
membuat bantuan bag-mask sulit atau tidak 3. Bantu dengan pemasangan blind
dapat dilakukan. airway devices intubasi endotrakeal,
3. Kerusakan neurologis terkait dengan trauma cricothyrotomy, atau trakeastomi
maksilofasial dapat mengubah laju dan sesuai kebutuhan.
kedalaman pernapasan.
Circulation Meskipun wajah kaya akan pembuluh darah dan trauma Intervensi untuk menstabilkan sirkulasi harus
pada daerah ini dapat menyebabkan kehilangan darah mencakup hal-hal berikut :
yang signifikan, ada beberapa pembuluh darah didaerah 1. Lakukan tekanan langsung ke daerah-
wajah yang cukup besar untuk menyebabkan daerah perdarahan.
hipovolemia. 2. Elevasi kepala tempat tidur saat yang
Oleh karena itu, jika pasien dengan taruma tepat.
maksilofasial menampakkan dengan tanda-tanda syok 3. Pasang kateter intravena ukuran besar
hipovolemik, perawat unit gawat darurat harus mencari 4. Pengobatan syok hipovolemik.
cedera lain yang bersamaan yang mungkin
menyebabkan
kehilangan darah berat.
Disability (pengkajian Wajah dan otak sangat dekat, hanya dibatasi oleh Intervensi untuk menilai trauma neurologis
neurologis) tulang tengkorak dan sinus. Dalam sebuah penelitian, bersamaan harus mencakup sebagai berikut :
24,5% dari pasien trauma maksilofasial memiliki 1. Penilaian neurologis awal dan
cedera kepala dan 9,7% diantaranya mengalami berurutan termasuk pengukuran skor
perdarahan intrakranial. Saraf kranial juga mudah Glasgow Coma Scale dan reaksi
terluka pada trauma wajah. pupil.
2. Penilaian saraf kranial
3. Penilaian tanda vital untuk indikasi
peningkatan tekanan intrakranial
(yaitu, bradikardia, pelebaran tekanan
nadi, dan pola pernapasan abnormal).

B. Pengkajian Sekunder

Setelah melengkapi pengkajian primer untuk memastiakn tidak adanya cedera yang mengancam jiwa, pengkajian sekunder pada
wajah harus dilakukan. Pengkajian khusus pada pengkajian sekunder meliputi :

1. Melihat kesemetrisan wajah, memandingkan kedua alis, kantung mata, lengkungan zygomaticum, dinding anterior sinus, sudut
rahang, hidung dan batas mandibulla, bawah. Pada saat yang sama. Pada pasien dapat terlihat “mata burung”, diketahui dengan
cara berdiri dia atas kepala pasien dan melihattegak lurus pada dahi pasien sampai wajah, akan menemukan deformitas yang
tidak ditemukan ketika melihat langsung ke pasien.
2. Palpasi wajah, catat area yang teraba nyeri tekan, krepitasi, atau deformitas wajah bersamaan dengan mengkaji area wajah yang
mengalami mati rasa.
3. Kaji cedera mandibula dengan menanyakan pasien untuk membuka dan menutup mulut. Pasien dengan fraktur sendi mandibula
atau temporommandibular dapat mengalami kesulitan melakukan hal tersebut.
4. Minta pasien untuk mengikuti pergerakan jari dengan berbagai perintah, mata harus bergerak simultan sepanjang lapang
pandang penglihatan.
C. Diagnosa Keperawatan

1. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan benda asing dalam
jalan napas (D.0001)
2. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik (D.0077)
3. Resiko syok dengan faktor resiko kekurangan volume cairan (D.0039)
D. Intervensi Keperawatan
No Diagnosa Keperawatan SLKI SIKI
1. Bersihan jalan napas tidak efektif Setelah dilakukan tindakan Manajemen jalan napas (I.01011)
berhubungan dengan benda asing keperawatan selama ...x... jam Observasi :
dalam jalan napas (D.0001) diharapkan bersihan jalan napas - Monitor pola napas
membaik (L.01001) dengan kriteria - Monitor bunyi tambahan
hasil :
Teraupeutik :
- Suara napas tambahan
menurun (5)
- Pertahankan kepatenan jalan napas
- Frekuensi napasmembaik (5)
- Lakukan pengisapan lendir
- Berikan oksigen, jika perlu

Kolaborasi :

- Kolabaorasi pemberian obat antibiotik dan


analgesik, jika perlu.
2. Nyeri akut berhubungan dengan Setelah dilakukan tindakan Manajemen nyeri (I.08238)
agen cedera fisik (D.0077) keperawatan selama ...x... jam Observasi :
diharapkan tingkat nyeri membaik - Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi,
(L.08066) dengan kriteria hasil : frekuensi, intensitas nyeri
- Keluhan nyeri menurun (5) - Identifikasi skala nyeri
- Meringis menurun (5)
Kolaborasi : Pemberian analgesik

3. Resiko syok dengan faktor resiko Setelah dilakukan tindakan Pencegahan syok (I.02068)
kekurangan volume cairan keperawatan selama ...x... jam Observasi :
(D.0039) diharapkan tingkat syok membaik - Monitor status cairan
(L.03032) dengan kriteria hasil : - Monitor tingkat kesadaran dan respon
- Kekuatan nadi meningkat (5) pupil
- Saturasi oksigen meningkat(5) Teraupeutik :
- Pucat menurun (5) - Pasang kateter urine untuk menilai
produksi urine, jika perlu.

Kolaborasi :
- Kolaborasi pemberian transfusi darah,jika
perlu.
- Kolaborasi pemberian antiinflamasi, jika
perlu.
Etiologi

Kecelakaan bermotor, kekerasan fisik atau berkelahi, cedera


saat berolahraga, terjatuh, terpeleset dan kecelakaan industri

Fr. Os frontal,
Trauma Wajah Fr. Lantai
orbita, Fr. Gangguan Gangguan
Nasal, pada nervus persepsi sensori
Fr.Nasoethmoi dal, olfactory
Fr. Arcus
Jaringan lunak Jaringan keras MK : Pola
zygomaticum,
Fr.kompleks napas tidak
efektif (D.0005)
Hematoma, lesi pada kulit, zygomaticom
Fr.linear, Fr.basis, SLKI : Pola
pendarahan eksternal maxilla,
Fr.depressed napas (L.01044)
Fr.maxilla Gangguan mengunyah
MK : Nyeri akut (D.0077) SLKI : Fr. Mandibula, SIKI :
Tingkat nyeri (L.08056) SIKI : Terputusnya kontinuitas Fr. alveoly Ketidakmampuan Manajemen
Manajemen nyeri (I.08238) jaringan tulang di daerah memakan makanan jalan napas
wajah (I.01011)
Penumpukan
sekret Penurunan BB dngan
Luka terbuka asupan makanan adekuat

Penurunan
MK : Resiko syok MK : Bersihan jalan napas
kemampuan
(D.0039) SLKI : batuk sekunder tidak efektif (D.0001)
Tingkat syok SLKI : Bersihan jalan
(L.03032) SIKI : napas (L.01001) SIKI :
Pencegahan syok Manajemen jalan napas
(I.02068) (I.01011)
DAFTAR PUSTAKA

Jenifer P, Kowalak. (2017). Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta : EGC.

Amelia K, Yanny T, Siwi I. (2018). Keperawatan Gawat Darurat dan Bencana Sheehy.
Elsevier (Singapore) Pte Ltd.

Amin, H., N.(2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosis Medis dan
Nanda Nic-Noc, Edisi Revisi jilid 1. Jogjakarta : Mediaction.

Dhillon G, Bali R, Sharma P, Ggarg A (2013). A Chomprehensive Study on Maxillofacial


Trauma Conducted inYamunager, India. J Inj Violence Res, 5(2):108-116.

Rahma, Muswita. (2010). Penanganan Kegawatdaruratan Pada Pasien Trauma


Maksilofasial Skripsi FKM-USU. Medan.

Anda mungkin juga menyukai