Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PENDAHULUAN

FRAKTUR CLAVICULA
PRAKTIK KLINIK PROFESI NERS: KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

Disusun Oleh:
Alfrida Widya Pangestika
P27220021273

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


POLTEKKES KEMENKES SURAKARTA
TAHUN AKADEMIK 2021/2022
LAPORAN PENDAHULUAN
FRAKTUR CLAVICULA

A. KONSEP PENYAKIT
1. Definisi
Fraktur merupakan istilah dari hilangnya kontinuitas tulang, tulang
rawan, baik yang bersifat total maupun sebagian. Secara ringkas dan umum,
fraktur adalah patah tulang yang disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik.
Kekuatan dan sudut tenaga fisik, keadaan tulang itu sendiri, serta jaringan
lunak disekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi lengkap
atau tidak lengkap. (Zairin Noor, 2016).
Fraktur klavikula adalah hilangnya kontinuitas tulang klavikula, salah
satu tulang pada sendi bahu. Mekanisme cedera pada fraktur klavikula yang
paling sering adalah jatuh dengan tangan terentang, jatuh bertumpu pada
bahu, atau trauma langsung pada klavikula. Pasien dengan fraktur klavikula
dapat mengeluhkan bengkak dan nyeri pada area klavikula, disertai
penurunan kemampuan menggerakan lengan di sisi yang cedera (Buckley R,
2018).
2. Etiologi
Pada beberapa keadaan, kebanyakan proses fraktur terjadi karena kegagalan
tulang menahan tekanan terutama tekanan membengkok, memutar, dan
tarikan. Trauma muskuloskeletal yang bisa menjadi fraktur dapat dibagi
menjadi trauma langsung dan tidak langsung (Zairin Noor, 2016).
a. Trauma langsung
Trauma langsung menyebabkan tekanan langsung pada tulang dan terjadi
pada daerah tekanan. Fraktur yang terjadi biasanya bersifat kuminitif dan
jaringan lunak ikut mengalami kerusakan (Zairin Noor, 2016).
b. Trauma tidak langsung
Trauma tidak langsung merupakan suatu kondisi trauma dihantarkan ke
daerah yang lebih jauh dari daerah fraktur. Misalnya, jatuh dengan
ekstensi dapat menyebaban fraktur pada klavikula. Pada keadaan ini
biasanya jaringan lunak tetap utuh (Zairin Noor,2016).
Fraktur juga bisa terjadi akibat adanya tekanan yang berlebih dibandingkan
kemampuan tulang dalam menahan tekanan. Tekanan yang terjadi pada
tulang dapat berupa halhal berikut :
a. Tekanan berputar yang menyebabkan fraktur bersifat spiral atau oblik.
b. Tekanan membengkok yang menyebabkan fraktur transversal.
c. Tekanan sepanjang aksis tulang yang dapat menyebabkan fraktur
impaksi, dislokasi, atau fraktur dislokasi.
d. Kompresi vertikal dapat menyebabkan fraktur kominutif atau memecah,
misalnya pada badan vertebra, talus, atau fraktur buckle pada anak-anak.
e. Fraktur remuk (brust fracture).
f. Trauma karena tarikan pada ligamen atau tendon akan menarik sebagian
tulang (Zairin Noor, 2016).

3. Patofisiologi dan Pathway


Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya
pegas untuk menahan. Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih
besar dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang
yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang. Setelah
terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam korteks,
marrow, dan jaringan lunak yang membngkus tulang rusak. Perdarahan
terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga
medula tulang. Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang
patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon
inflamasi yang di tandai dengan vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit,
dan infiltrasi sel darah putih. Kejadian inilah yang merupakan dasar dari
proses penyembuhan tulang nantinya (Zairin Noor, 2016).
Keparahan dari fraktur bergantung pada gaya yang menyebabkan fraktur.
Jika ambang fraktur suatu tulang hanya sedikit terlewati, maka tulang
mungkin hanya retak saja bukan patah. Jika gayanya sangat ekstrem, seperti
tabrakan mobil, maka tulang dapat pecah berkeping-keping. Saat terjadi
fraktur, otot yang melekat pada ujung tulang dapat terganggu. Otot dapat
mengalami spasme dan menarik fragmen fraktur keluar posisi. Kelompok
otot yang besar dapat menciptakan spasme yang kuat bahkan mampu
menggeser tulang besar, seperti femur. Walaupun 10 bagian proksimal dari
tulang patah tetap pada tempatnya, namun bagian distal dapat bergeser
karena faktor penyebab patah maupun spasme pada otot-otot sekitar.
Fragmen fraktur dapat bergeser ke samping, pada suatu sudut (membentuk
sudut), atau menimpa segmen tulang lain. Fragmen juga dapat berotasi atau
berpindah (Black dan Hawks, 2016).
Selain itu, periosteum dan pembuluh darah di korteks serta sumsum dari
tulang yang patah juga terganggu sehingga dapat menyebabkan sering terjadi
cedera jaringan lunak. Perdarahan terjadi karena cedera jaringan lunak atau
cedera pada tulang itu sendiri. Pada saluran sumsum (medula), hematoma
terjadi diantara fragmen-fragmen tulang dan dibawah periosteum. Jaringan
tulang disekitar lokasi fraktur akan mati dan menciptakan respon peradangan
yang hebat sehingga akan terjadi vasodilatasi, edema, nyeri, kehilangan
fungsi, eksudasi plasma dan leukosit. Respon patofisiologis juga merupakan
tahap penyembuhan tulang (Black dan Hawks, 2016).
Pathway

Tekanan langsung / tidak langsung pada clavicula

FRAKTUR CLAVICULA

Kerusakan fragmen tulang/ cedera jaringan tulang Nyeri akut

Perubahan jaringan Pembuluh darah Tindakan operasi ORIF


sekitar (kulit, otot, vena / arteri terputus
tulang, & syaraf)
Luka terbuka (pasang
Perdarahan
pen, plat, kawat)
Luka laserasi / Pergeseran tulang
kerusakan kulit (deformitas)
Pengumpulan Luka operasi
darah (terputusnya
Gangguan Ekstremitas atas (hematom), kontinuitas jaringan)
integritas kulit tidak dapat Hb↓, Ht↓
berfungsi dengan
baik
Dilatasi Risiko Nyeri akut
pembuluh infeksi
Gangguan kapiler (tekanan
mobilitas fisik kapiler otot ↑)

Histamin menstimulasi otot


(spasme otot) → vaskon
pembuluh

Metabolisme anaerob
(ATP↓) → penumpukan asam
laktat

Keletihan

Sumber: Zairin Noor (2016)


4. Manifestasi Klinik
Menurut Black dan Hawks (2014, dalam Widiyawaiti et al., 2018)
manifestasi klinis pada fraktur yaitu:
a. Deformitas
b. Pembengkakan
c. Memar
d. Spasme otot
e. Nyeri
f. Ketengangan
g. Kehilangan fungsi
h. Gerakan abnormal dan krepitasi
i. Perubahan neurovaskular
j. Syok

5. Penatalaksanaan
Penatalaksaan fraktur dibagi menjadi 2 yaitu penatalaksanaan secara medis
dan keperawatan (Istianah, 2017):
a. Penatalaksanaan Medis
1) Diagnosis dan penilaian fraktur
Anamnesis pemeriksaan klinis dan radiologi dilakukan dilakukan
untuk mengetahui dan menilai keadaan fraktur. Pada awal
pengobatan perlu diperhatikan lokasi fraktur, bentuk fraktur,
menentukan teknik yang sesuai untuk pengobatan komplikasi yang
mungkin terjadi selama pengobatan.
2) Reduksi
Tujuan dari reduksi untuk mengembalikan panjang dan kesejajaran
garis tulang yang dapat dicapai dengan reduksi terutup atau reduksi
terbuka. Reduksi tertutup dilakukan dengan traksi manual atau
mekanis untuk menarik fraktur kemudian, kemudian memanipulasi
untuk mengembalikan kesejajaran garis normal. Jika reduksi tertutup
gagal atau kurang memuaskan, maka bisa dilakukan reduksi terbuka.
Reduksi terbuka dilakukan dengan menggunakan alat fiksasi internal
untuk mempertahankan posisi sampai penyembuhan tulang menjadi
solid. Alat fiksasi interrnal tersebut antara lain pen, kawat, skrup, dan
plat. Alat-alat tersebut dimasukkan ke dalam fraktur melalui
pembedahan ORIF (Open Reduction Internal Fixation). Pembedahan
terbuka ini akan mengimobilisasi fraktur hingga bagian tulang yang
patah dapat tersambung kembali.
3) Open Reduction Internal Fixation (ORIF)
Open Reduction Internal Fixation (ORIF) adalah suatu jenis operasi
dengan pemasangan internal fiksasi yang dilakukan ketika fraktur
tersebut tidak dapat direduksi secara cukup dengan close reduction,
untuk mempertahankan posisi yang tepat pada fragmen fraktur (John
C. Adams, 1992 dalam Potter & Perry, 2016). Fungsi ORIF untuk
mempertahankan posisi fragmen tulang agar tetap menyatu dan tidak
mengalami pergerakan. Internal fiksasi ini berupa intra medullary
nail, biasanya digunakan untuk fraktur tulang panjang dengan tipe
fraktur transvers. Terdapat indikasi dan kontraindikasi dilakukannya
pembedahan ORIF sebagai berikut:
a) Indikasi tindakan pembedahan ORIF
- Fraktur yang tidak stabil dan jenis fraktur yang apabila
ditangani dengan metode terapi lain, terbukti tidak memberi
hasil yang memuaskan.
- Fraktur leher femoralis, fraktur lengan bawah distal, dan
fraktur intraartikular disertai pergeseran.
- Fraktur avulsi mayor yang disertai oleh gangguan signifikan
pada struktur otot tendon.
b) Kontraindikasi tindakan pembedahan ORIF
- Tulang osteoporotik terlalu rapuh menerima implan
- Jaringan lunak diatasnya berkualitas buruk
- Terdapat infeksi
- Adanya fraktur comminuted yang parah yang menghambat
rekonstruksi.
- Pasien dengan penurunan kesadaran
- Pasien dengan fraktur yang parah dan belum ada penyatuan
tulang
- Pasien yang mengalami kelemahan (malaise)
Pasien yang telah dilakukan tindakan pembedahan ORIF biasanya
mengalami nyeri pada bagian yang dilakukan pembedahan. Terdapat
beberapa cara perawatan post operasi ORIF sebagai berikut:
a) Mempertahankan reduksi dan imobilisasi.
b) Meninggikan bagian yang sakit untuk meminimalkan
pembengkak.
c) Mengontrol kecemasan dan nyeri (biasanya orang yang tingkat
kecemasannya tinggi, akan merespon nyeri dengan berlebihan)
d) Latihan otot
Pergerakan harus tetap dilakukan selama masa imobilisasi tulang,
tujuannya agar otot tidak kaku dan terhindar dari pengecilan
massa otot akibat latihan yang kurang.
e) Memotivasi klien untuk melakukan aktivitas secara bertahap dan
menyarankan keluarga untuk selalu memberikan dukungan
kepada klien.
4) Retensi
Imobilisasi fraktur bertujuan untuk mencegah pergeseran fragmen
dan mencegah pergerakan yang dapat mengancam penyatuan.
Pemasangan plat atau traksi dimaksudkan untuk mempertahankan
reduksi ekstremitas yang mengalami fraktur.
5) Rehabilitasi
Mengembalikan aktivitas fungsional seoptimal mungkin. Setelah
pembedahan, pasien memerlukan bantuan untuk melakukan latihan.
b. Penalataksanaan Keperawatan
Prinsip menangani fraktur adalah mengembalikan posisi patahan
ke posisi semula dan mempertahankan posisi itu selama masa
penyembuhan patah tulang. Cara pertama penangan adalah proteksi saja
tanpa reposisi atau imobilisasi, misalnya menggunakan mitela. Biasanya
dilakukan pada fraktur iga dan fraktur klavikula pada anak. Cara kedua
adalah imobilisasi luar tanpa reposisi, biasanya dilakukan pada patah
tulang tungkai bawah tanpa dislokasi. Cara ketiga adalah reposisi dengan
cara manipulasi yang diikuti dengan imobilisasi, biasanya dilakukan
pada patah tulang radius distal.
Cara keempat adalah reposisi dengan traksi secara terus-menerus
selama masa tertentu. Hal ini dilakukan pada patah tulang yang apabila
direposisi akan terdislokasi di dalam gips. Cara kelima berupa reposisi
yang diikuti dengan imobilisasi dengan fiksasi luar. Cara keenam berupa
reposisi secara nonoperatif diikuti dengan pemasangan fiksator tulang
secara operatif. Cara ketujuh berupa reposisi secara operatif diikuti
dengan fiksasi interna yang biasa disebut dengan ORIF (Open Reduction
Internal Fixation). Cara yang terakhir berupa eksisi fragmen patahan
tulang dengan prostesis.
6. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan untuk menunjang penegakan diagnosa fraktur menurut Hidayat
(2013, dalam Wahyu Nugraha., 2020) sebagai berikut:
a. Pemeriksaan Rongen : Menentukan lokasi / luasnya fraktur / luasnya
trauma, scan tulang, temogram, scan CI : Memperlihatkan fraktur juga
dapat digunakan untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
b. Hitung darah lengkap : HB mungkin meningkat / menurun.
c. Peningkatan jumlah sop adalah respons stress normal setelah trauma.
d. Kreatinin : Trauma otot meningkat beban kreatinin untuk ginjal.
e. Profil koagulasi : Perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah,
transfusi multiple, atau cedera lain.

7. Komplikasi
Secara umum komplikasi fraktur terdiri atas komplikasi awal dan komplikasi
lama (Zairin Noor, 2016) sebagai berikut:
a. Komplikasi Awal
1) Syok
Syok terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya
permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya
oksigenasi. Hal ini biasanay terjadi pada fraktur. Pada beberapa
kondisi tertentu, syok neurogenik sering terjadi pada fraktur femur
karena rasa sakit yang hebat pada pasien.
2) Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai oleh : tidak adanya nadi :
CRT (Cappillary Refil Time) menurun, sianosis bagian distal,
hematoma yang lebar, serta dingin pada ekstremitas yang disebabkan
oleh tindakan emergensy pembidaian, perubahan posisi pada yang
sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan.
3) Sindrom Kompartemen
Sindrom kompartemen adalah suatu kondisi dimana terjadi
terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan
parut akibat suatu pembengkakan dari edema atau perdarahan yang
menekan otot, saraf, dan pembuluh darah. Kondisi sindrom
kompartemen akibat komplikasi fraktur hanya terjadi pada fraktur
yang dekat dengan persendian dan jarang terjadi pada bagian tengah
tulang. Tanda khas untuk sindrom kompartemen adalah 5P : yaitu
pain(nyeri lokal), paralysis (kelumpuhan tungkai), pallor(pucat
bagian distal), parestesia(tidak ada sensasi) dan pullselesness (tidak
ada denyut nadi, perfusi yang tidak baik, dan CRT >3 detik pada
bagian distal kaki).
4) Infeksi
Sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada
trauma orthopedik infeksi dimulai pada kulit (suferpisial) dan masuk
ke dalam. Hal ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi
bisa juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti
pin (ORIF) atau plat.
5) Avaskular Nekrosis
Avaskular nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak
atau terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan diawali
dengan adanya Volkman’s Ischemia.
6) Sindrom Emboli Lemak : Sindrom emboli lemak (flat embolism
syndrom-FES) adalah komplikasi serius yang sering terjadi pada
kasus fraktur tulang panjang.
b. Komplikasi Lama
1) Delayed Union
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai
dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk sembuh atau
tersambung dengan baik.
2) Non-union
Disebut non-union apabila fraktur tidak sembuh dalam waktu antara
6-8 bulan dan tidak terjadi konsolidasi sehingga terdapat
pseudoartrosis (sendi palsu).
3) Mal-union
Mal-union adalah keadaan dimana fraktur sembuh pada saatnya
tetapi terdapat deformitas yang berbentuk angulasi, varus/valgus,
atau menyilang misalnya pada fraktur radius-ulna.

B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


1. Pengkajian
a. Pengumpulan data
1) Identitas
Data klien, mencakup : nama, umur, jenis kelamin, pendidikan,
agama, pekerjaan, suku bangsa, status perkawinan, alamat, diagnosa
medis, No RM, tanggal masuk, tanggal pengkajian, dan ruangan
tempat klien dirawat.
2) Riwayat Kesehatan Klien
Riwayat kesehatan pada klien dengan batu ginjal sebagai berikut :
a) Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus post ORIF adalah rasa
nyeri. Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan
lamanya serangan. Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap
tentang rasa nyeri digunakan :
- Provoking Incident
Apakah ada peristiwa yang menjadi faktor presipitasi nyeri.
- Quality of Pain
Seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan klien.
Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk.
- Region :Radiation, relief
Apakah rasa sakit bisa reda, apakah sakit menjalar atau
menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
- Severity (scale) of Pain
Seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien, bisa
berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan seberapa
jauh rasa sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya.
- Time
Berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah
buruk pada malam hari atau siang hari.
b) Riwayat Kesehatan Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari
fraktur, yang nantinya membantu dalam membuat rencana
tindakan terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi terjadinya
penyakit tersebut sehingga nantinya kronologi terjadinya
penyakit tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan kekuatan
yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena. Selain itu,
dengan mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan bisa
diketahui luka kecelakaan yang lain.
c) Riwayat Kesehatan Yang Lalu
Perlu ditanyakan penyakit-penyakit yang dialami sebelumnya
yang kemungkinan mempunyai hubungan dengan masalah yang
dialami pasien sekarang, seperti apakah pasien pernah mengalami
fraktur atau trauma sebelumnya.
d) Riwayat Kesehatan Keluarga
Penelusuran riwayat keluarga sangat penting, karena berupa
penyakit muskuloskelletal berkaitan dengan kelainan genetik dan
dapat diturunkan. Perlu ditanyakan apakah pada generasi
terdahulu ada yang mengalami keluhan sama dengan keluhan
pasien saat ini.
3) Data Biologis dan Fisiologis
Meliputi hal-hal sebagai berikut :
a) Pola Nutrisi
Dikaji mengenai makanan pokok, frekuensi makan, makanan
pantangan dan nafsu makan, serta diet yang diberikan.
b) Pola Eliminasi
Dikaji mengenai pola BAK dan BAB klien, pada BAK yang
dikaji mengenai frekuensi berkemih, jumlah, warna, bau serta
keluhan saat berkemih, sedangkan pada pola BAB yang dikaji
mengenai frekuensi, konsistensi, warna dan bau serta keluhan-
keluhan yang dirasakan.
c) Pola Istirahat dan Tidur
Dikaji pola tidur klien, mengenai waktu tidur, lama tidur,
kebiasaan mengantar tidur serta kesulitan dalam hal tidur.
d) Pola Aktivitas
Dikaji perubahan pola aktivitas klien.
e) Pola Personal Hygiene
Dikaji kemampuan klien dalam memenuhi kebutuhan personal
hygiene (mandi, oral hygiene, gunting kuku, keramas).
4) Pemeriksaan fisik
a) Sistem Respirasi
Dikaji dengan cara inspeksi, palpasi, auskultasi, perkusi. Dalam
sistem ini perlu dikaji mengenai bentuk hidung, kebersihan,
adanya sekret, adanya pernafasan cuping hidung, bentuk dada,
pergerakan dada, apakah simetris atau tidak, bunyi nafas, adanya
ronchi atau tidak, frekuensi dan irama nafas.
b) Sistem Cardiovaskuler
Dikaji mulai dari warna konjungtiva, warna bibir, tidak ada
peningkatan JVP, peningkatan frekuensi, dan irama denyut nadi,
bunyi jantungtidak disertai suara tambahan, penurunan atau
peningkatan tekanan darah.
c) Sistem Pencernaan
Dikaji mulai dari mulut sampai anus, dalam sistem ini perlu
dikaji adanya stomatitis, caries bau mulut, mukosa mulut, ada
tidaknya pembesaran tonsi, bentu abdomen, adanya massa, pada
auskultasi dapat diperiksa peristaltik usus.
d) Sistem Perkemihan
Dikaji ada tidaknya pembengkakan dan nyeri pada daerah
pinggang, observasi dan palpasi pada daerah abdomen untuk
mengkaji adanya retensi urine, atau ada tidaknya nyeri tekan dan
benjolan serta pengeluaran urine apakah ada nyeri pada waktu
miksi (proses pengeluaran urine) atau tidak.
e) Sistem Neurologi
Secara umum pada pasien yang menjalani Remove of inplate
(ROI) tidak mengalami gangguan, namun gangguan terjadi
dengan adanya nyeri sehingga perlu dikaji tingkat skala (0-10)
serta perlu dikaji tingkat GCS dan pemeriksaan fungsi syaraf
kranial untuk mengidentifikasi kelainan atau komplikasi.
f) Sistem Integumen
Perlu dikaji keaadaan kulit (tugor, kebersihan, pigmentasi, tekstur
dan lesi) serta perlu dikaji kuku dan keadaan rambut sekitar kulit
atau ekstremitas mengidentifikasi adanya udema atau tidak. Pada
klien post Remove of Inplate akan didapatkan kelainan
integument karena adanya luka insisi pada daerah tulang selangka
atau pada daerah operasi, sehingga perlu dikaji ada atau tidaknya
lesi dan kemerahan, pengukuran suhu untuk mengetahui adanya
infeksi.
g) Sistem Endokrin
Dalam sistem ini perlu dikaji adanya pembesaran kelenjar tiroid
dan kelenjar getah bening.
h) Sistem Muskuloskeletal
Perlu dikaji kekuatan otot ekstremitas atas dan bawah. Diperiksa
juga adanya kekuatan pergerakan atau keterbiasaan gerak atau
keterbiasaan gerak, refleks pada ekstremitas atas dan bawah.
Pada klien post Remove of Inplate didapatkan keterbatasan gerak
gerak pada ekstremitas atas dikarenakan luka operasi yang
ditutup dan terpasangnya infus.
i) Sistem Penglihatan
Untuk mengetahui keadaan kesehatan mata harus diperiksa
tentang fungsi penglihatan, kesimetrisan mata kiri dan kanan

2. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik (D.0077)
b. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan
muskuloskeletal (D.0054)
c. Risiko infeksi berhubungan dengan efek prosedur invasif (D.0142)
d. Gangguan integritas kulit/jaringan berhubungan dengan luka laserasi
(D.0129)
e. Keletihan berhubungan dengan metabolisme anaerob menurun (D.0057)

3. Intervensi Keperawatan
Diagnosa
No Tujuan Intervensi
keperawatan
1. Nyeri akut Setelah diberikan Manajemen Nyeri (I.08238)
berhubungan asuhan keperawatan Observasi
dengan agen selama ... x24 jam - Identifikasi karakteristik, lokasi,
pencedera diharapkan nyeri durasi, frekuensi, kualitas, dan
fisiologis berkurang dengan intensitas nyeri
(D.0077) kriteria hasil: - Identifikasi ketidaknyamanan secara
Standar Luaran non verbal
Keperawatan - Identifikasi skala nyeri non verbal
Indonesia (SLKI): Terapeutik
- Keluhan nyeri - Berikan teknik non farmakologis
menurun untuk mengurangi rasa nyeri (napas
- Meringis menurun dalam, kompres hangat/dingin, terapi
- Tekanan darah pijat, aromaterapi, terapi musik)
membaik - Kontrol lingkungan yang
- Frekuensi nadi memperberat rasa nyeri (mis. Suhu
membaik ruangan, pencahayaan, kebisngan)
- Fasilitasi istirahat dan tidur
Edukasi
- Ajarkan teknik nonfarmakologis
untuk mengurangi rasa nyeri
- Jelaskan penyebab, periode, dan
pemicu nyeri
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian analgetik, jika
perlu
2. Gangguan Setelah diberikan Dukungan Mobilisasi
mobilitas fisik asuhan keperawatan Observasi
berhubungan selama … x24 jam, - Identifikasi adanya nyeri atau
dengan gangguan gangguan mobilitas keluhan fisik lainnya
muskuloskeletal fisik meningkat - Identifikasi toleransi fisik melakukan
(D.0054) dengan kriteria hasil: pergerakan
Standar Luaran - Monitor kondisi umum selama
Keperawatan melakukan mobilisasi
Indonesia (SLKI): Terapeutik
- Pergerakan - Fasilitasi aktiitas mobilisasi dengan
ekstremitas alat bantu (mis. Pagar tempat tidur)
meningkat - Libatkan keluarga untuk membantu
- Kekuatan otot klien dalam meningkatkan
meningkat pergerakan
- Rentang gerak Edukasi
(ROM) meningkat - Jelaskan tujuan dan prosedur
- Kelemahan fisik mobilisasi
menurun - Anjurkan mobilisasi dini
- Ajarkan mobilisasi sederhana yang
harus dilakukan (mis. Duduk di
tempat tidur, duduk di sisi tempat
tidur, pindah dari tempat tidur ke
kursi)
3. Risiko infeksi Setelah diberikan Pencegahan Infeksi (I.14539)
berhubungan asuhan keperawatan Observasi
dengan efek selama ... x24 jam - Monitor tanda dan gejala infekso
prosedur invasif diharapkan tidak lokal dan sistemik
(D.0142) terjadi infeksi dengan - Inspeksi kulit dan mukosa terhadap
kriteria hasil: kemerahan
Standar Luaran Terapeutik
Keperawatan - Cuci tangan setiap sebelum dan
Indonesia (SLKI): sesudah tindakan keperawatan
- Demam menurun - Pertahankan teknik aseptik pada
- Nyeri menurun pasien berisiko tinggi
- Kadar sel darah Edukasi
putih membaik - Jelaskan tanda dan gejala infeksi
- Kultur urine - Anjurkan meningkatkan asupan
membaik nutrisi dan cairan
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian imunisasi, jika
perlu
4. Gangguan Setelah diberikan Perawatan luka (I.14564)
integritas asuhan keperawatan Observasi
kulit/jaringan selama ... x24 jam - Monitor karakteristik luka
berhubungan diharapkan integritas - Monitor tanda-tanda infeksi
dengan luka kulit membaik dengan Terapeutik
laserasi kriteria hasil: - Lepaskan balutan dan plester secara
(D.0129) Standar Luaran perlahan
Keperawatan - Cukur rambut di sekitar luka, jika
Indonesia (SLKI): perlu
- Kerusakan - Bersihkan dengan cairan NaCl atau
jaringan menurun pembersih nontoksik, jika perlu
- Kerusakan - Berikan salep yang sesuai ke
lapisan kulit kulit/lesi, jika perlu
menurun - Pasang balutan sesuai jenis luka
- Nyeri menurun - Pertahankan teknik streril saat
- Kemerahan melakukan perawatan luka
menurun - Ganti balutan sesuai jumlah eksudat
- Pigmentasi dan drainage
abnormal - Jadwalkan perubahan posisi setiap 2
menurun jam atau sesuai kondisi pasien
- Suhu membaik - Berikan diet dengan kalori 30-35
kkal/kgBB/hari dan protein 1,25-1,5
g/kgBB/hari
Edukasi
- Jelaskan tanda dan gejala infeksi
- Ajurkan mengonsumsi makanan
tinggi kalori dan protein
- Ajarkan prosedur perawatan luka
secara mandiri
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian antibiotik, jika
perlu
5. Keletihan Setelah diberikan Edukasi Aktivitas / Istirahat
berhubungan asuhan keperawatan ( I.12362)
dengan selama ... x24 jam Observasi
metabolisme diharapkan keletihan - Identifikasi kesiapan dan
anaerob menurun dapat teratasi dengan kemampuan menerima informasi
(D.0057) kriteria hasil: Terapeutik
Standar Luaran - Sediakan materi dan media
Keperawatan pengaturan aktifitas dan istirahat
Indonesia (SLKI): - Jadwalkan pemberian pendidikan
- Kemampuan kesehatan sesuai kesepakatan
melakukan - Berikan kesempatan untuk bertanya
aktivitas rutin Edukasi
meningkat - Jelaskan pentingnya melakukan
- Verbalisasi lelah aktifitas fisik / olahraga secara rutin
menurun - Anjurkan terlibat dalam aktifitas
- Lesu menurun kelompok
- Gangguan - Ajarkan cara mengidentifikasi
konsentrasi kebutuhan istirahat
menurun

4. Evaluasi Keperawatan
Menurut Nurul Sri Wahyuni (2016), evaluasi atau tahap penilaian adalah
perbandingan sistematis dan terencana tentang kesehatan klien dengan
tujuan yang telah ditetapkan, dilakukan dengan cara bersambungan dengan
melibatkan klien, keluarga dan tenaga kesehatannya. Format yang dipakai
adalah format SOAP :
S : Data Subjektif Perkembangan keadaan yang didasarkan pada apa yang
dirasakan, dikeluhkan, dan dikemukakan klien.
O : Data Objektif Perkembangan yang bisa diamati dan diukur oleh perawat
atau tim kesehatan lain.
A : Analisis Penilaian dari kedua jenis data (baik subjektif maupun objektif)
apakah berkembang ke arah kebaikan atau kemunduran.
P : Perencanaan Rencana penanganan klien yang didasarkan pada hasil
analisis diatas yang berisi melanjutkan perencanaan sebelumnya apabila
keadaan atau masalah belum teratasi.
DAFTAR PUSTAKA

A Potter,& Perry AG. (2016). Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses,
dan Praktik. 4th ed. EGC: Jakarta.

Black, J.M., & Hawks, J.H. (2016). Keperawatan Medikal Bedah: Manajemen Klinis
Untuk Hasil Yang Diharapkan. Jakarta: Salemba Medika.

Buckley R. General Principles Of Fracture Care. Medscape. 2018. (online:


https://Emedicine.Medscape.Com/Article/1270717-Overview#A4)

Istianah, Umi. (2017). Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem


Muskuloskeletal. Yogyakarta: Pustaka Baru Press.

PPNI, T. P. (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi Dan Indikator


Diagnostik. Jakarta Selatan: Dewan Pengurus Pusat PPNI.

PPNI, T. P. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia : Definisi Dan Tindakan


Keperawatan. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat PPNI.

PPNI, T. P. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia : Definisi Dan Kriteria


Hasil Keperawatan. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat PPNI.

Purwanto, H. (2016). Keperawatan Medikal Bedah II. Jakarta Selatan: PPSDM

Wahyudi Nugraha, A. N. D. I. N. A. (2020). Asuhan Keperawatan Pada Klien Post


Remove Of Inplate Union Fraktur Clavikula Dengan Nyeri Akut Di
Ruangan Wijaya Kusuma 1 Rumah Sakit Umum Daerah Ciamis.

Widiyawati, Andani And Maryana, And Ida Mardalena, (2018) Penerapan Mobilisasi
Dini Pada Asuhan Keperawatan Pasien Post Operasi Fraktur Femur Dengan
Gangguan Pemenuhan Kebutuhan Aktivitas Di Rsud Sleman. Skripsi
Thesis, Poltekkes Kemenkes Yogyakarta.

Zairin Noor. (2016). Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal (Edisi 2). Jakarta: Salemba
Medika.

Anda mungkin juga menyukai