I DENGAN DIAGNOSA
KEPERAWATAN CEDERA OTAK RINGAN (COR)
DI IRNA 2 RSUA SURABAYA
OLEH:
AYUYUS KAHARAP
NIM. 2012.C.04a.0349
2. Klasifikasi
Reimer (dalam Barbara (1999)), mengklasifikasikan cidera kepala akut
sebagai berikut:
a) Keadaan kulit kepala dan tulang tengkorak:
1) Trauma kepala tertutup
Keadaan truma kepala tertutup dapat mengakibatkan kondisi
komosio, kontusio, epidura hematoma, subdural hematoma,
intrakranial hematoma.
2) Trauma kepala terbuka
Kerusakan otak dapat terjadi bila tulang tengkorak masuk dalam
jaringan otak dna melukai atau merobek dura mater dan
menyebabkan Cairan Serebro Spinal (CSS) merembes, serta terjadi
kerusakan syaraf otak dan jaringan otak.
b) Trauma pada jaringan otak:
1) Konkusio (ditandai dengan adanya kehilangan kesadaran sementara
tanpa adanya kerusakan jaringan otak, dan terjadi edema serebral).
2) Kontusio (ditandai leh adanya perlukaan pada permukaan jaringan
otak yang menyebabkan perdarahan pada area yang terluka,
perlukaan pada permukaan jaringan otak ini dapat terjadi pada sisi
yang terkena (coup) atau pada sisi yang berlawanan (contra coup)
3) Laserasi (ditandai oleh adanya perdarahan ke ruang sub arakhnoid,
ruang epidural atau sub dural).
4. Patofisiologi
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu
cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada
kepala sebagai akibat langsung dari trauma, dapat disebabkan benturan
langsung kepala dengan suatu benda keras maupun oleh proses akselarasi-
deselarasi gerakan kepala (Gennarelli, 1996). Dalam mekanisme cedera
kepala dapat terjadi peristiwa coup dan contrecoup. Cedera primer yang
diakibatkan oleh adanya benturan pada tulang tengkorak dan daerah
sekitarnya disebut lesi coup. Pada daerah yang berlawanan dengan tempat
benturan akan terjadi lesi yang disebut contrecoup (Perdosi, 2007).
Akselarasi-deselarasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara
mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang
tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semisolid) menyebabkan
tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intrakranialnya. Bergeraknya
isi dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam
tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan (contrecoup)
(Hickey, 2003).
Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses
patologis yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer,
berupa perdarahan, edema otak, kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia,
peningkatan tekanan intrakranial dan perubahan neurokimiawi.
6. Komplikasi
Komplikasi yang muncul dari CKR yaitu dapat menyebabkan kemunduran
pada kondisi pasien karena perluasan hematoma intrakranial, edema
serebral progressif dan herniasi otak. Edema serebral adalah penyebab
paling umum dari peningkatan tekanan intrakranial pada pasien yang
mendapat cedera kepala.
Komplikasi lain yaitu defisit neurologi dan psikologi (tidak dapat
mencium bau-bauan, abnormalitas gerakan mata, afasia, defek memori dan
epilepsi) (Brunner & Suddarth, 2002).
7. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan cedera kepala sesuai dengan tingkat keparahannya,
berupa cedera kepala ringan, sedang, atau berat. Tidak semua pasien
cedera kepala perlu di rawat inap di rumah sakit. Indikasi rawat antara
lain:
a) Amnesia posttraumatika jelas (lebih dari 1 jam)
b) Riwayat kehilangan kesadaran (lebih dari 15 menit)
c) Penurunan tingkat kesadaran
d) Nyeri kepala sedang hingga berat
e) Intoksikasi alkohol atau obat
f) Fraktura tengkorak
g) Kebocoran CSS, otorrhea atau rhinorrhea
h) Cedera penyerta yang jelas
i) Tidak punya orang serumah yang dapat dipertanggungjawabkan
j) CT scan abnormal
Prinsip penanganan awal pada pasien cedera kepala meliputi survei primer
dan survei sekunder. Dalam penatalaksanaan survei primer hal-hal yang
diprioritaskan antara lain airway, breathing, circulation, disability, dan
exposure, yang kemudian dilanjutkan dengan resusitasi. Pada penderita
cedera kepala khususnya dengan cedera kepala berat survei primer
sangatlah penting untuk mencegah cedera otak sekunder dan mencegah
homeostasis otak.
Indikasi untuk tindakan operatif pada kasus cedera kepala ditentukan oleh
kondisi klinis pasien, temuan neuroradiologi dan patofisiologi dari lesi.
Secara umum digunakan panduan sebagai berikut :
a) volume masa hematom mencapai lebih dari 40 ml di daerah
supratentorial atau lebih dari 20 cc di daerah infratentorial
b) kondisi pasien yang semula sadar semakin memburuk secara klinis,
serta gejala dan tanda fokal neurologis semakin berat
c) terjadi gejala sakit kepala, mual, dan muntah yang semakin hebat
d) pendorongan garis tengah sampai lebih dari 3 mm
e) terjadi kenaikan tekanan intrakranial lebih dari 25 mmHg.
f) terjadi penambahan ukuran hematom pada pemeriksaan ulang CT scan
g) terjadi gejala akan terjadi herniasi otak
h) terjadi kompresi / obliterasi sisterna basalis
Kontusio ringan atau sedang biasanya diterapi dengan observasi dan tirah
baring. Mungkin diperlukan ligasi pembuluh darah yang pecah dan
evakuasi hematoma searah bedah.
8. Pemeriksaan diagnostik
Pemeriksaan diagnostik tengkorak dengan sinar X dapat mengidentifikasi
lokasi fraktur atau hematoma. CT Scan atau MRI dapat dengan cermat
menentukan letak dan luas cedera. (Elizabeth, J. 2001).
Pemeriksaan radiologis yang paling sering dan mudah dilakukan adalah
rontgen kepala yang dilakukan dalam dua posisi, yaitu anteroposterior dan
lateral. Idealnya penderita cedera kepala diperiksa dengan CT Scan,
terutama bila dijumpai adanya kehilangan kesadaran yang cukup
bermakna, amnesia, atau sakit kepala hebat. Indikasi pemeriksaan CT Scan
pada kasus cedera kepala adalah :
a) bila secara klinis (penilaian GCS) didapatkan klasifikasi cedera kepala
sedang dan berat.
b) cedera kepala ringan yang disertai fraktur tengkorak
c) adanya kecurigaan dan tanda terjadinya fraktur basis kranii
d) adanya defisit neurologi, seperti kejang dan penurunan gangguan
kesadaran
e) sakit kepala yang hebat
f) adanya tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial atau herniasi
jaringan otak
g) kesulitan dalam mengeliminasi kemungkinan perdarahan intraserebral.
Gambar 1. Glasgow Coma Scale
PATHWAYS
Trauma langsung (jatuh,
kecelakaan)
Cidera kepala
Perdarahan intrakranial
hematoma
Peningkatan TIK
Aliran darah ke otak
Rangsangan saraf simpatis terganggu
ketegangan
Herniasi ulkus
Mesensefalon terktekan
2. Diagnosa keperawatan
a. Ketidakefektifan perfusi jaringan: serebral berhubungan dengan
penghentian aliran darah (hemoragi, hematoma)
b. Nyeri akut berhubungan dengan adanya laserasi pada kepala
c. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan output yang
berlebihan
d. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan kerusakan
neuromuskuler akibat cedera kepala.
3. Rencana Asuhan Keperawatan
1. Ketidakefektifan perfusi jaringan: serebral berhubungan dengan
penghentian aliran darah (hemoragi, hematoma)
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 324 jam pasien akan dapat
Mempertahankan tingkat kesadarannya, kognisi, dan fungsi
motorik/sensoriknya.
Kriteria Hasil:
Tanda-tanda vital stabil
Tidak ada tanda peningkatan TIK
Intervensi Rasional
Tentukan faktor-faktor yg Penurunan tanda/gejala neurologis atau
menyebabkan koma/penurunan perfusi kegagalan dalam pemulihannya setelah
jaringan otak dan potensial peningkatan serangan awal, menunjukkan perlunya
TIK. pasien dirawat di perawatan intensif.
Evaluasi keadaan pupil, ukuran, Reaksi pupil diatur oleh saraf cranial
kesamaan antara kiri dan kanan, reaksi okulomotor (III) berguna untuk
terhadap cahaya. menentukan apakah batang otak masih
baik. Ukuran/ kesamaan ditentukan
oleh keseimbangan antara persarafan
simpatis dan parasimpatis. Respon
terhadap cahaya mencerminkan fungsi
yang terkombinasi dari saraf kranial
optikus (II) dan okulomotor (III).
Batasi pemberian cairan sesuai indikasi. Gangguan ini dapat mengarahkan pada
Berikan oksigen tambahan sesuai masalah hipotermia atau pelebaran
indikasi. pembuluh darah yang akhirnya akan
berpengaruh negatif terhadap tekanan
serebral.
Ajarkan teknik pengalihan nyeri sesuai Mengatasi nyeri dengan terapi non
dengan kebutuhan farmakologi.
kaji out put dan in put cairan untuk mengetahui keseimbangan cairan
pasien, dan mengetahui intake yang
diperlukan
Anjurkan pada pasien untuk minum pengganti cairan yang hilang, dan
setiap setelah muntah memenuhi kebutuhan cairan pasien
5. Evaluasi Keperawatan.
Evaluasi merupakan proses keperawatan dimana tahap keberhasilan dalam
pencapaian tujuan keperawatan dinilai untuk memodifikasi tujuan atau intervensi
keperawatan yang ditetapkan. Evaluasi dalam proses keperawatan terbagi menjadi
dua yaitu evaluasi sumatif dan evaluasi formatif. Evaluasi sumatif adalah evaluasi
yang dibuat setelah beberapa tujuan dan masalah yang ada pada klien tercapai
atau teratasi. Sedangkan evaluasi formatif adalah evaluasi yang dilakukan secara
terus-menerus untuk menilai kemampuan klien dalam mencapai tujuan.
DAFTAR PUSTAKA
Bauhgman, Diane C., & Hackley. Joann C. 2000. Keperawatan Medikal Bedah,
Buku Saku Untuk Brunner Dan Suddarth. Jakarta: EGC.
Brunner & Suddarth, 2002. Buku Ajar keperawatan Medikal Bedah. Jakarta:EGC.
Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan
Sistem Persarafan. Jakarta: Salmeba Medika.
Gennarelli TA, Meaney DF. 1996. Mechanism of Primary Head Injury. Dalam:
Neurosurgery 2nd edition. New York : McGraw Hill.