Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PENDAHULUAN PADA Nn.

I DENGAN DIAGNOSA
KEPERAWATAN CEDERA OTAK RINGAN (COR)
DI IRNA 2 RSUA SURABAYA

STASE KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH I

OLEH:
AYUYUS KAHARAP
NIM. 2012.C.04a.0349

YAYASAN EKA HARAP PALANGKA RAYA


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI PROFESI NERS
TAHUN AJARAN 2016-2017
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN
DENGAN CIDERA OTAK RINGAN (COR)

A. CIDERA OTAK RINGAN


1. Definisi
Trauma atatu cidera kepala dapat dikenal juga sebagai cidera otak adalah
gangguan fungs normal otak karea trauma baik trauma tumpul ataupun
trauma tajam (Batticaca, 2008). Cedera kepala adalah cedera yang dapat
mengakibatkan kerusakan otak akibat perdarahan dan pembengkakan otak
sebagai respon terhadap cedera dan penyebab peningkatan tekanan intra
kranial (TIK). (Smeltzer & Bare, 2002).
Cidera otak ringan merupakan suatu kondisi dimana terjadi kehilangan
fungsi neurologis sementara dan tanpa adanya kerusakan struktur
(Batticaca, 2008).

2. Klasifikasi
Reimer (dalam Barbara (1999)), mengklasifikasikan cidera kepala akut
sebagai berikut:
a) Keadaan kulit kepala dan tulang tengkorak:
1) Trauma kepala tertutup
Keadaan truma kepala tertutup dapat mengakibatkan kondisi
komosio, kontusio, epidura hematoma, subdural hematoma,
intrakranial hematoma.
2) Trauma kepala terbuka
Kerusakan otak dapat terjadi bila tulang tengkorak masuk dalam
jaringan otak dna melukai atau merobek dura mater dan
menyebabkan Cairan Serebro Spinal (CSS) merembes, serta terjadi
kerusakan syaraf otak dan jaringan otak.
b) Trauma pada jaringan otak:
1) Konkusio (ditandai dengan adanya kehilangan kesadaran sementara
tanpa adanya kerusakan jaringan otak, dan terjadi edema serebral).
2) Kontusio (ditandai leh adanya perlukaan pada permukaan jaringan
otak yang menyebabkan perdarahan pada area yang terluka,
perlukaan pada permukaan jaringan otak ini dapat terjadi pada sisi
yang terkena (coup) atau pada sisi yang berlawanan (contra coup)
3) Laserasi (ditandai oleh adanya perdarahan ke ruang sub arakhnoid,
ruang epidural atau sub dural).

Berdasarkan hasil pemeriksaan GCS atau berta ringannya cidera kepala,


Cidera kepala dibagi menjadi 3, yaitu:
a) Cidera kepala ringan, bila GCS: 13-15;
b) Cidera kepala sedang, bila GCS 9-12;
c) Cidera kepala berat, bila GCS kurang atau sama dengan 8.

Berdasarkan morfologinya cidera kepala dibagi menjadi:


a) Fraktura tengkorak
1) Kalvaria
 Linear atau stelata
 Depressed atau nondepressed
 Terbuka atau tertutup
2) Dasar tengkorak
 Dengan atau tanpa kebocoran CNS
 Dengan atau tanpa paresis N VII
b) Lesi intrakranial
1) Fokal
 Epidural
 Subdural
 Intraserebral
2) Difusa
 Komosio ringan
 Komosio klasik
 Cedera aksonal difusa
3. Etiologi
Menurut Corwin (2001), penyebab dari cedera kepala adalah kecelakaan
lalu lintas, perkelahian, jatuh dan cedera olah raga. Cedera kepala terbuka
sering disebabkan oleh peluru atau pisau.
Kecelakaan,jatuh, kecelakaan kendaraan motor atau sepeda, dan mobil.
Kecelakaan pada saat olah raga, anak dengan ketergantungan, dan dapat
terjadi pada anak yang cedera akibat kekerasan, (Suriadi & Yuliani 2001).
Cidera kepala tumpul dapat terjadi karena adanya kecelakaan dengan
kecepatan tinggi misalnya kecelakaan bemotor, kecepatan rendah biasanya
terjadi akibat jatuh dari ketinggian, dipukul dengan benda tumpul. Cidera
kepala tembus dapat disebabkan oleh peluru, tusukan.
Adanya penetrasi selaput dura menentukan apakan suatu cedera termasuh
cidera tembus ataupun cidera tumpul.

4. Patofisiologi
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu
cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada
kepala sebagai akibat langsung dari trauma, dapat disebabkan benturan
langsung kepala dengan suatu benda keras maupun oleh proses akselarasi-
deselarasi gerakan kepala (Gennarelli, 1996). Dalam mekanisme cedera
kepala dapat terjadi peristiwa coup dan contrecoup. Cedera primer yang
diakibatkan oleh adanya benturan pada tulang tengkorak dan daerah
sekitarnya disebut lesi coup. Pada daerah yang berlawanan dengan tempat
benturan akan terjadi lesi yang disebut contrecoup (Perdosi, 2007).
Akselarasi-deselarasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara
mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang
tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semisolid) menyebabkan
tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intrakranialnya. Bergeraknya
isi dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam
tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan (contrecoup)
(Hickey, 2003).
Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses
patologis yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer,
berupa perdarahan, edema otak, kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia,
peningkatan tekanan intrakranial dan perubahan neurokimiawi.

5. Tanda dan gejala


Konkusio otak setelah cidera kepala adalah kehilangan fungsi neurologis
sementara tanpa adanya kerusakan struktural, umumnya terjadi periode
ketidaksadaran yang bersangsung beberapa detik sampai beberapa menit.
Getaran otak mungkin sangat ringan sehingga hanya manyababakan
pusing dan mata berkunang-kunang. Jika mengenai lobus frontalis pasien
mungkin menunjukkan perilaku kacau (bizare) irasional. Jika terkena
lobus temporalis, pasien akan menunjukkan amnesia temporee atau
disorientasi (Baughman & Hackley, 2000).
Pada cidera kepala ringan terdapat tanda dan gejala yang mungkin muncul,
antara lain (Muttaqin, 2008) :
a) Disfungsi neurologis sementara dan dapat pulih kembal
b) Hilang kesadaran sementara, krang lebih 10-20 menit, beberapa
literatur menyebutkan sampai 30 menit
c) Nteri kepala
d) Pusing
e) Muntah
f) Disorientasi sementara
g) Tidak ada gejala sisa

6. Komplikasi
Komplikasi yang muncul dari CKR yaitu dapat menyebabkan kemunduran
pada kondisi pasien karena perluasan hematoma intrakranial, edema
serebral progressif dan herniasi otak. Edema serebral adalah penyebab
paling umum dari peningkatan tekanan intrakranial pada pasien yang
mendapat cedera kepala.
Komplikasi lain yaitu defisit neurologi dan psikologi (tidak dapat
mencium bau-bauan, abnormalitas gerakan mata, afasia, defek memori dan
epilepsi) (Brunner & Suddarth, 2002).

7. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan cedera kepala sesuai dengan tingkat keparahannya,
berupa cedera kepala ringan, sedang, atau berat. Tidak semua pasien
cedera kepala perlu di rawat inap di rumah sakit. Indikasi rawat antara
lain:
a) Amnesia posttraumatika jelas (lebih dari 1 jam)
b) Riwayat kehilangan kesadaran (lebih dari 15 menit)
c) Penurunan tingkat kesadaran
d) Nyeri kepala sedang hingga berat
e) Intoksikasi alkohol atau obat
f) Fraktura tengkorak
g) Kebocoran CSS, otorrhea atau rhinorrhea
h) Cedera penyerta yang jelas
i) Tidak punya orang serumah yang dapat dipertanggungjawabkan
j) CT scan abnormal
Prinsip penanganan awal pada pasien cedera kepala meliputi survei primer
dan survei sekunder. Dalam penatalaksanaan survei primer hal-hal yang
diprioritaskan antara lain airway, breathing, circulation, disability, dan
exposure, yang kemudian dilanjutkan dengan resusitasi. Pada penderita
cedera kepala khususnya dengan cedera kepala berat survei primer
sangatlah penting untuk mencegah cedera otak sekunder dan mencegah
homeostasis otak.
Indikasi untuk tindakan operatif pada kasus cedera kepala ditentukan oleh
kondisi klinis pasien, temuan neuroradiologi dan patofisiologi dari lesi.
Secara umum digunakan panduan sebagai berikut :
a) volume masa hematom mencapai lebih dari 40 ml di daerah
supratentorial atau lebih dari 20 cc di daerah infratentorial
b) kondisi pasien yang semula sadar semakin memburuk secara klinis,
serta gejala dan tanda fokal neurologis semakin berat
c) terjadi gejala sakit kepala, mual, dan muntah yang semakin hebat
d) pendorongan garis tengah sampai lebih dari 3 mm
e) terjadi kenaikan tekanan intrakranial lebih dari 25 mmHg.
f) terjadi penambahan ukuran hematom pada pemeriksaan ulang CT scan
g) terjadi gejala akan terjadi herniasi otak
h) terjadi kompresi / obliterasi sisterna basalis
Kontusio ringan atau sedang biasanya diterapi dengan observasi dan tirah
baring. Mungkin diperlukan ligasi pembuluh darah yang pecah dan
evakuasi hematoma searah bedah.

8. Pemeriksaan diagnostik
Pemeriksaan diagnostik tengkorak dengan sinar X dapat mengidentifikasi
lokasi fraktur atau hematoma. CT Scan atau MRI dapat dengan cermat
menentukan letak dan luas cedera. (Elizabeth, J. 2001).
Pemeriksaan radiologis yang paling sering dan mudah dilakukan adalah
rontgen kepala yang dilakukan dalam dua posisi, yaitu anteroposterior dan
lateral. Idealnya penderita cedera kepala diperiksa dengan CT Scan,
terutama bila dijumpai adanya kehilangan kesadaran yang cukup
bermakna, amnesia, atau sakit kepala hebat. Indikasi pemeriksaan CT Scan
pada kasus cedera kepala adalah :
a) bila secara klinis (penilaian GCS) didapatkan klasifikasi cedera kepala
sedang dan berat.
b) cedera kepala ringan yang disertai fraktur tengkorak
c) adanya kecurigaan dan tanda terjadinya fraktur basis kranii
d) adanya defisit neurologi, seperti kejang dan penurunan gangguan
kesadaran
e) sakit kepala yang hebat
f) adanya tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial atau herniasi
jaringan otak
g) kesulitan dalam mengeliminasi kemungkinan perdarahan intraserebral.
Gambar 1. Glasgow Coma Scale
PATHWAYS
Trauma langsung (jatuh,
kecelakaan)

Benturan pada kepala,


trauma tertutup

Cidera kepala

Perdarahan intrakranial

hematoma

Perubahan sirkulasi CSS Gangguan autoregulasi

Peningkatan TIK
Aliran darah ke otak
Rangsangan saraf simpatis terganggu
ketegangan

Peningkatan seksresi asam


Suplai O2 menurun
lambung Kontraksi otot leher da
kepala

Iritasi lambung Asam laktat meningkat


Tekanan pada serabut saraf
Mual /nausea Oedem otak

Konstriksi pada pembuluh


muntah dash dasar leher
Ketidakefektifan perfusi
jaringan: serebral
Kehilangan cairan secara
Pusing
masiv

Girus medialis lobus


Kekurangan volume cairan Nyeri akut temporalis tergeser

Herniasi ulkus

Mesensefalon terktekan

- Ketidakefektifan pola napas Gangguan kesadaran


ASUHAN KEPERAWATAN
1. Data yang perlu dikaji
a) Breathing (B1)
Kompresi pada batang otak akan mengakibatkan gangguan irama
jantung, sehingga terjadi perubahan pada pola napas, kedalaman,
frekuensi maupun iramanya, bisa berupa Cheyne Stokes atau Ataxia
breathing. Napas berbunyi, stridor, ronkhi, wheezing ( kemungkinana
karena aspirasi), cenderung terjadi peningkatan produksi sputum pada
jalan napas.
b) Blood (B2)
Efek peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanan darah
bervariasi. Tekanan pada pusat vasomotor akan meningkatkan
transmisi rangsangan parasimpatik ke jantung yang akan
mengakibatkan denyut nadi menjadi lambat, merupakan tanda
peningkatan tekanan intrakranial. Perubahan frekuensi jantung
(bradikardia, takikardia yang diselingi dengan bradikardia, disritmia)
c) Brain (B3)
otak akibat cidera kepala. Kehilangan kesadaran sementara, amnesia
seputar kejadian, vertigo, sinkope, tinitus, kehilangan pendengaran,
baal pada ekstrimitas. Bila perdarahan hebat/luas dan mengenai
batang otak akan terjadi gangguan pada nervus cranialis, maka dapat
terjadi :
1) Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian,
konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh emosi/tingkah laku dan
memori).
2) Perubahan dalam penglihatan, seperti ketajamannya, diplopia,
kehilangan sebagian lapang pandang, foto fobia.
3) Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri), deviasi pada
mata.
4) Terjadi penurunan daya pendengaran, keseimbangan tubuh.
5) Sering timbul hiccup/cegukan oleh karena kompresi pada nervus
vagus menyebabkan kompresi spasmodik diafragma.
6) Gangguan nervus hipoglosus. Gangguan yang tampak lidah jatuh
kesalah satu sisi, disfagia, disatria, sehingga kesulitan menelan.
d) Blader (B4)
Pada cidera kepala sering terjadi gangguan berupa retensi, inkontinensia
uri, ketidakmampuan menahan miksi.
e) Bowel (B5)
Terjadi penurunan fungsi pencernaan: bising usus lemah, mual, muntah
(mungkin proyektil), kembung dan mengalami perubahan selera.
Gangguan menelan (disfagia) dan terganggunya proses eliminasi alvi.
f) Bone (B6)
Pasien cidera kepala sering datang dalam keadaan parese, paraplegi.
Pada kondisi yang lama dapat terjadi kontraktur karena imobilisasi dan
dapat pula terjadi spastisitas atau ketidakseimbangan antara otot-otot
antagonis yang terjadi karena rusak atau putusnya hubungan antara
pusat saraf di otak dengan refleks pada spinal selain itu dapat pula
terjadi penurunan tonus otot.

2. Diagnosa keperawatan
a. Ketidakefektifan perfusi jaringan: serebral berhubungan dengan
penghentian aliran darah (hemoragi, hematoma)
b. Nyeri akut berhubungan dengan adanya laserasi pada kepala
c. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan output yang
berlebihan
d. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan kerusakan
neuromuskuler akibat cedera kepala.
3. Rencana Asuhan Keperawatan
1. Ketidakefektifan perfusi jaringan: serebral berhubungan dengan
penghentian aliran darah (hemoragi, hematoma)
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 324 jam pasien akan dapat
Mempertahankan tingkat kesadarannya, kognisi, dan fungsi
motorik/sensoriknya.
Kriteria Hasil:
Tanda-tanda vital stabil
Tidak ada tanda peningkatan TIK
Intervensi Rasional
Tentukan faktor-faktor yg  Penurunan tanda/gejala neurologis atau
menyebabkan koma/penurunan perfusi kegagalan dalam pemulihannya setelah
jaringan otak dan potensial peningkatan serangan awal, menunjukkan perlunya
TIK. pasien dirawat di perawatan intensif.

Pantau /catat status neurologis secara Mengkaji tingkat kesadaran dan


teratur dan bandingkan dengan nilai potensial peningkatan TIK dan
standar GCS. bermanfaat dalam menentukan lokasi,
perluasan dan perkembangan kerusakan
SSP.

Evaluasi keadaan pupil, ukuran, Reaksi pupil diatur oleh saraf cranial
kesamaan antara kiri dan kanan, reaksi okulomotor (III) berguna untuk
terhadap cahaya. menentukan apakah batang otak masih
baik. Ukuran/ kesamaan ditentukan
oleh keseimbangan antara persarafan
simpatis dan parasimpatis. Respon
terhadap cahaya mencerminkan fungsi
yang terkombinasi dari saraf kranial
optikus (II) dan okulomotor (III).

Pantau tanda-tanda vital: TD, nadi, Peningkatan TD sistemik yang diikuti


frekuensi nafas, suhu. oleh penurunan TD diastolik (nadi yang
membesar) merupakan tanda terjadinya
peningkatan TIK, jika diikuti oleh
penurunan kesadaran.

Pantau intake dan out put, turgor kulit Hipovolemia/hipertensi dapat


dan membran mukosa. mengakibatkan kerusakan/iskhemia
cerebral. Demam dapat mencerminkan
kerusakan pada hipotalamus.

Turunkan stimulasi eksternal dan Peningkatan kebutuhan metabolisme


berikan kenyamanan, seperti dan konsumsi oksigen terjadi (terutama
lingkungan yang tenang. saat demam dan menggigil) yang
selanjutnya menyebabkan peningkatan
TIK.

Bantu pasien untuk menghindari Bermanfaat sebagai indikator dari


/membatasi batuk, muntah, mengejan. cairan total tubuh yang terintegrasi
dengan perfusi jaringan.
Tinggikan kepala pasien 15-45 derajad Iskemia/trauma serebral dapat
sesuai indikasi/yang dapat ditoleransi. mengakibatkan diabetes insipidus.

Batasi pemberian cairan sesuai indikasi. Gangguan ini dapat mengarahkan pada
Berikan oksigen tambahan sesuai masalah hipotermia atau pelebaran
indikasi. pembuluh darah yang akhirnya akan
berpengaruh negatif terhadap tekanan
serebral.

Berikan obat sesuai indikasi, misal: Memberikan efek ketenangan,


diuretik, steroid, antikonvulsan, menurunkan reaksi fisiologis tubuh dan
analgetik, sedatif, antipiretik. meningkatkan istirahat untuk
mempertahankan atau menurunkan
TIK.
Aktivitas ini akan meningkatkan
tekanan intrathorak dan intraabdomen
yang dapat meningkatkan TIK.
Meningkatkan aliran balik vena dari
kepala sehingga akan mengurangi
kongesti dan oedema atau resiko
terjadinya peningkatan TIK.
Pembatasan cairan diperlukan untuk
menurunkan edema serebral,
meminimalkan fluktuasi aliran vaskuler
TD dan TIK.
Menurunkan hipoksemia, yang mana
dapat meningkatkan vasodilatasi dan
volume darah serebral yang
meningkatkan TIK.
Diuretik digunakan pada fase akut
untuk menurunkan air dari sel otak,
menurunkan edema otak dan TIK,.
Steroid menurunkan inflamasi, yang
selanjutnya menurunkan edema
jaringan. Antikonvulsan untuk
mengatasi dan mencegah terjadinya
aktifitas kejang. Analgesik untuk
menghilangkan nyeri . Sedatif
digunakan untuk mengendalikan
kegelisahan, agitasi. Antipiretik
menurunkan atau mengendalikan
demam yang mempunyai pengaruh
meningkatkan metabolisme serebral
atau peningkatan kebutuhan terhadap
oksigen.
2. Nyeri akut berhubungan dengan adanya laserasi pada kepala
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam pasien akan dapat
mengurangai penyebab nyeri yang dirasakan.
Kriteria Hasil:
Penurunan skala nyeri
Mengetahui penyebab nyeri
Mengetahi teknik pengalihan nyeri
Intervensi Rasional
Kaji skala nyeri pasien Menentukan penurunan atau
peningkatan pada evaluasi tindakan
selanjutnya

Kaji penyebab, lokasi, lama timbulnya Mengetahui penyebab nyeri yang


nyeri dialami pasien

Jelaskan penyebab nyeri yang dialami Memberikan informasi pada pasien


pasien terkait kondisinya saat ini

Ajarkan teknik pengalihan nyeri sesuai Mengatasi nyeri dengan terapi non
dengan kebutuhan farmakologi.

Kolaborasikan dengan dokter untuk Nyeri kepala ada beberapa macam


pemberian terapi farmakologi sesuai jenis, dan mempunyai penangan
dengan gejala yang timbul farmakaologi yang berbeda-beda.

3. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan output yang berlebihan


Tujuan:
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 1x24 jam diharapkan
kebutuhan cairan terpenuhi
Kriteria hasil:
kebutuhan cairan pasien tepenuhi dan asupan cairan pasien terpenuhi.
Intervensi Rasional
Jelaskan tindakan yang akan dilakukan Agar pasien mengerti semua tindakan
yang akan dilakukan

kaji out put dan in put cairan untuk mengetahui keseimbangan cairan
pasien, dan mengetahui intake yang
diperlukan
Anjurkan pada pasien untuk minum pengganti cairan yang hilang, dan
setiap setelah muntah memenuhi kebutuhan cairan pasien

Observasi TTV mengetahui kondisi umum pasien

Kolaborasi dengan dokter untuk kolaborasi tentang pemberian cairan


pemberian terapi farmakologi intravena yang tepat

4. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler


akibat cedera kepala.
Tujuan:
Setelah dilakukantindakan keperawatan selama 3x24 jam pasien akan dapat
mempertahankan pola napasnya secara efektif.
Kritera Hasil:
Sianosis (-)
RR dalam batas normal
Retraksi dada (-)
Pernapasan cuping hidung (-)
Intervensi Kriteria Hasil
Pantau frekuensi, irama, kedalaman Perubahan dapat menandakan awitan
pernapasan. Catat ketidakteraturan komplikasi pulmonal atau menandakan
pernapasan. lokasi/luasnya keterlibatan otak.
Pernapasan lambat, periode apnea dapat
menandakan perlunya ventilasi
mekanis.

Pantau dan catat kompetensi reflek Kemampuan memobilisasi atau


gag/menelan dan kemampuan pasien membersihkan sekresi penting untuk
untuk melindungi jalan napas sendiri. pemeliharaan jalan napas. Kehilangan
Pasang jalan napas sesuai indikasi. refleks menelan atau batuk menandakan
perlunaya jalan napas buatan atau
intubasi.

Angkat kepala tempat tidur sesuai Untuk memudahkan ekspansi


aturannya, posisi miirng sesuai indikasi. paru/ventilasi paru dan menurunkan
adanya kemungkinan lidah jatuh yang
menyumbat jalan napas.

Anjurkan pasien untuk melakukan


napas dalam yang efektif bila pasien Mencegah/menurunkan atelektasis.
sadar.

Lakukan penghisapan dengan ekstra


hati-hati, jangan lebih dari 10-15 detik. Penghisapan biasanya dibutuhkan jika
Catat karakter, warna dan kekeruhan pasien koma atau dalam keadaan
dari sekret. imobilisasi dan tidak dapat
membersihkan jalan napasnya sendiri.
Penghisapan pada trakhea yang lebih
dalam harus dilakukan dengan ekstra
hati-hati karena hal tersebut dapat
menyebabkan atau meningkatkan
hipoksia yang menimbulkan
vasokonstriksi yang pada akhirnya akan
berpengaruh cukup besar pada perfusi
jaringan.
Auskultasi suara napas, perhatikan
daerah hipoventilasi dan adanya suara Untuk mengidentifikasi adanya masalah
tambahan yang tidak normal misal: paru seperti atelektasis, kongesti, atau
ronkhi, wheezing, krekel. obstruksi jalan napas yang
membahayakan oksigenasi cerebral
dan/atau menandakan terjadinya infeksi
paru.
Pantau analisa gas darah, tekanan
oksimetri Menentukan kecukupan pernapasan,
keseimbangan asam basa dan
kebutuhan akan terapi.
Lakukan ronsen thoraks ulang.
Melihat kembali keadaan ventilasi dan
tanda-tandakomplikasi yang
berkembang misal: atelektasi atau
bronkopneumoni.

Berikan oksigen. Memaksimalkan oksigen pada darah


arteri dan membantu dalam pencegahan
hipoksia. Jika pusat pernapasan
tertekan, mungkin diperlukan ventilasi
mekanik.

Lakukan fisioterapi dada jika ada Walaupun merupakan kontraindikasi


indikasi. pada pasien dengan peningkatan TIK
fase akut tetapi tindakan ini seringkali
berguna pada fase akut rehabilitasi
untuk memobilisasi dan membersihkan
jalan napas dan menurunkan resiko
atelektasis/komplikasi paru lainnya.
4. Implementasi Keperawatan.
Pelaksanaan adalah pemberian asuhan keperawatan secara nyata berupa
serangkaian kegiatan sistimatis berdasarkan perencanaan untuk mencapai hasil
yang optimal. Pada tahap ini perawat menggunakan segala kemampuan yang
dimiliki dalam melaksanakan tindakan keperawatan terhadap klien baik secara
umum maupun secara khusus pada klien gagal jantung. Pada pelaksanaan ini
perawat melakukan fungsinya secara independen, interdependen dan dependen. 
Pada fungsi independen adalah mencakup dari semua kegiatan yang diprakarsai
oleh perawat itu sendiri sesuai dengan kemampuan dan keterampilan yang
dimilikinya Pada fungsi interdependen adalah dimana fungsi yang dilakukan
dengan bekerja sama dengan profesi / disiplin ilmu yang lain dalam keperawatan
maupun pelayanan kesehatan, sedangkan fungsi dependen adalah fungsi yang
dilaksanakan oleh perawat berdasarkan atas pesan orang lain.

5. Evaluasi Keperawatan.
Evaluasi merupakan proses keperawatan dimana tahap keberhasilan dalam
pencapaian tujuan keperawatan dinilai untuk memodifikasi tujuan atau intervensi
keperawatan yang ditetapkan. Evaluasi dalam proses keperawatan terbagi menjadi
dua yaitu evaluasi sumatif dan evaluasi formatif. Evaluasi sumatif adalah evaluasi
yang dibuat setelah beberapa tujuan dan masalah yang ada pada klien tercapai
atau teratasi. Sedangkan evaluasi formatif adalah evaluasi yang dilakukan secara
terus-menerus untuk menilai kemampuan klien dalam mencapai tujuan.
DAFTAR PUSTAKA

Barbara, Engram. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Alih


bahasa suharyati samba. Jakarta: EGC

Baticaca, Fransisca B. 2008. Asuhan Keperawatan Pada Klian Dengan


Gangguan Sistem Persyarafan. Jakarta: Salemba Medika.

Bauhgman, Diane C., & Hackley. Joann C. 2000. Keperawatan Medikal Bedah,
Buku Saku Untuk Brunner Dan Suddarth. Jakarta: EGC.

Brunner & Suddarth, 2002. Buku Ajar keperawatan Medikal Bedah. Jakarta:EGC.

Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan
Sistem Persarafan. Jakarta: Salmeba Medika.

Gennarelli TA, Meaney DF. 1996. Mechanism of Primary Head Injury. Dalam:
Neurosurgery 2nd edition. New York : McGraw Hill.

PERDOSSI cabang Pekanbaru. 2007. Simposium trauma kranio-serebral tanggal


3 November. Pekanbaru.

Hickey JV. 2003. Craniocerebral Trauma. Dalam: The Clinical Practice of


Neurological and Neurosurgical Nursing 5th edition. Philadelphia : lippincot
William & Wilkins.

Tarwono, Wartonah. 2007. Keperawatan Medikal Bedah Gangguan


SistemPersyarafan. Jakarta: Sagung Seto

Rima Dewi Asmarin.2014.https://www.scribd.com/document/321163388/Laporan


Pendahuluan-Cor. Diakses pada tanggal 11 oktober 2016 jam 18.30 WIB.

Anda mungkin juga menyukai