Anda di halaman 1dari 73

LAPORAN SEMINAR KASUS STASE KEPERAWATAN ANAK

ASUHAN KEPERAWATAN PADA An.H DENGAN DIAGNOSA MENINGITIS TB


DIRUANG PERAWATAN ANAK CATELIA RSUD UNDATA PALU

DISUSUN OLEH:
HERIANTI (2020032030)
ELIS DIYANTI (2020032022)
I KETUT SUANTRA (2020032033)
SELVIDA BETARIA MASUKU (2020032080)
DESI TRI UTAMI (2020032017)

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN WIDYA NUSANTARA PALU
TAHUN 2021

1
HALAMAN PENGESAHAN

Kelompok Stase Keperawatan Anak RSUD UNDATA PALU :


Herianti (2020032030)
Elis Diyanti (2020032022)
I Ketut Suantra (2020032033)
Selvida Betaria Masuku (2020032080)
Desi Tri Utami (2020032017)
Judul Seminar Kasus : Asuhan Keperawatan Pada An. H dengan
Meningitis TB di ruang Perawatan Anak
Catelia RSUD UNDATA PALU

Seminar kasus ini telah berhasil di pertahankan dihadapan Pembimbing Institusi STIKES
WIDYA NUSANTARA Palu dan Penguji lahan praktik (CI) ruang Catelia RSUD
UNDATA PALU sebagai bagian dari persyaratan untuk menyelesaikan Praktik klinik pada
stase Keperawatan Anak pada program Profesi Ners STIKES WIDYA NUSANTARA
Palu.

Palu, … April 2021

Pembimbing Institusi Pembimbing Lahan Praktik

Ns, Katrina Feby L., M.P.H Sarini S.Kep,Ns

2
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah Nya sehingga
kami dapat menyelesaikan laporan seminar kasus yang berjudul”AsuhanKeperawatan pada
An. H dengan Meningitis TB di Ruangan Catelia RSUD UNDATA”. Terimakasih atas
bimbingan dan arahan dari Pembimbing Institusi Ns, Katrina Feby L., M.P.H dan kepada
Pembimbing lahan Praktik Sarini S.Kep,Ns sehingga kami dapat menyelesaikan laporan
seminar kasus ini. Tentunya juga berkat Kerjasama dari teman-teman kelompok di praktik
stase Keperawatan Anak ini.
Kami menyadari bahwa laporan seminar kasus ini masih ada kekurangan dan jauh
dari kesempurnaan, oleh sebab itu kami mengharapkan saran dan masukan demi
penyempurnaan laporan ini. Semoga laporan seminar kasus ini dapat digunakan sebagai
bahan pembelajaran secara khusus dalam pemberian asuhan keperawatan pada klien dengan
Meningitis TB dan dapat bermanfaat bagi kita semua khususnya profesi keperawatan.

Palu, April 2021

Kelompok Stase Keperawatan Anak RSUD UNDATA PALU

3
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL …………………………………………………i


HALAMAN PENGESAHAN…………………………………………………ii
KATA PENGANTAR …………………………………………………iii
DAFTAR ISI …………………………………………………iv
BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang …………………………………………………5
2. Identifikasi Masalah …………………………………………………5
3. Tujuan Penulisan …………………………………………………6
4. Manfaat Penulisan …………………………………………………6
5. Metode Penulisan …………………………………………………7
BAB II TINJAUAN TEORI
1. Konsep Medis
a. Definisi …………………………………………………8
b. Anatomi Fisiologi …………………………………………………8
c. Etiologi …………………………………………………13
d. Patofisiologi …………………………………………………13
e. Pathway …………………………………………………15
f. Manifestasi Klinis …………………………………………………17
g. Komplikasi …………………………………………………17
h. Pemeriksaan Diagnostik …………………………………………18
i. Penatalaksanaan …………………………………………………21
2. Konsep Keperawatan
a. Pengkajian …………………………………………………25
b. Diagnosa Keperawatan …………………………………………29
c. Intervensi Keperawatan …………………………………………30
BAB III TINJAUAN KASUS
1. Pengkajian …………………………………………………41
2. Diagnosa Keperawatan ……………………………………………….55
3. Intervensi ………………………………………………...55
4. Implementasi dan Evaluasi …………………………………………...55
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan ……………………………………………….73
2. Saran ……………………………………………….73
DAFTAR PUSTAKA

4
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Di Indonesia sejak tahun 1998 terjadi gejolak krisis multidimensi yang telah
berdampak banyak terhadap segi kehidupan masyarakat Indonesia, termasuk krisis
ekonomi yang mengakibatkan daya beli masyarakat terhadap kebutuhan sandang dan
pangan sangat rendah. Hal ini memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap
tingginya angka kejadian penyakit diantaranya adalah tuberkulosis (TB). Apabila
penyakit ini tidak diobati sampai tuntas akan menimbulkan berbagai komplikasi, salah
satu komplikasi dari infeksi TB ini yang paling berbahaya apabila menyerang pada
susunan saraf pusat atau yang biasa disebut meningitis tuberkulosis.
Meningitis tuberkulosis adalah peradangan pada selaput meningen, cairan
serebro spinal, dan spinal kolumna yang menyebabkan proses peradangan pada sistem
saraf pusat (Suriadi, 2001 : 89) merupakan salah satu manifestasi dari penyakit TB
yang disebabkan oleh basil Mycobacterium tuberculosis yang menyerang sistem saraf
pusat. Meningitis pun harus diwaspadai insidensinya seiring dengan meningkatnya
angka penderita tuberkulosis. Karena diperkirakan sekitar 1 sampai 10% dari seluruh
kejadian infeksi tuberkulosis mengenai susunan saraf pusat (SSP), baik berupa
tuberkuloma pada parenkim otak maupun sebagai meningitis (Arvanitaksis, 1998).
Sedangkan menurut Lindsay (1997 : 474) angka kejadian meningitis adalah 10% dari
jumlah penderita.
Selain itu penyakit meningitis dapat menimbulkan gangguan yang kompleks
terhadap sistem tubuh yang lain, misalnya pada sistem pernafasan, kardivaskuler,
pencernaan, perkemihan dan muskuloskeletal, yang dapat pula menimbulkan
komplikasi akut dan resiko kematian. Disamping dampak terhadap sistem tubuh
meningitis pun dapat merubah pola hidup seseorang karena tidak jarang kasus
meningitis meninggalkan gejala sisa berupa kecacatan seperti : ketulian, gangguan
penglihatan, dan kelumpuhan.
Berdasarkan latar belakang tersebut maka kami membuat laporan seminar kasus
yang berjudul: “Asuhan Keperawatan pada An. H dengan Meningitis TB di ruang
perawatan Catelia RSUD UNDATA PALU”

2. Identifikasi Masalah
Bagaimana gambaran pelaksanaan Asuhan Keperawatan pada An. H dengan
Meningitis TB di Ruang Perawatan Catelia RSUD UNDATA PALU.

5
3. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Meningkatkan pengetahuan dan kemampuan dalam memperoleh pengalaman
nyata melaksanakan asuhan keperawatan pada Asuhan Keperawatan pada An. H
dengan Meningitis TB di Ruang Perawatan Catelia RSUD UNDATA PALU
2. Tujuan Khusus
a. Mampu menerapkan proses keperawatan yang meliputi: pengkajian,
diagnosa keperawatan, perencanaan, tindakan keperawatan dan evaluasi
keperawatan pada An. H dengan Meningitis TB di Ruang Perawatan Catelia
RSUD UNDATA PALU
b. Mampu mendokumentasikan asuhan keperawatan yang dilakukan dengan
benar.
c. Mampu mengetahui konsep penyakit Meningitis TB.

4. Manfaat Penulisan
1. Bagi Penulis
Diharapkan dapat menjadikan pengalaman belajar dilapangan, dapat
meningkatkan pengetahuan dan wawasan tentang dan pengalaman menerapkan
asuhan keperawatan pada klien dengan Meningitis TB.
2. Bagi Institusi Pendidikan
Diharapkan dapat memberikan sumbangan pikiran untuk pengembangan ilmu
dalam penerapan asuhan keperawatan pada pada klien dengan Meningitis TB.
3. Bagi Masyarakat (keluarga/klien)
Di harapkan dapat menjadi masukan dan menambah wawasan masyarakat
pentingnya mengetahui tanda dan gejala Meningitis TB dan mendorong masyarakat
untuk berpartisipasi melakukan pemeriksaan, pencegahan dan perawatan pada
keluarga atau penderita Meningitis TB.
4. Bagi Rumah Sakit
Diharapkan dapat menjadi referensi, evaluasi dalam upaya meningkatkan mutu
pelayanan khususnya bagi perawata dalam memberikan asuhan keperawatan kepada
klien dengan Meningitis TB di Rumah Sakit Undata Palu.
5. Bagi ilmu Pengetahuan
Diharapkan dapat memberi informasi yang bermanfaat untuk pengembangan
ilmu pengetahuan keperawatan maternitas khususnya mengenai asuhan keperawatan
pada klien dengan Meningitis TB

6
5. Metode Penulisan
Metode penulisan laporan seminar kasus kali ini memnggunakan pendekatan
proses keperawatan yang meliputi pengkajian data klien, menentukan diagnosa
keperawatan, membuat rencana tindakan, melakukan implementasi, dan melakukan
evaluasi. Pengumpulan data diperoleh melalui tehnik sebagai berikut:
1. Wawancara.
Mengetahui perkembangan kesehatan klien dengan cara tanya jawab langsung
antara perawat, klien, dan keluarganya, untuk menumbuhkan hubungan saling
percaya antara klien dan perawat, sehingga dapat memudahkan untuk dilakukan
pengumpulan data.
2. Observasi.
Teknik ini dilakukan secara langsung untuk mengenali, mengamati, dan
memperoleh data tentang kesehatan klien yang mengalami Meningitis TB di ruang
Perawatan Catelia RSUD Undata Palu.
3. Pemeriksaan Fisik.
Pemeriksaan fisik ini dilakukan dengan cara keseluruhan dari kepala sampai kaki
dan prosedur pemeriksaan fisik meliputi inspeksi, palpasi, auskultasi, dan perkusi.
4. Studi Kepustakaan.
Pada penulisan laporan seminar kasus ini penulis menggunakan data-data dan teori
yang berhubungan isi kasus seminar ini, yang terdiri dari buku-buku, ebook dan
beberapa sumber lain yang menunjang isi laporan seminar kasus ini.
5. Studi Dokumen.
Data yang diperoleh dari dokumentasi yang terdapat pada catatan keperawatan klien
seperti pencatatan medis, terapi dari dokter ataupun langsung dari laporan
perkembangan klien pada asuhan keperawatan pasien.

7
BAB II
TINJAUAN TEORI

1. Konsep Medis
a. Definisi
Meningitis tuberkulosis merupakan peradangan pada selaput otak (meningen)
yang disebabkan oleh bakteri mycobacterium tuberkulosis. Penyakit ini merupakan
salah satu bentuk komplikasi yang sering muncul pada penyakit tuberkulosis paru.
Infeksi primer muncul di paru-paru dan dapat menyebar secara limfogen dan
hematogen ke berbagai daerah tubuh di luar paru, seperti perikardium, usus, kulit,
tulang, sendi, dan selaput otak (Whiteley, 2014).
Mycobacterium tuberkulosis merupakan bakteri berbentuk batang pleomorfik
gram positif, berukuran 0,4-3µ, mempunyai sifat tahan asam, dapat hidup selama
berminggu-minggu dalam keadaan kering, serta lambat bermultiplikasi (setiap 15
sampai 20 jam). Bakteri ini merupakan salah satu jenis bakteri yang bersifat
intraselular patogen pada hewan dan manusia. Selain Mycobacterium tuberkulosis,
spesies lainnya yang juga dapat menimbulkan tuberkulosis adalah Mycobacterium
bovis, Mycobacterium africanum, dan Mycobacterium microti (Chan, 2006).

b. Anatomi Fisiologi
1) Meningen
Meningen adalah ketiga lapisan jaringan ikat non neural yang menyelubungi
otak dan medulaspinalis, berindak sebagai peredam syok atau “syok absosber”
dan berisikan cairan serebrospinalis. Cairan serebospinalis ditemukan pada
sistem ventrikel dan rongga sub arakhnoid. Ketiga lapisan meningen terdiri dari :
a) Duramater atau Dura (pakimenings)
Duramater merupakan lapisan terluar meningen, berupa membran yang
padat, kuat dan tidak lentur. Berlapis dua sekitar otak dan berlapis satu
sekitar medulla spinalis. Lapisan luar bertindak sebagai periosteum dan
terikat kuat pada tulang. Lapisan dalam terdapat dalam rongga subdural.
Lapisan dalam duramater terpisah dari lapisan luar tempat terbentuknya
sinus dura.
b) Arakhnoid
Arakhnoid adalah lapisan tengah dari meningen yang avaskular, rapuh,
tipis dan transparan. Seperti halnya dengan duramater, menyebrangi sulki
dan hanya menuju kedalam fisura-fisura utama saja. Dari membran
arakhnoid banyak trabekula halus menjurus kearah pia sehingga memberi
gambaran sebagai sarang laba-laba.

8
Lapisan luar arakhnoid terdiri dari sel yang menyerupai endotel disebut
sebagai meningotelial atau sel arakhnoid. Inti sel-sel tersebut tersusun dalam
lapisan tunggal, ganda atau multipel menghadap kearah rongga sub dural.
Lapisan dalam arakhnoid dan trabekula ditutup oleh sel mesotelial yang
dapat memberikan respon terhadap berbagai rangsangan dan dapat
membentuk fagosit.
Granulasi arakhnoid adalah proyeksi pia-arakhnoid yang masuk kedalam
sinus sagitalis superior. Granulasi ini disebut juga badan pacchioni, masing-
masing terdiri dari sejumlah villi arakhnoid yang berfungsi sebagai katup
satu arah yang melewatkan bahan-bahan dari cairan serebrospinal masuk
kedalam sinus-sinus.
c) Piamater atau Pia (Leptomenings)
Piamater adalah lapisan meningen terdalam yang melekat erat dengan
jaringan otak dan medulla spinalis, yang mengikuti setiap kontur (sulki dan
fisura) sambil membawa pembuluh darah kecil yang memberi makanan pada
jaringan saraf dibawahnya.
Membran pia-glial dibentuk oleh eritrosit “end feet” yang berakhir di pia.
Piamater nampaknya berperan sebagai barrier atau penghalang masuknya
benda-benda dan organisme yang dapat merusak.

Gambar 1. Anatomi meningen otak


Sumber : Van de Graff, Kent. M. (1984)

2) Rongga Sub Arakhnoid


Rongga sub arakhnoid merupakan rongga leptomeningeal yang terisi cairan
serebrospinal. Semua pembuluh darah, saraf otak serta medulla spinalis melewati
cairan tersebut, sehingga bilamana terjadi infeksi pada rongga ini, maka

9
pembuluh darah dan saraf dapat terkena proses peradangan. Arteritis dan flebitis
dapat menyebabkan iskemi atau nekrosis jaringan otak.
Rongga sub arakhnoid tidak berhubungan dengan rongga sub dural, karena
itu leptomeningitis tidak menyebar kedalam rongga sub dural kecuali pada
meningitis oleh haemofilus influenza.
3) Sisterna Rongga Sub Araknoid
Rongga sub arakhnoid yang mengelilingi otak dan medulla spinalis memiliki
variasi-variasi setempat. Pada dasar otak dan sekitar batang otak, pia dan
arakhnoid memisah dan membentuk beberapa rongga besar yang disebut sisterna
sub araknoid.
Tiga sisterna pada aspek ventral batang otak :
 Sisterna khiasmatika yang berada didaerah khiasma optika.
 Sisterna interpendunkularis yang berada di fosa interpedunkularis
dari mesensefalon.
 Sisterna pontin yang berada pada pertemuan pons dengan medula
atau “Pons medullary junction”.
Dua sisterna di aspek posterior batang otak :
 Sisterna serebromedularis (sisterna magna) yang merupakan salah
satu sisterna terbesar, sisterna ini berada diantara pleksus khoroid medulla
dan serebelum. Foramina ventrikel IV membuka kedalam sisterna ini.
 Sisterna superior (sisterna ambiens) sisterna ini mengelilingi
permukaan superior dan lateral mesensefalon didalam sisterna ini ditemukan
vena serebri magna, arteri serebri posterior dan serebeli superior
4) Sistem Ventrikel
Sistem ventrikel merupakan suatu seri rongga-rongga di dalam otak yang
saling berhubungan, dilapisi ependima dan berisi cairan serebrospinal yang
dihasilkan dari darah oleh pleksus khoroid.
Rongga-rongga dalam sistem ini terdiri dari sepasang venterikel lateralis
(kiri dan kanan), ventrikel III dan ventrikel IV. Kedua rongga ini dihubungkan
oleh aquaduktus silvii.
Kedua ventrikel lateralis berada di dalam hemisfer serebri dan masing-
masing dihubungkan dengan ventrikel III melalui foramen interventrikularis dari
monro. Setiap ventrikel lateralis terdiri dari 4 bagian yaitu :
 Kornu anterior
 Sela media
 Kornu inferior atau temporal
 Kornu posterior
Ventrikel ventrikel III adalah suatu rongga ventrikel tipis di garis tengah,
diantara pasangan ventrikel lateralis. Ventrikel IV berhubungan dengan rongga

10
sub arakhnoid melalui kedua foramina dari luscka dan foramina magendi. Kedua
foramen dari luscka terletak dalam sudut pons dan medulla. Foramen magendi
terletak sebelah belakang medulla dan menghadap sisterna magna.
Setiap ventrikel mempunyai pleksus khoroid, yang paling besar adalah
pleksus khoroid ventrikel lateralis.
5) Pleksus Khoroid dan Cairan Serebrospinal
a) Pleksus khoroid
Pleksus khoroid merupakan anyaman kaya dari pembuluh-pembuluh
darah piamater yang menjorok kesetiap rongga ventrikel, membentuk filter
semi permeabel antara darah arteri dan cairan serebrospinal. Setiap pleksus
khoroid diliputi oleh satu lapisan epitel ependima.
Tela khoroidea dari ventrikel lateralis adalah suatu membran tipis seperti
jaring laba-laba yang melalui foramen interventrikularis, berhubungan
langsung dengan pleksus khoroid ventrikel III. Tela ini dibentuk oleh
invaginasi ependima oleh lipatan-lipatan vaskular.
b) Cairan serebrospinal
Cairan serebrospinal adalah filtrat darah yang jernih tidak berbau dan
hampir bebas protein. Cairan serebrospinal dibentuk di ventrikel-ventrikel
dan beredar didalam rongga sub arakhnoid.
Fungsi cairan serebrospinal adalah menunjang dan membantali susunan
saraf pusat terhadap trauma.
6) Peredaran Darah Otak
a) Peredaran darah arterial
Suplai peredaran darah arterial kestruktur-strukur intra kranial pada
dasarnya berasal dari cabang-cabang kedua arteri karotis interna dan kedua
arteri vertebralis.
b) Arteri karotis interna
Arteri karotis interna keluar dari percabangan karotis komunis leher.
Pembuluh darah ini naik menuju basis kranii, membelah sebagai suatu
pembuluh bentuk sigmoid di dalam sinus kavernosus.
Arteri karotis interna hanya memberi cabang di rongga tengkorak, terdiri
dari :
(1) Arteri optalmika
Arteri ini mempunyai cabang penting yaitu arteri sentralis retinae yang
berjalan ditengah-tengah nervus optikus dan berakhir diretina.
(2) Arteri khoroidalis anterior
Arteri khoroidalis anterior mengikuti traktus optikus sampai pada
ketinggian korpus genikulatum lateralis dan kemudian menjadi bagian
dari pleksus khoroid ventrikel lateralis.

11
Pembuluh darah ini juga memberi cabang-cabang ke pedunkulus serebri,
kapsula interna, nukleus kaudatus, hipokampus dan traktus optikus.
(3) Arteri serebri anterior dan media
Kedua arteri ini merupakan cabang terminal dari arteri karotis interna.
Arteri serebri anterior memberi suplai darah pada lobus frontalis.
Didalam fisura longitudinalis serebri dapat ditemukan arteri komunikans
anterior. Cabang-cabang arteri serebri anterior berjalan menuju sisi
medial lobus frontalis dan parietalis, substansia perforata anterior,
septum pellusidum dan sebagian dari korpus kalosum. Arteri striata
medialis memberi darah pada nukleus kaudatus, putamen dan bagian
anterior kapsula interna.Arteri serebri media memberi cabang-cabang
kesisi lateral lobus temporal dan parietal.
Arteri striata lateralis memperdarahi ganglia basalis dan kapsula interna.
Arteri komunikans posterior bersatu dengan ramus serebri posterior
arteri basilaris. Dalam perjalanannya memberi cabang ke kapsula interna
dan talamus
c) Arteri vertebralis
Arteri vertebralis adalah cabang-cabang dari arteri sub klavia. Cabang-
cabangnya adalah arteri spinalis anterior dan posterior serta arteriae
serebelaris inferior posterior.
Arteri basilaris dibentuk oleh kedua gabungan arteri vetrebralis, berjalan
pada aspek ventral pons. Cabang-cabangnya meliputi arteriae pontin,
sereberalis inferior anterior, labirintin, serebralis superior dan sereberalis
posterior.
Arteri terakhir memperdarahi sisi medial dan inferior lobus oksipitalis dan
temporalis serta cabang-cabang khoroidal posterior ke pleksus khoroid
ventrikel III dan ventrikel lateralis.
d) Sirkulus willisi
Sirkulus willisi dibentuk oleh arteri-arteri komunikan anterior dan posterior
serta bagian proksimal arteri-arteri serebri anterior, media dan posterior.
Fungsi sirkulus willisi memungkinkan suplai darah yang adekuat ke otak
bilamana timbul oklusi arteri karotis atau vertebralis. Banyak arteri keluar
dari lingkaran ini, masuk ke substansia otak dan arteri-arteri ini sangat
penting oleh karena selain berkaliber kecil sehingga mudah tersumbat, juga
merupakan “end artery” tanpa peredaran kolateral dan memperdarahi
daerah-daerah vital.
7) Peredaran darah vena

12
Peredaran darah vena tidak berperan besar dalam meningitis tuberkulosis. Terdiri
dari vena serebral internal dan eksternal. Tempat berakhirnya vena-vena otak ini
di sinus-sinus duramater.

c. Etiologi
Pada laporan kasus meningitis tuberkulosis, Mycobacterium tuberculosis merupakan
faktor penyebab paling utama dalam terjadinya penyakit meningitis. Pada kasus
meningitis secara umum disebabkan oleh mikroorganisme, seperti virus, bakteri,
jamur, atau parasit yang menyebar dalam darah ke cairan otak (Kahan, 2005).
Penyebab infeksi ini dapat diklasifikasikan atas :

Tabel. Klasifikasi Penyebab Infeksi

Kategori Agen

Bakteri Pneumococcus
Meningococcus
Haemophilus influenza
Staphylococcus
Escherichia coli
Salmonella
Mycobacterium tuberculosis
Virus Enterovirus
Jamur Cryptococcus neoformans
Coccidioides immitris
Sumber : Kahan, 2005

d. Patofisiologi
Meningitis tuberkulosis pada umumnya sebagai penyebaran infeksi tuberkulosis
primer ditempat lain. Biasanya fokus infeksi primer di paru-paru. Tuberkulosis secara
primer merupakan penyakit pada manusia. Reservoir infeksi utamanya adalah
manusia, dan penyakit ini ditularkan dari orang ke orang terutama melalui partikel
droplet yang dikeluarkan oleh penderita tuberkulosis paru pada saat batuk. Partikel-
partikel yang mengandung Mycobacterium tuberculosis ini dapat bertahan lama di
udara atau pada debu rumah dan terhirup masuk kedalam paru-paru orang sehat. Pintu
masuk infeksi ini adalah saluran nafas sehingga infeksi pertama biasanya terjadi pada
paru-paru. Transmisi melalui saluran cerna dan kulit jarang terjadi.
Droplet yang terinfeksi mencapai alveoli dan berkembang biak dalam ruang
alveoli, makrofag alveoli maupun makrofag yang berasal dari sirkulasi. Sejumlah
kuman menyebar terutama ke kelenjar getah bening hilus. Lesi primer pada paru-paru
13
berupa lesi eksudatif parenkimal dan kelenjar limfenya disebut kompleks “Ghon”.
Pada fase awal kuman dari kelenjar getah bening masuk kedalam aliran darah
sehingga terjadi penyebaran hematogen.
Dalam waktu 2-4 minggu setelah terinfeksi, terbentuklah respon imunitas
selular terhadap infeksi tersebut. Limfosit-T distimulasi oleh antigen basil ini untuk
membentuk limfokin, yang kemudian mengaktivasi sel fagosit mononuklear dalam
aliran darah. Dalam makrofag yang diaktivasi ini organisme dapat mati, tetapi
sebaliknya banyak juga makrofag yang mati. Kemudian terbentuklah tuberkel terdiri
dari makrofag, limfosit dan sel-sel lain mengelilingi jaringan nekrotik dan perkijuan
sebagai pusatnya.
Setelah infeksi pertama dapat terjadi dua kemungkinan, pada orang yang sehat
lesi akan sembuh spontan dengan meninggalkan kalsifikasi dan jaringan fibrotik.
Pada orang dengan daya tahan tubuh yang rendah, penyebaran hematogen akan
menyebabkan infeksi umum yang fatal, yang disebut sebagai tuberkulosis millier
diseminata. Pada keadaan dimana respon host masih cukup efektif tetapi kurang
efisien akan timbul fokus perkijuan yang besar dan mengalami enkapsulasi fibrosa
tetapi menyimpan basil yang dorman. Klien dengan infeksi laten memiliki resiko
10% untuk berkembang menjadi tuberkulosis aktif. Reaktivasi dari fokus perkijuan
akan terjadi bila daya tahan tubuh host menurun, maka akan terjadi pembesaran
tuberkel, pusat perkijuan akan melunak dan mengalami pencairan, basil mengalami
proliferasi, lesi akan pecah lalu melepaskan organisme dan produk-produk antigen ke
jaringan disekitarnya. Apabila hal-hal yang dijelaskan di atas terjadi pada susunan
saraf pusat maka akan terjadi infeksi yang disebut meningitis tuberkulosis.
Fokus tuberkel yang berlokasi dipermukaan otak yang berdekatan dengan ruang
sub arakhnoid dan terletak sub ependimal disebut sebagai “Focus Rich”. Reaktivasi
dan ruptur dari fokus rich akan menyebabkan pelepasan basil Tuberkulosis dan
antigennya kedalam ruang sub arakhnoid atau sistem ventrikel, sehingga terjadi
meningitis tuberkulosis.

14
Patofisiologi Meningitis Tuberkulosis
Inhalasi kuman TB

Paru-paru

Penyebaran limfohematogen

TB paru primer Dorman di otak Organ lain

Pembentukan tuberkel-tuberkel kecil berwarna putih


pada permukaan otak, selaput otak, sumsum tulang belakang

Tuberkel melunak dan pecah

Kuman masuk ke ruang sub arakhnoid dan ventrikulus

Terjadi peradangan difus pada pia, arakhnoid, LCS, ruang sub arakhnoid dan
ventrikulus

Penyebaran sel-sel leukosit PMN ke dalam ruang sub arakhnoid

Terbentuk eksudat

Beberapa hari terjadi pembentukan limfosit dan histiosit dalam minggu ke-2

Eksudat yang terbentuk terdiri dari 2 lapisan :


- lapisan luar mengandung fibrin dan leukosit PMN
- lapisan dalam mengandung makrofag

Proses radang terjadi juga pada pembuluh darah di korteks

Trombosis, infark otak, oedema otak, degenerasi neuron-neuron

Tombosis serta organisasi eksudat perineural yang fibrinopurulen. Kelainan nervus


kranial II, III, IV, VI, VII, VIII

15
Organisasi di ruang sub arakhnoid superfisial yang dapat menghambat aliran dan
absorpsi LCS

Hidrosefalus komunikan

16
f. Manifestasi Klinis
Gejala klinis meningitis TB berbeda untuk masing-masing penderita.
Faktor-faktor yang bertanggung jawab terhadap gejala klinis erat kaitannya
dengan perubahan patologi yang ditemukan. Tanda dan gejala klinis
meningitis TB muncul perlahan-lahan dalam waktu beberapa minggu
(Nofareni, 2003).
Keluhan pertama biasanya nyeri kepala. Rasa ini dapat menjalar ke
tengkuk dan punggung. Tengkuk menjadi kaku dan Kaku kuduk disebabkan
oleh mengejangnya otot-otot ekstensor tengkuk. Bila hebat, terjadi
opistotonus, yaitu tengkuk kaku dalam sikap kepala tertengadah dan punggung
dalam sikap hiperekstensi. Kesadaran menurun, tanda Kernig’s dan
Brudzinsky positif. Gejala pada bayi yang terkena meningitis, biasanya
menjadi sangat rewel muncul bercak pada kulit tangisan lebih keras dan
nadanya tinggi, demam ringan, badan terasa kaku, dan terjadi gangguan
Kesadaran seperti tangannya membuat gerakan tidak beraturan (Cavendish,
2011).Gejala klinis meningitis tuberkulosis dapat dibagi dalam 3 (tiga)
stadium (Anderson, 2010) :
1. Stadium I : Prodormal
Selama 2-3 minggu dengan gejala ringan dan nampak seperti gejala infeksi
biasa. Pada anak-anak, permulaan penyakit bersifat subakut, sering tanpa demam,
muntah-muntah, nafsu makan berkurang, murung, berat badan menurun, mudah
tersinggung, cengeng, opstipasi, pola tidur terganggu dan gangguan keadaran
berupa apatis. Pada orang dewasa terdapat panas yang hilang timbul, nyeri
kepala, konstipasi, kurang nafsu makan, fotofobia, nyeri punggung, halusinasi,
dan sangat gelisah.
2. Stadium II : Transisi
Berlangsung selama 1-3 minggu dengan gejala penyakit lebih berat dimana
penderita mengalami nyeri kepala yang hebat dan kadang-kadang disertai kejang
terutama pada bayi dan anak-anak. Tanda-tanda rangsangan meningeal mulai
nyata, seluruh tubuh dapat menjadi kaku, terdapat tanda-tanda peningkatan
intrakranial, ubun-ubun menonjol dan muntah yang lebih hebat.
3. Stadium III : Terminal
Ditandai dengan kelumpuhan dan gangguan kesadaran sampai koma. Pada
stadium ini penderita dapat meninggal dunia dalam waktu tiga minggu.

g. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada meningitis tuberkulosis (Tai, 2013):
1) Hidrosefalus
2) Cairan subdural

17
3) Abses otak
4) Cedera kepala
5) Gangguan pendengaran
6) Peningkatan tekanan dalam otak ( tekanan itrakranial )
7) Kerusakan otak
8) Kejang
9) Serangan otak
10) Araknoiditis

h. Pemeriksaan Diagnostik
1) Uji Mantuox/Tuberkulin
Pada anak, uji tuberkulin merupakan pemeriksaan screening tuberkulosis yang
paling bermanfaat. Terdapat beberapa cara melakukan uji tuberkulin, tetapi
hingga saat ini cara mantoux lebih sering dilakukan. Pada uji mantoux, dilakukan
penyuntikan PPD (Purified Protein Derivative) dari kuman Mycobacterium
tuberculosis. Lokasi penyuntikan uji mantoux umumnya pada ½ bagian atas
lengan bawah kiri bagian depan, disuntikkan intrakutan (ke dalam kulit).
Penilaian uji tuberkulin dilakukan 48–72 jam dan lebih diutamakan pada 72 jam
setelah penyuntikan dan diukur diameter dari pembengkakan (indurasi) yang
terjadi. Reaksi positif yang muncul setelah 96 jam masih dianggap valid. Bila
pasien tidak kontrol dalam 96 jam dan hasilnya negative maka tes Mantoux harus
diulang. Tes Mantoux dinyatakan positif apabila diameter indurasi > 10 mm
(Kliegman, 2011).

Tabel 2.3. Hasil Uji Mantoux

1. Pembengkakan (Indurasi) 0-4mm,uji mantoux negatif.


Arti klinis : tidak ada infeksi
Mycobacterium
tuberculosis.
2. Pembengkakan (Indurasi) 3-9mm,uji mantoux meragukan.
Hal ini bisa karena kesalahan teknik,
reaksi
silang dengan Mycobacterium atypical
atau
setelah vaksinasi BCG.
3. Pembengkakan (Indurasi) ≥ 10mm,uji mantoux positif.
Arti klinis : sedang atau pernah terinfeksi
Mycobacterium tuberculosis.

18
Sumber : Levin, 2009
2) Pemeriksaan Laboratorium
Dilakukan pemeriksaan darah rutin, Laju Endap Darah (LED), kadar glukosa,
kadar ureum dan kreatinin, fungsi hati, elektrolit.
1. Pemeriksaan LED meningkat pada pasien meningitis TB :
a) Pada meningitis bakteri didapatkan peningkatan leukosit
polimorfonuklear dengan shift ke kiri.
b) Elektrolit diperiksa untuk menilai dehidrasi.
c) Glukosa serum digunakan sebagai perbandingan terhadap glukosa pada
cairan serebrospinal.
d) Ureum, kreatinin dan fungsi hati penting untuk menilai fungsi organ dan
penyesuaian dosis terapi.
e) Tes serum untuk sifilis jika diduga akibat neurosifilis.

3) Lumbal Pungsi
Lumbal Pungsi biasanya dilakukan untuk menganalisa jumlah sel dan
protein cairan cerebrospinal, dengan syarat tidak ditemukan adanya peningkatan
tekanan intrakranial. Lumbal pungsi adalah tindakan memasukkan jarum lumbal
pungsi ke dalam kandung dura lewat processus spinosus L4-L5 / L5-S1 untuk
mengambil cairan serebrospinal (Haldar, 2009).
Tabel 2.4. Hasil Analisa Cairan Serebrospinal

Agent Opening WBC count Glucose Protein Microbiology


Pressure (cells/µL) (mg/dL) (mg/dL)
(mm H2 O)

Tuberculou 180-300 100-500; Reduced, Elevated Acid-fast bacillus


s meningitis < 40 , >100 stain, culture, PCR
Lymphocyte
s
Normal 80-200 0-5; 50-75 15-40 Negative findings on
Values lymphocytes workup

LCM = lymphocytic choriomeningitis; PCR = polymerase chain reaction;


PMN = polymorphonuclear leukocyte; WBC = white blood cell.
Sumber : Haldar, 2009

19
4) Pemeriksaan Radiologis
1. Foto Toraks
Pemeriksaan radiologis meliputi pemeriksaan foto toraks, foto kepala, CT-
Scan dan MRI. Foto toraks untuk melihat adanya infeksi sebelumnya pada
paru-paru misalnya pada pneumonia dan tuberkulosis, sementara foto kepala
dilakukan karena kemungkinan adanya penyakit pada mastoid dan sinus
paranasal. Pada penderita dengan meningitis tuberkulosis umumnya
didapatkan gambaran tuberkulosis paru primer pada pemeriksaan rontgen
toraks, kadang-kadang disertai dengan penyebaran milier dan kalsifikasi.
Gambaran rontgen toraks yang normal tidak menyingkirkan diagnosa
meningitis tuberkulosis (Kliegman, 2011).
2. Computed Tomography Scan / Magnetic Resonance Imaging Scan
Pemeriksaan Computed Tomography Scan (CT- Scan) dan Magnetic
Resonance Imaging Scan (MRI) kepala dapat menentukan adanya dan
luasnya kelainan di daerah basal, serta adanya dan luasnya hidrosefalus.
Gambaran dari pemeriksaan CT-scan dan MRI kepala pada pasien
meningitis tuberkulosis adalah normal pada awal penyakit. Seringnya
berkembangnya penyakit, gambaran yang sering ditemukan adalah
enhancement di daerah basal, tampak hidrosefalus komunikans yang disertai
dengan tanda-tanda dema otak atau iskemia fokal yang masih dini. Selain
itu, dapat juga ditemukan tuberkuloma yang silent, biasanya di daerah
korteks serebri atau talamus (kliegman, 2011).

5) Pemeriksaan Gene Xpert


Gene Xpert adalah tes baru untuk tuberkulosis. Hal ini dapat mengetahui
apakah seseorang terinfeksi TB, dan juga jika bakteri TB dari orang yang
memiliki ketahanan terhadap salah satu obat TB umum, rifampisin. Bertentangan
dengan tes yang ada saat ini, ia bekerja pada tingkat molekuler untuk
mengidentifikasi Mycobacterium tuberculosis. Ini berarti bahwa ia tidak
menggunakan mikroskop tapi semacam tes kimia untuk mencari bakteri TB. Tes
ini juga disebut Xpert MTB / RIF (Mycobacterium tuberculosis dan rifampisin).
Gene Xpert adalah mesin yang dapat mendeteksi Mycobacterium
tuberculosis dalam sampel dahak. Seseorang yang diduga menderita TB perlu
memberikan contoh dahak, dalam tabung kecil. Dari tabung, sampel dimasukkan
ke dalam mesin, dan kemudian reaksi biokimia yang mulai untuk melihat apakah
sampel mengandung bakteri TB. Mesin mencari Deoxyribonucleic acid (DNA)
spesifik untuk bakteri TB. Jika ada bakteri TB dalam sampel, mesin akan
mendeteksi DNA mereka dan secara otomatis kalikan. Teknik ini disebut PCR

20
(polymerase chain reaction), dan mungkin mesin untuk juga melihat struktur
gen. Hal ini penting untuk mendeteksi jika bakteri TB telah mengembangkan
resistensi terhadap obat. DNA dari bakteri TB adalah, dengan cara, seperti string
panjang warna yang berbeda. Jika salah satu atau lebih dari perubahan warna jika
ada mutasi pada DNA, maka bakteri bisa menjadi resisten terhadap obat TB
tertentu. Gene Xpert dapat menguji resistensi terhadap salah satu obat TB yang
paling umum, rifampisin. Ini berarti bahwa hal itu dapat memberitahu kita dua
hal yaitu, apakah seseorang memiliki TB, dan apakah penderita TB tersebut telah
dapat diobati dengan rifampisin. Tes ini sangat cepat dan hanya membutuhkan
waktu sekitar dua jam dan lebih cepat daripada tes TB lainnya (Farrar, 2014).

i. Penatalaksanaan
Terapi diberikan sesuai dengan konsep baku tuberkulosis yaitu :
1. Fase intensif selama 2 bulan dengan 4 sampai 5 obat anti tuberkulosis, yaitu
isoniazid, rifampisin, pirazinamid, streptomisin, dan etambutol.
2. Terapi dilanjutkan dengan 2 obat anti tuberkulosis, yaitu isoniazid dan rifampisin
hingga 12 bulan.
3. Terapi farmakologis yang dapat diberikan pada meningitis tuberkulosis berupa :
a) Rifampisin (R)
Rifampisin bersifat bakterisid pada intrasel dan ekstrasel, dapat memasuki
semua jaringan dan dapat membunuh kuman semidorman yang tidak dapat
dibunuh oleh isoniazid. Rifampisin diabsorbsi dengan baik melalui sistem
gastrointestinal pada saat perut kosong (1 jam sebelum makan) dan kadar
serum puncak dicapai dalam 2 jam. Rifampisin diberikan dalam bentuk oral,
dengan dosis 10-20 mg / kgBB / hari, dosis maksimalmya 600 mg per hari
dengan dosis satu kali pemberian per hari. Jika diberikan bersamaan dengan
isoniazid, dosis rifampisin tidak boleh melebihi 15 mg / kgBB / hari dan dosis
isoniazid 10 mg/ kgBB / hari. Rifampisin didistribusikan secara luas ke
jaringan dan cairan tubuh, termasuk cairan serebrospinal. Distribusi rifampisin
ke dalam cairan serebrospinal lebih baik pada keadaan selaput otak yang
sedang mengalami peradangan daripada keadaan normal. Efek samping
rifampisin adalah perubahan warna urin, ludah, keringat, sputum, dan air mata
menjadi warna oranye kemerahan. Efek samping lainnya adalah mual dan
muntah, hepatotoksik, dan trombositopenia. Rifampisin umumya tersedia
dalam bentuk kapsul 150 mg, 300 mg, dan 450 mg (Heemskerk, 2011).
b) Isoniazid ( H )
Bersifat bakterisid dan bakteriostatik. Obat ini efektif pada kuman intrasel
dan ekstrasel, dapat berdifusi ke dalam seluruh jaringan dan cairan tubuh,
termasuk cairan serebrospinal, cairan pleura, cairan asites, jaringan kaseosa,

21
dan memiliki adverse reaction yang rendah. Isoniazid diberikan secara oral.
Dosis harian yang biasa diberikan adalah 5-15 mg / kgBB / hari, dosis
maksimal 300 mg / hari dan diberikan dalam satu kali pemberian. Isoniazid
yang tersedia umumnya dalam bentuk tablet 100 mg dan 300 mg, dan dalam
bentuk sirup 100 mg / 5 ml. Konsentrasi puncak di darah, sputum, cairan
serebrospinal dapat dicapai dalam waktu 1-2 jam dan menetap paling sedikit
selama 6-8 jam. Isoniazid terdapat dalam air susu ibu yang mendapat isoniazid
dan dapat menembus sawar darah plasenta. Isoniazid mempunyai dua efek
toksik utama, yakni hepatotoksik dan neuritis perifer. Keduanya jarang terjadi
pada anak, biasanya lebih banyak terjadi pada pasien dewasa dengan frekuensi
yang meningkat dengan bertambahnya usia. Bagi mencegah timbulnya
neuritis perifer, dapat diberikan piridoksin dengan dosis 25-50 mg satu kali
sehari, atau 10 mg piridoksin setiap 100 mg isoniazid (Heemskerk, 2011).
c) Pirazinamid ( Z )
Pirazinamid merupakan derivat dari nikotinamid, berpenetrasi baik pada
jaringan dan cairan tubuh, termasuk cairan serebrospinal. Obat ini bersifat
bakterisid hanya pada intrasel dan suasana asam dan diabsorbsi baik pada
saluran cerna. Dosis pirazinamid 15-30 mg / kgBB / hari dengan dosis
maksimal 2 gram / hari. Kadar serum puncak 45 µg / ml tercapai dalam waktu
2 jam. Pirazinamid diberikan pada fase intensif karena pirazinamid sangat
baik diberikan pada saat suasana asam yang timbul akibat jumlah kuman yang
masih sangat banyak. Efek samping pirazinamid adalah hepatotoksis,
anoreksia, iritasi saluran cerna, dan hiperurisemia (jarang pada anak-anak).
Pirazinamid tersedia dalam bentuk tablet 500mg (Heemskerk, 2011).
d) Etambutol ( E )
Etambutol memiliki aktivitas bakteriostatik, tetapi dapat bersifat
bakterisid jika diberikan dengan dosis tinggi dengan terapi intermiten. Selain
itu, berdasarkan pengalaman, obat ini dapat mencegah timbulnya resistensi
terhadap obat-obat lain. Dosis etambutol adalah 15-20 mg / kgBB/ hari,
maksimal 1,25 gram / hari dengan dosis tunggal. Kadar serum puncak 5 µg
dalam waktu 24 jam. Etambutol tersedia dalam bentuk tablet 250 mg dan 500
mg. Etambutol ditoleransi dengan baik oleh dewasa dan anak-anak pada
pemberian oral dengan dosis satu atau dua kali sehari, tetapi tidak berpenetrasi
baik pada SSP, demikian juga pada keadaan meningitis. Kemungkinan
toksisitas utama etambutol adalah neuritis optik dan buta warna merah-hijau,
sehingga seringkali penggunaannya dihindari pada anak yang belum dapat
diperiksa tajam penglihatannya. Rekomendasi WHO yang terakhir mengenai
pelaksanaan tuberkulosis pada anak, etambutol dianjurkan penggunaannya
pada anak dengan dosis 15-25 mg / kgBB / hari. Etambutol dapat diberikan

22
pada anak dengan TB berat dan kecurigaan TB resisten-obat jika obat-obat
lainnya tidak tersedia atau tidak dapat digunakan (Heemskerk, 2011)
e) Streptomisin ( S )
Streptomisin bersifat bakterisid dan bakteriostatik terhadap kuman
ekstraselular pada keadaan basal atau netral, sehingga tidak efektif untuk
membunuh kuman intraselular. Saat ini streptomisin jarang digunakan dalam
pengobatan tuberkulosis, tetapi penggunaannya penting pada pengobatan fase
intensif meningitis tuberkulosis dan MDR-TB (multi drug resistent-
tuberculosis). Streptomisin diberikan secara intramuskular dengan dosis 15-40
mg / kgBB / hari, maksimal 1 gram / hari, dan kadar puncak 45-50 µg / ml
dalam waktu 1-2 jam. Streptomisin sangat baik melewati selaput otak yang
meradang, tetapi tidak dapat melewati selaput otak yang tidak meradang.
Streptomisin berdifusi dengan baik pada jaringan dan cairan pleura dan
diekskresi melalui ginjal. Penggunaan utamanya saat ini adalah jika terdapat
kecurigaan resistensi awal terhadap isoniazid atau jika anak menderita
tuberkulosis berat. Toksisitas utama streptomisin terjadi pada nervus kranial
VIII yang mengganggu keseimbangan dan pendengaran, dengan gejala berupa
telinga berdengung (tinitus) dan pusing. Streptomisin dapat menembus
plasenta, sehingga perlu berhati-hati dalam menentukan dosis pada wanita
hamil karena dapat merudak saraf pendengaran janin, yaitu 30% bayi akan
menderita tuli berat. Efek samping yang mungkin juga terjadi adalah
gangguan pendengaran dan vestibuler (Heemskerk,2011)

23
Tabel 2.7. Regimen : RHZE / RHZS

Rifampisin 10-20mg/kg/BB/hari
Isoniazid 7-15mg/kg/BB/hari
Pirazinamid 30-40 mg/kg/BB/hari
Etambutol 15-25mg/kg/BB/hari

Streptomisin 20 mg/kgBB/hari
Sumber : Pengendalian dan penyakit penyehatan lingkungan KKRI,
2013

Di samping tuberkulostatik dapat diberikan rangkaian pengobatan


dengan deksametason untuk menghambat edema serebri dan timbulnya
perlekatan antara araknoid dan otak (Levin, 2009).
Steroid diberikan untuk:
a) Menghambat reaksi inflamasi
b) Mencegah komplikasi infeksi
c) Menurunkan edema serebri
d) Mencegah perlekatan
e) Mencegaharteritis/infark

24
2. Konsep Keperawatan
Dalam memberikan asuhan keperawatan kepada klien yang mengalami gangguan
sistem persarafan, perawat dituntut untuk memiliki kemampuan berpikir kritis, karena
tidak jarang kliennya mengalami penurunan kesadaran, sehingga perawat bekerja
sepihak. Walaupun kondisinya demikian perawat tetap harus menggunakan metoda
pendekatan pemecahan masalah (problem solving) melalui proses keperawatan. Proses
keperawatan yaitu serangkaian perbuatan atau tindakan untuk menetapkan,
merencanakan dan melaksanakan pelayanan keperawatan dalam rangka membantu klien
untuk mencapai dan memelihara kesehatan secara optimal.tindakan keperawatan tersebut
dilaksanakan secara komprehensif yang saling berkesinambungan dan berkaitan satu
sama lain dari mulai pengkajian, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.
a. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dalam proses keperawatan dimana pada tahap ini
perawat melakukan pengumpulan data yang diperoleh dari hasil wawancara,
pemeriksaan fisik, laporan teman sejawat, catatan keperawatan atau tim kesehatan
lainnya. Data yang diperoleh kemudian dianalisa untuk mendapatkan diagnosa
keperawatan yang merupakan masalah klien. Tahap pengkajian ini terdiri dari :
(1) Pengumpulan data
a) Identitas
Identitas klien
Identitas klien yang berhubungan dengan penyakit meningitis adalah:
- Umur : meningitis adalah penyakit sistem persarafan yang dapat terjadi
pada semua umur, dewasa maupun anak.
- Pendidikan : Pendidikan yang rendah dapat mempengaruhi terhadap
pengetahuan klien tentang penyakit meningitis
- Pekerjaan : Ekonomi yang rendah akan berpengaruh karena dapat
menyebabkan gizi yang kurang sehingga daya tahan tubuh klien rendah
dan mudah jatuh sakit.
Identitas penanggung jawab meliputi:
Nama, umur, pendidikan, pekerjaan, alamat dan hubungan dengan klien.

b) Riwayat kesehatan
- Keluhan utama
Pada umumnya klien dengan meningitis keluhan yang paling utama
adalah adanya nyeri kepala atau penurunan kesadaran yang disertai
kejang.

25
- Riwayat kesehatan sekarang
Pengkajian meliputi keluhan pada saat datang ke rumah sakit dan
keluhan pada saat pengkajian, dikembangkan dengan menggunakan
analisa PQRST.
P: Provokatif/paliatif
Apakah yang meyebabkan keluhan dan memperingan serta
memberatkan keluhan. Nyeri kepala pada penyakit meningitis biasanya
disebabkan oleh adanya iritasi meningen. Nyeri di rasakan bertambah
bila beraktivitas dan berkurang jika beristirahat.
Q : Quantity / Quality
Seberapa berat keluhan dan bagaimana rasanya serta berapa sering
keluhan itu muncul. Nyeri kepala dirasakan menetap dan sangat berat.
R: Region / Radasi
Lokasi keluhan dirasakan dan juga arah penyebaran keluhan sejauh
mana.
S : Scale
Intensitas keluhan dinyatakan dengan keluhan ringan, sedang dan berat.
Nyeri kepala pada klien meningitis sangat berat (skala : 5),
dikarenakan adanya iritasi meningen yang disertai kaku kuduk.
T : Timing
Kapan keluhan dirasakan, seberapa sering, apakah berulang-ulang,
dimana hal ini menentukan waktu dan durasi. Keluhan nyeri dirasakan
menetap/terus menerus karena iritasi meningen.
- Riwayat kesehatan dahulu
Kaji kebiasaan klien : merokok, minum-minuman beralkohol, riwayat
batuk lama / infeksi saluran nafas kronis, batuk berdahak atau tanpa
dahak (dahak berdarah / tidak). Riwayat kontak dengan penderita TBC.
Apakah klien punya riwayat trauma kepala atau tulang belakang.
Riwayat infeksi lain seperti Otitis media dan mastoiditis.
- Riwayat kesehatan keluarga.
Kaji riwayat keluarga apakah ada keluarga klien yang menderita
penyakit yang sama dengan klien, riwayat demam disertai kejang.
Adanya penyakit menular seperti TBC.
c) Pemeriksaan fisik
(1) Sistem pernafasan
Gejala yang ditemukan biasanya didapatkan pernafasan cepat dan
dangkal, penggunaan otot-otot pernafasan tambahan, adanya pernafasan
cuping hidung, retraksi dada positif, adanya batuk berdahak, ronkhi
positif.

26
(2) Sistem Kardiovaskuler
Suara jantung lemah, adanya peningkatan tekanan darah atau penurunan
tekanan darah dan peningkatan frekuensi denyut nadi. Pada kasus lebih
lanjut akral menjadi dingin, terjadi sianosis dan capillary refil time
(CRT) lebih dari 3 detik.
(3) Sistem Percernaan
Pada sistem pencernaan ditemukan keluhan mual dan muntah serta
anoreksia bahkan ditemukan adanya kerusakan nervus kranial pada
nervus vagus yang mengakibatkan penurunan reflek menelan. Pada
kondisi ini akan menimbulkan hipersekresi HCl  iskemia mukosa
lambung dan kerusakan barrier mukosa  erosi hemoragik lambung
(perdarahan lambung) sehingga terjadi penurunan berat badan dan jatuh
pada kondisi kurang kalori protein (KKP).
(4) Sistem Perkemihan
Pada sistem urinaria dapat terjadi retensi urine dan inkontinensia urine.
Pada kondisi lebih lanjut akan terjadi albuminuria karena proses
katabolisme terutama jika dalam kondisi KKP.
(5) Sistem Muskuloskeletal
Pengkajian pada sistem muskuloskeletal perlu diarahkan pada
kerusakan motorik, kelemahan tubuh, massa otot, dan perlu di kaji
rentang gerak dari ekstremitas.
(6) Sistem Integumen
Penting mengkaji adanya peningkatan suhu tubuh sebagai dampak
infeksi sistemik, selain itu klien dengan meningitis seringkali terjadi
penurunan kesadaran sehingga klien harus berbaring lama di tempat
tidur dan dapat terjadi gangguan integritas kulit sebagai dampak dari
berbaring yang lama.
(7) Sistem persarafan
Gangguan yang muncul pada klien meningitis yang berkaitan dengan
sistem persarafan sangat kompleks. Pada penyakit meningitis terjadi
peradangan selaput otak dan parenkim otak yang merupakan pusat
sistem persarafan. Gangguan yang muncul tersebut antara lain:
kerusakan saraf pengontrol kesadaran yang dapat mengakibatkan
penurunan kesadaran, pola nafas tidak efektif akibat peningkatan
tekanan intrakranial yang menekan pusat pernafasan dan kerusakan
pada saraf kranial yaitu nervus vagus yang mengakibatkan penurunan
reflek menelan, nervus kranial lain yang umum terkena adalah nervus I,
III, IV, VI, VIII. Pada penyakit meningitis terdapat tanda yang khas
yaitu tanda-tanda iritasi meningen: kaku kuduk positif, brudzinski I, II

27
positif, kernig dan laseque positif. Selain itu gejala awal yang sering
terjadi pada meningitis adalah sakit kepala dan demam yamg
diakibatkan dari iritasi meningen, juga didapat adanya manifestasi
perubahan perilaku yang umum terjadi, yaitu letargik, tidak responsif
dan koma. Kejang sekunder dapat terjadi juga akibat area fokal kortikal
yang peka. Alasan yang tidak diketahui, klien meningitis juga
mengalami "foto fobia" atau sensitif yang berlebihan terhadap cahaya.
d) Pola aktivitas sehari-hari
(1) Nutrisi
Biasanya klien kehilangan nafsu makan, mual, muntah, anoreksia dan
bila pasien mengalami penurunan kesadaran, reflek menelan terjadi
penurunan, sehingga klien harus dipasang naso gastric tube (NGT).
(2) Eliminasi
Pada umumnya klien dengan penurunan kesadaran akan terjadi
inkontinensia urine sehingga harus dipasang dower kateter.
(3) Istirahat tidur
Istirahat tidur terganggu akibat adanya sesak nafas, nyeri kepala hebat
akibat peningkatan tekanan intra kranial. Hal ini merupakan
mecanoreceptor terhadap reticular activating system ( RAS ) sebagai
pusat tidur jaga.
(4) Personal hygiene
Bisa mengalami gangguan pemenuhan ADL termasuk personal hygiene
akibat kelemahan otot terutama pada klien dengan penurunan
kesadaran.
e) Data psikologis
Pada umumnya klien merasa takut akan penyakitnya, cemas karena
perawatan lama di rumah sakit dan perasaan tidak bebas di rumah sakit
akibat hospitalisasi.
Konsep diri klien: persepsi klien terhadap tubuhnya dapat berubah akibat
perubahan bentuk dan fungsi tubuh, klien merasa tidak berharga, rendah
diri dan kehilangan peran.
Ideal diri klien banyak yang tidak tercapai. Sebagian besar penyakit
meningitis dapat membatasi kehidupan klien sehari-hari.
f) Data sosial
Perlu dikaji tentang tidak tanggapnya terhadap aktifitas disekitarnya baik
ketika di rumah atau di rumah sakit. Klien biasanya menjadi tidak peduli
dan lebih banyak diam akan lingkungan sekitarnya.

28
g) Data spiritual
Pengkajian ditujukan terhadap harapan kesembuhan, kepercayaan
dan penerimaan mengenai keadaan sakit serta keyakinan yang dianut oleh
klien ataupun keluarga klien.
h) Data Penunjang
Laboratorium
(1) Pemeriksaan darah leukosit meningkat bila terjadi
infeksi.
(2) Analisis cairan serebrospinalis melalui lumbal fungsi.
(3) Karakteristik cerebro spinalis fluid (CSF) pada
meningitis tuberkulosis adalah :
(a) Warna CSF jernih
(b) Jumlah sel eritrosit dan leukosit meningkat.
(c) Biokimia:
- Kalium meningkat
- Klorida menurun
- Glukosa menurun
- Protein meningkat
(4) Radiologi dengan thorak foto melihat kemungkinan adanya penyakit
saluran nafas sebagai infeksi primer.
(5) Foto tulang wajah untuk melihat adanya skelet dan rongga sinus yang
mengalami sinusitis.
(6) Scanning / CT Scan untuk menemukan adanya patologi otak dan
medulaspinalis.

b. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang muncul pada klien dengan meningitis adalah:
1) Resiko tinggi penyebaran infeksi berhubungan dengan proses invasi kuman
patogen.
2) Resiko tinggi terhadap perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan
oedema serebral.
3) Resiko tinggi terhadap trauma berhubungan dengan penurunan kesadaran
4) Nyeri berhubungan dengan adanya proses infeksi pada susunan saraf pusat.
5) Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler.
6) Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan kerusakan sistem saraf.
7) Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan.
8) Kurang pengetahuan tentang penyebab infeksi dan kebutuhan pengobatan
berhubungan dengan kurangnya informasi.
9) Ketidak efektifan pola nafas berhubungan dengan penurunan tingkat kesadaran.

29
10) Gangguan keseimbangan suhu tubuh, hypertermia berhubungan dengan
proses inflamasi.
11) Resiko terjadinya gangguan integritas kulit berhubungan dengan tirah baring
lama.

c. Intervensi
Perencanaan adalah proses penentuan tujuan merumuskan intervensi dan rasional
secara sistematis dan spesifik disesuaikan dengan kondisi, situasi dan lingkungan
klien.
a. Resiko tinggi penyebaran infeksi berhubungan dengan proses invasi kuman
patogen secara hematogen.
Tujuan : Penyebaran infeksi tidak terjadi.
Kriteria :
- Suhu tubuh normal 36-37°C
- Klien ditempatkan di ruang isolasi
No Intervensi Rasional
.

1 2 3
1. Berikan tindakan isolasi Pada fase awal meningitis
sebagai tindakan pencegahan meningokokus atau infeksi ensepalitis
lainnya, isolasi mungkin diperlukan
sampai organismenya diketahui/dosis
antibiotik yang cocok telah diberikan
untuk menurunkan resiko penyebaran
pada orang lain.

2. Pertahankan teknik aseptik dan Menurunkan resiko klien terkena


teknik cuci tangan yang tepat infeksi sekunder. Mengontrol
baik klien atau pengujung penyebaran sumber infeksi, mencegah
maupun staf. Pantau dan batasi pemajanan pada individu terinfeksi
pengunjung/staf sesuai (misalnya: individu yang mengalami
kebutuhan. infeksi saluran pemafasan atas).

3. Pantau suhu secara teratur. Catat Terapi obat biasanya akan diberikan
munculnya tanda-tanda klinis dari terus selama kurang dari 5 hari setelah
proses infeksi. suhu turun (kembali normal) dan
tanda-tanda klinisnya jelas. Timbulnya
tanda klinis yang terus menerus

30
1 2 3
merupakan indikasi perkembangan
dari meningokosemia akut yang dapat
bertahan sampai berminggu-
minggu/berbulan-bulan atau terjadi
penyebaran patogen secara
hematogen/sepsis.
4. Teliti adanya keluhan dari dada, Infeksi sekunder seperti
berkembangnya nadi yang tidak miokarditis/perikarditis dapat
teratur/disritmia atau demam berkembang dan memerlukan
yang terus menerus. intervensi
lanjut.

5. Auskultasi suara nafas. Pantau Adanya rorchi/mengi, takhipne dan


kecepatan pernafasan dan usaha peningkatan kerja pernafasan mungkin
pernafasan. mencerminkan adanya akumulasi
sekret dengan resiko terjadinya infeksi
pernafasan.

6. Ubah posisi klien dengan teratur Mobilisasi sekret dan meningkatkan


dan anjurkan untuk melakukan kelancaran sekret yang akan
nafas dalam. menurunkan resiko terjadinya
komplikasi terhadap pernafasan.

7. Catat karakteristik urine, seperti Urine statis, dehidrasi dan kelemahan


warna, kejernihan dan bau umum meningkatkan resiko terhadap
infeksi kandung kemih/ginjal/awitan
sepsis.

8. Kolaborasi Obat yang dipilih tergantung pada tipe


Berikan terapi antibiotik IV infeksi dan sensitifitas individu.
sesuai indikasi: penisilin G, Catalan: Obat intratekal mungkin
Ampisilin, Kloramfenikol, diindikasikan untuk basilus Gram-
Gentamisin, negatif, jamur, amuba.
Amfoterisin B.

b. Resiko tinggi terhadap perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan


oedema serebral.
Tujuan : Tidak terjadi gangguan perfusi serebral
Kriteria :

31
- Tingkat kesadaran membaik
- Tanda-tanda vital stabil
- Tidak adanya nyeri kepala
- Tidak adanya tanda peningkatan TIK

N Intervensi Rasional
o.
1 2 3
1. Tentukan faktor-faktor yang Menentukan pilihan intervensi. Penurunan
berhubungan dengan keadaan tanda/gejala neurologis atau kegagalan
tertentu atau yang dalam pemulihannya setelah serangan awal
menyebabkan koma / menunjukan klien itu perlu dipindahkan ke
penurunan perfusi jaringan perawatan intensif untuk mementau tekanan
otak dan potensial TIK atau pembedahan.
peningkatan TIK
2. Pantau status neurologis Mengkaji adanya kecenderungan pada
secara teratur dan bandingkan tingkat kesadaran dan potensial peningkatan
dengan nilai standar TIK dan bermanfaat dalam menentukan,
(misalnya: GCS) lokasi, perluasan dan perkembangan
kerusakan SSP.

3. Pantau tanda-tanda vital Peningkatan tekanan darah sistemik yang


meliputi TD, Nadi, Respirasi diikuti oleh penurunan tekanan darah
diastolik merupakan tanda adanya
peningkatan TIK nafas yang tidak teratur
dapat menunjukan lokasi gangguan serebral
dan tanda adanya peningkatan serebral.

4. Bantu klien untuk Aktivitas ini akan meningkatkan tekanan


menghindari manuver intra thoraks yang akan meningkatkan TIK
valsava, seperti batuk,
mengejan.

5 Perhatikan adanya gelisah Petunjuk non verbal ini menunjukan adanya


yang meningkat, peningkatan peningkatan TIK atau adanya nyeri kepala.
keluhan dan tingkah laku
yang tidak sesuai.

32
6 Kaji adanya peningkatan Merupakan indikasi dari iritasi meningeal
rigiditas, regangan, peka yang dapat terjadi sehubungan dengan
rangsang, serangan kejang. kerusakan dari duramater atau
perkembangan infeksi.

7 Tinggikan kepala klien 15-45 Meningkatkan aliran balik vena dari kepala
derajat sesuai indikasi yang sehingga akan mengurangi kongesti dan
dapat ditoleransi. oedema atau resiko peningkatan TIK.

8 Kolaborasi untuk pemberian Menurunkan inflamasi yang selanjutnya


obat sesuai indikasi seperti menurunkan oedema jaringan.
dexametason

c. Resiko tinggi terhadap injuri / trauma berhubungan dengan adanya kejang akibat
iritasi korteks serebral.
Tujuan : Trauma / injuri tidak terjadi.
Kriteria : Tidak mengalami kejang / kejang dapat diatasi.

No. Intervensi Rasional


1 2 3
1. Monitor adanya kejang/ kedutan Mencerminkan adanya iritasi SSP secara
pada tangan, kaki dan mulut umum yang memerlukan evaluasi segera
atau otot wajah yang lain. dan intervensi yang mungkin untuk
mencegah komplikasi.

2. Berikan keamanan pada klien Melindungi klien jika terjadi kejang.


dengan memberi bantalan pada Catatan: Memasukan jalan nafas
penghalang tempat tidur, buatan/ gulungan lunak hanya jika
pertahankan penghalang rahangnya relaksasi, jangan dipaksa,
tempat tidur tetap terpasang memasukan ketika giginya mengatup
dan pasang jalan nafas buatan karena dapat merusak jaringan lunak.
plastik atau gulungan lunak
dan alat penghisap.

3. Kolaborasi dengan medik untuk Merupakan indikasi untuk penanganan


pemberian obat sesuai indikasi, dan pencegahan kejang. Catatan:
seperti Fenitoin (dilantin), Fenobarbital dapat menyebabkan
diazepam (valium), depresi pernafasan dan sedatif serta
fenobarbital (luminal) menutupi tanda/ gejala dari peningkatan

33
TIK.

d. Nyeri berhubungan dengan adanya proses infeksi pada susunan saraf pusat.
Tujuan : Nyeri hilang
Kriteria :
- Klien melaporkan nyeri hilang atau terkontrol
- Menunjukan postur rileks dan mampu tidur/istirahat dengan tepat.
No. Intervensi Rasional bn

1 2 3
1. Berikan lingkungan yang Menurunkan reaksi terhadap stimulasi
tenang, ruangan agak gelap dari luar atau sensitivitas pada cahaya
sesuai indikasi dan meningkatkan istirahat/relaksasi.

2. Letakan kantung es pada kepala, Meningkatkan vasokontriksi,


pakaian dingin di atas mata. menumpulkan persepsi sensori yang
selanjutnya akan menurunkan nyeri.

3. Dukung untuk menemukan Menurunkan iritasi meningeal, resultan


posisi yang nyaman, seperti ketidak nyamanan lebih lanjut.
kepala agak tinggi sedikit.
4. Berikan latihan rentang gerak Dapat membantu merelaksasikan
aktif/pasif secara tepat dan ketegangan otot yang meningkatkan
lakukan massase otot daerah reduksi nyeri atau rasa tidak nyaman
bahu atau leher. tersebut.

e. Gangguan mobilisasi fisik berhubungan dengan keterbatasan gerak akibat


kelemahan atau kerusakan neuromuskular.
Tujuan : Mobilisasi fisik terpenuhi.
Kriteria : Klien mampu melakukan mobilisasi.
No. Intervensi Rasional
1 2 3
1. Periksa kembali kemampuan dan Mengidentifikasi kemungkinan
keadaan secara fungsional pada kerusakan secara fungsional dan
kerusakan yang terjadi. mempengaruhi dan pilihan intervensi
yang akan dilakukan.

2. Kaji derajat imobilisasi klien Klien mampu mandiri (nilai 0) atau

34
dengan menggunakan skala memerlukan bantuan/ peralatan yang
ketergantungan minimal (nilai 1); memerlukan
bantuan sedang dengan pengawasan /
diajarkan (nilai 2); memerlukan
bantuan / peralatan yang terus menerus
dan alat khusus (nilai 3); atau
tergantung secara total pada pemberian
asuhan (nilai 4). seseorang da lam
semua kategori sama-sama
mempunyai resiko kecelakaan namun
kategori dengan nilai 2-4 mempunyai
resiko terbesar untuk terjadinya
bahaya tersebut sehubungan dengan
imobilisasi.

3. Berikan atau bantu untuk Mempertahankan mobilisasi dan


melakukan latihan rentang fungsi sendi / posisi normal
gerak/ROM. ekstremitas dan menurunkan
terjadinya vena yang statis
4. Berikan perawatan kulit dengan Meningkatkan sirkulasi dan elastisitas
cermat, masase dengan pelembab kulit dan menurunkan resiko
dan ganti linen / pakaian yang terjadinya ekskoriasi kulit
basah dan pertahankan linen
tersebut tetap bersih dan bebas
dari kerutan.

f. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan kerusakan sistem saraf.


Tujuan : Tidak terjadi perubahan sensori
Kriteria :
- Melakukan kembali/mempertahankan tingkat kesadaran biasanya dan fungsi persepsi
No. Intervensi Rasional
1 2 3
1. Evaluasi secara teratur Fungsi serebral bagian atas biasanya
perubahan orientasi, terpengaruh lebih dulu oleh adanya
kemampuan berbicara, alam gangguan sirkulasi, oksigenasi.
perasaan/afektif, sensorik dan
proses pikir.
2. Kaji kesadaran sensorik seperti Informasi penting untuk keamanan

35
respon sentuhan, panas/dingin, klien. Semua sistem sensorik dapat
tajam/tumpul, dan kesadaran terpengaruh dengan adanya perubahan
terhadap gerakan dan letak yang melibatkan peningkatkan atau
tubuh, perhatikan adanya penurunkan sensitifitas atau kehilangan
masalah penglihatan atau sensasi sensasi/kemampuan untuk menerima
yang lain. dan berespon secara sesuai dengan
stimulus.

3. Berikan stimulasi yang Membantu klien untuk memisahkan


bermanfaat secara verbal, pada realitas dari perubahan persepsi,
penciuman, taktil, pendengaran . gangguan fungsi kognitif dan atau
penurunan penglihatan dapat menjadi
potensi timbulnya disorientasi dan
ansietas.

4. Berikan kesempatan yang lebih Menurunkan frustrasi yang


banyak untuk berkomunokasi berhubungan dengan perubahan
dan melakukan aktifitas. kemampuan atau pola respon yang
menunjang.

g. Ketidak efektifan pola nafas berhubungan dengan penurunan kesadaran.


Tujuan : pola nafas efektif
Kriteria :
- Frekuensi nafas normal 16 - 20 x /mt
- Irama nafas reguler.
No. Intervensi Rasional
1 2 3
1. Kaji dan pantau frekuensi pola Perubahan pola nafas tidak efektif
dan irama nafas merupakan tanda berat adanya
peningkatan tekanan intrakranial yang
menekan medulla oblongata

2. Pertahankan jalan nafas efektif Lendir yang berlebihan akan


dengan melakukan pembersihan menumpuk dan menimbulkan
jalan nafas seperti pengisapan obstruksi jalan nafas.
lendir dan oral hygiene.

3. Berikan O2 sesuai order dan Untuk memenuhi kebutuhan

36
monitor efektifitas pemberian oksigen dalam darah dan jaringan.
oksigen tersebut.
4. Pertahankan kepatenan jalan Posisi leher yang ekstensi / menekuk
nafas dengan leher dan posisi mengakibatkan jalan nafas terhambat.
netral.

h. Gangguan keseimbangan suhu tubuh hipertermia berhubungan dengan proses


inflamasi
Tujuan : Keseimbangan suhu tubuh terpenuhi.
Kriteria : Suhu tubuh 36 - 37 °C, keringat berkurang, klien tidak merasakan panas
badan.
No Intervensi Rasional
.
1 2 3
1. Berikan kompres dingin pada Kompres dingin dapat menimbulkan
daerah yang banyak pembuluh proses konduksi dimana terjadi
darah sampai suhu badan perpindahan panas dari satu objek ke
kembali normal. objek lain dengan kontak fisik antara
kedua objek tersebut.
2. Anjurkan pada klien untuk Dengan pakaian tipis memudahkan
mengenakan pakaian tipis dan penyerapan keringat dan memberi rasa
menyerap keringat. nyaman.

3. Observasi tanda-tanda vital Untuk mengetahui lebih lanjut tindakan


suhu, tensi, respirasi, dan nadi. yang akan dilakukan.
4. Kolaborasi pemberian terapi Antipiretik berfungsi menghambat
antipiretik. panas pada hipotalamus.

i. Resiko terjadinya gangguan integritas kulit berhubungan dengan tirah baring


lama.
Tujuan : Ganguan integritas kulit tidak terjadi
Kriteria : Tidak tampak tanda-tanda gangguan integritas kulit seperti : kemerahan dan lecet pada
kulit.
No Intervensi Rasional
.
1 2 3
1. Atur dan rubah posisi tidur Dapat mengurangi tekanan yang terus
klien setiap 2 jam. menerus yang menimbulkan sirkulasi
yang optimal pada daerah penekanan.

37
2. Berikan bantalan pada area tubuh Dengan diberikan bantalan pada daerah
yang menonjol dan berada pada penekanan akan mengurangi tekanan efek
permukaan tempat tidur. sirkulasi yang tidak lancar.

3. Lakukan masase pada daerah Tindakan masase sebagi stimulus terhadap


penekanan seperti bokong, siku vasodilatasi bagi vaskuler yang
dan turn it setiap hari. mengalami kontriksi pada permukaan
sehingga akan membantu melancarkan
sirkulasi pada daerah tersebut.

4. Observasi tanda dekubitus Bila ditemukan tanda-tanda dekubitus


seperti lecet, kemerahan pada segera ambil tindakan untuk
siku, tumit, bokong dan daerah mengantisipasi terjadinya kerusakan
punggung setiap hari jaringan kulit yang berlebihan.

j. Gangguan rasa aman: cemas klien atau keluarga berhubungan dengan kurangnya
informasi tentang proses penyakit dan perawatan klien dirumah.
Tujuan : cemas dapat diatasi
Kriteria :
- Klien atau keluarga mengakui dan mendiskusikan rasa takut.
- Klien atau keluarga tampak rileks (tidak memperlihatkan kecemasan seperti
gelisah)
No. Intervensi Rasional
1 2 3
1. Kaji status mental dan tingkat Gangguan tingkat kesadaran dapat
ansietas dari klien/keluarga. mempengaruhi ekspresi rasa takut tapi
Catat tanda-tanda verbal atau tidak menyangkal keberadaannya.
non verbal. Derajat ansietas akan dipengaruhi
bagaimana informasi tersebut diterima
oleh individu.

2. Berikan penjelasan hubungan Meningkatkan pemahaman,


antara proses penyakit dan mengurangi rasa takut karena
gejalanya. ketidaktahuan dan dapat membantu
menurunkan ansietas.

3. Jelaskan dan persiapkan untuk Dapat meringankan ansietas terutama

38
tindakan prosedur sebelum ketika pemeriksaan tersebut melibatkan
dilakukan. otak.

4. Libatkan klien/keluarga dalam Meningkatkan perasaan kontrol


perawatan, perencanaan terhadap diri dan meningkatkan
kehidupan sehari-hari, kemandirian.
membuat keputusan sebanyak
mungkin.

k. Perubahan nutrisi:kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kelemahan


reflek menelan (disfagia) atau adanya rasa rnual,muntah dan anoreksia.
Tujuan : Kebutuhan nutrisi terpenuhi.
Kriteria :
- Disfagia dapat diatasi
- Tidak terjadi aspirasi.
- Mual, muntah dan anoreksia tidak ada.
No. Intervensi Rasional

1 2 3
1. Timbang berat badan Untuk mengetahui efektivitas therapi.
seminggu sekali.

2. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk Ahli gizi adalah spesialis nutrisi yang
membantu perencanaan makanan. dapat membantu kebutuhan nutrisi
klien dan langsung mempersiapkan
kebutuhan nurisi kliennya.

3. Jika masukan makanan hanya NPT mensuplai protein dan


sedikit, BB terus menerus turun kalori,asam lemak dan vitamin dapat
selama 5 hari, status diberikan IV bersama-sama larutan
menunjukkan kekurangan NPT, protein, Karbohidrat dan lemak
nutrisi kolaborasi dengan penting untuk fungsi dan
dokter untuk pemberian nutrisi perkembangan sel.
parenteral total (NPT).

4. Bila terjadi disfagia kolaborasi Dengan NGT dapat menghindari


dengan dokter untuk pemasangan terjadinya aspirasi karena kelemahan
NGT. reflek menelan.

39
1 2 3

5. Kolaborasi pemberian obat H2 H2 reseptor antagonis dapat


reseptor antagonis sesuai advis. menghambat produksi HCl atau
menetralisir asam lambung.

l. Resiko tinggi terhadap kekurangan volume


cairan : dehidrasi berhubungan dengan kehilangan cairan, penurunan masukan
oral dan peningkatan suhu tubuh.
Tujuan : Kekurangan volume cairan tubuh tidak terjadi.
Kriteria :
- Membran mukosa lembab.
- Turgor kulit baik.
- Pengisian kapiler cepat.
No. Intervensi Rasional

1 2 3
1. Kaji perubahan tanda vital. Peningkatan suhu / demam
meningkatkan laju dan
kehilangan cairan tubuh melalui
evaporasi.

2. Kaji turgor kulit, kelembaban Indikator langsung keadekuatan


membran mukosa. volume cairan, meskipun membran
mukosa mulut mungkin kering
karena nafas melalui mulut dan
oksigen tambahan.

3. Catat / lapor keluhan mual atau Adanya gejala menurunkan masukan


muntah. oral.

4. Pantau intake dan output Berikan informasi tentang keadekuatan


volume cairan dan kebutuhan
pengganti.
5. Tekankan cairan sedikitnya Pemenuhan kebutuhan dasar cairan.
2500 ml/hari sesuai kondisi

6. Berikan obat sesuai indikasi, Berguna untuk menurunkan kehilangan


misalnya antipiretik, cairan.
antiemetik.

40
1 2 3
7. Berikan cairan tambahan melalui Adanya penurunan masukan/banyak
IV sesuai dengan kebutuhan. kehilangan, penggunaan parenteral
dapat memperbaiki / mencegah
kekurangan cairan.

BAB III
TINJAUAN KASUS

1. PENGKAJIAN KEPERAWATAN ANAK


I. BIODATA
A. Identitas Klien
Nama/nama panggilan : An. H
Tempat tgl lahir/usia : Parigi, 04-03-2019
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pendidikan :-
Alamat : Desa dolago parigi
Tgl masuk : 30-03-2-2021 Jam 10:00
Tgl pengkajian : 06-04-2021
Diagnosa medis : Meningitis TB

B. Identitas orang tua


1. Ayah
Nama : Tn. F
Umur : 25 tahun
Pendidikan : SD
Pekerjaan :-
Agama : Islam
Alamat : Desa dolago parigi
2. Ibu
Nama : Ny. M
Umur : 22 tahun
Pendidikan : SMP
Pekerjaan :-
Agama : Islam
Alamat : Desa dolago parigi

41
C. Indentitas Saudara Kandung (klien anak tunggal)

No Nama Umur Hubungan Keterangan


1 An. H 2 Tahun Anak pertama Sakit

II. RIWAYAT KESEHATAN


A. Riwayat Kesehatan Sekarang
- Keluhan utama saat masuk RS : Kejang
- Riwayat keluhan utama saat masuk RS :
Ibu klien mengatakan klien demam tinggi dan kemudian dibawa ke Puskesmas
Rawat Inap selama 4 hari namun suhu tubuh tidak kunjung turun, kemudian dirujuk ke
RS Ibu dan Anak selama 1 minggu. Kondisi pasien pada saat itu masih berbicara dan
bermain bersama ayahnya, makan dan minum masih baik. Kemudian klien seperti
ketakutan dan tidal mau makan dan minum disertai muntah, leher langsung kaku dan
kejang, kemudian dirujuk ke RS Anutalako dengan keadaaan kejang disertai gemetar
dari isya sampai pagi, sudah diberikan obat terapi. Klien tidal sadarkan diri sehingga
dirujuk ke RSUD UNDATA PALU.
- Keluhan saat dikaji :
Badan masih kaku
- Riwayat keluhan saat dikaji :
Ibu klien mengatakan badan anaknya masih kaku, sulit menelan makanan dan panas
naik turun.

B. Riwayat Kesehatan Lalu


1. Perenatal Care
a. Keluhan selama hamil yang dirasakan ibu
Ibu klien mengatakan selama hamil tidak mengalamimasalah dan pemeriksaan
kehamilan rutin dilakukan ke Pelayanan Kesehatan terdekat. Ibu mengalami
ngidam (muntah-muntah saat hamil), kenaikan BB ibu saat hamil dari 38 kg
menjadi 43 kg.
b. Imunisasi TT
Ibu klien mengatakan mendapat imunisasi TT sebanyak 2 kali.
2. Natal
a. Jenis persalinan : Spontan
b. Tempat melahirkan : RS Ibu dan Anak Devina
c. Penolong persalinan : Bidan

42
d. Komplikasi yang dialami ibu pada saat dan setelah melahirkan :
Ibu klien mengatakan tidak mengalami komplikasi pada saat melahirkan dan
setelah melahirkan.
3. Post Natal
a. Kondisi bayi : Bayi lahir langsung menangis, BB: 2,3 kg PB: Tidak diingat.
b. Anak pada saat lahir tidal mengalami kelainan kongenital.
c. Klien pernah jatuh dari ayunan pada umur 3 bulan

C. Riwayat Kesehatan Keluarga : Genogram

X X

Keterangan :

: Laki-laki

: Perempuan

X : Meninggal

……. : Tinggal serumah

: Klien

III. RIWAYAT IMUNISASI

No Jenis Imunisasi Waktu Frekuensi Reaksi Setelah


Pemberian Pemberian
1 BCG Bayi 1 bulan 1x Setiap kali setelah
2 DPT (I,II,III) Usia 2,3,4 bulan 3x pemberian
3 Polio (I,II,III,IV) Usia 2,3,4 bulan 4x

43
4 Campak Usia 9 bulan 1x imunisasi, klien
5 Hepatitis Usia 2 bulan 2x langsung demam
dan ada bekas
bengkak

IV. RIWAYAT TUMBUH KEMBANG


A. Pertumbuhan Fisik
1. BB : 2,9 kg
2. PB :-
3. Waktu tumbuh gigi : Ibu klien menatakan bahwa anaknya tumbuh gigi pertama
pada usia 5 bulan
B. Perkembangan tiap tahap
Usia anak saat ini : 2 tahun
1. Berguling : 3 bulan
2. Duduk : 6 bulan
3. Merangkak : 5 bulan
4. Berdiri : 11 bulan
5. Berjalan : 1 tahun 1 bulan
6. Senyum pertama kali : 3 bulan
7. Bicara pertama kali : Usia 7 bulan mengatakan “mama”

V. RIWAYAT NUTRISI
A. Pemberian ASI : Ibu klien mengatakan bahwa sejak lahir hingga sebelum klien sakit
selalu diberikan asi
B. Pemberian susu formula : Ibu mengatakan bahwa sejak lahir tidal memberikan susu
formula pada anaknya.
C. Pola perubahan nutrisi

No Usia Jenis Nutrisi Lama Pemberian


1 2 Bulan Sun (bubur instan) Kurang lebih 3 bulan
2 5 Bulan Bubur saring Kurang lebih 7 bulan
3 1 Tahun Nasi dan sayur Hingga sebelum sakit

VI. RIWAYAT PSIKOSOSIAL


Klien tinggal bersama ayah tirinya, ibu, dan ketiga pamannya. Rumah terletak di
desa dolago Parigi. Klien diasuh oleh ayah tirinya dan ibunya, terkadang diasuh oleh
ayah kandungnya. Hubungan dengan lingkungan sekitar rumah baik.

VII. RIWAYAT SPIRITUAL

44
Keluarga klien saling mendukung dalam hal mengasuh, merawat dan ekonomi.
Ibu klien mengatakan tidal aktif dalam kegiatan keagamaan.

VIII. AKTIFITAS SEHARI-HARI


A. Nutrisi

Kondisi Sebelum Sakit Saat Sakit


1. Selara makan Baik Terpasang NGT
2. Frekuensi makan 3x sehari 3x sehari
3. Cara makan Makan sendiri Diberikan melalui sonde

B. Cairan

Kondisi Sebelum Sakit Saat Sakit


1. Jenis minuman Air putih, the Air putih, susu formula
2. Frekuensi minuman Setiap haus Setelah makan, 150 cc
3. Cara pemenuhan Minum dari gelas Diberikan melalui sonde

C. Eliminasi (BAB & BAK)

Kondisi Sebelum Sakit Saat Sakit


1. Tempat Langsung ketoilet Popok bayi
pembuangan
2. Frekuensi BAB : 2x sehari, BAB : 1x sehari
BAK : 3x sehari BAK : 3x sehari
3. Konsistensi Baik, tidak ada BAK : Berwarna merah
masalah efek obat

D. Istirahat Tidur

Kondisi Sebelum Sakit Saat Sakit


1. Jam tidur
- Siang 11:00 - 14:00 Tidur sepanjang hari
- Malam 21:00 - Pagi Tidak teratur
2. Pola tidur Teratur Tidak teratur
3. Kebiasaan Berdoa Tidal ada

E. Personal Hygiene

Kondisi Sebelum Sakit Saat Sakit


1. Mandi
- Cara Mandi Dilap oleh ibunya

45
sendiri/dimandikan
- Frekuensi 2x sehari/pagi, sore 1x sehari/pagi
- Alat mandi Sabun, sampo Air hangat
2. Cuci rambut
- Frekuensi 2x sehari Setiap pagi
- Cara Dicucikan ibunya Dilap dengan kain
3. Gunting kuku Ketika sudah panjang Belum pernah
4. Gosok gigi
- Frekuensi 2x sehari Belum pernah
- Cara Gosok gigi sendiri Belum pernah

F. Aktivitas/Mobilisasi Fisik

Kondisi Sebelm Sakit Saat Sakit


1. Kegiatan sehari- Bermain bersama Hanya terbaring
hari teman
2. Penggunaan alat Tidal menggunakan Terpasang IVFD dikaki
bantu aktivitas alat bantu kiri, NGT dan O2
3. Kesulitan gerak Aktifitas bermain Tidal bisa bergerak
pada tubuh

IX. PEMERIKSAAN FISIK


1. Keadaan Umum : GCS : 9 E : 3 M : 4 V: 2
2. Kesadaran : gangguan kesadaran sedang
3. Tanda-tanda vital
a. Tekanan darah : tidak diukur
b. Denyut nadi : 122x/menit
c. Suhu : 38,20C
d. Pernapasan : 40x/menit
4. Berat badan : 8 kg
5. Tinggi badan : 78 cm
a. LLA : 11 cm
b. LK : 44 cm
c. LD : 43 cm
d. LP : 36 cm
6. Kepala
- Inspeksi
Keadaan rambut dan hygiene kepala
a. Warna rambut : Hitam
b. Penyebaran : Merata

46
c. Mudah rontok : Tidal mudah rontok
d. Kebersihan rambut : Bersih
- Palpasi
Benjolan : Tidak ada benjolan dikepala
Nyeri tekan : Tidak ada
Tekstur rambut : Halus
7. Muka
- Inspeksi
Bentuk muka simetris, bentuk wajah oval, tidak ada gerakan abnormal
- Palpasi
Tidak ada nyeri tekan
8. Mata
- Inspeksi
a. Palpebral : Tidak ada edema dan radang
b. Sclera : Tidak icterus
c. Konjungtiva : Tidak ada radang dan anemis
d. Pupil : Isokor
e. Posisi mata : Simetris kiri dan kanan
f. Penutupan kelopak mata : Spontan
g. Keadaan bulu mata : Bulu mata lentik
h. Penglihatan : Tidak ada respon saat diberi rangsangan cahaya
- Palpasi
Tidak ada nyeri tekan pada area mata
9. Hidung dan sinus
- Inspeksi
a. Posisi hidung : Hidung berada pada posisi semestinya
b. Bentuk hidung : Simetris antara lubang hidung kiri dan kanan
c. Septum : Septum hidung tidal miring atau bengkak
d. Secret/cairan : Tidak ada secret/cairan
e. Data lain : Terpasang nasogastric (NGT) pada lubang hidung sebelah kiri
10. Telinga
- Inspeksi
a. Posisi telinga : Telinga kiri dan kanan simetris
b. Ukuran/bentuk telinga : Bentuk telinga normal
c. Aurikel :
d. Lubang telinga : Lubang telinga bersih, tidak nampak secret
e. Pemakaian alat bantu : Tidak menggunakan alat bantu pendengaran
- Palpasi
Tidak terdapat nyeri tekan pada daerah telinga

47
11. Mulut
- Inspeksi
a. Gigi : Gigi sudah tumbuh, ada dua gigi bagian bawah, dibagian atas ada 4 gigi,
3 bagian depan dan 1 bagian belakang
b. Gusi : Tidak ada peradangan pada gigi
c. Lidah : Lidah tidal kotor
d. Bibir : Tidak syanosis, tidak pucat, tidak basah, dan tidal berbau. Kemampuan
bicara tidak ada, tidal ada respon jika diajak bicara.\

12. Tenggorokan
- Palpasi
Nyeri tekan tidal ada, kemampuan menelan kurang, kemampuan menelan dan
mengunyah sangat lemah. Pasien menggunakan NGT untuk memenuhi kebutuhan
nutrisi makanan/minuman.
13. Leher
- Inspeksi
Tidak ada pembesaran pada kelenjar thyroid.
- Palpasi
Tidak ada nyeri tekan pada leher, kaku kuduk (+)
14. Thorax dan pernapasan
- Inspeksi
a. Bentuk dada : Simetris
b. Irama pernapasan : Reguler
c. Pengembangan diwaktu bernapas : Tidak Nampak rektrasi dada
d. Tipe pernapasan : Normal
- Palpasi
Tidak ada nyeri tekan dan tidak terdapat massa atau benjolan
- Auskultasi
Suara napas vesikuler
- Perfusi
Nyeri tekan tidak ada
15. Jantung
Tidak terdengar bunyi jantung tambahan
16. Abdomen
Perut datar, tidak distensi, tidak ada nyeri tekan, peristaltic (+).
17. Genetalia dan anus : Tidak ada haemorroid
18. Ekstremitas

48
Ekstremitas atas :
- Pergerakan kanan/kiri : Kedua tangan kanan dan kiri kaku,tidal ada gerakan nyata, kontraksi otot
ada dan akral hangat.

1 1
1 1
- Pergerakan abnormal : Tidak ada
Ekstremitas bawah :
- Motorik : Klien hanya berbaring ditempat tidur
- Refleks : Babinzky (+)
- Sensori : Rangsangan nyeri (+) tetapi lemah.

19. Skala Neurologis


Saraf-saraf kranial
a. Nervus I (Olfactorius) : Penghidu : Fungsi penciuman sulit dikaji.
b. Nervus II (Opticus) : Penglihatan : Refleks pupil terhadap cahaya (+)
c. Nervus III,IV,VI (Oculomotorius, Trochlearis, Abducens)
- Konstriksi pupil : Bisa bereaksi jika diberi rangsangan cahaya.
- Gerakan bola mata : Bola mata bisa digerakan
- Pergerakan mata kebawah & dalam : Klien bisa menatap mata dengan spontan.
d. Nervus V (Trigeminus)
- Sensibilitas/sensori : Klien tidal bisa membuka rahang dengan perintah.
- Refleks dagu : Tidak ada
- Refleks cornea : Tidak dilakukan
e. Nervus VII (Facialis)
- Gerakan mimik : Anak tidal tersenyum ketika diajak tersenyum
- Pengecapan 2/3 lidah bagian depan : Tidak diuji
f. Nervus VIII (Acusticus)
Fungsi pendengaran : Kadang mengedipkan mata ketika diajak berbicara.
g. Nervus IX dan X (Glosopharingeus dan Vagus)
- Refleks menelan : Lemah
- Refleks muntah : (+)
- Pengecapan 1/3 lidah bagian belakang : Tidak dikaji
- Suara : Tidal ada suara saat dilakukan pengkajian, klien belum bisa
mengucapkan kata-kata.
h. Nervus XI (Assesorius)
- Klien belum bisa memalingkan kepala ke kiri dan kekanan, kaku kuduk pada
leher.
- Mengangkat bahu : Klien belum bisa mengangkat bahu tanpa bantuan.
i. Nervus XII (Hypoglossus)

49
- Deviasi lidah : Tidal terlihat adanya hemor dilidah.
Tanda- tanda perangsangan pada selaput otak
a. Kaku kuduk : Ada tahanan pada kepala bila difleksi kearah dada, kaku kuduk (+)
b. Kernig sign : (+) ada tekanan pada saat tungkai bawah difleksikan.
c. Refleks brudzinski : (+) terdapat fleksi plantar pada saat dilakukan refleks
hammer.

X. TEST DIAGNOSTIK
1. Hematulogi Tgl 26/3/2021

Pemeriksaan Hasil Nilai Normal


WBC 15,19% 10ˆ 3/μl 3,8 – 10,6
HGB 9,9 g/dl 13,2 – 17,3
PLT 166 10ˆ 3/μl 150 – 440
HCT 30,1 % 40 - 52

2. Glucose Tgl 26/3/2021

Pemeriksaan Hasil Nilai Normal


Glucose 118 mg/dl 70 – 140 mg/dl

3. Kimia Darah

Pemeriksaan Hasil Nilai Normal


Elektrolit Darah
1. Natriurm 119 nmol/L 135 – 145
2. Kalium 3,3 nmol/L 3,5 – 5,5
3. Clorida 8,7 nmol/L 96 – 106

4. Pemeriksaan Foto Thorax


Kesan : - Bronchitis
- Besar luv normal
- Sistema tulang intak.

XI. TERAPI SAAT INI


- IVFD RL 250 cc/hari (8 tpm)
- Ambacin 350 mg/12 jam/IV
- Gentamicyn 40 mg/12 jam/IV
- Dexamethasone 2,5 mg/24 jam/IV
- Paracetamol 100 mg/8 jam/IV
- Kutoin 20 mg/12 jam/Pulvis

50
- OAT
- Piracetam 2x250 mg/Pulvis
- Rencana fisioterapi bila tidak ada demam.

Patway kasus

Mycobacterium tuberculosis

masuk ke aliran darah

Reaksi radang dalam menigen bawah korteks

Trombus aliran darah cerebral

Eksudat purulen menyebar ke dasar otak medula spinal

Kerusakan neurologis

Kaku kuduk Gangguan neuromuskular

Aktifitas makrofag bakteri


Gangguan Mobilitas Fisik

Pelepasan zat pirogen endogen

Merangsang kerja berlebih dari


PG ED di hipotalamus

51
Instabil termoregulasi

Suhu tubuh sistemik

Hipertermi

Pengumpulan data

- Ibu klien mengatakan badan anaknya masih kaku


- Ibu klien mengatakan badan anaknya panas
- S : 38,2 ⁰c
- Akral Hangat
- Terdapat kaku kuduk
- Kedua tangan kanan dan kiri kaku tidak bisa di gerakkan secara spontan
- Anak terbaring lemah
- Kekuatan otot 1 1 = ada kontraksi otot, tidak ada gerakan nyata
1 1

Klasifikasi Data

Data Subjektif

- Ibu klien mengatakan badan anaknya masih kaku


- Ibu klien mengatakan badan anaknya panas

Data Objektif

- S : 38,2 ⁰c
- Akral Hangat
- Terdapat kaku kuduk
- Kedua tangan kanan dan kiri kaku tidak bisa di gerakkan secara spontan
- Anak terbaring lemah
- Kekuatan otot 1 1 = ada kontraksi otot, tidak ada gerakan nyata
1 1

52
Analisa data

No Data Etiologi Masalah


1 Ds : Gangguan Gangguan
- Ibu klien mengatakan Neuromuskular Mobilitas fisik
badan anaknya masih kaku
Do :
- Kekuatan otot 1 1 ada
kontraksi 1 1
otot, tidak ada gerakan
nyata
- Terdapat kaku kuduk
- Kedua tangan kanan dan
kiri kaku tidak bisa di
gerakkan secara spontan
- Anak terbaring lemah
2 Ds : Penyakit Hipertermia
- Ibu klien mengatakan (Meningitis TB)
badan anaknya panas

Do :
- S : 38,2 ⁰c
- Akral Hangat

Diagnosa Keperawatan berdasarkan Prioritas

1. Hipertermi berhubungan dengan penyakit (Meningitis TB) dibuktikan dengan :

53
Ds : Ibu klien mengatakan badan anaknya panas
Do :
- S : 38,2 ⁰c
- Akral Hangat

2. Gangguan Mobilitas Fisik berhubungan dengan gangguan neuromuskular dibuktikan


dengan :

Ds :
- Ibu klien mengatakan badan anaknya masih kaku
Do :
- Kekuatan otot 1 1
- ada kontraksi 1 1
otot, tidak ada gerakan nyata
- Terdapat kaku kuduk
- Kedua tangan kanan dan kiri kaku tidak bisa di gerakkan secara spontan
Anak terbaring lemah

54
No Diagnosa SLKI SIKI Rasional Tanggal/ Implementasi Evaluasi
Keperawatan jam
1 Hipertermi Setelah Manajemen 1. Pemeriksaa 6/4/2021 1. Menghitung D/S
B/D penyakit dilakukan Hipertermia n D/P suhu tubuh 18.00
tindakan Observasi fisik tanda 09.00 klien S:
keperawatan 1. Hitung vital adalah O: - Ibu klien
selama 3x24 jam suhu tubuh pengukura - N : 167 mengatakan
maka klien n fungsi x/menit badan
termoregulasi Terapeutik tubuh yang - S : 38,1⁰c anaknya
membaik 2. Lakukan paling - RR : 32 masih terasa
dengan kreteria pendingina mendasar. x/menit hangat
hasil : n eksternal 2. air hangat - Ibu klien
- Nadi : 80- ( kompres dapat 2. Melakukan mengatakan
120 x/menit hangat) membuka pendinginan panas
- RR : 20-40 Edukasi pori-pori, eksternal badannya
x/menit 3. Anjurkan sehingga ( kompres mulai
- Suhu : 36,5 – pasien panas pada hangat ) menurun
37,5⁰c mengunaka tubuh bisa S: setelah di
- Akral tidak n pakaian keluar - Ibu klien berikan obat
hangat yang lewat pori- mengatakan penurun
longgar pori bdan anaknya panas
Kolaborasi tersebut. msh terasa
4. pemberian Penggunaa hangat O:
antipiretik n air - Akral masih
hangat juga 3. Mengajurkan terasa
berguna pasien hangat

55
untuk mengunakan - S : 38.1⁰c
merangsan pakaian yang
g tubuh longgar A:
agar O: - Masalah
menurunka - Akral hangat Hipertermi
n kontrol belum
pengatur 4. Mengkolaborasi teratasi
suhu tubuh pemberian
lagi antipiretik P:
3. proses Paracetamol - Lanjutkan
hilangnya 100mg/8j/IV intervensi :
panas akan S: Manajemen
terhalangi - Ibu klien Hipertermia
oleh mengatakan Observasi
pakaian panas badan 1. Hitung suhu
tebal dan anaknya mulai tubuh klien
tidak dapat berkurang Terapeutik
menyerap 2. Lakukan
keringat pendinginan
4. pemberian eksternal
antipiretik ( kompres
menghamb hangat)
at panas Kolaborasi
pda 4. pemberian
hipothalam antipiretik
us

56
2 Gangguan Setelah Dukungan 1. Untuk 6/4/2021 1. mengidentifikas D/S
Mobilitas Fisik dilakukan Mobilisasi melihat D/P i toleransi fisik 18.00
B/D Gangguan tindakan Observasi Kekuatan 09.00 melakukan S:
Neuromuskular keperawatan 1. Identifikasi dan pergerakan - Ibu klien
selama 3x24 jam toleransi kelemahan S: mengatakan
maka mobilitas fisik dalam - Ibu klien anaknya
fisik meningkat melakukan pergerakan mengatakan masih kaku
dengan kreteria pergerakan 2. Melihat anaknya masih dalam
hasil : 2. Nilai terjadinya kaku dalam bergerak
- Pergerakan kondisi perubahan bergerak - Ibu klien
ekstermitas umum kondisi O: mengatakan
meningkat selama pada pasien - Kekutan otot mengerti
- Kekuatan melakukan setelah ekstermitas mengenai
otot mobilisasi melakukan atas dan penjelasan
meningkat Terapeutik mobilisasi bawah masih tentang
- Rentang 3. Libatkan 3. Salah satu tingkat 1 yaitu mobilisasi
gerak keluarga cara dalam ada kontraksi - Ibu klien
( ROM) dalam meningkatk otot tidak ada menagataka
meningkat melakukan an gerakan nyata n mau ikut
- Tidak ada mobilisasi pergerakan serta dalam
kaku sendi pada pasien pada pasien 2. Menilai kondisi melakukan
Edukasi dengan umum selama mobilisasi
4. Jelaskan melibatkan melakukan pada
prosedur keluarga mobilisasi anaknya
mobilisasi 4. Memberika ( ROM pasif)
n eduksi O: O:

57
5. Anjurkan kepada - Terdapat kaku - Terdapat
melakukan keluarga kuduk kaku kuduk
mobilisasi tentang - Pasien nampak - Pasien
dini mobilisasi lemah nampak
5. Membantu - lemah
pergerakan 3. melibatkan - Ibu klien
pada klien keluarga dalam sedang
melakukan melalukan
mobilisasi pergerakan
(ROM Pasif) sendi pada
pada pasien anaknya
S: - Kekutan otot
- Ibu klien ekstermitas
menagatakan atas dan
mau ikut serta bawah
dalam masih
melakukan tingkat 1
mobilisasi yaitu ada
pada anaknya kontraksi
otot tidak
4. menjelaskan ada gerakan
prosedur nyata
mobilisasi -
(ROM pasif)
S: A:
- Ibu klien - Masalah

58
mengatakan gangguan
mengerti mobilitas
mengenai fisik belum
penjelasan teratasi
tentang
mobilisasi P:
- Lanjutkan
5. menganjurkan intervensi :
melakukan Dukungan
mobilisasi Mobilisasi
(ROM pasif) Observasi
O: 2. Nilai kondisi
- Ibu klien umum selama
sedang melakukan
melalukan mobilisasi
pergerakan Terapeutik
sendi pada 3. Libatkan
anaknya keluarga
dalam
melakukan
mobilisasi
pada pasien
Edukasi
5. Anjurkan
melakukan
mobilisasi

59
dini
1 Hipertermi Setelah Manajemen 1. Pemeriksaa 7/4/2021 1. Menghitung D/S
B/D penyakit dilakukan Hipertermia n D/P suhu tubuh 18.00
tindakan 1. Hitung fisik tanda 09.00 klien S:
keperawatan suhu tubuh vital adalah O: - Ibu klien
selama 3x24 jam klien pengukuran - N : 106 mengatakan
maka 2. Lakukan fungsi x/menit anaknya
termoregulasi pendingina tubuh yang - RR : 22 sudah di
membaik n eksternal paling x/menit kompres
dengan kreteria ( kompres mendasar. - S : 38,4⁰c - Ibu klien
hasil : hangat) 2. air hangat mengatakan
- Nadi : 80- 4. Kolaborasi dapat 2. Melakukan panas badan
120 x/menit pemberian membuka pendinginan anaknya
- RR : 20-40 antipiretik pori-pori, eksternal mulai
x/menit sehingga ( kompres menurun
- Suhu : 36,5 – panas pada hangat) setelah di
37,5⁰c tubuh bisa S: berikan obat
- Akral tidak keluar - Ibu klien O:
hangat lewat pori- mengatakan - N : 131
pori anaknya sudah x/menit
tersebut. di kompres - RR : 30
Penggunaa x/menit
n air hangat 4. Mengkolaborasi - S : 38,4⁰c
juga pemberian - Akral hangat
berguna antipiretik
untuk S: A:

60
merangsang - Ibu klien - Masalah
tubuh agar mengatakan Hipertermi
menurunka panas badan belum
n kontrol anaknya mulai teratasi
pengatur menurun
suhu tubuh setelah di P:
lagi berikan obat - Lanjutkan
4. pemberian O: intervensi
antipiretik - Akral hangat Manajemen
menghamb Hipertermia
at panas Observasi
pda 1. Hitung
hipothalam suhu
us tubuh
klien
Terapeutik
2. Lakukan
pendinginan
eksternal
( kompres
hangat)
Kolaborasi
4. pemberian
antipiretik
2 Gangguan Setelah Dukungan 2. Melihat 7/4/2021 2. Menilai kondisi 7/4/2021
Mobilitas Fisik dilakukan Mobilisasi terjadinya D/P umum selama D/S

61
B/D Gangguan tindakan 2. Nilai perubahan 9.00 melakukan 18.00
Neuromuskular keperawatan kondisi kondisi mobilisasi S:
selama 3x24 jam umum pada pasien (ROM pasif) - Ibu klien
maka mobilitas selama setelah O: mengatakan
fisik meningkat melakukan melakukan - Pasien tampak dia sering
dengan kreteria mobiisasi mobilisasi lemas melakukan
hasil : 3. Libatkan 4. Salah satu - Kekutan otot mobilisasi
- Pergerakan keluarga cara dalam ekstermitas pada
ekstermitas dalam meningkatk atas dan anaknya
meningkat melakukan an bawah masih - Ibu klien
- Kekuatan mobilisasi pergerakan tingkat 1 yaitu mengatakan
otot pada pasien pada pasien ada kontraksi bdan
meningkat 5. Anjurkan dengan otot tidak ada anaknya
- Rentang melakukan melibatkan gerakan nyata kadang
gerak mobilisasi keluarga lemas
( ROM) dini 5. Membantu 3. Melibatkan kadang juga
meningkat pergerakan keluarga kaku
Tidak ada pada klien dalam
kaku sendi melakukan O:
mobilisasi - Pasien
(ROM Pasif) tampak
pada pasien lemah
O: - Masih
- Ibu klien terdapat
tampak sedang kaku kuduk
melakukan - Kekutan otot

62
mobilisasi ekstermitas
pada anak atas dan
bawah
5. Menganjurkan masih
melakukan tingkat 1
mobilisasi yaitu ada
(ROM Pasif) kontraksi
S: otot tidak
- Ibu klien ada gerakan
mengatakan nyata
dia sering
melakukan A:
mobilisasi - Masalah
pada anaknya Gangguan
mobilitas
fisik belum
teratasi

P:
- Lanjutkan
intervensi
Dukungan
Mobilisasi
Observasi
2. Nilai kondisi
umum selama

63
melakukan
mobiisasi
Terapeutik
3. Libatkan
keluarga
dalam
melakukan
mobilisasi
pada pasien
Edukasi
5. Anjurkan
melakukan
mobilisasi
dini
1 Hipertermi Setelah Manajemen 1. Pemeriksaa 8/4/2021 1. Menghitung 8/4/2021
B/D penyakit dilakukan Hipertermia n D/P suhu tubuh D/S
tindakan 1. Hitung fisik tanda 09.00 klien 18.00
keperawatan suhu tubuh vital adalah O: S:
selama 3x24 jam klien pengukuran - N : 124 - Ibu klien
maka 2. Lakukan fungsi x/menit mengatakan
termoregulasi pendingina tubuh yang - RR : 30 badan
membaik n eksternal paling x/menit anaknya
dengan kreteria ( kompres mendasar. - S : 38⁰c masih panas
hasil : hangat) 2. air hangat - Ibu klien
- Nadi : 80- 4. Kolaborasi dapat 2. Melakukan mengatakan
120 x/menit pemberian membuka pendinginan seringb

64
- RR : 20-40 antipiretik pori-pori, eksternal mengompres
x/menit sehingga ( kompres anaknya jika
- Suhu : 36,5 – panas pada hangat) panas
37,5⁰c tubuh bisa S:
Akral tidak keluar - Ibu klien O:
hangat lewat pori- mengatakan - N : 137
pori anaknya sudah x/menit
tersebut. di kompres - RR : 25
Penggunaa x/menit
n air hangat 4. Mengkolaborasi - S : 38⁰c
juga pemberian - akral hangat
berguna antipiretik
untuk S: A:
merangsang - Ibu klien - Masalah
tubuh agar mengatakan hipertermi
menurunka panas badan belum
n kontrol anaknya mulai teratasi
pengatur menurun
suhu tubuh setelah di P:
lagi berikan obat - Lanjutkan
4. pemberian O: intervensi
antipiretik - akral hangat
menghamb Manajemen
at panas Hipertermia
pda Observasi
hipothalam 1. Hitung suhu

65
us tubuh klien
Terapeutik
2. Lakukan
pendinginan
eksternal
( kompres
hangat)
Kolaborasi
4. pemberian
antipiretik

2 Gangguan Setelah Dukungan 2. Melihat 8/4/2021 2. Menilai 8/4/2021


Mobilitas Fisik dilakukan Mobilisasi terjadinya D/P kondisi umum D/S
B/D Gangguan tindakan 2. Nilai perubahan 09.00 selama 18.00
Neuromuskular keperawatan kondisi kondisi melakukan S:
selama 3x24 jam umum pada pasien mobilisasi - Ibu klien
maka mobilitas selama setelah (ROM Pasif) mengatakan
fisik meningkat melakukan melakukan S: anaknya
dengan kreteria mobiisasi mobilisasi - Ibu klien kadang kaku
hasil : 3. Libatkan 4. Salah satu mengatakan kadang
- Pergerakan keluarga cara dalam anaknya lemas
ekstermitas dalam meningkatk kadang kaku O:
meningkat melakukan an kadang lemas - Pasien
- Kekuatan mobilisasi pergerakan O: tampak
otot pada pasien pada pasien - Kekutan otot lemah
meningkat 5. Anjurkan dengan ekstermitas - Masih

66
- Rentang melakukan melibatkan atas dan terdapat
gerak mobilisasi keluarga bawah masih kaku kuduk
( ROM) dini 5. Membantu tingkat 1 yaitu - Kekutan otot
meningkat pergerakan ada kontraksi ekstermitas
Tidak ada pada klien otot tidak ada atas dan
kaku sendi gerakan nyata bawah
masih
3. Melibatkan tingkat 1
keluarga yaitu ada
dalam kontraksi
melakukan otot tidak
mobilisasi ada gerakan
(ROM nyata
Pasif)pada
pasien A:
O: - Masalah
- Ibu klien Gangguan
tampak sedang mobilitas
melakukan fisik belum
mobilisasi teratasi
pada anak P:
- Lanjutkan
5. Menganjurkan intervensi
melakukan Dukungan
mobilisasi Mobilisasi
(ROM Pasif) Observasi

67
S: 2. Nilai kondisi
Ibu klien umum selama
mengatakan dia melakukan
sering mobiisasi
melakukan Terapeutik
mobilisasi pada 3. Libatkan
anaknya keluarga
dalam
melakukan
mobilisasi
pada pasien
Edukasi
5. Anjurkan
melakuka
n
mobilisasi
dini

68
Catatan Perkembangan

No. Diagnosa Tgl/ jam Implementasi Tgl/ Evaluasi


keperawatan Keperawatan jam
1 9/4/2021 1. Menghitung suhu 9/4/2021 S:
D/P tubuh klien D/P - Ibu klien
09.00 O: 13.00 mengatakan
- N : 120 x/menit anaknya
- RR : 24 x/menit sudah tidak
- S : 36,7⁰c panas

2. Melakukan O:
pendinginan - Akral tidak
eksternal ( kompres hangat
hangat) - N : 120
S: x/menit
- Ibu klien - RR : 24
mengatakan x/menit
anaknya sudah di - S : 36,7⁰c
kompres
A:
- Masalah
4. Mengkolaborasi Hipertermi
pemberian teratasi
antipiretik
S: P:
- Ibu klien - Intervensi di
mengatakan panas hentikan
badan anaknya
mulai menurun
setelah di berikan
obat
2 9/4/2021 2. Menilai kondisi 9/4/2021 S:
D/P umum selama D/P - Ibu klien
09.00 melakukan 13.00 mengatakan
mobilisasi (ROM anaknya
Pasif) kadang
S: kaku
- Ibu klien kadang

69
mengatakan lemas
anaknya kadang O:
kaku kadang - Pasien
lemas tampak
O: lemah
- Kekutan otot - Masih
ekstermitas atas terdapat
dan bawah masih kaku kuduk
tingkat 1 yaitu - Kekutan
ada kontraksi otot otot
tidak ada gerakan ekstermitas
nyata atas dan
bawah
3. Meliibatkan masih
keluarga dalam tingkat 1
melakukan yaitu ada
mobilisasi pada kontraksi
pasien otot tidak
O: ada gerakan
- Ibu klien tampak nyata
sedang
melakukan A:
mobilisasi pada - Masalah
anak Gangguan
mobilitas
5. Menganjurkan fisik belum
melakukan teratasi
mobilisasi (ROM P:
Pasif) - Lanjutkan
S: intervensi
- Ibu klien Dukungan
mengatakan dia Mobilisasi
sering melakukan Observasi
mobilisasi pada 2. Nilai kondisi
anaknya umum selama
melakukan
mobiisasi
Terapeutik
3. Libatkan

70
keluarga dalam
melakukan
mobilisasi pada
pasien
Edukasi
5. Anjurkan
melakukan
mobilisasi dini

71
BAB IV
PENUTUP

1. Kesimpulan
Meningitis tuberkulosis merupakan peradangan pada selaput otak (meningen)
yang disebabkan oleh bakteri mycobacterium tuberkulosis. Penyakit ini merupakan
salah satu bentuk komplikasi yang sering muncul pada penyakit tuberkulosis paru.
Infeksi primer muncul di paru-paru dan dapat menyebar secara limfogen dan
hematogen ke berbagai daerah tubuh di luar paru, seperti perikardium, usus, kulit,
tulang, sendi, dan selaput otak (Whiteley, 2014).
Pada laporan kasus meningitis tuberkulosis, Mycobacterium tuberculosis
merupakan faktor penyebab paling utama dalam terjadinya penyakit meningitis. Pada
kasus meningitis secara umum disebabkan oleh mikroorganisme, seperti virus,
bakteri, jamur, atau parasit yang menyebar dalam darah ke cairan otak (Kahan, 2005).

2. Saran
Bagi Perawat dan Bagi petugas ruangan sebaiknya melakukan tindakan
nonfarmakologi seperti tindakan kompres hangat untuk mengatasi hipertermia dan
mengajarkan keluarga klien tentang ROM pasif sehingga membantu klien dalam
meningkatkan rentang gerak.
Bagi Institusi Diharapkan pihak instansi pendidikan memberikan waktu yang
cukup kepada mahasiswa dalam melakukan praktek kerja lapangan, sehingga dapat
menambah pengetahuan dan ketrampilan dalam memberikan perawatan khususnya
perawatan pada klien dengan menigitis TB.

72
DAFTAR PUSTAKA

Suriadi, dan Rita Yuliani. 2001. Asuhan Keperawatan pada Anak. Jakarta : Sagung Seto
Whiteley, Richard J., 2014. Infection Of Central Nervous System. 4th ed. China;Lippincott
Williams & Wilkins.
Khan M.A., Walley J.D., Witter S.N., Shah S.K., Javeed S., 2005, Tuberculosis patient
adherence to direct observation: results of a social study in Pakistan, Published by
Oxford University Press in association with The London School of Hygiene and
Tropical Medicine.
PPNI, T. P. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI): Definisi dan
Indikator Diagnostik ((cetakan III) 1 ed.). Jakarta: DPP PPNI.
PPNI, T. P. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI): Definisi dan
Tindakan Keperawatan ((cetakan II) 1 ed.). Jakarta: DPP PPNI.
PPNI, T. P. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI): Definisi dan Kreteria
Hasil Keperawatan ((cetakan II) 1 ed.). Jakarta: DPP PPNI.
Tai MLS (2013). Tuberculous meningitis: Diagnostic and radiological features,
pathogenesis and biomarkers. Department of Medicine, Faculty of Medicine,
University of Malaya, Kuala Lumpur, Malaysia. 4: 101-107.
Kliegman, Robert M.; Behrman, Richard E.; Jenson, Hal B.; Stanton BF. Diphtheria. In:
Nelson Textbook of Pediatrics. 18th ed. Philadelphia PA: Saunders/Elsevier; 2007.
p. 442.

73

Anda mungkin juga menyukai