Anda di halaman 1dari 40

ASUHAN KEPERAWATAN GANGGUAN SISTEM

PERSARAFAN SPACE OCCUPYING LESION (SOL)

Oleh:

Kelompok 2

1. Anisa Irma (18301042)


2. Cici Anjani (18301044)
3. Nurhikmah (18301060)
4. Resky Hidayat (18301065)
5. Siti Mutmainah (18301070)

Program Studi Ilmu Keperawatan


Stikes Payung Negeri
Pekanbaru
2020

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah Swt. hanya karena dengan rahmat dan
hidayah-Nya makalah dapat selesai tepat waktu.Salawat dan salam tidak lupa ucapkan
kepada Nabi Muhammad saw. Tujuan penulisan makalah “Asuhan Keperawatan Space
Occupying Lesion (SOL)” untuk menambah wawasan pembaca. Penulis ucapkan terima
kasih kepada Ibu Ns. Angga Arfina, M.Kep., selaku dosen pengampu mata kuliah
keperawatan medical bedah III atas bimbingan yang diberikan dalam penyusun makalah.
Penulisan makalah belum sempurna. Oleh karena itu, penulis harapkan kritik dan saran dari
pembaca.

Pekanbaru, 9 Oktober 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................................i
DAFTAR ISI...............................................................................................................ii
BAB I : PENDAHULUAN.........................................................................................1
1.1 Latar Belakang...............................................................................................1
1.2 Tujuan Penulisan............................................................................................2
1.3 Manfaat Penulisan..........................................................................................2
BAB II: TINJAUAN TEORITIS...............................................................................3
2.1 Anatomi dan Fisiologi....................................................................................3
2.2 Konsep Penyakit.............................................................................................5
2.3 MCP Teori/Kasus.........................................................................................14
2.4 Asuhan Keperawatan...................................................................................15
BAB III: PEMBAHASAN KASUS.........................................................................22
3.1 Pembahasan dan Asuhan Keperawatan Terkait Kasus................................22
3.2 Jurnal Terkait...............................................................................................26
3.3 Analisis Jurnal..............................................................................................26
3.4 Terapi Modalitas Keperawatan Atau Terapi Komplementer Terkait Pada
Gangguan.....................................................................................................27
3.5 Trend Issue, EBP dalam penatalaksanaan Terkait Gangguan Pada.............29
BAB IV: PENUTUP.................................................................................................30
4.1 Kesimpulan..................................................................................................30
4.2 Saran.............................................................................................................30
LAMPIRAN JURNAL.............................................................................................31
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................34

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Otak adalah bagian penting dari tubuh manusia karena otak merupakan syaraf
pusat yang mengkoordinir, mengatur seluruh tubuh dan pemikiran manusia. Cidera
sedikit pada otak dapat mengakibatkan hal yang fatal bagi seseorang, oleh sebab itu
perlu pemeliharaan kesehatan otak agar tidak diserang penyakit. Salah satu penyakit
berbahaya yang menyerang otak adalah Space Occupying Lesion (SOL). Space
Occupying Lesion (SOL) (lesi desak ruang intrakranial) merupakan neoplasma bisa
berupa jinak atau ganas dan primer atau sekunder, serta setiap inflamasi yang berada
di dalam rongga tengkorak yang menempati ruang di dalam otak menyebabkan
peningkatan tekanan intrakranial. Space Occupying Lesion (SOL) meliputi tumor,
hematoma, dan abses (Ejaz Butt, 2005). Data WHO menyebutkan di tahun 2017
terdapat 18,1 juta kasus baru dengan angka kematian sebesar 9,6 juta kematian,
dimana 1 dari 5 laki-laki dan 1 dari 6 perempuan di dunia mengalami kejadian SOL.
Berdasarkan data Riskesdas, prevalensi SOL di Indonesia menunjukkan adanya
peningkatan dari 1.4 per 1000 penduduk di tahun 2013 menjadi 1,79 per 1000
penduduk pada tahun 2017. Prevalensi kanker tertinggi adalah di provinsi DI
Yogyakarta 4,86 per 1000 penduduk, diikuti Sumatera Barat 2,47 79 per 1000
penduduk dan Gorontalo 2,44 per 1000 penduduk (Riskesdas, 2018).
Menurut Hakim (2005) SOL baik primer ataupun metastasis, merupakan salah
satu penyakit yang ditakuti masyarakat karena dapat menyebabkan kematian atau
kecacatan yang akan menimbulkan gejala yang serius. Gejala SOL bisa ditandai
dengan nyeri kepala, nausea, muntah, papil edema, kejang- kejang dll. Penyebab dari
SOL belum diketahui namun ada beberapa agent bertanggung jawab untuk beberapa
tipe SOL. Agent tersebut meliputi faktor herediter, kongenital, virus, toksin, dan
defisiensi immunologi. Penyebab lain SOL bisa dapat terjadi akibat sekunder dari
peradangan dan trauma cerebral. Untuk penatalaksanaan SOL yang perlu
diperhatikan yaitu usia, general health, ukuran, lokasi dan jenis. Metode yang dapat
dilakukan antara lain: chemotherapy, radiotherapy, dan pembedahan. Salah satu

1
pembedahan yang bisa di lakukan yaitu craniotomy (Ejaz Butt, 2005). Craniotomy
adalah operasi untuk membuka bagian tengkorak (tempurung kepala) dengan tujuan
memperbaiki dan mengetahui kerusakan yang ada di otak. Pembedahan tersebut
bertujuan memperbaiki dan mengetahui kerusakan yang ada di otak dengan cara
membuka tengkorak jadi sementara waktu pasien post op craniotomy akan
mengalami gangguan mobilissasi bahkan bisa terjadi penurunan kesadaran. Untuk
mengurangi atau meminimalisir komplikasi yang terjadi akibat pembedahan pasien
post operasi craniotomy memerlukan perawatan yang intensif. Maka dari itu pasien
dengan post op.

1.2 Tujuan Penulisan


A. Tujuan Umum
Untuk mengetahui tentang Gangguan system persarafan (SOL)
B. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui anatomi dan fisiologi
2. Untuk mengetahui konsep penyakit
3. Untuk mengetahui MCP Kasus
4. Untuk mengetahui Asuhan Keperawatan

1.3 Manfaat Penulisan


1. Penulisan makalah ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi bagi pembaca
dan menjadi salah satu referensi bagi penulisan makalah selanjutnya tentang
Gangguan sisstem persarafan (SOL)
2. Menjadi pengalaman berharga bagi penulis dan menambah pengetahuan penulis
tentang Gangguan sistem persarafan (SOL)

2
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
2.1 Anatomi dan Fisiologi
Otak terdiri dari 100-200 milyar sel aktif yang saling berhubungan yang
bertanggungjawab atas fungsi mental dan intelektual kita. Neuron merupakan sel-sel
yang terdapat di otak. Otak adalah organ mudah beradaptasi meskipun neuron-neuron
di otak mati tidak mengalami regenerasi kemampuan adaptif atau plastisitas. (Price,
2006).
Sistem saraf secara garis beras dibagi menjadi 2 yaitu sistem saraf pusat (SSP) dan
sistem saraf tepi (SST). Otak dan medulla spinalis membentuk sistem saraf pusat
(SSP). Sistem saraf tepi (SST) merupakan sistem saraf yang berada disisi luar SSP
(Price & Wilson, 2005). Komponen dari otak adalah :
a. Cerebrum
Cerebrum merupakan bagian otak yang terbesar. Cerebrum terdiri dari sepasang
hemisfer kanan dan kiri serta tersusun dari korteks yang ditandai dengan sulkus
(celah) dan girus. Cerebrum terdiri dari beberapa lobus yaitu (Price, 2006):
1. Lobus Frontalis Fungsi lobus frontalis yaitu sebagai pusat intelektual
seperti kemampuan dalam berpikir dan nalar, bicara serta emosi. Pada
lobus frontalis terdapat daerah broca yang bisa mengatur ekspresi dalam
berbicara, lobus frontalis juga bisa mengatur perilaku sosial, berbicara,
gerakan sadar, motivasi dan inisiatif.
2. Lobus Temporalis Cakupan dari lobus temporalis adalah bagian korteks
serebrum yang berjalan ke bawah dari fisura lateral dan sebelah
posterior dari fisura parieto-oksipitalis. Fungsi dari lobus ini yaitu
mengatur verbal, visual, daya ingat, pendengaran dan berperan dalam
perkembangan dan pembentukan emosi.
3. Lobus Parietalis Lobus parietalis berada di gyrus postsentralis atau area
sensorik primer yang merupakan daerah pusat untuk kesadaran sensorik
berfungsi untuk rasa dalam perabaan dan pendengaran.

3
4. Lobus Oksipitalis Lobus oksipitalis berfungsi untuk area asosiasi dan
pusat penglihatan : nervus optikus menginterpretasi dan memproses
rangsang penglihatan serta mengasosiasikan rangsangan ini dengan
informasi yang di dapatkan dari saraf lain dan memori.
5. Lobus Limbik Lobus limbik berfungsi untuk mengatur emosi manusia,
memoriemosi dan bersama hipothalamus melakukan pengendalian atas
susunan endokrin dan susunan autonom yang dapat menimbulkan
perubahan.
b. Cerebellum
Secara keseluruhan cerebellum merupakan struktur kompleks yang
mengandung lebih banyak neuron. Cerebellum memiliki peran yaitu sebagai
koordinasi dalam fungsi motorik didasarkan pada informasi somato sensori
yang diterima inputnya 40 kali lebih banyak dibandingkan output (Price, 2006).
Cerebellum merupakan pusat koordinasi sebagai keseimbangan dan tonus otot
yang secara optimal melakukan kontraksi otot-otot volunter. Cerebellum
memiliki bagian-bagian yaitu lobus anterior, lobus medialisdan dan lobus
fluccolonodularis (Price, 2006).
c. Brainstem
Brainstem merupakan batang otak yang berfungsi dalam mengatur seluruh
proses kehidupan yang mendasar. Di atas brainstem terdapat diensefalon dan
medulla spinalis dibawahnya. Jaras asenden dan desenden, traktus
longitudinalis antara medulla spinalis dan bagian- bagian otak, anyaman sel
saraf dan 12 pasang saraf cranial merupakan struktur-struktur fungsional
penting yang terdapat di batang otak. Brainstem terdiri dari tiga segmen, yaitu
medulla oblongata, pons dan mesensefalon (Price, 2006).
d. Anatomi Peredaran Darah Otak
Darah mengangkut makanan, zat asam, dan substansi lainnya yang dibutuhkan
untuk fungsi jaringan hidup yang baik. Karena kebutuhan otak sangat mendesak
dan vital mengharuskan aliran darah terus konstan. Suplai darah arteri ke otak
merupakan suatu jalinan pembuluh- pembuluh darah yang bercabang-cabang,

4
berhubungan erat satu dengan yang lain sehingga dapat menjamin suplai darah
yang adekuat untuk sel (Brunner dan Suddarth, 2002).
2.2 Konsep Penyakit
A. Definisi SOL
Space Occupying Lesion (SOL) merupakan desakan ruang yang
diakibatkan peningkatan volume di dalam ruang intrakranial yang ditempati
oleh jaringan otak, darah, dan cairan serebrospinal. Lesi desakan ruang (Space
Occupying Lesion) bisa meningkatkan tekanan intrakranial (Price & Wilson,
2005). Space Occupying Lesion bisa berupa neoplasma ataupun tumor,
perdarahan ataupun granuloma. Jaringan otak akan mengalami nekrosis
sehingga menyebabkan gangguan neurologik progresif (Sisca & Zam, 2017).
B. Klasifikasi
Menurut Lewis, Dirksen, Heit kemper dan Bucher (2011) tumor otak
dapat terjadi pada setiap bagian otak dan sumsum tulang belakang. Tumor
otak dapat terjadi secara primer maupun sekunder. Tumor otak primer timbul
dari jaringan dalam otak. Jaringan ini terdiri dari sel neuroglia, dari neuron
atau sel saraf cranial dan struktur pembungkus otak. Sedangkan tumor otak
sekunder dapat terjadi akibat metastasis neoplasma ganas di tempat tubuh lain.
Hal ini dapat terjadi seperti adanya kanker pada paru-paru, payudara, ginjal
yang mengalami melanoma malignan (Black &Hawks, 2009).
1. Glioma
Glioma malignan banyak terjadi pada neopiasma otak dengan jumiah
kira-kira 45% dari semua tumor otak. Biasanya tumor ini tidak dapat
dibuang secara total. Hal ini disebabkan karena tumor sudah menyebar
dengan infiltrasi ke dalam jaringan sekitar saraf, sehingga hal ini tidak
dapat dipertimbangkan untuk direseksi tanpa menyebabkan adanya
kerusakan pada struktur vital (Smeltzer, Bare, Hinkle & Cheever,
2010).
2. Meningoma

5
Meningioma mewakii 15% dan' semua tumor otak primer,biasanya
berada di arakhnoid. Meningioma tumbuh secara lambat dan paling
sering terjadi pada dewasa setengah baya dan wanita. Paling sering
terjadi di daerah proksimal sinus vena. Manifestasi bergantung pada
daerah yang terlibat dan merupakan hasil kompresi invasi jaringan
otak.
3. Acoustic Neurome
Merupakan setbuah tumor pada sraf cranial kedelapan,yaitu saraf
pendengaran dan keseimbangan. Biasanya mundul dalam meatus
auditor internal dan berkembang sebelum pengisian serebelopontin
berhenti (Smeltzer, Bare, Hinkle & Cheever, 20 10).Pada penderita
neuroma akustik dapat bermanifestasi adanya tinnitus, episode vertigo,
berjalan sempoyongan, kehilangan pendengaran pada salah satu
telinga atau total (Black & hawks, 2009).
4. Hypofisis Adenoma
Kelenjar pituitary (hipofisis) merupakan kelenjar kecil yang terletak di
sela tursika yang menempel pada hipotalamus. Kelenjar ini tertbagi
dua lobus anterior (adeno hipofisis) dan posterior (neurohipofisis).
Lobus anterior mengeluarkan hormone pertumbuhan, ACTH, TSH,
prolaktin, FSH dan LH, Sedangkan lobus posterior menyimpan dan
melepaskan hormone antidiuretik dan oksitosin. Tumor hipofisis
menunjukkan 8-12% dan semua tumor otak yang menekan struktur
sekitar dan menyebabkan perubahan fungsi hormone. Pengaruh
tekanan ini dapat menimbulkan gejala berupa sakit kepala, gangguan
fungsi pengihatan, peningkatan TIK, dan gangguan hipotalamus
(Smeltzer, Bare, Hinkle & Cheever, 2010)
5. Angioma
Angioma otak merupakan bentuk pembesaran massa pada pembuluh
darah abnormal yang didapat di dalam ataupun di luar daerah otak.
Angioma otak dapat menyebabkan menimbulkan gejala dan adapula

6
tanpa timbulnya gejala. Kadang-kadang diganosa dapat memberikan
kesan adanya angioma dibeberapa tempat di dalam kepala yang
disertai suara bruit (suara abnormal) yang terdengar sampai di
tenggorokan. Pada angioma pembuluh darah tipis, dan pasien berisiko
untuk terjadinya cedera vascular serebral (stroke). Pada orang berusia
di bawah 40 tahun adanya perdarahan serebral mermungkinkan kesan
terjadinya angioma (Smeltzer, Bare, Hinkle & Cheever, 2010).
6. Astrocytomas
Menurut Black dan Hawks (2009) tumor ini dapat muncul dari system
saraf. Tumor ini merupakan tumor yang paling sering dan tumor
primer dan dapat ditemukan di hemisfer otak.
7. Metastatic Brain Tumor
Merupakan metastase dari kanker sistemik yang menyerang otak dan
paling banyak terjadi. Gejala yang dapat muncul berupa sakit kepala,
gangguan gaya benalan, kerusakan penglihatan, ketidakmampuan
mengingat, kelemahan fokal dan paralisis, afasia dan kejang.
C. Etiologi
Penyebab dari tumor otak belum diketahui atau bersifat idiopatik, walaupun
tipe sel tumor dapat diidentifikasi. Pada tumor otak mekanisme penyebab sel
menjadi abnormal belum diketahui (Black & Hawks, 2009).

D. Patofisiologi

7
Ada tiga komponen di dalam kranium yaitu otak, cairan serebrospinal (CSS)
dan darah. Foramen magnum adalah sebuah lubang keluar utama pada kranium yang
memiliki tentorium pemisah anatara hemisfer serebral dari serebellum. Isi intrakranial
yang normal akan menggeser sebagai konsekuensi dari space occupying lesion (SOL)
jika terdapat massa yang di dalam kranium seperti neoplasma. (Price, 2005).

8
Peningkatan tekanan intrakranial didefinisikan sebagai peningkatan
tekanan dalam rongga kranialis. Otak, darah dan cairan serebrospinal
menempati ruang pada intrakranial. Pada ruang intrakranial terdapat unsure
yang terisi penuh dan tidak dapat di tekan yaitu otak (1400 g), cairan (sekitar
75 ml) dan darah (sekitar 75 ml). Desakan ruang dan kenaikan tekanan
intrakranial di sebabkan oleh peningkatan volume pada salah satu dari ketiga
unsur utama. (Price, 2005).
Tekanan normal intrakranial berkisar 10-15 mmHg yang akan
dipertahankan konstan pada keadaan fiologis. Peninggian tekanan intrakranial
yang parah apabila tekanannya melebihi 40 mmHg. Trauma pada kepala akan
mengakibatkan cedera pada otak sehingga terjadi peningkatan tekanan
intrakranial. Terjadinya tingkatan darah arteri untuk sesaat di sebabkan oleh
peningkatan tekanan intrakranial secara mendadak karena aneurisma
intrakranial yang pecah. Sehingga bisa menyebabkan peningkatan pada kadar
laktat cairan serebrospinal dan hal ini mengindikasikan terjadinya suatu
iskhemia serebri. Pergeseran CSS dan darah secara perlahan diakibatkan oleh
tumor yang semakin membesar. (Satyanegara, 2010).

E. Manifestasi
Manifestasi klinis tumor otak tergantung pada lokasi dan ukuran tumor. Laju
pertumbuhan dan munculnya gejala tergantung pada lokasi, ukuran dan
tingkat mitosis set-sel jaringan. Gejala umumnya antara lain adalah:
 Sakit kepala menetap dan kadang-kadang berdenyut.
 Kejang
 Mual dan muntah akibat peningkatan TIK.
 Disfungsi kognitif termasuk suasana hati, perubahan kepribadian
 Kelemahan otot,
 Penurunan sensorik,
 Disfungsi spasial visual

9
 Afasia

F. Pemeriksaan diagnostic
Pemeriksaan diagnostik pada SOL menurut Arif Muttaqin, 2008 :
a. Elektroensefalogram (EEG) Elektroensefalogram (EEG) merekam
aktivitas umum elektrik di otak, dengan cara meletakkan elektroda
pada area kulit kepala atau dengan menempatkan mikroelektroda
dalam jaringan otak. Pemeriksaan ini memberikan pengkajian
fisiologis aktivasi serebral.
b. Ekoensefalogram Pergeseran kandungan intra kranial bisa diketahui
dari pemeriksaan ekoensefalogram.
c. Foto rontgen polos Foto rontgen polos tengkorak dan medulla spinalis
sering digunakan dalam penatalaksanaan trauma akut seperti untuk
mengidentifikasi abnormalitas tulang, adanya fraktur dan dislokasi.
Selain itu, foto rontgen polos mungkin menjadi diagnostik bila
kelenjar pineal yang mengalami penyimpangan letak terlihat pada hasil
foto rontgen, yang merupakan petunjuk dini tentang adanya space
occupying lesion (SOL). 22 d. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
d. Magnetic Resonance Imaging (MRI) menggunakan medan magnetik
untuk mendapatkan gambaran daerah yang berbeda pada tubuh. Foto
magnetik (nucleus hidrogen) di dalam tubuh seperti magnet-magnet
kecil di dalam medan magnet. Setelah pemberian getaran
radiofrekuensi, foto memancarkan sinyal-sinyal, yang diubah menjadi
bayangan.
e. Computerized Tomografi (CT Scan) Penderita yang dicurigai space
occupying lesion (SOL) bisa menggunakan alat diagnostik CT Scan
sebagai evaluasi pasien. Pada basis kranil sensitifitas CT Scan bisa
untuk mendeteksi lesi yang berpenampang kurang dari 1 cm. Lesi
abnormal yang berupa massa mendorong struktuk otak disekitarnya
merupakan gambaran CT Scan pada space occupying lesion (SOL).

10
Densitas yang lebih rendah biasanya menyebabkan SOL seperti
dikelilingi jaringan udem yang terlihat jelas. Sifatnya yang hiperdens
memudahkan dalam membedakan perdarahan atau invasi dengan
jaringan sekitarnya karena adanya klasifikasi. Jika pada waktu
pemeriksaan CT Scan disertai pemberian zat kontras, beberapa jenis
SOL akan terlihat lebih nyata. Penilaian space occupying lesion (SOL)
pada CT Scan :
Proses desak ditandai dengan :
1) Garis tengah otak terdapat pendorongan struktur
2) Pada ventrikel terjadi penekanan dan perubahan bentuk 23 f.
Angiografi serebral Angiografi serebral adalah proses
pemeriksaan dengan menggunakan sinar-x terhadap sirkulasi
serebral setelah zat kontras disuntikkan ke dalam arteri yang
dipilih.
f. Angiografi serebral merupakan pilihan terakhir jika dengan
pemeriksaan CT scan dan MRI, diagnosis masih belum bisa
ditegakkan.
g. Sidik otak radioaktif Dari zat radioaktif terlihat daerah-daerah
akumulasi abnormal. Akumulasi zat radioaktif disebabkan oleh adanya
space occupying lesion (SOL) karena terjadi kerusakan sawar darah
pada otak.
G. Komplikasi
Menurut Harsono (2011) komplikasi SOL:
1) Gangguan fisik neurologis
2) Gangguan kognitif
3) Gangguan mood dan tidur
4) Disfungsi seksual
5) Herniasi otak (sering fatal)
Herniasi otak adalah keadaan dimana terjadi pergeseran pada otak
yang normal melalui atau antar wilayah ketempat lain karena efek

11
massa. Herniasi otak ini merupakan komplikasi dari efek massa
dari tumor, trauma atau infeksi.
6) Herniasi unkal
7) Herniasi Foramen Magnum
8) Kerusakan neurologis permanen, progresif, dan amat besar
9) Kehilangan kemampuan untuk berinteraksi atau berfungsi
H. Penatalaksanaan
a. Penatalaksnaan Medis menurut ( Brunner dan Suddarth, 2002).
1. Pembedahan
a) Craniotomy Craniotomy merupakan tindakan
pembedahan yang membuka tengkorak (tempurung
kepala) bertujuan untuk mengetahui dan
memperbaiki kerusakan pada otak. Untuk
pengangkatan tumor pada otak, operasi ini yang
umum dilakukan. Selain itu pembedahan
craniotomy ini juga bertujuan untuk
mengendalikan perdarahan dari pembuluh,
menghilangkan bekuan darah (hematoma)
memperbaiki malformasi arteriovenosa (koneksi
abnormal dari pembuluh darah), darah lemah bocor
(aneurisma serebral), menguras abses otak,
melakukan biopsi, mengurangi tekanan di dalam
tengkorak dan melakukan pemeriksaan pada otak.
2. Radiotherapi Radioterapi merupakan penggunaan sebuah
mesin X-ray untuk membunuh sel-sel tumor yang
diarahkan pada tumor dan jaringan didekatnya kadang
diarahkan pada seluruh otak atau ke syaraf tulang
belakang.
3. Kemoterapi Untuk terapi kanker biasanya menggunakan
kemoterapi yaitu pengobatan penyakit yang disebabkan

12
oleh agen kimia. Perbedaan antara sel kanker dan sel
normal terhadap reaksi pengobatan sitostika yang
diberikan secara sendiri-sendiri atau kombinasi merupakan
dasar pengobatan kemoterapi.

13
ND: Resiko Perfusi Serebral
2.3 MCP Teori/Kasus Tidak Efektif berhubungan
dengan Hipertensi

DS=
DM: SOL (Space Occupying Lesion)
 Gelisah
Key Assessment: DO=
ND: Nyeri akut berhubungan
 Perubahan tingkat kesadaran
dengan Faktor Penyakit  Sakit kepala  Perubahan tanda vital
DS=  Mual dan muntah  Hb: 10,10 gr/dL
 Mengeluh nyeri kepala berat  Penglihatan ganda
diseluruh area kepala  Tekanan darah meningkat
 Nyeri menetap dan  Merasa bingung, linglung, gelisah
berdenyut-denyut atau timbul perubahan perilaku
DO=
 Gelisah Therapy: ND: Hambatan Mobilitas Fisik
 Berfokus pada diri sendiri berhubungan dengan Penurunan
 IVFD R-Sol 20 tetes/i Kekuatan Otot
 Injeksi ranitidine 1 amp/12 jam
 Injeksi tramadol 1 amp/12 jam DS=
 Injeksi furosemide 1 amp/12 jam  Kelemahan pada
 Dexamethasone 3×1 ekstremitas atas dan bawah
bagian kiri
DO=
 Penurunan tonus otot
(flaccid)
 Kekuatan otot ektremitas
kiri 3
 Tidak mampu melawan
14 tahanan pemeriksa
2.4 Asuhan Keperawatan
A. Pengkajian Keperawatan
Adapun langkah-langkah dalam pengkajian ini menurut Carpenito (2007),
adalah sebagai berikut:
1. Identitas klien
Identitas pasien meliputi nama, umur, berat badan, dan jenis
kelamin, alamat rumah, tanggal lahir dan identitas orang tua.
2. Riwayat penyakit
a. Riwayat penyakit sekarang meliputi sejak kapan timbulnya
demam, gejala lain serta yang menyertai demam (misalnya
mual, muntah, nafsu makan, diaforesis, eliminasi, nyeri
otot, dan sendi dll), apakah anak menggigil, gelisa atau
letargi, upaya yang harus di lakukan.
b. Riwayat penyakit dahulu yang perlu ditanyakan yaitu
riwayatpenyakit yang pernah diderita oleh anak maupun
keluarga dalam hal ini orang tua. Apakah dalam keluarga
pernah memiliki riwayat penyakit keturunan atau pernah
menderita penyakit kronis sehingga harus dirawat di rumah
sakit.
c. Riwayat tumbuh kembang yang pertama ditanyakan adalah
hal-hal yang berhubungan dengan pertumbuhan dan
perkembangan anaksesuaidengan kebutuhan anak sekarang
yang meliputi motorik kasar, motorik halus,perkembangan
kognitif atau bahasadan personal sosial atau kemandirian.
d. Imunisasi yang ditanyakan kepada orang tua apakah
anakmendapatkan imunisasi secara lengkap sesuai dengan
usia dan jadwal pemberian serta efek samping dari
pemberian imunisasi seperti panas, alergi dan sebagainya.
3. Pemeriksaan fisik
a. Pola pengkajian

15
Pola fungsi kesehatan daat dikaji melalui polaGordon
dimana pendekatan ini memungkinkan perawatuntuk
mengumpulkan datasecara sistematis dengan cara
mengevaluasi pola fungsi kesehatan dan memfokuskan
pengkajian fisik pada masalah khusus. Model konsep dan
tipologi pola kesehatan fungsional menurut Gordon:
1) Pola persepsi manajemen kesehatan
Menggambarkan persepsi, pemeliharaan dan
penanganan kesehatan. Persepsi terhadap arti
kesehatan, dan penatalaksanaan kesehatan,
kemampuan menyusun tujuan, pengetahuan tentang
praktek kesehatan.
2) Pola nutrisi metabolik
Menggambarkan masukan nutrisi, balance cairan
dan elektrolit, nafsu makan, pola makan, diet,
fluktasi BB dalam 1 bulan terakhir, kesulitan
menelan, mual/muntah, kebutuhan
3) Pola eliminasi
Manajemen pola fungsi ekskresi, kandung kemih
dan kulit, kebiasaan defekasi, ada tidaknya masalah
defekasi, masalah miksi (oliguri, disuria, dll),
frekuensi defekasi dan miksi, 58 karakteristik urine
dan feses, pola input cairan, infeksi saluran kemih,
dll.
4) Pola latihan aktivitas
Menggambarkan pola latihan, aktivitas, fungsi
pernapasan, dan sirkulasi, riwayat penyakit jantung,
frekuensi, irama dan kedalaman napas, bunyi
napas, riwayat penyakit paru.
5) Pola kognitif perseptual

16
Menjelaskan persepsi sensori kognitif. Pola
persepsi sensori meliputipengkajian fungsi
penglihatan, pendengaran, dan kompensasinya
terhadap tubuh.
6) Pola istirahat dan tidur
Menggambarkan pola tidur, istirahat dan persepsi
tentang energi.Jumlah jam tidur pada siang dan
malam.
7) Pola konsep diri persepsi diri
Menggambarkan sikap tentang diri sendiri dan
persepsi terhadap kemampuan.
8) Pola peran hubungan
Mengambarkan dan mengetahui hubungan peran
klien terhadap anggota keluarga.
9) Pola reproduksi seksual
Menggambarkan pemeriksaan genital.
10) Pola koping stress
Mengambarkan kemampuan untuk mengalami
stress dan penggunaan sistem pendukung. Interaksi
dengan oranng terdekat, menangis,kontak mata.
B. Diagnosa Keperawatan
 Tiga Diagnosa Keperawatan Utama :
1) Gangguan perfusi jaringan serebral b.d penghentian aliran darah
oleh SOL
2) Resiko tinggi terhadap ketidakefektifan pola napas b.d kerusakan
neurovaskuler, kerusakan kognitif.
3) Nyeri (akut/kronis) b.d agen pencedera fisik, kompresi saraf oleh
SOL, peningkatan TIK.
 Tiga Diagnosa Keperawatan Pendukung :

17
1) Perubahan persepsi sensori b.d perubahan resepsi sensoris,
transmisi atau integrasi (trauma atau metic neurologis).
2) Ketidakseimbangan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan b.d
peningkatan TIK, konsekuensi kemoterapi, radiasi, pembedahan,
(anoreksia, iritasi, penyimpangan rasa mual)
3) Gangguan imobilitas fisik b.d tekanan pada serebelum (otak
kecil)
C. Intervensi Keperawatan
1) Gangguan perfusi jaringan serebral b.d penghentian aliran darah oleh
SOL
Kriteria hasil : pasien akan dipertahankan tingkat kesadaran,
perbaikan kognitif, fungsi motoric/sensorik, TTV stabil, tidak ada
tanda peningkatan TIK (Tekanan Intra Kranial)
Intervensi :
1. Tentukan penyebab penurunan perfusi jaringan
2. Pantau status neurologis secara teratur dan bandingkan dengan
nilai standar (GCS)
3. Pantau TTV
4. Kaji perubahan penglihatan dan keadaan pupil
5. Kaji adanya reflek (menelan, batuk, metic )
6. Pantau pemasukan dan pengeluaran cairan
7. Ausjultasi suara napas, perhatikan adanya hipoventilasi, dan suara
tambahan yang abnormal
Kolaborasi :
1. Pantau analisa gas darah
2. Berikan obat sesuai indikasi : deuretik, steroid, antikonvulsan
3. Berikan oksigenasi
2) Resiko tinggi terhadap ketidakefektifan pola napas b.d kerusakan
neurovaskuler, kerusakan kognitif.

18
Kriteria hasil : pasien dapat, dipertahankan pola napas efektif, bebas
sianosis, dengan GDA dalam batas normal
Intervensi :
1. Kaji dan catat perubahan frekuensi, irama, dan kedalaman
pernapasan
2. Angkat kepala tempat tidur sesuai aturan/ posisi miring sesuai
indikasi
3. Anjurkan untuk bernapas dalam, jika pasien sadar
4. Lakukan penghisapan lender dengan hati-hati jangan lebih dari 10-
15 detik, catat karakter warna, kekentalan dan kekeruhan secret
5. Pantau penggunaan obat obatan depresan seperti sedative
Kolaborasi :
1. Berikan O2 sesuai indikasi
2. Lakukan fisioterapi dada jika ada indikasi
3) Nyeri (akut/kronis) b.d agen pencedera fisik, kompresi saraf oleh
SOL, peningkatan TIK
Kriteria hasil : pasien melaporkan nyeri berkurang, menunjukan
perilaku untuk mengurangi kekambuhan atau nyeri.
Intervensi :
1. Kaji keluhan nyeri, tingkat, skala, durasi, dan frekuensi nyeri yang
dirasakan klien
2. Observasi keadaan nyeri nonverbal ( metic: ekspresi wajah,
gelisah, menangis, menarik diri, diaphoresis, perubahan frekuensi
jantung, pernapasan dan tekanan darah.
3. Anjurkan untuk istirahat dan ciptakan lingkungan yang tenang
4. Berikan kompres panas lembab pada kepala, leher, lengan sesuai
kebutuhan
5. Lakukan pemijatan pada daerah kepala/leher/lengan jika pasien
dapat toleransi terhadap sentuhan

19
6. Sarankan pasien untuk menggunakan persyaratan positif “saya
sembuh” atau “saya suka hidup ini”
Kolaborasi :
1. Berikan analgetik/ narkotik sesuai indikasi
2. Berikan antiemetic sesuai indikasi
4) Perubahan persepsi sensori b.d perubahan resepsi sensoris, transmisi
atau integrasi (trauma atau metic neurologis).
Kriteria hasil : pasien dapat dipertahankan tingkat kesadaran dan
fungsi persepsinya, mengakui perubahan dalam kemampuan dan
adanya keterlibatan residu, mendemonstrasikan perubahan gaya hidup.
Intervensi :
1. Kaji secara teratur perubahan orientasi, kemampuan bicara,
afektif, sensoris dan proses pikir
2. Kaji kesadaran sensoris seperti respon sentuhan, panas/dingin,
benda tajam atau tumpul, kesadaran terhadap gerakan dan letak
tubuh, perhatikan adanya masalah penglihatan
3. Observasi respon perilaku
4. Hilangkan suara bising/ stimulus yang berlebihan
5. Berikan stimulus yang berlebihan seperti verbal, penghidu, taktil,
pendengaran, hindari isolasi secara fisik dan psikologis
Kolaborasi :
1. Pemberian obat supositoria yang mempermudah proses BAB
2. Konsultasi dengan ahli fisioterapi/okupasi
5) Ketidakseimbangan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan b.d
peningkatan TIK, konsekuensi kemoterapi, radiasi, pembedahan,
(anoreksia, iritasi, penyimpangan rasa mual)
Kriteria hasil : pasien dapat mendemonstrasikan berat badan
stabil,mengungkapkan pemasukan adekuat, berpartisipasi dalam
intervensi spesifik untuk merangsang nafsu makan
Intervensi :

20
1. Pantau masukan makanan setiap hari
2. Ukur BB setiap hari sesuai indikasi
3. Dorong pasien untuk makan tinggi kalori kaya nutrient sesuai
program
4. Kontrol factor lingkungan (bau,bising) hindari makanan terlalu
manis, berlemak dan pedas. Ciptakan suasana makan yang
menyenangkan
5. Identifikasi pasien yang mengalami mual/muntah
Kolaborasi :
1. Pemberian anti metic dengan jadwal reguiler
2. Vitamin A,D,E dan B6
3. Rujuk kepala ahli diet
4. Pasang/ pertahankan selang NGT untuk pemberian makanan enteral
6) Gangguan imobilitas fisik b.d tekanan pada serebelum (otak kecil)
Tujuan : klien dapat menunjukkan cara mobilisasi secara optimal
Kriteria hasil : klien dapat mempertahankan/meningkatkan kekuatan
dan fungsi tubuh yang sakit,mempertahankan integritas kulit dan
kandung kemih dan fungsi usus.
Intervensi :
1. Periksa kembali kemampuan dan keadaan secara fungsional pada
kerusakan yang terjadi
2. Kaji derajat imobilitas pasien dengan menggunakan skala
ketergantungan (0-4)
3. Letakkan pasien pada posisi tertentu, ubah posisi pasien secara
teratur dan buat sedikit perubahan posisi antara waktu.

21
BAB III
PEMBAHASAN KASUS

3.1 Pembahasan dan Asuhan Keperawatan Terkait Kasus


A. PENGKAJIAN KASUS
1. Anamnesis
 Identitas klien
Identitas pasien meliputi nama, umur, berat badan, dan jenis kelamin,
alamat rumah, tanggal lahir dan identitas orang tua.
 Keluhan utama
Keluhan utama nyeri kepala berat , leher terasa kaku, mulut sedikit
mwncong kekiri, nyeri bersifat hilang timbul padaa seluruh area
kepala, tidak hilang hilang dengan obat anti jyeri dan memberat sejak
1 minggu sebelum dibawa kerumah sakit
 Riwayat penyakit dahulu
Pasien pernah dirawat dengan vertigo dan mempunyai riwayat
penyakit hipertensi
 Riwayat kesehatan keluarga
Menurut keluargaa pasien, (suami) orang tua pasien meninggal yang
mengalami keluhan yang sama seperti pasien alami
 Kebiasaan makan
Pasien mempunyai kebiasaan mengkonsumsi makanan cepat saji
seperti mie instan, suka memakai bumbu penyedap dalam makanan
 Pemeriksaan fisik , neliputi
Keadaan umun:
1. Pola aktivitas
gejala : kelemahan , kaku
2. Sirkulasi
Gejala : Nyeri kepala berat
3. Integritas Ego

22
Gejala : Faktor stress perubahan sikap dan tingkah laku
4. Makanan /cairan
Gejala : Nauseaa
5. Nourosensori
Nyeri kepala , gangguan penglihatan , wajah tidak simetris ,
tidak mampu mampu melwan tahanan pemeriksa, devisiasi
padaa mata ,
6. Nyeri
Nyeri kepala dengan intentitas yang berbedaa dan bisanyaa
lama
7. RR
Perubahan pola napas , RR 20 x/i
8. Sistem motorik
Hipereksensi sendi, kelamahan

B. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan dengan Faktor Penyakit
2. Resiko Perfusi Serebral Tidak Efektif berhubungan dengan Hipertensi
3. Hambatan Mobilitas Fisik berhubungan dengan Penurunan Kekuatan Otot
4. Gangguan Persepsi Sensori berhubungan dengan Penurunan Ketajaman
Penglihatan
C. Intervensi Keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan dengan Faktor Penyakit
DS=
 Mengeluh nyeri kepala berat diseluruh area kepala
 Nyeri menetap dan berdenyut-denyut
DO=
 Gelisah
 Berfokus pada diri sendiri

23
Tujuan: Setelah dilakukan perawatan, diharapkan pengurangan atau
reduksi nyeri sampai pada tingkat kenyamanan yang dapat diterima
oleh pasien.
Intervensi:
O=
 Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas,
intensitas nyeri
 Identifikasi skala nyeri
 Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri
 Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri
 Monitor efek samping penggunaan analgetik
M=
 Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
 Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri (mis, suhu
ruangan, pencahyaan, dan kebisingan)
 Fasilitasi istirahat dan tidur
E=
 Ajarkan penggunaan teknik nonfarmakologis
 Ajarkan metode farmakologi untuk menurunkan nyeri
K=
 Kolaborasi dengan pasien, orang terdekat dan tim kesehatan
lainnya untuk memilih dan mengimplementasikan tindakan
penurunan nyeri nonfarmakologis sesuai kebutuhan

2. Resiko Perfusi Serebral Tidak Efektif berhubungan dengan Hipertensi


DS= -
DO=
 Perubahan tingkat kesadaran
 Gelisah

24
 Perubahan tanda vital
 Hb: 10,10 gr/Dl
Tujuan:Setelah dilakukan perawatan, diharapkan tingkat kesdaran
pasien kembali normal, tidak ada peningkatan intrakranial, perbaikan
kognitif
Intervensi:
O=
 Monitor tekanan aliran darah otak
 Monitor status pernafasan
M=
 Minimalkan stimulus dengan menyediakan lingkungan yang tenang
 Berikan posisi semi fowler
 Pertahankan suhu tubuh normal
E= -
K=
 Kolaborasi pemberian diuretik osmosis
3. Hambatan Mobilitas Fisik berhubungan dengan Penurunan Kekuatan
Otot
DS=
 Kelemahan pada ekstremitas atas dan bawah bagian kiri
DO=
 Penurunan tonus otot (flaccid)
 Kekuatan otot ektremitas kiri 3
 Tidak mampu melawan tahanan pemeriksa
Tujuan:Setelah dilakukannya perawatan, diharapkan aktivitas
pergerakan fisik pasien menjadi meningkat
Intervensi:
O=
 Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik lainnya

25
 Monitor kondisi umum selama melakukan mobilisasi
 Monitor frekuensi jantung dan tekanan darah sebelum memulai
mobilisasi
M=
 Fasilitasi aktivitas mobilisasi dengan alat bantu (mis, pagar tempat
tidur)
 Fasilitasi melakukan pergerakan, jika perlu
 Libatkan keluarga untuk membantu pasien dalam meningkatkan
pergerakan
E=
 Jelaskan tujuan dan prosedur mobilisasi
 Anjurkan melakukan mobilisasi dini
 Anjurkan mobilisasi sederhana yang harus dilakukan
K= -
C. Aspek Legal Etik Terkait Kasus
1) Autonomy Perawat harus menjelaskan dengan jelas kepada keluarga
tentang kondisi yang dialami pasien tanpa ada sedikitpun yang ditutupi
sehingga pasien mendapatkan haknya.
2) Non-Maleficence Prinsip ini berarti tidak menimbulkan bahaya/cedera
fisik dan psikologis pada klien. Perawat melakukan prosedur keperawatan
dengan benar sehingga klien terhindar dari hal yang merugikan. Perawat
melakukan kewaspadaan universal untuk mencegah terjadinya infeksi
yang lebih lanjut
3) Beneficence Beneficience berarti, hanya melakukan sesuatu yang
baik.perawat memberikan intervensi sesuai dengan kebutuhan dan
diagnosa klien.
4) Justice - Prinsip keadilan dibutuhkan untuk tercapai yang sama dan adil
terhadap orang lain yang menjunjung prinsip-prinsip moral, legal dan
kemanusiaan. Nilai ini direfleksikan dalam prkatek profesional ketika

26
perawat bekerja untuk terapi yang benar sesuai hukum, standar praktek
dan keyakinan yang benar untuk memperoleh kualitas pelayanan
kesehatan. - Perawat harus bertindak adil dalam melakukan tindakan
keperawatan tanpa membedakan status ekonomi, suku, agama, dll. Agar
pasien dapat merasakan kenyamanan.
5) Kejujuran (Veracity) - Prinsip veracity berarti penuh dengan kebenaran.
Nilai ini diperlukan oleh pemberi pelayanan kesehatan untuk
menyampaikan kebenaran pada setiap klien dan untuk meyakinkan bahwa
klien sangat mengerti. Prinsip veracity berhubungan dengan kemampuan
seseorang untuk mengatakan kebenaran. Informasi harus ada agar
menjadi akurat, komprensensif, dan objektif untuk memfasilitasi
pemahaman dan penerimaan materi yang ada, dan mengatakan yang
sebenarnya kepada klien tentang segala sesuatu yang berhubungan
dengan keadaan dirinya selama menjalani perawatan

3.2 Jurnal Terkait


Status Neurologi Pasien Space Occupying Lesion Dengan Hiv dan Toxoplasmosis
Cerebri (Terlampir)

3.3 Analisis Jurnal


Judul jurnal : Jurnal Perawat Indonesia

Studi Kasus : Status Neurologi Pasien Space Occupying Lesion Dengan Hiv dan
Toxoplasmosis Cerebri

Keywords :

HIV, Status Neurologi, Space Occupying Lesion, Toxoplasmosis Cerebri

Penulis jurnal :

Ade Iwan Mutiudin, Ridal Sagala, Tuti Pahria, Yusshy Kurnia Herliani, Hasniatisari
Harun, Epi Pitriana

Latar belakang:

27
Space occupying lesion merupakan desakan ruang yang diakibatkan peningkatan
volume di dalam ruang intrakranial. Desakan ruang di intrakranial dapat
mengakibatkan jaringan otak mengalami nekrosis sehingga dapat menyebabkan
gangguan neurologik progresif. Pasien SOL dengan HIV dan Toxoplasmosis Cerebri
menunjukkan hampir 80-90% ditemukan memiliki kelainan neurologik.

Tujuan penelitian :

Menganalisis karakteristik pasien dan menganalisis status neurologi.

Metode penelitian :

Penelitian dekriptif dengan pendekatan studi kasus observasi. Tehnik pengambilan


sampel yang digunakan adalah consecutive sampling. Alat pengumpulan data
menggunakan lembaran ceklis yang merupakan kriteria status neurologis berdasarkan
Nanda, lembar observasi dan MMSE.

Hasil penelitian : Durasi mulai sakit yang di alami kedua pasien lebih dari 3 bulan
dengan lama hari perawatan lebih dari 7 hari. Kedua pasien mempunyai riwayat
penyakit penyerta yang sama dan baru mendapatkan terapi Atiretroviral setelah
dirawat di rumah sakit.

Kekurangan:

Gangguan status neurologis yang paling dominan tampak pada pasien Space
Occupying Lesion dengan HIV dan Toxoplasmosis Cerebri diantaranya : Keluhan
sakit kepala, gangguan kognitif dan gangguan berbicara serta kelemahan otot.

Saran: Monitoring status neurologi secara komprehensif merupakan bagian penting


terutama pada pasien Space Occupying Lesion dengan HIV dan Toxoplasmosis
Cerebri, agar pelayanan yang diberikan akan lebih optimal dan berkualitas. Sehingga
dapat mengurangi angka morbiditas dan mortalitas yang diakibatkan oleh gangguan
fungsi neurologi. [ CITATION Mut20 \l 1033 ]

3.4 Terapi Modalitas Keperawatan Atau Terapi Komplementer Terkait Pada


Sistem Persarafan
a. Pembedahan
Jika tumor otak berada pada lokasi yang dapat dicapai dengan tindakan
pembedahan, maka dokter bedah saraf akan menyarankan operasi untuk

28
membuang tumor semaksimal mungkin. Pada beberapa kasus, tumor
berukuran kecil dan mudah dipisahkan dari jaringan otak disekitarnya
sehingga memungkinkan pengambilan tumor secara total. Pada kasus lain,
tumor dapat sulit dipisahkan dari jaringan normal sekitarnya atau lokasi
tumor berdekatan dengan area penting di otak, sehingga meningkatkan
resiko operasi. Pada situasi seperti ini, dokter akan berusaha membuang
tumor semaksimal mungkin selama masih aman untuk jaring otak di
sekitarnya. Sekalipun hanya membuang sebagian dari massa tumor sudah
membantu mengurangi keluhan dan gejala yang ada. Pada beberapa kasus
hanya dilakukan biopsy untuk menegakkan diagnosis. Pembedahan untuk
membuang tumor otak merupakan prosedur yang mengandung resiko,
antara lain infeksi dan perdarahan. Resiko lain tergantung pada lokasi otak
yang berdekatan dengan tumor. Sebagai contoh; operasi tumor yang
berdekatan dengan saraf pendengarann dapat menimbulkan resiko
ketulian.
b. Radiroterapi
Radioterapi adalah prosedur menggunakan energy radiasi untuk
membunuh sel tumor.Efek samping radioterapi tergantung pada dosis
yang diberikan.Secara umum efek nya dapat berupa kelemahan, nyeri
kepala, dan iritasi pada kulit kepala.
c. Kemoterapi
Kemoterapi menggunakan obat untuk membunuh sel tumor.Obat
kemoterapi dapat berupa obat minum berbentuk pil atau obat suntik. Jenis
lain kemoterapi dapat diberikan pada saat pembedahan. Setelah
membuang tumor, dokter bedah saraf dapat meletakkan obat kemoterapi
di lokasi bekas tumor.
d. Rehabilitasi setelah pembedahan
Tumor otak dapat muncul di bagian otak yang mengendalikan fungsi
pergerakan tangan dan kaki, fungsi bicara, penglihatan, dan proses
berpikir sehingga rehabilitasi sangat diperlukan sebagai bagian untuk

29
proses pemulihan pasien. Tindakan rehabilitasi antara lain fisioterapi
untuk melatih fungsi dan kekuatan otot dan speech therapy unutk melatih
kemampuan bicara.

3.5 Trend Issue, EBP dalam penatalaksanaan Terkait Gangguan Pada Sistem
Persarafan
Tumor otak adalah penyebab nyeri kepala yang tidakbiasa pada orang dewasa,
namun banyak tumor otak yang menyebabkan nyeri kepala biasanya disertai dengan
tanda dan gejala neurologis lainnya.Secara umum, terapi tumor otak yang mendasari
memperbaiki nyeri kepala, namun, terapi ini juga dapat menyebabkan nyeri
kepala.Pedoman berbasis bukti terbaru dari ACR berfungsi sebagai sumber informasi
yang sangat baik bagi dokter terkait penggunaan pencitraan otak pada kasus nyeri
kepala dengan kecurigaan tumor otak.
Rekomendasi dari American College ofRadiology (ACR)24 bahwa
sebagian besar pasien yang datang dengan nyeri kepala primer non-traumatik
tanpa komplikasi tidak perlu pemeriksaan pencitraan otak, tetapi pasien yang
datang dengan tanda bahaya (redflag) berdasarkan riwayat atau pemeriksaan
fisik harus dipertimbangkan dilakukan pemeriksaan tersebut untuk
menyingkirkan penyebab sekunder yang mendasarinya, seperti tumor
otak.Wajib dilakukan evaluasi lebih lanjut dengan pemeriksaan pencitraan
otak, bilamana kita menemukan gejala maupun tanda clinical red flags.

30
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Menurut pembahasan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa asuhan
keperawatan gangguan sistem persarafan Space Occupying Lesion (SOL)
adalah.

1. Sistem saraf secara garis beras dibagi menjadi 2 yaitu sistem saraf pusat (SSP)
dan sistem saraf tepi (SST). Otak dan medulla spinalis membentuk sistem saraf
pusat (SSP). Sistem saraf tepi (SST) merupakan sistem saraf yang berada disisi
luar SSP (Price & Wilson, 2005)
2. Space Occupying Lesion (SOL) merupakan desakan ruang yang diakibatkan
peningkatan volume di dalam ruang intrakranial yang ditempati oleh jaringan
otak, darah, dan cairan serebrospinal. Lesi desakan ruang (Space Occupying
Lesion) bisa meningkatkan tekanan intrakranial (Price & Wilson, 2005)
3. Menurut Lewis, Dirksen, Heit kemper dan Bucher (2011) tumor otak dapat
terjadi pada setiap bagian otak dan sumsum tulang belakang. Tumor otak dapat
terjadi secara primer maupun sekunder. Tumor otak primer timbul dari jaringan
dalam otak. Jaringan ini terdiri dari sel neuroglia, dari neuron atau sel saraf
cranial dan struktur pembungkus otak. Sedangkan tumor otak sekunder dapat
terjadi akibat metastasis neoplasma ganas di tempat tubuh lain

4.2 Saran
Penulis sarankan hal-hal sebagai berikut:
1. Makalah selanjutnya dapat membahas tentang askep gangguan system persarafan
meningitis
2. Makalah selanjutnya dapat membahas tentang konsep luka dan fisiologi
penyembuhan luka.

31
LAMPIRAN JURNAL

32
33
34
35
DAFTAR PUSTAKA

Price, A., Wilson. (2005). Buku Ajar Penyakit Dalam. Jakarta : EGC

NANDA International. (2012). Nursing diagnoses: Definitions and classification


2012 – 2014. Philadelphia: Wiley – Blackwell.

Smeltzer, S. C., Bare, B. G., Hinkle, J. L., & Cheever, K. H. (2010). Brunner &
Suddarth’s Textbook of medical-surgical nursing. (12th ed). Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins.

Black J.M., Hawks J.H. (2014). Keperawatan Medikal Bedah: Manajemen Klinis
untuk Hasil yang Diharapkan (3-vol set). Edisi Bahasa Indonesia 8. Elsevier
(Singapore) Pte.Ltd.

Satyanegara. (2010). Ilmu Bedah Syaraf. Jakarta : Gramedia

Brunner & Suddarth. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC.

Butt, Ejazz. (2005). Intracranial Space OccupayingLesions A Morphological Analys.


Jakarta : EGC.

Harsono. (2011). Buku Ajar Neurologis Klinis. Yogyakarta : UGM

Muttaqin, Arif. (2008). Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem


Persyarafan. Jakarta : Salemba Medika.

Carpenito, (2007). Rencana Asuhan dan Pendokumentasian.Keperawatan.Alih


Bahasa Monika Ester.Edisi 2. Jakarta : EGC.

Mutiudin, A. I., & dkk. (2020). Jurnal Perawat Indonesia . Sudi Kasus: Status
Neurologi Pasien Space Occupying Lesion dengan HIV dan Toxoplasmosis Cerebri. ,
4 (1), 44-51.

36
37

Anda mungkin juga menyukai