Anda di halaman 1dari 29

KEPERAWATAN ANAK II

ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN DERMATITIS


ATOPIK

Disusun Oleh :

KELOMPOK 6

1. TIAN NOPITA SARI (1711311001)


2. ADZKIA PINTA DANO (1711312013)
3. ULFHA PUTRI RAHMI (1711312021)
4. TIKA NELSYA P. (1711313035)
5. NAFHANIA NUR E. (1711313023)
6. MIFTAH FAUZIAH (1711313037)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS ANDALAS

PADANG

2019

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami kirimkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa ,
karena atas rahmat dan karunia-Nya kami dapat membuat dan menyelesaikan
makalah kami yang berjudul “Asuhan Keperawatan Pada Anak Dengan
Dermatitis Atopik”. Pada makalah ini kami tampilkan hasil diskusi kami, kami
juga mengambil beberapa kesimpulan dari hasil diskusi yang kami lakukan.

Kami mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah


membantu kami dalam menyelesaikan laporan ini, diantaranya:
1.    Yang terhormat, Dosen mata kuliah Keperawatan Anak II .
2.    Pihak-pihak lain yang ikut membantu dalam pelaksanaan maupun proses
penyelesaian makalah ini.
Makalah ini diharapkan dapat bermanfaat untuk menambah pengetahuan
bagi para pembaca dan dapat digunakan sebagai salah satu pedoman dalam proses
pembelajaran. Namun, kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam
penulisan maupun pembahasan dalam makalah ini, sehingga belum begitu
sempurna. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran dari
pembaca agar kami dapat memperbaiki kekurangan- kekurangan tersebut
sehingga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Padang, 22 April 2019

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...........................................................................................ii

DAFTAR ISI ........................................................................................................iii

BAB I : PENDAHULUAN ....................................................................................1

1.1 Latar Belakang ..................................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah .............................................................................................1

1.3 Tujuan ...............................................................................................................1

BAB II : PEMBAHASAN .....................................................................................3

2.1 Landasan Teoritis Penyakit................................................................................3

2.1.1 Definisi Sindrom Nefrotik ......................................................................3

2.1.2 Etiopatogenesis .......................................................................................3

2.1.3 Manifestasi Klinis ...................................................................................8

2.1.4 WOC......................................................................................................10

2.1.5 Pemeriksaan Penunjang ........................................................................12

2.1.6 Penatalaksanaan ....................................................................................12

2.1.7 Komplikasi ............................................................................................13

2.1.8 Prognosis................................................................................................14

2.2 Asuhan Keperawatan ......................................................................................14

2.2.1 Pengkajian..............................................................................................14

2.2.2 Diagnosa Keperawatan...........................................................................16

2.2.3 NOC dan NIC ........................................................................................17

2.3.4 Implementasi .........................................................................................22

3
2.3.5 Evaluasi .................................................................................................22

BAB III: PENUTUP ............................................................................................24

3.1 Kesimpulan......................................................................................................24

3.2 Saran ................................................................................................................24

DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................25

4
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dermatitis atopic atau eksim susu adalah penyakit kulit pada anak yang
terjadi pada bayi berusia dibawah tiga bulan, namun paling sering terjadi pada
anak dibawah usia 1 tahun atau dibawah 5 tahun. Anak yang terkena eksim susu
kulitnya cenderung kering, kelembabpannya berkurang atau hilang, sehingga
rentan bereaksi terhadap keadaan lingkungan luar seprti debu, makanan, serta
kuman-kuman di udara
Dermatitis atipik (DA) merupakan peradangan kulit kronis residif disertai
gatal yang umunya sering terjadi selama masa bayi dan anak-anak, sering
berhubungan dengan peningkatan kadar IgE dalam serung dan riwayat atopi pada
penderita atau keluarganya.
1.2 Rumusan Masalah
a. Apa yang dimaksud dengan dermatitis atopic ?
b. Apa saja etiologi dari dermatitis atopic ?
c. Bagaimana patofisiologi dari dermatitis atopic ?
d. Apa saja manifestasi klinis dari dermatitis atopic ?
e. Bagimana woc dari dermatitis atopic ?
f. Apa pemeriksaan penunjang dari dermatitis atopic ?
g. Bagaimana penatalaksanaan dari dermatitis atopic ?
h. Bagaimana prognosis dari dermatitis atipok ?
i. Bagaimana asuhan keperawatan dari dermatitis atopic ?

1.3 Tujuan
a. Tujuan Umum
Untuk mengetahui tentang penyakit dermatitis atopic pada anak dan
asuhan keperawatannya
b. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui definisi dari dermatitis atopic
b. Untuk mengetahui etiologi dari dermatitis atopic

5
c. Untuk mengetahui patofisiologi dari dermatitis atopic
d. Untuk mengetahui manifestasi klinis dari dermatitis atopic
e. Untuk mengetahui WOC dari dermatitis atopic
f. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang dari dermatitis atopic
g. Untuk mengetahui penatalaksanaan dermatitis atopic
h. Untuk mengetahui prognosis dari dermatitis atopic
i. Untuk memahami asuhan keperawatan pada pasien dermatitis atopic

6
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Landasan Teoritis Penyakit

2.1.1 Definisi

Dermatitis atopic adalah peradangan pada kulit yang bersifat kronis dan
residif, disertai rasa gatal, yang umumnya sering terjadi selama masa bayi dan
anak-anak, sering berhubungan dengan peningkatan kadar IgE dalam serum dan
riwayat atopi pada keluarga atau penderita (D.A., Rinitis Alergic, dan atau Asma
brobkial). Kelainan kulit berupa gapul gatal, yang kemudian mengalami
ekskoriasi dan likenifikasi, distribusinya di lipatan (fleksural) (Djuanda, 2005).

Dermatitis atopic (DA) merupakan penyakit inflamasi yang bersifat kronik


dan kambuhan, terutama mengenai bayi dan anak, namun dapat pula ditemukan
pada usia dewasa (Leung, 2012:165).

Kata “atopi” pertama kali dikenalkan oleh Coca (1923), yaitu istilah yang
dipakai untuk sekelompok penyakit pada individu yang mempunyai riwayat
kepekaan dalam keluarganya misalnya: asma bronchial, rhinitis alergik, dermatitis
atopic, dan konjungtvitis alergik.

2.1.2 Etiopatogenesis

Dermatitis atopic merupakan penyakit dengan etiologi yang masih belum


diketahui dengan jelas, dengan patogenesis yang kompleks dan melibatkan
banyak faktor, sehingga menggambarkan suatu penyakit yang multifaktorial.
Peranan alergi pada pathogenesis DA masih di perdebatkan. Namun, setelah
diketahui bahwa paparan kontak dengan allergen lingkungan terutama allergen
hirup dan allergen makanan dapat memicu timbulnya lesi DA (Remitz, 2008:1-
12).

7
Ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadi dermatitis atopik

a. Disfungsi sawar kulit


penderita dermatitis atopic rata-rata memiliki kulit kering, hal tersebut
disebabkan kelainan struktur epidermis formasi protein (filaggrin) dan
hilangnya ceramide di kulit sebagai molekul utama sebagai pengikat air di
ruang ekstraseluler stratum korneum, dianggap sebagai kelainan fungsi
sawar kulit. Kelainan fungsi sawar kulit menyebabkan peningkatan
transepidermal water loss 2-5 kali normal, sehingga kulit akan kering dan
menjadi pintu masuk (port d’entry) untuk terjadinya penetrasi allergen,
iritasi, bakteri dan virus (Wervel, 2011).
b. Faktor genetic
Dermatitis atopic lebih banyak ditemukan pada penderita yang
mempunyai riwayat atopi dalam keluarganya. Kromosom 5q31-33
mengandung kumpulan familygen sitokin IL-3, IL-4, IL-13, dan GM-CSF,
yang diekspresikan oleh sel Th2. Ekspresi gen IL-4 memainkan traskripsi
gen IL-4 mempengaruhi predisposisi dermatitis atopic. Ada hubungan yang
erat antara polimorfisme spesifik gen kimase sel mas dengan dermatitis
atopic, tetapi tidak dengan asma bronchial atau rhinitis allergic.
Bila salah satu orang tua memiliki riwayat D.A, maka insiden D.A
menjadi dua kali lipat pada anaknya. Insiden ini menjadi tiga kali lipat bila
riwayat D.A ditemukan pada kedua orang tua.
c. Faktor imunologi
Konsep dasar terjadinya dermatitis atopic adalah melalui reaksi
imunologik, yang diperantai oleh sel-sel dari sum-sum tulang. Beberapa
parameter imunologi dapat dikemukakan pada dermatitis atopic, seperti
kadar IgE dalam serum penderita pada 60-80% kasus meningkat, adanya
IgE spesifik terhadap bermacamaerolagen dan eosinofilia darah serta
diketemukannya molekul IgE pada permukaan sel langerhans epidermal.
Terbukti bahwa ada hubungan secara sistemik antara dermatitis atopic dan
alergi saluran napas, karena 80% anak dengan dermatitis atopic mengalami
asma bronchial atau rhinitis allergic.

8
Pada individu yang normal terdapat keseimbangan sel T seperti Th1,
Th2, Th17, sedangkan pada penderita dermatitis atopic terjadi ketidak
seimbangan Sel T. sitokinin Th2 jumlahnya lebih dominan dibanding
dengan Th1 yang menurun. Hal ini menyebabkan produksi dari sitokinin
Th2 seperti interleukin IL-4, IL-5, dan IL-13 ditemukan lebih banyak
diekspresikan oleh sel-sel sehingga terjadi peningkatan IgEdari sel plasma
dan penurunan kadar interferon-gamma. Dermatitis atopic akut
berhubungan dengan produksi sitokinin tipe Th2, IL-4 dan IL-13yang
membantu immunoglobulin tipe isq berubah menjadi sintesa IgE, dan
menambah ekspresi molekul adhesi pada sel-sel endotel. Sebaliknya IL-5
berperan dalam perkembangan dan ketahanan eosinofil, dan mendominasi
dermatitis atopic kronis.
Immunopatogenesis dermatitis atopic dimulai dengan paparan
immunogen atau allergen dari luar yang mencapai kulit, dapat melalui
sirkulasi setelah inhalasi atau secara langsung melalui kontak dengan kulit. .
Pada pemaparan pertama terjadi sensitisasi, dimana allergen dapat ditangkap
oleh sel penyaji antigen (antigen precenting cell = APC) untuk kemudian
diproses dan disajikan kepada sel limfosit T. Hal ini menyebabkan sel T
menjadi aktif dan mengenali allergen tersebut melalui reseptor T ( T – Cell
receptor = TCR). Setelah paparan sel T akan berdeferensiasi menjadi sub
populasi sel Th2 karena mensekresi IL – 4 dan sitokin ini merangsang
aktivitas sel B untuk menjadi sel plasma dan memproduksi IgE (yang
spesifik terhadap allergen). Begitu ada di dalam sirkulasi IgE segera
berikatan dengan sel mast (MC) dan basofil. Pada paparan allergen
berikutnya, IgE telah terssedia pada permukaan sel mast, sehingga terjadi
ikatan antara allergen dan IgE. Ikatan ini akan menyebabkan degranulasi
MC yang akan mengeluarkan mediator baikyang telah tersedia seperti
histamine yang akan menyebabkan reaksi segera.
Sel langerhans epidermal (LC) berperan penting dalam patogenesis
DA oleh karena mengekspresikan reseptor pada permukaan membrannya
yang dapat mengikat molekul IgE serta mensekresi berbagai sitokin.
Apabila ada elergem masuk akan diikat dan disajikan pada sel T yang akan

9
mensekresi limfokin. Sehingga sel eosinofil ditarik dan berkumpul ditempat
lesi, menjadi aktif dan akan mengeluarkan granula protein yang akan
membuat kerusakan jaringan.
d. Faktor lingkungan
Faktor-faktor lingkungan seperti polutan dan allergen-alergen
mungkin memicu reaksi atopic pada individu yang rentan. Paparan polutan
dan allergen tersebut adalah :
1. Polutan : asap rokok dan peningkatan polusi udara.
2. Allergen :
 Aeroallergen atau allergen inhalant : tungau debu rumah,
serbuk sari buah, bulu binatang, jamur dan kecoa
 Makanan : susu, telur, kacang, ikan laut, kerang laut dan
gandum.
 Mikroorganisme : bakteri seperti staphylococcus aureus,
streptococcus pspesies dan ragi seperti pityrosporum ovale,
candida albicans dan trichophyton species.
 Bahan iritan atau allergen : wool, desinfektans, nikel dsb.
e. Stress
Studi terbaru menunjukkan faktor-faktir psiko-neuro-imunologi dan stress
emosional berperan penting dalam terjadinya D.A. stress dapat
menyebabkan rusaknya fungsi sawar kuli dan memicu terjadinya respon
alergi atau Th2.
Pada saat stress, saraf sensoris melepaskan neuromediator yang meregulasi
inflamasi dan respon imun seperti pada penurunan fungsi sawar kulit.
Respon hypotalamus-pituitary-adrenal axis (HPA) pada sistem saraf pusat
akan berespon terhadap stress psikologis dengan meningkatkan regulasi
hormone stress corticotrophin-realising hormone (CRH) dan adrenoco
rticotropic hormone (ACTH). CRH dan ACTH menstimuasi norepinefrin
(NE) dan pelepasan kortisol dari kelenjar adrenal, serta langsung
mensimulasi sel imun daam darah dan perifer melalui masing-masing
reseptor. Akibatnya terjadi umpan balik negative dari kortisol pada CRH
dan ACTH, kemudian hipotamus dan hipofisi. Produksi serotonin pada

10
batang otak (5HT) meningkat. Substansu P(SP), gastrin-
releasingpeptide(GRP), dan calcitonin gene related peptide (CGRP) pada
ganglia spinalis dosrsalis juga meningkat.
Pada kulit, sel-sel imun melepaskan sitokin, kemokin, dan neuropeptida,
yang memodulasi respon inflamasi local. Selain itu saraf saraf sensoris
melepaskan neuromediator yang memodulasi inflamasi kulit, nyeri, dan
gatal, seta mengirimkan rangsangan sensorik melalui ganglia spinalis dan
medulla spinalis ke area tertentu dari sistem saraf pusat. Sel mast kulit
berhubungan erat dengan substansi P (SP), CGRP, pituitary adenyate
cyclase-activating protein (PACAP), dan opioid relasing neurons.
Kesemuanya akan memicu sintesis dan sekresi mediator inflamasi sebagai
respon terhadap berbagai rangsangan fisik dan biokimia. Produksi local dari
neurohormon dan neuropeptida dengan rerabut saraf SP terjadi pada kuit
sebagai respon terhadap stress.

2.1.3 Manifestasi Klinis

Kulit penderita D.A umunya kering, pucat/redup, kadar lipid diepidermis


berkurang, dan kehilangan air lewat epidemis meningkat. Jari tangan teraba
dingin. Penderita D.A cenderung tipe astenik, dengan intelegensia di atas rata-
rata, sering merasa cemas, egois, frustasi, agresif, atau merasa tertekan.

Gejala utama D.A ialah pruritus, dapat hilang timbul sepanjanh hari, tetapi
umumnya lebih hebat pada malam hari. Akibatnya penderita akan menggaruk
sehingga timbul macam-macam kelainan dikulit berupa papul, likenifikasi,
eritema erosi, eksroriasi, eksodasi, dan kusta.

D.A dapat dibagi menjadi 3 fase, yaitu: D.A infantil (terjadi pada usia
2bulan- 2tahun), D.A anak (2-10tahun), dan D.A pada remaja dan dewasa.

a. D.A Infantil (usia 0 bulan-2tahun)

D.A paling sering muncul pada tahun pertama kehidupan, biasanya setelah
usia 2 bulan. Lesi mulai di muka (dahi, pipi) berupa eritema, papulo-vesikel yang
halus karena gatal, karena gatal digosok pecah, eksudatif, dan akhirnya terbentuk

11
krusta. Lesi kemudian meluas ketempat lain yaitu ke skalp, leher, permukaan
tangan, lengan dan tungkai. Bila anak mulai merangkak, lesi ditemukan di lutut.
Biasanya anak mulai menggaruk setelah umur 2 bulan. Rasa gatal yang timbul
sangat mengganggu membuat anak gelisah, susah tidur, dan sering menangis.
Pada umumnya lesi D.A Infantil eksudatif banyak eksudat, erosi, krusta, dan
dapat mengalami infeksi. Lesi dapat meluas generalisata bahkan, walaupun
jarang, dapat terjadi eritroderma. Lambat laun lesi menjadi kronis dan residif.
Sekitar usia 18bulan tampak likenifikasi. Pada sebagian besar penderita sembuh
setelah usia 2 tahun, mungkin juga sebelumnya, sebagian berlanjut menjadi
bentuk anak. Pada saat itu penderita tidak lagi mengalami eksaserbasi, bila makan
makanan yang sebelumnya menyebabkan kambuh penyakitnya.

Larangan makan/minum yang mengandung susu sapi masih ada silang


pendapat. Ada yang melaporkan bahwa kelainan secara dramatis membaik setelah
makanan tersebut diberhentikan, sebaliknya ada pula yang mendapatkan tidak ada
perbedaan.

b. D.A Pada Anak (usia 2-10tahun)

Dapat merupakan bentuk kelanjutan bentuk infantil atau timbul sendiri (de
novo). Lesi lebib kering, tidak begitu eksudatif, lebih banyak pabul, likenifikasi,
dan sedikit skuama. Letak kelainan kulit dilipat siku, lipat lutut, pergelangan
tangan bagian fleksor, kelopak mata, leher, jarang dimuka. Rasa gatal
menyebabkan penderita sering menggaruk; dapat terjadi erosi, likenifikasi,
mungkin juga mengalami infeksi sekunder. Akibat garukan kulit menebal dan
perubahan lainnya yang menyebabkan gatal, sehingga terjadi lingkaran setan
“siklus gatal-garuk”. Rangsangan garuk sering kali timbul diluar kendali.
Penderita seringkali sensifitif terhadap wol, bulu kucing dan anjing, juga bulu
ayam, dan juga sejenisnya.

D.A berat yang melebihi 50% permukaan tubuh dapat memperlambat


pertumbuhan.

12
c. D.A pada remaja dan dewasa

lesi pada kulit D.A pada bentuk ini dapat berupa plak popular-eritematosa
dan berskuama atau plak likenifikasi yang gatal. Pada D.A remaja lokalisasi lesi
di lipat siku, Lipat lutut, dan samping leher, dahi dan sekitar mata. Pada D.A
dewasa distribusi lesi kurang karakteristik, sering mengenai tangan dan
pergelangan tangan, dapat pula ditemukan setempat, misalnya dibibir (kering,
pecah, bersisik), vulva, putting susu, atau scalp. Kadang erupsi meluas, dan paling
parah di lipatan, mengalami likenifikasi. Lesi kering, agak menimbul, papul datar
dan cendrung bergabung menjadi plak likenifikasi dengan sedikit skuama, dan
sering terjadi eksoriasi dan eksudasi karena garukan. Lambat laun terjadi
hiperpigmentasi.

Lesi sangat gatal, terutama pada malam hari waktu beristirahat. Pada orang
dewasa sering mengeluh bahwa penyakitnya kambuh bila mengaami stress.
Mungkin karena stress dapat menurunkan ambang rangsang gatal. Penderita
atopic memang sulit mengeluarkan keringat, sehingga rasa gatal timbul bila
mengadaan latihan fisik. Pada umumnya D.A remaja atau dewasa berlangsung
lama, kemudian cenderung menurun dan membaik setelah usia 30 tahun, hanya
sebagian kecil terus berlangsung sampai tua. Kulit penderita D.A yang telah
sembuh mudah gatal dan cepat meradang bila terpajan oleh bahan iritan eksogen.

13
2.1.4 WOC

14
2.1.5 Pemeriksaan Penunjang

a. pemeriksaan Laboratorium
 IgE serum dapat diperiksa dengan metode EISA. Ditemukan 80%
pada penderita dermatitis atopic menunjukkan peningkatan kadar IgE
dalam serum terutama bila disertai gejala atopi (Alergi).
 Eusinofil : kadar serum dapat ditemukan dalam serum penderita D.A

b. dermatografisme putih
penggoresan pada kulit normal akan menimbulkan tiga respons, yakni
berturut-turut akan terlihat garis merah ditempat penggoresan selama 15
detik, warna merah disekitarnya selama beberapa detik, dan edema timbul

15
sesudah beberapa menit. Pada pasien atopic, garis merah tidak disusul
warna kemerahan, tetapi kepucatan selama 2 detik sampai 5 menit dan
edema tidak timbul
c. percobaan asetikolin
suntikan secara intrakutan solusio asetikolin 1/5000 akan menyebabkan
hyperemia pada orang normal. Pada orang dengan DA akan timbul
vasokinstriksi, terlihat kepuvatan selama 1 jam.
d. Percobaan histamine
Jika histamine di suntikkan pada lesi penderita D.A. eritema akan
berkurang, kalau obat tersebut disuntikkan parenteral, tampak eritema
bertambah pada kulit yang normal

2.1.6 Penatalaksanaan

a. menghindari bahan iritan


contoh bahan iritan: sabun, detergen, bahan kimiawi, rokok, pakaian yang
kasar.
b. mengeliminasi allergen yang telah terbukti
allergen yang telah terbukti sebagai pemicu kekambuhan adalah :
makanan, bulu binatang, serbuk sari tanaman
c. menghilangkan pengeringan kulit (hidrasi)
berikan bebat basah untuk hidrasi pada kulit penderita DA agar terjadi
penyerapan air
d. pemberian pelembab kulit (moisturizing)
pelembab dapat berupa krim, salep dan cairan pemberian pelembab dapat
memperbaiki fungsi barier stratum korneum.
e. kortikosteroid topical
pengobatan D.A dengan kortikosteroid topical adalah yang paling sering
digunakan sebagai anti-inflamasi lesi kulit.
f. pemberian antibiotic
penderita DA mempunyai kepekaan yang meningkat terhadap berbagai
agen microbial seperti: virus, jamur, maupun bakteri.
g. pemberian antihistamin

16
digunakan sebagai anti pruritus yang cukup memuaskan untuk mngurangi
terapi simptomatis pada D.A.
h. terapi sinar (phototherapy)
untuk D.A yang berat dan luas dapat digunakan PUVA
(Photochemoteraphy) seperti yang dipakai pada psioriasis. Terapi UVB
atau Goeckerman dengan UVB dan ter juga efektif.
Kombinasi UVB dan UVA lebih baik daripada hanya UVB, UVA bekerja
pada sel langerhans dan eosinofil dan UVB mempunyai efek
imunosupresif dengan cara memblokade fungsi les langerhans, dan
mengubah produksi sitokin keratinosit.
i. mengurangi stress
j. memberikan edukasi kepada penderita atau pun keluarganya

2.1.7 Komplikasi

Komplikasi yang sering terjadi adalah infeksi sekunder oleh virus dan
bakteri, septikemi, diare dan pneumonia. Gangguan metabolic mengakibatkan
suatu resiko hipotermia, dekompesasi kordis, kegagalan sirkulasi perifer dan
trombophlebitis. Bisa pengobatan kurang baik, akan terjadi degenerasi visceral
yang menyebabkan kematian.

2.1.8 Prognosis

Sulit untuk meramalkan prognosis dermatitis atopic pada seseorang.


Prognosis lebih buruk bila kedua orang tuanya menderita DA. Ada kecendrungan
perbaikan spontan pada masa anak, dan sering ada kambuh pada masa remaja.
Sebagian kasus menetap pada usia 30 tahun (Djuanda, 2005).

Penyembuhan spontan dermatitis atopic yang diderita sejak bayi pernah


dilaporkan terjadi setelah umur 5 tahun sebesar 40-60%, terutama kalau
penyakitnya ringan. Sebelumnya juga ada yang melaporkan bahwa 84% D.A.
anak berlangsung sampai masa remaja. Ada pula laporan, D.A. pada anak yang
diikuti sejak bayi hingga remaja, 20% menghilang, dan 65% berkurang gejalanya.

17
Lebih dari separo D.A. remaja yang telah diobati kambuh kembali setelah dewasa
(Djuanda, 2005).

2.2 Asuhan Keperawatan

2.2.1 Pengkajian
A. Identitas Klien
B. Riwayat Kesehatan
 Riwayat kesehatan dahulu
Tanyakan adanya riwayat dengan asma, hayfever, dan rhinitis
kronik terutama anak-anak. adanya alergi terhadap berbagai
allergen.
 Riwayat kesehatan keluarga
Tanyakan adanya penyakit atopic pada keluarga
 Riwayat kesehatan sekarang
Dengan keluhan utama eritema, nyeri, dan susah tidur
C. Pengkajian 11 Funggsional Gordon
1) Pola Persepsi dan penanganan Kesehatan
 Tanyakan kepada klien mengenai pendapatnya tentang
kesehatan dan penyakitnya.
 Apakah pasien langsung mencari pengobatan atau
menunggu dulu
 Pengobatan sebelumnya tidak berhasil.
 Riwayat mengonsumsi obat-obatan tertentu, mis., vitamin;
jamu.
 Hygiene personal yang kurang
 Lingkungan yang kurang sehat.
2) Pola Nutrisi Metabolik
 Kaji diet yang berhubungan dengan eksaserbasi penyakit.
Biasanya anak mengalami gangguan tumbuh kembang
akibat dari pemasukan nutrisi yang tidak adekuat.

18
Ketidaknyamanan dari lesi membuat anak rewel sehingga
menyebabkan gangguan pemasukan nutrisi (makanan
maupun minuman)
 Tanyakan bagaimana pola dan porsi makan sehari-hari.
 Tanyakan adanya alergi atau tidak
 Turgor kulit buruk, kering, bersisik, pecah-pecah, benjolan.
 Perubahan warna kulit, terdapat bercak-bercak, gatal-gatal,
rasa terbakar atau perih.
3) Pola Eliminasi
 Biasanya penderita suah mengeluarkan keringat
 Tanyakan pola berkemih dan bowel.
4) Pola Aktivitas dan Latihan
 Pemenuhan kebutuhan sehari-hari terganggu.
 Kelemahan umum, malaise.
5) Pola istirahat dan tidur
 Tanyakan lama, dan kualitas tidur pasien
 Tanyakan apakah terjadi masalah dengan istirahat dan
tidurnya yang berhubungan dengan penyakitnya
6) Pola Persepsi Kognitif
 Pengetahuan akan penyakitnya.
7) Pola Persepsi dan Konsep Diri
 Perasaan tidak percaya diri atau minder.
8) Pola peran dan hubungan
 Tanyakan tentang sistem pendukung dalam kehidupan klien
seperti teman
9) Pola seksualitas dan reproduksi
 Pada klien anak tidak ada masalah
10) Pola Mekanisme Koping dan Toleransi Terhadap Stres
 Ansietas, takut akan penyakitnya
 Kaji tentang keadaan stress yang dapat memicu keparahan
dermatitis atopic dan cara mengatasinya

19
11) Pola keyakinan nilai
 tanyakan agama klien
 tanyakan pantangan-pantangan yang di yakini klien
D. pemeriksaan fisik
lakukan pengkajian fisik dengan penekanan khusus pada karakteristik
dan distribusi manifestasi kulit.

2.2.2 Perumusan Diagnosa

a. kerusakan integritas kulit berhubungan dengan lesi eczema


b. gangguan rasa nyaman: nyeri (gatal) berhubungan dengan agen injuri atau
allergen
c. gangguan pola tidur berhubungan dengan stimulus yang berlebih (gatal-
gatal)
d. gangguan citra tubuh berhubungan dengan penampakan kulit yang tidak
bagus
e. resiko infeksi berhubungan dengan kerusakan jaringan dan peningkatan
paparan lingkungan

2.2.3 NOC dan NIC

DIAGNOSA NOC NIC


KEPERAWATAN
a. kerusakan Integritas Jaringan : Kulit Manajemen Pruritus
integritas kulit dan Membran Mukosa Aktivitas :
berhubungan (1101) a) Temukan penyebab
dengan lesi Indikator: dari pruritus
eczema a) Integritas kulit (dari b) Lakukan
tingkat 1 menjadi 5) pemeriksaan fisik
b) Lesi pada kulit (dari untuk
tingkat 1 menjadi 5) mengidentifikasi
c) Penebalan kulit kerusakan kulit
(tingkat 1 menjadi 5) c) Pasang perban atau
balutan pada
tangan atau siku
ketika pasien tidur

20
untuk membatasi
gerakan
menggaruk yang
tidak terkontrol
d) Berikan krim dan
lotion yang
mengandung obat
sesuai dengan
kebutuhan
e) Berikan krim
antihistamin sesuai
dengan kebutuhan
f) Instruksikan pasien
untuk tidak
menggunakan
pakaian ketat dan
berbahan wol atau
sisntesis
g) Instruksikan pasien
untuk
memperhatikan
kuku untuk tetap
pendek
h) Instruksikan pasien
untuk
meminimalisir
keringat dengan
menghindari
lingkungan yang
panas
b. gangguan rasa Pain Level Pain management
nyaman: nyeri Indikator: Aktivitas:
(gatal) a) Melaporkan nyeri  Lakukan pengkajian
berhubungan b) Durasi nyeri nyeri secara
dengan agen injuri c) Menunjukkan lokasi nyeri komprehensif
atau allergen d) Meringis termasuk lokasi,
e) Ekspresi wajah nyeri karakteristik, durasi,
kegelisahan frekuensi, kualitas,
dan faktor presipitasi
Pain Control  Observasi reaksi non
Indikator : verbal dari
a) Mengakui timbulnya ketidaknyamanan
nyeri  Kontrol lingkungan
b) Menjelaskan faktor yang dapat
penyebab mempengaruhi nyeri
c) Menggunakan tindakan seperti suhu ruangan,
pencegahan menggunakan pencahayaan dan
non analgesik ukuran lega kebisingan
menggunakan analgesik  Kurangi faktor

21
seperti yang dianjurkan presipitasi nyeri
d) Laporan nyeri  Pilih dan lakukan
dikendalikan penanganan nyeri
(farmakologi, non
Comfort Level farmakologi dan
Indikator : interpersonal)
a) Reaksi obat  Ajarkan teknik non
b) Otonomi pribadi farmakologis
c) Relokasi adaptasi  Berikan analgetik
d) Lingkungan yang aman untuk mengurangi
nyeri
 Evaluasi keefektifan
kontrol nyeri
 Tingkatkan istirahat
 Kolaborasikan
dengan dokter jika
ada keluhan dan
tindakan nyeri tidak
berhasil
 Monitor penerimaan
pasien tentang
manajemen nyeri

Analgesic administration
 Cek instruksi dokter
tentang jenis obat,
dosis, dan frekuensi
 Cek riwayat alergi
 Pilih analgesik yang
diperlukan atau
kombinasi dari
analgesik ketika
pemberian lebih dari
satu
 Tentukan pilihan
analgesik tergantung
tipe dan beratnya
nyeri
 Tentukan analgesik
pilihan, rute
pemberian, dan dosis
optimal
 Pilih rute pemberian
secara IV, IM untuk
pengobatan nyeri
secara teratur
 Monitor vital sign
sebelum dan sesudah
pemberian analgesik
pertama kali
 Berikan analgesik

22
tepat waktu terutama
saat nyeri hebat
 Evaluasi efektifitas
analgesik, tanda dan
gejala (efek samping)

c. gangguan pola Tidur (0004) Peningkatan Tidur


tidur berhubungan Indicator Aktivitas :
dengan stimulus a) Jam tidur  Tentukan pola tidur/
yang berlebih b) Pola tidur aktivitas pasien
c) Kualitas tidur  Perkirakan tidur/
(gatal-gatal)
d) Kesulitan memulai siklus bangun pasien
tidur didalam perawatan
e) Tidur yang terputus perencanaan
f) Nyeri  Monitor pola tidur
pasien, dan catat
Tujuan : Pasien mendapatkan kondisi fisik
tidur yang cukup (misalnya apnea
tidur, sumbatan jalan
Kriteria Hasil : nafas, nyeri atau
a) Jumlah jam tidur dalam ketidaknyamanan
batas normal 6-8 jam / hari dan frekuensi buang
b) Pola tidur, kualitas dalam air kecil) dan atau
batas normal psikologis (misalnya
ketakutan atau
kecemasan)
keadaaan yang
mengganggu tidur.
 Kolaborasi
pemberian obat tidur
 Sesuaikan
lingkungan
(misalnya cahaya,
kebisingan, suhu,
kasur dan tempat
tidur) untuk
meningkatkan tidur
 Mulai atau terapkan
langkah-langkah
kenyamanan seperti
pijat, pemberian
posisi dan sentuhan
afektif.
 Diskusi dengan
pasien dan keluarga
mengenai teknik
untuk meningkatkan
tidur

d. gangguan citra NOC: NIC:


tubuh Citra tubuh (1200) Peningkatan citra
Tujuan : citra tubuh positif

23
berhubungan dan harga diri positif tubuh
dengan Aktivitas :
penampakan kulit  Bantu pasien
yang tidak bagus Kriteria hasil mendiskusikan
 Pasien dapat perubahan-
menunjukkan adaptasi perubahan bagia
tubuh disebabkan
dengan ketunadayaan
adanya penyakit
fisik, penyesuaian atau pembedahan
psikososial. dengan cara yang
 Pasien menunjukkan repat.
kepuasaan terhadap  Bantu pasien untuk
penampilan dan fungsi menentukan
tubuh keberlajutan dari
perubahan actual
 Pasien menunjukkan
tubuh atau tingkat
keinginan untuk
fungsinya
menyentuh bagian
 Bantu pasien untuk
tubuh yang mengalami
memisahkan
gangguan
penamplan fisik dari
perasaan berharga
secara pribdi,
dengan cara yang
tepat.
 Bantu pasien
mendiskusikan
stressor ang
mempengaruhi kitra
diri terkait
congenital, cedera,
penyakit, atau
pembedahan
 Bantu pasien nuntuk
mengidentifikasi
bagaian dari
tubuhnya dan
memiliki persepsi
positif terkat dengan
tubuhnya

Peningkatan harga diri


Aktivitas :
 Montor pernyaaan
pasien mengenai
harga diri
 Tentukan
kepercayaan diri
klien dalam hal

24
penilian diri
 Bantu pasien untuk
menemukan
peneriamaan diri
 Berikan pengalaman
yang meningkatkan
otonomi pasien
dengan tepat
 Bantu pasien untuk
mengidentifikasi
respon positif ari
orang lain

e. resiko infeksi Kontrol Risiko (1902) Perlindungan Infeksi


berhubungan Tujuan: (6550)
dengan kerusakan  mengindentifikasi Aktivitas:
jaringan dan faktor risiko  Monitor adanya
peningkatan  memonitor fakto tanda dan gejala
paparan risiko di lingkungan infeksi sistemik
lingkungan  menghindari paparan dan local
ancaman kesehatan  Hindari kontak
dekat dekat
hewan peliharaan
dan penjamu
imunitas yang
membahyakan
 Periksa kulit dan
selaput lender
untuk adanya
kemerahan,
kehangatan
ekstrim atau
drainase
 Tingkatkan
asupan nutrisi
yang cukup
 Anjurkan asupan
cairan dengan
tepat
 Instruksikan
pasien dengan
minum obat yang
diresepkan
 Jaga penggunaan
antibiotic dengan
bijaksana
 Ajarkan pasien

25
dan keluarga
mengenai tanda
dan gejala infeksi
dan kapan harus
melaporkannya
kepada pemberi
pelayanan
kesehatan
 Ajarkan pasien
dan anggota
kelaurga
bagaiamana
menghidari
infeksi
 Lapor dugaan
infeksi pada
personil
pengendali
infeksi

2.2.4 Implementasi
Pada dasarnya Implementasi adalah pelaksanaan dari intervensi yang telah
kita susun.

2.2.5 Evaluasi
Keefektifan intervensi keperawatan ditentukan oleh pengkajian ulang dan
evaluasi perawatan yang berdasarkan pada pedoman observasi berikut:
a. Mengamati perilaku, pakaian, dan aktivitas anak
b. Memeriksa kulit apakah ada tanda-tanda kekeringan
c. Memeriksa lesi pada kulit apakah ada tanda-tanda infeksi sekunder

Hasil yang diharapkan:

a. Anak tidak menggaruk dan dapat beristirahat dan bermain dengan tenang
b. Kulit tampak terhidrasi dengan baik
c. Tidak ada tanda-tanda infeksi sekunder

26
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dermatitis atopic adalah peradangan kulit kronis dan residif, disertai gatal
yang berhubungan dengan atopi. Atopi adalah istilah yang dipakai untuk
sekelompok penyakit pada individu yang mempunyai riwayat kepekaan dalam
keluarganya, misalnya asma bronchial, rhinitis alergik, dan dermatitis atopic.

Penyebabnya adalah ditemukan riwayat stigmata atopi herediter berupa


asma bronchial, rhinitis alergik, dan dermatitis atopic dalam keluarganya,
peningkatan jumlah IgE dalam serum, penurunan imunitas seluler, dan respon

27
terhadap reaksi hipersensitivitas tipe lambat, sehingga berakibatkan meningkatkan
kerawanan terhadap infeksi virus, bakteri, dan jamur, alergi terhadap berbagai
allergen, kelembaban rendah, dan bahan iritan, faktor psikologik.

Gejala utama dermatitis atopic adalah gatal (pruritus). Akibat garukan akan
terjadi kelainan kulit yang bermacam-macam, misalnya papul, likenifikasi, dan
lezi ekzematosab berupa eritema, papulovesikel, erosi, ekskoriasi, dan krusta.
Dermatitis atopic dapat terjadi pada masa bayi (infanti), anak, maupun remaja dan
dewasa.

Diagnosis dermatitis atopic ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan


adanya riwayat atopic(dalam keluarganya maupun dirinya sendiri.

3.2 Saran

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh
dari kesempurnaan, maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari
pembaca demi perbaikan makalah selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA

Djuanda, Adhi. 2005. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 4. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI.

Maharani, Ayu. 2015. Penyakit Kulit : Perawatan, Pencegahan dan Pengobatan.


Yogyakarta: Pustaka Baru Press

Marcdante, Karen J. 2011. Nelson Ilmu Kesehatan Anak Esensial. Edisi 6.


Singapore: Saunders Elsevier

Murlistyarini, Sinta, dkk. 2018. Intisari Ilmu Kesehatan Kulit & Kelamin.
Malang: UP press

28
Wong, L. Donna. 2008. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik (Wong’s Essentials Of
Pediatric Nursing), Vol.2. Ed. 6. EGC.

29

Anda mungkin juga menyukai