Disusun Oleh :
KELOMPOK 6
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2019
1
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami kirimkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa ,
karena atas rahmat dan karunia-Nya kami dapat membuat dan menyelesaikan
makalah kami yang berjudul “Asuhan Keperawatan Pada Anak Dengan
Dermatitis Atopik”. Pada makalah ini kami tampilkan hasil diskusi kami, kami
juga mengambil beberapa kesimpulan dari hasil diskusi yang kami lakukan.
Penulis
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...........................................................................................ii
2.1.4 WOC......................................................................................................10
2.1.8 Prognosis................................................................................................14
2.2.1 Pengkajian..............................................................................................14
3
2.3.5 Evaluasi .................................................................................................22
3.1 Kesimpulan......................................................................................................24
4
BAB I
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
a. Tujuan Umum
Untuk mengetahui tentang penyakit dermatitis atopic pada anak dan
asuhan keperawatannya
b. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui definisi dari dermatitis atopic
b. Untuk mengetahui etiologi dari dermatitis atopic
5
c. Untuk mengetahui patofisiologi dari dermatitis atopic
d. Untuk mengetahui manifestasi klinis dari dermatitis atopic
e. Untuk mengetahui WOC dari dermatitis atopic
f. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang dari dermatitis atopic
g. Untuk mengetahui penatalaksanaan dermatitis atopic
h. Untuk mengetahui prognosis dari dermatitis atopic
i. Untuk memahami asuhan keperawatan pada pasien dermatitis atopic
6
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.1 Definisi
Dermatitis atopic adalah peradangan pada kulit yang bersifat kronis dan
residif, disertai rasa gatal, yang umumnya sering terjadi selama masa bayi dan
anak-anak, sering berhubungan dengan peningkatan kadar IgE dalam serum dan
riwayat atopi pada keluarga atau penderita (D.A., Rinitis Alergic, dan atau Asma
brobkial). Kelainan kulit berupa gapul gatal, yang kemudian mengalami
ekskoriasi dan likenifikasi, distribusinya di lipatan (fleksural) (Djuanda, 2005).
Kata “atopi” pertama kali dikenalkan oleh Coca (1923), yaitu istilah yang
dipakai untuk sekelompok penyakit pada individu yang mempunyai riwayat
kepekaan dalam keluarganya misalnya: asma bronchial, rhinitis alergik, dermatitis
atopic, dan konjungtvitis alergik.
2.1.2 Etiopatogenesis
7
Ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadi dermatitis atopik
8
Pada individu yang normal terdapat keseimbangan sel T seperti Th1,
Th2, Th17, sedangkan pada penderita dermatitis atopic terjadi ketidak
seimbangan Sel T. sitokinin Th2 jumlahnya lebih dominan dibanding
dengan Th1 yang menurun. Hal ini menyebabkan produksi dari sitokinin
Th2 seperti interleukin IL-4, IL-5, dan IL-13 ditemukan lebih banyak
diekspresikan oleh sel-sel sehingga terjadi peningkatan IgEdari sel plasma
dan penurunan kadar interferon-gamma. Dermatitis atopic akut
berhubungan dengan produksi sitokinin tipe Th2, IL-4 dan IL-13yang
membantu immunoglobulin tipe isq berubah menjadi sintesa IgE, dan
menambah ekspresi molekul adhesi pada sel-sel endotel. Sebaliknya IL-5
berperan dalam perkembangan dan ketahanan eosinofil, dan mendominasi
dermatitis atopic kronis.
Immunopatogenesis dermatitis atopic dimulai dengan paparan
immunogen atau allergen dari luar yang mencapai kulit, dapat melalui
sirkulasi setelah inhalasi atau secara langsung melalui kontak dengan kulit. .
Pada pemaparan pertama terjadi sensitisasi, dimana allergen dapat ditangkap
oleh sel penyaji antigen (antigen precenting cell = APC) untuk kemudian
diproses dan disajikan kepada sel limfosit T. Hal ini menyebabkan sel T
menjadi aktif dan mengenali allergen tersebut melalui reseptor T ( T – Cell
receptor = TCR). Setelah paparan sel T akan berdeferensiasi menjadi sub
populasi sel Th2 karena mensekresi IL – 4 dan sitokin ini merangsang
aktivitas sel B untuk menjadi sel plasma dan memproduksi IgE (yang
spesifik terhadap allergen). Begitu ada di dalam sirkulasi IgE segera
berikatan dengan sel mast (MC) dan basofil. Pada paparan allergen
berikutnya, IgE telah terssedia pada permukaan sel mast, sehingga terjadi
ikatan antara allergen dan IgE. Ikatan ini akan menyebabkan degranulasi
MC yang akan mengeluarkan mediator baikyang telah tersedia seperti
histamine yang akan menyebabkan reaksi segera.
Sel langerhans epidermal (LC) berperan penting dalam patogenesis
DA oleh karena mengekspresikan reseptor pada permukaan membrannya
yang dapat mengikat molekul IgE serta mensekresi berbagai sitokin.
Apabila ada elergem masuk akan diikat dan disajikan pada sel T yang akan
9
mensekresi limfokin. Sehingga sel eosinofil ditarik dan berkumpul ditempat
lesi, menjadi aktif dan akan mengeluarkan granula protein yang akan
membuat kerusakan jaringan.
d. Faktor lingkungan
Faktor-faktor lingkungan seperti polutan dan allergen-alergen
mungkin memicu reaksi atopic pada individu yang rentan. Paparan polutan
dan allergen tersebut adalah :
1. Polutan : asap rokok dan peningkatan polusi udara.
2. Allergen :
Aeroallergen atau allergen inhalant : tungau debu rumah,
serbuk sari buah, bulu binatang, jamur dan kecoa
Makanan : susu, telur, kacang, ikan laut, kerang laut dan
gandum.
Mikroorganisme : bakteri seperti staphylococcus aureus,
streptococcus pspesies dan ragi seperti pityrosporum ovale,
candida albicans dan trichophyton species.
Bahan iritan atau allergen : wool, desinfektans, nikel dsb.
e. Stress
Studi terbaru menunjukkan faktor-faktir psiko-neuro-imunologi dan stress
emosional berperan penting dalam terjadinya D.A. stress dapat
menyebabkan rusaknya fungsi sawar kuli dan memicu terjadinya respon
alergi atau Th2.
Pada saat stress, saraf sensoris melepaskan neuromediator yang meregulasi
inflamasi dan respon imun seperti pada penurunan fungsi sawar kulit.
Respon hypotalamus-pituitary-adrenal axis (HPA) pada sistem saraf pusat
akan berespon terhadap stress psikologis dengan meningkatkan regulasi
hormone stress corticotrophin-realising hormone (CRH) dan adrenoco
rticotropic hormone (ACTH). CRH dan ACTH menstimuasi norepinefrin
(NE) dan pelepasan kortisol dari kelenjar adrenal, serta langsung
mensimulasi sel imun daam darah dan perifer melalui masing-masing
reseptor. Akibatnya terjadi umpan balik negative dari kortisol pada CRH
dan ACTH, kemudian hipotamus dan hipofisi. Produksi serotonin pada
10
batang otak (5HT) meningkat. Substansu P(SP), gastrin-
releasingpeptide(GRP), dan calcitonin gene related peptide (CGRP) pada
ganglia spinalis dosrsalis juga meningkat.
Pada kulit, sel-sel imun melepaskan sitokin, kemokin, dan neuropeptida,
yang memodulasi respon inflamasi local. Selain itu saraf saraf sensoris
melepaskan neuromediator yang memodulasi inflamasi kulit, nyeri, dan
gatal, seta mengirimkan rangsangan sensorik melalui ganglia spinalis dan
medulla spinalis ke area tertentu dari sistem saraf pusat. Sel mast kulit
berhubungan erat dengan substansi P (SP), CGRP, pituitary adenyate
cyclase-activating protein (PACAP), dan opioid relasing neurons.
Kesemuanya akan memicu sintesis dan sekresi mediator inflamasi sebagai
respon terhadap berbagai rangsangan fisik dan biokimia. Produksi local dari
neurohormon dan neuropeptida dengan rerabut saraf SP terjadi pada kuit
sebagai respon terhadap stress.
Gejala utama D.A ialah pruritus, dapat hilang timbul sepanjanh hari, tetapi
umumnya lebih hebat pada malam hari. Akibatnya penderita akan menggaruk
sehingga timbul macam-macam kelainan dikulit berupa papul, likenifikasi,
eritema erosi, eksroriasi, eksodasi, dan kusta.
D.A dapat dibagi menjadi 3 fase, yaitu: D.A infantil (terjadi pada usia
2bulan- 2tahun), D.A anak (2-10tahun), dan D.A pada remaja dan dewasa.
D.A paling sering muncul pada tahun pertama kehidupan, biasanya setelah
usia 2 bulan. Lesi mulai di muka (dahi, pipi) berupa eritema, papulo-vesikel yang
halus karena gatal, karena gatal digosok pecah, eksudatif, dan akhirnya terbentuk
11
krusta. Lesi kemudian meluas ketempat lain yaitu ke skalp, leher, permukaan
tangan, lengan dan tungkai. Bila anak mulai merangkak, lesi ditemukan di lutut.
Biasanya anak mulai menggaruk setelah umur 2 bulan. Rasa gatal yang timbul
sangat mengganggu membuat anak gelisah, susah tidur, dan sering menangis.
Pada umumnya lesi D.A Infantil eksudatif banyak eksudat, erosi, krusta, dan
dapat mengalami infeksi. Lesi dapat meluas generalisata bahkan, walaupun
jarang, dapat terjadi eritroderma. Lambat laun lesi menjadi kronis dan residif.
Sekitar usia 18bulan tampak likenifikasi. Pada sebagian besar penderita sembuh
setelah usia 2 tahun, mungkin juga sebelumnya, sebagian berlanjut menjadi
bentuk anak. Pada saat itu penderita tidak lagi mengalami eksaserbasi, bila makan
makanan yang sebelumnya menyebabkan kambuh penyakitnya.
Dapat merupakan bentuk kelanjutan bentuk infantil atau timbul sendiri (de
novo). Lesi lebib kering, tidak begitu eksudatif, lebih banyak pabul, likenifikasi,
dan sedikit skuama. Letak kelainan kulit dilipat siku, lipat lutut, pergelangan
tangan bagian fleksor, kelopak mata, leher, jarang dimuka. Rasa gatal
menyebabkan penderita sering menggaruk; dapat terjadi erosi, likenifikasi,
mungkin juga mengalami infeksi sekunder. Akibat garukan kulit menebal dan
perubahan lainnya yang menyebabkan gatal, sehingga terjadi lingkaran setan
“siklus gatal-garuk”. Rangsangan garuk sering kali timbul diluar kendali.
Penderita seringkali sensifitif terhadap wol, bulu kucing dan anjing, juga bulu
ayam, dan juga sejenisnya.
12
c. D.A pada remaja dan dewasa
lesi pada kulit D.A pada bentuk ini dapat berupa plak popular-eritematosa
dan berskuama atau plak likenifikasi yang gatal. Pada D.A remaja lokalisasi lesi
di lipat siku, Lipat lutut, dan samping leher, dahi dan sekitar mata. Pada D.A
dewasa distribusi lesi kurang karakteristik, sering mengenai tangan dan
pergelangan tangan, dapat pula ditemukan setempat, misalnya dibibir (kering,
pecah, bersisik), vulva, putting susu, atau scalp. Kadang erupsi meluas, dan paling
parah di lipatan, mengalami likenifikasi. Lesi kering, agak menimbul, papul datar
dan cendrung bergabung menjadi plak likenifikasi dengan sedikit skuama, dan
sering terjadi eksoriasi dan eksudasi karena garukan. Lambat laun terjadi
hiperpigmentasi.
Lesi sangat gatal, terutama pada malam hari waktu beristirahat. Pada orang
dewasa sering mengeluh bahwa penyakitnya kambuh bila mengaami stress.
Mungkin karena stress dapat menurunkan ambang rangsang gatal. Penderita
atopic memang sulit mengeluarkan keringat, sehingga rasa gatal timbul bila
mengadaan latihan fisik. Pada umumnya D.A remaja atau dewasa berlangsung
lama, kemudian cenderung menurun dan membaik setelah usia 30 tahun, hanya
sebagian kecil terus berlangsung sampai tua. Kulit penderita D.A yang telah
sembuh mudah gatal dan cepat meradang bila terpajan oleh bahan iritan eksogen.
13
2.1.4 WOC
14
2.1.5 Pemeriksaan Penunjang
a. pemeriksaan Laboratorium
IgE serum dapat diperiksa dengan metode EISA. Ditemukan 80%
pada penderita dermatitis atopic menunjukkan peningkatan kadar IgE
dalam serum terutama bila disertai gejala atopi (Alergi).
Eusinofil : kadar serum dapat ditemukan dalam serum penderita D.A
b. dermatografisme putih
penggoresan pada kulit normal akan menimbulkan tiga respons, yakni
berturut-turut akan terlihat garis merah ditempat penggoresan selama 15
detik, warna merah disekitarnya selama beberapa detik, dan edema timbul
15
sesudah beberapa menit. Pada pasien atopic, garis merah tidak disusul
warna kemerahan, tetapi kepucatan selama 2 detik sampai 5 menit dan
edema tidak timbul
c. percobaan asetikolin
suntikan secara intrakutan solusio asetikolin 1/5000 akan menyebabkan
hyperemia pada orang normal. Pada orang dengan DA akan timbul
vasokinstriksi, terlihat kepuvatan selama 1 jam.
d. Percobaan histamine
Jika histamine di suntikkan pada lesi penderita D.A. eritema akan
berkurang, kalau obat tersebut disuntikkan parenteral, tampak eritema
bertambah pada kulit yang normal
2.1.6 Penatalaksanaan
16
digunakan sebagai anti pruritus yang cukup memuaskan untuk mngurangi
terapi simptomatis pada D.A.
h. terapi sinar (phototherapy)
untuk D.A yang berat dan luas dapat digunakan PUVA
(Photochemoteraphy) seperti yang dipakai pada psioriasis. Terapi UVB
atau Goeckerman dengan UVB dan ter juga efektif.
Kombinasi UVB dan UVA lebih baik daripada hanya UVB, UVA bekerja
pada sel langerhans dan eosinofil dan UVB mempunyai efek
imunosupresif dengan cara memblokade fungsi les langerhans, dan
mengubah produksi sitokin keratinosit.
i. mengurangi stress
j. memberikan edukasi kepada penderita atau pun keluarganya
2.1.7 Komplikasi
Komplikasi yang sering terjadi adalah infeksi sekunder oleh virus dan
bakteri, septikemi, diare dan pneumonia. Gangguan metabolic mengakibatkan
suatu resiko hipotermia, dekompesasi kordis, kegagalan sirkulasi perifer dan
trombophlebitis. Bisa pengobatan kurang baik, akan terjadi degenerasi visceral
yang menyebabkan kematian.
2.1.8 Prognosis
17
Lebih dari separo D.A. remaja yang telah diobati kambuh kembali setelah dewasa
(Djuanda, 2005).
2.2.1 Pengkajian
A. Identitas Klien
B. Riwayat Kesehatan
Riwayat kesehatan dahulu
Tanyakan adanya riwayat dengan asma, hayfever, dan rhinitis
kronik terutama anak-anak. adanya alergi terhadap berbagai
allergen.
Riwayat kesehatan keluarga
Tanyakan adanya penyakit atopic pada keluarga
Riwayat kesehatan sekarang
Dengan keluhan utama eritema, nyeri, dan susah tidur
C. Pengkajian 11 Funggsional Gordon
1) Pola Persepsi dan penanganan Kesehatan
Tanyakan kepada klien mengenai pendapatnya tentang
kesehatan dan penyakitnya.
Apakah pasien langsung mencari pengobatan atau
menunggu dulu
Pengobatan sebelumnya tidak berhasil.
Riwayat mengonsumsi obat-obatan tertentu, mis., vitamin;
jamu.
Hygiene personal yang kurang
Lingkungan yang kurang sehat.
2) Pola Nutrisi Metabolik
Kaji diet yang berhubungan dengan eksaserbasi penyakit.
Biasanya anak mengalami gangguan tumbuh kembang
akibat dari pemasukan nutrisi yang tidak adekuat.
18
Ketidaknyamanan dari lesi membuat anak rewel sehingga
menyebabkan gangguan pemasukan nutrisi (makanan
maupun minuman)
Tanyakan bagaimana pola dan porsi makan sehari-hari.
Tanyakan adanya alergi atau tidak
Turgor kulit buruk, kering, bersisik, pecah-pecah, benjolan.
Perubahan warna kulit, terdapat bercak-bercak, gatal-gatal,
rasa terbakar atau perih.
3) Pola Eliminasi
Biasanya penderita suah mengeluarkan keringat
Tanyakan pola berkemih dan bowel.
4) Pola Aktivitas dan Latihan
Pemenuhan kebutuhan sehari-hari terganggu.
Kelemahan umum, malaise.
5) Pola istirahat dan tidur
Tanyakan lama, dan kualitas tidur pasien
Tanyakan apakah terjadi masalah dengan istirahat dan
tidurnya yang berhubungan dengan penyakitnya
6) Pola Persepsi Kognitif
Pengetahuan akan penyakitnya.
7) Pola Persepsi dan Konsep Diri
Perasaan tidak percaya diri atau minder.
8) Pola peran dan hubungan
Tanyakan tentang sistem pendukung dalam kehidupan klien
seperti teman
9) Pola seksualitas dan reproduksi
Pada klien anak tidak ada masalah
10) Pola Mekanisme Koping dan Toleransi Terhadap Stres
Ansietas, takut akan penyakitnya
Kaji tentang keadaan stress yang dapat memicu keparahan
dermatitis atopic dan cara mengatasinya
19
11) Pola keyakinan nilai
tanyakan agama klien
tanyakan pantangan-pantangan yang di yakini klien
D. pemeriksaan fisik
lakukan pengkajian fisik dengan penekanan khusus pada karakteristik
dan distribusi manifestasi kulit.
20
untuk membatasi
gerakan
menggaruk yang
tidak terkontrol
d) Berikan krim dan
lotion yang
mengandung obat
sesuai dengan
kebutuhan
e) Berikan krim
antihistamin sesuai
dengan kebutuhan
f) Instruksikan pasien
untuk tidak
menggunakan
pakaian ketat dan
berbahan wol atau
sisntesis
g) Instruksikan pasien
untuk
memperhatikan
kuku untuk tetap
pendek
h) Instruksikan pasien
untuk
meminimalisir
keringat dengan
menghindari
lingkungan yang
panas
b. gangguan rasa Pain Level Pain management
nyaman: nyeri Indikator: Aktivitas:
(gatal) a) Melaporkan nyeri Lakukan pengkajian
berhubungan b) Durasi nyeri nyeri secara
dengan agen injuri c) Menunjukkan lokasi nyeri komprehensif
atau allergen d) Meringis termasuk lokasi,
e) Ekspresi wajah nyeri karakteristik, durasi,
kegelisahan frekuensi, kualitas,
dan faktor presipitasi
Pain Control Observasi reaksi non
Indikator : verbal dari
a) Mengakui timbulnya ketidaknyamanan
nyeri Kontrol lingkungan
b) Menjelaskan faktor yang dapat
penyebab mempengaruhi nyeri
c) Menggunakan tindakan seperti suhu ruangan,
pencegahan menggunakan pencahayaan dan
non analgesik ukuran lega kebisingan
menggunakan analgesik Kurangi faktor
21
seperti yang dianjurkan presipitasi nyeri
d) Laporan nyeri Pilih dan lakukan
dikendalikan penanganan nyeri
(farmakologi, non
Comfort Level farmakologi dan
Indikator : interpersonal)
a) Reaksi obat Ajarkan teknik non
b) Otonomi pribadi farmakologis
c) Relokasi adaptasi Berikan analgetik
d) Lingkungan yang aman untuk mengurangi
nyeri
Evaluasi keefektifan
kontrol nyeri
Tingkatkan istirahat
Kolaborasikan
dengan dokter jika
ada keluhan dan
tindakan nyeri tidak
berhasil
Monitor penerimaan
pasien tentang
manajemen nyeri
Analgesic administration
Cek instruksi dokter
tentang jenis obat,
dosis, dan frekuensi
Cek riwayat alergi
Pilih analgesik yang
diperlukan atau
kombinasi dari
analgesik ketika
pemberian lebih dari
satu
Tentukan pilihan
analgesik tergantung
tipe dan beratnya
nyeri
Tentukan analgesik
pilihan, rute
pemberian, dan dosis
optimal
Pilih rute pemberian
secara IV, IM untuk
pengobatan nyeri
secara teratur
Monitor vital sign
sebelum dan sesudah
pemberian analgesik
pertama kali
Berikan analgesik
22
tepat waktu terutama
saat nyeri hebat
Evaluasi efektifitas
analgesik, tanda dan
gejala (efek samping)
23
berhubungan dan harga diri positif tubuh
dengan Aktivitas :
penampakan kulit Bantu pasien
yang tidak bagus Kriteria hasil mendiskusikan
Pasien dapat perubahan-
menunjukkan adaptasi perubahan bagia
tubuh disebabkan
dengan ketunadayaan
adanya penyakit
fisik, penyesuaian atau pembedahan
psikososial. dengan cara yang
Pasien menunjukkan repat.
kepuasaan terhadap Bantu pasien untuk
penampilan dan fungsi menentukan
tubuh keberlajutan dari
perubahan actual
Pasien menunjukkan
tubuh atau tingkat
keinginan untuk
fungsinya
menyentuh bagian
Bantu pasien untuk
tubuh yang mengalami
memisahkan
gangguan
penamplan fisik dari
perasaan berharga
secara pribdi,
dengan cara yang
tepat.
Bantu pasien
mendiskusikan
stressor ang
mempengaruhi kitra
diri terkait
congenital, cedera,
penyakit, atau
pembedahan
Bantu pasien nuntuk
mengidentifikasi
bagaian dari
tubuhnya dan
memiliki persepsi
positif terkat dengan
tubuhnya
24
penilian diri
Bantu pasien untuk
menemukan
peneriamaan diri
Berikan pengalaman
yang meningkatkan
otonomi pasien
dengan tepat
Bantu pasien untuk
mengidentifikasi
respon positif ari
orang lain
25
dan keluarga
mengenai tanda
dan gejala infeksi
dan kapan harus
melaporkannya
kepada pemberi
pelayanan
kesehatan
Ajarkan pasien
dan anggota
kelaurga
bagaiamana
menghidari
infeksi
Lapor dugaan
infeksi pada
personil
pengendali
infeksi
2.2.4 Implementasi
Pada dasarnya Implementasi adalah pelaksanaan dari intervensi yang telah
kita susun.
2.2.5 Evaluasi
Keefektifan intervensi keperawatan ditentukan oleh pengkajian ulang dan
evaluasi perawatan yang berdasarkan pada pedoman observasi berikut:
a. Mengamati perilaku, pakaian, dan aktivitas anak
b. Memeriksa kulit apakah ada tanda-tanda kekeringan
c. Memeriksa lesi pada kulit apakah ada tanda-tanda infeksi sekunder
a. Anak tidak menggaruk dan dapat beristirahat dan bermain dengan tenang
b. Kulit tampak terhidrasi dengan baik
c. Tidak ada tanda-tanda infeksi sekunder
26
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dermatitis atopic adalah peradangan kulit kronis dan residif, disertai gatal
yang berhubungan dengan atopi. Atopi adalah istilah yang dipakai untuk
sekelompok penyakit pada individu yang mempunyai riwayat kepekaan dalam
keluarganya, misalnya asma bronchial, rhinitis alergik, dan dermatitis atopic.
27
terhadap reaksi hipersensitivitas tipe lambat, sehingga berakibatkan meningkatkan
kerawanan terhadap infeksi virus, bakteri, dan jamur, alergi terhadap berbagai
allergen, kelembaban rendah, dan bahan iritan, faktor psikologik.
Gejala utama dermatitis atopic adalah gatal (pruritus). Akibat garukan akan
terjadi kelainan kulit yang bermacam-macam, misalnya papul, likenifikasi, dan
lezi ekzematosab berupa eritema, papulovesikel, erosi, ekskoriasi, dan krusta.
Dermatitis atopic dapat terjadi pada masa bayi (infanti), anak, maupun remaja dan
dewasa.
3.2 Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh
dari kesempurnaan, maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari
pembaca demi perbaikan makalah selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Djuanda, Adhi. 2005. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 4. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI.
Murlistyarini, Sinta, dkk. 2018. Intisari Ilmu Kesehatan Kulit & Kelamin.
Malang: UP press
28
Wong, L. Donna. 2008. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik (Wong’s Essentials Of
Pediatric Nursing), Vol.2. Ed. 6. EGC.
29