Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN

PADA PASIEN DENGAN ANEMIA HEMOLITIK


DI RUANG BOUGENVILL RS. KOESNADI BONDOWOSO

APLIKASI KEPERAWATAN KLINIS

Oleh:
ANGGUN RESWARI IBROR (182310101181)
RISKA DEBI (182310101177)

PROGRAM STUDI
KEPERAWATAN FAKULTAS
KEPERAWATAN UNIVERSITAS
JEMBER
2021
BAB 1.
KONSEP TEORI

1.1. Definisi
Hemolytic anemia atau anemia hemolitik adalah penyakit kurang darah
akibat penghancuran sel darah merah lebih cepat dibandingkan pembentukannya.
Penyakit ini perlu ditangani agar tidak terjadi komplikasi pada jantung,
seperti gangguan irama jantung atau gagal jantung.
Anemia hemolitik dapat dialami sejak lahir karena diturunkan dari
orang tua atau berkembang setelah lahir. Anemia hemolitik yang tidak
diturunkan dapat dipicu oleh penyakit, paparan zat kimia, atau efek samping
obat-obatan.
Anemia hemolitik adalah jenis anemia yang terjadi ketika sel darah
merah hancur atau mati lebih cepat dari waktu yang seharusnya. Akibatnya,
tubuh akan kekurangan sel darah merah sehat. Ketika tubuh kekurangan sel
darah merah sehat, terdapat berbagai masalah kesehatan yang mungkin
muncul, seperti nyeri, denyut jantung tidak teratur (aritmia), pembesaran
jantung, dan gagal jantung.
Sel darah merah mengandung hemoglobin yang berfungsi mengangkut
oksigen. Penderita anemia hemolitik cenderung mudah lelah karena tubuhnya
tidak menerima asupan oksigen yang cukup karena sel darah merahnya
kurang. Alhasil beberapa organ tubuh tidak berfungsi dengan baik.
1.2.Epidemiologi

Data epidemiologi menunjukkan bahwa anemia hemolitik tidak memiliki


kecenderungan jenis kelamin dan ras. Hanya saja, pada Autoimmune
Hemolytic Anemia angka kejadianya dilaporkan sedikit lebih tinggi pada
wanita dibandingkan pria. Selain itu, defisiensi glukosa-6-fosfat
dehidrogenase (G6PD) lebih banyak ditemukan pada laki-laki karena
diturunkan secara X resesif. Pada defisiensi G6PD, perempuan menjadi karier.
Autoimmune Hemolytic Anemia termasuk penyakit yang jarang.
Insidensinya sebanyak 1-3 kasus per 100.000 populasi per tahun.

Berdasarkan data dari Riskesdas tahun 2013, di Indonesia terdapat 21,7%


anak ≥1 tahun, 28.1% balita 12-59 bulan, dan 37.1% ibu hamil mengalami
anemia. Kematian pada anemia sering kali terjadi karena komplikasi dan
anemia berat. Anemia dalam kehamilan meningkatkan resiko kematian ibu
dan neonatus. Pada tahun 2013, secara global, tercatat sekitar 3 juta kematian
kematian ibu dan bayi karena anemia. Prevalensi kematian karena anemia
berat pada anak dan wanita adalah 0.9%-1.5%.Salah satu studi meta-analisis
menunjukkan kenaikan Hb 1 g/dL dapat menurunkan kematian bayi sebanyak
1.8 juta. Anemia defisiensi besi sendiri menyebabkan sekitar 90.000 kematian
di negara berkembang dan menyebabkan sekitar 1,6 kematian per 100.000
penduduk di Amerika Serikat. Provinsi Jawa Timur adalah provinsi di
Indonesia yang memiliki jumlah ibu hamil dengan anemia yang cukup tinggi
yaitu 25.3%). Jumlah pada Provinsi Jawa Timur tersebut salah satunya
disumbangkan oleh Kabupaten Bondowoso. Salah satu Kecamatan yang ada
diBondowoso dengan jumlah anemia yang banyak adalah Kecamatan
Tegalampel yaitu sebesar 55% (197 dari 358 ibu hamil) yangberkunjung ke
Puskesmas (Ekowati, 2018).

1.3.Etiologi

Terdapat dua faktor utama terjadinya anemia hemolitik antara lain:

a. Faktor intrinsik (Intra Korpukuler)


Biasanya merupakan kelainan bawaan, diantaranya yaitu:
- Kelainan membran
- Kelainan molekul hemoglobin
- Kelainan salah satu enzim yang berperan dalam metabolism sel eritrosit
b. Kelainan faktor ekstrinsik (Ekstra Korpuskuler)
Biasanya merupakan kelainan yang didapat (acquired) dan selalu
disebabkan oleh faktor imun dan non imun. Bila eritrosit normal
ditransfusikan pada pasien ini, maka penghancuran sel eritrosit tersebut
menjadi lebih cepat, sebaliknya bila eritrosit pasien dengan kelainan ekstra
korpuskuler ditransfusikan pada orang normal maka sel eritrosit akan
normal.
Umur sel eritrosit yang memendek tidak selalu dikaitkan dengan
anemia hemolitik, ada beberapa penyakit yang menyebabkan anemia
dengan umur eritrosit yang pendek namun tidak digolongkan kedalam
anemia hemolitik, diantaranya yaitu leukemia, limfoma malignum, gagal
ginjal kronik, penyakit liver kronik, rheumatoid arthritis, anemia
megaloblastik (Sulistyo, 2008).
1.4.Klasifikasi

Terdapat beberapa jenis anemia hemolitik di antaranya:

a. Anemia hemolitik bawaan


 Kelainan pada membran sekl eritrosit
 Defisiensi enzim glikolitik eritrosit
 Kelainan metabolisme nukleotida eritrosit
 Defisiensi enzim yang terlibat dalam metabolism pentose
phospat pathway dan glutathione
 Kelainan sintesis dan struktur hemoglobin
b. Anemia hemolitik yang didapat
 Immune-hemolytic anemia
 Anemia hemolitik mikroangipatik dan traumatic
 Infeksius
 Zat kimia, obat, dan racun bisa
 Physical agent
 Hypophosphatemia
 Spur-cell anemia pada penyakit hati
 Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria (PNH)
 Defisiensi vitamin E pada newborn (Weiss dan Goodnough,
2005).
1.5. Patofisiologi

Pada anemia hemolitik terjadi peningkatan hasil pemecahan eritrosit


dalam tubuh (hemolisis). Berdasarkan tempatnya dibagi menjadi 2, yaitu:

Gambar mekanisme hemolysis intravaskuler dan ekstravaskuler

a) Hemolisis Ekstravaskuler
Hemolisis ekstravaskuler lebih sering dijumpai dibandingkan
dengan hemolisis intravaskuler. Hemolisis terjadi pada sel
makrofag dari sistem retikuloendothelial (RES) terutama pada lien,
hepar dan sumsum tulang karena sel ini mengandung enzim heme
oxygenase. Hemolisis terjadi karena kerusakan membran
(misalnya akibat reaksi antigen-antibodi), presipitasi hemoglobin
dalam sitoplasma, dan menurunnya fleksibilitas eritrosit. Kapiler
lien dengan diameter yang relatif kecil dan suasana relatif
hipoksik akan memberi
kesempatan destruksi sel eritrosit, mungkin melalui mekanisme
fragmentasi.
Pemecahan eritrosit ini akan menghasilkan globin yang akan
dikembalikan ke protein pool, serta besi yang dikembalikan ke
makrofag (cadangan besi) selanjutnya akan dipakai kembali,
sedangkan protoporfirin akan menghasilkan gas karbonmonoksida
(CO) dan bilirubin. Bilirubin dalam darah berikatan dengan
albumin menjadi bilirubin indirek, mengalami konjugasi dalam
hati menjadi bilirubin direk kemudian dibuang melalui empedu
sehingga meningkatkan sterkobilinogen dalam feses dan
urobilinogen dalam urin.
Sebagian hemoglobin akan menuju ke plasma dan diikat oleh
haptoglobin sehingga kadar haptoglobin juga menurun, tetapi tidak
serendah pada hemolisis intravaskuler.
b) Hemolisis Intravaskuler
Pemecahan eritrosit intrvaskuler menyebabkan lepasnya
hemoglobin bebas ke dalam plasma. Hemoglobin bebas ini akan
diikat oleh haptoglobin (suatu globulin alfa) sehingga kadar
haptoglobin plasma akan menurun. Kompleks hemoglobin-
haptoglobin akan dibawa oleh hati dan RES dalam beberapa menit.
Apabila kapasitas haptoglobin dilampaui maka akan terjadilah
hemoglobin bebas dalam plasma yang disebut sebagai
hemoglobinemia. Hemoglobin bebas akan mengalami oksidasi
menjadi methemoglobin sehingga terjadi methemoglobinemia.
Heme juga diikat oleh hemopeksin (suatu glikoprotein beta1)
kemudian ditangkap oleh sel hepatosit. Hemoglobin bebas akan
keluar melalui urin sehingga terjadi hemoglobinuria. Sebagian
hemoglobin dalam tubulus ginjal akan diserap oleh sel epitel
kemudian besi disimpan dalam bentuk hemosiderin, jika epitel
mengalami deskuamasi maka hemosiderin dibuang melalui urin
(hemosiderinuria), yang merupakan tanda hemolisis intravaskuler
kronik (Smeltzer, 2001).
1.6.Manifestasi klinis
Kadang – kadang hemolosis terjadi secara tiba- tiba dan berat,
menyebabkan krisis hemolotik, yang menyebakan krisis hemolitik yang
ditandai dengan:
- Demam
- Mengigil
- Nyeri punggung dan lambung
- Perasaan melayang Pada penderita anemia hemolitik dapat ditemukan
tanda dan gejala sebagai akibat adanya hemolisis berupa:
1) Kerusakan pada eritrosit
 Fragmentasi dan kontraksi sel darah merah
 Mikrosferosit
2) Katabolisme hemoglobin yang meninggi
 Hiperbilirubinemia sehingga muncul ikterus
 Hemoglobinemia
 Urobilinogenuria atau urobilinuri
 Hemoglobinuri atau methemoglobinuri
 Hemosiderinuri
 Haptoglobin menurun
3) Eritropoesis yang meningkat (regenerasi sumsum tulang)
i. Darah tepi (Retikulositosis sebagai derajat hemolisis
Normoblastemia atau eritroblastemia)
ii. Sumsum tulang:
Hiperplasia
eritroid
Rasio myeloid: eritroid menurun atau
terbalik Hiperplasia sumsum tulang
Perubahan tulang-tulang (tengkorak dan panjang)
Anemia hemolitik kongenital
iii. Eritropoesis ekstramedular
Splenomegali atau
hepatomegali
iv. Absorpsi Fe yang meningkat (Betz dan Sowden, 2002).
1.7.Pemeriksaan penunjang

Kelainan laboratorium yang selalu dijumpai sebagai akibat meningkatnya


proses eritropoesis dalam sumsum tulang diantaranya yaitu:

i. Pada darah tepi bisa dijumpai adanya:


- Retikulositosis (polikromatopilik, stipling)
Sel retikulosit merupakan sel eritrosit yang masih mengandung
ribosom, pemeriksaannya dilakukan dengan menggunakan pengecatan
Brelian Cresiel Blue (BCB), nilai normal berkisar antara 0,8–2,5 %
pada pria dan 0,8–4,1 % pada wanita, jumlah retikulosit ini harus
dikoreksi dengan rasio hemoglobin/hematokrit (Hb/0.45) sedang
jumlah retikulosit absolut dapat dihitung dengan mengkalikan jumlah
retikulosit dengan jumlah eritrosit. Perlu juga dihitung Retikulosit
Production Index ( RPI ) yaitu:

 Makrositosis
 Sel eritrosit dengan ukuran lebih besar dari normal, yaitu dengan
nilai Mean Corpuscular Volume (MCV) > 96 fl.
 Eritroblastosis
 Leukositosis dan trombositosis
ii. Pada sumsum tulang dijumpai adanya eritroid hiperplasia
iii. Ferrokinetik:
 Meningkatnya Plasma Iron Turnover ( PIT )
 Meningkatnya Eritrosit Iron Turnover ( EIT )
iv. Biokimiawi darah:
 Meningkatnya kreatin eritrosit
 Meningkatnya aktivitas dari enzim eritrosit tertentu diantaranya
yaitu: urophorphyrin syntese,hexokinase, SGOT.

Pemeriksaan laboratorium lain yang dapat dilakukan untuk membuat


diagnosa banding adalah:

a. Kelainan bentuk sel eritrosit pada pemeriksaan sediaan apus darah tepi
yang sering dilihat adalah bentuk:
- Sel Spherosit: biasanya pada hereditary spherositosis
immunohemolitik anemia didapat, thermalinjury, hypophosphatemia,
keracunan zat kimia tertentu.
- Sel Akantosit, kelainan pada komposisi zat lemak sel eritrosit yaitu
pada abetalipoproteinemia.
- Sel Spur biasanya ditemukan pada keadaan sirosis hati.
- Sel Stomatosit, ada hubungannya dengan kation eritrosit jarang pada
keadaan penyakit hemolitik yang diturunkan biasa terjadi pada
keracunan alcohol.
- Sel Target, spesifik untuk: penyakit thalassemia, LCAT defisiensi dan
postsplenektomi.
- Elliptocyte bentuk eritrositnya oval.
- Sickle Cell.
- Schistocyte, Helmet Bel dan fragmentosit sel, biasanya ada
hubungannya dengan trauma pada sel eritrosit.
b. Eritrophagositosis, merupakan kelainan yang jarang yaitu adanya fagositik
sel yang mengandung eritrosit hal ini memberi kesan adanya kerusakan
pada permukaan sel eritrosit terutama oleh adanya induced komplement
fixing antibody, protozoa, infeksi bakteri dan keracunan zat kimia tertentu.
c. Autoaglutinasi, hal ini merupakan karakteristik utama dari adanya
penyakit cold aglutinin immunohemolitik, autoaglunatinasi harus
dibedakan dengan
rouleaux formation yang sering kita jumpai pada multiple mieloma dan
hal ini sering diikuti dengan peningkatan laju endap darah (LED).
d. Osmotic Fragility Test yaitu mengukur ketahanan sel eritrosit untuk
menjadi lisis oleh proses osmotik dengan menggunakan larutan saline
hipotonik dengan konsentrasi berbeda-beda. Pada keadaan normal lisis
mulai terjadi pada konsentrasi saline 0745-0,50 gr/l dan lisis sempurna
terjadi pada konsentrasi 0730- 0,33 gr/l. Median Corpuscular Fragility
(MCF) yang meninggi akan menyebabkan terjadinya pergeseran kurva ke
kiri hal ini ada hubungannya dengan spherositosis, sebaliknya nilai MCF
yang menurun (fragilitas menurun atau osmotik resisten yang meningkat)
maka kurva akan bergeser ke kanan, hal ini sering kita temui pada
thalassemia, sickle cell anemia, leptositosis, sel target, dengan kata lain
osmotik fragiliti sitosis penting dalam menentukan adanya kelainan
morfologi eritrosit (Smeltzer, 2001).
1.8. Penatalaksanaan

Terapi yang diberikan pada pasien dengan anemia hemolitik adalah:

a. Suportif
b. simtomatik (sesuai kausa atau penyebab

dasar) Tujuan pengobatan anemia hemolitik

meliputi:

- Menurunkan atau menghentikan penghancuran sel darah merah.


- Meningkatkan jumlah sel darah merah
- Mengobati penyebab yang mendasari penyakit.

Pada hemolisis akut dimana terjadi syok dan gagal ginjal akut, maka
untuk mengatasi hal tersebut harus mempertahankan keseimbangan cairan dan
elektrolit, serta memperbaiki fungsi ginjal. Jika terjadi syok berat maka tidak
ada pilihan selain transfusi.
Indikasi transfusi darah untuk :

- Perdarahan akut dan masif (yang mengancam jiwa penderita) atau


tidak ada respon sebelumnya dengan pemberian cairan
koloid/kristaloid.
- Penyebab anemia kongenital yang memerlukan transfusi darah secara
periodik.
- Setiap anemia dengan tanda-tanda anoksia akut dan berat yang
mengancam jiwa penderita.

Perhitungan dosis darah untuk transfusi didasarkan atas perhitungan


sebagai berikut:

 Pada seorang normal dengan volume eritrosit 30 cc/kg bb konsentrasi Hb


ialah 15 gr/dl. Jadi 2 cc eritrosit per kg bb setara dengan Hb 1 gr/dl. PRC
mengandung 60-70% eritrosit sehingga untuk menaikkan Hb 1 gr/dl
diperlukan 3 cc/kg bb.

Terapi suportif-simtomatik untuk anemia hemolitik diberikan untuk


menekan proses hemolisis, terutama di limpa (lien). Obat golongan
kortikosteroid seperti prednison dapat menekan sistem imun untuk membentuk
antibodi terhadap sel darah merah. Jika tidak berespon terhadap kortikosteroid,
maka dapat diganti dengan obat lain yang dapat menekan sistem imun
misalnya rituximab dan siklosporin. Pada anemia hemolitik kronik dianjurkan
pemberian asam folat 0,15- 0,3 mg/hari untuk mencegah krisis megaloblastik.

Pada thalasemia diberikan desferoxamine setelah kadar feritin serum


sudah mencapai 1000 mg/l secara subkutan dalam waktu 8-12 jam dalam dosis
25-50 mg/kgBB/hari minimal selama 5 hari setiap selesai transfusi.

Terapi suportif pada malaria yaitu menjamin intake cairan dan elektrolit
sesuai kebutuhan per hari, transfusi PRC bila kadar Hb < 6 gr/dl, bila terjadi
renjatan ditangani sesuai protokol renjatan, bila terjadi kejang ditangani sesuai
protokol kejang pada anak. Dapat diberikan klorokuin bentuk tablet difosfat
dan sulfat, kina dalam bentuk tablet berlapis gula berisi 250 mg kina sulfat.

Pada beberapa tipe anemia hemolitik seperti talasemia, sumsum tulang


tidak dapat membentuk sel darah merah yang sehat. Sel darah merah yang
terbentuk dapat dihancurkan sebelum waktunya. Sehingga transplantasi darah
dan sumsum tulang mungkin dapat dipertimbangkan untuk mengobati jenis
anemia hemolitik ini, transplantasi ini mengganti stem sel yang rusak dengan
stem sel yang sehat dari pendonor (Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit
Dalam Indonesia, 2007).
BAB 2.
Clinical Pathway

Faktor Interinsik Faktor Eksterinsik


Kelainan Membran Imun
Kelainan HB Non imun
Kelaian Enzim

Anemia hemolitik

Anemia hemolitik Hb menurun Defisit Anemia sel sabit


genetik pengetahuan

Suplai Kekurangan
O2 sel darah
merah yang
Splenomegali
Lemas,
Intoleran Sel-sel berisi
Distensi mual,
si molekul Hb
muntah
aktivitas yang tidak
sempurna
Nyeri Defisit nutrisi
Cacat kaku
Tirah Sel-sel
baring macet di
lama pembuluh

Penekanan salah
satu daerah tubuh Sirkulasi
Gangguan Perfusi
yang lama darah
integritas perifer tidak
kulit/jaringan efektif
BAB 3.
PROSES KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian
I. Anamnesis
a. Identitas pasien
Meliputi nama, jenis kelamin, alamat, agama, bahasa yang digunakan, status
perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi kesehatan, golongan darah,
nomor register, tanggal masuk rumah sakit, dan diagnosis medis.
b. Riwayat penyakit sekarang
Pengumpulan data dilakukan sejak munculnya keluhan dan secara umum
mencakup awitan gejala dan bagaimana gejala tersebut berkembang.
c. Riwayat penyakit dahulu
Pada pengkajian ini, ditemukan kemungkinan penyebab yang mendukung
terjadinya anemia hemolitik (misal kelainan bawaan atau kelainan yang
didapat karena faktor imun dan non imun).
d. Kaji keluhan pasien sekarang
Pada umumnya keluhan utama pada kasus anemia aplastik adalah pasien
mengalami kelemahan dan kelelahan, demam, nafsu makan berkurang, tidak
dapat melakukan aktivitas sehari-hari, sesak napas.
e. Riwayat penyakit keluarga
Penyakit anemia dapat disebabkan olen kelainan/kegagalan genetik yang
berasal dari orang tua yang sama-sama mengalami anemia
II. Data Dasar
a. Pola aktivitas sehari-hari
- Keletihan, malaise, kelemahan
- Kehilangan produktibitas: penurunan semangat untuk bekerja
b. Sirkulasi
- Palpitasi, takikardia, mur mur sistolik, kulit dan membran mukosa
(konjungtiva, mulut, farink dan bibir) pucat
- Sklera: biru atau putih seperti mutiara
- Pengisian kapiler melambat atau penurunan aliran darah keperifer dan
vasokonstriksi (kompensasi)
- Kuku: mudah patah, berbentuk seperti sendok
- Rambut kering,mudah putus,menipis dan tumbuh uban secara
premature
c. Eliminasi
- Diare dan penurunan haluaran urin
d. Integritas ego
- Depresi, ansietas, takut dan mudah tersinggung
e. Makanan dan cairan
- Penurunan nafsu makan
- Mual dan muntah
- Penurunan BB
- Distensi abdomen dan penurunan bising usus
- Nyeri mulut atau lidah dan kesulitan menelan
f. Higiene
- Kurang bertenaga dan penampilan tidak rapi
g. Neurosensori
- Sakit kepala, pusing, vertigo dan ketidak mampuan berkonsentrasi
- Penurunan penglihatan
- Gelisah dan kelemahan
h. Nyeri atau kenyamanan
- Nyeri abdomen samar dan sakit kepala.
i. Keamanan
- Gangguan penglihatan, jatuh, demam dan infeksi
j. Seksualitas
- Perubahan aliaran menstruasi ( menoragia/amenore)
- Hilang libido
- Impoten
III. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik penderita anemia hemolitik ditemukan:
- Tampak pucat dan ikterus
- Tidak ditemukan perdarahan dan limfadenopati
- Dapat ditemukan hepatomegali dan splenomegali
3.2 Diagnosis Keperawatan
- Perfusi perifer tidak efektif b.d penurunan konsentrasi hemoglobin (0009)
- Defisit nutrisi b.d ketidakmampuan mencerna makanan (D.0019)
- Intoleransi aktivitas b.d ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan
oksigen (D.0056)
- Gangguan integritas kulit/jaringan b.d penurunan mobilitas (D.0129)
- Defisit pengetahuan b.d kurang terpapar informasi (D.0111)

3.3 Intervensi Keperawatan

No. Diagnosa Tujuan dan Intervensi


Kriteria Hasil
1. Perfusi perifer tidak Setelah dilakukan asuhan Manajemen hipovelemi:
efektif b.d penurunan keperawatan diharapkan - Monitor status
konsentrasi hemoglobin jaringan perifer adekuat homeodinamik
(0009) dengan kriteria hasil: meliputi nadi dan
- Pengisian kapiler tekanan darah
ekstremitas - Monitor adanya tanda-
- Muka tidak pucat tanda dehidrasi
- Capilary refill time < 2 - Monitor asupan dan
detik pengeluaran
- Monitor adanya
hipotensi ortostatis dan
pusing saat berdiri
- Monitor adanya
sumber-sumber
kehilangan cairan
(perdarahan, muntah,
diare, keringat yang
berlebihan, dan
takipnea)
- Monitor adanya data
laboratorium terkait
dengan kehilangan
darah (misalnya
hemoglobin,
hematokrit)
- Dukung asupan cairan
oral
- Jaga kepatenan akses
IV
- Berikan produk darah
yang diresepkan
dokkter
- Bantu pasien dengan
ambulasi pada kasus
hipotensi postural
- Instruksikan pada
pasien/keluarga untuk
mencatat intake dan
output dengan tepat
- Instruksikan pada
pasien/keluarga
tindakan -tindakan
yang dilakukan untuk
mengatasi
hipovolemia.
2. Defisit nutrisi b.d Setelah dilakukan asuhan Manajemen gangguan
ketidakmampuan keperawatan diharapkan makan:
mencerna makanan defisit nutrisi hilang atau - Monitor asupan dan
(D.0019) berkurang dengan kriteria keluarnya makanan
hasil: dan cairan serta
- Status nutrisi meningkat kebutuhan kalori
- Berat badan membaik - Kolaborasi dengan ahli
- Nafsu makan meningkat gizi tentang target
berat badan, kebutuhan
kalori, dan pilihan
makanan
Manajemen nutrisi:
- Identifikasi status
nutrisi
- Identifikasi alergi dan
intoleransi makanan
- Anjurkan posisi
duduk, jika mampu

3. Intoleransi aktivitas b.d Setelah dilakukan asuhan Manajemen energi:


ketidakseimbangan keperawatan diharapkan - Kaji status fisiologi
antara suplai dan pasien yang
kebutuhan oksigen dapat toleransi aktivitas menyebabkan
(D.0056) dengan kriteria hasil: kelelahan sesuai
- Saturasi oksigen saat dengan konteks usia
beraktivitas normal dan perkembangan
- Frekuensi nadi saat - Anjurkan pasien
beraktivitas normal mengungkapkan
- Warna kulit tidak pucat perasaan secara verbal
- Melakukan aktivitas mengenai keterbatasan
secara mandiri yang dialami
- Perbaiki defisit status
fisiologi sebagai
prioritas utama
- Tentukan jenis dan
banyaknya aktivitas
yang dibutuhkan untuk
menjaga ketahanan
- Monitor asupan nutrisi
untuk mengetahui
sumber energi yang
adekuat
- Catat waktu dan lama
istirahat/tidur pasien
- Monitor sumber dan
ketidaknyamanan
/nyeri yang dialami
pasien selama
aktivitas.
4. Gangguan integritas Setelah dilakukan asuhan - Identifikasi penyebab
kulit/jaringan b.d keperawatan diharapkan gangguan integritas
penurunan mobilitas d.d gangguan integritas kulit (mis. Perubahan
kerusakan jaringan kulit/jaringan dapat sirkulasi, perubahan
dan/atau lapisan kulit berkurang atau hilang status nutrisi,
dengan kriteria hasil: peneurunan
- Integritas kulit dan kelembaban, suhu
jaringan meningkat lingkungan ekstrem,
- Penyembuhan luka penurunan mobilitas)
meningkat - Ubah posisi setiap 2
- Respons alergi local jam jika tirah baring
menurun - Lakukan pemijatan
- Status sirkulasi pada area penonjolan
meningkat tulang, jika perlu
- Anjurkan
menggunakan
pelembab (mis. Lotin,
serum)
- Anjurkan minum air
yang cukup
- Anjurkan
meningkatkan asupan
nutrisi

5. Defisit pengetahuan b.d Setelah dilakukan asuhan - Kaji tingkat


kurang terpapar keperawatan diharapkan pengetahuan pasien
informasi (D.0111) pasien dan keluarga dapat dan keluarga
menunjukkan pengetahuan - Jelaskan patofisiologi
tentang proses penyakit dari penyakit dan
dengan kriteria hasil: bagaimana hal ini
- Pasien dan keluarga berhubungan dengan
menyatakan pemahaman
tentang penyakit, kondisi, anatomi dan fisiologi,
prognosis dan program dengan cara yang
pengobatan tepat.
- Pasien dan keluarga - Gambarkan tanda dan
mampu melaksanakan gejala yang biasa
prosedur yang dijelaskan muncul pada penyakit,
secara benar dengan cara yang tepat
- Pasien dan keluarga - Gambarkan proses
mampu menjelaskan penyakit, dengan cara
kembali apa yang yang tepat
dijelaskan perawat/tim - Identifikasi
kesehatan lainnya kemungkinan
penyebab, dengan cara
yang tepat
- Sediakan informasi
pada pasien tentang
kondisi, dengan cara
yang tepat
- Sediakan bagi
keluarga informasi
tentang
kemajuan pasien
dengan cara yang tepat
- Diskusikan pilihan
terapi atau penanganan
- Dukung pasien untuk
mengeksplorasi atau
mendapatkan second
opinion dengan cara
yang tepat atau
diindikasikan
3.4 Evaluasi Keperawatan
Setelah dilakukan implementasi terkait perencanaan tindakan keperawatan
(intervensi) yang telah dibuat, perlu adanya evaluasi terkait:

a. Peningkatan perfusi jaringan


- Tanda-tanda vital dalam batas normal (TD 120/80 mmHg, N: 60-100 x/mnt,
RR: 16-20x/mnt, S: 36-37,5o C)
- Warna kulit tidak pucat
- Peningkatan kekuatan dan fungsi otot
- Suhu kulit hangat
- Nilai laboratorium dalam batas normal (Hb: 12-16 gr/dL (wanita), 14-18
gr/dL (pria), Hmt: 33-38% (anak), 40-48% (pria dewasa), 37-43% (wanita
dewasa).
b. Keseimbangan pemasukan nutrisi
- Pemasukan nutrisi yang adekuat
- pasien mampu menghabiskan diet yang dihidangkan
- Tidak ada tanda-tanda malnutrisi
- Nilai laboratorim normal (protein total 8-8 gr%, albumin 3.5-5.4 gr%,
globulin 1.8-3.6 gr%, Hb tidak kurang dari 10 gr %)
- Membran mukosa lembab dan konjungtiva tidak pucat
c. Peningkatan aktivitas
- Berpartisipasi dalam aktivitas fisik tanpa disertai peningkatan tekanan
darah, nadi dan RR
- Mampu melakukan aktivitas sehari hari (ADLs) secara mandiri
- Keseimbangan aktivitas dan istirahat
- Tanda-tanda vital dalam batas normal (TD 120/80 mmHg, N: 60-100 x/mnt,
RR: 16-20x/mnt, S: 36-37,5o C)
3.5 Discharge Planning
Selama dirawat di rumah sakit, pasien sudah dipersiapkan untuk perawatan di
rumah. Beberapa informasi penyuluhan pendidikan yang harus sudah
dipersiapkan/diberikan pada keluarga pasien ini adalah:

a. Pengertian dari penyakit anemia hemolitik


b. Penjelasan tentang penyebab penyakit
c. Tanda dan gejala yang dapat ditanggulangi/diketahui oleh keluarga
d. Penjelasan tentang penatalaksanaan yang dapat keluarga lakukan di
rumah bila muncul gejala penyakit
e. Pasien dan keluarga dapat pergi ke rumah sakit/puskesmas terdekat
apabila ada gejala yang memberatkan penyakitnya
f. Keluarga harus mendorong/memberikan dukungan pada pasien dalam
menaati program pemulihan kesehatan
g. Anjurkan pasien untuk diet makanan tinggi kalori dan tinggi protein
LAMPIRAN.
DAFTAR PUSTAKA

PPNI, T. P. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI): Definisi dan


Indikator Diagnostik ((cetakan III) 1 ed.). Jakarta: DPP PPNI.
PPNI, T. P. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI): Definisi dan
Tindakan Keperawatan ((cetakan II) 1 ed.). Jakarta: DPP PPNI.
PPNI, T. P. 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI): Definisi dan
Kreteria Hasil Keperawatan ((cetakan II) 1 ed.). Jakarta: DPP PPNI.

Price, Sylvia. 2005. Patofisiologis: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta:


EGC. Smeltzer, C. Suzanne. 2001.

Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner and Suddarth. Jakarta. EGC. Sulistyo
A. 2008. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem Hematologi.
Jakarta: Salemba Medika.

Tarwoto, dkk. 2010. Kesehatan Remaja Problem dan Solusinya. Jakarta: Salemba
Medika

Anda mungkin juga menyukai