Oleh:
ANGGUN RESWARI IBROR (182310101181)
RISKA DEBI (182310101177)
PROGRAM STUDI
KEPERAWATAN FAKULTAS
KEPERAWATAN UNIVERSITAS
JEMBER
2021
BAB 1.
KONSEP TEORI
1.1. Definisi
Hemolytic anemia atau anemia hemolitik adalah penyakit kurang darah
akibat penghancuran sel darah merah lebih cepat dibandingkan pembentukannya.
Penyakit ini perlu ditangani agar tidak terjadi komplikasi pada jantung,
seperti gangguan irama jantung atau gagal jantung.
Anemia hemolitik dapat dialami sejak lahir karena diturunkan dari
orang tua atau berkembang setelah lahir. Anemia hemolitik yang tidak
diturunkan dapat dipicu oleh penyakit, paparan zat kimia, atau efek samping
obat-obatan.
Anemia hemolitik adalah jenis anemia yang terjadi ketika sel darah
merah hancur atau mati lebih cepat dari waktu yang seharusnya. Akibatnya,
tubuh akan kekurangan sel darah merah sehat. Ketika tubuh kekurangan sel
darah merah sehat, terdapat berbagai masalah kesehatan yang mungkin
muncul, seperti nyeri, denyut jantung tidak teratur (aritmia), pembesaran
jantung, dan gagal jantung.
Sel darah merah mengandung hemoglobin yang berfungsi mengangkut
oksigen. Penderita anemia hemolitik cenderung mudah lelah karena tubuhnya
tidak menerima asupan oksigen yang cukup karena sel darah merahnya
kurang. Alhasil beberapa organ tubuh tidak berfungsi dengan baik.
1.2.Epidemiologi
1.3.Etiologi
a) Hemolisis Ekstravaskuler
Hemolisis ekstravaskuler lebih sering dijumpai dibandingkan
dengan hemolisis intravaskuler. Hemolisis terjadi pada sel
makrofag dari sistem retikuloendothelial (RES) terutama pada lien,
hepar dan sumsum tulang karena sel ini mengandung enzim heme
oxygenase. Hemolisis terjadi karena kerusakan membran
(misalnya akibat reaksi antigen-antibodi), presipitasi hemoglobin
dalam sitoplasma, dan menurunnya fleksibilitas eritrosit. Kapiler
lien dengan diameter yang relatif kecil dan suasana relatif
hipoksik akan memberi
kesempatan destruksi sel eritrosit, mungkin melalui mekanisme
fragmentasi.
Pemecahan eritrosit ini akan menghasilkan globin yang akan
dikembalikan ke protein pool, serta besi yang dikembalikan ke
makrofag (cadangan besi) selanjutnya akan dipakai kembali,
sedangkan protoporfirin akan menghasilkan gas karbonmonoksida
(CO) dan bilirubin. Bilirubin dalam darah berikatan dengan
albumin menjadi bilirubin indirek, mengalami konjugasi dalam
hati menjadi bilirubin direk kemudian dibuang melalui empedu
sehingga meningkatkan sterkobilinogen dalam feses dan
urobilinogen dalam urin.
Sebagian hemoglobin akan menuju ke plasma dan diikat oleh
haptoglobin sehingga kadar haptoglobin juga menurun, tetapi tidak
serendah pada hemolisis intravaskuler.
b) Hemolisis Intravaskuler
Pemecahan eritrosit intrvaskuler menyebabkan lepasnya
hemoglobin bebas ke dalam plasma. Hemoglobin bebas ini akan
diikat oleh haptoglobin (suatu globulin alfa) sehingga kadar
haptoglobin plasma akan menurun. Kompleks hemoglobin-
haptoglobin akan dibawa oleh hati dan RES dalam beberapa menit.
Apabila kapasitas haptoglobin dilampaui maka akan terjadilah
hemoglobin bebas dalam plasma yang disebut sebagai
hemoglobinemia. Hemoglobin bebas akan mengalami oksidasi
menjadi methemoglobin sehingga terjadi methemoglobinemia.
Heme juga diikat oleh hemopeksin (suatu glikoprotein beta1)
kemudian ditangkap oleh sel hepatosit. Hemoglobin bebas akan
keluar melalui urin sehingga terjadi hemoglobinuria. Sebagian
hemoglobin dalam tubulus ginjal akan diserap oleh sel epitel
kemudian besi disimpan dalam bentuk hemosiderin, jika epitel
mengalami deskuamasi maka hemosiderin dibuang melalui urin
(hemosiderinuria), yang merupakan tanda hemolisis intravaskuler
kronik (Smeltzer, 2001).
1.6.Manifestasi klinis
Kadang – kadang hemolosis terjadi secara tiba- tiba dan berat,
menyebabkan krisis hemolotik, yang menyebakan krisis hemolitik yang
ditandai dengan:
- Demam
- Mengigil
- Nyeri punggung dan lambung
- Perasaan melayang Pada penderita anemia hemolitik dapat ditemukan
tanda dan gejala sebagai akibat adanya hemolisis berupa:
1) Kerusakan pada eritrosit
Fragmentasi dan kontraksi sel darah merah
Mikrosferosit
2) Katabolisme hemoglobin yang meninggi
Hiperbilirubinemia sehingga muncul ikterus
Hemoglobinemia
Urobilinogenuria atau urobilinuri
Hemoglobinuri atau methemoglobinuri
Hemosiderinuri
Haptoglobin menurun
3) Eritropoesis yang meningkat (regenerasi sumsum tulang)
i. Darah tepi (Retikulositosis sebagai derajat hemolisis
Normoblastemia atau eritroblastemia)
ii. Sumsum tulang:
Hiperplasia
eritroid
Rasio myeloid: eritroid menurun atau
terbalik Hiperplasia sumsum tulang
Perubahan tulang-tulang (tengkorak dan panjang)
Anemia hemolitik kongenital
iii. Eritropoesis ekstramedular
Splenomegali atau
hepatomegali
iv. Absorpsi Fe yang meningkat (Betz dan Sowden, 2002).
1.7.Pemeriksaan penunjang
Makrositosis
Sel eritrosit dengan ukuran lebih besar dari normal, yaitu dengan
nilai Mean Corpuscular Volume (MCV) > 96 fl.
Eritroblastosis
Leukositosis dan trombositosis
ii. Pada sumsum tulang dijumpai adanya eritroid hiperplasia
iii. Ferrokinetik:
Meningkatnya Plasma Iron Turnover ( PIT )
Meningkatnya Eritrosit Iron Turnover ( EIT )
iv. Biokimiawi darah:
Meningkatnya kreatin eritrosit
Meningkatnya aktivitas dari enzim eritrosit tertentu diantaranya
yaitu: urophorphyrin syntese,hexokinase, SGOT.
a. Kelainan bentuk sel eritrosit pada pemeriksaan sediaan apus darah tepi
yang sering dilihat adalah bentuk:
- Sel Spherosit: biasanya pada hereditary spherositosis
immunohemolitik anemia didapat, thermalinjury, hypophosphatemia,
keracunan zat kimia tertentu.
- Sel Akantosit, kelainan pada komposisi zat lemak sel eritrosit yaitu
pada abetalipoproteinemia.
- Sel Spur biasanya ditemukan pada keadaan sirosis hati.
- Sel Stomatosit, ada hubungannya dengan kation eritrosit jarang pada
keadaan penyakit hemolitik yang diturunkan biasa terjadi pada
keracunan alcohol.
- Sel Target, spesifik untuk: penyakit thalassemia, LCAT defisiensi dan
postsplenektomi.
- Elliptocyte bentuk eritrositnya oval.
- Sickle Cell.
- Schistocyte, Helmet Bel dan fragmentosit sel, biasanya ada
hubungannya dengan trauma pada sel eritrosit.
b. Eritrophagositosis, merupakan kelainan yang jarang yaitu adanya fagositik
sel yang mengandung eritrosit hal ini memberi kesan adanya kerusakan
pada permukaan sel eritrosit terutama oleh adanya induced komplement
fixing antibody, protozoa, infeksi bakteri dan keracunan zat kimia tertentu.
c. Autoaglutinasi, hal ini merupakan karakteristik utama dari adanya
penyakit cold aglutinin immunohemolitik, autoaglunatinasi harus
dibedakan dengan
rouleaux formation yang sering kita jumpai pada multiple mieloma dan
hal ini sering diikuti dengan peningkatan laju endap darah (LED).
d. Osmotic Fragility Test yaitu mengukur ketahanan sel eritrosit untuk
menjadi lisis oleh proses osmotik dengan menggunakan larutan saline
hipotonik dengan konsentrasi berbeda-beda. Pada keadaan normal lisis
mulai terjadi pada konsentrasi saline 0745-0,50 gr/l dan lisis sempurna
terjadi pada konsentrasi 0730- 0,33 gr/l. Median Corpuscular Fragility
(MCF) yang meninggi akan menyebabkan terjadinya pergeseran kurva ke
kiri hal ini ada hubungannya dengan spherositosis, sebaliknya nilai MCF
yang menurun (fragilitas menurun atau osmotik resisten yang meningkat)
maka kurva akan bergeser ke kanan, hal ini sering kita temui pada
thalassemia, sickle cell anemia, leptositosis, sel target, dengan kata lain
osmotik fragiliti sitosis penting dalam menentukan adanya kelainan
morfologi eritrosit (Smeltzer, 2001).
1.8. Penatalaksanaan
a. Suportif
b. simtomatik (sesuai kausa atau penyebab
meliputi:
Pada hemolisis akut dimana terjadi syok dan gagal ginjal akut, maka
untuk mengatasi hal tersebut harus mempertahankan keseimbangan cairan dan
elektrolit, serta memperbaiki fungsi ginjal. Jika terjadi syok berat maka tidak
ada pilihan selain transfusi.
Indikasi transfusi darah untuk :
Terapi suportif pada malaria yaitu menjamin intake cairan dan elektrolit
sesuai kebutuhan per hari, transfusi PRC bila kadar Hb < 6 gr/dl, bila terjadi
renjatan ditangani sesuai protokol renjatan, bila terjadi kejang ditangani sesuai
protokol kejang pada anak. Dapat diberikan klorokuin bentuk tablet difosfat
dan sulfat, kina dalam bentuk tablet berlapis gula berisi 250 mg kina sulfat.
Anemia hemolitik
Suplai Kekurangan
O2 sel darah
merah yang
Splenomegali
Lemas,
Intoleran Sel-sel berisi
Distensi mual,
si molekul Hb
muntah
aktivitas yang tidak
sempurna
Nyeri Defisit nutrisi
Cacat kaku
Tirah Sel-sel
baring macet di
lama pembuluh
Penekanan salah
satu daerah tubuh Sirkulasi
Gangguan Perfusi
yang lama darah
integritas perifer tidak
kulit/jaringan efektif
BAB 3.
PROSES KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
I. Anamnesis
a. Identitas pasien
Meliputi nama, jenis kelamin, alamat, agama, bahasa yang digunakan, status
perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi kesehatan, golongan darah,
nomor register, tanggal masuk rumah sakit, dan diagnosis medis.
b. Riwayat penyakit sekarang
Pengumpulan data dilakukan sejak munculnya keluhan dan secara umum
mencakup awitan gejala dan bagaimana gejala tersebut berkembang.
c. Riwayat penyakit dahulu
Pada pengkajian ini, ditemukan kemungkinan penyebab yang mendukung
terjadinya anemia hemolitik (misal kelainan bawaan atau kelainan yang
didapat karena faktor imun dan non imun).
d. Kaji keluhan pasien sekarang
Pada umumnya keluhan utama pada kasus anemia aplastik adalah pasien
mengalami kelemahan dan kelelahan, demam, nafsu makan berkurang, tidak
dapat melakukan aktivitas sehari-hari, sesak napas.
e. Riwayat penyakit keluarga
Penyakit anemia dapat disebabkan olen kelainan/kegagalan genetik yang
berasal dari orang tua yang sama-sama mengalami anemia
II. Data Dasar
a. Pola aktivitas sehari-hari
- Keletihan, malaise, kelemahan
- Kehilangan produktibitas: penurunan semangat untuk bekerja
b. Sirkulasi
- Palpitasi, takikardia, mur mur sistolik, kulit dan membran mukosa
(konjungtiva, mulut, farink dan bibir) pucat
- Sklera: biru atau putih seperti mutiara
- Pengisian kapiler melambat atau penurunan aliran darah keperifer dan
vasokonstriksi (kompensasi)
- Kuku: mudah patah, berbentuk seperti sendok
- Rambut kering,mudah putus,menipis dan tumbuh uban secara
premature
c. Eliminasi
- Diare dan penurunan haluaran urin
d. Integritas ego
- Depresi, ansietas, takut dan mudah tersinggung
e. Makanan dan cairan
- Penurunan nafsu makan
- Mual dan muntah
- Penurunan BB
- Distensi abdomen dan penurunan bising usus
- Nyeri mulut atau lidah dan kesulitan menelan
f. Higiene
- Kurang bertenaga dan penampilan tidak rapi
g. Neurosensori
- Sakit kepala, pusing, vertigo dan ketidak mampuan berkonsentrasi
- Penurunan penglihatan
- Gelisah dan kelemahan
h. Nyeri atau kenyamanan
- Nyeri abdomen samar dan sakit kepala.
i. Keamanan
- Gangguan penglihatan, jatuh, demam dan infeksi
j. Seksualitas
- Perubahan aliaran menstruasi ( menoragia/amenore)
- Hilang libido
- Impoten
III. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik penderita anemia hemolitik ditemukan:
- Tampak pucat dan ikterus
- Tidak ditemukan perdarahan dan limfadenopati
- Dapat ditemukan hepatomegali dan splenomegali
3.2 Diagnosis Keperawatan
- Perfusi perifer tidak efektif b.d penurunan konsentrasi hemoglobin (0009)
- Defisit nutrisi b.d ketidakmampuan mencerna makanan (D.0019)
- Intoleransi aktivitas b.d ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan
oksigen (D.0056)
- Gangguan integritas kulit/jaringan b.d penurunan mobilitas (D.0129)
- Defisit pengetahuan b.d kurang terpapar informasi (D.0111)
Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner and Suddarth. Jakarta. EGC. Sulistyo
A. 2008. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem Hematologi.
Jakarta: Salemba Medika.
Tarwoto, dkk. 2010. Kesehatan Remaja Problem dan Solusinya. Jakarta: Salemba
Medika